Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH TENTANG

UQUD (PERIKATAN/PERJANJIAN)

DOSEN PENGAMPU :
JUREID, ME.I

DISUSUN OLEH ;
HIDAYATUL FADILAH

PRODI EKONOMI SYARIAH 1B

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI


MANDAILING NATAL ((STAIN MADINA)
T.A 2020-2021
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Dilihat dari segi sumbernya, perikatan itu ada yang lahir dari undang-undang dan
ada yang lahir dari perjanjian serta sumber-sumber lain yang ditunjuk oleh undang-
undang.Bagian hukum yang mengatur berbagai perikatan yang lahir dari bermacam-macam
sumber dinamakan hukum perikatan.Sedangkan hukum perjanjian adalah salah satu bagian
dari hukum perikatan, yaitu bagian hukum yang mengatur perikatan-perikatan yang lahir
dari perjanjian saja.
Apabila dua orang atau pihak saling berjanji untuk melakukan atau memberikan
sesuatu berarti masing-masing orang atau pihak mengikatkan diri kepada orang lain untuk
melakukan atau memberikan sesuatu yang mereka perjanjikan, dengan demikian timbul
ikatan serta hak dan kewajiban diantara keduanya.
B.    Rumusan Masalah
1.      Apa pemgertian akad?
2.      Sebutkan rukun- rukun akad!
3.      Sebut dan jelaskan syarat- syarat akad!
4.      Apa macam dari akad?
5.      Jelaskan apa pengertian khiyar serta jelaskan macamnya?
6.      Bagaimana suatu akad bisa berakhir?

C.    Tujuan
-          Untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang  akad dan khiyar
-          Untuk mengetahui rukun, syarat dan macam akad serta macam khiyar
-          Untuk memahami alasan berakhirnya suatu akad.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian  Akad
  Istilah “ perjanjian “  dalam hukum  Indonesia  disebut  “akad” dalam hukum islam.
Kata akad berasal dari kata al-aqd yang berarti mengikat , menyambung  atau 
menghubungkan (ar-rabt).[1] Akad  diartikan sebagai “janji (al-‘ahd)” sebagaimana
dijelaskan dalam surat Ali Imran   ayat 76: 
‫ْال ُمتَّقِينَ ي ُِحبُّ هَّللا َ فَإ ِ َّن َواتَّقَى بِ َع ْه ِد ِه أَوْ فَى َم ْن بَلَى‬
“(bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)   nya dan bertaqwa.
Maka sesungguhnya alloh menyukai orang-orang yang bertaqwa.”[2]
Secara istilah (terminologi) , pengerian akad dapat dilihat  dari pengertian khusus dan
umum Secara umum:
                 “setiap yang diinginkan manusia untuk mengerjakannya baik keinginan tersebut
berasal dari kehendaknya sendiri , misal dalam hal wakaf , atau kehendak tersebut timbul dari
dua orang , misalnya dalam hal hal jual beli , ijarah”.[3]
       Secara khusus:
                 “perikatan yang ditetapkan dengan ijab kabul berdasarkan ketentuan syara’ yang
berdampak pada obyeknya.”[4]
     Sebagai  salah satu hukum islam , ada beberapa definisi yang diberikan kepada akad
(perjanjian):
1.      Menurut pasal 262 mursyid al hairan, akad merupakan “ pertemuan ijab yang   diajukan
oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak yang menimbulkan akibat hukum dari obyek
akad.”[5]
2.      Menurut syamsul anwar ,akad merupakan “ pertemuan antara ijab dan kabul sebagai
pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada
obyeknya.” [6]

B.    Rukun Akad
1.      Aqid (Orang yang menyelenggarakan akad).
       Aqid adalah pihak-pihak yang melakukan transaksi, atau orang yang memiliki hak dan
yang akan diberi hak, seperti dalam hal jual beli mereka adalah penjual dan pembeli. Ulama
fiqh memberikan persyaratan atau criteria yang harus dipenuhi oleh aqid antara lain:
-          Ahliyah
Keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan transaksi. Biasanya mereka
akan memiliki ahliyah jika telah baligh atau mumayyiz dan berakal. Berakal disini adalah
tidak gila sehingga mampu memahami ucapan orang-orang normal.Sedangkan mumayyiz
disini artinya mampu membedakan antara baik dan buruk; antara yang berbahaya dan tidak
berbahaya; dan antara merugikan dan menguntungkan.
-          Wilayah
Wilayah bisa diartikan sebagai hak dan kewenangan seseorang yang mendapatkan legalitas
syar’i untuk melakukan transaksi atas suatu obyek tertentu. Artinya orang tersebut memang
merupakan pemilik asli, wali atau wakil atas suatu obyek transaksi, sehingga ia memiliki hak
dan otoritas untuk mentransaksikannya. Dan yang terpenting, orang yang melakukan akad
harus bebas dari tekanan sehingga mampu mengekspresikan pilihannya secara bebas.
2.      Ma’qud ‘Alaih (objek transaksi)
Ma’qud ‘Alaih harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
  Obyek transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang dilakukan.
  Obyek transaksi harus berupa mal mutaqawwim (harta yang diperbolehkan syara’ untuk
ditransaksikan) dan dimiliki penuh oleh pemiliknya.
  Obyek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan
dikemudian hari.
  Adanya kejelasan tentang obyek transaksi.
  Obyek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang najis.
3.      Maudhu’ al-‘aqd
            Yaitu tujuan pokok dalam melakukan akad. Dalam akad jual beli, tujuan pokoknya
adalah memindahkan barang dari pihak penjual ke pihak pembeli dengan disertai
gantinya(uang/barang).
4.      Shighat,
            Shighat yaitu Ijab dan Qobul. Ijab Qobul merupakan ungkapan yang menunjukkan
kerelaan atau kesepakatan dua pihak yang melakukan kontrak atau akad.Definisi ijab menurut
ulama Hanafiyah adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukkan keridhaan yang
diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan maupun menerima, sedangkan qobul
adalah orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukkan
keridhaan atas ucapan orang yang pertama.
            Menurut ulama selain Hanafiyah, ijab adalah pernyataan yang keluar dari orang yang
menyerahkan benda, baik dikatakan oleh orang pertama atau kedua, sedangkan Qobul adalah
pernyataan dari orang yang menerima.
            Dari dua pernyataan definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa akad Ijab Qobul
merupakan ungkapan antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi atau kontrak atas
suatu hal yang dengan kesepakatan itu maka akan terjadi pemindahan ha kantar kedua pihak
tersebut.
            Dalam ijab qobul terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, ulama fiqh
menuliskannya sebagai berikut :
a. adanya kejelasan maksud antara kedua belah pihak.
b. Adanya kesesuaian antara ijab dan qobul
c. Adanya pertemuan antara ijab dan qobul (berurutan dan menyambung).
d. Adanya satu majlis akad dan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak,
tidak       menunjukkan penolakan dan pembatalan dari keduannya.

Ijab Qobul akan dinyatakan batal apabila :


a. penjual menarik kembali ucapannya sebelum terdapat qobul dari si pembeli.
b. Adanya penolakan ijab dari si pembeli.
c. Berakhirnya majlis akad. Jika kedua pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah
pisah dari majlis akad.Ijab dan qobul dianggap batal.
d. Kedua pihak atau salah satu, hilang ahliyah -nya sebelum terjadi kesepakatan
e. Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya qobul atau kesepakatan.
C.    Syarat- syarat Akad
      Setiap pembentuk aqad atau akad mempunyai syarat yang ditentukan syara’  yang wajib
di sempurnakan, syarat-syarat terjadinya  terjadinya akad ada dua macam, yaitu:
a.      Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya
dalam berbagai akad.
b.      Syarat-syarat yang bersifat khusus , yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam
sebagian akad , syarat khusu ini bisa disebut syarat idhafi (tanbahan) yang harus ada
disamping syarat-ayarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan. [7]
Syarat umum yang wajib dipenuhi dalam dalam berbagai macam akad:
1.      Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli), maka tidak sah orang yang tidak
cakap bertindak , seperti orang gila.
2.      Yang dijadikan obyek akad dapat menerima hukumnya.
3.      Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melekukannya,
walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.
4.      Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara’
5.      Akad dapat memberikan faidah, maka tidaklah sah bila rahn dianggap sebagai imbangan
amanah.
6.      Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul, maka orang yang berijab
menarik kembali ijabnya sebelum kabulnya, maka batallah kabulnya.
7.      Ijab dan kabul mesti bersambung, maka bila seseorang yang berijab sudah berpisah
sebelum adanya kabul maka ijab tersebut menjadi batal.[8]

D.    Macam- macam Akad


                   Setelah dijelaskan syarat-syarat akad, pada bagian ini akan dijelaskan macam-
macam akad , yaitu:
1.      ‘Aqad  Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad.
Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksanan akad ialah pernyatan yang tidak disertai
dengan syarat-syarat  dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan setelah adanya akad.
2.      ‘Aqad  Mu’allaq ialah akad yang didalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah
ditentukan dalam akad, seperti penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah
adanya pembayaran.
3.      ‘Aqad  Mudhaf ialah akad yang dalam pelaksanannya terdapat syarat-syarat mengenai
penanggulangan pelaksanaan akad, penyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga
waktu yang ditentukan, perkatan ini sah  dilakukan pada waktu akad, tapi belum mempunyai
akibat hukum sebelum tibanya waktu yang telah ditentukan .
Perwujudan akad tampak nyata pada dua keadaan, yaitu:
1.      Dalam keadaan muwadla’ah (taljiah) kesepakan dua orang secara rahasia untuk tuk
akmengumumkan apa yang tidak sebenarnya, hal ini ada tiga bentuk, yaitu:
a.       Bersepakat secara rahasia sebelum melakukan akad, bahwa mereka berdua akan
melakukan jual beli atau yang lainnya  secara lahiriah saja, untuk menimbulkan sangkaan
orang lain bahwa benda tersebut telah dijual, seperti menjual harta untuk  menghindari
penguasa yang zhalim atau penjualan harta untuk menghindari pembayaran hutang, hal ini
disebut mu’tawadlah pada asal akad.
b.      Mu’awadlah  terhadap benda yang digunakan untuk akad, seperti dua orang gantbersepakat
menyebut mahar dalam jumlah yang besar dihadapan naib, wali  pengantin laki-laki  dan wali
pengantin wanita sepakat untuk menyebut dalam jumlah besar, sedangakan mereka
sebenarnya telah sepakat pada jumlah yang kecil dari jumlah yang disebutkan dihadapan
naib, hal ini disebut juga muwadla’ah fi al-badal.
c.       Mu’wadlah pada pelaku (isim musta’ar) ialah seseorang yang secara lahiriah membeli
suatu barang atas  namanya sendiri, secara batiniah untuk keperluan orang lain , seperti
seseorang imembeli mobil atas namanya kemudian diatur surat-surat dan keperluan-
keperluan lainnya setelah selesai semuanya dia mengumumkan bahwa akad yang dia lakukan
sebenarnya untuk orang lain pembeli hanyalah  merupakan wakil yang membeli dengan
sebenarnya hal ini sama dengan wakalah  sirriyah (perwakilan rahasia).
2.      Hazl ialah ucapan-ucapan yang dikatakan secara main-main, mengolok-olok(istihza) yang
tidak dikehendaki  adanya akibat hukum dari akad tersebut. Hazl barwujud dalam beberapa
bentuk antara lain dengan muwadla’ah yang terlebih dahulu dijanjikan, seperti kesepakatan
dua orang yang melakukan akad bahwa akad itu hanya main-main atau disebut dalam akad
seperti seseorang berkata: “ buku ini pura-pura saya jual kepada anda “ atau dengan cara-cara
lain yang  menunjukkan karinah hazl.
Kecederaan-kecederaan kehendak ialah karena:
a.       Ikrah, cacat yang terjadi pada keridlaan
b.      Khilabah, ialah bujukan yang mambuat seseorang penjual suatu benda , terjadi pada akad.
c.       Ghalath, ialah persangkaan yang salah , seperti seseorang membeli sebuah motor ia
menyangka motor tersebut mesinya masih normal yang sebenarnya motor tersebut telah turun
mesin.
Selain akad munjiz, mu’allaq dan mudhaf macam-macam akad beraneka ragam tergantung
dari sudut pandang tujuannya , mengingat ada perbedaan-perbedaan tinjauan, maka  akad
akan ditinjau dari segi:
1.      Ada dan tidaknya qismah pada akad, maka akad terbagi manjadi dua bagian:
a.       Akad musammah , yaitu akad yang telah ditetapkan syara’ dan telah ada hukum-
hukumnya, seperti jual beli, hibah dan ijarah.
b.      Akad ghair musammah, yaitu akad yang belum ditetapkan oleh syara’  dan belum
ditetapkan hukum-hukumnya.
2.      Disyariatkan dan tidaknya akad, ditinjau dari segi ini akad terbagi menjadi dua bagian :
a.       Akad musyara’ah  ialah akad-akad yang dibenarkan oleh syara’ seperti gadai dan jual beli.
b.      Akad mamnu’ah ialah akad-akad yang dilarang syara’ seperti menjual anak binatang dalam
perut induknya.

3.      Sah dan batalnya akad , di tinjau dari segi ini terbagi dua:
a.       Akad shahibah, yaitu akad-akad yang mencukupi persyaratannya , baik syarat yang khusus
maupun syarat yang umum.
b.      Akad fasihah, yaitu akad-akad yang cacat atau cidera kerana kurang salah satu syarat-
syaratnya baik itu syarat umum maupun syarat khusus seperti nikah tanpa wali.,
4.      Sifat bendanya, ditinjaau dari sifat ini benda akad terbagi dua:
a.       Akad ‘ainiyah, yaitu akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang-barang seperti jual
beli.
b.      Akad ghair ‘ainiyah yaitu akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-barang,
karena tanpa penyerehan baranga-barang pun akad sudah berhasil seperti akad amanah.
5.      Cara melakukanya, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian :
a.       Akad yang harus dilaksanakan dengan udpacara tertentu seperti akad pernikahan dihadiri
oleh dua saksi , wali dan petugas pencatat nikah.
b.      Akad ridla’iyah yaitu akad-akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu dan terjadi karena
keridhoan dua belah pihak, seperti akad pada umumnya.
6.      Berlaku dan tidaknya akad, dari segi ini dibagi minjadi dua bagian:
a.       Akad nafidzah yaitu akad yang bebas atau terlepas penghalang-penghalang akad.
b.      Akad mauqufah yaitu akad-akad yang bertalian dengan persetujuan-persetujuan seperti
akad fudluli (akad yang berlaku setelah disetujui pemilik harta).
7.      Luzum  dan dapat dibatalkanya, dari segi ini  akad dapat dibagi empat:
a.       Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan seperti akad
kawin, manfaat perkawinan tidak dapat dipindahkan kepada orang lain , seperti bersetubuh,
tapi akad nikah dapat diakhiri dengan cara yang dibenarkan syara’ seperti thalak dan khulu’
b.      Akad  lazim yang menjadi hak kedua belah pihak  dan dapat dipindahkan  dan dirusakkan
seperti persetujuan jual beli dan akad-akad lainnya.
c.       Akad lazim yang menjadi hak salah satu pihak , seperti rahn , orang   yang menggadai
sesuatu  benda punya kebebasan kapan saja ia akan  melepaskan rahn atau menebus kembali
barangnya.
d.      Akad lazimah yang menjadi hak dua belah pihak tanpa menunggu  persetujuan  salah satu
pihak, seperti titipan boleh diminta oleh yang menitipkan  tanpa  menunggu persetujuan yang
menerima titipan atau yang menerima titipan boleh  mengembalikan barang yang dititipkan
kepeda yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan dari yang menitipkan.
8.      Tukar menukar hak, dari segi ini dibagi menjadi tiga bagian :
a.       Akad mu’awadlah yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik seperti jual beli.
b.      Akad tabarru’at , yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertololongan,
seperti hibah .
c.       Akad yang tabarruat pada awalnya dan menjadi akad mu’awadlah pada akhirnya seperti
qiradh dan kafalah.
9.      Harus dibayar ganti tidaknya, dari segi ini akad dibagi menjadi tiga bagian:
a.       Akad dhaman, yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua sesudah benda-benda
itu diterima seperti qaradh.
b.      Akad amanah, yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda , bukan  yang k oleh
yang memegang barang , seperti titipan.
c.       Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu  segi merupakan dlaman, menurut
segi yang lain merupakan amanah , seperti rahn(gadai).
10.  Tujuan akad, dari segi tujuannya akad dapat dibagi menjadi lima golongan:
a.       Bertujuan tamlik seperti jual beli.
b.      Bertujuan untuk mengadakan usaha bersama( perkongsian) seperti syirkah dan
mudharabah.
c.       Bertujuan tautsiq (memperkokoh kepercayaan) saja seperti rahn dan kafalah.
d.      Bertujuan menyerahkan kekuasaan seperti wakalah dan washiyah.
e.       Bertujuan mengadakan pemeliharaan , seperti ida’ atau titipan.
11.  Faur dan istimrar, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:
a.       Akad fauriyah yaitu akad-akad yang dalam pelaksanaannya tidak memerlukan waktu yang
lama, pelaksanaan akad hanya sebebtar saja seperti jual beli.
b.      Akad istimrar disebut pula akad zamaniyah, yaitu hukum akad terus berjalan , seperti
i’arah.
12.  Asliyah dan thahi’iyah, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:
a.       Akad asliyah yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya sesuatu dari yang
lain , seperti jual beli dan i’arah
b.      Akad  Thahi’iyahyaitu  akad yang membutuhkan adanya yang lain, seperti adanya rahn
tidak dilakukan bila tidak adanya hutang.

E.    Pengertian Khiyar
Secara bahasa, khiyar artinya: memilih, menyisihkan, dan menyaring. Secara umum
artinya adalah menentukan yang terbaik dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan orientasi.
Sedangkan menurut istilah ulama fiqih, khiyar artinya: Hak yang dimiliki orang yang
melakukan perjanjian usaha untuk memilih antara dua hal yang disukainya, meneruskan
perjanjian tersebut atau membatalkannya.
F.     Macam- macam Khiyar
1.    Khiyar majlis
           Khiyar majlis artinya antara penjual dan pembeli boleh memilih akan
melanjutkan jualbeli atau membatalkannya, selama keduanya masih ada
dalam satu tempat (majlis). Bila keduanya telah terpisah dari tempat
tersebut, maka khiyar majlis tidak berlaku lagi. Dasar ketentuan khiyar
ini adalah sabda Nabi Muhammad SAW berikut:
ِ َ‫ْالبَيِّ َعا ِن بِ ْال ِخي‬
‫ار َما لَ ْم يَتَفَ َّرقَا‬
"Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama belum
berpisah".
           Pendapat di atas adalah pendapat dari Shafi'iyyah dan Hanabilah.
Sedangan menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah, bahwa jika telah terjadi
ijab dan qabul, maka akad jual tersebut menjadi lazim (tetap atau
mengikat), sehingga tidak ada khiyar majlis. Hal ini didasarkan bahwa
Allah memerintahkan untuk menunaikan akad,sedangkan khiyar
tersebut justru menafikannya, dan orang yang membatalkan akad (dengan
melakukan khiyar) adalah orang yang tidak menunaikan akad. Mereka
juga beralasan bahwa akad dapat terlaksana dengan adanya saling
kerelaan, dan kerelaan itu dapat terwujud dengan adanya ijab dan
qabul, sehingga jika telah terdapat ijab dan qabul maka akad
bersifat lazim tanpa harus menunggu berakhirnya khiyar  majlis.
2.    Khiyar  ta'yin
           Khiyar ta'yin adalah hak untuk menentukan bagi seorang yang
melakukan akad antara tiga macam objek transaksi yang berbeda baik
dalam segi harga maupun sifatnya yang telah disebutkan ketika akad.
           Ketika ia telah menentukan satu pilihan maka jadilah barang yang dipilih
tersebut sebagai objek akad. Sebagai contoh, seseorang membeli
pakaian dengan 3 macam pilihan, namun pembeli belum menentukan
pakaian yang akan menjadi pilihannya selama waktu 3 hari atau jangka
waktu tertentu. Dalam jangka waktu ini, pembeli berhak untuk memilih
salah satu pakaian dengan harga yang disepakati dengan penjual.
           Menurut Shafi'iyyah dan Hanabilah, khiyar ini hukumnya adalah
batal atau dilarang karena mengandung unsur ghoror  dalam objek
transaksi. Berbeda menurut pendapat yang lebih diunggulkan di kalangan
Hanafiyyah. Akan tetapi Hanafiyyah menetapkan beberapa syarat sebagai berikut:
a.    Hak pilih hanya berlaku maksimal untuk 3 pilihan objek transksi.
Khiyar tidak dapat terlaksana jika objek pilihan lebih dari tiga.
b.    Barang-barang yang menjadi pilihan tersebut telah ditentukan harganya masing-masing,
sehingga yang tidak diketahui perbedaan sifat barang tersebut. Jika barang-barang tersebut
sama maka makna khiyar tidak ada. Selanjutnya, jika harga barang masing-masing belum
ditentukan maka berarti terdapat unsur  ghoror (ketidakjelasan). Sedangkan ketidakjelasan
dalam harga dapat merusak akad (fasid).
c.     Jangka waktu yang disepakati tidak boleh lebih dari tiga hari. Jika lebih dari tiga hari maka
akad tersebut menjadi fasid.Jika waktu telah usai maka jual beli menjadi lazim (mengikat),
dalam arti pembeli berkewajiban untuk memilih salah satu pilihan dan
menyerahkan harganya kepada penjual.
Hak khiyar ini bisa diwariskan.Jika pembeli meninggal sebelum menentukan pilihannya,
maka ahli warisnya harus menentukan pilihan dan menyerahkan harganya setelah jangka
waktu berakhir. Berkahirnya khiyar  ta'yin ini, dapat dilakukan
dengan pernyataan langsung dari pembeli misalnya ia mengatakan "aku
menerima barang ini bukan yang lainnya". Juga dapat dilakukan dengan
suatu perbuatan yang menunjukkan bahwa pembeli telah menentukan
pilihan atas barang tertentu. Selain itu, berakhirnya khiyar ini, dapat
terjadi jika salah satu objek rusak di tangan pembeli, dan jadilah barang
yang rusak tersebut sebagai objek akad yang menjadi pilihan dan harus
pembeli bayarkan harganya, sedangkan barang yang lain menjadi amanah
yang wajib ia kembalikan kepada penjual.
3.    Khiyar Syarat
           Khiyar Syarat adalah hak untuk meneruskan atau membatalkan transaksi bagi salah
satu pihak atau keduanya dengan syarat dalam jangka waktu tertentu.Pensyari'atan khiyar ini
dimaksudkan untuk menghindari penipuan dalam suatu transaksi.
           Jumhur ulama sepakat bahwa jangka waktu yang disyaratkan haruslah diketahui, jika
tidak diketahui maka akad tersebut adalah fasid menurut Hanafiyyah dan batil menurut
Shafi'iyyah dan Hanabilah.Sedangkan menurut Imam Malik, diperbolehkan melakukan
khiyar syarat tanpa memberi batasan jangka waktu.
           Lebih lanjut menurut Shafi'iyyah dan Hanafiyyah, jangka waktu yang disyaratkan
tidak boleh lebih dari 3 hari.Sedangkan menurut Hanabilah, jangka waktu tersebut sesuai
dengan kesepakatan kedua belah pihak yang bertransaksi dan boleh lebih dari 3 hari.
4.    Khiyar  'aib
           Merupakan hak untuk meneruskan atau membatalkan akad jualbeli karena adanya
unsur 'aib (cacat) yang terdapat pada objek akad. Dasar penshari'atan khiyar ini adalah hadith
Nabi sebagai berikut:
                                               ُ‫ْال ُم ْسلِ ُم أَ ُخو ْال ُم ْسلِ ِم اَل يَ ِحلُّ لِ ُم ْسلِ ٍم بَا َع ِم ْن أَ ِخي ِه بَ ْيعًا َوفِي ِه َعيْبٌ إاَّل بَيَّنَهُ لَه‬
"Orang muslim adalah saudaranya orang muslim. Tidak dihalalkan
bagi orang muslim untuk menjual kepada saudaranya dengan suatu
jualbeli yang di dalamnya terdapat 'aib kecuali apabila ia
menjelaskannya".
َ ِ‫ َواَل يَ ِحلُّ أِل َ َح ٍد يَ ْعلَ ُم َذل‬، ‫اَل يَ ِحلُّ أِل َ َح ٍد أَ ْن يَبِي َع َش ْيئًا إاَّل بَيَّنَ َما فِي ِه‬
ُ‫ك إاَّل بَيَّنَه‬
"Tidak dihalalkan bagi seseorang menjual sesuatu kecuali ia
menjelaskan apa yang ada di dalamnya, dan tidak dihalalkan bagi
seseorang yang mengetahui hal tersebut ('aib) kecuali ia
menjelaskannya".

           Hadith-hadith tersebut menunjukkan larangan jualbeli yang di


dalamnya terdapat 'aib kecuali apabila 'aib tersebut dijelaskan. Dengan
demikian ketika terjadi tindakan tadlis al-'aib (salah satu pihak
menyembunyikan 'aib yang terdapat dalam objek), maka dalam hal ini
berlaku ketentuan khiyar  'aib. Ulama Hanafiyyah menyebutnya dengan
khiyar  al-ghubn.
5.    Khiyar ru’yah (melihat)
           Khiyar ru’yah adalah hak pembeli untuk membatalkan atau tetap melengsungkan akad
ketika dia malihat obyek akad dengan syarat dia belum melihatnya ketika berlangsung akad,
atau sebelunya dia pernah melihatnya dalam batas waktu yang memungkinkan telah terjadi
perubahan atasnya.
6.    Khiyar Naqd (pembayaran )
           Khiyar naqd terjadi apabila dua belah pihak melakukan jual beli dengan keetentuan
jika pihak pembeli tidak melunasi pembayaran, atau pihak penjual tidak menyerahkan barang
dalam batas waktu tertentu.Maka pihak yang dirugikan mempunyai hak untuk membatalkan
atau tetap melangsungkan akad.

G.   Berakhirnya Akad
            Berakhirnya akad dapat disebabkan karena fasakh, kematian atau karena tidak adanya
pihak lain dalam hal akad mauquf.
a.       Berakhirnya akad karena fasakh. Hal-hal yang menyebabkan timbulnya fasakh nya akad
adalah sebagai berikut:
         Fasakh karena akadnya fasid (rusak), yaitu jika suatu akad berlangsung secara fasid
seperti akad pada ba’i al mu’aqqot atau ba’i al- majhul.Maka akad harus difasakh oleh para
pihak yang berakad atau oleh keputusan hakim.
         Fasakh karena khiyar.Pihak yang mempunyai wewenang khiyar berhak melakukan
fasakh terhadap akad jika menghendaki, kecuali dalam kasus khiyar ‘aib setelah penyerahan
barang.
         Fasakh berdasarkan iqalah, yaitu terjadinya fasakh akad karena adanya kesepakatan
kedua belah pihak.
         Fasakh karena tidak adanya realisasi.Fasakh ini hanya terjadi pada khiyar naqd, misalnya
karena rusaknya obyek akad sebelum penyerahan.
         Fasakh karena jatuh tempo atau karena tujuan akad telah terealisasi.
b.      Berakhirtnya akad karena kematian. Kematian menjadi penyebab berakhirnya sejumlah
akad , meskipun para ulama’ berbeda pendapat tentang masalah ini. Akad yang berakhir
karena kematian sebagai berikut:
         Akad dalam ijarah
         Akad dalam rahn dan kafalah
         Akad dalam syirkah dan wakalah
c.       Berakhirnya akad kerena tidak adanya izin pihak lain. Akad akan berakhir apabila pihak
yang mempunyai wewenang tidak mengizinkannya atau meninggal dunia sebelum ia
memberikan izin.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
 Kata akad berasal dari kata al-aqd yang berarti mengikat , menyambung  atau 
menghubungkan (ar-rabt).
 Setiap yang diinginkan manusia untuk mengerjakannya baik keinginan tersebut berasal
dari kehendaknya sendiri , misal dalam hal wakaf , atau kehendak tersebut timbul dari
dua orang , misalnya dalam hal hal jual beli , ijarah.
 Rukun akad, diantaranya: aqid, ma’qud ‘alaih, maudhu’ al-‘aqd, shighat.
 Syarat akad ada dua, yaitu syarat yang bersifat umum dan bersifat khusus.
 Macam- macam akad : ‘aqad Munjiz, ‘aqad Mua’laq, dan ‘aqad Mudhaf.
 Khiyar menurut bahasa memilih, menyisihkan, dan menyaring. Menurut istilah ulama
fiqih, khiyar adalah hak yang dimiliki orang yang melakukan perjanjian usaha untuk
memilih antara dua hal yang disukainya, meneruskan perjanjian tersebut atau
membatalkannya.
 Macam- macam khiyar : khiyar majlis, khiyar ta’yin, khiyar syarat, khiyar ‘aib, khiyar
ru’yah dan khiyar naqd.
 Sebab berakhirnya akad ada tiga, diantaranya: karena fasakh, kematian dan tidak adanya
izin pihak lain.

B.    Saran
Dengan selesainya makalah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang ikut andil wawasannya dalam penulisan ini.Tak lupa kami menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan
kritik yang membangun selalu kami tunggu dan kami perhatikan.
Semoga Allah SWT membalas semua jerih payah semua pihak yang telah
membantu  menyelesaikan makalah ini dan semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syariah Studi tentang Teori Akad dalam Fiqih


Muamalat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2007.
Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT Raja Grasindo Persada. 2006.
Chairuman Pasarubi dan Suhrawati K. Lubis. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta: Sinar
Grafika. Cetakan ketiga 2004.
Dimyauddin, Djuwaini. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. 2008.
Huda, Qomarul.  Fiqh Mu’amalah. Yogyakarta: Teras. 2011.
Suhendi, Hendi.  Fiqh Mu’amalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002.
Syafei, Rahmat.  Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia. 2006.
Kuliah syari'ah _ Hukum Syari'ah _ Bank Syari'ah _.html.
[1] Hendi suhendi, fiqh mu’amalah (jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2002), h.44-45
[2] Qomarul huda, fiqh mu’amalah (yogyakarta: teras,2011), h. 26
[3] Ibid.
[4] Ibid, h. 27
[5] Syamsul anwar, hukum perjanjian syariah studi tentang teori akad dalam fiqih muamalat,
(jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 68

[6] Ibid.
[7] Hendi suhendi, fiqh mu’amalah (jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2002), h. 49-50
[8] Ibid, h.50

Anda mungkin juga menyukai