Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pelayanan Keluarga Berencana Pasca Persalinan

Pelayanan KB pasca persalinan merupakan salah satu cara mempercepat

penurunan angka kematian ibu (AKI) dan telah dicanangkan didalam Making

Pragnancy Safer (MPS) pada tanggal 12 Oktober 2000. Tiga pesan kunci program

MPS adalah (1) setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, (2)

setiap komplikasi obstetri dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat, dan (3)

seiap wanita usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang

tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran. Pesan MPS yang ketiga

merupakan pesan pentingnya peningkatan dalam penyediaan pelayanan KB.

Terkait dengan pemantapan tiga pesan kunci MPS, pada tahun 2007

Kementerian Kesehatan RI telah meluncurkan “Program Perencanaan Persalinan

dan Pencegahan Komplikasi (P4K) dengan stiker” yang merupakan salah satu

upaya dalam percepatan penurunan angka kematian ibu dan bayi baru lahir

melalui kegiatan peningkatan pelayanan KIA dan KB yang berkualitas. Indikator

keberhasilan P4K dengan stiker salah satunya adalah persentase penggunaan

metode KB pasca persalinan (BKKBN, 2012). Peningkatan pelayanan KB pasca

persalinan sangat mendukung tujuan pembangunan kesehatan dan hal ini juga

ditunjang dengan banyaknya calon peserta KB baru (ibu hamil dan bersalin) yang

sudah pernah kontak dengan tenaga kesehatan. Seorang ibu yang baru melahirkan

11
12

bayi biasanya lebih mudah untuk diajak menggunakan kontrasepsi, sehingga

waktu setelah melahirkan adalah waktu yang paling tepat untuk mengajak seorang

ibu menggunakan kontrasepsi.

Berdasarkan jangka waktu pemakaiannya metoda kontrasepsi dibagi menjadi

dua kelompok, yaitu MKJP dan non-MKJP. Metode Kontrasepsi Jangka Panjang

(MKJP) merupakan metode kontrasepsi yang dipakai jangka waktu yang panjang,

efektif, efisien, dengan tujuan pemakaian untuk menjarangkan kehamilan dan

kelahiran lebih dari tiga tahun atau mengakhiri kehamilan bila sudah tidak ingin

menambah anak lagi. Program Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB)

Nasional diIndonesia, menganut system “cafetaria” dengan menawarkan berbagai

jenis kontrasepsi salah satunya adalah Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)

yang aman dan efektif digunakan dalam jangka waktu lebih lama. Pada akhir

tahun 80-an sampai awal tahun 90-an, AKDR merupakan kontrasepsi yang cukup

populer setelah pil dan suntikan. Namun beberapa tahun terakhir ini pola

pemakaian AKDR di Indonesia cendrung menurun, yakni 13,3 % (SDKI 1991),

10,3 % (SDKI 1994), 8,1 % (SDKI 1997), turun menjadi 6,2 % (SDKI 2002-

2003) dan turun lagi menjadi 4,9 % (SDKI 2007). Hasil penelitian yang dilakukan

oleh Maryatun (2009), menunjukkan bahwa penggunaan metode kontrasepsi

AKDRlebih sedikit dibandingkan dengan penggunaan metode kontrasepsi non

AKDR, ini menunjukkan ada hubungan antara demand atau alasan menggunakan

alat kontrasepsi dan jumlah anak dengan pemakaian KB AKDR.

Sesuai dengan HTA (Health Thechnology Assesment) Indonesia yang telah

dikeluarkan oleh Kemenkes tentang pelayanan KB pada periode menyusui dan


13

upaya dalam meningkatkan penggunaan kontrasepsi jangka panjang adalah

ditujukan pada ibu pasca bersalin dengan pemilihan penggunaan AKDR pasca

plasentadalam mengatur jarak kehamilan tanpa mempengaruhi produksi air susu

ibu (ASI) (BKKBN, 2012). Pelayanan KB yang berkualitas berdampak pada

kepuasan klien yang dilayani dan terpenuhinya aturan penyelenggaraan pelayanan

KB sesuai dengan standar pelayanan dan kode etik yang telah ditetapkan.

Pelayanan KB yang berkualitas adalah bila tingkat komplikasi,

ketidakberlangsungan dan kegagalan rendah atau berada dalam batas toleransi

(Kemenkes R.I., 2012). Berikut adalah perbandingan tingkat ekspulsi insersi

AKDR berdasarkan HTA:

Tabel 2.1. Perbandingan Tingkat Ekspulsi pada insersi AKDR berdasarkan Health
Thechnology Assesment (HTA) Indonesia, KB pada periode menyusui
(Hasil kajian HTA pada tahun 2009)

Waktu Insersi Definisi Tingkat Ekspulsi Observasi


AKDR
Insersi dini pasca Insersi dalam 10 menit 9,5 – 12,5 % Ideal tingkat
plasenta setelah pelepasan plasenta ekspulsi
rendah
Insersi segera Lebih dari 10 menit s.d 48 25 – 37 % Masih aman
pasca persalinan jam pasca persalinan
Insersi tunda Lebih dari 48 jam s.d 4 TIDAK Meningkatkan
pasca persalinan minggu pasca persalinan DIREKOMENDASIKAN resiko
perforasi dan
ekspulsi
Perpanjangan Lebih dari 4 minggu pasca 3-13 % Aman
interval pasca persalinan
persalinan

2.2 Alat Kontrasepsi Dalam Rahim(AKDR)Pasca Plasenta

AKDR pasca plasenta adalahAKDRyang dipasang dalam 10 menit setelah

plasenta lahir (pada persalinan normal) sedangkan pada persalinan caesar,

dipasang pada waktu operasai caesar (Kemenkes RI, 2012). Menurut Saifuddin
14

(2010) AKDR pasca plasentadimasukkan ke dalam fundus uteri menggunakan

teknik manual dengan jari atau teknik menggunakan kombinasi ring forceps/klem

ovarium dan inserter AKDR.

AKDRyang dipasang setelah persalinan selanjutnya juga akan berfungsi

seperti AKDR yang dipasang sesuai siklus menstruasi. Pada pemasangan AKDR

pasca plasentaumumnya digunakan jenis AKDR yang mempunyai lilitan tembaga

atau CuT-380A yang menyebabkan terjadinya perubahan kimia di uterus sehingga

sperma tidak dapat membuahi sel telur. Cara kerja AKDR yaitu mencegah sperma

dan ovum bertemu dengan mempengaruhi kemampuan sperma sehingga tidak

mampu fertilisasi, mempengaruhi implantasi sebelum ovum mencapai kavum

uteri, dan menghalangi implantasi embrio pada endometrium (BKKBN, 2012).

Adapun indikasi pemasangan AKDR pasca plasentaadalah wanita pasca

persalinan pervaginam atau pasca persalinan sectio secareadengan usia reproduksi

dan paritas berapapun, pasca keguguran (non infeksi), masa menyusui (laktasi),

riwayat hamil ektopik,tidak memiliki riwayat keputihan purulen yang mengarah

kepada IMS (gonore, klamidia dan servisitis purulen) dan kontraindikasi

pemasangan AKDR pasca plasentayaitumengalami perdarahan pervaginam yang

tidak dapat dijelaskan hingga ditemukan dan diobati penyebabnya, menderita

anemia, menderita kanker atau infeksi traktus genitalis, memiliki kavum uterus

yang tidak normal, menderita TBC pelvic, kanker serviksdanmenderitaHIV/AIDS

(Kemenkes R.I., 2012).

Kelebihan AKDR pasca plasentamenurut Kemenkes R.I.(2012) bagi klien

yaitu: a) Dapat digunakan oleh semua pasien normal atau sectio sesarea (tanpa
15

komplikasi); b)Pencegahan kehamilan dalam jangka panjang yang efektif; c)

Insersi AKDRdikerjakan dalam 10 menit setelah keluarnya plasenta; d) Tidak

meningkatkan risiko infeksi ataupun perforasi uterus; e) Kejadian ekspulsi yang

rendah hampir sama dibandingkan dengan pemasangan setelah empat minggu

pasca persalinan selama teknik dilakukan dengan benar. Kelebihan non

kontrasepsi bagi klien yaitu: a) Dapat dipasang langsung saat ostium masih

terbuka setelah plasenta lahir sehingga mengurangi rasa sakit; b) Tidak

mempengaruhi hubungan suami istri bahkan dapat menambah kenikmatan dalam

hubungan karena mengurangi kekhawatiran akan hamil; c) Tidak mempengaruhi

kualitas dan volume Air Susu Ibu (ASI); d) Dapat membantu mencegah

kehamilan diluar kandungan; e) Dilakukan satu kali pemasangan dan ekonomis

dalam jangka waktu maksimal 8-10 tahun; f)Tidak ada interaksi dengan obat-

obatan lain; g) Kesuburan dapat langsung kembali setelah AKDR terlepas

(reversible); h) Tidak menimbulkan ada efek sistemik dan efek samping

hormonal. Kelebihan AKDR pasca plasenta bagi program yaitu: a) Meningkatkan

capaian peserta KB baru MKJP, b) Menurunkan angka unmet need; c)

Meningkatkan Contraseptive Prevalence Rate (CPR). Kelebihan AKDR pasca

plasenta bagi provider yaitu: a) Pemasangan mudah sesaat setelah plasenta lahir

dimana ostium masih terbuka; b) Klien lebih dapat diajak kerjasama karena

sensasi sakit tidak terlalu terasa saat AKDR diinsersi.

Disamping adanya kelebihan AKDR pasca plasenta terdapat pula

keterbatasan alat kontrasepsi ini yaitu: a) Dapat terjadi perubahan siklus haid, haid

lebih lama dan banyak, perdarahan bercak (spotting) dan nyeri haid, biasanya
16

pada tiga bulan pertama setelah pemasangan dan keluhan akan hilang dengan

sendirinya; b) Kemungkinan terjadi resiko infeksi dan keputihan; c) AKDR dapat

terlepas dari uterus tanpa diketahui oleh klien; c) AKDR tidak dapat dilepas sendri

oleh klien, tetapi harus dilakukan oleh tenaga terlatih; d) Tidak mencegah IMS

termasuk HIV/AIDS.

Penelitian yang dilakukan oleh Kaitheit dan Agarwal (2013), dimana studi

dilakukan secara longitudinal prospektif dan dievaluasi saat pemakaian 6 minggu

diperoleh hasil kejadian ekspulsi sebesar 10,5 % dari total ibu yang dipasangkan

KB AKDR pasca plasentadan tidak ditemukan kasus perforasi. Walaupun tingkat

ekspulsinya yang cukup tinggi tetapi lebih besar manfaat pemakaian kontrasepsi

ini, terlebih lagi ibu yang memiliki akses yang terbatas terhadap pelayanan

kesehatan. Hal ini sejalan dengan penelitian Grimes,et al., (2003) menyebutkan

bahwa pemasangan AKDRsegera setelah plasenta lahir amandan efektif.

Keuntunganlangsungdari pemasangan yaitu memilikimotivasi yang tinggi,

jaminan bahwa wanitatidak hamil, dankenyamanan.

Diperkuat oleh penelitian Vanita Suri (2012) yang menyatakan

bahwapenggunaan AKDRsegera setelah melahirkan sangat direkomendasikan

oleh WHO, terutama bagi negara berkembang dimana masih rendahnya kontak

antara wanita post partum dengan petugas kesehatan pada kunjungan ulang

periode pertama. Dibandingkan dengan metode steril, penggunaan AKDR segera

setelah melahirkan dapat menghindari ketidaknyamanan pada waktu pemasangan

dan perdarahan yang terjadi disamarkan oleh lokhea. Selain itu penelitian oleh

Divakar,et al., (2013) menyatakan pemasangan AKDR CUT 380 A pada 10 menit
17

setelah plasenta lahir adalah aman, nyaman, efektif biaya serta tingkatekspulsi

akan minimaljikadimasukkan olehpetugas kesehatan yang terlatih. Metode KB

AKDR pasca plasenta menjadi salah satu upaya untuk menekan jumlah kelahiran

dengan menurunkan unmet need dan missed opportunity pada ibu pasca persalinan

sehingga penggunaan MKJP diharapkan dapat mengurangi angka diskontinuitas

serta dapat berkontribusi menekan laju pertumbuhan penduduk Indonesia.

BKKBN melakukan Penelitian Operasional (OR) AKDR pascaplasenta yang

dilakukan secara cross sectional terhadap akseptor yang dilayani di RSUD Abdul

Muluk Lampung dan RSUP Dr.Karyadi Semarang. Hasil OR tersebut

menunjukkan bahwa di RSUD Abdul Muluk Lampung dari 207 akseptor IUD

post plasenta yang dilayani setelah 6 bulan pemakaian sebanyak lima orang ( 2,4

persen) dijumpai adanya ekspulsi. Sementara di RSUP Dr.Karyadi Semarang dari

203 akseptor AKDR plasenta setelah 6 bulan ekspulsi yang terjadi pada dua orang

(1,0 persen). Kedua Rumah Sakit tersebut menerapkan teknik pelayanan yang

berbeda, dimana RSUD Abdul Muluk Lampung dengan teknik jari, sedangkan

RSUP Karyadi Semarang dengan teknik “Push and Push”, tetapi pada pemakaian

selama 12 bulan di kedua Rumah Sakit tersebut tidak dijumpai adanya ekspulsi

(BKKBN, 2012).

2.3 Faktor–faktor yang berkaitan dengan penggunaan AKDR (Alat

Kontrasepsi Dalam Rahim)

2.4.1 Umur

Model sistem kesehatan HBM menyebutkan bahwa karakteristik umur dapat


18

mempengaruhi seseorang dalam mencari pengobatandan penggunaan

fasilitaspelayanan kesehatan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Utami (2013)

di RSUP DR. M. Djamil menyebutkan bahwa sebesar 79% ibu pasca salin yang

menggunakan AKDR pasca plasenta berumur 20-35 tahun. Hasil penelitian

Winarni (2010) menyatakan bahwa semakin tua umur semakin tinggi proporsi

wanita yang memakaiAKDR. Hal ini sejalan dengan penelitian Willopo dan

Pastuti (2007) menyatakan bahwa variabel umur menunjukkan pengaruh yang

signifikan terhadap penggunaanAKDR. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan

semakin meningkatnya umur seseorang dan telah tercapainya jumlah anak ideal

akan mendorong pasangan untuk membatasi kelahiran, hal ini yang akan

meningkatkan peluang responden untuk menggunakan AKDR.

Hasil penelitian oleh Kusumaningrum (2009), menyatakan bahwa umur,

tingkat pendidikan dan jumlah anak mempengaruhi pemilihan jenis kontrasepsi

yang digunakan pada pasangan usia subur. Menurut Musdalifah dan Rahma

(2013) menyatakan bahwa umur, efek samping, dukungan suami, pemberian

informasi petugas KB berhubungan dengan pemilihan jenis kontrasepsi.

Karakteristik umur ibu dapat mempengaruhi perilaku saat menentukan pemakain

kontrasepsi, semakin tua umur maka pemilihan kontrasepsi ke arah efektifitas

lebih tinggi yaitu jenis metode kontrasepsi jangka panjang lebih diminati. Sejalan

dengan hasil penelitian Amiranty (2003) menyatakan bahwa terdapat hubungan

pada tiap kelompok umur dengan pemakaian MKJP, dimana wanita yang berusia

36-49 tahun memiliki peluang 10 kali lebih besar memakai MKJP dibandingkan

dengan wanita yang berusia 15-19 tahun.


19

2.4.2 Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi perilaku mengenai kondisi

kesehatannya. Pendidikan dapat meningkatkan akses pelayanan, yaitu dengan

meningkatkan akses wanita terhadap informasi, dan meningkatkan kemampuan

dalam menyerap konsep kesehatan baru. Konsep variabel pendidikan diperoleh

dari teori Anderson (2003) bahwa pendidikan mempengaruhi pemilihan

kontrasepsi. Pendidikan seorang ibu akan menentukan pola penerimaan dan

pengambilan keputusan, semakin berpendidikan seorang ibu maka keputusan yang

akan diambil akan lebih baik.

Sesuai dengan hasil penelitian Utami (2013) dimana 49 % ibu pasca salin

yang menggunakan AKDR pasca plasenta dengan pendidikan tinggi. Alasan

mengenai pengaruh pendidikan terhadap peningkatan penggunaan alat kontrasepsi

adalah semakin tinggi pendidikan formal seseorang, maka usia kawin akan

semakin tua sehingga menurunkan jumlah kelahiran (Freedman et al.,,

1994).Hasil penelitian di Kenya menunjukkan bahwa responden yang

menggunakan AKDRdan implant adalah responden berpendidikan tinggi (Magadi

dan Curtis, 2003).Penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Tatarini Purba

(2009) yang menyatakan adanya hubungan antara pendidikan dengan pemakaian

alat kontrasepsi.

2.4.3 Persepsi Tentang Kontrasepsi AKDR Pasca Plasenta

Persepsi merupakan salah satu proses penilaian terhadap suatu obyek.

Persepsi seseorang akan mempengaruhi proses belajar dan mendorong seseorang

untuk melaksanakan sesuatu. Individu dituntut untuk memberikan penilaian


20

terhadap suatu obyek yang dapat bersifat positif atau negatif, senang atau tidak

senang dan sebagainya. Dari adanya persepsi akan terbentuk sikap yang memiliki

kecenderungan stabil untuk berprilaku atau bertindak tertentu di dalam situasi

tertentu pula (Walgito, 2010). Menurut Prasetijo (2004) faktor-faktor yang

mempengaruhi pembentukan persepsi seseorang adalah a) Faktor internal yang

meliputi pengalaman, kebutuhan saat itu, nilai-nilai yang dianut, dan ekspektasi

atau pengharapan; b) Faktor eksternal yang meliputi penampilan produk, sifat-

sifat stimulus, dan situasi lingkungan.

Menurut Notoatmodjo (2007) setelah seseorang mendapatkan stimulus

tentang objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian terhadap apa yang

diketahui, proses selanjutnya diharapkan dapat melaksanakan apa yang diketahui

atau disikapinya. Inilah yang disebut praktik kesehatan, atau dapat dikatakan

sebagai perilaku kesehatan. Oleh sebab itu indikator praktik kesehatan ini sangat

berkaitan dengan persepsi.Pengalaman selama menggunakan AKDR, informasi

yang diperoleh akseptor baik dari puskesmas, media massa dan media elektronik

serta informasi dari akseptor lain yang telah menggunakanAKDR,menimbulkan

suatu persepsitersendiri pada calon akseptor (BKKBN, 2012). Hal yang membuat

seseorang tertarik kembali ke sesuatu yang dianggap baik dan aman bisa

disebabkan karena pengalaman sebelumnya. Jika pada saat ibu memakai alat

kotrasepsi dimana ibu kurang tertarik dengan alat kontrasepsi yang digunakan,

maka jika ada keluhan yang wajar, maka ibu akan cendrung secara cepat

mengambil keputusan pengalamanlah yang akan diambil.


21

Belum banyaknya penggunaan AKDR pasca plasenta bisa dikarenakan oleh

persepsi akan rasa aman yang kurang dari cara pemasangan AKDR pasca

plasenta, dimana setelah bersalin masih keluar darah yang banyak dan AKDR di

dalam rahim yang telah dipasangkan bisa terlepas bersamaan dengan darah yang

keluar. Selain itu berdasarkan hasil penelitian Imbarwati (2009) menyatakan

bahwa 65% reponden mempunyai persepsi efek samping pemakaian AKDR

seperti perdarahan, AKDR dapat keluar sendiri, haid lebih lama, lebih banyak dan

nyeri selama haid. Hasil penelitian dari Santosaet al.,2014 pada peserta KB non

AKDR memiliki persepsi kurang baik dalampenggunaan KB AKDRkarena

adanya perasaan malu terhadap cara pemasangan AKDR dan tidak ada dukungan

penuh dari pihak-pihak terkait termasuk tokoh agama dan tokoh masyarakat.

2.4.4 Paritas

Parias adalah wanita yang pernah melahirkan satu keturunan atau lebih yang

mampu hidup tanpa memandang apakah anak tersebut hidup pada saat lahir

(Bobak dkk, 2005). Hasil analisis Kusumaningrum (2009) menunjukkan

kecenderungan bahwasebagian besar responden yang memakai metode

kontrasepsiIUD mempunyai paritas lebih dari dua dan bertujuan untuk membatasi

kelahiran. Hal ini sejalan dengan penelitian Willopo dan Pastuti (2007)

menunjukkan hubungan bermakna antara paritas dengan penggunaan kontrasepsi

bahwa responden yang telah melahirkan tiga sampai empat kali mempunyai

peluang untukmenggunakan AKDR sebesar 1,5 kali. Berbeda dengan penelitian di

Cina bahwa penggunaan AKDR paling tinggi (57%) pada wanita yang memiliki
22

anak satu dan mengalami penurunan (kurang dari 26%) pada wanita yang

memiliki anak dua orang atau lebih (Wang dan Altmann, 2002).

Hasil penelitian Yusuf (2001) menyatakan bahwa ada hubungan bermakna

antara proporsi penggunaan MKJP dengan kelompok responden yang memiliki

jumlah anak hidup yang lebih kecil dengan kelompok responden yang memiliki

jumlah anak yang lebih besar. Responden yang memiliki jumlah anak yang lebih

dari dua orang mempunyai kemungkinan 20 kali lebih besar untuk menggunakan

MKJP dibandingkan dengan ibu yang mempunyai anak kurang dari dua orang.

2.4.5 Pengetahuan Kontrasepsi AKDR Pasca Plasenta

Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” dan terjadi setelah seseorang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu melalui pancaindra

manusia (Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan yang benar tentang program KB

termasuk berbagai jenis kontrasepi akan meningkatkan keikutsertaan masyarakat

dalam program KB (BKKBN, 2008). Penelitian oleh Yusuf (2001) menyatakan

bahwa responden yang memiliki pengetahuan tinggi memiliki kecendrungan dua

kali lebih besar untuk menggunakan metode kontrasepsi MKJP dibandingkan

responden yang berpengetahuan rendah.

Pada umumnya, responden yang tidak memakai kontrasepsi AKDR pasca

plasenta karena merupakan sebuah konsep yang baru apalagi AKDR dapat

dipasang langsung dalam 10 menit setelah melahirkan (Salem et al., 2003).

Penelitian ini sejalan penelitian Utami (2013) yang menyatakan adanya hubungan

pengetahuan ibu dengan unmet need AKDR pasca plasenta.


23

2.4.6 Pola Pembiayaan Pelayanan AKDR Pasca Plasenta

Biaya adalah sejumlah pengorbanan yang dikeluarkan untuk menghasilkan

atau menggunakan komoditi tertentu. Biaya mencakup semua jenis pengorbanan

yang dapat berbentuk uang, barang, waktu, ataupun kesempatan yang hilang

termasuk kenyamanan yang terganggu (Lowson et al., 2010). Responden yang

tidak mengeluarkan biaya pelayanan KB, berpeluang besar untuk menggunakan

AKDR.Penelitian oleh Willopo dan Pastuti (2007) yang menunjukkan hubungan

yang bermakna antara besarnya biaya yang dikeluarkan dengan permintaan

pelayanan KB AKDR. Jika tidak ada biaya yang dikeluarkan (gratis) maka

peluang responden yang ingin membatasi kelahiran sebesar 1,6 kali. Ini sejalan

dengan penggunakan metode kontrasepsi AKDR oleh wanita di Cina karena

pemakainnya lama, reversibilitas, memiliki efektivitas tinggi dan pemasangannya

tidak mengeluarkan biya (Rivera dan Best, 2002). Sedangkan penelitian di

Bangladesh tentang faktor yang mempengaruhi pemilihan kontrasepsi meliputi

ketersediaan atau akses dan biaya yang dikeluarkan (Mannan, 2002). Hal yang

berbeda didapatkan dalam survei di delapan klinik keluarga berencana Afrika

Selatan, menyatakan bahwa meskipun AKDR telah tersedia secara gratis di

layanan sektor keluarga berencana tetapi hal tersebut tidak dimanfaatkan(Shelsley

et al.,2010).

Penelitian tentang pelayanan KB di Indonesia menyatakan bahwa biaya

pelayanan kontrasepsi AKDR lebih besar dibandingkan dengan pelayanan metode

kontrasepsi lainnya, akan tetapi biayanya akan menurun seiring dengan lamanya

waktu penggunaan (Adioetomo, 1993). Hal ini sejalan dengan analisis biaya
24

pelayanan kontrasepsi AKDR oleh wanita di Amerika Serikat selama lima tahun,

disebutkan bahwa total biaya pelayanan AKDR lebih murah dibandingkan dengan

biaya kontrasepsi suntik dan pil (Chiou et al., 2003). Asuransi kesehatan yang ada

di Bali sekarang ini adalah Jamkesmas, JKBM, dan BPJS sudah menggratiskan

pelayanan AKDR pasca plasenta dan KB pasca salin lainnya, tetapi jika pasien

umum maka pasien akan membayar sesuai dengan kebijakan tempat layanan.

Besarnya retribusi pemasangan AKDR pada pasien umum sesuai dengan

Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 25 Tahun 2011 tentang Retribusi

Pelayanan Kesehatan, besarnya retribusi pemasangan AKDRadalah Rp 40.000

sudah termasuk jasa sarana dan jasa pelayanan.

2.4.7 Peran Petugas Kesehatan

Peran petugas dalam hal ini adalah terkait dengan pemberian informasi

tentang kontrasepsiAKDR pasca plasenta. Pemberian informasi oleh petugas

mempunyai hubungan dengan pemakaian AKDRdan sumber informasi tentang

kontrasepsi ini yangpaling dominan adalah dari bidan (Anggarini dan Martini,

2011). Sebelum pelayanan KB pasca persalinan termasuk pelayanan AKDR pasca

plasenta, akan dilakukan tahapan persiapan dengan melakukan konseling saat

pemeriksaan kehamilan, atau dapat dilaksanakan terpadu dalam P4K melalui

amanat persalinan serta penyampaian informasi pada kelas ibu hamil dan

diingatkan kembali pada setiap kunjungan pemeriksaan kehamilan berikutnya.

Perempuan yang menerima informasi mengenai perencanaan pemakaian

kontrasepsi pasca persalinan ketika melakukan pemeriksaan kehamilan, lebih


25

banyak menggunakan kontrasepsi pasca melahirkan dibandingkan mereka yang

tidak mendapatkan informasi tersebut (Maika dan Kuntohadi, 2009).

Berdasarkan penelitian Darwani (2012) didapatkan hasil dari 40 responden

ternyata 23 diantaranya tidak menggunakan AKDR karena kurangnya informasi

tentang AKDR dari tenaga kesehatan. Penelitian tersebut menunjukkan adanya

pengaruh informasi dari tenaga kesehatan terhadap penggunaan AKDR oleh

akseptor KB dimana ibu yang mendapatkan informasi cukup, maka semakin besar

kemungkinan untuk menggunakan AKDR.

2.4.8 Pelayanan Pemeriksaan Kehamilan

Pelayanan pemeriksaan kehamilan mempertimbangkan tempat pemeriksaan

kehamilan dan frekuensi pemeriksaan selama kehamilan. Kunjungan selama

kehamilan, dan cukupnya jumlah kontak dengan sistem pelayanan kesehatan

adalah cara yang cukup menjanjikan untuk merencanakan pelayanan kebutuhan

keluarga berencana dan meraih perempuan yang baru melahirkan agar terhindar

dari unmet need terhadap alat kontrasepsi (Ross dan Winfrey, 2001).

Hasil penelitian oleh Maika dan Kuntohadi (2009) menunjukkan bahwa

variabel frekuensi pemeriksaan kehamilan berhubungan dengan penggunaan

kontrasepsi pasca melahirkan. Ini menunjukkan semakin sering responden

memeriksakan kehamilannya, maka semakin meningkat kecendrungannya untuk

menggunakan alat kontrasepsi setelah melahirkan. Wanita yang melakukan

pemeriksaan kehamilan yang cukup akan mendapatkan informasi terhadap

penggunaan kontrasepsi (Abera et al., 2015). Hal ini konsisten dengan studi

prospektifdilakukandi Kenya dan Zambia menunjukkan bahwa pemberian


26

informasi selamaperawatan kehamilanakanmemotivasi perempuanuntuk

menggunakan kontrasepsisetelah melahirkan (Do dan Hotchkiss, 2013).

Sedangkan variabel tempat pemeriksaan kehamilan menunjukkan bahwa ibu yang

memilih ANCdi fasilitas kesehatan swasta memiliki kecendrungan untuk

menggunakan alat kontrasepsi setelah melahirkan (Maika dan Kuntohadi, 2009).

2.4.9 Dukungan Suami

Pemakaian kontrasepsi oleh istri berhubungan dengan dukungan suami, bila

suami tidak menyetujui penggunaan alat kontrasepsi yang akan dipakai oleh

istrinya maka sedikit yang akan memakai alat kontrasepsi tersebut. Menurut

Hartono (2004), metode kontrasepsi tidak dapat dipakai oleh istri tanpa adanya

kerjasama dari suaminya dan saling percaya. Bentuk partisipasi suami dalam

penggunaan alat kontrasepsi adalah mendukung istri dalam memilih alat

kontrasepsi yang aman dan efektif (BKKBN, 2008).

Hasil analisis lanjut SDKI 2007 yang dilakukan oleh Maika dan Kuntohadi

(2009) mendapatkan adanya asosiasi positif antara persetujuan suami dengan

penggunaan kontrasepsi pada istrinya. Studi ini juga menemukan mayoritas

responden menggunakan alat kontrasepsi berdasarkan keputusan bersama antara

suami dan istri.

2.5 Teori Perubahan Perilaku

2.5.1 Teori Lowrence Green

Menurut teori Lawrence Green (1980), perilaku kesehatan seseorang atau

masyarakat ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor, yaitu :


27

a) Faktor penentu (predisposing factors)

Faktor penentu meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan,

pengalaman, nilai-nilai termasuk persepsi seseorang yang menjadi dasar

motivasi individu atau kelompok untuk bertindak. Selain itu karakteristik

meliputi umur responden, jumlah anak hidup, dan pendidikan juga dapat

sebagai faktor penentu seseorang menggunakan kontrasepsi AKDR pasca

plasenta.

b) Faktor pendukung (enabling factors)

Faktor pendukung meliputi ketrampilan dan sumber memungkinkan atau

memfasilitasi seseorang untuk bertindak, diantaranya adanya sarana prasarana

termasuk alat-alat kontrasepsi, keterjangkauanbiaya untuk mengakses

fasilitas, ketersediaan tempat pelayanan

c) Faktor pendorong (reinforcing factors)

Faktor pendorong adalah faktor yang menentukan apakah tindakan kesehatan

memperoleh dukungan atau tidak dari orang-orang terdekatnya, dalam hal ini

adalah dukungan dari suami, sikap dan perilaku petugas kesehatan atau

petugas lain yang merupakan kelompok refrensi dari perilaku masyarakat.

Tanpa adanya dukungan dari suami belum tentu ibu dapat berperilaku sehat

sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.

Teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2007) menyatakan hubungan

antara ketiga faktor tersebut dapat digambar dalam bagan berikut ini :
28

2.5.2 Teori Health Belife Model

Rosenstok (1980) menyatakan teori tentang suatu bentuk penjabaram dari

model sosio-psikologi. Perkembangan model ini lebih menjelaskan pada

kurangnya partisipasi publik dalam melakukan pemeriksaan dan program

pencegahan. Model ini diadaptasi untuk mengeksplorasi berbagai prilaku

kesehatan jangka panjang dan jangka pendek. Model kepercayaan ini mencakup

beberapa unsur penting, yang memungkinkan seseorang melakukan tindakan

pencegahan dan dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu :

1. Perceived susceptibility, merupakan persepsi subyektif terhadap resiko untuk

menderita penyakit tertentu. Dalam penelitian ini adalah persepsi ibu terhadap

kerentanan efeksamping kontrasepsi AKDR pasca plasenta

2. Perceived severity, merupakan persepsi tentang tingkat keparahan atau

keseriusan jika menderita penyakit tertentu, yang dalam penelitian ini adalah

keseriusan dari efek samping penggunaan AKDR pasca plasenta


29

3. Perceived benefits, merupakan kepercayaan bahwa tindakan tertentu dapat

menurunkan resiko (susceptibility) dan keparahan (severity) penyakit. Dalam

penelitian ini adalah persepsi ibu akan keuntungan atau manfaat menggunakan

AKDR pasca plasenta

4. Perceived barrier, merupakan kemungkinan hambatan dalam mengambil

tindakan tertentu, yang dalam penelitian ini adalah persepsi ibu akan
30

Anda mungkin juga menyukai