Anda di halaman 1dari 17

ALOPESIA AREATA

Sebuah Penilaian dari Pendekatan Pengobatan Baru dan


Tinjauan dari Terapi Terkini

Lauren C. Strazzulla, BA., Eddy Hsi Chun Wang, PhD., Lorena Avila, MD., Kristen Lo Sicco, MD.,
Nooshin Brinster, MD., Angela M. Christiano, PhD., dan Jerry Saphiro, MD

Banyak terapi yang tersedia untuk pengobatan alopesia areata, termasuk modalitas
topikal, sistemik, dan injeksi. Namun, metode pengobatan tersebut menghasilkan hasil
klinis yang bervariasi dan tidak ada pengobatan terbaru yang menginduksi dan
mempertahankan remisi. Ketika membuat keputusan manajemen, klinisi pertama kali
harus menstratifikasi pasien menjadi populasi pediatrik versus dewasa. Keparahan
penyakit kemudian harus ditentukan (terbatas atau ekstensif) sebelum memutuskan
rangkaian terapi. Artikel kedua dalam rangkaian edukasi medis berkelanjutan ini
menjelaskan bukti yang mendukung metode pengobatan baru, diantaranya adalah Janus
kinase inhibitor. Kami mengevaluasi bukti mengenai efikasi, efek samping, dan
durabilitas medikasi tersebut. Sebuah tinjauan dari terapi konvesional juga disediakan
dengan sudut pandang baru yang dikumpulkan dari penelitian-penelitian terbaru.
Akhirnya, juga akan disajikan pilihan terapeutik akan datang yang menjanjikan yang
belum dievaluasi sepenuhnya.

Kata kunci: alopesia areata; alopesia totalis; alopesia universalis; kortikosteroid; JAK
inhibitor; minoxidil; imunoterapi topikal
PENDEKATAN TERHADAP PENGOBATAN

Poin kunci

 Alopesia areata tidak dapat diprediksi, dan tidak ada pengobatan yang
tepat untuk sekelompok pasien selain remisi spontan sebanyak 8% hingga
68% berdasarkan keparahan penyakit
 Banyaknya rambut rontok dan usia pasien merupakan faktor-faktor yang
paling penting untuk dipertimbangkan ketika menentukan pendekatan
manajemen
 Pasien harus diedukasi mengenai teknik rambut palsa dan kamuflase

Beberapa metode pengobatan telah dievaluasi dalam penelitian-penelitian kontrol acak


untuk menentukan modalitas yang paling ampuh untuk menangani alopesia areata (AA),
dan menjadikannya menantang bagi klinisi untuk memandu pasien mengenai pilihan
terapeutik terbaik. Namun, banyaknya rambut rontok dan usia pasien merupakan faktor-
faktor yang paling penting dalam mempengaruhi pendekatan pengobatan (Gambar 1).
Faktor-faktor lain yang harus dipertimbangkan meliputi biaya, ketaatan pasien, dan
derajat dampak psikososial akibat rambut rontok terhadap pasien. Pasien harus dirujuk
ke National Alopecia Areata Foundation (www.naaf.org), yang menyediakan advis,
dukungan, kesempatan untuk berpartisipasi dalam penelitian termasuk penelitian klinis,
dan pilihan untuk membeli produk, seperti rambut palsu, syal, dan topi.

Penting untuk dicatat bahwa pada beberapa keadaan lebih baik AA tidak ditangani
secara medis, jika sesuai dengan permintaan pasien; namun, sebagian besar yang
mencari perawatan dermatologis menginginkan intervensi terapeutik. Konseling pasien
mengenai kemungkinan remisi spontan dapat membantu mereka membuat keputusan
dalam pengobatan. Angka remisi spontan berkisar dari hampir 8% untuk penyakit
ekstensif (melibatkan >50% kulit kepala) hingga 68% untuk alopesia yang terbatas
(melibatkan <25% kulit kepala).
Pasien harus diberitahu mengenai produk yang tersedia untuk menyembunyikan rambut
rontok. Individu dengan rambut rontok >50% bisa meminta dibuatkan prostesis kulit
kepala. Hal tersebut dapat dibeli langsung atau disesuaikan dengan permintaan individu,
yang memerlukan waktu beberapa minggu. Rambut palsu bervariasi dari cakupan
parsial hingga penuh dan dapat dibuat dari rambut manusia atau serat sintetik. Secara
umum, wig yang dibuat dari rambut manusia lebih mahal dan tidak begitu tahan.
Pendekatan lainnya adalah meminimalisir tampilan rambut rontok meliputi tambahan
rambut semipermanan yang dapat diikatkan, di lem, atau dijahit ke rambut yang sudah
ada dan dapat dipakai hingga lebih dari 8 minggu (Gambar 2). Pasien dengan alis yang
rontok dapat mempertimbangkan menggunakan alis buatan yang di lemkan ke tepi
orbital superior. Secara alternatif, pasien dapat memilih untuk dilakukan pembuatan
tatto semipermanen manual dengan pisau mikro untuk membuat tampilan rambut alis.
KOSTIKOSTEROID INTRALESI

Poin kunci

 Kortikosteroid intralesi dipertimbangkan sebagai metode pengobatan lini


pertama untuk penyakit yang terbatas, dan dapat digunakan sebagai terapi
tambahan pada penyakit yang ekstensif
 Pasien harus di monitor untuk kejadian efek samping, termasuk atrofi
kulit, yang memerlukan modifikasi dosis atau penghentian pengobatan

Kortikosteroid intralesi, biasanya triamcinolone acetonide (TAC), merupakan kriteria


standar untuk mengobatan AA plakat yang terbatas dan untuk area yang sensitif, seperti
alis. Tan et al melaporkan bahwa 82.1% dari 128 pasien dengan AA terbatas
menunjukkan perbaikan >50% dengan injeksi TAC intralesi selama 12 minggu. Pasien
dengan AA sedang hingga berat memiliki hasil yang lebih buruk, dengan 25% hingga
50% mengalami pertumbuhan kembali setelah 6 bulan. Tinjauan retrospektif lainnya
dari 10 pasien dengan keterlibatan >50% kulit kepala yang diterapi dengan injeksi TAC
menunjukkan yang memiliki respon lebih baik adalah pasien yang berusia lebih muda
(usia 33 vs 53 tahun) dan yang memiliki durasi AA yang lebih pendek (2.5 vs 16.7
tahun). Satu temuan yang menarik adalah bahwa pada kelompok responder 5 dari 6
pasien memiliki tes tarik positif, sedangkan 4 dari 6 pasien memiliki rambut tanda seru
pada pemeriksaan. Karena tes tarik dan rambut yang menyerupai tanda seru dapat
dianggap sebagai indikator inflamasi, hal ini menunjukkan bahwa pasien dengan bukti
klinis adanya inflamasi aktif merupakan kandidat yang lebih baik untuk dilakukannya
TAC intralesi.

Baru-baru ini dilaporkan bahwa 2.5 mg/mL TAC menghasilkan manfaat yang sama
dengan 5 atau 10 mg/mL pada pasien dengan plakat AA. Sehingga, penulis
menganjurkan penggunaan TAC dosis rendah pada volume yang lebih tinggi untuk kulit
kepala (2.5 mg/mL, total volume 8 mL) dan dosis yang sama untuk alis dengan volume
≤0.5 mL pada masing-masing alis. Penghentian terapi dapat dipertimbangkan jika
pasien gagal berespon dalam 3 hingga 6 bulan. Meskipun steroid intralesi sebagai
monoterapi bisa jadi tidak adekuat untuk AA yang ekstensif, berdasarkan pengalaman
penulis, pengobatan ini dapat digunakan sebagai terapi tambahan untuk pengobatan
sistemik dan dapat mempercepat efek kortikosteroid oral dan respon terhadap Janus
kinase (JAK) inhibitor. Efek samping meliputi atrofi kulit pada daerah injeksi, yang
biasanya sembuh setelah beberapa bulan. Hal ini dapat dihindari jika diinjeksikan
kortikosteroid dengan volume yang lebih rendah atau diinjeksikan dibawah tautan
dermoepidermal. Harus berhati-hati dengan injeksi di dekat mata, seperti di alis, karena
terdapat risiko kecil terjadinya peningkatan tekanan intraokular, glaukoma dan katarak.

KORTIKOSTEROID TOPIKAL

Poin kunci

 Kortikosteroid topikal dapat digunakan sendiri atau sebagai tambahan


dengan pengobatan lainnya, termasuk kortikosteroid intralesi
 Pasien pediatrik mungkin lebih dianjurkan diberikan kortikosteroid
topikal dibandingkan dengan injeksi

Kortikosteroid yang diberikan secara topikal lebih memberikan manfaat pada AA,
terutama pada pasien dengan penyakit yang terbatas, meskipun hasilnya mungkin lebih
inferior dibandingakn dengan terapi intralesi. Bukti dari penelitian kulit kepala terpisah
telah mengonfirmasikan bahwa pertumbuhan kembali berasal dari efek medikasi lokal
dan bukan sistemik. Pada 54 pasien dengan plakat AA yang mengaplikasikan
desoximetason 0.25% atau plasebo dua kali sehari selama 12 minggu, pertumbuhan
kembali komplit yang lebih tinggi diperoleh pada kelompok yang diobati dengan
kortikosteroid (57.5% vs 39.3%) namun, perbedaan antara kedua kelompok tidak
signifikan secara statistik. Dari pasien yang tidak mencapat pertumbuhan kembali
komplit, 19 memilih pengobatan dengan TAC intralesi, dan hanya 14 pasien yang
tersedia saat follow-up, 13 dari pasien tersebut mencapai pertumbuhan kembali komplit
dalam 1 hingga 3 bulan. Faktanya, angka respon terhadap TAC intralesi dalam
penelitian ini secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan krim desoximatasone
(P=.03). Penelitian lain juga telah menunjukkan angka repson hampir 60% terhadap
kortikosteroid topikal. Hasil dari sebuah penelitian dengan sebagian besar populasi
pediatrik (19/28) menunjukkan bahwa pasien yang berusia <10 tahun dan dengan durasi
AA <1 tahun cenderung lebih sering berespon dengan pengobatan menggunakan
kortikosteroid topikal (krim fluocinolone acetonide 0.2%).

Kami khususnya merekomendasikan busa clobetasol propionate 0.05%, sebuah steroid


superpoten. Namun, pada anak yang berusia <10 tahun, mometasone yang tidak terlalu
poten lebih umum digunakan (Gambar 3). Di klinik kami, kami telah mencatat bahwa
pengobatan ini dapat menjadi monoterapi yang efektif untuk alopesia plakat terutama
pada pasien pediatrik yang tidak mampu mentoleransi injeksi. Busa clobetasol
propionate tanpa oklusi dianggap lebih dapat diterima secara kosmetik dan lebih
nyaman untuk pasien dibandingkan formulasi lainnya. Metode pengobatan ini
dievaluasi pada 34 pasien dengan AA sedang hingga berat yang diikutsertakan dalam
sebuah penelitian kontrol acak double-blind plasebo selama 24 minggu. Setelah 12
minggu, pertumbuhan rambut yang lebih besar tercatat pada 89% kulit kepala yang
diterapi dengan busa clobetasol dibandingkan 11% kulit kepala yang diterapi dengan
plasebo. Efek samping kortikosteroid topikal meliputi rasa gatal yang ringan, rasa
terbakar, erupsi acneiform pada wajah (lebih sering terjadi pada preparat salep
dibandingkan busa), striae, telangiektasia, dan atrofi kulit.
MINOXIDIL

Poin kunci

 Busa atau larutan minoxidil 5% dapat digunakan sebagai terapi tambahan


untuk alopesia areata

Sebagai monoterapi untuk AA, minoxidil bisa jadi tidak cukup untuk menimbulkan
pertumbuhan kembali rambut secara komplit. Namun, beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa ia menstimulasi pertumbuhan rambut pada pasien AA, meskipun
jarang terjadi pada pasien dengan bentuk penyakit yang berat. Contohnya, sebuah
penelitian jangka panjang dari 30 pasien mengevaluasi efikasi minoxidil 3% dua kali
sehari dibandingkan plasebi selama 12 minggu kemudian diikuti dengan 52 minggu
pengoatan minoxidil. Pada minggu ke-12, kelompok yang diterapi memiliki
pertumbuhan yang sedikit lebih banyakn dibandingkan kelompok plasebo, namun hasil
tersebut gagal mencapai signifikansi statistik. Pada minggu ke 64, hasilnya tampak
berhubungan dengan derajat rambut rontok awal. Pasien dengan rambut rontok yang
penuh pada awal penelitian, semuanya menunjukkan tidak ada atau hanya sedikit
mengalami pertumbuhan rambut, sedangkan 20 pasien dengan keterlibatan sebagian
kulit kepala, 45% mengalami pertumbuhan rambut yang cukup secara kosmetik.
Penelitian lainnya mengevaluasi larutan minoxidil 3% dalam sebuah protokol kontrol
double-blind plasebo selama 1 tahun yang menyertakan 19 subyek dengan AA ekstensif
(melibatkan >50% kulit kepala). Pada kelompok minoxidil, 63.6% pasien mengalami
peningkatan pertumbuhan rambut dibandingkan 35.7% pasien yang diterapi dengan
plasebo. Penelitian ini menemukan bahwa pada pasien yang diterapi dengan minoxidil
pada salah satu sisi kulit kepala, rambut tumbuh pada kedua sisi namun tumbuh lebih
cepat dan padat pada sisi yang diterapi. Akhirnya, minoxidil dapat membantu mengatur
pertumbuhan rambut yang distimulasi oleh pengobatan lainnya. Olsen et al menemukan
bahwa pada pasien yang diterapi dengan prednison, dan juga menggunakan minoxidil
topikal 2% (3 kali sehari) selama ≥6 minggu menghasilkan pertumbuhan rambut yang
lebih sering dibandingkan dengan yang diterapi menggunakan plasebo. Penulis
merekomendasikan minoxidil 5% sebagai lawan konsentrasi yang lebih rendah karena
konsentrasi yang lebih tinggi dilaporkan lebih efektif, meskipun terdapat peningkatan
kemungkinan pertumbuhan rambut yang tidak diinginkan pada bagian tubuh lainnya
dibandingkan konsentrasi yang lebih rendah.

Secara kolektif, hasil tersebut menunjukkan bahwa minoxidil topikal dapat memberikan
beberapa manfaat pada pasien dengan AA, meskipun tidak dapat mengubah rangkaian
penyakit atau menginduksi remisi. Medikasi ini mudah digunakan, dan efek sampingnya
biasanya ringan, meliputi rasa gatal dan dermatitis pada kulit kepala. Sangat jarang
terjadi, sekitar 2% hingga 5% pasien mengalami perumbuhan rambut vellus pada bagian
tubuh yang lain (Gambar 4), dan sangat jarang terjadi takikardia.
KORTIKOSTEROID ORAL

Poin kunci

 Rangkaian pendek (6 minggu) kortikosteroid oral seringkali cukup untuk


menstimulasi pertumbuhan kembali rambutl namun profil efek
sampingnya menghalangi penggunaan jangka panjang dan kemungkinan
terjadinya relaps yang signifikan

Kortikosteroid sistemik digunakan secara luas pada penyakit autoimun dan telah
menunjukkan manfaat yang signifikan pada sebagian besar varian klinis AA, dengan
penurunan efikasi pada ofiasis dan tipe alopesia universalis (AU). Dalam sebuah
penelitian dengan 32 pasien yang menyelesaikan sedikitnya 6 minggu rangkaian
prednison pada dosis <0.8 mg/kg, 47% menunjukkan >25% pertumbuhan kembali,
sedankan 25% pasien mengalami >75% pertumbuhan kembali. Tercatat, 50% dari
pasien tersebut mengalami alopesia totalis (AT) atau AU. Penelitian ini menunjukkan
bahwa rangkaian pendek steroid seringkali cukup untuk mengobati AA (Gambar 5),
meskipun penelitian lainnya menjelaskan pasien yang diterapi selama 3 hingga 5 bulan,
dan dengan dosis 20 hingga 30 mg/hari memiliki hasil yang serupa. Namun, respon
terhadap steroid biasanya tidak tahan lama, dan banyak pasien akan mengalami relaps
dalam 4 hingga 9 minggu setelah menghentikan steroid. Efek samping steroid secara
umum menghalanginya dari penggunaan jangka panjang. Hal tersebut meliputi supresi
aksis hipofisis-adrenal, efek pada pertumbuhan atau integritas tulang, perubahan okular,
dan perburukan hipertensi atau diabetes.

METHOTREXATE

Poin kunci

 Methotrexate bisa jadi efektif untuk pasien yang gagal dengan terapi
standar

Pengobatan AA yang berhasil dengan methotrexate telah dilaporkan baik pada populasi
dewasa maupun pediatrik. Chartaux dan Joly menjelaskan 33 pasien dengan AT atau
AU (rata-rata durasi penyakit, 7.7 tahun) yang gagal dengan terapi standar dan
ditemukan bahwa methotrexate (15-25 mg) saja atau dalam kombinasi dengan
kortikosteroid oral (prednison 10-20 mg/hari) menghasilkan pertumbuhan rambut
kembali komplit pada 63% pasien pada terapi kombinasi dan 57% pada kelompok yang
diterapi dengan methotrexate saja. Penelitian lainnya oleh Royer et al memeriksa 14
anak dengan AA berat yang gagal berespon terhadap pengobatan konvensional. Pasien
tersebut diterapi menggunakan methotrexate dengan dosis rata-rata 18.9 mg (rentang,
15-25 mg), dan 8 dari 14 pasien juga mendapatkan kortikosteroid oral. Dari 13 anak
yang tersedia untuk dilakukan penilaian, 5 mengalami keberhasilan respon dengan
pertumbuhan rambut kembali sebesar >50% (4 darinya juga diterapi dengan
kortikosteroid jangka pendek) dan mulai menunjukkan respon setelah hampir 4.4 bulan.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa methotrexate dapat menjadi pilihan pengobatan
yang viabel untuk AA yang refrakter dan berat.

IMUNOTERAPI TOPIKAL

Poin kunci

 Difenilsiklopropenon memiliki angka keberhasilan hampir 60% hingga


70% dan merupakan pilihan untuk pengobatan pasien dengan penyakit
yang ekstensif (melibatkan >50% kulit kepala)
 Pasien yang tidak berespon terhadap difenilsiklopropenon dapat ditangani
dengan asam skuarat dibutilester

Imunoterapi topikal, termasuk asam skuarat dibutilester (SADBE) dan


difenilsiklopropenon (DPCP), menyebabkan dermatitis kontak alergi dan melalui
mekanisme yang belum dipahami sepenuhnya dapat menyebabkan kompetisi antigenik,
mengubah lingkungan sel imun disekitar folikel rambut. Terdapat bukti yang
mendukung penggunaannya untuk AA ekstensif, bahkan untuk pasien pediatrik yang
berusia >10 tahun (Gambar 6). Pasien yang akan diberikan terapi DPCP pertama kali
harus disensitisasi menggunakan DPCP 2% dalam area sirkular berdiameter 4 cm.
DPCP harus diperoleh dari farmasi yang lazim dengan menggabungkannya ke dalam
aseton. Selanjutnya, DPCP 0.001% diaplikasikan secara unilateral dimulai 1 minggu
kemudian dengan peningkatan konsentrasi pada minggu berikutnya hingga pasien
memperoleh dermatitis ringan yang dapat ditoleransi (dengan pruritus dan eritema) yang
bertahan selama 36 jam. Jika konsentrasi yang efektif untuk pasien tersebut sudah
diperoleh, maka harus diaplikasikan oleh dokter atau perawat tiap minggunya. Selama
48 jam setelah pengobatan, DPCP harus tetap berada di kulit kepala dan harus ditutupi
untuk mencegah paparan terhadap cahaya, yang dapat mendegradasi molekul. Ketika
sudah ada respon trikogenik pada salah satu sisi, maka lakukan perawatan pada sisi
lainnya. Risiko yang lebih besar untuk terjadinya relaps setelah dihentikannya DPCP
dapat ditemukan jika dosis tidak diturunkan, sehingga pasien harus dinasehari agar
pengobatan tidak diganggu secara mendadak. Penelitian ini meninjau 20 tahun
pengalaman menggunakan AA dan menemukan angka respon keseluruhan adalah
72.2%. Durdu et al melaporkan bahwa efikasi DPCP dapat ditingkatkan dengan terapi
kombinasi dengan anthralin (0.5-1%) yang menyebabkan dermatitis iritan. Penelitian ini
menyertakan 74 pasien resisten, 47 dari mereka ditangani dengan kombinasi DPCP dan
anthralin. Terapi kombinasi tampak lebih efektif (88% pasien mengalami pertumbuhan
rambut kembali >50% vs 54.5% pada DPCP saja), menimbulkan pertumbuhan rambut
yang lebih cepat (durasi pertumbuhan kembali yang lebih cepat 4 minggu), dan yang
terpenting pertumbuhan kembali bulu mata, alis, dan janggut yang juga lebih signifikan
pada kelompok kombinasi. Tidak ada teridentifikasi perbedaan yang signifikan untuk
angka relaps antara kedua kelompok tersebut.
Untuk pasien yang gagal berespon dengan baik terhadap DPCP, maka dapat mencoba
terapi dengan SADBE, dengan efikasi yang hampir serupa dengan DPCP. Tercatat,
sebuah penelitian terbaru SADBE melaporkan bahwa, tidak seperti DPCP, tidak
diperlukan adanya reaksi eksematosa awal terhadap sensitisasi untuk menunjukkan
keberhasilan pengobatan. Peneliti tersebut melaporkan bahwa dari 4 pasien yang
memilih untuk tidak dilakukan sensitisasi atau tidak menunjukkan respon, semuanya
mengalami pertumbuhan rambut kembali. Mengenai efikasi, dalam sebuah penelitian
dari 54 pasien dengan berbagai subtipe klinis AA yang ditangani dengan terapi SADBE
(3%), 79.6% pasien mengalami pertumbuhan rambut kembali dibandingkan 50% pada
kelompok kontrol. Pasien dengan penyakit yang lebih berat memerlukan rata-rata waktu
pengobatan yang lebih lama (AU, 45 minggu; AT, 32 minggu; AA plakat, 29 minggu).
Dalam periode follow up 2 hingga 8 tahun, pasien yang diterapi dengan SADBE
mengalami penurunan keparahan relaps dibandingkan kontrol. Sensitizer topikal tidak
boleh digunakan pada wanita hamil karena efek teratogenik dan derajat absorpsi
sistemik bahan tersebut tidak diketahui. Efek samping dari sensitizer topikal meliputi
eksema berat dan limfadenopati servikal dan oksipital.

METODE TERAPEUTIK BARU MENGGUNAKAN JANUS KINASE


INHIBITOR

Poin kunci

 Janus kinase inhibitor oral, termasuk tofacitinib, ruxolitinib, dan


baricitinib, tampak manjur untuk alopesia areata
 Durabilitas respon terhadap medikasi tersebut bervariasi, dan sebagian
besar pasien mengalami rekurensi rambut rontok setelah penghentian
terapi
 Janus kinase inhibitor topikal juga mungkin efektif namun belum
dievaluasi sepenuhnya
JAK inhibitor telah menunjukkan efikasi pada banyak penyakit inflamasi, seperti
psoriasis, rhematoid arthritis, dan vitiligo, dengan laporan keberhasilan terbaru dalam
menangani penyakit akibat TH2, seperti dermatitis atopik. Terlihat pertumbuhan kembali
rambut yang dramatis pada penelitian preklinis menggunakan JAK inhibitor pada tikus
C3H/HeJ, dan hal ini memberikan alasan untuk menguji medikasi tersebut pada
manusia. Laporan pertama yang menunjukkan efikasi JAK inhibitor pada AA adalah
pasien dengan AU yang diterapi dengan tofacitinib yang mengalami pertumbuhan
rambut kembali yang ekstensif, dan 3 pasien yang diterapi dengan ruxolitinib yang
mengalami perubahan biomarker untuk menyerupai kontrol sehat.

Laporan kasus singkat tersebut kemudian dibenarkan oleh 2 penelitian open-label. Satu
penelitian adalah penelitian open-label ruxolitinib pada pasien dengan AA sedang
hingga berat. Dari 12 pasien dalam penelitian ini (ditangani dengan dosis 20 mg dua
kali sehari selama 3-6 bulan), hasilnya sangat baik, dengan 75% pasien berespon dengan
sangat baik dan rata-rata pertumbuhan rambut kembali sebesar 92% pada akhir
pengobatan. Namun, selama periode 3 bulan bebas pengobatan, 3 dari 9 responder
mengalami kerontokan yang jelas, sedangkan 6 lainnya mengalami kerontokan. Biopsi
kulit kepala awal dari pasien AA tersebut menunjukkan profil eksresi gen dengan
peningkatan jalur imun yang menjadi normal setelah pengobatan dengan ruxolitinib.
Sebagai tambahan, responder yampak menunjukkan nilai interferon dan limfosit T
sitotoksik yang tinggi pada awal penelitian, sedangkan nonresponder tercatat memiliki
skor interferon dan limfosit T sitotoksik yang lebih rendah pada awal penelitian. Peneliti
berspekulasi bahwa pasien nonresponder mungkin memiliki etiologi alternatif untuk
rambut rontoknya, berbeda dengan mekanisme yang disebabkan oleh interferon yang
menjadi target oleh JAK inhibitor.

Penelitian open-label kedua mengevaluasi tofacitinib oral (5 mg dua kali sehari) pada
66 pasien dengan berbagai bentuk AA. Penelitian ini menemukan bahwa 64% pasien
berespon terhadap terapi dan 32% mengalami perbaikan skor Severity of Alopecia Tool
(SALT) >50% dalam 3 bulan terapi. Temuan tersebut juga didukung oleh normalisasi
biomarker ekspresi gen pada spesimen biopsi kulit kepala setelah pengobatan. Untuk
menilai durabilitas respon, pasien direevaluasi dalam periode follow up 3 bulan bebas
pengobatan. Namun, hanya 20 pasien yang tersedia untuk follow up, dan semuanya
mengalami rambut rontok (median 8.5 minggu setelah penghentian pengobatan). Usia
dan jenis kelamin tampaknya tidak berhubungan dengan perubahan skor SALT,
meskipun subtipe tidak mempengaruhi persentase rata-rata SALT, pasien dengan AA
plakat menunjukkan perubahan yang 34% lebih besar dibandingkan dengan AU
(p=.0005), sedangkan ofiasis mengalami perubahan 48% lebih besar dibandingkan AU
(p=.006). Tiap pertambahan tahun durasi penyakit menghasilkan berkurangnya
perubahan persentase skor SALT sebesar 0.78 (P=.0247). Sebuah analisis retrospektif
terbesar ketiga dari 90 pasien dengan AA (mayoritas dengan AU atau AT) yang diterapi
dengan tofacitinib menunjukkan angka respon keseluruhan 77% (respon sedang, atau
komplit). Ketika penelitian ini gagal untuk menemukan hubungan yang signifikan
antara usia pasien dan perubahan skor SALT, teridentifikasi penurunan kemungkinan
respon terhadap pengobatan pada pasien dengan durasi AA yang >10 tahun. Akhirnya,
penggunaan tofacitinib pada remaja yang baru-baru ini dilaporkan dalam sebuah
penelitian retrospektif menunjukkan pertumbuhan rambut kembali pada 9 dari 13 pasien
dengan AA yang berusia antara 12 hingga 17 tahun. Tofacitinib diberikan dengan dosis
10 hingga 15 mg perhari dapat ditolernais dengan baik oleh pasien dan tidak ada
dilaporkan kejadian efek samping yang serius; namun mesti ditimbang baik-baik
mengenai potensi efek samping pada pasien pediatrik.

Baricitinib telah dilaporkan pada pasien dengan dermatosis neutrofilik atipikal kronis
dengan lipodistrofi dan sindrom peningkatan temperatur dengan ofiasis konkomitan tipe
AA. Meskipun pola ofiasis AA cenderung sukar disembuhkan, tercatat adanya
perbaikan segera setelah dimulainya pemberian baricitinib, dengan pertumbuhan rambut
kembali komplit setelah 9 bulan pengobatan. Penggunaan ruxolitinib juga didukung
oleh laporan kasus pasien dengan AU yang diterapi untuk trombositopenia esensial (15
mg dua kali sehari) yang menunjukkan pertumbuhan rambut kembali yang hampir
komplit setelah 10 bulan pengobatan, dan pada pasien yang diterapi untuk AA
bersamaan dengan kandidiasis mukokutaneus kronis. Akhirnya, telah dilaporkan 2
kasus pengobatan AU yang berhasil dengan tofacitinib
Secara umum, efek samping JAK inhibitor meliputi infeksi (yang berpotensi serius),
reaktivasi viral, disrupsi sumsum tulang, perubahan transaminase, dan kemungkinan
malignansi (teoritis namun belum terbukti). Karena efek samping serius yang berpotensi
muncul setelah terapi JAK inhibitor sistemik jangka panjang, beberapa telah
mempertimbangkan penggunaan JAK inhibitor topikal untuk menggantikan agen
sistemik. Namun, modalitas pengobatan ini belum dievaluasi sepenuhnya dalam
penelitian yang besar. Satu kasus melaporkan pasien dengan AU yang sebelumnya
gagal dengan sebagian besar metode pengobatan (termasuk prednisone oral,
kortikosteroid intralesi, sulfasalazine, dan imunoterapi topikal) dan kemudian diterapi
dengan krim ruxolitinib topikal 0.6% dua kali sehari ke kulit kepala dan alis. Setelah 12
minggu, alis membaik dan terdapat 10% pertumbuhan rambut kulit kepala kembali.
Hasil yang meyakinkan itu menunjukkan bahwa JAK inhibitor topikal memerlukan
penelitian tambahan dan dapat diperbaiki dengan formulasi yang lebih canggih yang
menargetkan folikel rambut dan retikular dermis.
ARAHAN SELANJUTNYA

Poin kunci

 Sedang dilakukan evaluasi untuk medikasi yang ada mengenai


penggunaannya pada AA

Statin dapat memiliki sifat antiinflamasi, dan baru-baru ini diteliti pemberian 40 mg/10
mg simvastatin/ezetimibe harian selama 24 minggu pad apasien AA (melibatkan 40-
70% kulit kepala). Dari 19 pasien yang menyelesaikan penelitian, 14 yang dianggap
sebagai responder, menunjukkan bahwa metode pengobatan ini harus lebih di eksplorasi
dalam penelitian yang akan datang. Apremilast, sebuah fosfodiesterase-4 inhibitor oral,
tampak mencegah terjadinya AA pada cangkok kulit kepala manusia pada tikus dan
baru-baru sedang diteliti dalam sebuah penelitian klinis. Sebuah fosfodiesterase-4
inhibitor topikal, crisaborole, sekarang tersedia secara komersil untuk pengobatan
dermatitis atopik ringan hingga sedang dan juga dapat berguna pada AA. Secara
keseluruhan, mungkin terdapat pilihan pengobatan baru di masa yang akan datang untuk
pasien dengan AA.

Anda mungkin juga menyukai