Anda di halaman 1dari 21

JOURNEY TO NATURE UNTUK MENUNJANG HALAL LIFE STYLE

DALAM INDUSTRI FARMASI


Untuk Memenuhi Tugas UTS Epistemologi islam
Dosen pengampu: Al-Ustadz. Fuad Muhammad Zein, M.Ud.

Disusun oleh:
Iftitah Silmi Kaffah 3920187181421
Shakina Novira 3920187181
Susi Pramawati 3920187181440

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
PERIODE 2020/2021
Daftar Isi
PENDAHULUAN...................................................................................................2

A. Latar Belakang................................................................................................2

B. Rumusan masalah...........................................................................................3

PEMBAHASAN.....................................................................................................4

A. Hukum Zak Aktif yang Terkandung Dalam Sediaan Farmasi


Mengandung Bahan yang Haram........................................................................4

B. Labelisasi dan Sertifikasi Untuk Menjamin Kehalalan Produk................8

C. Eksplorasi Bahan Alam Sebagai Alternatif Pengganti Bahan Tambah


Pangan (BTP) Sintetik (yang ini untuk yang di makanan)..............................11

1. Halal-haram Produk Farmasi (ini random, ada kosmetik, obat, dll)...........12

a. Alkohol....................................................................................................12

b. Polisakarida sebagai material pengganti gelatin.....................................12

2. Kosmetika halal-haram...............................................................................15

PENUTUP.............................................................................................................17

A. Kesimpulan....................................................................................................17

Daftar Pustaka......................................................................................................18

1
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Indonesia sebagai Negara yang mayoritas penduduknya muslim dan


sebagai Negara berpenduduk beragama Islam terbesar di dunia sudah
sepantasnya menempatkan masalah penyediaan produk yang halal pada
posisi yang penting. Umat Islam berhak untuk mendapatkan perindungan
dan jaminan hukum atas kehalalan barang-barang yang dikonsumsi dan
digunakannya, baik produk yang diproduksi di dalam negeri maupun yang
dari luar.

Lifestyle merupakan cerminan seseorang dalam cara menjalani hidup,


cara menggunakan dan mengalokasikan waktu, serta mengatur pola hidup.
Tidak sedikit masyarakat yang sangat memperhatikan bagaimana gaya
hidup yang akan dijalaninya. Hal ini menjadi sangat penting ketika lifestyle
dapat menunjukkan cerminan kepribadian seseorang. Terlebih bagi ummat
muslim yang sudah mempunyai tatanan kehidupan yaitu dengan aturan
islam. Bagaimana segala aspek kehidupan sudah diatur dalam islam
menunjukkan bahwa sangatlah jelas gaya hidup sebagai seorang muslim
yang ideal yaitu dengan bergaya hidup halal yang mana akan bergantung
pada hukum islam itu sendiri.

Seperti halnya fungsi dari obat-obatan yang menyembuhkan suatu


penyakit tersebut dapat digolongkan pada sesuatu yang baik namun
bagaimana dengan komposisi yang belum tentu halal. Dikutip dari jurnal
halal menyatakan bahwa sumber bahan aktif obat dan bahan farmaseutik
sangatlah bermacam-macam. Bisa berasal dari tumbuhan, gelatin babi, sel
vero (ginjal) kera, enzim babi, mikroba, bahan sintetik kimia, bahkan dari
virus yang dilemahkan atau bahan yang berasal dari manusia. Baik bahan
aktif maupun bahan farmaseutik memiliki titik kritis kehalalan

Bukan hanya obat yang harus diperhatikan sisi halal tidaknya suatu
produk farmasi tetapi sediaan lainnya juga haruslah diperhatikan

2
kehalalannya. Kosmetika sebagai produk dalam memelihara kecantikan
semakin berkembang seiring dengan perkembangan bioteknologi. Saat ini,
seiring dengan poerkembangan teknologi, produk kosmetika di Indonesia
semakin banyak dan beragam, hingga kita sulit menelisik bahan-bahan yang
haram didalamnya. Oleh karena itu, agar kita waspada, ada baiknya jika kita
mengetahui titik-kritis haram dalam kosmetika.

Sertifikasi dan pelabelan produk halal merupakan cara dalam


membuktikan bahwa produk tersebut telah di uji kehalalannya oleh badan
yang berwenang. Untuk menginformasikan kepada masyarakat bahwa
produk yang dijual telah halal, pemerintah telah mengatur regulasi hukum
yang berkaitan dengan undangundang nomor 7 tahun 1996 tentang pangan,
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen,
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang label dan iklan pangan
dan Undang-undang nomor 33 Tahun 2014 tentang jaminan produk halal.

Seiring denga perkembangan ilmu pengetahuan, eksplorasi bahan alam


banyak dilakukan untuk meneliti kandungan senyawa aktif yang dapat
mensubstitusi atau menggantikan bahan haram yang masih digunakan dalam
sediaan farmasi mauun kosmetik. Hal ini dapat menunjang perkembangan
obat dan kosmetika yang mana bisa berdampak kepada perekonomian
bangsa.

B. Rumusan masalah
1. Hukum Zat aktif yang terkandung dalam sediaan farmasi mengandung
bahan yang haram
2. Labelisasi dan sertifikasi untuk menjamin kehalalan produk
3. Eksplorasi bahan alam Indonesia untuk pengganti bahan haram

3
BAB II

PEMBAHASAN
A. Hukum Zat Aktif yang Terkandung Dalam Sediaan Farmasi
Mengandung Bahan yang Haram

Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika
(PP Nomor 51 Tahun 2009). Secara khusus obat merupakan sebuah
senyawa atau campuran senyawa yang dapat digunakan untuk
mempengaruhi atau mempelajari kondisi fisik atau penyakit, sehingga dapat
dilakukan diagnosis, pencegahan, pengobatan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi (SK Menkes No. 47/MenKes/SK/11/1981).
Pengembangan produk obat (drug product development), dan sediaan
farmasi lainnya patut dicermati, baik dari aspek kemaslahatannya maupun
dari kebolehan penggunaannya ditinjau dari syariat Islam. Salah satunya
adalah memperhatikan status kehalalan sediaan farmasi tersebut. Walaupun
istilah boleh atau tidak boleh, dengan perkataan lain (halal-haram) berlaku
pula untuk bentuk-bentuk aktivitas dan pemikiran yang dilakukan
seseorang.

Makanan, minuman, dan farmasi produk (obat-obatan dan


kosmetik) adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Dalam pemberitaan
media di tanah air ditemukannya kasus ayam tiren, dendeng babi, bakso
borak dan berformalin, tentu sangat meresahkan. Konsumen dituntut
ekstra teliti ketika membeli dan mengkonsumsi. Selain itu, ditemukan
sejumlah kosmetik berbahaya bagi kesehatan MUI menyatakan bahwa
sebanyak 54 persen makanan yang beredar di pasaran ternyata tidak aman
[ CITATION Rah13 \l 1033 ].

Ketentuan yang berlaku di Malaysia untuk produk obat-obatan


sebagaimana dalam Malaysian Standard MS 2424:2012, dimana perusahaan
farmasi diwajibkan mematuhi aspek-aspek hukum syariah untuk obat-
obatan sebagai berikut [ CITATION Mal12 \l 1033 ] :

4
1. Obat-obatan tidak boleh mengandung bagian atau produk hewan yang
tidak halal atau tidak disembelih sesuai ketentuan Islam.
2. Obat-obatan tidak boleh mengandung najis.
3. Obat-obatan harus aman untuk digunakan manusia, yakni tidak
beracun, tidak memabukkan atau tidak berbahaya bagi kesehatan sesuai
dosis yang ditentukan.
4. Obat-obatan tidak dapat dibuat, diproses atau diproduksi menggunakan
peralatan yang terkontaminasi dengan najis.
5. Obat-obatan tidak boleh mengandung bagian manusia atau derivatnya
yang tidak halal.
6. Selama persiapan, pengolahan, penanganan, pengemasan, penyimpanan
dan distribusi, mereka harus dipisahkan secara fisik dari produk tidak
halal dan najis.

Untuk memenuhi ketentuan tersebut industri farmasi diharuskan


menerapkan Cara Produksi Obat yang Baik untuk Obat-Obatan Halal (Good
Manufacturing Practices (GMPs) for Halal Pharmaceuticals).

Berdasarkan ketentuan dalam Al-Qur’an dan Hadist bahwa bahan


haram diluar babi adalah organ manusia (bahan dari rambut, plasenta, essen
dari embrio), bangkai hewan (mati tidak disembelih, dipukul, tercekik,
disembelih tidak secara Islam), binatang buas (srigala, harimau. singa,
burung buas, dan lain-lain), darah, khamar (minumam yang difermentasi
mengandung alkohol). Pelarangan memakan darah dan bangkai terdapat
pada Surat Al Baqarah ayat 173 dan Surat Al Maidah ayat 3. Sedangkan
pelarangan minum khamar terdapat dalam Surat Al Maidah ayat 90-91,
pelarangan memakan dan memakai organ manusia terdapat pada Surat Bani
Israil ayat 70. Ketentuan melarang memakan binatang buas terdapat pada
Hadist.

Masalah halal dan haram bukan hanya merupakan isu yang sensitif di
Indonesia, tetapi juga selalu mengusik keyakinan umat Islam di seluruh
dunia. Umat Islam di seluruh dunia amat berkepentingan atas jaminan halal
tidak saja terhadap produk pangan, obat-obatan dan kosmetika, namun juga

5
terhadap proses produksi serta rekayasa genetik. Sebagai contoh, hal yang
juga dapat menentukan kehalalan proses produksi obat terkait dengan
penambahan bahan-bahan farmasetik, yakni bahan tambahan (bukan obat)
yang diracik bersama obat membentuk produk farmasetik. Bahan-bahan
tersebut bisa berupa substansi pembasah, bufer, pengemulsi, pewarna,
perasa, pemanis, pengisi tablet, pelarut, bahan enkapsulasi, dan lain-lain.
Bahan-bahan ini bisa saja berasal dari bahan mentah atau proses produksi
yang membuatnya menjadi haram. Bahan kapsul yang terbuat dari gelatin
sebagai contoh, tergolong sebagai bahan yang kritis status kehalalannya,
sementara masih terdapat gelatin yang berasal dari babi [ CITATION Ran15 \l
1033 ]. Apalagi saat ini bahan-bahan yang digunakan untuk produksi obat
dan kosmetika masih banyak yang harus didatangkan dari luar negeri.

Sebagai tambahan bahwa gelatin merupakan salah satu bahan baku


yang banyak digunakan dalam produk makanan, obat-obatan dan kosmetik.
Penggunaannya pada obat-obatan yakni bahan untuk kapsul gelatin lunak
dan keras, pil dan tablet bersalut gula, pengganti serum, vitamin
enkapsulasi, substansi polimer untuk system penghataran obat (drug
delivery system) terutama pada sediaan obat lepas lambat. Sedangkan
terhadap produk kosmetik gelatin dapat digunakan untuk pembuatan krim,
masker, dan lotion. Gelatin dapat diekstrak dari tulang, lemak, limbah
daging, lemak dan minyak goreng dari hewan. Ada beberapa jenis gelatin,
dan yang paling disukai adalah yang bersumber dari babi (porcine) dan sapi
(bovine) [ CITATION Sah12 \l 1033 ].

Sebagai contoh yang lain yang bersumber dari babi adalah Heparin
porcine. Heparin berbeda dengan gelatin, dimana gelatin hanya digunakan
untuk tujuan bahan tambahan farmasetik (bukan obat). Heparin sebagai obat
telah digunakan selama lebih dari 50 tahun untuk mengobati dan mencegah
trombosis. Hal ini juga diperlukan untuk sirkulasi ekstrakorporeal selama
hemodialisis atau operasi jantung. Heparin yang memiliki aktivitas
antikoagulan ini masih diperoleh secara eksklusif dari jaringan hewan,
terutama dari usus babi (porcine). Meskipun heparin saat ini telah dapat

6
diperoleh dari jaringan paru-paru sapi (bovine), namun nyaris menimbulkan
penolakan setelah munculnya kasus sapi gila (the bovine spongiform
encephalopathy [ CITATION War03 \l 1033 ]. Selain dua contoh sediaan
farmasi yang telah disebutkan di atas, dalam monograf British
Pharmacopoeia (BP) Edisi 2012 tercamtum 27 sediaan obat menggunakan
bahan dari porcine (babi), baik sebagai bahan aktif maupun sebagai bahan
tambahan farmasetk.

Bahan farmasi yang juga selalu membawa perhatian umat Islam adalah
alkohol, lebih tepat etanol atau etil alkohol. Etanol adalah salah satu yang
paling banyak digunakan pada sediaan cair yang berfungsi sebagai
penstabil. Etanol juga dapat digunakan sebagai pelarut dalam proses
ekstraksi pada produk farmasi. Senyawa alkohol, seperti hidroksil (-OH)
mengandung gugus fungsional, umumnya diperbolehkan dengan kondisi
yang tidak berasal dari khamr (minuman beralkohol yang memabukkan atau
minuman keras). Ketentuan produksi dan kuantitas etanol (etil alkohol) pada
produk akhir (makanan atau obat-obatan) sangat kecil dan tidak akan
memabukkan. (Jumlah yang ditoleransi adalah 0,01 persen pada produk
akhir, dan menjadi ketentuan untuk sertifikasi halal di Malaysia [ CITATION
Has13 \l 1033 ]. Firman Allah SWT, antara lain:

‫س ِّم ْن َع َم ِل ٱلشَّْي ٰطَ ِن‬ ‫ج‬ ِ ُ‫اب وٱأْل َْزمَٰل‬


‫ر‬ ‫َنص‬ ‫أْل‬ ‫ٱ‬‫و‬ ‫ر‬ ِ ‫ٰيَٓأَيُّها ٱلَّ ِذين ءامنُ ٓو ۟ا إِمَّنَا ٱخْل مر وٱلْمي‬
‫س‬
ٌ ْ َ ُ َ َ ُ َْ َ ُ َْ ََ َ َ
‫ٱجتَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم ُت ْفلِ ُحو َن‬
ْ َ‫ف‬
”Hai orang-orang yang beriman Sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah
adalah rijs dan termasuk perbuatan syetan. Maka, jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keuntungan.” (QS.Al-Ma’idah [5]: 90)

Abad ke-21 sering kali disebut sebagai era bioteknologi. Bioteknologi


dapat membawa banyak manfaat, tetapi juga menimbulkan banyak
kekhawatiran bagi masyarakat dan berbagai negara. Organisme yang
dimodifikasi secara genetik (GMOs= Genetically modified organisms)
adalah salah satu buah dari bioteknologi modern. GMO adalah hasil dari

7
manipulasi yang disengaja dari bahan genetik dari suatu organisme-bakteri,
ragi, jamur, tumbuhan dan hewan. Teknik bioteknologi dan proses,
sebagaimana GMO tersebut memberikan kesempatan baru dalam industri
farmasi terutama yang menghasilkan produk biofarmaseutika.

Setidaknya dua keprihatinan utama yang cukup mempengaruhi


konsumen Muslim berkaitan dengan produk biofarmaseutika yakni bahan
dan proses yang digunakan dalam pembuatan produk tersebut. Gen dalam
setiap prosedur dan / atau GMO dalam produksi biofarmaseutika harus
berasal dari sumber halal. Jika gen berasal dari sumber-sumber non-halal
atau meragukan, maka produk biofarmasi tersebut tidak akan cocok untuk
konsumen Muslim. Vektor dan inang untuk ekspresi protein harus divalidasi
bahwa mereka tidak menimbulkan ancaman keracunan atau bersifat
patogen. Selain itu, bahan yang digunakan dalam media pertumbuhan dan
pengolahan hilir berikutnya harus aman dan tanpa haram atau meragukan.
Adapun contoh produk biofarmasetika yakni protein, antibodi monoklonal,
hormon dan enzim [ CITATION Has13 \l 1033 ] . Bentuk-bentuk sediaan yang
banyak dikenal adalah vaksin, insulin, dan beberapa produk rekombinan-
DNA. Tentu saja tidak semua dari contoh-contoh tersebut terkategori haram
baik dari sumbernya maupun dari prosesnya. Karena itu diperlukan kajian
untuk menetapkan kehalalan dan kesuciannya.

Firman Allah SWT yang menjelaskan mengenai mengonsumsi yang


haram, antara lain:

ْ ‫َّم َوحَلْ َم ٱخْلِن ِزي ِر َو َمٓا أ ُِه َّل بِِۦه لِغَرْيِ ٱللَّ ِه ۖ فَ َم ِن‬
‫ٱضطَُّر َغْيَر‬ َ ‫إِمَّنَا َحَّر َم َعلَْي ُك ُم ٱلْ َمْيتَةَ َوٱلد‬
‫يم‬ ِ ‫اغ واَل ع ٍاد فَٓاَل إِمْث علَي ِه ۚ إِ َّن ٱللَّه َغ ُف‬
ٌ ‫ور َّرح‬ ٌ َ َْ َ َ َ ٍ َ‫ب‬
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain
Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang
dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak
ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. Al-Baqarah [2]:173)”

8
B. Labelisasi dan Sertifikasi Untuk Menjamin Kehalalan Produk

Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk dengan


mayoritas beragama Islam, dengan 87,21 persen dari 237.641.326 penduduk
memeluk agama Islam. Hal ini berimplikasi pada konsumsi sediaan farmasi,
khususnya konsumsi obat-obatan. Penggunaan obat dalam upaya
peningkatan kualitas kesehatan tidak cukup sekedar menjamin keamanan,
mutu, dan khasiat, akan tetapi juga harus tersedia jaminan halal [ CITATION
Ach19 \l 14345 ]

Kehalalan suatu produk menjadi kebutuhan wajib bagi setiap


konsumen, terutama konsumen muslim. Dalam system perdagangan
internasional, masalah sertifikasi dan penandaan kehalalan mendapat
perhatian baik [ CITATION May17 \l 14345 ]. Kata halâl berasal dari bahasa
Arab yang berarti “melepaskan” dan “tidak terikat”, secara etimolgis halâl
berarti halhal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat
dengan ketentuan ketentuan yang melarangnya [ CITATION Pan17 \l 14345 ]

Halal dan haram merupakan salah satu persoalan yang relatif sensitif
dalam agama Islam. Halal dan haram dapat dikatakan sebagai substansi
hukum, dan hukum merupakan masalah sentral dalam Islam. Di era
globalisasi dan lebih-lebih era masyarakat ekonomi Asean ini persoalan
halal haram di sebuah negara bukan hanya menjadi kepentingan warga
negara bersangkutan, tetapi juga bagi warga negara asing. Sebabnya adalah
semakin tipisnya batas antar negara dan semakin mudahnya orang asing
masuk ke wilayah negara lain. Maka tidak mengherankan jika sebuah
negara dengan penduduk muslim sebagai minoritas, persoalan halal haram
tetap diperhatikan. Misalnya yang terjadi di Thailand [ CITATION Muh161 \l
14345 ]

Pengaturan penggunaan produk halal di Indonesia, memiliki 2 (dua) hal


yang saling terkait, yaitu sertifikasi dan lebelisasi. Sertifikasi halal adalah
fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai syariat
Islam melalui pemeriksaan yang terperinci oleh LPPOM MUI. Adapun
labelisasi halal adalah perizinan pemasangan kata “Halal” pada kemasan

9
produk dari suatu perusahaan oleh Bandan POM. Izin pencantuman label
halal pada kemasan produk makanan yang dikeluarkan oleh Badan POM
didasarkan rekomendasi MUI dalam bentuk sertifikat halal MUI. Sertifikat
halal MUI dikeluarkan oleh MUI berdasarkan hasil pemeriksanaan LP POM
MUI [ CITATION Pan17 \l 14345 ].

Sertifikasi dan labelisasi halal haruslah memenuhi kaidah syariah yang


ditetapkan dalam penetapan kehalalan suatu produk pangan, dalam hal ini
akan berkaitan dengan kompetensi lembaga yang mengeluarkan sertifikat
standar halal yang digunakan, personil yang terlibat dalam sertifikasi dan
auditing, dan yang kalah pentingnya adalah mekanisme sertifikasi halal itu
sendiri. Dengan demikian diperlukan adanya sesuatu standard sistem yang
dapat menjamin kebenaran hasil sertifikasi halal [ CITATION Mus17 \l 14345 ]

Sertifikasi label halal secara aturan bukanlah hal yang mudah karena
harus melalui prosedur-prosedur atau tahapan tertentu. Sistem Jaminan
Halal (SJH) sendiri mulai diberlakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan,
Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) pada
tahun 2005, sebagai suatu sistem yang menjamin kepada MUI atas
kehalalan produk suatu perusahaan sepanjang masa perusahaan itu
memegang Sertifikat Halal MUI [ CITATION Gin16 \l 14345 ].

Regulasi aturan produk halal telah ada namun tidak dipungkiri masih
belum memasyarakat secara luas, sehingga masyarakat masih bingung untuk
mendapatkan produk yang benar-benar terjamin kehalalannya. Hal ini
karena tidak sedikit produkproduk yang mencamtumkan tanda halal secara
ilegal, pengolahan pangan dan non pangan, status kehalalan dari produk-
produk yang berada di pasaran menjadi sangat rawan, disebabkan proses
pengolahan menjadi sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak serta
pelaku usaha yang lain [ CITATION Mus17 \l 14345 ].

Seiring dengan berkembangnya dunia bisnis, menuntut perusahaan agar


dapat terus berkembang sehingga menghasilkan laba yang optimal serta
dapat mempertahankan kesuksesan perusahaan, namun banyak diantara
mereka yang kurang begitu memperhatikan strandar kualitas atas produk

10
yang diproduksi. Hal ini menjadikan produk yang dihasilkan menjadi
kurang layak konsumsi baik secara standar kesehatan ataupun syariat agama
(halal) [ CITATION Tal17 \l 14345 ].

Saat ini industry farmasis sedang dalam perkembangan yang besar.


Dalam industry obat-obatan maupun kosmetika. Bahan obat dan kosmetika
yang tidak halal karena mengandung zat aktif atau bahan eksipien yang
berstatus tidak halal, seperti babi, alcohol, gelatin, dan lain sebagainya
[CITATION Nor16 \l 14345 ].

Titik-titik kritis haram tersebut yang harus diwaspadai terutama sumber


bahan dasar pembuatan kosmetika, bisa jadi berasal dari hewan atau bagian
organ manusia. Jika bahan dasarnya berasal dari babi atau bagian organ
manusia, maka jelas produk tersebut dinyatakan haram, karena berdasarkan
QS; Al-Baqarah: 173, penggunaan apapun berasal dari babi adalah haram,
danfatwa MUINo.2/MunasVI/MUI/2000, penggunaan kosmetika yang
mengandung atau berasal dari bagian organisme manusia, hukumnya adalah
haram [ CITATION Muc17 \l 14345 ].

Dikarenakan perkemabangan teknologi yang sangat pesat, maka


sertifikasi halal produk diperlukan untuk menjamin kepercayaan konsumen.
Selain itu juga, dapat sebagai permulaan untuk menyongsong pasar halal life
style di Indonesia. Mengingat presentasi penduduk Indonesia yang
beragama muslim sangatlah banyak dibandingkan dengan Negara lain
diharapkan dapat menjadi pusat halal dan menunjang perekonomian Negara.

C. Eksplorasi Bahan Alam Sebagai Alternatif Pengganti Bahan Haram


dalam Produk Farmasi.
1. Penggunaan Bahan Tambah Pangan (BTP) dari bahan alam sebagai
pengganti BTP sintetis
Penggunaan bahan tambah pangan (BTP) khususnya pada golongan
bahan pengawet dan bahan pewarna memiliki kecenderungan meningkat
sejak abad ke-20. Ketersediaannya secara komersil dengan harga yang lebih
relatif murah membuat produsen lebih memilih menggunakan BTP sintetik
dalam proses pengolahan. Penggunaan BTP yang sering digunakan adalah

11
BTP pewarna dan antioksidan sintetik. Hal tersebut disebabkan penambahan
pewarna dapat meningkatkan kesukaan konsumen sehingga mempengaruhi
keputusan dalam memilih produk. Penambahan antioksidan sintetik pada
proses pengolahan makanan dapat menghambat terjadinya oksidasi pada
produk (terutama produk dengan kandungan lemak tinggi) sehingga dapat
memperlama daya simpan. Seiring dengan meningkatnya kesadaran
konsumen akan kesehatan maka kecenderungan untuk memilih produk
pangan fungsional semakin meningkat. Hal tersebut menyebabkan
pengeksplorasian bahan alami dan halal sebagai alternatif pengganti BPT
sintetik makin banyak dikembangkan. Bahan alam yang berupa sayur dan
buah terutama yang memiliki warna mencolok dan mengandung fitokimia
yang dapat berpotensi sebagai BTP pewarna dan antioksidan alami.
Senyawa kimia yang terkandung di dalam tumbuhan merupakan hasil dari
metabolisme itu sendiri. Contoh dari buah dan sayur yang digunakan
sebagai bahan pengganti BPT sintetik yaitu buah naga merah, kulit buah
naga merah, wortel, bit, dan ubi ungu [ CITATION Cah08 \l 1057 ].
2. Halal-haram Produk Farmasi pada Kosmetik dan Obat
a. Alkohol
Menurut data yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2010, total
konsumsi alkohol di seluruh dunia mencapai 6,2 liter per orang dan
lebih dai 3,3 juta orang meninggal karena mengkonsumsi alkohol per
tahunnya. Kuota impor alkohol di Indonesia untuk periode 2014
mencapai 511.246 karton atau setara dengan 4,6 juta liter. Produk
beralkohol yang beredar di tanah air sebanyak 95 % dan dipasok dari
pasar ilegal yang jumlahnya tidak diketahui, belum lagi jika di tambah
dengan produksi produk alkohol dalam negri yang mencapai 7,2 juta
per liter per tahunnya.
Produk beralkohol dapat berupa makanan, minuman, kosmetika,
suplemen, dan obat-obatan. Jika produk tersebut mengandung alkohol
dan menimbulkan efek yang merugikan bagi penggunanya, maka yang
membahayakan seperti ini menjadi penyebab diharamkannya dalam
Islam.

12
b. Polisakarida sebagai material pengganti gelatin.
Penggunaan gelatin dari kulit sapi sempat dikhawtirkan karena
dapat menyebabkan penyakit. Gelatin sapi memiliki resiko
kontaminasi beberapa virus diantaranya foot and mouth disease
(FMD), bovine spongiform encephalophaty (BSE), dan swine influeza.
Sehingga gelatin lebih banyak di produksi dengan menggunakan bahan
dasar babi. Penggunaan derivat babi lebih banyak digunakan dalam
dunia farmasi untuk mengurangi biaya produksi. Kulit babi juga
mudah didapatkan serta memiliki harga uang lebih murah daripada
sapi. Selain itu babi memiliki jaringan ikat yang tidak terlalu kuat
seperti sapi sehingga proses hidrolisis tidak memerlukan bahan yang
terlalu banyak[ CITATION DIS18 \l 1057 ].
Faktor teknis dan ekonomis menyebabkan gelatin babi lebih
berkembang daripada gelatin yang lain. Namun hal ini menjadi
masalah tersendiri bagi kaum muslim yang melarang untuk
mengkonsumsi segala macam produk yang di dalamnya terkandung
bahan haram. Seperti produk obatobatan yang telah tercampur dengan
bahan haram atau najis seperti babi atau alkohol serta bahan dasar dari
hewan yang proses penyembelihannya tidak sesuai syariat islam. Maka
dari itu, para peneliti sudah mulai banyak meneliti sumber bahan baku
yang bersifat higienis, halal, dan dapat diterima oleh orang muslim.
Alternatif material tersebut dapat diperoleh dari polisakarida yang
merupakan polimer alam. Ketersedian polisakarida sangat melimpah
seperti yang terkandung dalam tanaman maupun produk polisakarida
yang dihasilkan dari bakteri. Material polisakarida sebagai pengganti
gelatin yang halal juga bisa dipastikan kehalalannya sehingga umat
muslim tidak akan merasa khawatir terhadap obat-obatan yang mereka
konsumsi Gelatin bisa bersumber dari hewan maupun tumbuhan. Jika
bahan dasar gelatin yang digunakan sebagai bahan dasar hewani, maka
hewan tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan sesuai syariah
islam. Hewan tersebut bukanlah hewan non halal yang tidak boleh
dikonsumsi umat muslim yaitu :

13
a) Babi dan anjing
b) Hewan yang disembelih tidak dengan menyebut nama Allah
dan tidak sesuai dengan syariat Islam.
c) Bangkai
d) Darah
e) Hewan yang bertaring atau memiliki cakar tajam atau memiliki
bisa atau sengat.
f) Hewan yang menjijikan
g) Hewan yang dilarang dibunuh dalam Islam.
h) Keledai jinak
i) Hewan halal yang diberi makan tidak halal secara terus
menerus
j) Hewan yang mati karena dicekik, dipukul, atau jatuh
k) Daging yang diambil dari hewan yang masih hidup
l) Hewan yang hidup di dua alam.

Apabila gelatin diproduksi dari bahan dasar tumbuhan maka produk


tersebut bisa dikategorikan halal kecuali jika berasal dari tumbuhan yang
memabukkan dan beracun. Dan jika berasal dari hewan air seperti ikan
maka juga halal kecuali hewan air yang bertaring dan beracun
(Satiawihardja, 2012).

Salah satu bahan yang telah banyak digunakan sebagai alternatif gelatin
adalah polisakarida. Beberapa polimer dari polisakarida yang dapat
digunakan sebagai pengganti material gelatin diantaranya seperti
carrageenan, xanthan gum, maltodekstrin, alginate, chitosan, gellan gum,
dan guar gum[ CITATION NSu15 \l 1057 ] .

Karagenan merupakan polisakarida yang diekstrak dari rumput laut


merah kelas Rhodophyceae yaitu spesies Eucheuma cottonii. Polisakarida
yang berasal dari tanaman lebih murah daripada yang berasal dari mikroba.
Ketersediaan rumput laut merah di alam sangat melimpah. Produksi rumput
laut merah pada tahun 2000 sekitar 27.000 ton/tahun dan mengalami
peningkatan menjadi 85.000 ton/tahun pada tahun 2009. Menurut penelitian

14
Suptijah (2012), karagenan dapat digunakan sebagai bahan baku material
cangkang kapsul keras berbasis polisakarida. Karagenan memiliki kadar air
18,38%; abu 17,58%; sulfat 17,90%; dan viskositas 124 cp. Ketersediaan
yang melimpah dan kehalalan yang terjamin diharapkan dapat diproduksi
secara komersial sebagai pengganti gelatin babi yang masih mendominasi di
dunia farmasi [ CITATION PSu15 \l 1057 ].

Material polisakarida lain yang dapat digunakan sebagai alternatif


gelatin yaitu pati-alginat. Alginat merupakan polisakarida yang diekstraksi
dari rumput laut coklat (Sargassum sp.). Sedangkan pati adalah karbohidrat
yang bisa diperoleh dari singkong, kentang, jagung, maupun umbi-umbian.
Menurut penelitian, kapsul pati-alginat memiliki hasil porositas yang
menurun seiring meningkatnya pati yang ditambahkan dan memiliki
swelling yang stabil daripada alginat saja. Oleh karena itu pati-alginat
berpotensi digunakan sebagai drug delivery system dengan pelepasan
terkontrol [ CITATION HHe10 \l 1057 ].

Xanthan gum berpotensi menjadi material polisakarida lain yang dapat


digunakan sebagai alternatif gelatin. Xanthan gum merupakan salah satu
produk bioaktif bakteri yang berasal dari exopolysaccharide bakteri
Xanthomonas campestris. Xanthan gum dihasilkan melalui proses
fermentasi mikroba Xanthomonas campestris yang merombak glukosa
menjadi suatu produk berupa polimer asam unit pentasakarida berulang
yang memiliki dua unit glukosa, dua unit mannose dan satu unit asam
glukuronat dengan perbandingan 2,8: 2,0: 2,0. Polisakarida yang berasal
dari mikroba memiliki kualitas produk yang lebih baik dari tanaman.
Viskositas xanthan gum konstan dari suhu 0C sampai 100C. Xanthan gum
memberikan hasil positif sebagai media drug delivery system dan berfungsi
sebagai emulsifier, suspending agent, buccal drug delivery system,
hydrogel, dan sustained release agent [ CITATION PWi17 \l 1057 ][CITATION
Placeholder1 \l 1057 ].

3. Kosmetika halal-haram

15
Zat pembuat kosmetika yang mejadi titik kritis haram adalah pertama,
zat aktif dari produk kosmetik tersebut, misalnya, kolagen dan elastin.
Kolagen dan elastin berfungsi untuk menambah elatisitas kulit, biasanya
terdapat dalam krim atau lotion. Kolagen berasal dari tulang hewan, jika
kolagennya berasal dari hewan yang disembelih secara islam, tentu tidak
masalah kehalalannya. Namun, yang menjadi masalah justru sumbernya
yang tidak jelas, sehingga membuat produk ini menjadi syubhat. Kedua,
zat-zat penstabil sebagai bahan dasar. Lipstik, deodorant, eye shadow
berbahan dasar (basis) garam-garam asam lemak, seperti lauril palmitat,
gliseril monostearat. Garam asam lemak ini kemungkinan besar didapat
dari hewan. Bahan penstabil tersebut harus halal sumbernya dan cara
penyembelihan atau pengolahan. Ketiga, asam lemak esensial. Beberapa
jenis asam lemak yang sering digunakan adalah asam linolenat, asam
linoleat dan asam arakidonat sebagai antioksidan. Asam-asam lemak
tersebut banyak digunakan dalam kosmetika khususnya untuk perawatan
kulit. Yang perlu diwaspadai adalah sumber asam lemak apakah dari
hewan yang halal dan disembelih dengan cara islami juga bahan penstabil
yang digunakan karena asam-asam lemak tersebut adalah golongan yang
yang mudah teroksidasi atau tidak stabil sehingga membutuhkan bahan
penstabil ketika digunakan. Keempat, hormon dan ekstrak kelenjar.
Hormon dan ekstrak kelenjar alami yang sedang naik popularitasnya saat
ini adalah ekstrak plasenta. Dalam kamus Ingredient Cosmetic, dinyatakan
bahwa ekstrak plasenta adalah ekstrak yang berasal dari plasenta bayi yang
baru lahir atau kita kenal sebagai tali puser atau ari-ari yang secara
tradisional sering dikubur agar tidak digunakan untuk kepentingan yang
melanggar agama. Namun, masih dalam kamus yang sama plasenta
protein, plasenta enzim dan plasenta lipid adalah zat yang diambil dari
plasenta hewan, seperti plasenta kambing, sapi dan babi [ CITATION
Muc17 \l 1057 ].

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai ummat muslim, kita harus memperhatikan setiap produk
yang kita gunakan khususnya dalam makanan, obat-obatan, dan
kosmetika. Upaya edukasi produk halal, sehat dan berkualitas di
masyarakat mendesak dilakukan, sebagai upaya penguatan hak-hak
konsumen. Gagasan perlindungan konsumen dapat disampaikan secara
luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen,
seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan, dan publikasi media
konsumen.

17
Daftar Pustaka
2424:2012, M. S. (2012). Halal pharmaceuticals – General guidelines. Malaysia:
Department of Standards Malaysia.

Aminuddin, M. Z. (2016). Sertifikasi Produk Halal: Studi Perbandingan Indonesia


dan Thailand. Shahih vol1, no 1.

Astrila, G. (2016). PENGARUH TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG


PESAN HALAL TERHADAP TINGKAT KEPERCAYAAN PADA
PRODUK KOSMETIK (. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Atma Jaya .

Cahyadi, W. (2008). Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambah Pangan.


Jakarta: Bumi Aksara.

Charity, M. L. (2017). JAMINAN PRODUK HALAL DI INDONESIA ( HALAL


PRODUCTS GUARANTEE IN INDONESIA). Jurnal legislasi indonesia
vol 14 no 1.

Fatmawati, T. R. (2017). Pengaruh Keyakinan Religius, Peran Sertifikasi Halal,


paparan informasi, dan alasan kesehatan terhadap kesadaran masyarakat
pada produk halal. Vol 8, No 1.

Hashim, Y. e. (2013). Halal: all that you need to know. INHART, IIUM
Publication Vol 1.

Hastuti, D. S. (2018). Pengenalan dan Proses Pembuatan Gelatin. Journal of


Halal Product and Research Vol. 01 No. 02.

Herawati, H. (2010). Potensi Pengembangan Produk Pati Tahan Cerna sebagai


Pangan Fungsional. Jurnal Litbang Pertanian.

Ilyas, M. (2017). Sertifikasi dan Labelisasi Produk Halal Perspektif Maslahat . Al


- Qad{a>u Volume 4 Nomor 2.

Maulida, R. (2013). Urgensi Regulasi dan Edukasi Produk Halal Bagi Konsumen.
Jurnal Kajian Hukum dan Sosial vol.10 no.2, 14-32.

18
Muchtaridi. (2017). Kosmetika Halal atau Haram Beserta Sertifikasinya. Jurnal
Farmasetika.

Muchtaridi. (2017). KosmetikaHalal atau Haram serta Sertifikasinya. Majalah


Farmasetika, Vol. 2No.1.

Putra, P. A. (2017). KEDUDUKAN SERTIFIKASI HALAL DALAM SISTEM


HUKUM NASIONAL SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN
KONSUMEN DALAM HUKUM ISLAM . Jurnal Ekonomi dan
Keuangan Syariah Vol.1 No. 1 .

Putriana, N. A. (2016). Apakah Obatyang Kita Konsumsi Saat Ini Sudah halal?
Majalah Farmasetika,Vol.1No.4.

Ranasasmita, R. R. (2015). Kehalalan Produk Obat-Obatan, Terutama Obat


Herbal. Proseding Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XIV.

Sahilah, A. e. (2012). Halal market surveillance of soft and hard gel capsules in
pharmaceutical products using PCR and southern-hybridization on the
biochip analysis. International Food Research Journal vol.19 no.1, 371-
375.

Suptijah, P. (2015). Aplikasi Karegenan sebagai Cangkang Kapsul Keras


Alternatif Pengganti Kapsul Gelatin. Jakarta: JPHPI.

Suryani, N. (2015). Modifikasi Pati Singkong (Mahinot esculenta) dengan Enzim


Alfa Amilase sebagai Agen Pembuih serta Aplikasinya pada Proses
Pembuatan Marshmallow. Jurnal Pangan dan Agroindustri.

Syahrir, A. (2019). PERILAKU APOTEKER TERHADAP LABELISASI


HALAL PADA SEDIAAN FARMASI . Journal of Halal Product and
Research .

Warda, M. e. (2003). Isolation and characterization of raw heparin from


dromedary estine: evaluation of a new source of pharmaceutical heparin.
Comparative Biochemistry and Physiology Part C 136, 357–365.

19
Wicita, P. (2017). Aplikasi Xanthan Gum dalam Sistem Penghataran Obat. Jurnal
Farmaka.

20

Anda mungkin juga menyukai