Anda di halaman 1dari 20

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A219113


**Pembimbing

Frequency of acute bacterial meningitis in children with first episode of


febrile seizure

Amelia Rachel Zaebrina*


dr. Dian Angraeni, Sp.A, M.Kes**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020
LEMBAR PENGESAHAN

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

Frequency of acute bacterial meningitis in children with first episode of


febrile seizure

Oleh:
Amelia Rachel Zaebrina
G1A219113

Telah Diterima Dan Dipresentasikan Sebagai Salah Satu Tugas

Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi

Program Studi Pendidikan Kedokteran Universitas Jambi

Laporan Ini Telah Diterima dan Dipresentasikan

Jambi, Januari 2021


Pembimbing

dr. Dian Angraeni, Sp.A, M.Kes

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Clinical Science Session (CSS)
ini dengan judul “Frequency of acute bacterial meningitis in children with first episode of febrile
seizure”. Laporan ini merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Raden Mattaher Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai
pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Dian Angraeni,
Sp.A, M.Kes selaku pembimbing yang telah memberikan arahan sehingga laporan Clinical
Science Session ini dapat terselesaikan dengan baik, serta kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian Clinical Science Session ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada laporan ini, sehingga penulis
mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan laporan ini. Sebagai penutup semoga
kiranya laporan ini dapat bermanfaat bagi kita khusunya dan bagi dunia kesehatan pada
umumnya.

Jambi, Januari 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul...........................................................................................................
i
Lembar Pengesahan..................................................................................................
ii
Kata Pengantar..........................................................................................................
iii
Daftar Isi.....................................................................................................................
iv
TELAAH JURNAL...................................................................................................
1
TRANSLATE JURNAL............................................................................................
4

iv
TELAAH JURNAL

Frequency of acute bacterial meningitis in children with first episode of


febrile seizure

PICO

1. PATIENT, PROBLEM OR POPULATION


 Penelitian ini melibatkan pasien anak yang mengalami kejang demam episode
pertama yang datang ke unit gawat darurat anak, Federal Government Policlynic,
Postgraduate Medical Institute, Islamabad, Pakistan dari Desember 2012 hingga
Agutus 2013
 Permasalahan yang diangkat dalam jurnal ini adalah frekuensi kejadian meningitis
bacterial akut pada anak dengan kejang demam episode pertama serta perlunya
lumbal pungsi pada anak dengan episode kejang demam pertama yang datang ke
unit gawat darurat untuk menyingkirkan diagnosis meningitis bacterial akut.

2. INTERVENTION
Dalam penelitian ini tidak dilakukan intervensi karena penelitian ini dilakukan dengan
metode potong lintang (cross-sectional) dengan Teknik pengambilan sampel non-
probable sampling. Semua data dalam penelitian ini didapatkan dengan melakukan
pemeriksaan lumbal pungsi pada pasien anak dengan episode kejang demam pertama
yang datang ke unit gawat darurat.

3. COMPARISON
Adapun perbandingan yang dianalisis dalam penelitian ini yaitu jenis kelamin, frekuensi
anak dengan kejang demam episode pertama yang menderita meningitis, kelompok usia,
dan hasil kultur LP pada anak yang menderita meningitis, serta gejala klinis yang
biasanya terjadi pada anak dengan kejang demam episode pertama.

v
4. OUTCOME
Hasil penelitian ini menunjukkan, dari pasien tersebut, 157 (31%) memenuhi
kriteria inklusi. 91 (58%) adalah anak laki-laki dan 66 (42%) adalah anak perempuan.
Usia rata-rata pasien adalah 18.5 bulan (range 6-52 bulan). Diantara pasien tersebut, 12
(7,6%) pasien didiagnosis menderita ABM. Ditemukan juga penyebab lain dari demam
seperti infeksi saluran pernapasan bagian atas pada 61 (39%) pasien, infeksi saluran
kemih pada 22(14%) pasien, pneumonia pada 3(2%) pasein, gastroenteritis akut pada
25(16%) pasien, otitis media supuratif akut pada 13(8,3%) pasein, malaria pada 12(7,6%)
pasien, measles pada 8(5%) pasien, dan campak/chickenpox pada 1(0,6%) pasien.
Pada anak-anak yang mengalami episode pertama kejang disertai demam juga
terdapat beberapa gejala klinis yang dapat membantu menegakkan diagnosis, seperti
batuk pada 61(39%) anak, flu 38(24%), diare 25(16%), muntah 23(14,6%), dysuria
19(12%), nyeri telinga 11(7%), ruam 9(5,7%), kaku dan menggigil 4(2,5%) dan
keluarnya cairan telinga 3(2%). Anak- anak yang didiagnosis meningitis memiliki tanda
dan gejala yaitu: mengantuk 4(2,5%), ubun-ubun menonjol 3(2%), kaku kuduk 2(1,2%),
muntah 2(1,2%), dan tidak mau menyusu 1(0,6%).

VIA

1. VALIDITY
a. Kualitas Penelitian
Protokol peneltian ini telah disetujui oleh komite etik institusional peneliti
b. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan menggunakan metode potong lintang (cross-sectional)
dengan jenis pengambilan sampel non-probable sampling
c. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menilai perlunya pungsi lumbal pada anak-anak (usia
6-60 bulan) yang mengalami kejang demam pertama mereka, dan untuk menentukan
apakah pedoman AAP (American Academy of Pediatrics) dapat diterapkan di negara
Pakistan.

vi
d. Sampel Penelitian
Sampel pada penelitian ini berjumlah 157 anak, dengan 12 anak yang didiagnosis
menderita meningitis bacterial akut.
e. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari Desember 2012 hingga Agustus 2013.
f. Kriteria Inklusi
Semua pasien yang berusia anatara 6 – 60 bulan yang mengalami demam >100
derajat Fahrenheit dengan kejadian kejang demam episode pertama yang datang ke
unit gawat darurat dalam waktu 12 jam sejak kejang demam tersebut diikutsertakan
dalam penelitian ini.
g. Kriteria Ekslusi
Pasien dengan riwayat asfiksia peri-natal, kejang tanpa demam, cerebral palsy,
riwayat trauma, pasca operasi bedah saraf atau terpasang shunt, atau pasien anak yang
telah mengonsumsi antibiotic dalam waktu >48 jam tidak diikutsertakan dalam
penelitian ini.
h. Analisis Statistik
Data dalam penelitian ini dianalisis menggunakan SPSS 10. Mean dan standar deviasi
digunakan pada data kuentitatif, seperti usia dan suhu. Sedangkan frekuensi dan
persentase digunakan pada data kualitatif, seperti jenis kelamin dan meningitis.

2. IMPORTANCE
Kejang demam merupakan jenis kejang yang paling sering terjadi pada anak-anak dan
dapat merupakan manifestasi dari infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis.
Meningitis bacterial akut (ABM) adalah keadaan darurat medis yang mengancam nyawa.
Penundaan permulaan pengobatan dapat menyebabkan sekuele perkembangan saraf
jangka panjang. Maka dari itu, penelitian ini penting untuk mengetahui perlunya pungsi
lumbal pada tiap anak (usia 6-60 bulan) yang mengalami kejang demam episode pertama
yang datang ke unit gawat darurat untuk menyingkirkan meningitis bacterial.

3. APPLICABILITY

vii
Penelitian ini dapat dipakai sebagai referensi untuk mengetahui gambaran klinis
meningitis yang terlihat pada anak usia 6-60 bulan dengan kejadian kejang demam
episode pertama yang datang ke unit gawat darurat dan perlunya lumbal pungsi untuk
menyingkirkan meningitis bacterial akut pada anak usia tersebut sehingga membantu
penegakan diagnosis secara cepat.

viii
Frekuensi kejadian menigitis bacterial akut pada anak dengan episode
pertama kejang demam

Hina Batool Siddiqui, Nighat Haider, Zarmast Khan

ABSTRAK

Objektif: untuk menilai frekuensi meningitis bacterial akut pada anak dengan episode
pertama kejang demam

Metode: studi potong lintang ini dilakukan pada Poliklinik, Postgraduate Medical
Institute, Islamabad, Pakistan, dari Desember 2012 hingga Agustus 2013, dan
mengikutsertakan anak dengan episode pertama demam dan kejang. SPSS 10 digunakan
untuk analisis data.

Hasil: dari 157 pasien, 12(7.6%) terdiagnosa menderita menigitis bacterial akut dengan
5(41.6%) anak pada kelompok usia 6-12 bulan, 4(33.3%) anak usia 13-18 bulan, dan
3(25%) anak pada kelompok usia 19-60 bulan.

Kesimpulan: Klinisi yang merawat pasien anak pasca kejang demam sebaiknya
memfokuskan perhatian untuk mengidentifikasi penyebab dari demam pada anak
tersebut.

Kata kunci: Kejang demam, CSF, Pungsi lumbal, Meningitis. (JPMA 67: 1054;2017)

PENDAHULUAN

Kejang demam merupakan kejang yang paling sering terjadi pada masa kanak-kanak. Hal
ini didefinisikan sebagai kejang yang terjadi sehubungan dengan demam pada anak berusia 6
bulan sampai 5 tahun, tanpa bukti adanya infeksi sistem saraf pusat (SSP) atau penyebab kejang
lain yang dapat diidentifikasi dan tidak ada riwayat kejang afebris. Kejang ini sebagian besar
akan sembuh sendiri tanpa sekuele jangka panjang. Kejang demam diklasifikasikan sebagai
kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Sekitar 65-90% kejang demam bersifat
sederhana. Insidensi kejang demam di sebagian besar dunia adalah 2-5% dan sekitar 1-6% pasien
mengalami epilepsi di kemudian hari, terutama mereka yang memiliki riwayat kejang demam

ix
kompleks. Jika terdapat riwayat kejang demam pada keluarga, insidensinya akan meningkat
menjadi empat kali lipat dan 31% pada kerabat tingkat pertama. Hal ini juga menunjukkan
adanya keterkaitan genetik pada kejang ini, namun masih sedikit yang mengetahuinya. Alasan
lain mengapa demam menyebabkan kejang adalah peningkatan aktivitas listrik dari “heated
neuron” yang mungkin mengubah aktivitas kanal ion; sitokin dilepaskan selama demam,
khususnya interleukin-1 β, sehingga meningkatkan rangsangan neuron; dan alkalosis yang
disebabkan oleh hiperventilasi selama demam juga meningkatkan rangsangan saraf. Sebuah
penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa kejadian kejang demam, terutama yang kompleks,
telah meningkat selama dekade terakhir ini. Kejang demam sederhana sebenarnya tidak
memerlukan pengobatan. Tetapi untuk kejang demam kompleks yang berlangsung lebih dari 5
menit, terapi abortif akut harus dimulai. Disamping itu, konseling orang tua juga merupakan
aspek penting dalam manajemen kejang demam. Tidak ada peran pengobatan profilaksis;
faktanya, terdapat peningkatan risiko efek samping pada 30% pasien. Tidak ada mortalitas atau
morbiditas yang berhubungan dengan kejang demam, bahkan dengan kejang demam yang
berkepanjangan, tidak ada defisit motoric atau kognitif yang dilaporkan. Kejang demam
merupakan diagnosis eksklusi. Sehingga, sangat penting untuk menyingkirkan semua penyebab
kejang lainnya. Penting untuk mencari tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti
fontanela yang menonjol, edema papil dan tanda-tanda iritasi meningeal untuk menyingkirkan
meningitis. Karena meningitis bacterial akut (ABM) adalah keadaan darurat medis yang
mengancam nyawa, penundaan permulaan pengobatan dapat menyebabkan sekuele
perkembangan saraf jangka panjang. Kecurigaan klinis perlu didukung dengan analisis cairan
serebrospinal (CSF) untuk mengesampingkan meningitis.

Penelitian telah dilakukan di berbagai penjuru dunia mengenai perlunya pungsi lumbal
(LP) pada anak-anak yang mengalami episode pertama demam disertai kejang. American
Academy of Paediatrics (AAP) telah memberikan pedoman yang berguna untuk merasionalisasi
penggunaan rutin LP dan alat neurodiagnostik bagi anak dengan keadaan tersebut. Menurut
AAP, LP pada anak yang mengalami kejang demam sederhana pertama harus dilakukan pada
anak yang tampak sakit dengan tanda klinis dan gejala meningitis; pada anak usia 6-12 bulan
yang kurang imunisasi, terutama haemophilus (H.) influenzae tipe b (Hib) dan streptococcus (S.)
pneumoniae, atau pada anak yang status imunisasinya tidak diketahui; dan pada anak sudah
diobati dengan antibiotik. Pemeriksaan laboratorium atau radiologi dan elektroensefalogram

x
(EEG) tidak diperlukan. Berbagai studi sedang dilakukan secara internasional untuk menerima
atau menolak pedoman dari AAP, tetapi sayangnya data yang tersedia terbatas pada anak-anak di
Asia Selatan.

Pungsi lumbal merupakan sebuah tindakan invasive. Namun tindakan tersebut merupakan
satu-satunya tes diagnostic untuk meningitis, tetapi di lain pihak, hal tersebut meningkatkan
kecemasan pada orangtua pasien yang telah merasakan trauma saat menyaksikan anaknya
mengalami episode kejang. Penelitian ini dirancang untuk menilai perlunya pungsi lumbal pada
anak-anak yang mengalami kejang demam pertama mereka, dan untuk menentukan apakah
pedoman AAP dapat diterapkan di negara ini (Pakistan). Sebagain besar pasien yang datang ke
unit gawat darurat dengan deman serta kejang terdiagnosis sebagai kejang demam; mereka hanya
perlu observasi, penanganan yang efektif dari demam dengan tindakan sederhana dan konseling
orang tua.

PASIEN DAN METODE

Studi potong lintang ini dilakukan pada Departemen Emergensi Pediatrik, Poliklinik
Pemerintahan, Institusi Pascasarjana Medis, Islamabad, Pakistan, dari bulan Desember 2012
hingga Agustus 2013, yang mengikutsertakan anak-anak dengan episode pertama kejang demam.
Jumlah sampel dihitung dengan kalkulator WHO. Confidence Interval (CI) ditetapkan pada 95%,
proporsi populasi diantisipasi 7% dan presisi absolut sebesar 4%. Teknik pengambilan sampel
yang relative mudah digunakan yaitu non-probabilitas. Retang usia pasien berkisar 6 – 60 bulan
pada kejang demam pertama dengan suhu >100 derajat Fahrenheit, dan pasien yang datang ke
unit gawat darurat sebelum 12 jam setelah kejang demam juga diinklusikan. Pasien dengan
riwayat asfiksia peri-natal, kejang afebris, perubahan status mental atau cerebral palsy, riwayat
trauma, adanya intervensi bedah saraf dalam waktu dekat atau adanya shunt, atau yang
menggunakan antibiotic selama >48 jam terakhir harus diekslusikan.

Keluhan yang timbul pada tiap pasien dicatat dan mereka diperiksa sesuai dengan metode
pemeriksaan standar. Setelah mendapat persetujuan dari orang tua, pungsi lumbal dilakukan
bersamaan dengan pemeriksaan gula darah acak untuk melihat berapa banyak anak menderita
kejang demam yang memilki ABM (meningitis bacterial akut). Cairan serebrospinal diperlukan
untuk melihat jumlah sel dan jenisnya, protein, glukosa, serta kultur dan sensitivitas (C/S).
Cairan serebrospinal dianalisis dengan metode terstandarisasi oleh patolog.

xi
ABM terdiagnosa pada anak yang mengalami demam dan kejang berdasarkan pleositosis
CSF (jumlah sel darah putih/WBC > 5/uL), protein > 40 mg%, glukosa < 2/3 dari level gula
darah atau CSF C/S menunjukkan pertumbuhan mikroba.

Anak yang didiagnosis menderita meningitis segera dirawat dan diterapi sesuai
penyakitnya, sedangkan anak yang didiagnosis mengalami kejang demam diterapi dengan
antipiretik dan obat-obatan lain sesuai sumber infeksinya.

Persetujuan/izin penelitian telah didapat dari komite etik sebelum melaksanakan studi ini.
SPSS 10 digunakan dalam menganalissi data. Mean dan standar deviasi digunakan pada data
kuantitatif seprti usia dan suhu tubuh. Frekuensi dan persentase digunakan untuk data kategorial,
seperti jenis kelamin dan meningitis.

HASIL

Dari 18.243 pasien yang diikutsertakan dalam studi ini, 504 (2,8%) mengalami kejang.
Dari pasien tersebut, 157 (31%) memenuhi kriteria inklusi. Dari pasien yang diinklusikan
tersebut, 91 (58%) adalah anak laki-laki dan 66 (42%) adalah anak perempuan. Perbandingan
laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Usia rata-rata pasien adalah 18.54+14.7 bulan (range 6-52
bulan). Diantara pasien tersebut, 12 (7,6%) kasus didiagnosis menderita ABM. Penyebab lain
dari demam adalah infeksi saluran pernapasan bagian atas pada 61 (39%) pasien, infeksi saluran
kemih pada 22(14%) pasien, pneumonia pada 3(2%) pasein, gastroenteritis akut pada 25(16%)
pasien, otitis media supuratif akut pada 13(8,3%) pasein, malaria pada 12(7,6%) pasien, measles
pada 8(5%) pasien, dan campak/chickenpox pada 1(0,6%) pasien.

Table 1. Penyebab kejang demam selain meningitis


NO Penyebab Demam Jumlah (%)
1 Infeksi saluran napas atas 61 (39)
2 ISK 22 (14)
3 Pneumonia 3 (2.1)
4 Gastroenteritis akut 25 (16)
5 Otitis media supuratif akut 13 (8.3)
6 Malaria 12 (7.6)
7 Measles 8 (5)

xii
8 Chicken pox 1 (0.6)

xiii
Table 2. Gejala dan tanda dengan dan tanpa meningitis
NO Gejala & tanda tanpa meningitis Gejala & tanda dengan meningitis
1 Batuk 61 (39%) Mengantuk 4 (2.5%)
2 Flu 38 (24%) Penonjolan ubun-ubun 3 (2%)
3 Diare 25 (16%) Kaku kuduk 2 (1.2%)
4 Muntah 23 (14.6%) Muntah 2 (1.2%)
5 Dysuria 19 (12%) Tidak mau makan 1 (0.6%)
6 Nyeri telinga 11 (7%)
7 Ruam 9 (5.7%)
8 Kaku dan menggigil 4 (2.5%)
9 Keluarnya secret telinga 3 (2%)

Pada anak yang menderita ABM, 5(41,6%) anak berada pada rentang usia 6-12 bulan,
4(33,3%) anak berada pada rentang usia 13-18 bulan dan 3(25%) anak pada rentang usia 19-60
bulan. Lalu, 7(58,3%) kasus meningitis menunjukkan hasil kultur positif. Pada kelompok umur
6-12 bulan, 2(1.3%) kulturnya positif streptococcus pneumoniae, 1(0,6%) positif H. influenza
dan tidak terdapat pertumbuhan kuman pada 2(1.3%) sampel CSF lainnya. Juga, 2(1.3%) kultur
terbukti positif untuk S.pneumoniae pada kelompok umur 19-60 bulan dan tidak terlihat
pertumbuhan pada 1(0,6%) kultur lainnya.

Pada anak-anak yang mengalami episode pertama kejang disertai demam juga terdapat
beberapa gejala klinis yang dapat membantu menegakkan diagnosis, seperti batuk pada 61(39%)
anak, flu 38(24%), diare 25(16%), muntah 23(14,6%), dysuria 19(12%), nyeri telinga 11(7%),
ruam 9(5,7%), kaku dan menggigil 4(2,5%) dan keluarnya cairan telinga 3(2%). Anak- anak
yang didiagnosis meningitis memiliki tanda dan gejala yaitu: mengantuk 4(2,5%), ubun-ubun
menonjol 3(2%), kaku kuduk 2(1,2%), muntah 2(1,2%), dan tidak mau menyusui 1(0,6%).

Anak-anak yang mengalami demam disertai kejang memiliki rata-rata suhu tubuh
101.69+1.7 derajat Fahrenheit (rentang: 100-105 derajat).

DISKUSI

xiv
Kejang demam merupakan jenis kejang yang paling sering terjadi pada anak-anak yang
datang ke unit gawat darurat. Studi ini bertujuan untuk menilai perlunya pungsi lumbal pada
semua anak (usia 6-60 bulan) yang datang ke bagian gawat darurat untuk menyingkirkan
meningitis bacterial akut. Sebuah penelitian yang dilakukan di Inggris Raya (UK) menunjukkan
insidensi kejnag demam pada anak-anak di Asia Selatan (terutama suku Pakistani) yang lebih
tinggi dibandingkan dengan anak-anak diluar Asia Selatan.

Dalam studi ini, 12(7,6%) pasien didiagnosa dengan meningitis bacterial akut. Sebuah
studi oleh Jay Krishin dkk., menemukan insidensi ABM pada 4,8% pasien dengan kejang
demam. Meskipun studi tersebut melingkupi kota yang sama, insidensi meningitis bacterial akut-
nya lebih rendah daripada studi kami, tentu saja dikarenakan lebih banyak pasien usia muda di
studi kami, yang memiliki kekebalan yang lebih rendah dan sangat rentan terkena infeksi bakteri.
Sebuah penelitian di Taif menunjukkan hanya 6(2%) pasien yang menderita meningitis.
Penelitian lain yang dilakukan di Nepal pada tahun 2008 membuktikan dari 175 pasien, 17%
terdiagnosa menderita ABM. Hal tersebut menunjukkan bahwa insidensi ABM berbeda pada tiap
negara di Asia.

Studi terbaru menunjukkan dari 12 anak yang menderita meningitis, 7(58%) anak
berjenis kelamin laki-laki dan 5(42%) anak perempuan. Hal ini sama dengan penelitian yang
dilakukan di Iran dimana dari 19 anak yang mengalami kejang demam menderita menigitis
bacterial akut, 11(58%) diataranya adalah laki-laki dan 8(42%) sisanya adalah perempuan.

Selain itu, untuk data pribadi, peneliti mencatat gejala klinis terkait pada anak-anak
dengan demam dan kejang. Kebanyakan pasien meningitis ini menunjukkan gejala berikut: sulit
makan, ubun-ubun yang menonjol, perubahan sensoris, muntah, dan kaku kuduk. Namun, dalam
sebuah penelitian yang dilakukan di Iran, hanya 12(4,7%) pasien yang didiagnosis meningitis.
Diantara anak-anak dengan meningitis tersebut setidaknya terdapat satu diantara tanda dan gejala
betikut: penonjolan ubun-ubun, kaku kuduk, letargi, irritable, sakit kepala, muntah, mengantuk,
toksisitas, koma, kejang kompleks, usia < 12 bulan dan penggunaan antibiotic sebelumnya.
Mereka menyimpulkan bahwa tidak diperlukan pungsi lumbal rutin pada setiap anak yang
mengalami kejang demam. Namun pungsi lumbal wajib dilakkan pada bayi usia dibawah 12
bulan atau pada anak yang telah mengonsumsi antibiotic sebelumnya.

xv
Studi terbaru menemukan bahwa dari 12 anak dengan ABM, 5(41,6%) anak berada pada
kelompok usia 6-12 bulan, 4(33,3%) dalam kelompok usia 13-18, dan 3(25%) pada kelompok
usia 19-60 bulan. Berdasarkan sebuah penelitian di Nepal, pada 110 pasien rawat inap,
16(14,54%) didiagnosis menderita meningitis pada kelompok usia 6-12 bulan dan 13-18 bulan
masing-masing berjumlah 6(37,5%) pasien serta 4(25%) pada kelompok usia 19-60 bulan.
Sejalan dengan penelitian ini, dimana mereka menyimpulkan bahwa pungsi lumbal harus
dilakukan untuk menyingkirkan meningitis pada anak kelompok usia 6-18 bulan pada episode
pertama kejang demam mereka, bahkan jika tidak ditemukannya tanda-tanda infeksi meningeal.

Penelitian ini juga mendukung pedoman AAP. Namun, Kimia dkk., melakukan penelitian
besar terhadap kelompok usia 6-18 bulan dengan episode pertama kejang demam sederhana dan
tidak ditemukan adanya anak yang menderita meningitis pada kelompok usia ini. Mereka bahkan
merekomendasikan AAP untuk merevisi pedoman yang telah dibuat berkaitan dengan keharusan
pungsi lumbal pada kelompok usia ini. Terdapat penelitian lain yang juga mendukung
kesimpulan tersebut. Misalnya, Teach dan Geil yang mengevaluasi 243 anak-anak pada
kelompok usia 3-60 bulan dan menemukan tidak terdapat pasien yang menderita meningitis.
Dimana, Hampers dkk., juga mendapatkan kesimpulan yang sama. Meta-analisis terbaru bahkan
meneliti mengenai pemeriksaan pungsi lumbal rutin tidak hanya pada kejang demam sederhana,
tetapi juga pada kejang demam komplek yang terjadi pada bayi dan anak-anak yang belum
diimunisasi. Tetapi penelitian ini dilakukan di negara maju, yang mungkin tidak dapat diterapkan
di negara berkembang, yang mungkin memiliki perbedaan pada organisme penyebab, kondisi
social-ekonomi, dan status imunisasi.

Pada anak-anak usia >18 bulan dapat terlihat dengan jelas tanda dan gejala dari
meningitis bacterial akut pada penelitian ini, dimana sangat mendukung untuk dilakukannya
pungsi lumbal. Namun pada anak-anak uisa <18 bulan, disamping sangat rentan mengalami
ABM juga tidak menunjukkan gejala klinis yang khas untuk penegakan diagnosis ABM.
Sebagian besar gejala meningitis, seperti muntah, tidak mau makan, irritable, penurunan
sensoris, juga sangat sering ditemukan pada penyakit lain misalnya infeksi saluran napas atas,
infeksi saluran kemih, gastroenteritis akut, dan otitis media supuratif akut, dimana sangat
dibutuhkan pungsi lumbal untuk penegakan diagnosis pasti dari meningitis.

xvi
Pedoman yang telah dibuat tidak dapat digunakan pada pasien dengan kejang demam
kompleks (kejang prolong, fokal, dan/atau berulang) dan juga tidak dapat digunakan pada anak-
anak dengan riwayat gangguan neurologis, abnormalitas SSP, atau kejang afebris.

Saat diputuskan untuk melakukan pungsi lumbal, kultur darah sebaiknya juga dilakukan
untuk membantu mendeteksi organisme penyebab infeksi. Sangat direkomendasikan untuk
melakukan kultur darah pada tiap kasus kecurigaan, terutama bila terdapat kontraindikasi
pemeriksaan pungsi lumbal. Hasil kultur yang positif mungkin menunjukkan berbagai macam
jenis organisme penyebab. Pada kultur darah positif ditemukan meningococcal meningitis 40%,
H. influenzae 50-90%, dan S. pneumoniae 75%. Kadar glukosa darah juga harus diperiksa rutin
untuk menilai apakah kadar glukosa pada CSF <70% dari kadar glukosa darah, dimana
merupakan salah satu karakteristik dari meningitis bacterial.

Pakistan merupakan negara yang belum berkembang (underdeveloped), dimana tingkat


imunisasinya hanya sekitar 50% dengan jumlah data yang sangat terbatas. Oleh karena itu, status
imunisasi sebagian besar anak di Pakistan masih diragukan, sehingga memungkinkan untuk
terjadi peningkatan ABM. Meningitis bacterial akut merupakan kondisi yang dapat mengancam
jiwa dan keterlambatan dalam mendiagnosisnya dapat menimbulkan sekuele jangka panjang. Hal
lain yang juga penting adalah pungsi lumbal yang dilakukan pada anak usia <18 bulan.
Disamping itu, anak- anak usia >18 bulan yang datang ke unit gawat darurat dengan kejang
demam pertama mereka dan tidak menunjukkan tanda dan gejala meningitis hanya perlu
observasi selama minimal 2 jam dengan tatalaksana demam yang efektif serta edukasi kepada
orang tua. Kami merekomendasikan bahwa meningitis harus dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding pada tiap anak dengan demam, dan pungsi lumbal perlu dilakukan jika anak tersebut
menunjukkan tanda dan gejala klinis terkait, karena keterlambatan diagnosis dapat menyebabkan
peningkatan morbiditas dan mortalitas terkait ABM.

Pungsi lumbal juga sebaiknya dilakukan pada anak-anak usia <18 bulan yang mengalami
deman disertai kejang pada episode pertama, terutama jika mereka belum diimunisasi H.
influnenzae tipe B dan S. pneumoniae atau jika status imunisasinya tidak diketahui.

Lalu, pada anak-anak usia >18 bulan yang mengalami kejang demam pertama kali namun tidak
menunjukkan gejala klinis dari meningitis hanya perlu diobservasi di unit gawat darurat selama

xvii
kurang lebih 2 jam pasca-kejnag, dengan tatalaksana demam yang efektif dan edukasi terhadap
orang tua.

KESIMPULAN

Klinisi yang mengevaluasi bayi atau anak-anak setelah periode kejang demam simpleks
seharusnya memfokuskan perhatian mereka dalam mengidentifikasi penyebab dari demam anak
tersebut. Pungsi lumbal merupakan pilihan bagi anak-anak yang sebelumnya pernah diterapi
dengan antibiotic

xviii
DAFTAR PUSTAKA
1. Graves RC, Oehler K, Tingle LE. Febrile Seizures: Risks, Evaluation, and
Prognosis.AmFam Phys. 2012; 85:149-53.
2. Cross JH. Fever and fever-related epilepsies.Epilepsia. 2012; 53:3-8.
3. Waruiru C, Appleton R. Febrile seizures: an update. Arch Dis Child.2004; 89:751-6.
4. Fetveit A. Assessment of febrile seizures in children. EuroJ Pediatr.2008; 1:17-27.
5. Singh NA, Pappas C, Dahle J, Claes LRF, Pruess TH, Jonghe PD, et al.A Role of SCN9A
in Human Epilepsies, As a Cause of Febrile Seizures and As a Potential Modifier of
DravetSyndrome.PLoSGenet. 2009; 5:e1000649.
6. Dubé CM, Brewster AL, Richichi C, Zha Q, Baram1 TZ. Fever, febrile seizures and
epilepsy.Trends Neuro Sci. 2007; 30:490-6.
7. Li N, Chen YZ, Zhou KY. Changing trends and clinical characteristics of febrile seizures
in children.Zhongguo Dang Dai Er Ke Za Zhi.2015; 17:176-9.
8. Seinfeld DOS, Pellock JM. Recent Research on Febrile Seizures: A Review. J Neurol
Neurophysiol. 2013; 4:19519.
9. MohammadiM.Febrile Seizures: Four Steps Algorithmic Clinical Approach. Iran J
Pediatr. 2010; 20:5-15.
10. Chung S.Febrileseizures.Korean J Pediatr. 2014; 57:384-95.
11. Subcommittee on Febrile Seizures, American Academy of Pediatrics.Neurodiagnostic
Evaluation of the Child with a Simple Febrile seizure. Pediatrics. 2011; 127:389-94.
12. Kimia AA, Capraro AJ, Hummel D, Johnston P, Harper MB. Utility of Lumbar Puncture
for First Simple Febrile Seizure Among Children 6 to 18 Months of Age. Pediatrics.
2009; 123:6-12.
13. World Health Organization. STEPS Sample Size Calculator and Sampling Spreadsheet.
[Online] [Cited 2012 November 20]. Available from URL:
http://www.who.int/chp/steps/resources/sampling/en/.
14. Hamdy NA, Ginby D, Feltbower R, Ferrie CD. Ethnic differences in the Incidence of
Seizure disorders in children from Bradford, United Kingdom.Epilepsia. 2007; 48:913-6.
15. Krishin J, Hussain M, Rahman AU, Amber W. Utility of lumbar puncture in the
diagnosis of bacterial meningitis among children with febrile seizures and without
clinical signs of meningitis. Ann Pak Inst med Sci. 2012; 8:110-12.
16. Saeed M, Nadeem T, Nufiee SMA. Is lumbar puncture necessary among children with
first febrile seizure? Pak Paed J.2011;3:145-8.
17. Joshi Batajoo R, Rayamajhi A, Maheseth C. Children with a first episode of fever with
seizure: is lumbar puncture necessary? JNepal Med Assoc. 2008; 47:109-12.
18. Tavasoli A, Afsharkhas L, Edraki A. Frequency of Meningitis in Children Presenting
with Febrile Seizures at Ali-Asghar Children's Hospital. Iran J Child Neurol. 2014; 8:51-
6.
19. Ghotbi F, Shiva F. An Assessment of the Necessity of Lumbar puncture in Children with
Seizure and fever. J Pak Med assoc.2009; 59:292-5.

xix
20. Shrestha SK. Role of CSF Analysis for the First Episode of Febrile Seizure among
Children between Six Months to Five Years of Age.JNepal Paed Soc. 2010; 30:90-3.
21. Teach SJ, Geil PA. Incidence of bacteraemia, urinary tract infections, and unsuspected
bacterial meningitis in children with febrile seizures.PediatrEmerg Care.1999; 15:9-12.
22. Hampers LC, Trainor JL, Listernick R, Eddy JJ, Thompson DA, Sloan EP, et al. Setting-
based practice variation in the management of simple febrile seizure. AcadEmerg Med.
2000; 7 :21-7.
23. Najaf-Zadeh A, Dubos F, Hue V, Pruvost I, Bennour A, Martinot A.Risk of Bacterial
Meningitis in Young Children with a First Seizure in the Context of Fever: A Systematic
Review and Meta-Analysis.PLoS One. 2013; 8:e55270.
24. Brouwer MC, Tunkel AR, Beek DVD. "Epidemiology, diagnosis, and antimicrobial
treatment of acute bacterial meningitis," Clin MicroRev. 2010; 23;467-92.

xx

Anda mungkin juga menyukai