Anda di halaman 1dari 4

2.

1 DVI

2.1.1 Definisi DVI

DVI (Disaster Victim Identification) adalah sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban
meninggal akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan dan mengacu
kepada standar baku Interpol. (1)

DVI merupakan sebuah puncak dari beberapa individual yang terdiri dari tim penyelamat, tim
pemulihan, patologi forensic, odontologis dan anthropologis. Seluruh personil ini bekerjasama
untuk mengkolaborasikan masing-masing bidangnya untuk mengidentifikasi korban dalam suatu
bencana. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan setelah bencana meliputi jumlah korban,
kondisi tetap termasuk lokasi bencana, metode ilmiah tentang identifikasi yang dapat diterima,
pengumpulan dan penyimpanan data yang aman, adanya jaringan listrik, persediaan air dan
pengaturan pembuangan limbah yang tepat. (2)

Tujuan utama dari DVI atau pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal adalah
untuk mengenali korban. Dengan identifikasi yang tepat selanjutnya dapat dilakukan upaya
merawat, mendoakan serta akhirnya menyerahkan kepada keluarganya. Proses identifikasi ini
sangat penting bukan hanya untuk menganalisis penyebab bencana, tetapi memberikan
ketenangan psikologis bagi keluarga dengan adanya kepastian identitas korban. (3)

2.2.2 Prosedur dan Fase DVI

Proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan yang
lainnya, yang terdiri dari The Scene atau Tempat Kejadian Perkara (TKP), The Mortuary atau
Post Mortem, Ante Mortem, Rekonsiliasi and Debriefing. (1)

a. The Scene atau TKP


Sebagai prinsip umum, lokasi tersebut tersebut harus diperlakukan sebagai TKP dan
semua jenazah manusia dan properti yang tersisa masih berada di tempat semula sampai
kedatangan pemeriksa TKP dan Tim Spesialis DVI, sesuai dengan kebijakan dan
prosedur yang ada. Karena sifat bencana dapat bervariasi, bagaimana lokasi ini diproses
dan urutan tindakannya mungkin berbeda. Misalnya, dalam kasus di mana terjadi
pemboman teroris, sangat penting bahwa lokasi tersebut aman sebelum pemeriksa TKP
dapat melakukan tugas mereka. Setelah rencana pengelolaan TKP dikembangkan dan
disepakati dan kegiatan DVI dapat dimulai, proses pemotretan, pencatatan dan pelabelan
dapat dilakukan. Kegiatan pengolahan ini perlu dikoordinasikan dengan kegiatan lain
yang dilakukan di tempat kejadian, seperti yang terkait dengan pemulihan, penyimpanan
dan pengangkutan sisa dan harta benda manusia, serta tugas yang mencakup
penyimpanan bukti dan barang. (4)

b. Post Mortem
Semua manusia yang ditemukan dari tempat kejadian harus diproses, diperiksa dan
disimpan di kamar mayat yang telah dipilih untuk operasi tersebut, menunggu identifikasi
dan pelepasan resmi oleh pemeriksa atau otoritas hukum. Kamar mayat ini dapat berupa
kamar mayat sesungguhnya atau suatu lokasi yang dibangun sementara untuk operasi.
Proses dan metode pemeriksaan yang diterapkan selama fase ini meliputi fotografi,
ridgeology (sidik jari), radiologi, odontologi, pengambilan sampel DNA dan prosedur
otopsi. Selain pemeriksaan sisa-sisa manusia, properti harus diperiksa, dibersihkan, dan
disimpan dengan cermat. Item properti ini bisa meliputi perhiasan, barang pribadi dan
pakaian. Semua informasi post mortem yang relevan yang diperoleh selama fase ini
dicatat pada formulir Post-mortem INTERPOL berwarna merah muda. Setelah
menyelesaikan proses pemeriksaan, jenazah dikembalikan ke penyimpanan, dan
menunggu identifikasi akhir. (4)

c. Ante Mortem
Untuk mengumpulkan data orang hilang agar sesuai dengan data korban, dibutuhkan
proses pengumpulan ante-mortem. Proses ini dapat melibatkan banyak dimensi kompleks
karena tugas tersebut melibatkan wawancara keluarga, saudara atau teman untuk
mendapatkan fakta yang cukup tentang orang yang berpotensi meninggal. Perwakilan
dari fase ini mungkin perlu mengkoordinasikan kegiatan mereka dengan lembaga, atau
negara lain, untuk mendapatkan data antre-mortem. Awalnya, fase ante-mortem akan
memfokuskan aktivitasnya pada pengembangan daftar orang hilang yang dibuat dari
laporan yang disampaikan oleh keluarga dan saudara atau melalui mekanisme lain seperti
daftar penumpang. Setelah adanya laporan orang hilang tersebut, tim wawancara atau
investigasi akan dibentuk. Tugas mereka adalah pengumpulan deskripsi rinci dari setiap
korban hilang / korban potensial, termasuk rincian spesifik seperti perhiasan, pakaian,
atau barang-barang properti lainnya serta catatan medis dan gigi, radiograf, foto, DNA,
sidik jari dan hal-hal identifikasi lainnya. Informasi ini dicatat pada formulir ante-mortem
INTERPOL berwarna kuning. Setelah ada data ante-mortem yang memadai dan dapat
diandalkan, data yang relevan akan dinilai secara ketat dan jika hal dibutuhkan untuk
mencocokkan data post-mortem terpenuhi, file tersebut akan dipindahkan ke Pusat
Rekonsiliasi untuk memproses identifikasi. (4)

d. Rekonsiliasi
Fungsi Pusat Rekonsiliasi adalah mencocokkan data post mortem dengan data ante-
mortem untuk mengidentifikasi jenazah. Dalam kasus di mana terdapat data utama,
seperti gigi, sidik jari atau DNA dan hal tersebut memenuhi standar yang dipersyaratkan,
maka kasus-kasus ini dapat dipersiapkan untuk dipresentasikan sehingga mendapatkan
keputusan. Namun, mungkin juga ada kasus di mana kombinasi data dapat digunakan
untuk saling mendukung agar menghasilkan identifikasi positif. Misalnya, jenis
identifikasi kasus mencakup kombinasi antara bukti medis, pakaian, perhiasan, tato dan
dokumentasi. Harus ditekankan bahwa identifikasi tersebut perlu dinilai berdasarkan
kasus per kasus. Penting juga untuk menekankan bahwa identifikasi visual bisa tidak
dapat diandalkan dan oleh karena itu bentuk data ini tidak boleh digunakan sebagai data
tunggal. Setelah file rekonsiliasi dinilai dan isinya dianggap dapat diandalkan dan aman
untuk menyimpulkan identitas positif, sebuah Dewan Identifikasi (Identification Board)
dibentuk. Hasil perbandingan antara informasi post-mortem dan ante-mortem
dipresentasikan ke dewan identifikasi, yang diadakan oleh otoritas lokal dan dipimpin
oleh pemeriksa atau otoritas yang setara. Pemeriksa, yang memiliki tanggung jawab
keseluruhan untuk identifikasi jenazah, diberi tahu tentang hasil yang mendukung
kesimpulan identifikasi dan dilengkapi dengan laporan perbandingan dan sertifikat
identifikasi untuk setiap sisa manusia yang teridentifikasi. Sertifikat kematian yang
mengkonfirmasikan penyebab kematian dan identitas jenazah dikeluarkan. Setelah proses
itu selesai dan wewenang untuk melepaskan jenazah telah diberikan, maka dapat
dilakukan pemulangan jenazah ke keluarga masing-masing. (4)

e. Debriefing
Selalu ada kesempatan untuk belajar dan memperbaiki hal-hal operasional terhadap
penerapan DVI di masa depan dengan meninjau operasi sebelumnya. Tujuan dari proses
peninjauan ini adalah untuk fokus pada apa yang telah dilakukan dengan baik, apa yang
bisa dilakukan dengan lebih baik dan apa yang dapat diterapkan secara efektif untuk
operasi masa depan. Ada dua kali tanya jawab yang direkomendasikan untuk semua
aktivitas DVI. Tanya jawab pertama meninjau kinerja harian selama operasi berlangsung
yang melibatkan pertemuan dengan anggota utama dalam proses DVI, untuk meninjau
aktivitas terkini dan menilai kinerja terhadap tujuan yang telah ditetapkan. Tanya jawab
kedua melibatkan keseluruhan pemeriksaan dari seluruh operasi DVI. Mencakup rentang
masalah operasional yang jauh lebih luas yang mungkin melampaui lingkup kegiatan
jangka pendek dari operasi DVI.

DAFTAR PUSTAKA

1. Penatalaksaan Identifikasi Korban. Surjit Singh. Majalah Kedokteran Nusantara Volume


41 No. 4 Desember 2008
2. The role of the forensic odontologist in disaster victim identification. Mithun Rajshekara ,
Marc Tennanta. Malaysian Journal of Forensic Sciences 5(1)
3. Forensic Identification Based on Both Primary and Secondary Examination Priority
inVictim Identifiers on Two Different Mass Disaster Cases. Eriko Prawestiningtyas,
Agus Mochammad Algozi. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol XXV, No. 2, Agustus 2009
4. INTERPOL, Disaster Victim Identification DVI Guide, The International Criminal Police
Organization. (2014).

Anda mungkin juga menyukai