Anda di halaman 1dari 42

Sari Pustaka

PENDIDIKAN SEKS USIA REMAJA


TERHADAP PENCEGAHAN KANKER SERVIKS

Oleh :
dr. Agung Wijaya Kusuma
Peserta PPDS OBGIN

Pembimbing :
dr. Ferdinal Ferry, Sp.OG(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I (PPDS)


OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.....................................................................................................................................i
BAB I.............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN............................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................................................1
BAB II............................................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................................3
2.1 REMAJA..............................................................................................................................3
2.1.1 Definisi............................................................................................................................3
2.1.2 Tahap – tahap Perkembangan Remaja............................................................................4
2.1.3 Tugas –tugas Perkembangan Remaja..............................................................................5
2.1.4 PENDIDIKAN SEKS............................................................................................................6
2.1.5 AKTIVITAS SEKSUAL.......................................................................................................12
2.2. KANKER SERVIKS..............................................................................................................20
2.2.1. Definisi.........................................................................................................................20
2.2.2 Epidemiologi..................................................................................................................21
2.2.3 Etiologi Kanker Serviks..................................................................................................21
2.2.4 Faktor Resiko Kanker Serviks.........................................................................................22
2.2.5. Patofisiologi..................................................................................................................27
2.2.7 Diagnosis.......................................................................................................................28
2.2.7 Stadium Kanker Serviks.................................................................................................29
2.2.8 Pencegahan Kanker Serviks...........................................................................................30
2.2.9 Penatalaksanaan Kanker Serviks...................................................................................31
BAB III.........................................................................................................................................34
KESIMPULAN..............................................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................35

i
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Stadium Kanker Serviks ……............................................…..............


…….29

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Uterus dan serviks.........................................................................................20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Banyak remaja yang menunjukkan perilaku yang positif dan berprestasi di
berbagai bidang, namun, banyak juga dari mereka yang berperilaku negatif seperti
merokok, penggunaan napza, tawuran, adanya tindakan aborsi, seks bebas yang dapat
menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan dan penyakit menular lainnya. Untuk itu
diperlukan pemahaman mengenai (1) pemeliharaan kebersihan alat reproduksi, (2)
proses-proses reproduksi serta (3) dampak dari perilaku yang tidak bertanggung jawab
seperti kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, dan penyakit menular seksual lainnya
yang sampai saat ini belum dapat untuk dipecahkan.13
Remaja merupakan sumber daya manusia (SDM) yang paling potensial sebagai
tunas dan penerus bagi bangsa. Menurut WHO satu dari lima manusia yang hidup di
dunia ini adalah remaja (Usia 10-19 tahun) dan 85% berada di negara berkembang.
Oleh sebab itu masa remaja perlu diperhatikan secara serius agar dapat menjadi manusia
yang mempunyai daya guna yang berarti bagi suatu bangsa serta dapat meningkatkan
kualitas dan kemampuannya yang maksimal.17
Kanker serviks merupakan penyebab kanker ketiga dan penyebab kematian
keempat dari seluruh jenis kanker pada wanita diseluruh dunia. Di Indonesia kanker
serviks menjadi penyebab kanker dan penyebab kematian kedua pada wanita akibat
kanker berdasarkan data World Health Organitation.27
Lebih dari 85% kasus baru kanker serviks didiagnosis pada masyarakat yang
kurang beruntung secara ekonomi. Hampir 90% kematian akibat kanker serviks terjadi
5
pada wilayah dengan sumber daya rendah. Kejadian kanker serviks berpengaruh
terhadap kualitas hidup penderita, keluarga serta aspek pembiayaan kesehatan oleh
pemerintah, maka sangat diperlukan upaya pencegahan dan deteksi dini. 15 Kanker
serviks dapat dicegah dan disembuhkan dengan deteksi dini karena memiliki fase
preinvasif yang panjang.6

1
Presentase kasus baru penderita kanker serviks di dunia adalah 7,9 % atau
527.624 dan presentase kematian 7,5 % atau 265.672. Di Indonesia penderita kanker
serviks sebanyak 13,0% atau 20.928 dan yang meninggal tercatat 10,3% atau 9.498
orang (WHO, 2012). Prevalensi penderita kanker serviks tahun 2013 di Propinsi Nusa

Tenggara Timur sebanyak 0,4 0/00 dengan estimasi jumlah absolutnya 1.002.16

Beberapa faktor yang diduga meningkatkan kejadian kanker leher rahim yaitu
faktor sosiodemografis yang meliputi usia, status sosial ekonomi, dan faktor aktivitas
seksual yang meliputi usia pertama kali melakukan hubungan seks, pasangan seks yang
berganti-ganti, paritas, kebersihan genital, merokok, riwayat penyakit kelamin, trauma
kronis pada serviks, serta penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka lama yaitu lebih
dari 4 tahun.16

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 REMAJA

2.1.1 Definisi
Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia.
Masa ini merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak ke
masa dewasa yang meliputi perubahan biologik, perubahan psikologik, dan
perubahan sosial. Di sebagian besar masyarakat dan budaya masa remaja pada
umumnya dimulai pada usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun.19
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak yang dimulai
saat terjadinya kematangan seksual yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai
dengan 20 tahun, yaitu masa menjelang dewasa muda. Berdasarkan umur
kronologis dan berbagai kepentingan, terdapat defenisi tentang remaja yaitu:
a) Pada buku-buku pediatri, pada umumnya mendefenisikan remaja adalah bila
seorang anak telah mencapai umur 10-18 tahun dan umur 12-20 tahun anak
laki- laki.
b) Menurut undang-undang No. 4 tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak,
remaja adalah yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah.
c) Menurut undang-undang perburuhan, anak dianggap remaja apabila telah
mencapai umur 16-18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat
tinggal.
d) Menurut undang-undang perkawinan No.1 tahun 1979, anak dianggap sudah
remaja apabila cukup matang, yaitu umur 16 tahun untuk perempuan dan 19
tahun untuk anak-anak laki-laki.
e) Menurut dinas kesehatan anak dianggap sudah remaja apabila anak sudah
berumur 18 tahun, yang sesuai dengan saat lulus sekolah menengah.
f) Menurut WHO, remaja bila anak telah mencapai umur 10-18 tahun.24

2.1.2 Tahap – tahap Perkembangan Remaja

3
Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada 3 tahap
perkembangan remaja 28 :

a. Remaja awal (early adolescent)


Seorang remaja pada tahap ini masih terheran-heran akan
perubahanperubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-
dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan
pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang
secara erotis. Dengan dipegang bahunya saja oleh lawan jenis ia sudah
berfantasi erotik. Kepekaan yang berlebih-lebihan ini ditambah dengan
berkurangnya kendali terhadap ego menyebabkan para remaja awal ini sulit
dimengerti dan dimengerti orang dewasa.
b. Remaja madya (middle adolescent)
Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau
banyak teman yang mengakuinya. Ada kecenderungan narsistis yaitu
mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang sama dengan
dirinya, selain itu, ia berada dalam kondisi kebingungan karena tidak tahu
memilih yang mana peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri,
optimistis atau pesimistis, idealis atau materialis, dan sebagainya. Remaja pria
harus membebaskan diri dari oedipus complex (perasaan cinta pada ibu
sendiri pada masa anak-anak) dengan mempererat hubungan dengan
kawankawan.
c. Remaja akhir (late adolescent)
Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai
dengan pencapaian lima hal yaitu:
• Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.
• Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan
dalam pengalaman- pengalaman baru.
• Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.
• Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti
dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.

4
• Tumbuh ”dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan
masyarakat umum. Berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja kita
sangat perlu untuk mengenal perkembangan remaja serta ciri-cirinya.
Berdasarkan sifat atau ciri perkembangannya, masa (rentang waktu)
remaja ada tiga tahap yaitu 23 :
a. Masa remaja awal (10-12 tahun)
• Tampak dan memang merasa lebih dekat dengan teman sebaya.
• Tampak dan merasa ingin bebas.
• Tampak dan memang lebih banyak memperhatikan keadaan
tubuhnya dan mulai berpikir yang khayal (abstrak).
b. Masa remaja tengah (13-15 tahun)
• Tampak dan ingin mencari identitas diri.
• Ada keinginan untuk berkencan atau ketertarikan pada lawan jenis.
• Timbul perasaan cinta yang mendalam.
c. Masa remaja akhir (16-19 tahun)
• Menampakkan pengungkapan kebebasan diri.
• Dalam mencari teman sebaya lebih selektif.
• Memiliki citra (gambaran, keadaan, peranan) terhadap dirinya.
• Dapat mewujudkan perasaan cinta.
• Memiliki kemampuan berpikir khayal atau abstrak.

2.1.3 Tugas –tugas Perkembangan Remaja


Tugas-tugas perkembangan fase remaja ini amat berkaitan dengan
perkembangan kognitifnya, yaitu fase operasional formal. Kematangan
pencapaian fase kognitif akan sangat membantu kemampuan dalam
melaksanakan tugas-tugas perkembangannya itu dengan baik. Agar dapat
memenuhi dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan, diperlukan
kemampuan kreatif remaja. Kemampuan kreatif ini banyak diwarnai oleh
perkembangan kognitifnya.1

5
2.1.4 PENDIDIKAN SEKS
a. Konsep pendidikan kesehatan
Pendidikan kesehatan adalah suatu penerapan konsep pendidikan di
dalam bidang kesehatan. Dilihat dari segi pendidikan, pendidikan kesehatan
adalah suatu pedagogik praktis atau praktek pendidikan. Oleh sebab itu, konsep
pendidikan kesehatan adalah konsep pendidikan yang di aplikasikan pada bidang
kesehatan. Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti
didalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau
perubahan kearah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri
individu, kelompok atau masyarakat. Konsep ini berangkat dari suatu asumsi
bahwa manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya untuk mencapai
nilai-nilai hidup didalam masyarakat selalu memerlukan bantuan orang lain yang
mempunyai kelebihan (lebih dewasa, lebih pandai, lebih mampu, lebih tahu dan
sebagainya). Dalam mencapai tujuan tersebut, seorang individu, kelompok atau
masyarakat tidak terlepas dari kegiatan belajar.19

b. Ruang pendidikan kesehatan


Ruang lingkup pendidikan kesehatan dapat dilihat dari berbagai dimensi,
antara lain dimensi sasaran pendidikan, dimensi tempat pelaksanaan atau
aplikasinya dan dimensi tingkat pelayanan kesehatan. Dari dimensi sasarannya,
pendidikan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi 3 diantaranya 19:
 Pendidikan kesehatan individual dengan sasaran individu.
 Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok.
 Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat luas

Dimensi tempat pelaksanaannya, pendidikan kesehatan dapat


berlangsung di berbagai tempat, dengan sendirinya sasarannya berbeda pula,
misalnya:
 Pendidikan kesehatan disekolah, dilakukan disekolah dengan sasaran murid.
 Pendidikan kesehatan di rumah sakit, dilakukan di rumah sakit-rumah sakit
dengan sasaran pasien atau keluarga pasien, di puskesmas dan sebagainya.

6
 Pendidikan kesehatan ditempat-tempat kerja dengan sasaran buruh atau
karyawan yang bersangkutan

Dimensi tingkat pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan dapat


dilakukan berdasarkan lima tingkat pencegahan (five levels of prevention) dari
(Leavel dan Clark), sebagai berikut:

a) Promosi Kesehatan (Health Promotion)


Dalam tingkat ini pendidikan kesehatan diperlukan misalnya dalam
peningkatan gizi, kebiasaan hidup, perbaikan sanitasi lingkungan
hygiene perorangan dan sebagainya.
b) Perlindungan Khusus (Specifik Protection)
Dalam program imunisasi sebagai bentuk pelayanan perlindungan
khusus ini pendidikan kesehatan sangat diperlukan terutama dinegara-
negara berkembang. Hal ini karena kesadaran masyarakat tentang
pentingnya imunisai sebagai perlindungan terhadap penyakit pada
dirinya maupun pada anak-anaknya masih rendah.
c) Diagnosis Dini dan Pengobatan Segera (Early Diagnosis and
Prompt Treatment)
Dikarenakan rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat
terhadap kesehatan dan penyakit, maka sering sulit mendeteksi
penyakit-penyakit yang terjadi didalam masyarakat, bahkan kadang-
kadang masyarakat sulit atau tidak mau diperiksa dan diobati
penyakitnya. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak memperoleh
pelayanan kesehatan yang layak. Oleh sebab itu, pendidikan kesehatan
sangat diperlukan pada tahap ini.
d) Pembatasan Cacat (Disability Limitation)
Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran masyarakat tentang
kesehatan dan penyakit, maka sering masyarakat tidak melanjutkan
pengobatannya sampai tuntas. Dengan kata lain mereka tidak
melakukan pemeriksaan dan pengobatan yang komplit terhadap

7
penyakitnya. Pengobatan yang tidak layak dan sempurna dapat
mengakibatkan orang yang bersangkutan cacat atau ketidakmampuan.

e) Rehabilitasi (Rehabilitation)
Setelah sembuh dari suatu penyakit tertentu, kadang-kadang orang
menjadi cacat. Untuk memulihkan cacatnya tersebut kadang-kadang
diperlukan latihan-latihan tertentu. Oleh karena kurangnya pengertian
dan kesadaran orang tersebut, ia tidak atau segan melakukan latihan-
latihan yang dianjurkan. Disamping itu orang yang cacat setelah
sembuh dari penyakit, kadang-kadang malu untuk kembali ke
masyarakat.19

c. Peranan pendidikan kesehatan


Semua ahli kesehatan masyarakat dalam membicarakan status kesehatan
mengacu pada H. L. Blum. Dari hasil penelitiannya di Amerika Serikat sebagai
salah satu negara yang sudah maju Blum menyimpulkan bahwa lingkungan
mempunyai andil yang paling besar terhadap status kesehatan. Kemudian
berturut-turut disusul oleh perilaku mempunyai andil nomor dua, pelayanan
kesehatan dan keturunan mempunyai andil yang paling kecil terhadap status
kesehatan.19

d. Defenisi
Pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah
penyalahgunaan seks. Khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang
tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular,
depresi, dan perasaan berdosa.23
Beberapa pihak tidak setuju dengan pendidikan seks, karena
dikhawatirkan dengan pendidikan seks, anak-anak yang belum saatnya tahu
tentang seks jadi mengetahuinya dan karena dorongan keingintahuan yang besar

8
yang ada pada remaja, mereka jadi ingin mencobanya. Namun pandangan pro
kontra pendidikan seks tersebut pada hakikatnya tergantung sekali pada
bagaimana kita mendefenisikan pendidikan seks itu sendiri. Jika pendidikan seks
diartikan sebagai pemberian informasi mengenai seluk beluk anatomi dan proses
faal dari reproduksi manusia semata ditambah dengan teknik-teknik
pencegahannya (alat kontasepsi), maka kecemasan yang disebutkan diatas
memang beralasan.23

e. Perlunya pendidikan seks


Pendidikan seks bukanlah penerangan tentang seks semata-mata.
Pendidikan seks, sebagaimana pendidikan lain pada umumnya seperti
pendidikan agama, atau pendidikan Moral Pancasila, yang mengandung
pengalihan nilai-nilai dari pendidik kesubjek-didik. Dengan demikian, informasi
tentang seks diberikan secara kontekstual, yaitu dalam kaitannya dengan norma-
norma yang berlaku dalam masyarakat. Pendidikan seks yang konstektual ini
jadinya mempunyai ruang lingkup yang luas. Tidak terbatas pada perilaku
hubungan seks semata tetapi menyangkut pula hal-hal seperti peran pria dan
wanita dalam masyarakat, hubungan pria-wanita dalam pergaulan, peran ayah
ibu dan anak-anak dalam keluarga dan sebagainya.23
Perbedaan pandangan tentang perlunya pendidikan seks bagi remaja
nyata dari penelitian WHO (World Health,1979) di 16 negara eropa yang
hasilnya adalah sebagai berikut:
 5 negara mewajibkannya disetiap sekolah
 6 negara menerima dan mensahkannya denganundang-undang tetapi tidak
mengharuskannya di sekolah
 2 negara secara umum menerima pendidikan seks, tetapi tidak
mengukuhkannya dengan undang-undang.
 3 negara tidak melarang, tetapi juga tidak mengembangkannya.23

Pandangan yang mendukung pendidikan seks antara lain diajukan oleh


Zelnik dan Kim yang menyatakan bahwa remaja yang telah mendapatkan

9
pendidikan seks tidak cenderung jarang melakukan hubungan seks, tetapi
mereka yang belum pernah mendapatkan pendidikan seks, cenderung lebih
banyak mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki.23 Pendidikan seks yang
hanya berupa larangan atau berupa kata-kata “tidak boleh” tanpa adanya
penjelasan lebih lanjut adalah sangat tidak efektif. Dikatakan tidak efektif karena
pendidikan seperti ini tidak cukup untuk mempersiapkan remaja dalam
menghadapi kehidupannya yang semakin sulit. Pengaruh minuman keras, obat-
obatan terlarang, tekanan dari teman atau patah hati akibat hubungan cintanya,
akan semakin menjerumuskan mereka pada aktivitas seksual lebih dini.8

f. Materi pendidikan seks

Materi pendidikan seks sangat bervariasi dari satu tempat ketempat lain,
tetapi sebuah survey oleh Orr (1982) menunjukkan bahwa pada umumnya
materi pendidikan seks adalah sebagai berikut:
 Masalah-masalah yang banyak dibicarakan dikalangan remaja sendiri

Perkosaan
Masturbasi
Homoseksualitas
Disfungsi seksual
Eksoploitasi seksual
Kontrasepsi dan pengaturan kesuburan
Alat KB
Pengguguran
Alternatif-alternatif dari pengguguran
 Nilai-nilai seksual

Seks dan nilai-nilai moral


Seks dan hukum
Seks dan media massa

10
Seks dan nilai-nilai religi
 Perkembangan remaja dan reproduksi manusia

Penyakit menular seksual


Kehamilan dan kelahiran
Perubahan-perubahan pada masa puber
Anatomi dan fisiologi
Obat-obatan, alkohol dan seks

 Keterampilan dan perkembangan sosial

Berkencan
Cinta dan perkawinan
 Topik-topik lainnya

Kehamilan pada remaja


Kepribadian dan seksualitas
Mitos-mitos yang dikenal oleh umum
Kesuburan
Keluarga berencana
Menghindari hubungan seks
Teknik-teknik hubungan seks.23

Pendidikan seks di Indonesia seyogyanya tetap dimulai dari rumah.


Salah satu alas an utamanya adalah karena masalah seks ini merupakan masalah
yang sangat pribadi sifatnya, yang kalau hendak dijadikan materi pendidikan
juga perlu penyampaian yang pribadi. Dari berbagai penelitian yang dilakukan
oleh Sawono mengungkapkan bahwa dari sudut pandang remaja sendiri, mereka
mendambakan untuk memperoleh informasi tentang seks itu dari orang tuanya.23

11
Beberapa hal penting dalam memberikan pendidikan seksual, patut
diperhatikan 23 :
a. Cara menyampaikannya harus wajar dan sederhana, jangan terlihat ragu-ragu
atau malu.
b. Isi uraian yang disampaikan harus obyektif, namun jangan menerangkan yang
tidak-tidak, seolah-olah bertujuan agar anak tidak akan bertanya lagi, boleh
mempergunakan contoh atau simbol seperti misalnya: proses pembuahan pada
tumbuh-tumbuhan, sejauh diperhatikan bahwa uraiannya tetap rasional.
c. Dangkal atau mendalamnya isi uraiannya harus disesuaikan dengan kebutuhan
dan dengan tahap perkembangan anak. Terhadap anak umur 9 atau 10 tahun
belum perlu menerangkan secara lengkap mengenai perilaku atau tindakan dalam
hubungan kelamin, karena perkembangan dari seluruh aspek kepribadiannya
memang belum mencapai tahap kematangan untuk dapat menyerap uraian yang
mendalam mengenai masalah tersebut.
d. Pendidikan seksual harus diberikan secara pribadi, karena luas sempitnya
pengetahuan dengan cepat lambatnya tahap-tahap perkembangan tidak sama
buat setiap anak. Dengan pendekatan pribadi maka cara dan isi uraian dapat
disesuaikan dengan keadaan khusus anak
e. Pada akhirnya perlu diperhatikan bahwa usahakan melaksanakan pendidikan
seksual perlu diulang-ulang (repetitif) selain itu juga perlu untuk mengetahui
seberapa jauh sesuatu pengertian baru dapat diserap oleh anak, juga perlu untuk
mengingatkan dan memperkuat (reinforcement) apa yang telah diketahui agar
benar-benar menjadi bagian dari pengtahuannya.

2.1.5 AKTIVITAS SEKSUAL


a. Pengertian aktivitas
Dari segi biologis semua makhluk hidup mulai dari binatang sampai
dengan manusia, mempunyai aktivitas masing-masing. Manusia sebagai salah
satu makhluk hidup mempunyai bentangan kegiatan yang luas, sepanjang
kegiatan yang dilakukannya, yaitu antara lain: berjalan, berbicara, bekerja,

12
menulis, membaca, berpikir dan seterusnya. Secara singkat aktivitas manusia
tersebut dikelompokkan menjadi 2 yaitu:
1. Aktivitas-aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain misalnya: berjalan,
bernyanyi,tertawa dan sebagainya.
2. Aktivitas yang tidak dapat diamati orang lain (dari luar) misalnya berpikir,
berfantasi, bersikap, dan sebagainya.19

Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat
diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. perilaku
dikatakan wajar apabila ada penyesuaian diri yang diselaraskan peran manusia
sebagai makhluk ndividu, sosial dan berketuhanan. Aktivitas atau perbuatan
manusia tidak terjadi secara sporadic (timbul dan hilang pada saat-saat tertentu),
tetapi selalu ada kelangsungan kontinuitas antara satu perbuatan dengan
perbuatan berikutnya. Tiap-tiap perilaku selalu mengarah pada suatu tugas
tertentu. Keunikan perilaku berbeda dari yang lainnya. Jadi tiap-tiap manusia
memiliki ciri-ciri, sifat-sifat tersendiri yang membedakan dari manusia lainnya.
Pengalaman-pengalaman masa lalu dan aspirasi-aspirasinya untuk masa yang
akan datang menentukan perilaku dimasa kini dan arena tiap orang mempunyai
pengalaman dan aspirasi yang berbeda-beda, maka perilaku di masa kini pun
berbeda-beda.19

b. Faktor- faktor yang mempengaruhi perilaku


Menurut teori Lawrence Green, mengemukakan bahwa perilaku manusia
dari tingkat kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor
pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non
behavior causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari
3 faktor, diantaranya:
a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan lain-lain.
b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam
lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau

13
sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat
kontrasepsi, jamban dan lain-lain
c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor), yang terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang merupakan
kelompok referensi dari perilaku masyarakat.19

c. Pengertian seksual
Seksual adalah rangsangan-rangsangan atau dorongan yang timbul
berhubungan dengan seks. Seksualitas bukan semata-mata bagian intrinsik dari
seseorang tetapi juga meluas sampai berhubungan dengan orang lain. Keintiman
dan kebersamaan fisik merupakan kebutuhan sosial dan biologis sepanjang
kehidupan. Kesehatan seksual telah didefinisikan sebagai pengintegrasian aspek
somatik, emosional, intelektual dan sosial dari kehidupan seksual, dengan cara
yang positif memperkaya dan meningkatkan kepribadian, komunikasi dan cinta.
Seks juga digunakan untuk memberi label jender, baik seseorang itu pria atau
wanita. 19
Seksualitas berhubungan dengan bagaimana seseorang
mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada orang lain melalui tindakan yang
di lakukannya, seperti sentuhan, ciuman, pelukan, senggama seksual dan melalui
perilaku yang lebih halus seperti isyarat gerak tubuh, etiket, berpelukan dan
perbendaraan kata.29

d. Tahapan perkembangan seksual


Tahapan psikoseksual yang harus dilalui seorang anak menurut Sigmund
Freud terbagi dalam 4 fase yaitu 23 :
a. Fase oral

Fase oral adalah fase seorang anak mendapatkan perasaan nikmat melalui
mulutnya, yaitu ketika sedang menyusu dan mengisap air susu ibu yang
dimulai sejak bayi hingga usia 1-2 tahun.
b. Fase anal

14
Pada fase anal, kenikmatan yang dirasakannya berubah dari mulut ke daerah
anus dan sekitarnya (seperti saluran kencing). Rasa nikmat akan dirasakan
anak ketika sedang menahan kencing dan buang air besar. Fase ini dimulai
pada anak berusia 2-4 tahun.
c. Fase phallus

Selanjutnya perubahan yang dirasakannya turun kebagian alat kelaminnya.


Fase ini berlangsung pada saat anak berumur 4-6 tahun.
d. Fase laten

Fase laten berlangsung pada usia sekolah. Fase laten ini terbagi 2 bagian
sebagai berikut:
1. Bagian awal

Pada bagian ini seorang anak sudah tidak lagi memperhatikan


kenikmatan yang pernah dirasakan pada alat kelaminnya, bahkan
cenderung seperti melupakan kejadian tersebut.
2. Bagian akhir

Begitu memasuki bagian akhir dari masa laten, seorang anak mulai
menunjukkan kembali kenikmatan yang dirasakan melalui alat
kelaminnya. Karena pada saat memasuki fase ini usia anak telah beranjak
dewasa, dorongan seksual, perasaan cinta, ketertarikannya kepada lawan
jenis mulai tumbuh. Jadi, perhatian anak beralih kepada alat kelaminnya
adalah hal wajar.

e. Defenisi aktivitas seksual


Perilaku (aktivitas) seksual adalah segala tingkah laku yang di dorong
oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis.
Bentuk-bentuk aktivitas ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik
sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama.23
Dalam hal ini aktivitas (perilaku) seksual diurutkan sebagai berikut:
 Berpacaran/Berkencan

15
 Berpegangan tangan
 Mencium pipi pacar
 Berpelukan dengan pacar
 Mencium bibir pacar
 Dipegang/Memegang buah dada pacar
 Memegang alat kelamin pacar
 Melakukan senggama

f. Pola aktivitas seksual remaja


Perkembangan aktivitas seksual dipengaruhi berbagai faktor antara lain
perkembangan psikis, fisik, proses belajar dan sosiokultural. Beberapa aktivitas
seksual yang sering dijumpai pada remaja yaitu 26 :
a) Masturbasi/onani

Masturbasi ataupun onani merupakan salah satu aktivitas yang sering


dilakukan oleh remaja. Masturbasi yakni melakukan rangasangan seksual
khususnya pada alat kelamin, yang dilakukan sendiri dengan berbagai cara
untuk tujuan mencapai orgasme. Kegiatan masturbasi dilakukan hampir
semua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan sebenarnya
masturbasi sudah berlangsung sejak seseorang berusia balita yang dalam
perkembangan psikoseksual disebut juga fase phallus. Kegiatan ini sering
terjadi pada masa awal pubertas seseorang. Karena dorongan seksual yang
mendesak, sedangkan objek-objek seksual tidak ada. Sejauh ini secara medis
tidak ditemukan efek samping masturbasi. Apabila seseorang merasa
ketagihan dengan bermasturbasi, sebaiknya ia mengubah pandangannya
terhadap masturbasi. Setelah itu secepatnya mengalihkan dan menggunakan
pikirannya pada kegiatan-kegiatan lainnya seperti berolah raga, menyalurkan
hobinya, berkumpul dengan teman-temannya atau membaca bacaan humor.
b) Petting

16
Definisi petting adalah upaya membangkitkan dorongan seksual antar
jenis kelamin dengan cara menyentuh orgab seksual tanpa melakukan
tindakan intercourse. Usia 15 tahun ditemukan bahwa 39 remaja perempuan
melakukan petting, sedangkan 57% remaja laki-laki melakukan petting.
c) Oral seks

Oral seks melakukan rangsangan dengan mulut pada organ seks


pasangannya. Jika melakukan oral seks itu laki-laki, sebutannya adalah
cunnilingus, jika yang melakukan oral seks tersebut perempuan, sebutannya
adalah fellatio.
d) Anal seks

Anal seks adalah hubungan seksual yang dilakuakan dengan


memasukkan penis kedalam anus atau anal. Aktivitas seksual seperti ini
tentu sangat berbahaya karena anus mengandung banyak bakteri biang
penyakit.
e) Hubungan seksual

Hubungan seksual atau yang disebut bersetubuh yang benar menurut


etika, moral dam agama adalah jika dilakukan melalui sebuah ikatan
pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan yang dilandasiu oleh rasa
cinta. Dengan bersetubuh, dua orang akan menjadi satu secara fisik dan
emosional. Inilah yant disebut pemenuhan dorongan seksual dalam arti yang
sebenarnya. Aktivitas seksual seperti ini tidak menimbulkan rasa ketakutan
terhadap penyakit menular, risiko kehamilan diluar nikah, ataupun berdosa.
Hubungan seksual yang pertama dialami oleh remaja dipengaruhi oleh
berbagai faktor yaitu 24 :
1. Waktu/saat mengalami pubertas, saat itu mereka tidak pernah memahami
tentang apa yang dialaminya.
2. Kontrol sosial kurang tepat yaitu terlalu ketat atau terlalu longgar

17
3. Frekuensi pertemuan dengan pacarnya. Mereka mempunyai kesempatan
untuk melakukan pertemuan yang makin sering tanpa kontol yang baik
sehingga hubungan akan makin mendalam.
4. Hubungan antar mereka makin romantis.
5. Status ekonomi, mereka yang berkecukupan akan dengan mudah
melakukan pesiar ketempat-tempat rawan yang memungkinkian adanya
kesempatan melakukan hubungan seksual, sebaliknya kelompok yang
ekonomi lemah tetapi banyak kebutuhan/tuntutan mereka mencari
kesempatan untuk memenfaatkan dorongan seksnya demi mendapatkan
sesuatu.
6. Korban pelecehan seksual yang berhubungan dengan fasilitas antara lain
sering sering mempergunakan kesempatan yang rawan misalnya pergi ke
tempat sepi.
7. Tekanan dari teman sebaya, kelompok sebaya kadang-kadang ingin
menunjukkan penampilan diri yang salah untuk menunjukkan
kematangannya.
8. Penggunaan obat-obatan terlarang
9. Mereka kehilangan kontrol sebab tidak tahu akan batas-batasnya mana
yang boleh dan mana yang tidak boleh.
10. Mereka merasa sudah saatnya melakukan aktivitas seksual sebab merasa
matang secara fisik.
11. Adanya keinginan untuk menunjukkan cinta pada pacarnya.
12. Aktivitas seksual pacarnya.
13. Penerimaan menunjukkan kegagahan dan kemampuan fisiknya.
14. Sekedar terjadinya peningkatan rangsangan seksual akibat peningkatan
kadar hormon reproduksi/seksual.

g. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas (perilaku) seksual


Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seksual yaitu 23 :

18
1. Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual
(libido seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksual ini
membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual.
Penyaluran itu tidak dapat segera dilakukan karena adanya
penundaan usia perkawinan, baik secara hukum karena adanya
undang-undang tentang perkawinan yang menetapkan batas usia
menikah (sedikitnya 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria),
maupun karena norma sosial yang makin lama makin menuntut
persyaratan yang makin tinggi untuk perkawinan (pendidikan,
pekerjaan, persiapan mental, dan lain-lainnya).
2. Sementara usia perkawinan ditunda, norma-norma agama tetap
berlaku di mana seseorang dilarang untuk melakuakan hubungan
seks sebelum menikah. Bahkan larangannya berkembang lebih jauh
kepada tingkah laku yang lain seperti berciuman dan masturbasi.
Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri akan terdapat
kecenderungan untuk melangggar larangan-larangan tersebut.
3. Kecenderungan pelanggaran meningkat oleh karena adanya
penyebaran informasi dengan adanya teknologi canggih (video,
internet, Video Compact Disc, telepon genggam, dan lain-lain).
4. Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena
sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks
dengan anak tidak terbuka, malah cenderung membuat jarak dengan
masalah seksual
5. Dipihak lain, tidak dapat diingkari adanya kecenderungan pergaulan
yang makin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat sebagai
akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita sehingga
kedudukan wanita makin sejajar dengan pria.

h. Aktivitas seksual menyimpang pada remaja


Beberapa aktivitas seksual yang sering dijumpai sebagai berikut 8 :

19
1. Homoseksual

Faktor penyebab yang paling kuat timbulnya penyimpangan ini


adalah faktor keturunan. Homoseksual sebenanya bukan tergolong
penyakit pada umumnya, melainkan identitas seseorang.
2. Sodomi

Sodomi adalah hubungan seks yang dilakukan oleh para homo.


3. Transeksual

Sebutan ini ditujukan untuk orang laki-laki atau perempuan yang


tidak menginginkan jenis kelamin mereka untuk memperoleh
kepuasan seksualnya. Kelainan ini sebenarnya sudah dapat dilihat
pada usia anak-anak seperti kesukaanya pada boneka dan hal-hal lain
yang berhubungan dengan kegiatan perempuan.
4. Transvetite

Transvetite merupakan istilah yang diberikan seorang laki-laki


heteroseksual yang menginginkan memakai pakaian perempuan.
5. Exhibitions

Penderita exhibition akan memperoleh kepuasan seksual dengan cara


memperlihatkan penis secara sengaja kepada perempuan atau anak
kecil yang menurutnya sesuai dengan keinginanya.
6. Fetihisme

Merupakan pemujaan yang ditujukan pada benda-benda mati atau


bagian tubuh idolanya sampai mendapat kepuasan seksual.

7. Phedophilia

20
Merupakan kelainan seksual yang memperoleh kepuasan jika
berhubungan seksual sengan anak kecil atau dibawah umur.

2.2. KANKER SERVIKS

2.2.1. Definisi

Kanker adalah pertumbuhan sel-sel tubuh di luar kendali dan


membentuk sel-sel baru sehingga mendesak sel-sel normal yang
menyebabkan timbulnya masalah pada organ tempat kanker tumbuh.3
Serviks adalah bagian bawah rahim berbentuk selinder yang
terhubung dengan vagina. Pada bagian atas bertemu dengan korpus rahim
yang disebut isthmus atau os internal dan batas bawah serviks yang
terhubung dengan vagina disebut os eksternal. Dalam serviks itu sendiri
secara anatomi terbagi atas endoserviks dan ektoserviks yang di lapisi
oleh dua kelenjar yang berbeda. Endoserviks di lapisi oleh epitelium
kolumnar dan ektoserviks dilapisi epitel skuamosa dimana kedua kelenjar
ini bertemu pada Scuamocolumnar Junction (SCJ).8

Gambar 2.1 Uterus dan serviks


Sumber : The Anatomy And Physiology Learning System 2

21
Struktur dan lokasi serviks mengalami perubahan ketika mencapai
pubertas, kehamilan dan menopause. Ketika wanita mencapai pubertas,
terjadi pergantian epitel kolumnar oleh epitel skuamosa metaplastik yang
disebut zona transformasi dimana sebagian besar kelainan seluler terkait
kanker serviks terjadi.8
Kanker serviks adalah merupakan keganasan sel yang terjadi pada
serviks. Kanker serviks dapat berasal dari mukosa di permukaan serviks
yang tumbuh secara lokal dan dapat menyebar ke uterus, jaringan
paraservikal dan organ panggul.5

2.2.2 Epidemiologi

Kanker serviks masih menjadi masalah penting di Negara-negara


berkembang. Lebih dari 80% wanita dengan kanker serviks terdiagnosa
pada stadium lanjut karena buruknya akses ke sarana kesehatan,
kurangnya kesadaran tentang kanker serviks dan saran untuk melakukan
skrining, serta tidak adanya program skrining dan pengobatan (Gattoc,
Leda et al., 2015; Jhingran and Rodriguez, 2017; Kessler, 2017). Usia
puncak terjadinya kanker serviks adalah usia 47 tahun, sekitar 47% wanita
dengan kanker serviks terjadi pada usia lebih muda dari 35 tahun dan 10%
terjadi pada usia diatas 65 tahun.9

2.2.3 Etiologi Kanker Serviks

Human Papiloma Virus (HPV) merupakan penyebab tersering


terjadinya kanker serviks pada wanita yang ditularkan melalui kontak
seksual. Terdapat 15 tipe HPV yang dapat menyebabkan kanker serviks
yaitu tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 73, dan 82.
Penyebab paling umum yang menyebabkan lebih dari 75% kasus kanker
serviks adalah HPV tipe 16 dan 18.12

22
2.2.4 Faktor Resiko Kanker Serviks

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kanker serviks antara lain :


1. Faktor genetik

Kelainan genetik berperan dalam karsinogenesis dan agresivitas tumor


serviks sekitar 32-34 %. Keluarga dengan riwayat kanker serviks dapat
meningkatkan resiko dua sampai tiga kali lebih tinggi daripada mereka
yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan kanker serviks.12

2. Perilaku seksual

Perilaku seksual terkait dengan usia awal melakukan hubungan seksual


dan jumlah pasangan seksual atau pasangan dengan banyak pasangan
seks. Hal ini berhubungan dengan kemungkinan serviks terpapar faktor
karsinogen lebih tinggi dan lebih lama. Wanita yang pertama kali
melakukan hubungan seksual <20 tahun memiliki resiko lebih
dibandingkan wanita yang melakukan hubungan seksual >20 tahun.12

3. Usia reproduksi

Jumlah paritas yang lebih tinggi, usia dini pada kelahiran pertama, dan
jumlah persalinan pervaginam menimbulkan trauma berulang pada
serviks selama kelahiran anak menjadi faktor penyebab kanker
serviks.14,18,20 Seorang wanita yang mengalami kehamilan pertama
sebelum usia 17 tahun hampir dua kali lebih mungkin mengalami
kanker serviks daripada wanita yang menunggu untuk hamil sampai
usia 25 tahun.16

23
Usia pasien sangat menentukan kesehatan maternal dan berkaitan erat
dengan kondisi kehamilan, persalinan, dan nifas. Proses reproduksi
sebaiknya berlangsung pada saat ibu berumur 20–35 tahun, sebab pada
saat itu penyulit kehamilan jarang terjadi.

Sumber lain menerangkan usia pasien rata-rata antara 30-60 tahun,


terbanyak antara 45-50 tahun. Hal ini dikarenakan periode laten dari
fase prainvasif untuk menjadi invasif memakan waktu sekitar 10 tahun.
Hanya 9% wanita berusia kurang dari 35 tahun menunjukan kanker
serviks yang invasif pada saat didiagnosa, sedangkan 53% dari KIS
(Karsinoma In Situ) terdapat pada wanita dibawah usia 35 tahun.
Menurut Benson KL, 2% dari wanita yang berusai 40 tahun akan
menderita kanker serviks dalam hidupnya. Hal ini dimungkinkan
karena perjalanan penyakit ini memerlukan waktu 7 sampai 10 tahun
untuk terjadinya kanker invasif sehingga sebagian besar terjadinya atau
diketahuinya setelah berusia lanjut.

Pada usia 20-40 tahun, disebut sebagai masa dewasa dini yang disebut
juga usia reproduktif. Sehingga pada masa ini diharapkan orang telah
mampu untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dengan
tenang secara emosional, perkembangan fisiknya, maupun
kemampuannya dalam hal kehamilan baik kelahiran bayinya.

Usia kawin muda menurut Rotkin, Chistoperson dan Parker serta


Barron dan Richart jelas berpengaruh. Rotkin menghubungkan
terjadinya karsinoma serviks dengan usia saat seorang wanita mulai
aktif berhubungan seksual, dikatakan pula olehnya karsinoma serviks
cenderung timbul bila saat mulai aktif berhubungan seksual pada saat
usia kurang dari 17 tahun. Lebih dijelaskan bahwa umur antara 15- 20

24
tahun merupakan periode yang rentan. Pada periode laten antara coitus
pertama dan terjadinya kanker serviks kurang lebih dari 30 tahun.

Periode rentan ini berhubungan dengan kiatnya proses metaplasia pada


usia pubertas, sehingga bila ada yang mengganggu proses metaplasia
tersebut misalnya infeksi akan memudahkan beralihnya proses menjadi
displasia yang lebih berpotensi untuk terjadinya keganasan.
Christoperson dan parker menemukan perbedaan statistik yang
bermakna antara wanita yang menikah usia 15-19 tahun dibandingkan
wanita yang menikah usia 20-24 tahun, pada golongan pertama
cenderung untuk terkena kanker serviks.

4. Tingkat pendidikan

Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku sesorang


atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
pengajaran dan pelatihan. Pendidikan formal adalah segenap bentuk
pendidikan atau pelatihan yang diberikan secara terorganisasi dan
berjenjang, baik yang bersifat umum, maupun yang bersifat khusus.
Pendidikan in formal adalah pendidikan dan pelatihan yang terdapat di
luar lingkungan sekolah, dalam bentuk yang tidak terorganisasi.17

Dalam arti formal pendidikan adalah suatu proses penyampaian bahan


atau materi pendidikan guna mencapai perubahan tingkah laku.
Sedangkan tugas pendidikan disini adalah memberikan atau
peningkatan pengetahuan dan pengertian, menimbulkan sikap positif
serta memberikan/meningkatkan keterampilan-keterampilan
masyarakat atau individu tentang aspek-aspek yang bersangkutan
sehingga dicapai suatu masyarakat yang berkembang. Salah satu jenis
pendidikan diantaranya adalah pendidikan formal yaitu pendidikan

25
yang diperoleh dilingkungan sekolah seperti SD, SLTP, SLTA,
Perguruan Tinggi dan lain-lain. Pendidikan formal berfungsi untuk
mengajarkan pengetahuan umum dan pengetahuan yang bersifat
khusus. Pendidikan formal di dapatkan dari sekolah, pendidikan
informal didapatkan diluar sekolah misalnya dalam keluarga atau
masyarakat.17

Tingkat pendidikan seseorang dapat mendukung atau mempengaruhi


tingkat pengetahuan seseorang dan taraf pendidikan yang rendah selalu
berhubungan dengan informasi dan pengetahuan yang terbatas.
Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin tinggi pula pemahaman
seseorang terhadap informasi yang didapat dan pengetahuannya pun
akan semakin tinggi. Pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang
tidak peduli terhadap program kesehatan yang ada, sehingga mereka
tidak mengenal bahaya yang mungkin terjadi. Walaupun ada sarana
yang baik belum tentu mereka tahu menggunakannya.17

Pendidikan dan pendapatan keluarga dihubungkan dengan nutrisi yang


dikonsumsi sehari-hari, higiene serta kepatuhan untuk melakukan
pemeriksaan secara teratur. Pendidikan yang rendah menyebabkan
seseorang tidak mengenal bahaya yang mungkin terjadi. Walaupun ada
sarana yang baik belum tentu mereka tahu menggunakannya. Dengan
pendidikan yang tinggi maka semakin banyak seseorang mengetahui
tentang permasalahan yang menyangkut perbaikan lingkungan dan
hidupnya.15

Selain itu peningkatan pendidikan formal wanita akan mendewasakan


usia perkawinan. Hal ini membuat rentang usia subur yang dijalani
dalam ikatan perkawinan semakin pendek. Tingkat pendidikan yang
tinggi akan meningkatkan kemungkinan bagi wanita untuk tidak
menikah sama sekali selama hidupnya. Hal ini terjadi terutama karena

26
tingkat pendidikan yang tinggi mampu membuka kesempatan yang
lebih luas bagi wanita untuk bekerja, berorganisasi, dan kariernya di
luar rumah .15

5. Kebiasaan merokok
Wanita perokok dengan durasi dan intensitas yang tinggi menunjukan
peningkatan dua kali lipat beresiko serviks intraepithelial neoplasia
grade 3 (NIS 3) / karsinoma in situ (KIS). Wanita yang merokok dua
kali lebih mungkin terkena kanker serviks dibandingkan dengan yang
tidak merokok. bahan kimia penyebab kanker dan produk sampingan
tembakau dalam rokok telah ditemukan di mukosa serviks wanita
perokok dan zat-zat ini merusak DNA sels-sel.30

6. Penggunaan kontrasepsi oral

Penggunaan kontrasepsi oral jangka panjang lebih dari 5 tahun


memiliki resiko kanker serviks tetapi resikonya kembali ke normal 10
tahun setelah kontrasepsi oral dihentikan.21

7. Riwayat Penyakit Menular Seksual (PMS)

Infeksi klamidia dan herpes simplex menyebabkan peradangan kronis


dan perubahan mikro ulseratif pada epitel serviks yang berperan dalam
inisiasi dan progresi kanker.18

8. Imunosupresi kronis

Wanita dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) stadium


lanjut memiliki resiko tinggi kanker serviks karena perkembangan lesi
pra kanker menjadi kanker invasif lebih cepat. HIV adalah virus yang
merusak sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan tubuh penting

27
dalam menghancurkan sel kanker dan memperlambat pertumbuhan
serta penyebaran. Wanita dengan HIV, prekanker serviks berkembang
menjadi kanker invasif lebih cepat daripada biasanya. Memiliki HIV
membuat sistem kekebalan tubuh seorang wanita kurang dapat
memerangi baik infeksi HPV maupun kanker-kanker pada stadium
awal.7

9. Faktor diet

Diet tinggi kalori dan gula, minuman manis dan daging olahan
berhubungan dengan peningkatan berat badan yang dapat menyebabkan
obesitas dan hal ini beresiko meningkatkan karsinogenesis. Diet sehat
dengan asupan makanan tingi nabati (buah-buahan, sayuran, kacang-
kacangan dan gandum), asupan rendah daging merah olahan, asupan
rendah makanan manis, dan penghindaran asupan garam yang tinggi
terkait dengan rendahnya resiko kanker dan meningkatkan prognosis
kanker menjadi lebih baik pada penderita yang sudah terdiagnosis
kanker.31

10. Faktor kemiskinan

Faktor kemiskinan dikaitkan dengan pendapatan rendah dan akses


terbatas ke perawatan kesehatan tidak dapat di skrining prekursor
kanker serviks atau diobati kanker serviks.18

2.2.5. Patofisiologi
Perkembangan kanker serviks dimulai dari neoplasia intraepitel
serviks (NIS) 1, NIS 2, NIS 3 atau karsinoma in situ (KIS) pada lapisan
epitel serviks dan setelah menembus membran basalis akan menjadi
karsinoma mikroinvasif dan invasif.15

28
Karsinoma serviks biasa timbul di daerah yang disebut squamo-
columnar junction (SCJ) atau sambungan skuamo-kolumnar (SSK), yaitu
batas antara epitel yang melapisi ektoserviks (porsio) dan endoserviks
kanalis serviks, dimana secara histologik terjadi perubahan dari epitel
ektoserviks yaitu epitel skuamosa berlapis dengan epitel endoserviks yaitu
epitel kuboid/kolumnar pendek selapis bersilia. Letak SSK dipengaruhi
oleh faktor usia, aktivitas seksual dan paritas. Pada wanita muda SSK
berada di luar ostium uteri eksternum, sedangkan pada wanita berusia di
atas 35 tahun SSK berada di dalam kanalis serviks. Oleh karena itu pada
wanita muda, SSK yang berada di luar ostium uteri eksternum ini rentan
terhadap faktor luar berupa mutagen yang akan memicu displasia dari
SSK tersebut. Pada wanita dengan aktivitas seksual tinggi, SSK terletak di
ostium eksternum karena trauma atau retraksi otot oleh prostaglandin.15

2.2.6. Manifestasi Klinis


Wanita dengan kanker serviks awal dan pra kanker biasanya tidak
mengalami gejala dan akan timbul ketika sudah menjadi kanker invasif.
Secara umum gejala kanker serviks yang sering timbul adalah 14 :

1. Perdarahan pervagina abnormal


Perdarahan dapat terjadi setelah seks vaginal, perdarahan setelah
menopause, perdarahan dan bercak diantara periode menstruasi, dan
periode menstruasi yang lebih lama atau lebih banyak dari biasanya
serta perdarahan setelah douching atau setelah pemeriksaan panggul
juga dapat terjadi.
2. Keputihan.
Cairan yang keluar mungkin mengandung darah, berbau busuk dan
mungkin terjadi antara menstruasi atau setelah menopause.
3. Nyeri panggul saat berhubungan seks atau saat pemeriksaan panggul.

29
4. Trias berupa back pain, oedema tungkai dan gagal ginjal merupakan
tanda kanker serviks tahap lanjut dengan keterlibatan dinding panggul
yang luas.

2.2.7 Diagnosis
Diagnosis definitif harus didasarkan pada konfirmasi histopatologi
dari hasil biopsi lesi sebelum sebelum pemeriksaan dan tatalaksana lebih
lanjut dilakukan.21

2.2.7 Stadium Kanker Serviks


Stadium kanker serviks yang digunakan adalah menurut The
International Federation Of Gynecology and Obstetrics (FIGO) dapat
dilihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Stadium Kanker Serviks 21

Stadium Deskripsi
I Karsinoma benar-benar terbatas pada serviks (tanpa bisa mengenali
ekstensi ke korpus uteri)
IA Karsinoma invasive yang hanya diidentifikasi secara mikroskopis.
Kedalaman invasi maksimun 5 mm dan tidak lebih lebar dari 7 mm
IA1 Invasi stroma sedalam ≤ 3 mm dan seluas ≤ 7 mm
IA2 Invasi stroma sedalam > 3 mm namun < 5 mm dan seluas > 7 mm

Lesi klinis terbatas pada serviks, atau lesi praklinis lebih besar dari
stadium IA.
IB1 Lesi klinis berukuran ≤ 4 cm
IB2 Lesi klinis berukuran > 4 cm.
II Karsinoma meluas di luar Rahim, tetapi tidak meluas ke dinding
panggul atau sepertiga bagian bawah vagina.
IIA Keterlibatan hingga 2/3 bagian atas vagina. tidak ada keterlibatan

30
parametrium.
IIA1 Lesi yang terlihat secara klinis ≤ 4 cm
IIA2 Lesi klinis terlihat > 4 cm
IIB Nampak invasi ke parametrium
III Tumor meluas ke dinding samping pelvis. Pada pemeriksaan dubur,
tidak ada ruang bebas antara tumor dan dinding samping pelvis. Tumor
melibatkan sepertiga bawah vagina dan atau hidronefrosis atau
kerusakan ginjal yang diketahui bukan karena penyebab lain
IIIA Tumor melibatkan sepertiga bawah vagina, tanpa ekstensi ke dinding
samping pelvis
IIIB Perluasan ke dinding samping pelvis atau hidronefrosis atau ginjal yang
tidak berfungsi
IV Karsinoma telah meluas ke pelvis yang sebenarnya atau secara klinis
melibatkan mukosa kandung kemih dan atau rektum
IVA Menyebar ke organ panggul yang berdekatan
IVB Menyebar ke organ yang jauh

2.2.8 Pencegahan Kanker Serviks

Kanker serviks 100% dapat di cegah dengan vaksinasi HPV,


menggunakan kondom, menghindari konsumsi tembakau, serta deteksi
dini dan pengobatan lesi pra kanker.11 Upaya pencegahan kanker serviks
dibagi atas pencegahan primer, sekunder dan tersier yang meliputi :
1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer yang dilakukan melalui vaksinasi Human


Papilloma Virus (HPV) untuk mencegah infeksi HPV dan
pengendalian faktor resiko (Kemenkes, 2014). Vaksinasi HPV di
rekomendasikan kepada anak perempuan usia 11-12 tahun atau wanita
13-26 tahun yang belum aktif secara seksual.14 Dosis yang dianjurkan
adalah tiga dosis melalui injeksi intramuscular dalam waktu 6 bulan.
Dosis kedua dan ketiga diberikan dua dan enam bulan setelah dosis
pertama.11 Pengendalian faktor resiko dengan menghindari rokok,

31
tidak melakukan hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan, tidak
menggunakan kontrasepsi oral jangka panjang >5 tahun, serta
menjalani diet sehat.14,18,20

2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder melalui deteksi dini prekursor kanker


serviks dengan tujuan memperlambat atau menghentikan kanker pada
stadium awal.16 Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan tes
DNA HPV, Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA), Tes Pap ,
pemeriksaan sitology, Colposcopy dan Biopsi.32 Pemeriksaan IVA
direkomendasikan untuk daerah dengan sumber daya rendah dan
diikuti dengan cryotherapy untuk hasil IVA positif.25

3. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier dilakukan melalui perawatan paliatif dan


rehabilitatif di unit pelayanan kesehatan yang menangani kanker serta
pembentukan kelompok survivor kanker di masyarakat.17

2.2.9 Penatalaksanaan Kanker Serviks

Penatalaksanaan kanker serviks dibagi atas tatalaksana lesi pra


kanker dan tatalaksana kanker serviks invasif :
1. Tatalaksana Lesi Pra kanker :

Terapi Neoplasma Intraepitel Skuamosa (NIS) dengan


Destruksi Lokal Metode ini ditujukan untuk destruksi lokal lapisan
epitel serviks dengan kelainan lesi pra kanker digantikan dengan epitel
skuamosa yang baru.15

32
2. Krioterapi

Krioterapi terutama digunakan untuk mengobati lesi kecil pada


ektoserviks dengan menggunakan pembekuan atau freezing sekurang-

kurangnya -200C selama 6 menit menggunakan gas N2O atau CO2.


Mekanisme kerusakan bioselular terjadi akibat 15,25 :
1. Sel-sel mengalami dehidrasi dan mengkerut
2. Konsentrasi elektrolit dalam sel terganggu
3. Syok termal dan denaturasi kompleks lipid protein
4. Status umum system mikrovaskular
Efek samping krioterapi termasuk kram ringan sampai sedang
dan atau pingsan selama prosedur. Selama beberapa minggu setelah
perawatan, ada cairan vagina yang banyak dan berair, dapat terjadi
cervicitis dan atau PID. Keuntungan krioterapi tidak memerlukan
anestesi atau listrik, peralatan sederhana dan biaya murah. Dapat
dilakukan oleh profesional perawatan kesehatan primer melalui
pelatihan dan pengawasan yang memadai.25
Krioterapi tidak dianjurkan pada wanita hamil, lesi besar yang
melibatkan lebih dari tiga kuadran, lesi endoserviks, lesi yang meluas
ke vagina, terdapat polip, bisul, atrofi serviks, lesi yang dicurigai
kanker dan adanya servicitis atau PID.25

3. Loop Electrosurgical Excisional Prosedure (LEEP)

Metode ini menggunakan kawat halus untuk memotong lesi


kecil atau besar dari serviks. Loop menempel pada alat genggam yang
melekat pada generator listrik elektrosurgikal untuk pengaturan
pemotongan atau koagulasi.25

4. Elektrokauter

33
Metode ini menggunakan alat elektrokauter atau radiofrekuensi
dengan melakukan eksisi Loop diathermy terhadap lesi prakanker
pada zona transformasi.17

5. Diatermi Elektrokoagulasi

Metode ini dapat memusnahkan jaringan lebih luas dan efektif


dibandingkan dengan elektrokauter, tetapi harus dilakukan dengan
anestesi umum. Tindakan ini memungkinkan untuk memusnahkan
jaringan seviks sampai kedalaman 1 cm, namun fisiologi serviks dapat
dipengaruhi jika lesi tersebut sangat luas.17

6. Laser

Sinar laser (light amplication by stimulation emission of


radiation), suatu muatan listrik dilepaskan dalam suatu tabung yang
berisi campuran gas helium, gas nitrogen, dan gas CO2 sehingga dapat
menimbulkan sinar laser dengan panjang gelombang 10,6u. Perubahan
patologis pada serviks dibedakan atas penguapan dan nekrosis.
Lapisan terluar mukosa serviks menguap karena cairan intraseluler
mendidih, dan jaringan nekrotik.17

34
BAB III
KESIMPULAN

1. Pendidikan seks pada usia remaja sangat penting untuk mencegah


terjadinya hubungan seks bebas dan usia dini pada remaja.
2. Pada usia remaja merupakan masa yang paling signifikan untuk
mendapatkan materi tentang pendidikan seks
3. Wanita yang melakukan hubungan seks pertama kali pada usia <20
tahun memiliki resiko lebih tinggi dibandingkan wanita yang
melakukan hubungan seksual >20 tahun serta hubungan seksual dan
jumlah pasangan seks yang berganti-ganti. Dimana hal ini dapat
mungkinan serviks terpapar dengan faktor karsinogen lebih tinggi
dan dapat menyebabkan yaitu salah satunya kanker leher rahim atau
serviks.
4. Berhubungan seks pada masa remaja, selain berisiko mengidap
penyakit seperti kanker, juga berisiko tertular penyakit kelamin dan
HIV.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Ali, M. Dkk. 2009. Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT.
Bumi Aksara.
2. Applegate, E. M. (2011) The Anatomy And Physiology Learning System. 4th edn.
United States of America: Saunders Elsevier.
3. American Cancer Society (2016a) Cervical Cancer Prevention and Early
Detection : What is Cervical Cancer? Available at:
https://www.cancer.org/cancer/cervical-cancer/prevention-and-early-
detection/what-is-cervical-cancer.html.
4. American Cancer Society (2016b) Signs and Symptoms of Cervical Cancer.
Available at: https://www.cancer.org/cancer/cervical-cancer/detection- diagnosis-
staging/signs-symptoms.html.
5. Bermudez, A., Bhatla, N. and Leung, E. (2015) ‘Cancer of the cervix uteri’,
International Journal of Gynecology and Obstetrics. Elsevier B.V., 131, pp. S88–
S95. doi: 10.1016/j.ijgo.2015.06.004.
6. Bradford, L. and Goodman, A. (2013) ‘Cervical Cancer Screening and Prevention
in Low-resource Settings’, 56(1), pp. 76–87.
7. Clifford, G. M. et al. (2016) ‘neoplasia 2 / 3 and cervical cancer : A nested case-
control study in the Swiss HIV cohort study’, 1740, pp. 1732–1740. doi:
10.1002/ijc.29913.
8. Dianawati, A. (2003). Pendidikan Seks Untuk Remaja, Jakarta: Kawan Pustaka.
9. Dunleavey, R. (2009) Cervical Cancer A Guide for Nurses. First publ. Wiley-
Blackwell.
10. Gattoc, Leda, M. et al. (2015) Cervical Cancer | Cancer Network, Cancer Network
home of the journal Oncology. Available at:
http://www.cancernetwork.com/cancer-management/cervical-cancer.
11. Garza-salazar, J. G. De, Morales-Vasquez, F. and Meneses-Garcia, A. (2017)
Cervical Cancer. Switzerland: Springer International Publishing Switzerland.
12. Gunarsa, Prof. Dr. Singgih D. & Dra Ny. Y. Singgih D.G. (2012). Psikologi Praktis
: Anak, Remaja, dan Keluarga. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia
13. Irianti dan Herlina.2011.Buku Ajar Psikologi untuk Kebidanan.Jakarta : EGC.
14. Jhingran, A. and Rodriguez, A. M. (2017) ‘Neoplasms of the cervix’, pp. 1–28. doi:
10.1002/9781119000822.hfcm103.

36
15. Kemenkes (2017) Profil Kesehatan Indonesia 2016. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
16. Kemenkes, R. (2015) Panduan Program Nasional Gerakan Pencegahan Dan Deteksi
Dini Kanker Kanker Leher Rahim Dan Kanker Payudara. Jakarta.
17. Kementrian Kesehatan RI Pusat Data dan Informasi Kesehatan (2015) ‘Stop
Kanker’, infodatin-Kanker, p. hal 3. doi: 10.1017/CBO9781107415324.004.
18. Kessler, T. A. (2017) ‘Cervical Cancer: Prevention and Early Detection’, Seminars
in Oncology Nursing. Elsevier Inc., 33(2), pp. 172–183. doi:
10.1016/j.soncn.2017.02.005.
19. Notoatmodjo, S.Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku. Jakarta : PT. Rineka Cipta,
2010.
20. Roura, E. et al. (2016) ‘The Influence of Hormonal Factors on the Risk of
Developing Cervical Cancer and Pre-Cancer: Results from the EPIC Cohort’,
21. Pecorelli, S. and Chairman (2010) ‘FIGO Committee on Gynecologic Oncology
“Revised FIGO staging for carcinoma of the vulva, cervix, and endometrium”.’,
22. Rosser, J. I. et al. (2014) ‘Men ’ s knowledge and attitudes about cervical cancer
screening in Kenya’, BMC Women’s Health, pp. 1–7.
23. Sarwono, S.W. 2010. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers.
24. Soetjiningsih, 2004. Buku Ajar: Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya.
Jakarta : Sagung Seto.
25. Shetty, M. K. and Trimble, E. L. (2013) ‘Breast and gynecological cancers: An
integrated approach for screening and early diagnosis in developing countries’,
Breast and Gynecological Cancers: An Integrated Approach for Screening and
Early Diagnosis in Developing Countries, pp. 1–360. doi: 10.1007/978-1-4614-
1876-4.
26. Soetjiningsih. 2012. Perkembangan Anak dan Permasalahannya dalam Buku Ajar I
Ilmu Perkembangan Anak Dan Remaja. Jakarta :Sagungseto .Pp 86-90.
27. WHO | Screening as well as vaccination is essential in the fight against cervical
cancer’ (2016) WHO. World Health Organization. Available at:
http://www.who.int/reproductivehealth/topics/cancers/fight-cervical- cancer/en/
28. Widiyastuti, Y. Dkk. 2009. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Fitramaya.
29. Zawid, C. (2015). Sexual Health: A Nurse’s Guide. USA: Delmar.
30. Mazarico, E. et al. (2014) ‘Relationship between smoking , HPV infection , and
risk of cervical cancer’, (January 2016). doi: 10.12892/ejgo25042014.
31. Norat, T. et al. (2015) ‘European Code against Cancer 4th Edition : Diet and
cancer’, Cancer Epidemiology. Elsevier Ltd, 39, pp. S56–S66. doi:
10.1016/j.canep.2014.12.016
32. Jeronimo, J. et al. (2017) ‘Secondary Prevention of Cervical Cancer : ASCO
Resource-Stratified Clinical Practice Guideline’, Journal of Global Oncology, 3(5).
doi: 10.1200/JGO.2016.006577
33. WHO (2012) GLOBOCAN 2012 : Estimated Cancer Incidence, Mortality and
Prevalence Worldwide in 2012. Available at:
http://globocan.iarc.fr/Pages/fact_sheets_populati

37
36

Anda mungkin juga menyukai