Anda di halaman 1dari 36

Sari Pustaka

POLA BAKTERI SERVIKOVAGINAL TERHADAP KETUBAN PECAH


DINI PADA KEHAMILAN KURANG BULAN

UNIVERSITAS ANDALAS

Oleh :

dr. Bayu Permana

PESERTA PPDS

Pembimbing :

DR. dr. H. Ariadi, SpOG

BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNAND

RSUP Dr. M. DJAMIL - PADANG

2020
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS)
BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

LEMBARAN PENGESAHAN

Nama : dr. Bayu Permana


Semester : IV (Empat)

Telah menyelesaikan presentasi : Sari Pustaka

Judul : Pola Bakteri Servikovaginal Terhadap Ketuban Pecah Dini Pada


Kehamilan Kurang Bulan

Padang, Maret 2020

Mengetahui / menyetujui Peserta PPDS

Pembimbing

DR. dr. H. Ariadi, SpOG dr. Bayu Permana

Mengetahui

KPS PPDS OBGIN

FK UNAND RS. Dr. M. DJAMIL PADANG

DR. dr. Bobby Indra Utama, Sp.OG(K)

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan sari pustaka yang berjudul
"Pola Bakteri Servikovaginal Terhadap Ketuban Pecah Dini Pada Kehamilan
Kurang Bulan.” Sari pustaka ini ditujukan sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi
semester 4.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada DR. dr. H. Ariadi, SpOG,
sebagai pembimbing yang telah membantu dalam penulisan sari pustaka ini.
Penulis menyadari bahwa sari pustaka ini masih banyak kekurangan, oleh karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang membaca demi
kesempurnaan sari pustaka ini. Penulis juga berharap sari pustaka ini dapat
memberikan dan meningkatkan pengetahuan serta pemahaman tentang pola
bakteri servikovaginal terhadap ketuban pecah dini pada kehamilan kurang bulan
terutama bagi penulis sendiri dan bagi rekan-rekan sejawat lainnya.

Padang, Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBARAN PENGESAHAN ................................................................................ i


KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iv
BAB 1 ..................................................................................................................... 1
BAB 2 ..................................................................................................................... 3
2.1 Ketuban Pecah Dini ...................................................................................... 3
2.1.1 Definisi.................................................................................................... 3
2.1.2 Epidemiologi ........................................................................................... 3
2.1.3 Faktor Risiko........................................................................................... 4
2.1.4 Struktur dan Fungsi Selaput Ketuban ..................................................... 5
2.1.5 Patofisiologi ............................................................................................ 6
2.1.6 Diagnosis .............................................................................................. 11
2.1.7 Tatalaksana ........................................................................................... 13
2.1.8 Komplikasi ............................................................................................ 15
2.2 Mikroorganisme Normal Saluran Genital Wanita....................................... 16
2.2.1 Mikroorganisme Normal Saluran Genital pada Wanita Hamil ............ 17
2.2.2 Mikroorganisme Penyebab Infeksi Saluran Genital Wanita................. 18
2.2.3 Hubungan Infeksi pada Saluran Genital dengan Ketuban Pecah Dini . 26
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 28

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Skema Lapisan Selaput Ketuban ........................................................ 5


Gambar 2. 2 Lokasi Potensial Infeksi Bakteri ........................................................ 8
Gambar 2. 3 Pemeriksaan indeks cairan amnion dengan ultrasonografi .............. 12

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban


sebelum terjadinya persalinan. Jika pecahnya selaput tersebut usia kehamilan 37
minggu disebut dengan premature rupture of membranes (PPROM), sedangkan
yang terjadi di atas usia kehamilan 37 minggu disebut dengan premature rupture
of membranes (PROM). PPROM menimbulkan komplikasi pada 3%-8%
kehamilan dan bertanggung jawab pada 20%-30% dari semua kelahiran prematur
dan morbiditas perinatal.1-3

Satu dari faktor risiko KPD saat ini yang dikenal di berbagai literatur
adalah akibat adanya bakteri, jamur dan infeksi vagina campuran pada kehamilan
trimester ketiga. Kontaminasi mikroorganisme patogen pada lingkungan vagina
bisa menyebar ke serviks dan mencapai kavitas amnion sehingga dapat
mencetuskan inflamasi lokal dan/atau proses proteolitik yang mengakibatkan lesi
pada selaput.4

Infeksi genital menyebabkan peningkatan morbiditas yang signifikan


diantara wanita kelompok usia produktif terutama selama masa kehamilan. Sel
inflamasi yang diproduksi akibat infeksi genital dihubungkan dengan melemahnya
selaput ketuban sehingga terjadilah KPD.5

Infeksi vagina ditandai tidak hanya oleh keberadaan mikroorganisme


patogen, tetapi juga perubahan mikroorganisme vagina normal yang
mengakibatkan berkurangnya jumlah Lactobacillus.6

Pada sebuah penelitian, analisis dari 105 swab vagina, 31 didapatkan dari
persalinan kurang bulan dan 74 dari KPD. 80% dengan hasil kultur negatif dan
20% kultur positif. Pada penelitian ini, prevalensi infeksi genital pada ibu dengan
persalinan kurang bulan adalah sebanyak 16.1% dan 21,6% pada PPROM.6
Sebuah penelitian di India oleh Taralekar et al, menyatakan bahwa terdapat
infeksi 2-3 kali lebih sering ditemukan pada pasien dengan PPROM dibandingkan
dengan PROM.7

1
Kondisi anhidramnion yang memanjang setelah terjadinya PPROM
dikaitkan dengan empat kali lipat risiko komplikasi yang buruk seperti kematian,
gangguan neurologi berat dan retinopati berat.8 Risiko yang paling signifikan pada
janin setelah persalinan dengan PPROM adalah komplikasi prematuritas.
Gangguan saluran napas dilaporkan sebagai komplikasi persalinan yang paling
sering. Selain itu seperti sepsis, perdarahan intraventrikel dan necrotizing
enterocolitis juga berhubungan dengan prematuritas, namun tidak cukup sering.9

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ketuban Pecah Dini

2.1.1 Definisi

Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai kebocoran spontan cairan


amnion dari kantung amnion. Cairan ini keluar dari selaput ketuban yang terjadi
setelah 28 minggu kehamilan dan sekurang-kurangnya 1 jam sebelum terjadinya
tanda persalinan. Dikatakan sebagai premature rupture of membranes (PPROM)
apabila terjadi sebelum 37 minggu usia kehamilan. Istilah premature rupture of
membranes (PROM) apabila terjadi setelah 37 minggu usia kehamilan termasuk
pada kasus-kasus lewat bulan yang terjadi setelah 40 minggu usia kehamilan.
KPD dapat dibagi menjadi: KPD awal (kurang dari 12 jam sejak pecahnya
selaput) dan KPD memanjang (12 jam atau lebih sejak pecahnya selaput
ketuban.10

2.1.2 Epidemiologi

Masalah KPD ini terjadi sekitar 3-4% dari semua kehamilan dan 40-50%
dari semua persalinan. Sekitar 560.000 bayi lahir secara prematur tiap tahunnya di
Amerika Serikat, yang mana sebanyak 150.000 persalinan prematur merupakan
komplikasi dari KPD kurang bulan. Jumlah kasus KPD kurang bulan melampaui
kasus preeklampsia dan diabetes gestasional serta penyakit iatrogenik lainnya.
Mortalitas dan morbiditas neonatus lebih tinggi pada kelompok KPD kurang
bulan dibandingkan dengan cukup bulan. Namun, KPD kurang bulan merupakan
dampak buruk pada kehamilan yang kerap terabaikan. Meskipun perkembangan
perawatan prenatal yang telah maju selama tiga dekade ini, rerata KPD kurang
bulan dan kelahiran tetap buruk.11

3
2.1.3 Faktor Risiko

Pada sebuah penelitian kasus kontrol, Saremi et al meneliti faktor risiko


ibu yang mana termasuk didalamnya yaitu kultur vagina, riwayat abortus dan
panjang serviks pada 121 subyek sebagai kontrol (tanpa KPD) dan 121 subyek
dengan KPD. Hasil penelitian ini menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan
antara jumlah kehamilan, prosedur ikat leher rahim (cerclage), dan kultur vagina
dengan KPD kurang bulan.12

Penelitian lain oleh Al Riyami et al., 44 wanita dengan KPD kurang bulan
disurvey untuk mencari hubungan faktor risiko dan efek samping nya pada wanita
Oman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor risiko yang paling penting
adalah riwayat infeksi pada 24 subyek penelitian. Selain itu, tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara usia kehamilan, paritas, usia ibu, IMT ibu dan
operasi caesar. Infeksi memiliki peran yang signifikan baik sebagai faktor risiko
dan penyebab KPD yang mana sebanyak 27% pada subyek penelitian.
Kesimpulannya para peneliti menyatakan bahwa infeksi masih menjadi faktor
resiko tinggi pada pasien dengan KPD kurang bulan.13

Usia ibu merupakan satu dari faktor risiko yang penting pada kejadian
KPD. Usia di bawah 20 tahun berhubungan dengan perkembangan uterus dan oleh
sebab itu menjadi risiko peningkatan KPD. Pada beberapa penelitian, usia 30
tahun keatas juga merupakan faktor risiko kejadian KPD.14

Pendidikan ibu memainkan peran yang penting pada perkembangan KPD.


Ibu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih waspada
terhadap kondisi kesehatan mereka dan keluarganya terlepas dari nutrisi dan
kontrol kesehatan selama kehamilan. Sehingga, ibu-ibu dengan tingkat pendidikan
lebih tinggi mampu mengindentifikasi perubahan pada kehamilan mereka dengan
cepat.15

Kehamilan ganda merupakan satu dari alasan terjadinya KPD. Suatu teori
menyatakan bahwa penyebab KPD ialah akibat regangan uterus yang berlebihan,
contohnya pada kehamilan ganda, polihidramnion dan gangguan presentasi janin.
Akibat rengangan yang besar pada rahim, infeksi dapat memasuki kantung

4
amnion selama proses biomekanik terjadi dan selaput ketuban mudah pecah. Hasil
penelitian ini menunjukkan lebih dari 53% ibu-ibu denganKPD memiliki panjang
serviks yang kurang dari 35 mm sehingga panjang serviks yang kurang, dipahami
sebagai suatu faktor dalam terjadinya KPD.12

2.1.4 Struktur dan Fungsi Selaput Ketuban

Selaput ketuban manusia atau dikenal juga dengan selaput amnion


merupakan lapisan dalam pada kavitas intrauterin pada masa kehamilan. Jaringan
selaput ini berbeda dari plasenta dan bertindak sebagai penghalang antara janin
dan ibu. Selaput ketuban terbagi dari amnion (bagian terdalam kavitas
intraamnion) dan korion (jaringan pada janin yang berhubungan dengan desidua
ibu) yang dihubungkan dengan matriks ekstraseluler yang mengandung banyak
kolagen. Matriks ekstraseluler ini terbuat dari protein fibrosa dan juga berbagai
tipe kolagen sehingga menyediakan struktur selaput ketuban. Amnion dipenuhi
oleh cairan amnion yang mana berperan penting sebagai responder terhadap
perubahan di kavitas amnion. Korion berdekatan dengan proksimal desidua ibu
dan mempertahankan toleransi imunitas pada pertemuan ibu dan janin.11

Gambar 2. 1 Skema Lapisan Selaput Ketuban8

5
Amnion dan korion merupakan jaringan yang berasal dari janin yang
memiliki peran utama mempertahankan kehamilan dengan menyediakan
perlindungan bertingkat pada janin yang sedang berkembang. Selaput ketuban
mempertahankan lapisannya dari berbagai ancaman (imun, struktur, mekanik dan
endokrin) selama kehamilan yang terus tumbuh dan juga mempertahankan
elastisitas selaput terhadap regangan akibat pertumbuhan janin. Meskipun selaput
ini melapisi plasenta dan serviks serta menghadapi berbagai gangguan saat
kehamilan, selaput ketuban masih mempertahankan keseimbangan homeostatik
yang dibutuhkan untuk menjaga pertumbuhan janin. Hubungan antara janin dan
selaput ketuban akan terus berlanjut hingga kehamilan mencapai cukup bulan
dimana janin mencapai maturasi.11

2.1.5 Patofisiologi

1. Remodelling Anatomi Patologi

Lokasi tersering pecahnya selaput ketuban pada KPD adalah area


supraservikal (membran yang melapisi ostium pada area serviks). Selaput ketuban
pada daerah ini berubah secara struktural, mudah rapuh dan banyak mengandung
bakteri. Pengalaman klinis menunjukkan bahwa tidak semua kasus KPD
mengikuti pola robekan klasik ini. Beberapa pasien dengan hasil tes KPD yang
positif menunjukkan jumlah cairan amnion yang normal pada pemeriksaan
ultrasonografi. Pasien-pasien ini memiliki prognosis yang lebih baik dari pasien
KPD klasik karena etiologi yang mendasarinya adalah karena gangguan mekanik
tanpa berkaitan dengan inflamasi dan/atau infeksi yang biasanya tampak pada
KPD klasik.8

Perubahan morfologi selaput pada KPD dihubungkan dengan


pembengkakan dan terganggunya jaringan kolagen di dalam kompakta, fibroblast
dan lapisan spons. Enzim yang terlibat pada mekanisme robeknya selaput antara
lain MMP-1, MMP-8, MMP-9 dan terdapat berbagai penelitian yang mendukung
teori ini dimana konsentrasi enzim pada cairan amnion telah diukur dengan
immunoassay dan metode enzimatik. Matrix metalloproteinase (MMP) atau
kolagenase, memecah kolagen interstisial, terutama pada kolagen tipe I. Robekan

6
spontan pada selaput pada kehamilan kurang bulan, tetapi tidak pada kehamilan
cukup bulan, berhubungan dengan peningkatan konsentrasi MMP-8 pada
konsentrasi cairan amnion.8

Pemicu pasti yang diekskresikan oleh sel-sel korioamnion untuk


menginduksi ekspreri MMP-9 masih belum diketahui, akan tetapi produk bakteri
dan/atau sitokin pro inflamasi, IL-1 β dan tumor necrosis factor (TNF-α), dapat
bertindak sebagai sinyal parakrin atau autokrin bagi metalloprotease pada
kehamilan. Hal ini diperberat juga dengan adanya infeksi intraamnion.8

2. Stress Oksidatif

Satu dari faktor patofisiologi yang terabaikan pada KPD adalah stres
oksidatif dan pembentukan reactive oxygen species (ROS) sebagai mediator stres
oksidatif. Kehamilan yang sehat ditandai dengan keseimbangan reaksi oksidasi
dan reduksi yang stabil antara ROS dan antioksidan. Dua sumber ROS yang
paling sering adalah kebocoran dari sistem transpor elektron pada membran dalam
mitokondria selama respirasi sel dan pelepasan sel imun selama fagositosis. Stres
oksidatif meningkatkan aktivitas mitokondria plasenta dan produksi ROS saat
kebutuhan energi dari fetoplasenta tinggi, seperti pada kehamilan di tempat
ketinggian, defisiensi nutrisi antioksidan atau penyakit mikrovaskular instrinsik.
Hal ini akan menyebabkan ketidakseimbangan status reaksi oksidasi dan reduksi.
Faktor risiko tingkah laku yang berhubungan dengan KPD, terutama merokok,
akan menghasilkan superoksida, hidrogen peroksida, ion hidroksil dan nitrit
oksida yang dapat merusak matriks kolagen dan mengurangi pertahanan oleh
antioksidan. Kolagen telah diketahui sebagai target utama ROS. Superoksida
menstimulasi pembelahan in vitro kolagen fibrilar menjadi to 4-hydroxyproline.
Enzim kolagenolitik korioamniotik rentan terhadap aktivasi ROS, dengan MMP-9
menjadi tersupesi oleh superoksida dismustase (SOD) atau prekursor glutation N-
asetilsistein.11

3. Keterlibatan Mikroorganisme

DiGiulio et al menginvestigasi cairan amnion dari 204 subjek dengan


PPROM dengan menggunakan metode kultivasi dan polymerase chain reaction

7
(PCR). Prevalensi invasi mikroorganisme pada kavitas amnion adalah 34%
(70/204) dengan kultur, 45% (92/204) dengan PCR dan 50% (101/204) dengan
kombinasi kedua metode. Jumlah spesies bakteri yang ditemukan dengan PCR
sebanyak 44 spesies yang mana lebih besar dari kultur, 14 spesies.16

Kacerovsky et al mendemonstrasikan bahwa keberadaan bakteri spesies


non Lactobacillus pada pasien PPROM berhubungan dengan respon inflamasi
serviks dan meningkatkan rerata invasi mikroorganisme pada kavitas amnion.17

Gambar 2. 2 Lokasi Potensial Infeksi Bakteri


4. Mediator Inflamasi

Mediator inflamasi berperan sebagai penyebab gangguan integritas selaput


ketuban dan mencetuskan kontraktilitas uterus. Mediator ini diproduksi sebagai
bagian dari mekanisme pertahanan fisiologi maternal dalam merespon terhadap
invasi patogen. Spesies reaktif oksigen dan mediator inflamasi seperti
prostaglandin, sitokin dan proteinase memainkan peran penting pada penipisan

8
dan apoptosis selaput ketuban. Apoptosis terjadi setelah degradasi maktriks
ekstraseluler yang mengisyaratkan bahwa hal ini merupakan suatu konsekuensi
dan bukan sebuah penyebab rusaknya selaput membran. Pada pasien dengan
korioamnionitis, apoptosis sel epitel melekat pada granulosit yang
mengindikasikan bahwa respon imun bisa mempercepat kematian sel selaput
ketuban.8

Mediator inflamasi dan produksi enzim pemecah matriks seperti


metalloproteinase, elastase, catepsin (yang menginduksi apoptosis sel epitel
amnion) dan TNF dikaitkan pada mekanisme yang bertanggung jawab terhadap
KPD pada trimester kedua.18

5. Regangan mekanik

Membran korioamnion pada kehamilan cukup bulan mengandung zona


lemah pada daerah yang melapisi serviks yang menampilkan karakteristik
remodeling peningkatan kolagen dan apoptosis. Selaput ketuban pada kurang
bulan juga memiliki zona lemah tetapi lebih kuat secara keseluruhan daripada
selaput ketuban pada cukup bulan. Kontraksi uterus pada kurang bulan atau
distensi berlebihan pada selaput ketuban seperti pada kasus polihidramnion dapat
meningkatkan risiko PPROM. Gaya regang termasuk regangan akut dapat
menginduksi sejumlah mekanisme untuk terjadinya apoptosis dan aktivasi MMP.
Pemisahan amnion dari koriodesidua terjadi sebagai bagian dari proses robeknya
selaput ketuban.19, 20

Mekanisme peningkatan destruksi kolagen selaput ketuban dapat


dijelaskan secara enzimatik. Mekanisme ini akan menyebabkan molekul kolagen
mejadi pecah satu sama lain. Jika kejadian ini menyebar, kerusakan serabut
kolagen dapat terjadi dengan cepat dan dapat mengakibatkan kegagalan yang
besar pada keutuhan jaringan. Stres mekanik dapat memfasilitasi lemahnya
serabut kolagen dengan menyerang molekul yang menyusun kolagen Tipe 1
seperti decorin, biglycan, famili fibulin.20

9
6. Faktor Genetik

Nukleotida tunggal polimorfik penghambat jaringan dari MMP-2 pada ibu


dan haplotip untuk prekursor kolagen isoform alpha-3 type-IV memiliki hubungan
dengan tingginya kejadian PPROM. Fujimoto et al meneliti apakah polimorfisme
pada promotor 1607 MMP-1 pada MMP-1 signifikan secara fungsional untuk
ekspresi MMP-1 pada sel-sel amnion dan pada kasus PPROM. Para penulis
menemukan perbedaan yang signifikan pada frekuensi alel dan genotip neonatus
yang didiagnosis dengan untuk polimorfisme promotor 1607 MMP-1 antara
pasien PPROM dan pasien kontrol. Alel 2G memiliki aktivitas promotor yang
lebih kuat pada sel-sel amnion. Alel ini memberikan peningkatan respon sel
amnion terhadap stimulus yang menginduksi MMP-1 dan polimorfisme ini
berkontribusi pada risiko PPROM.8

Sebuah penelitian case control menampilkan bahwa alel SERPINH1 −656


T lebih sering ditemukan pada neonatus Afrika-Amerika yang lahir dari
kehamilan dengan PPROM dibandingkan dengan kelompok kontrol. Alel
SERPINH1 −656 minor T lebih banyak ditemukan pada populasi Afrika dan
Afrika-Amerika dibandingkan dengan Eropa-Amerika.8

7. Faktor Iatrogenik

Setelah diperkenalkannya analisis kromosom kepada kedokteran klinis,


amniosentesis pada pertengahan semester ketiga kehamilan telah menjadi teknik
diagnostik prenatal invansif yang paling sering ditawarkan kepada wanita hamil
yang berisiko tinggi abnormalitas kromosom. Pada berbagai penelitian telah
dilakukan pemeriksaan yang berkaitan dengan prosedur dan tingkat kematian
janin setelah dilakukan amniosentesis. Perkiraan risiko prosedur yang dilaporkan
sektar 1% dan 0,06%, akan tetapi angka kejadian ini dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti adanya perdarahan pervaginam di awal kehamilan dan pengalaman
operator. Risiko kebocoran cairan ketuban setelah amniosentesis relatif rendah
(1%-2%). Risiko PPROM setelah fetoskop berhubungan dengan derajat kerusakan
selaput ketuban, semakin kecil pembungkus fetoskopiknya maka semakin rendah
risiko terjadinya PPROM.8

10
2.1.6 Diagnosis

Diagnosis KPD dapat dengan langsung ditegakkan dengan visualisasi


langsung terhadap adanya cairan amnion yang melewati kanalis servikalis dan
mengumpul di vagina. Kombinasi riwayat maternal diikuti dengan pemeriksaan
dengan spekulum steril merupakan kunci dari diagnosis. Pemeriksaan dalam
dengan jari sebaiknya tidak dilakukan untuk mengurangi risiko infeksi, kecuali
jika pasien sudah masuk kala aktif.4

Namun, diagnosis KPD sulit ditegakkan apabila terdapat aliran cairan


yang pelan atau terdapat perdarahan atau “gush of fluid” tidak terjadi. Sebagai
tambahan, keberadaan cairan amnion dalam jumlah yang sedikit pada awal
kehamilan selanjutkan menjadi tantangan dalam menegakkan diagnosis KPD.4

Pemeriksaan pH cairan vagina juga berguna untuk diagnosis. Normalnya


pH cairan vagina antara 4,5 – 6,0, yang mana cairan amnion biasanya memiliki
pH 7,1 hingga 7,3. Sehingga dapat diasumsikan bahwa sekresi pH vagina akan
meningkat saat terkontaminasi dengan cairan amnion yang keluar. Asumsi ini
mendorong berbagai percobaan dengan bromotimol biru dan nitrazin. Walaupun
memiliki prinsip yang sama dengan bromotimol biru, kelebihan dari nitrazin
adalah perubahan sempurna pada warna aplikator saat terpapar dengan cairan
amnion di cairan vagina. Uji nitrazin memiliki sensitivitas sebesar 90% dan
spesifisitas 83%. 4, 21

Uji Fern (pakis) pertama kali diperkenalkan oleh Papanicalaou pada tahun
1946. Pada uji ini terbentuknya pola seperti daun pakis pada mukus serviks yang
dikeringkan. Hal ini terjadi karena kandungan natrium klorida dan protein.
Tingkat akurasi yang dilaporkan pada kasus KPD berkisar dari 73% hingga
98,5%. Cairan untuk pemeriksaan sebaiknya diambil dari vagina tidak lebih dari 3
cm dari introitus vagina untuk mencegah kontaminasi dan hasil positif palsu dari
mukus pada serviks yang terdapat di forniks posterior. Keyakinan akan hasil
negatif palsu dengan pemeriksaan ini berubah saat diagnosis yang keliru akibat
adanya darah, mekonium atau leukorea hebat. Hasil positif palsu bisa diakibatkan
karena sidik jari, cairan semen atau mukus yang berasal dari serviks.4, 22

11
Pada akhir abad ke 20, terdapat teori yang mengatakan bahwa identifikasi
oligohidramnion oleh ultrasonografi akan berkembang setelah pecahnya selaput,
sehingga mempermudah dalam diagnosis dan tatalaksana. Manning et al pertama
kali mendeskripsikan teknik untuk mengukur jumlah amnion dengan USG pada
pasien dengan pertumbuhan janin terhambat. Metode ini kemudian digunakan
untuk menilai pecahnya selaput ketuban. Hal ini menunjukkan bahwa hasil yang
didapat pada USG terhadap indeks cairan amnion digunakan untuk
mengkonfirmasi adanya selaput yang pecah. Tidak ada perubahan signifikan yang
ditemukan pada kedalaman celah cairan amnion diantara 100 pasien dengan KPD
dan 51 pasien dengan selaput yang masih intak. Oligohidramnion mungkin saja
tidak terdeteksi pada pasien dengan KPD, kemungkinan karena pengeluaran
cairan terjadi secara intermiten atau bahkan berheti saat bagian terbawah janin
turun dan menjadi sumbatan yang menyebabkan berhentinya aliran lebih lanjut.22

Gambar 2. 3 Pemeriksaan indeks cairan amnion dengan ultrasonografi22


Uji pewarnaan cairan amnion atau dikenal juga dengan uji Tampon yaitu
uji dengan menginjeksikan indigo carmine ke dalam ruang amnion melalui
amnioinfusi. Tampon pewarna di dalam vagina dievaluasi setelah 20-30 menit.
Walaupun metode ini dijelaskan sebagai metode standar emas oleh beberapa
penulis, namun uji invasif ini membawa risiko seperti ablasio plasenta, KPD
iatrogenik, infeksi dan abortus. Karena pewarna methylene blue dapat
menyebabkan methemoglobinemia, maka tidak disarankan untuk digunakan
sebagai pewarna pada pemeriksaan ini.22

12
2.1.7 Tatalaksana

Pada semua pasien dengan KPD, usia kehamilan, presentasi janin dan
kesejahteraan janin harus dinilai. Pemeriksaan harus dapat menilai bukti adanya
infeksi intrauterin, solusio plasenta dan gangguan pada kondisi janin. Jika hasil
pemeriksaan belum tersedia dan jika indikasi tatalaksana juga belum ada,
sebaiknya dilakukan kultur terhadap Streptococcus Grup B sambil menunggu
tatalaksana yang akan dilakukan. Pemberian antibiotik juga disarankan sebagai
profilaksis.9, 21

Lee et al mengemukakan bahwa pemberian kombinasi seftriakson,


klaritromisin dan metronidazol dapat memperpanjang masa laten, mengurangi
korioamnionitis akut dan meningkatkan kondisi janin pada pasien KPD, terutama
dengan infeksi/inflamasi intraamnion dengan hasil kultur cairan amnion yang
positif dan/atau peningkatan konsentrasi MMP-8 cairan amnion (>23 ng/mL).
Kombinasi antibiotik ini juga lebih berhasil dalam mengeradikasi infeksi
intraamnion dan mencegah infeksi intraamnion sekunder dibandingkan regimen
antibiotik yang mengandung ampisilin dan/atau sefalosporin pada pasien dengan
KPD.23, 24

Selaput ketuban dan tali pusat tidak memiliki jaringan kapiler yang efektif
dan antibiotik dari sirkulasi ibu tidak mencapai bakteri yang berkoloni pada
permukaan. Urin janin yang mengandung antibiotik keluar dari kavitas amnion
melewati selaput yang robek dengan cepat dan tidak mampu mengeliminasi
bakteri di kavitas amnion.8

Pada pasien dengan KPD kurang bulan, pemantauan bunyi jantung janin
dan aktivitas uterus untuk menilai gangguan bunyi jantung janin dan kontraksi.
Adanya perdarahan pervaginam dicurigai kemungkinan solusio plasenta dan juga
proses persalinan diputuskan dengan melihat kondisi janin, jumlah perdarahan
serta usia kehamilan.9

Menilai tanda dan gejala klinis korioamnionitis yang menentukan indikasi


utama untuk induksi persalinan. Tanda dan keluhan korioamnionitis termasuk
demam, takikardi, leukositosis, nyeri tekan uterus, cairan vagina yang banyak dan

13
takikardi janin. Sensitivitas dan positif palsu dari tingkat leukositosis dalam
mendeteksi koriamnionitis bervariasi luas yaitu 29%-47% dan 5%-18%.21

The Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG)


menyatakan bahwa profil biofisik dan velosimetri Doppler juga dilakukan, akan
tetapi pemeriksaan tersebut memiliki keterbatasan dalam memprediksi infeksi
pada janin.21

The Society of Obstetricians and Gynaecologists of Canada juga


merekomendasikan skrining untuk infeksi saluran kemih dan infeksi menular
seksual. RCOG tidak menyarankan vaginal swab mingguan dan juga tidak
merekomendasikan amnioinfusi atau lem fibrin untuk menutup kembali selaput
ketuban.21

Selain itu dianjurkan untuk menggunakan kortikosteroid untuk


pematangan paru janin. RCOG menyarankan penggunaan kortikosteroid tersebut
diantara 24 sampai 34 minggu usia kehamilan, sedangkan American College of
Obstetricians and Gynecologists (ACOG) menyarankan penggunaan
kortikosteroid ini pada usia 23 minggu kehamilan yang berisiko melahirkan
kurang bulan dalam 7 hari.21

Agen tokolitik bisa menjadi intervensi yang penting untuk memperpanjang


periode laten sekurang-kurangnya untuk 48 jam pertama. Waktu tambahan ini
memberi kesempatan bagi pematangan paru setelah diberikan juga kortikosteroid.
Masing-masing negara memiliki terapi tokolitik pilihan. Di Amerika Serikat,
calcium channel blocker (CCB), nifedipin dipilih sebagai tokolitik lini pertama
dengan efek samping yang paling sedikit dan lebih aman dibandingkan dengan
agen-agen lainnya. Dosis awal nifedipin untuk tokolitik adalah 10 mg secara
sublingual dan diulang dengan dosis yang sama setiap 15 menit untuk 1 jam
pertama. Tujuan penggunaan dosis rendah adalah untuk mencapai pengurangan
kontraksi uterus sambil meminimalkan efek samping CCB seperti sakit kepala
ataupun efek samping yang jarang seperti hipotensi, vertigo ortostatik, gangguan
denyut jantung janin dan kematian janin. Dosis rumatan 20 mg tiap 6-8 jam sehari
dan dosis maksimal 120-150 mg/hari. Magnesium sulfat juga sering digunakan

14
sebagai lini pertama terapi tokolitik di Amerika Serikat dan terapi lini kedua di
Jepang. Magnesium merupakan inhibitor kompetitif bagi kalsium yang masuk ke
dalam membran sel melalui modulasi pengambilan kalsium dan penggurangan
aktivitas rantai ringan miosin. ACOG merekomendasikan magnesium sebagai
neuroprotektor pada janin pada usia kehamilan kurang dari 32 minggu. Dosis
yang direkomendasikan untuk neuroproteksi adalah 4 atau 6 gram sebagai dosis
awal selama 20-30 menit diikuti dengan 1-2 gram per jam untuk dosis rumatan
hingga 24 jam. Dosis teraupetik tokolitik berbeda dari satu senter ke senter yang
lain.25

2.1.8 Komplikasi

Boskabadi et al. melakukan penelitian cross sectional dan memeriksa bayi


yang lahir dengan KPD memanjang (lebih dari 18 jam sebelum kelahiran). Faktor
risiko ibu, penggunaan antibiotik dan efek sampingnya pada neonatus dinilai.
Pada penelitian ini, neonatus dibagi menjadi 3 kelompok:1. Neonatus yang
simptomatis dalam 8 jam setelah kelahiran; 2. Ibu dengan korioamnionitis; dan 3.
Neonatus yang asimptomatis. Sebanyak 150 neonatus didaftarkan pada penelitian
ini. 12 bayi (7,7%) terinfeksi (meningitis, sepsis, pneumonia), 101 bayi (67%)
imatur dan 88 (58,6%) dengan ibu yang memiliki riwayat penggunaan antibiotik.
Dampak KPD yang paling sering adalah prematuritas dan efek samping yang
berhubungan, akan tetapi infeksi merupakan komplikasi yang paling penting.26

Inflamasi kronik plasenta, inflamasi akut janin dan komplikasi pada


neonatus yang berkaitan dengan inflamasi berkontribusi pada kerusakan
perkembangan otak neonatus yang lahir dengan kurang bulan. Setelah terjadinya
KPD pada trimester kedua, bakteri dengan cepat berkolonisasi pada permukaan
membran amnion, korion, desidua, kulit janin dan mukosa dan juga tali pusat.
KPD yang diikuti dengan oligo/anhidramnion dapat menyebabkan
bronchopulmonary dysplasia (BPD) dengan mortalitas perinatal 80%.

Terdapat peningkatan bukti bahwa KPD berhubungan dengan peningkatan


risiko gangguan perkembangan saraf melalui berbagai mekanisme termasuk
persalinan kurang bulan dan etiologinya.27

15
Beberapa faktor morbiditas pada kehamilan dengan KPD telah dilaporkan.
Penyulit kehamilan karena KPD yang berisiko adalah terjadinya solusio plasenta.
Kasus KPD yang dapat berujung pada solusio ialah kasus yang disertai dengan
adanya perdarahan.28

Komplikasi yang paling penting pada KPD adalah korioamnionitis yang


sering berkaitan dengan dampak buruk pada ibu dan bayi. Korioamnionitis
dilaporkan pada wanita-wanita dengan KPD pada penelitian oleh Medina
sebanyak 13%-60% dan pada penelitian oleh Boskabadi yaitu dengan persentase
12,7%. Korioamnionitis dengan perubahan serviks, dapat menyebabkan hilangnya
integritas kanalis servikal atau organisme spesifik pada vagina yang dapat
menyebabkan pertumbuhan berlebih organisme yang tidak diinginkan. Sehingga,
perubahan biokimia terjadi pada selaput ketuban dan desidua yang akan
menyebabkan pelepasan prostaglandin dan sitokin dan meregulasi penyampaian
pesan intrasel yang mana secara bergilir akan menyebabkan serviks melunak dan
pecahnya selaput ketuban. Peningkatan aktivitas uterus juga sering ditemukan
pada kebanyakan kasus.14

2.2 Mikroorganisme Normal Saluran Genital Wanita

Tanda mikroorganisme vagina yang sehat pada wanita usia produktif (12-
45 tahun) dari berbagai etnis serta tidak tidak hamil adalah adanya Lactobacillus.
Bakteri ini bertahan pada lingkungan anaerob dan berperan dalam keasaman
lingkungan vagina dengan memproduksi asam laktat. Lactobacillus juga
dipercaya dapat membantu melindungi uterus dari infeksi ascending seperti
infeksi menuar seksual dan infeksi saluran kemih. Sebagai contoh, penurunan
jumlah bakteri yang memproduksi asam laktat berkaitan dengan semakin rentan
terhadap HIV. Namun, aktivitas fungsional masing-masing bakteri Lactobacillus
berbeda, ada yang lebih menguntungkan dari pada yang lain. Contohnya,
Lactobacillus crispatus memproduksi kadar asam laktat yang paling tinggi
diantara Lactobacilli di vagina dan dapat membantu mencegah infeksi yang
disebabkan oeh mikroorganisme lain tanpa menginduksi inflamasi. Sebagai
kontrasnya, Lactobacillus iners sering tidak stabil dan biasanya berhubungan

16
dengan mikroorganisme anaerob termasuk spesies Gardnerella, Ureaplasma dan
Prevotella dibandingkan Lactobacillus lainnya.29, 30

Kebanyakan penelitian-penelitian yang ada fokus terhadap bakteri pada


vagina, virus dan mikroorganisme eukariotik kecil juga sangat penting dalam
memahami hubungan komunitas mikroorganisme dan tubuh manusia.
Dibandingkan dengan bakteri, virus dan jamur kurang banyak diteliti. Satu
alasannya adalah karena pendekatan sekuens yang mempercepat penelitian bakteri
tidak dapat diterapkan atau tidak dapat bekerja baik pada virus dan jamur.
Contohnya, virus memiliki struktur genomik yang sangat bervariasi yang
termasuk genom yang terbuat dari DNA atau RNA yang bisa saja rantai tunggal
atau rantai ganda. Sementara metode sekuesing yang menilai semua DNA dan
RNA pada sampel bisa saja mendeteksi virus, hal ini sering membuktikan
tantangan karena banyaknya material genomik virus di dalam sampel yang
seringnya sangat rendah, karena genom virus relatif lebih kecil dibanding genom
bakteri dan inang. Saat ini digunakan metagenomik shotgun sequencing (MSS)
yang seringnya digandakan dengan asam nukleat virus untuk meningkatkan
deteksi virus.30

Pada Human Microbiome Project Study, beberapa virus dideteksi dari


sampel vagina pada wanita yang asimptomatik, secara umum sehat dan usia
reproduktif. Virus- virus yang dideteksi antaranya alfapapillomavirus yang
ditemukan pada 37% subjek dan beberapa tipe virus herpes.30

Mikroorganisme jamur yang sering ditemukan di vagina yaitu Candida


spp. Pada beberapa penelitian dilaporkan terdeteksinya C.albicans pada 20-70%
sampel yang diiuji dengan metode kultur atau sekuensing berbasis amplikon.
Organisme ini seringnya tidak menimbulkna gejala namun dapat menyebabkan
infeksi simptomatis.31

2.2.1 Mikroorganisme Normal Saluran Genital pada Wanita Hamil

Mikroorganisme vagina normal pada wanita hamil berbeda dengan yang


tidak hamil. Romero et al. menemukan bahwa struktur komunitas mikrobita
vagina tetap konsisten sepanjang berbagai usia kehamilan termasuk Lactobacillus

17
vaginalis, Lactobacillus crispatus, Lactobacillus gasseri dan Lactobacillus
jensenii. Mikroorganisme vagina pada wanita yang tidak hamil lebih bervariasi
pada berbagai waktu dengan perbedaan pada dominasi spesies Lactobacillus.29

Mikroorganisme pada saluran genital wanita hamil berubah dari waktu ke


waktu, ditandai dengan disporposi kolonisasi Lactobacillus spp dan rendahnya
keragaman alpha. Selama kehamilan mikroorganisme di dalam vagina mengalami
perubahan spesifik diindikasikan dengan kadar estradiol. Selama trimester
pertama dan ketiga respon imun uterus ialah perubahan Th1 dominan yang
dikenal dengan kondisi proinflamasi. Selama trimester kedua, respon Th2 yang
dominan dikenal sebagai kondisi antiinflamasi. Selanjutnya mikrobita kompleks
cenderung untuk merubah mikroorganisme sehingga konsentrasi Lactobacilus
menjadi lebih tinggi pada 20 minggu selanjutnya, yang mana proliferasinya dipicu
oleh peningkatan ketersediaan glikogen.29

Pada suatu penelitian kohort yang dilakukan pada wanita keturunan Afrika
Amerika didapatkan bahwa pada wanita yang melahirkan saat cukup bulan
kondisi bakteri pada vagina yang ditemukan dalam kondisi stabil dan bervariasi.
Sedangkan pada wanita yang melahirkan pada kurang bulan ditemukan penurunan
variasi dan keberagaman komunitas bakteri. Penurunan keberagaman ini
ditemukan hampir pada semua spesies Lactobacillus.

2.2.2 Mikroorganisme Penyebab Infeksi Saluran Genital Wanita

Populasi mikroorganisme pada ekosistem vagina selalu berubah


berdasarkan pengaruh dari faktor endogen dan eksogen. Siklus menstruasi,
frekuensi hubungan seksusal, pasangan seksual spesifik, kehamilan, penggunaan
agen-agen kontrasepsi, pembersih vagina dan penggunaan antibiotik serta obat-
obatan lain dengan aktivitas imun atau endokrin merupakan variabel yang efektif
dalam perubahan ekosistem vagina. Variabel-variabel ini akan merubah milieu,
menyebabkan fluktuasi pada ekosistem vagina dan meregulasi mikroorganisme
pada vagina. Contoh terbaik pada kategori ini adalah kerusakan lapisan pelindung
utama vagina (Lactobacilli) saat sedang dalam pengobatan dengan antibiotik
untuk infeksi di lokasi lain (bukan vagina). Perubahan flora normal vagina bukan

18
berarti suatu penyakit atau hasil suatu gejala. Penyakit akan berkembang dari
hubungan saling mempengaruhi antara virulensi dan respon imun pada sistem
inang.32

A. Candidiasis
Candidiasi merupakan infeksi genital yang paling umum dan pada sekitar
80-92% kasus disebabkan oleh Candida albicans. Gejala serupa juga dapat
disebabkan oleh spesies non-albican seperti C. tropicalis, C. glabrata, C. krusei,
C. parapsilosis, meskipun terkadang lebih berat dan bisa berulang. C. albicans
adalah jamur diploid dan merupakan flora komensal.33-37

Tanda dan gejala yang dapat muncul seperti:33, 35, 36, 38

a) Gatal dan perih pada vagina, discharge vagina yang kental seperti
dadih susu, dispareunia dan disuria.
b) Edema vulva, ekskoriasi vulva, kemerahan dan eritema
c) pH vagina normal

Diagnosis harus dikonfirmasi dengan usapan perineum dan/atau vagina.


Kondisi seperti dermatitis kontak, reaksi alergi dan infeksi vagina non-spesifik
dapat memiliki tampilan serupa. Pada inspeksi dapat terlihat discharge kental
seperti dadih yang seringkali melekat pada dinding vagina.33-37

Pemeriksaan dapat dilakukan dengan pewarnaan gram atau pemeriksaan


sediaan basah dan penanaman langsung pada media agar Sabouraud’s atau
medium Nickerson’s. Pada pemeriksaan sediaan basah dengan KOH, dapat
terlihat adanya hifa dan spora candida. Pemeriksaan lebih lanjut untuk
menentukan spesies yang dibutuhkan pada kasus berulang atau sangat berat,
karena beberapa spesies seperti C. krusei bisa resisten terhadap imidazol tertentu,
seperti fluconazole.33, 34, 36-38

Faktor predisposisi infeksi candida yaitu kehamilan, pil kontrasepsi


kombinasi dosis-tinggi, imunosupresi, antibiotik spektrum luas, diabetes mellitus,
terapi penggantian hormon, infeksi penyakit menular seksual lainnya dan wanita
terinfeksi HIV.33, 34, 36, 37

19
Sebanyak 30-40% wanita asimptomatik dapat memiliki kultur C. albicans
pada swab vaginanya. Wanita-wanita tersebut tidak membutuhkan terapi,
sekalipun dalam keadaan hamil. Azole/imidazole adalah terapi utama, dapat
diberikan secara topikal lokal atau secara oral. Terdapat beberapa tipe imidazole
dengan efikasi berbeda dengan angka kesembuhan lebih dari 80%. Terapi
biasanya berdasarkan pilihan dokter yang merawat, ketersediaan dan biaya.
Imidazole yang umum adalah clotrimazole, econazole dan miconazole. Antijamur
lainnya, seperti nistatin cream atau pessarium, juga dapat digunakan. Tidak ada
bukti mengenai efek merugikan pada kehamilan terhadap ibu dan janin jika
diterapi dengan imidazole oral. Tetapi, imidazole oral dikontraindikasikan pada
kehamilan.33, 34, 36-38

Pasien harus disarankan untuk menghindari penggunaan sabun, parfum


dan pakaian dalam sintetik, serta mendapatkan penjelasan mengenai personal
hygiene yang benar. Pil kontrasepsi oral kombinasi estrogen dosis tinggi harus
diganti dengan pil dosis rendah. Jika terdapat gejala rekuren atau menetap, harus
dipertimbangkan untuk mengganti dengan kontrasepsi progestron-saja. Cek gula
darah untuk menyingkirkan diabetes tidak terdiagnosa dan jika ada, kontrol
glikemik yang baik harus dicapai. Hindari terapi antibiotik spektrum luas
berulang.33, 34, 36-38

B. Trichomoniasis

Trichomonas adalah protozoa berbentuk seperti buah pir berflagel dan


dapat menyebabkan vulvovaginitis berat. Protozoa ini berukuran panjang 20 μm
dan lebar 10 μm, lebih besar dibandingkan sel darah putih. Protozoa ini bersifat
motil aktif, memiliki empat flagel di satu sisi, dan tonjolan seperti tombak di sisi
lain, dengan suatu membran undulasi yang mengelilingi 2/3 anteriornya. Infeksi
yang terjadi biasanya menular secara seksual dan seringkali terjadi rekurensi jika
pasangannya tidak diterapi bersamaan. Trichomonas juga dapat menyebabkan
infeksi saluran kemih.33, 34, 36-38

Tanda dan gejala yang muncul seperti gatal dan perih pada vulva,
discharge vagina berbau busuk, terkadang berbusa dan berwarna hijau

20
kekuningan, disuria dan nyeri perut serta gambaran strawberry cervix akibat
perdarahan pungtata.33, 34, 36-38

Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik,


yang paling mudah dilakukan adalah dengan sediaan basah, discharge
dicampurkan dengan cairan saline dan diperiksa di bawah mikroskop, dapat
menunjukkan organisme protozoa motil dengan flagel yang khas. Pemeriksaan ini
sensitif dalam mendiagnosa 60-70% kasus. Jika hasilnya negatif meskipun dengan
pemeriksaan berulang, dapat dilakukan konfirmasi melalui kultur dalam media
Finnberg-Whittington atau Diamond’s.33, 34, 36-38

Kedua pasangan harus diterapi dan harus di-skrining untuk mencari infeksi
menular seksual lainnya. Metronidazole dalam dosis tunggal 2 g, atau 400 mg dua
kali sehari, sangat efektif dengan angka kesembuhan mencapai 95%. Regimen
dosis tunggal lebih mudah dan lebih mudah.33, 34, 36-38

C. Bacterial Vaginosis

Bakterial Vaginosis (BV) adalah kondisi umum yang dicirikan dengan


adanya discharge vagina berbau-busuk tanpa inflamasi yang jelas. Menurut CDC,
BV tidak termasuk kategori penyakit menular seksual. Infeksi ini terjadi akibat
pertumbuhan dan peningkatan spesies anaerobik, secara bersamaan terjadi
penurunan laktobasilus pada flora vagina yang menyebabkan peningkatan pH
vagina, yang menjadikannya lebih alkali (4.5- 7.0). Tidak diketahui apa pemicu
gangguan flora normal vagina, tetapi diperkirakan hal ini akibat alkalinisasi
berulang pada vagina, yang terjadi akibat hubungan seksual atau penggunaan bilas
vagina. Spesies yang sering terlibat adalah Gardnerella vaginalis, Mycoplasma
hominis, Bacteroides spp, dan Mobilincus spp. Gardnerella spp biasanya
terisoloasi pada wanita tanpa tanda-tanda infeksi klinis, sehingga diagnosisnya
harus dibuat dengan hati-hati. Wanita hamil dengan BV memiliki risiko terjadinya
KPD, persalinan preterm, korioamnionitis dan endometritis post cesar.33-37, 39-41

Bakterial vaginosis meningkatkan kerentanan terhadap infeksi HIV-1 dan


HSV dan pada kehamilan kejadiannya dihubungkan dengan prematuritas dan
kematian janin. Namun, terdapat pro dan kontra pada beberapa literatur mengenai

21
apakah wanita hamil dengan asimptomatik bakterial vaginosis harus diskrining
dan ditatalaksana. Pada beberapa literatur tidak mendukung skrining dan
pemberian profilaksis, hanya pada wanita yang berisiko melahirkan kurang bulan
yang harus ditatalaksana, seperti yang memiliki riwayat persalinan kurang bulan
sebelumnya.42

Tanda dan gejala BV: 33-36, 38, 40

a) Discharge vagina berbau amis seperti ikan


b) Karier asimptomatik
c) Lebih banyak selama dan setelah menstruasi
d) Discharge vagina seperti susu atau putih keabuan yang biasanya melekat
pada dinding vagina

Diagnosis bakterial vagiosis dapat ditegakkan berdasarkan kriteria:

a) Kriteria Amsel : 33-36, 38, 40


b) Ditemukan clue cells pada pemeriksaan mikroskopik.
Clue cell adalah sel epitel yang ditutupi bakteri sehingga menunjukkan
ciri khas gambaran titik-titik pada pemeriksaan.
c) Discharge vagina seperti susu atau putih keabuan ditemukan pada
pemeriksaan langsung.
d) pH vagina lebih dari 4.5.
e) Bau amis ikan yang khas dengan penambahan alkali : KOH 10%
(Whiff test).
f) Peningkatan jumlah Gardnerella vaginalis dan organisme lain, disertai
penurunan jumlah lactobacilli dan leukosit.

Harus ada setidaknya tiga kriteria untuk mendiagnosis BV menggunakan


kriteria Amsel.

1) Kriteria Hay/Ison35
a) Grade 1. Normal: lebih banyak laktobasilus
b) Grade 2. Intermediet: Laktobasilus ditemukan dengan keberadaan
Gardnerella dan/atau Mobiluncus spp.

22
c) Grade 3. Vaginosis bakterialis: lactobacillus tidak ada atau jauh
berkurang dengan lebih banyak Gardnerella dan/atau Mobiluncus spp.
2) Kriteria Nugent35
Berdasarkan proporsi spesies anaerobik menurut skor kuantitatif antara 0
dan 10.
< 4 : Normal
4-6 : Intermediet
> 6 : Vaginosis bakterial

Terapi yang dapat diberikan yaitu metronidazole oral atau gel. Diberikan
dua kali sehari 400 mg selama 5 hari atau dosis tunggal 2 gram. Alternatifnya,
dapat digunakan gel intravagina (0.75%) biasanya digunakan malam hari selama
5-7 hari. Metronidazole aman digunakan pada kehamilan, tetapi dosis besar atau
lama harus dihindari.33-36, 39, 40

D. Gonorrhoea

Gonorrhoea adalah penyakit menular seksual disebabkan oleh diplokokus


gram negatif Neisseria gonorrhoea. Bakteri ini memiliki afinitas untuk
menginfeksi membran traktus genitalis yang menginfeksi epitel kuboid dan
kolumnar pada mukosa endoserviks dan uretra. Infeksi juga dapat terjadi pada
membran mukosa rektal dan orofaring pada hubungan anal dan oral. Terdapat
penurunan bertahap infeksi gonorrhoea dan hal ini karena deteksi dan terapi yang
lebih dini. Tetapi, banyak wanita dan pasangannya merupakan karier
asimptomatik.33-36, 39

Koinfeksi penyakit menular seksual bersama Chlamydia dan Trichomonas


umum dan dapat memprovokasi lebih banyak infeksi. Hal ini dapat menyebabkan
infeksi ascending menyebabkan endometriris, endosalpingitis dan penyakit
inflamasi pelvis.33-36, 39

Tanda dan gejala :33-36, 39

a) Asimptomatik
b) Discharge vagina meningkat dengan nyeri perut bagian bawah/pelvis

23
c) Disuria dengan discharge uretra
d) Proctitis dengan perdarahan, discharge dan nyeri rektal
e) Discharge mukopurulen endoserviks dan perdarahan kontak
f) Discharge mukopurulen uretra
g) Nyeri tekan dengan eksitasi serviks

Diagnosis gonorrhoea dapat ditgakkan dengan pemeriksaan berikut:33-36, 39

a) Pewarnaan gram: visualisasi diplokokus gram negatif intraselular


b) Kultur menggunakan media berisi antimikrobiologi untuk mengurangi
pertumbuhan organisme lain
c) Tes amplifikasi asam nukleat (NAATs)
d) Tes hibridisasi asam nukleat

Swab endoserviks harus dilakukan jika ada gejala simptomatik, swab dari
rektum dan faring juga harus diambil. NAATs dapat memeriksa sampel dari urin
dan vagina bawah.

Terapi utama adalah Cephalosporin. Biasanya diberikan cefixime 400 mg


oral tunggal, injeksi intramuskular tunggal ceftriaxone 250 mg, ciprofloxacin oral
500 mg atau ofloxacin 400 mg, atau ampisilin 2 gr. Pada kehamilan, penisilin dan
cephalosporin aman digunakan, tetapi tetrasiklin dan ciprofloxacin/ofloxacin
harus dihindari.33-36, 39

E. Chlamydia

Chlamydia trachomatis adalah bakteri intraselular obligat yang mengenai


epitel kolumnar traktus genitalis. Bakteri ini adalah salah satu penyebab infeksi
menular seksual yang paling umum. Pada mayoritas kasus, bersifat asimptomatik
dengan infeksi lambat dan tersembunyi, tetapi memiliki efek detrimental terhadap
traktus genitalia wanita. Sekitar 5-10% wanita <24 tahun diperkirakan membawa
infeksi ini dan terjadi reinfeksi dan transmisi karena sifat asimptomatik pada
penyakit ini.33-36, 39

24
Tanda dan gejala : 33-36, 39

a) Asimptomatik
b) Discharge vagina dan nyeri perut bawah
c) Perdarahan post coital
d) Perdarahan intermenstruating
e) Discharge serviks mukopurulen dengan perdarahan kontak
f) Disuria dengan discharge uretra

Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis: 33-36, 39

a) Teknik amplifikasi asam nukleat: >90% sensitif, merupakan standar baku


emas.
b) Kultur: Karena bersifat obligat intraselular, kultur C. trachomatis harus
dengan sel epitel untuk memaksimalkan persentase kultur positif.
Pengambilan sampel dapat dilakukan dengan cytobrush.

Hindari hubungan seksual, termasuk oral dan rektal, sebelum terapi kedua
pasangan selesai. Antibiotik yang dapat diberikan yaitu amoxicillin 500 mg 3 kali
sehari selama 7 hari, eritomisin 500 mg 4 kali sehari selama 7 hari, doksisiklin
100 mg 2 kali sehari, azitromisin 1 g oral dosis tunggal, direkomendasikan untuk
terapi dalam kehamilan.

Pada suatu penelitian, prevalensi infeksi vagina pada wanita hamil lebih
tinggi secara signifikan daripada kelompok kontrol terutama vaginitis aerob dan
kandidiasis vulvovaginitis. Vaginitis aerob ditambah dengan kandidiasis
vulvovaginitis merupakan bentuk infeksi vagina campuran yang paling sering
selama kehamilan. Hal ini karena vaginitis anaerob menyebabkan
ketidakseimbangan mikroorganisme vagina sehingga memudahkan
mikroorganisme patogen lain seperti kandida untuk bertahan, menginvansi dan
tumbuh.43

25
2.2.3 Hubungan Infeksi pada Saluran Genital dengan Ketuban Pecah Dini

Akhir-akhir ini, peran infeksi oleh organisme dari saluran genitalia bagian
bawah dalam mencetuskan KPD dan persalinan kurang bulan telah menjadi
pengawasan yang besar. Meskipun etiologi KPD multifaktorial, peningkatan bukti
terkait faktor risiko, histologi selaput dan mikrobiologi cairan amnion
menunjukkan hubungan yang kuat dengan infeksi yang akan berujung pada
kejadian amioreksis. Terdapat bukti bahwa mikroorganisme dapat mempenetrasi
selaput ketuban yang masih intak.1

Adewumi et al. mendapatkan hasil dari penelitiannya bahwa Gardnerella


vaginalis ditampilkan secara mikroskopik dan dengan uji whiff yang positif pada
3 (5,3%) kasus KPD kurang bulan tetapi 1 (1,8%) pada kelompok kontrol.
Trichomonas vaginalis terlihat pada mikroskop pada 3 (5,3%) kasus KPD kurang
bulan tetapi 2 (3,6%) pada kelompok kontrol. Candida albicans terlihat pada 2
(3,6%) dari kasus tetapi 7 (12,5%) pada kelompok kontrol. 1

Hasil penelitain yang dilakukan oleh Saghafi et al didapatkan bahwa 136


pasien dengan KPD memiliki kultur endoserviks yang positif yang mana terutama
terdiri dari mikroorganisme Gram negatif (31%) dan 29% Gram positif dan 8%
spesies jamur. Patogen yang paling sering ditemukan pada kultur endoserviks
ialah E. coli (24.2%) dan Staphylococci epidermis (14,7%), Staphylococci
sapraphitices (12.5%), Enterococus (11.7%) dan Candida (11.7%).44

Infeksi genital seperti Chlamydia trachomatis, Trichomonas vaginalis,


candidiasis, syphilis, bacterial vaginosis, Neisseria gonorrhoea dan Strptococcus
Grup B memiliki hubungan dengan KPD. T.vaginalis ditemukan dapat
melemahkan selaput in vitro dan penelitian prospektif telah menemukan hubungan
antara T.vaginalis dan KPD.5

Pada populasi Cina, patogen yang diturunkan dari wanita dengan KPD
didominasi oleh Staphylococcus dan Escherichia. Kolonisasi bakteri atau
penyebab sepsis pada bayi-bayi dari wanita ini adalah Staphylococcus, Klebsiella
pneumonia, dan Escherichia. Pola bakteri ini berbeda dengan pola di negara-
negara barat yang mana Staphylococcus Grup B lebih banyak diisolasi pada

26
wanita dengan KPD dan bayinya. Sehingga, wilayah geografis dapat
mempengaruhi kultur organisme dari wanita dengan KPD dan bayi wanita
tersebut. Namun, kurangnya skrining Staphylococcus Grup B di Cina juga
berkontribusi pada rendahnya prevalensi Staphylococcus Grup B pada wanita
hamil di Cina.45

Penurunan Lactobacillus spp pada wanita dengan KPD maksimal pada


usia kehamilan 24-29 minggu dan dihubungkan dengan peningkatan bakteri
lainnya seperti Prevotella, Streptococcus, Peptoniphilus, Ureaplasma, dan
Dialister spp. Bakteri-bakteri ini dikenal sebagai koloni oportunistik yang mampu
meregulasi ekspresi metalloproteinase dan sitokin-sitokin proinflamasi dan juga
mengurangi efek inhibitor pada tissue inhibitor metalloproteinases (TIMPs).
Sebaliknya, pada wanita dengan pengalaman melahirkan cukup bulan
pengurangan Lactobacillus spp selama proses kehamilan pada semua sampel
hingga usia kehamilan melebihi 24 minggu.46

Secara keseluruhan komposisi mikroorganisme sebelum robeknya selaput


ketuban dan proses persalinan pada kasus-kasus kurang bulan dari yang ringan
hingga ekstrim dapat disamakan yang mana memberikan peningkatan insiden
korioamnionitis pada usia gestasi kurang bulan. Kesamaan ini disebabkan oleh
pengurangan Lactobacillus spp dari hasil observasi setelah terjadinya robekan
selaput. Kondisi laten antara kejadian KPD dan proses persalinan cenderung
berlangsung lama pada awal kehamilan sehingga menyebabkan tersedianya waktu
yang cukup untuk remodeling pada kelompok bakteri di vagina dengan infiltrasi
patogen yang berhubungan dengan infeksi ascending dan korioamnionitis. Rata-
rata waktu laten setelah KPD lebih rendah dan tingkat korioamnionitis lebih tinggi
pada wanita dengan Lactobacillus spp. yang menurun sebelum KPD. Hal ini
menggambarkan mikroorganisme vagina dengan peningkatan bakteri sebelum
KPD mengakibatkan persalinan yang lebih awal sebagai hasil aktivasi inflamasi
dan stimulasi alur persalinan kurang bulan atau sebagai hasil dari reaksi patogen
vagina yang menyebabkan infeksi ascending dan korioamnionitis saat pertahanan
selaput ketuban gagal. 46

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Adewumi O, Olofinbiyi B, Oyekale O, Loto O, Abu S. Microbiological


Pattern in Preterm Prelabour Rupture of the Fetal Membranes in South-
Western Nigeria. Obstet Gynecol Int J. 2017;6(4):00215.
2. Lovereen S, Khanum MA, Nargis N, Begum S, Afroze R. Maternal and
Neonatal outcome in premature rupture of membranes. Bangladesh
Journal of Medical Science. 2018;17(3):479-83.
3. El-Messidi A, Cameron A. Diagnosis of premature rupture of membranes:
inspiration from the past and insights for the future. Journal of Obstetrics
and Gynaecology Canada. 2010;32(6):561-9.
4. Genovese C, Corsello S, Nicolosi D, Aidala V, Falcidia E, Tempera G.
Alterations of the vaginal microbiota in the third trimester of pregnancy
and pPROM. Eur Rev Med Pharmacol Sci. 2016;20(16):3336-43.
5. Nakubulwa S, Kaye DK, Bwanga F, Tumwesigye NM, Mirembe FM.
Genital infections and risk of premature rupture of membranes in Mulago
Hospital, Uganda: a case control study. BMC research notes.
2015;8(1):573.
6. P A, A.G G, C S. High vaginal swab study in preterm labour and preterm
premature rupture of membranes and its relationship with neonatal sepsis.
Journal of Evidence Based Medicine and Healthcare. 2018;5(30):2249-54.
7. Shivaraju P, Purra P, Bheemagani N, Lingegowda K. Vaginal infections
and its relation to preterm labour, PPROM, PROM and its outcome.
International Journal of Reproduction, Contraception, Obstetrics and
Gynecology. 2015;4(5):1423.
8. Tchirikov M, Schlabritz-Loutsevitch N, Maher J, Buchmann J,
Naberezhnev Y, Winarno AS, et al. Mid-trimester preterm premature
rupture of membranes (PPROM): etiology, diagnosis, classification,
international recommendations of treatment options and outcome. Journal
of perinatal medicine. 2018;46(5):465-88.
9. EHSANIPOOR RM, MAJOR CA. Premature Rupture of Membranes.
Women's Health Review: A Clinical Update in Obstetrics-Gynecology
(Expert Consult-Online and Print). 2012:101.
10. Mishra S, Joshi M. Premature rupture of membrane-risk factors: A
clinical study. Intrnational Journal of Contemporary Medical Research.
2017;4(1):146-8.
11. Menon R, Richardson LS, editors. Preterm prelabor rupture of the
membranes: a disease of the fetal membranes. Seminars in perinatology;
2017: Elsevier.
12. Dars S, Malik S, Samreen I, Kazi RA. Maternal morbidity and perinatal
outcome in preterm premature rupture of membranes before 37 weeks
gestation. Pakistan journal of medical sciences. 2014;30(3):626.
13. Al Riyami N, Al-Ruheili I, Al-Shezaw F, Al-Khabori M. Extreme preterm
premature rupture of membranes: risk factors and feto maternal outcomes.
Oman medical journal. 2013;28(2):108.

28
14. Boskabadi H, Zakerihamidi M. Evaluation of maternal risk factors,
delivery, and neonatal outcomes of premature rupture of membrane: A
systematic review study. Journal of Pediatrics Review. 2019;7(2):77-88.
15. Maryuni M, Kurniasih D. Risk factors of premature rupture of membrane.
Kesmas: National Public Health Journal. 2017;11(3):133-7.
16. DiGiulio DB, Romero R, Kusanovic JP, Gómez R, Kim CJ, Seok KS, et
al. Prevalence and diversity of microbes in the amniotic fluid, the fetal
inflammatory response, and pregnancy outcome in women with preterm
pre‐labor rupture of membranes. American journal of reproductive
immunology. 2010;64(1):38-57.
17. Kacerovsky M, Vrbacky F, Kutova R, Pliskova L, Andrys C, Musilova I,
et al. Cervical microbiota in women with preterm prelabor rupture of
membranes. PloS one. 2015;10(5).
18. Romero R, Miranda J, Chaemsaithong P, Chaiworapongsa T, Kusanovic
JP, Dong Z, et al. Sterile and microbial-associated intra-amniotic
inflammation in preterm prelabor rupture of membranes. The Journal of
Maternal-Fetal & Neonatal Medicine. 2015;28(12):1394-409.
19. Kumar D, Moore RM, Mercer BM, Mansour JM, Redline RW, Moore JJ.
The physiology of fetal membrane weakening and rupture: Insights
gained from the determination of physical properties revisited. Placenta.
2016;42:59-73.
20. Joyce EM, Moore JJ, Sacks MS. Biomechanics of the fetal membrane
prior to mechanical failure: review and implications. European Journal of
Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology. 2009;144:S121-S7.
21. Tsakiridis I, Mamopoulos A, Chalkia-Prapa E-M, Athanasiadis A,
Dagklis T. Preterm premature rupture of membranes: a review of 3
national guidelines. Obstetrical & gynecological survey. 2018;73(6):368-
75.
22. Eskicioglu F, Gur EB. Diagnostic modalities in premature rupture of
membranes. Int J Womens Health Reprod Sci. 2015;3(02):89-92.
23. Lee J, Romero R, Kim SM, Chaemsaithong P, Yoon BH. A new antibiotic
regimen treats and prevents intra-amniotic inflammation/infection in
patients with preterm PROM. The Journal of Maternal-Fetal & Neonatal
Medicine. 2016;29(17):2727-37.
24. Lee J, Romero R, Kim SM, Chaemsaithong P, Park C-W, Park JS, et al. A
new anti-microbial combination prolongs the latency period, reduces
acute histologic chorioamnionitis as well as funisitis, and improves
neonatal outcomes in preterm PROM. The Journal of Maternal-Fetal &
Neonatal Medicine. 2016;29(5):707-20.
25. ACOG. Magnesium sulfate use in obstetrics. Committee Opinion No.
652. Obstet Gynecol. 2016;127(1):e52-e3.
26. Boskabadi H, Maamouri G, Mafinejad S. Neonatal complications related
with prolonged rupture of membranes. Macedonian Journal of Medical
Sciences. 2011;4(1):93-8.
27. Walker M, Picklesimer A, Clark R, Spitzer A, Garite T. Impact of
duration of rupture of membranes on outcomes of premature infants.
Journal of Perinatology. 2014;34(9):669-72.

29
28. Thombre MK. A review of the etiology epidemiology prediction and
interventions of preterm premature rupture of membranes: Michigan State
University. Epidemiology; 2014.
29. Parnell LA, Briggs CM, Mysorekar IU, editors. Maternal microbiomes in
preterm birth: Recent progress and analytical pipelines. Seminars in
perinatology; 2017: Elsevier.
30. Stout MJ, Wylie TN, Gula H, Miller A, Wylie KM. The Microbiome of
the Human Female Reproductive Tract. Current Opinion in Physiology.
2019.
31. Stout MJ, Zhou Y, Wylie KM, Tarr PI, Macones GA, Tuuli MG. Early
pregnancy vaginal microbiome trends and preterm birth. American
journal of obstetrics and gynecology. 2017;217(3):356. e1-. e18.
32. Dasari S, Anandan SK, Rajendra W, Valluru L. Role of microbial flora in
female genital tract: A comprehensive review. Asian Pacific Journal of
Tropical Disease. 2016;6(11):909-17.
33. Lobo RA, Gershenson DM, Lentz GM, Valea FA. Genital Tract
Infections. Comprehensive Gynecology 7th ed. Philadelphia: Elsevier
Health Sciences; 2016. p. 524-48.
34. Hoffman B, Halvorson LM, Schaffer JI, Schorge JO, Bradshaw KD,
Williams JW. Gynecologic Infection. Williams Gynecology 3rd ed. New
York: McGraw-Hill; 2016. p. 64-96.
35. Monga A, Dobbs SP. Genital Disease. Gynaecology by ten teachers. 20th
ed: CRC Press; 2017. p. 88-103.
36. David E. Genitourinary infections and sexually transmitted diseases.
Jonathan SB Berek and novak's gynecology 14th ed: Philadelphia:
Lippincott Willams & Wilkins; 2019.
37. Konar H. DC Dutta's textbook of gynecology. 6th ed. New Delhi: JP
Medical Ltd; 2016.
38. Padubidri V, Daftary SN. Howkins & Bourne, Shaw's Textbook of
Gynecology. New Delhi: Reed Elsevier; 2018.
39. Mackay G. Sexually transmitted diseases & pelvic infections. CURRENT
Diagnosis & Treatment: Obstetrics & Gynecology New York, NY:
McGraw-Hill. 2013.
40. Shahgeibi S, Seied-Al-Shohadaie F, Seied-Al-Shohadaie A, Ghaderi E.
Complications of bacterial vaginosis in pregnancy. Pak J Med Sci.
2009;25(6):53-6.
41. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Spong CY, Dashe J. Williams
obstetrics. 25th ed: Mcgraw-hill; 2018.
42. Tristram D. Maternal Genital Tract Infection: Implications for the Fetus
and Newborn. Mucosal Immunology: Elsevier; 2015. p. 2215-29.
43. Han C, Li H, Han L, Wang C, Yan Y, Qi W, et al. Aerobic vaginitis in
late pregnancy and outcomes of pregnancy. European Journal of Clinical
Microbiology & Infectious Diseases. 2019;38(2):233-9.
44. Saghafi N, Pourali L, Ghazvini K, Maleki A, Ghavidel M, Babaki MK.
Cervical bacterial colonization in women with preterm premature rupture
of membrane and pregnancy outcomes: A cohort study. International
Journal of Reproductive BioMedicine. 2018;16(5):341.

30
45. Zeng L-n, Zhang L-l, Shi J, Gu L-l, Grogan W, Gargano MM, et al. The
primary microbial pathogens associated with premature rupture of the
membranes in China: a systematic review. Taiwanese Journal of
Obstetrics and Gynecology. 2014;53(4):443-51.
46. Brown RG, Al-Memar M, Marchesi JR, Lee YS, Smith A, Chan D, et al.
Establishment of vaginal microbiota composition in early pregnancy and
its association with subsequent preterm prelabor rupture of the fetal
membranes. Translational Research. 2019;207:30-43.

31

Anda mungkin juga menyukai