Disusun oleh:
Iftitah Silmi Kaffah 3920187181421
Shakina Novira 3920187181
Susi Pramawati 3920187181440
A. Latar Belakang................................................................................................2
B. Rumusan masalah...........................................................................................3
PEMBAHASAN.....................................................................................................4
a. Alkohol....................................................................................................12
2. Kosmetika halal-haram...............................................................................15
PENUTUP.............................................................................................................17
A. Kesimpulan....................................................................................................17
Daftar Pustaka......................................................................................................18
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bukan hanya obat yang harus diperhatikan sisi halal tidaknya suatu
produk farmasi tetapi sediaan lainnya juga haruslah diperhatikan
2
kehalalannya. Kosmetika sebagai produk dalam memelihara kecantikan
semakin berkembang seiring dengan perkembangan bioteknologi. Saat ini,
seiring dengan poerkembangan teknologi, produk kosmetika di Indonesia
semakin banyak dan beragam, hingga kita sulit menelisik bahan-bahan yang
haram didalamnya. Oleh karena itu, agar kita waspada, ada baiknya jika kita
mengetahui titik-kritis haram dalam kosmetika.
B. Rumusan masalah
1. Hukum Zat aktif yang terkandung dalam sediaan farmasi mengandung
bahan yang haram
2. Labelisasi dan sertifikasi untuk menjamin kehalalan produk
3. Eksplorasi bahan alam Indonesia untuk pengganti bahan haram
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Zat Aktif yang Terkandung Dalam Sediaan Farmasi
Mengandung Bahan yang Haram
Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika
(PP Nomor 51 Tahun 2009). Secara khusus obat merupakan sebuah
senyawa atau campuran senyawa yang dapat digunakan untuk
mempengaruhi atau mempelajari kondisi fisik atau penyakit, sehingga dapat
dilakukan diagnosis, pencegahan, pengobatan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi (SK Menkes No. 47/MenKes/SK/11/1981).
Pengembangan produk obat (drug product development), dan sediaan
farmasi lainnya patut dicermati, baik dari aspek kemaslahatannya maupun
dari kebolehan penggunaannya ditinjau dari syariat Islam. Salah satunya
adalah memperhatikan status kehalalan sediaan farmasi tersebut. Walaupun
istilah boleh atau tidak boleh, dengan perkataan lain (halal-haram) berlaku
pula untuk bentuk-bentuk aktivitas dan pemikiran yang dilakukan
seseorang.
4
1. Obat-obatan tidak boleh mengandung bagian atau produk hewan yang
tidak halal atau tidak disembelih sesuai ketentuan Islam.
2. Obat-obatan tidak boleh mengandung najis.
3. Obat-obatan harus aman untuk digunakan manusia, yakni tidak
beracun, tidak memabukkan atau tidak berbahaya bagi kesehatan sesuai
dosis yang ditentukan.
4. Obat-obatan tidak dapat dibuat, diproses atau diproduksi menggunakan
peralatan yang terkontaminasi dengan najis.
5. Obat-obatan tidak boleh mengandung bagian manusia atau derivatnya
yang tidak halal.
6. Selama persiapan, pengolahan, penanganan, pengemasan, penyimpanan
dan distribusi, mereka harus dipisahkan secara fisik dari produk tidak
halal dan najis.
Masalah halal dan haram bukan hanya merupakan isu yang sensitif di
Indonesia, tetapi juga selalu mengusik keyakinan umat Islam di seluruh
dunia. Umat Islam di seluruh dunia amat berkepentingan atas jaminan halal
tidak saja terhadap produk pangan, obat-obatan dan kosmetika, namun juga
5
terhadap proses produksi serta rekayasa genetik. Sebagai contoh, hal yang
juga dapat menentukan kehalalan proses produksi obat terkait dengan
penambahan bahan-bahan farmasetik, yakni bahan tambahan (bukan obat)
yang diracik bersama obat membentuk produk farmasetik. Bahan-bahan
tersebut bisa berupa substansi pembasah, bufer, pengemulsi, pewarna,
perasa, pemanis, pengisi tablet, pelarut, bahan enkapsulasi, dan lain-lain.
Bahan-bahan ini bisa saja berasal dari bahan mentah atau proses produksi
yang membuatnya menjadi haram. Bahan kapsul yang terbuat dari gelatin
sebagai contoh, tergolong sebagai bahan yang kritis status kehalalannya,
sementara masih terdapat gelatin yang berasal dari babi [ CITATION Ran15 \l
1033 ]. Apalagi saat ini bahan-bahan yang digunakan untuk produksi obat
dan kosmetika masih banyak yang harus didatangkan dari luar negeri.
Sebagai contoh yang lain yang bersumber dari babi adalah Heparin
porcine. Heparin berbeda dengan gelatin, dimana gelatin hanya digunakan
untuk tujuan bahan tambahan farmasetik (bukan obat). Heparin sebagai obat
telah digunakan selama lebih dari 50 tahun untuk mengobati dan mencegah
trombosis. Hal ini juga diperlukan untuk sirkulasi ekstrakorporeal selama
hemodialisis atau operasi jantung. Heparin yang memiliki aktivitas
antikoagulan ini masih diperoleh secara eksklusif dari jaringan hewan,
terutama dari usus babi (porcine). Meskipun heparin saat ini telah dapat
6
diperoleh dari jaringan paru-paru sapi (bovine), namun nyaris menimbulkan
penolakan setelah munculnya kasus sapi gila (the bovine spongiform
encephalopathy [ CITATION War03 \l 1033 ]. Selain dua contoh sediaan
farmasi yang telah disebutkan di atas, dalam monograf British
Pharmacopoeia (BP) Edisi 2012 tercamtum 27 sediaan obat menggunakan
bahan dari porcine (babi), baik sebagai bahan aktif maupun sebagai bahan
tambahan farmasetk.
Bahan farmasi yang juga selalu membawa perhatian umat Islam adalah
alkohol, lebih tepat etanol atau etil alkohol. Etanol adalah salah satu yang
paling banyak digunakan pada sediaan cair yang berfungsi sebagai
penstabil. Etanol juga dapat digunakan sebagai pelarut dalam proses
ekstraksi pada produk farmasi. Senyawa alkohol, seperti hidroksil (-OH)
mengandung gugus fungsional, umumnya diperbolehkan dengan kondisi
yang tidak berasal dari khamr (minuman beralkohol yang memabukkan atau
minuman keras). Ketentuan produksi dan kuantitas etanol (etil alkohol) pada
produk akhir (makanan atau obat-obatan) sangat kecil dan tidak akan
memabukkan. (Jumlah yang ditoleransi adalah 0,01 persen pada produk
akhir, dan menjadi ketentuan untuk sertifikasi halal di Malaysia [ CITATION
Has13 \l 1033 ]. Firman Allah SWT, antara lain:
7
manipulasi yang disengaja dari bahan genetik dari suatu organisme-bakteri,
ragi, jamur, tumbuhan dan hewan. Teknik bioteknologi dan proses,
sebagaimana GMO tersebut memberikan kesempatan baru dalam industri
farmasi terutama yang menghasilkan produk biofarmaseutika.
ْ َّم َوحَلْ َم ٱخْلِن ِزي ِر َو َمٓا أ ُِه َّل بِِۦه لِغَرْيِ ٱللَّ ِه ۖ فَ َم ِن
ٱضطَُّر َغْيَر َ إِمَّنَا َحَّر َم َعلَْي ُك ُم ٱلْ َمْيتَةَ َوٱلد
يم ِ اغ واَل ع ٍاد فَٓاَل إِمْث علَي ِه ۚ إِ َّن ٱللَّه َغ ُف
ٌ ور َّرح ٌ َ َْ َ َ َ ٍ َب
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain
Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang
dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak
ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. Al-Baqarah [2]:173)”
8
B. Labelisasi dan Sertifikasi Untuk Menjamin Kehalalan Produk
Halal dan haram merupakan salah satu persoalan yang relatif sensitif
dalam agama Islam. Halal dan haram dapat dikatakan sebagai substansi
hukum, dan hukum merupakan masalah sentral dalam Islam. Di era
globalisasi dan lebih-lebih era masyarakat ekonomi Asean ini persoalan
halal haram di sebuah negara bukan hanya menjadi kepentingan warga
negara bersangkutan, tetapi juga bagi warga negara asing. Sebabnya adalah
semakin tipisnya batas antar negara dan semakin mudahnya orang asing
masuk ke wilayah negara lain. Maka tidak mengherankan jika sebuah
negara dengan penduduk muslim sebagai minoritas, persoalan halal haram
tetap diperhatikan. Misalnya yang terjadi di Thailand [ CITATION Muh161 \l
14345 ]
9
produk dari suatu perusahaan oleh Bandan POM. Izin pencantuman label
halal pada kemasan produk makanan yang dikeluarkan oleh Badan POM
didasarkan rekomendasi MUI dalam bentuk sertifikat halal MUI. Sertifikat
halal MUI dikeluarkan oleh MUI berdasarkan hasil pemeriksanaan LP POM
MUI [ CITATION Pan17 \l 14345 ].
Sertifikasi label halal secara aturan bukanlah hal yang mudah karena
harus melalui prosedur-prosedur atau tahapan tertentu. Sistem Jaminan
Halal (SJH) sendiri mulai diberlakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan,
Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) pada
tahun 2005, sebagai suatu sistem yang menjamin kepada MUI atas
kehalalan produk suatu perusahaan sepanjang masa perusahaan itu
memegang Sertifikat Halal MUI [ CITATION Gin16 \l 14345 ].
Regulasi aturan produk halal telah ada namun tidak dipungkiri masih
belum memasyarakat secara luas, sehingga masyarakat masih bingung untuk
mendapatkan produk yang benar-benar terjamin kehalalannya. Hal ini
karena tidak sedikit produkproduk yang mencamtumkan tanda halal secara
ilegal, pengolahan pangan dan non pangan, status kehalalan dari produk-
produk yang berada di pasaran menjadi sangat rawan, disebabkan proses
pengolahan menjadi sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak serta
pelaku usaha yang lain [ CITATION Mus17 \l 14345 ].
10
yang diproduksi. Hal ini menjadikan produk yang dihasilkan menjadi
kurang layak konsumsi baik secara standar kesehatan ataupun syariat agama
(halal) [ CITATION Tal17 \l 14345 ].
11
BTP pewarna dan antioksidan sintetik. Hal tersebut disebabkan penambahan
pewarna dapat meningkatkan kesukaan konsumen sehingga mempengaruhi
keputusan dalam memilih produk. Penambahan antioksidan sintetik pada
proses pengolahan makanan dapat menghambat terjadinya oksidasi pada
produk (terutama produk dengan kandungan lemak tinggi) sehingga dapat
memperlama daya simpan. Seiring dengan meningkatnya kesadaran
konsumen akan kesehatan maka kecenderungan untuk memilih produk
pangan fungsional semakin meningkat. Hal tersebut menyebabkan
pengeksplorasian bahan alami dan halal sebagai alternatif pengganti BPT
sintetik makin banyak dikembangkan. Bahan alam yang berupa sayur dan
buah terutama yang memiliki warna mencolok dan mengandung fitokimia
yang dapat berpotensi sebagai BTP pewarna dan antioksidan alami.
Senyawa kimia yang terkandung di dalam tumbuhan merupakan hasil dari
metabolisme itu sendiri. Contoh dari buah dan sayur yang digunakan
sebagai bahan pengganti BPT sintetik yaitu buah naga merah, kulit buah
naga merah, wortel, bit, dan ubi ungu [ CITATION Cah08 \l 1057 ].
2. Halal-haram Produk Farmasi pada Kosmetik dan Obat
a. Alkohol
Menurut data yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2010, total
konsumsi alkohol di seluruh dunia mencapai 6,2 liter per orang dan
lebih dai 3,3 juta orang meninggal karena mengkonsumsi alkohol per
tahunnya. Kuota impor alkohol di Indonesia untuk periode 2014
mencapai 511.246 karton atau setara dengan 4,6 juta liter. Produk
beralkohol yang beredar di tanah air sebanyak 95 % dan dipasok dari
pasar ilegal yang jumlahnya tidak diketahui, belum lagi jika di tambah
dengan produksi produk alkohol dalam negri yang mencapai 7,2 juta
per liter per tahunnya.
Produk beralkohol dapat berupa makanan, minuman, kosmetika,
suplemen, dan obat-obatan. Jika produk tersebut mengandung alkohol
dan menimbulkan efek yang merugikan bagi penggunanya, maka yang
membahayakan seperti ini menjadi penyebab diharamkannya dalam
Islam.
12
b. Polisakarida sebagai material pengganti gelatin.
Penggunaan gelatin dari kulit sapi sempat dikhawtirkan karena
dapat menyebabkan penyakit. Gelatin sapi memiliki resiko
kontaminasi beberapa virus diantaranya foot and mouth disease
(FMD), bovine spongiform encephalophaty (BSE), dan swine influeza.
Sehingga gelatin lebih banyak di produksi dengan menggunakan bahan
dasar babi. Penggunaan derivat babi lebih banyak digunakan dalam
dunia farmasi untuk mengurangi biaya produksi. Kulit babi juga
mudah didapatkan serta memiliki harga uang lebih murah daripada
sapi. Selain itu babi memiliki jaringan ikat yang tidak terlalu kuat
seperti sapi sehingga proses hidrolisis tidak memerlukan bahan yang
terlalu banyak[ CITATION DIS18 \l 1057 ].
Faktor teknis dan ekonomis menyebabkan gelatin babi lebih
berkembang daripada gelatin yang lain. Namun hal ini menjadi
masalah tersendiri bagi kaum muslim yang melarang untuk
mengkonsumsi segala macam produk yang di dalamnya terkandung
bahan haram. Seperti produk obatobatan yang telah tercampur dengan
bahan haram atau najis seperti babi atau alkohol serta bahan dasar dari
hewan yang proses penyembelihannya tidak sesuai syariat islam. Maka
dari itu, para peneliti sudah mulai banyak meneliti sumber bahan baku
yang bersifat higienis, halal, dan dapat diterima oleh orang muslim.
Alternatif material tersebut dapat diperoleh dari polisakarida yang
merupakan polimer alam. Ketersedian polisakarida sangat melimpah
seperti yang terkandung dalam tanaman maupun produk polisakarida
yang dihasilkan dari bakteri. Material polisakarida sebagai pengganti
gelatin yang halal juga bisa dipastikan kehalalannya sehingga umat
muslim tidak akan merasa khawatir terhadap obat-obatan yang mereka
konsumsi Gelatin bisa bersumber dari hewan maupun tumbuhan. Jika
bahan dasar gelatin yang digunakan sebagai bahan dasar hewani, maka
hewan tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan sesuai syariah
islam. Hewan tersebut bukanlah hewan non halal yang tidak boleh
dikonsumsi umat muslim yaitu :
13
a) Babi dan anjing
b) Hewan yang disembelih tidak dengan menyebut nama Allah
dan tidak sesuai dengan syariat Islam.
c) Bangkai
d) Darah
e) Hewan yang bertaring atau memiliki cakar tajam atau memiliki
bisa atau sengat.
f) Hewan yang menjijikan
g) Hewan yang dilarang dibunuh dalam Islam.
h) Keledai jinak
i) Hewan halal yang diberi makan tidak halal secara terus
menerus
j) Hewan yang mati karena dicekik, dipukul, atau jatuh
k) Daging yang diambil dari hewan yang masih hidup
l) Hewan yang hidup di dua alam.
Salah satu bahan yang telah banyak digunakan sebagai alternatif gelatin
adalah polisakarida. Beberapa polimer dari polisakarida yang dapat
digunakan sebagai pengganti material gelatin diantaranya seperti
carrageenan, xanthan gum, maltodekstrin, alginate, chitosan, gellan gum,
dan guar gum[ CITATION NSu15 \l 1057 ] .
14
Suptijah (2012), karagenan dapat digunakan sebagai bahan baku material
cangkang kapsul keras berbasis polisakarida. Karagenan memiliki kadar air
18,38%; abu 17,58%; sulfat 17,90%; dan viskositas 124 cp. Ketersediaan
yang melimpah dan kehalalan yang terjamin diharapkan dapat diproduksi
secara komersial sebagai pengganti gelatin babi yang masih mendominasi di
dunia farmasi [ CITATION PSu15 \l 1057 ].
3. Kosmetika halal-haram
15
Zat pembuat kosmetika yang mejadi titik kritis haram adalah pertama,
zat aktif dari produk kosmetik tersebut, misalnya, kolagen dan elastin.
Kolagen dan elastin berfungsi untuk menambah elatisitas kulit, biasanya
terdapat dalam krim atau lotion. Kolagen berasal dari tulang hewan, jika
kolagennya berasal dari hewan yang disembelih secara islam, tentu tidak
masalah kehalalannya. Namun, yang menjadi masalah justru sumbernya
yang tidak jelas, sehingga membuat produk ini menjadi syubhat. Kedua,
zat-zat penstabil sebagai bahan dasar. Lipstik, deodorant, eye shadow
berbahan dasar (basis) garam-garam asam lemak, seperti lauril palmitat,
gliseril monostearat. Garam asam lemak ini kemungkinan besar didapat
dari hewan. Bahan penstabil tersebut harus halal sumbernya dan cara
penyembelihan atau pengolahan. Ketiga, asam lemak esensial. Beberapa
jenis asam lemak yang sering digunakan adalah asam linolenat, asam
linoleat dan asam arakidonat sebagai antioksidan. Asam-asam lemak
tersebut banyak digunakan dalam kosmetika khususnya untuk perawatan
kulit. Yang perlu diwaspadai adalah sumber asam lemak apakah dari
hewan yang halal dan disembelih dengan cara islami juga bahan penstabil
yang digunakan karena asam-asam lemak tersebut adalah golongan yang
yang mudah teroksidasi atau tidak stabil sehingga membutuhkan bahan
penstabil ketika digunakan. Keempat, hormon dan ekstrak kelenjar.
Hormon dan ekstrak kelenjar alami yang sedang naik popularitasnya saat
ini adalah ekstrak plasenta. Dalam kamus Ingredient Cosmetic, dinyatakan
bahwa ekstrak plasenta adalah ekstrak yang berasal dari plasenta bayi yang
baru lahir atau kita kenal sebagai tali puser atau ari-ari yang secara
tradisional sering dikubur agar tidak digunakan untuk kepentingan yang
melanggar agama. Namun, masih dalam kamus yang sama plasenta
protein, plasenta enzim dan plasenta lipid adalah zat yang diambil dari
plasenta hewan, seperti plasenta kambing, sapi dan babi [ CITATION
Muc17 \l 1057 ].
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai ummat muslim, kita harus memperhatikan setiap produk
yang kita gunakan khususnya dalam makanan, obat-obatan, dan
kosmetika. Upaya edukasi produk halal, sehat dan berkualitas di
masyarakat mendesak dilakukan, sebagai upaya penguatan hak-hak
konsumen. Gagasan perlindungan konsumen dapat disampaikan secara
luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen,
seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan, dan publikasi media
konsumen.
17
Daftar Pustaka
2424:2012, M. S. (2012). Halal pharmaceuticals – General guidelines. Malaysia:
Department of Standards Malaysia.
Hashim, Y. e. (2013). Halal: all that you need to know. INHART, IIUM
Publication Vol 1.
Maulida, R. (2013). Urgensi Regulasi dan Edukasi Produk Halal Bagi Konsumen.
Jurnal Kajian Hukum dan Sosial vol.10 no.2, 14-32.
18
Muchtaridi. (2017). Kosmetika Halal atau Haram Beserta Sertifikasinya. Jurnal
Farmasetika.
Putriana, N. A. (2016). Apakah Obatyang Kita Konsumsi Saat Ini Sudah halal?
Majalah Farmasetika,Vol.1No.4.
Sahilah, A. e. (2012). Halal market surveillance of soft and hard gel capsules in
pharmaceutical products using PCR and southern-hybridization on the
biochip analysis. International Food Research Journal vol.19 no.1, 371-
375.
19
Wicita, P. (2017). Aplikasi Xanthan Gum dalam Sistem Penghataran Obat. Jurnal
Farmaka.
20