Oleh :
dr. Agung Wijaya Kusuma
Peserta PPDS OBGIN
Pembimbing :
dr. Ferdinal Ferry, Sp.OG(K)
DAFTAR ISI.....................................................................................................................................i
BAB I.............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN............................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................................................1
BAB II............................................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................................3
2.1 REMAJA..............................................................................................................................3
2.1.1 Definisi............................................................................................................................3
2.1.2 Tahap – tahap Perkembangan Remaja............................................................................4
2.1.3 Tugas –tugas Perkembangan Remaja..............................................................................5
2.1.4 PENDIDIKAN SEKS............................................................................................................6
2.1.5 AKTIVITAS SEKSUAL.......................................................................................................12
2.2. KANKER SERVIKS..............................................................................................................20
2.2.1. Definisi.........................................................................................................................20
2.2.2 Epidemiologi..................................................................................................................21
2.2.3 Etiologi Kanker Serviks..................................................................................................21
2.2.4 Faktor Resiko Kanker Serviks.........................................................................................22
2.2.5. Patofisiologi..................................................................................................................27
2.2.7 Diagnosis.......................................................................................................................28
2.2.7 Stadium Kanker Serviks.................................................................................................29
2.2.8 Pencegahan Kanker Serviks...........................................................................................30
2.2.9 Penatalaksanaan Kanker Serviks...................................................................................31
BAB III.........................................................................................................................................34
KESIMPULAN..............................................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................35
i
DAFTAR TABEL
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Presentase kasus baru penderita kanker serviks di dunia adalah 7,9 % atau
527.624 dan presentase kematian 7,5 % atau 265.672. Di Indonesia penderita kanker
serviks sebanyak 13,0% atau 20.928 dan yang meninggal tercatat 10,3% atau 9.498
orang (WHO, 2012). Prevalensi penderita kanker serviks tahun 2013 di Propinsi Nusa
Tenggara Timur sebanyak 0,4 0/00 dengan estimasi jumlah absolutnya 1.002.16
Beberapa faktor yang diduga meningkatkan kejadian kanker leher rahim yaitu
faktor sosiodemografis yang meliputi usia, status sosial ekonomi, dan faktor aktivitas
seksual yang meliputi usia pertama kali melakukan hubungan seks, pasangan seks yang
berganti-ganti, paritas, kebersihan genital, merokok, riwayat penyakit kelamin, trauma
kronis pada serviks, serta penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka lama yaitu lebih
dari 4 tahun.16
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 REMAJA
2.1.1 Definisi
Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia.
Masa ini merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak ke
masa dewasa yang meliputi perubahan biologik, perubahan psikologik, dan
perubahan sosial. Di sebagian besar masyarakat dan budaya masa remaja pada
umumnya dimulai pada usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun.19
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak yang dimulai
saat terjadinya kematangan seksual yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai
dengan 20 tahun, yaitu masa menjelang dewasa muda. Berdasarkan umur
kronologis dan berbagai kepentingan, terdapat defenisi tentang remaja yaitu:
a) Pada buku-buku pediatri, pada umumnya mendefenisikan remaja adalah bila
seorang anak telah mencapai umur 10-18 tahun dan umur 12-20 tahun anak
laki- laki.
b) Menurut undang-undang No. 4 tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak,
remaja adalah yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah.
c) Menurut undang-undang perburuhan, anak dianggap remaja apabila telah
mencapai umur 16-18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat
tinggal.
d) Menurut undang-undang perkawinan No.1 tahun 1979, anak dianggap sudah
remaja apabila cukup matang, yaitu umur 16 tahun untuk perempuan dan 19
tahun untuk anak-anak laki-laki.
e) Menurut dinas kesehatan anak dianggap sudah remaja apabila anak sudah
berumur 18 tahun, yang sesuai dengan saat lulus sekolah menengah.
f) Menurut WHO, remaja bila anak telah mencapai umur 10-18 tahun.24
3
Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada 3 tahap
perkembangan remaja 28 :
4
• Tumbuh ”dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan
masyarakat umum. Berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja kita
sangat perlu untuk mengenal perkembangan remaja serta ciri-cirinya.
Berdasarkan sifat atau ciri perkembangannya, masa (rentang waktu)
remaja ada tiga tahap yaitu 23 :
a. Masa remaja awal (10-12 tahun)
• Tampak dan memang merasa lebih dekat dengan teman sebaya.
• Tampak dan merasa ingin bebas.
• Tampak dan memang lebih banyak memperhatikan keadaan
tubuhnya dan mulai berpikir yang khayal (abstrak).
b. Masa remaja tengah (13-15 tahun)
• Tampak dan ingin mencari identitas diri.
• Ada keinginan untuk berkencan atau ketertarikan pada lawan jenis.
• Timbul perasaan cinta yang mendalam.
c. Masa remaja akhir (16-19 tahun)
• Menampakkan pengungkapan kebebasan diri.
• Dalam mencari teman sebaya lebih selektif.
• Memiliki citra (gambaran, keadaan, peranan) terhadap dirinya.
• Dapat mewujudkan perasaan cinta.
• Memiliki kemampuan berpikir khayal atau abstrak.
5
2.1.4 PENDIDIKAN SEKS
a. Konsep pendidikan kesehatan
Pendidikan kesehatan adalah suatu penerapan konsep pendidikan di
dalam bidang kesehatan. Dilihat dari segi pendidikan, pendidikan kesehatan
adalah suatu pedagogik praktis atau praktek pendidikan. Oleh sebab itu, konsep
pendidikan kesehatan adalah konsep pendidikan yang di aplikasikan pada bidang
kesehatan. Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti
didalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau
perubahan kearah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri
individu, kelompok atau masyarakat. Konsep ini berangkat dari suatu asumsi
bahwa manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya untuk mencapai
nilai-nilai hidup didalam masyarakat selalu memerlukan bantuan orang lain yang
mempunyai kelebihan (lebih dewasa, lebih pandai, lebih mampu, lebih tahu dan
sebagainya). Dalam mencapai tujuan tersebut, seorang individu, kelompok atau
masyarakat tidak terlepas dari kegiatan belajar.19
6
Pendidikan kesehatan ditempat-tempat kerja dengan sasaran buruh atau
karyawan yang bersangkutan
7
penyakitnya. Pengobatan yang tidak layak dan sempurna dapat
mengakibatkan orang yang bersangkutan cacat atau ketidakmampuan.
e) Rehabilitasi (Rehabilitation)
Setelah sembuh dari suatu penyakit tertentu, kadang-kadang orang
menjadi cacat. Untuk memulihkan cacatnya tersebut kadang-kadang
diperlukan latihan-latihan tertentu. Oleh karena kurangnya pengertian
dan kesadaran orang tersebut, ia tidak atau segan melakukan latihan-
latihan yang dianjurkan. Disamping itu orang yang cacat setelah
sembuh dari penyakit, kadang-kadang malu untuk kembali ke
masyarakat.19
d. Defenisi
Pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah
penyalahgunaan seks. Khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang
tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular,
depresi, dan perasaan berdosa.23
Beberapa pihak tidak setuju dengan pendidikan seks, karena
dikhawatirkan dengan pendidikan seks, anak-anak yang belum saatnya tahu
tentang seks jadi mengetahuinya dan karena dorongan keingintahuan yang besar
8
yang ada pada remaja, mereka jadi ingin mencobanya. Namun pandangan pro
kontra pendidikan seks tersebut pada hakikatnya tergantung sekali pada
bagaimana kita mendefenisikan pendidikan seks itu sendiri. Jika pendidikan seks
diartikan sebagai pemberian informasi mengenai seluk beluk anatomi dan proses
faal dari reproduksi manusia semata ditambah dengan teknik-teknik
pencegahannya (alat kontasepsi), maka kecemasan yang disebutkan diatas
memang beralasan.23
9
pendidikan seks tidak cenderung jarang melakukan hubungan seks, tetapi
mereka yang belum pernah mendapatkan pendidikan seks, cenderung lebih
banyak mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki.23 Pendidikan seks yang
hanya berupa larangan atau berupa kata-kata “tidak boleh” tanpa adanya
penjelasan lebih lanjut adalah sangat tidak efektif. Dikatakan tidak efektif karena
pendidikan seperti ini tidak cukup untuk mempersiapkan remaja dalam
menghadapi kehidupannya yang semakin sulit. Pengaruh minuman keras, obat-
obatan terlarang, tekanan dari teman atau patah hati akibat hubungan cintanya,
akan semakin menjerumuskan mereka pada aktivitas seksual lebih dini.8
Materi pendidikan seks sangat bervariasi dari satu tempat ketempat lain,
tetapi sebuah survey oleh Orr (1982) menunjukkan bahwa pada umumnya
materi pendidikan seks adalah sebagai berikut:
Masalah-masalah yang banyak dibicarakan dikalangan remaja sendiri
Perkosaan
Masturbasi
Homoseksualitas
Disfungsi seksual
Eksoploitasi seksual
Kontrasepsi dan pengaturan kesuburan
Alat KB
Pengguguran
Alternatif-alternatif dari pengguguran
Nilai-nilai seksual
10
Seks dan nilai-nilai religi
Perkembangan remaja dan reproduksi manusia
Berkencan
Cinta dan perkawinan
Topik-topik lainnya
11
Beberapa hal penting dalam memberikan pendidikan seksual, patut
diperhatikan 23 :
a. Cara menyampaikannya harus wajar dan sederhana, jangan terlihat ragu-ragu
atau malu.
b. Isi uraian yang disampaikan harus obyektif, namun jangan menerangkan yang
tidak-tidak, seolah-olah bertujuan agar anak tidak akan bertanya lagi, boleh
mempergunakan contoh atau simbol seperti misalnya: proses pembuahan pada
tumbuh-tumbuhan, sejauh diperhatikan bahwa uraiannya tetap rasional.
c. Dangkal atau mendalamnya isi uraiannya harus disesuaikan dengan kebutuhan
dan dengan tahap perkembangan anak. Terhadap anak umur 9 atau 10 tahun
belum perlu menerangkan secara lengkap mengenai perilaku atau tindakan dalam
hubungan kelamin, karena perkembangan dari seluruh aspek kepribadiannya
memang belum mencapai tahap kematangan untuk dapat menyerap uraian yang
mendalam mengenai masalah tersebut.
d. Pendidikan seksual harus diberikan secara pribadi, karena luas sempitnya
pengetahuan dengan cepat lambatnya tahap-tahap perkembangan tidak sama
buat setiap anak. Dengan pendekatan pribadi maka cara dan isi uraian dapat
disesuaikan dengan keadaan khusus anak
e. Pada akhirnya perlu diperhatikan bahwa usahakan melaksanakan pendidikan
seksual perlu diulang-ulang (repetitif) selain itu juga perlu untuk mengetahui
seberapa jauh sesuatu pengertian baru dapat diserap oleh anak, juga perlu untuk
mengingatkan dan memperkuat (reinforcement) apa yang telah diketahui agar
benar-benar menjadi bagian dari pengtahuannya.
12
menulis, membaca, berpikir dan seterusnya. Secara singkat aktivitas manusia
tersebut dikelompokkan menjadi 2 yaitu:
1. Aktivitas-aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain misalnya: berjalan,
bernyanyi,tertawa dan sebagainya.
2. Aktivitas yang tidak dapat diamati orang lain (dari luar) misalnya berpikir,
berfantasi, bersikap, dan sebagainya.19
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat
diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. perilaku
dikatakan wajar apabila ada penyesuaian diri yang diselaraskan peran manusia
sebagai makhluk ndividu, sosial dan berketuhanan. Aktivitas atau perbuatan
manusia tidak terjadi secara sporadic (timbul dan hilang pada saat-saat tertentu),
tetapi selalu ada kelangsungan kontinuitas antara satu perbuatan dengan
perbuatan berikutnya. Tiap-tiap perilaku selalu mengarah pada suatu tugas
tertentu. Keunikan perilaku berbeda dari yang lainnya. Jadi tiap-tiap manusia
memiliki ciri-ciri, sifat-sifat tersendiri yang membedakan dari manusia lainnya.
Pengalaman-pengalaman masa lalu dan aspirasi-aspirasinya untuk masa yang
akan datang menentukan perilaku dimasa kini dan arena tiap orang mempunyai
pengalaman dan aspirasi yang berbeda-beda, maka perilaku di masa kini pun
berbeda-beda.19
13
sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat
kontrasepsi, jamban dan lain-lain
c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor), yang terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang merupakan
kelompok referensi dari perilaku masyarakat.19
c. Pengertian seksual
Seksual adalah rangsangan-rangsangan atau dorongan yang timbul
berhubungan dengan seks. Seksualitas bukan semata-mata bagian intrinsik dari
seseorang tetapi juga meluas sampai berhubungan dengan orang lain. Keintiman
dan kebersamaan fisik merupakan kebutuhan sosial dan biologis sepanjang
kehidupan. Kesehatan seksual telah didefinisikan sebagai pengintegrasian aspek
somatik, emosional, intelektual dan sosial dari kehidupan seksual, dengan cara
yang positif memperkaya dan meningkatkan kepribadian, komunikasi dan cinta.
Seks juga digunakan untuk memberi label jender, baik seseorang itu pria atau
wanita. 19
Seksualitas berhubungan dengan bagaimana seseorang
mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada orang lain melalui tindakan yang
di lakukannya, seperti sentuhan, ciuman, pelukan, senggama seksual dan melalui
perilaku yang lebih halus seperti isyarat gerak tubuh, etiket, berpelukan dan
perbendaraan kata.29
Fase oral adalah fase seorang anak mendapatkan perasaan nikmat melalui
mulutnya, yaitu ketika sedang menyusu dan mengisap air susu ibu yang
dimulai sejak bayi hingga usia 1-2 tahun.
b. Fase anal
14
Pada fase anal, kenikmatan yang dirasakannya berubah dari mulut ke daerah
anus dan sekitarnya (seperti saluran kencing). Rasa nikmat akan dirasakan
anak ketika sedang menahan kencing dan buang air besar. Fase ini dimulai
pada anak berusia 2-4 tahun.
c. Fase phallus
Fase laten berlangsung pada usia sekolah. Fase laten ini terbagi 2 bagian
sebagai berikut:
1. Bagian awal
Begitu memasuki bagian akhir dari masa laten, seorang anak mulai
menunjukkan kembali kenikmatan yang dirasakan melalui alat
kelaminnya. Karena pada saat memasuki fase ini usia anak telah beranjak
dewasa, dorongan seksual, perasaan cinta, ketertarikannya kepada lawan
jenis mulai tumbuh. Jadi, perhatian anak beralih kepada alat kelaminnya
adalah hal wajar.
15
Berpegangan tangan
Mencium pipi pacar
Berpelukan dengan pacar
Mencium bibir pacar
Dipegang/Memegang buah dada pacar
Memegang alat kelamin pacar
Melakukan senggama
16
Definisi petting adalah upaya membangkitkan dorongan seksual antar
jenis kelamin dengan cara menyentuh orgab seksual tanpa melakukan
tindakan intercourse. Usia 15 tahun ditemukan bahwa 39 remaja perempuan
melakukan petting, sedangkan 57% remaja laki-laki melakukan petting.
c) Oral seks
17
3. Frekuensi pertemuan dengan pacarnya. Mereka mempunyai kesempatan
untuk melakukan pertemuan yang makin sering tanpa kontol yang baik
sehingga hubungan akan makin mendalam.
4. Hubungan antar mereka makin romantis.
5. Status ekonomi, mereka yang berkecukupan akan dengan mudah
melakukan pesiar ketempat-tempat rawan yang memungkinkian adanya
kesempatan melakukan hubungan seksual, sebaliknya kelompok yang
ekonomi lemah tetapi banyak kebutuhan/tuntutan mereka mencari
kesempatan untuk memenfaatkan dorongan seksnya demi mendapatkan
sesuatu.
6. Korban pelecehan seksual yang berhubungan dengan fasilitas antara lain
sering sering mempergunakan kesempatan yang rawan misalnya pergi ke
tempat sepi.
7. Tekanan dari teman sebaya, kelompok sebaya kadang-kadang ingin
menunjukkan penampilan diri yang salah untuk menunjukkan
kematangannya.
8. Penggunaan obat-obatan terlarang
9. Mereka kehilangan kontrol sebab tidak tahu akan batas-batasnya mana
yang boleh dan mana yang tidak boleh.
10. Mereka merasa sudah saatnya melakukan aktivitas seksual sebab merasa
matang secara fisik.
11. Adanya keinginan untuk menunjukkan cinta pada pacarnya.
12. Aktivitas seksual pacarnya.
13. Penerimaan menunjukkan kegagahan dan kemampuan fisiknya.
14. Sekedar terjadinya peningkatan rangsangan seksual akibat peningkatan
kadar hormon reproduksi/seksual.
18
1. Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual
(libido seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksual ini
membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual.
Penyaluran itu tidak dapat segera dilakukan karena adanya
penundaan usia perkawinan, baik secara hukum karena adanya
undang-undang tentang perkawinan yang menetapkan batas usia
menikah (sedikitnya 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria),
maupun karena norma sosial yang makin lama makin menuntut
persyaratan yang makin tinggi untuk perkawinan (pendidikan,
pekerjaan, persiapan mental, dan lain-lainnya).
2. Sementara usia perkawinan ditunda, norma-norma agama tetap
berlaku di mana seseorang dilarang untuk melakuakan hubungan
seks sebelum menikah. Bahkan larangannya berkembang lebih jauh
kepada tingkah laku yang lain seperti berciuman dan masturbasi.
Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri akan terdapat
kecenderungan untuk melangggar larangan-larangan tersebut.
3. Kecenderungan pelanggaran meningkat oleh karena adanya
penyebaran informasi dengan adanya teknologi canggih (video,
internet, Video Compact Disc, telepon genggam, dan lain-lain).
4. Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena
sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks
dengan anak tidak terbuka, malah cenderung membuat jarak dengan
masalah seksual
5. Dipihak lain, tidak dapat diingkari adanya kecenderungan pergaulan
yang makin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat sebagai
akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita sehingga
kedudukan wanita makin sejajar dengan pria.
19
1. Homoseksual
7. Phedophilia
20
Merupakan kelainan seksual yang memperoleh kepuasan jika
berhubungan seksual sengan anak kecil atau dibawah umur.
2.2.1. Definisi
21
Struktur dan lokasi serviks mengalami perubahan ketika mencapai
pubertas, kehamilan dan menopause. Ketika wanita mencapai pubertas,
terjadi pergantian epitel kolumnar oleh epitel skuamosa metaplastik yang
disebut zona transformasi dimana sebagian besar kelainan seluler terkait
kanker serviks terjadi.8
Kanker serviks adalah merupakan keganasan sel yang terjadi pada
serviks. Kanker serviks dapat berasal dari mukosa di permukaan serviks
yang tumbuh secara lokal dan dapat menyebar ke uterus, jaringan
paraservikal dan organ panggul.5
2.2.2 Epidemiologi
22
2.2.4 Faktor Resiko Kanker Serviks
2. Perilaku seksual
3. Usia reproduksi
Jumlah paritas yang lebih tinggi, usia dini pada kelahiran pertama, dan
jumlah persalinan pervaginam menimbulkan trauma berulang pada
serviks selama kelahiran anak menjadi faktor penyebab kanker
serviks.14,18,20 Seorang wanita yang mengalami kehamilan pertama
sebelum usia 17 tahun hampir dua kali lebih mungkin mengalami
kanker serviks daripada wanita yang menunggu untuk hamil sampai
usia 25 tahun.16
23
Usia pasien sangat menentukan kesehatan maternal dan berkaitan erat
dengan kondisi kehamilan, persalinan, dan nifas. Proses reproduksi
sebaiknya berlangsung pada saat ibu berumur 20–35 tahun, sebab pada
saat itu penyulit kehamilan jarang terjadi.
Pada usia 20-40 tahun, disebut sebagai masa dewasa dini yang disebut
juga usia reproduktif. Sehingga pada masa ini diharapkan orang telah
mampu untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dengan
tenang secara emosional, perkembangan fisiknya, maupun
kemampuannya dalam hal kehamilan baik kelahiran bayinya.
24
tahun merupakan periode yang rentan. Pada periode laten antara coitus
pertama dan terjadinya kanker serviks kurang lebih dari 30 tahun.
4. Tingkat pendidikan
25
yang diperoleh dilingkungan sekolah seperti SD, SLTP, SLTA,
Perguruan Tinggi dan lain-lain. Pendidikan formal berfungsi untuk
mengajarkan pengetahuan umum dan pengetahuan yang bersifat
khusus. Pendidikan formal di dapatkan dari sekolah, pendidikan
informal didapatkan diluar sekolah misalnya dalam keluarga atau
masyarakat.17
26
tingkat pendidikan yang tinggi mampu membuka kesempatan yang
lebih luas bagi wanita untuk bekerja, berorganisasi, dan kariernya di
luar rumah .15
5. Kebiasaan merokok
Wanita perokok dengan durasi dan intensitas yang tinggi menunjukan
peningkatan dua kali lipat beresiko serviks intraepithelial neoplasia
grade 3 (NIS 3) / karsinoma in situ (KIS). Wanita yang merokok dua
kali lebih mungkin terkena kanker serviks dibandingkan dengan yang
tidak merokok. bahan kimia penyebab kanker dan produk sampingan
tembakau dalam rokok telah ditemukan di mukosa serviks wanita
perokok dan zat-zat ini merusak DNA sels-sel.30
8. Imunosupresi kronis
27
dalam menghancurkan sel kanker dan memperlambat pertumbuhan
serta penyebaran. Wanita dengan HIV, prekanker serviks berkembang
menjadi kanker invasif lebih cepat daripada biasanya. Memiliki HIV
membuat sistem kekebalan tubuh seorang wanita kurang dapat
memerangi baik infeksi HPV maupun kanker-kanker pada stadium
awal.7
9. Faktor diet
Diet tinggi kalori dan gula, minuman manis dan daging olahan
berhubungan dengan peningkatan berat badan yang dapat menyebabkan
obesitas dan hal ini beresiko meningkatkan karsinogenesis. Diet sehat
dengan asupan makanan tingi nabati (buah-buahan, sayuran, kacang-
kacangan dan gandum), asupan rendah daging merah olahan, asupan
rendah makanan manis, dan penghindaran asupan garam yang tinggi
terkait dengan rendahnya resiko kanker dan meningkatkan prognosis
kanker menjadi lebih baik pada penderita yang sudah terdiagnosis
kanker.31
2.2.5. Patofisiologi
Perkembangan kanker serviks dimulai dari neoplasia intraepitel
serviks (NIS) 1, NIS 2, NIS 3 atau karsinoma in situ (KIS) pada lapisan
epitel serviks dan setelah menembus membran basalis akan menjadi
karsinoma mikroinvasif dan invasif.15
28
Karsinoma serviks biasa timbul di daerah yang disebut squamo-
columnar junction (SCJ) atau sambungan skuamo-kolumnar (SSK), yaitu
batas antara epitel yang melapisi ektoserviks (porsio) dan endoserviks
kanalis serviks, dimana secara histologik terjadi perubahan dari epitel
ektoserviks yaitu epitel skuamosa berlapis dengan epitel endoserviks yaitu
epitel kuboid/kolumnar pendek selapis bersilia. Letak SSK dipengaruhi
oleh faktor usia, aktivitas seksual dan paritas. Pada wanita muda SSK
berada di luar ostium uteri eksternum, sedangkan pada wanita berusia di
atas 35 tahun SSK berada di dalam kanalis serviks. Oleh karena itu pada
wanita muda, SSK yang berada di luar ostium uteri eksternum ini rentan
terhadap faktor luar berupa mutagen yang akan memicu displasia dari
SSK tersebut. Pada wanita dengan aktivitas seksual tinggi, SSK terletak di
ostium eksternum karena trauma atau retraksi otot oleh prostaglandin.15
29
4. Trias berupa back pain, oedema tungkai dan gagal ginjal merupakan
tanda kanker serviks tahap lanjut dengan keterlibatan dinding panggul
yang luas.
2.2.7 Diagnosis
Diagnosis definitif harus didasarkan pada konfirmasi histopatologi
dari hasil biopsi lesi sebelum sebelum pemeriksaan dan tatalaksana lebih
lanjut dilakukan.21
Stadium Deskripsi
I Karsinoma benar-benar terbatas pada serviks (tanpa bisa mengenali
ekstensi ke korpus uteri)
IA Karsinoma invasive yang hanya diidentifikasi secara mikroskopis.
Kedalaman invasi maksimun 5 mm dan tidak lebih lebar dari 7 mm
IA1 Invasi stroma sedalam ≤ 3 mm dan seluas ≤ 7 mm
IA2 Invasi stroma sedalam > 3 mm namun < 5 mm dan seluas > 7 mm
Lesi klinis terbatas pada serviks, atau lesi praklinis lebih besar dari
stadium IA.
IB1 Lesi klinis berukuran ≤ 4 cm
IB2 Lesi klinis berukuran > 4 cm.
II Karsinoma meluas di luar Rahim, tetapi tidak meluas ke dinding
panggul atau sepertiga bagian bawah vagina.
IIA Keterlibatan hingga 2/3 bagian atas vagina. tidak ada keterlibatan
30
parametrium.
IIA1 Lesi yang terlihat secara klinis ≤ 4 cm
IIA2 Lesi klinis terlihat > 4 cm
IIB Nampak invasi ke parametrium
III Tumor meluas ke dinding samping pelvis. Pada pemeriksaan dubur,
tidak ada ruang bebas antara tumor dan dinding samping pelvis. Tumor
melibatkan sepertiga bawah vagina dan atau hidronefrosis atau
kerusakan ginjal yang diketahui bukan karena penyebab lain
IIIA Tumor melibatkan sepertiga bawah vagina, tanpa ekstensi ke dinding
samping pelvis
IIIB Perluasan ke dinding samping pelvis atau hidronefrosis atau ginjal yang
tidak berfungsi
IV Karsinoma telah meluas ke pelvis yang sebenarnya atau secara klinis
melibatkan mukosa kandung kemih dan atau rektum
IVA Menyebar ke organ panggul yang berdekatan
IVB Menyebar ke organ yang jauh
31
tidak melakukan hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan, tidak
menggunakan kontrasepsi oral jangka panjang >5 tahun, serta
menjalani diet sehat.14,18,20
2. Pencegahan Sekunder
3. Pencegahan Tersier
32
2. Krioterapi
4. Elektrokauter
33
Metode ini menggunakan alat elektrokauter atau radiofrekuensi
dengan melakukan eksisi Loop diathermy terhadap lesi prakanker
pada zona transformasi.17
5. Diatermi Elektrokoagulasi
6. Laser
34
BAB III
KESIMPULAN
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Ali, M. Dkk. 2009. Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT.
Bumi Aksara.
2. Applegate, E. M. (2011) The Anatomy And Physiology Learning System. 4th edn.
United States of America: Saunders Elsevier.
3. American Cancer Society (2016a) Cervical Cancer Prevention and Early
Detection : What is Cervical Cancer? Available at:
https://www.cancer.org/cancer/cervical-cancer/prevention-and-early-
detection/what-is-cervical-cancer.html.
4. American Cancer Society (2016b) Signs and Symptoms of Cervical Cancer.
Available at: https://www.cancer.org/cancer/cervical-cancer/detection- diagnosis-
staging/signs-symptoms.html.
5. Bermudez, A., Bhatla, N. and Leung, E. (2015) ‘Cancer of the cervix uteri’,
International Journal of Gynecology and Obstetrics. Elsevier B.V., 131, pp. S88–
S95. doi: 10.1016/j.ijgo.2015.06.004.
6. Bradford, L. and Goodman, A. (2013) ‘Cervical Cancer Screening and Prevention
in Low-resource Settings’, 56(1), pp. 76–87.
7. Clifford, G. M. et al. (2016) ‘neoplasia 2 / 3 and cervical cancer : A nested case-
control study in the Swiss HIV cohort study’, 1740, pp. 1732–1740. doi:
10.1002/ijc.29913.
8. Dianawati, A. (2003). Pendidikan Seks Untuk Remaja, Jakarta: Kawan Pustaka.
9. Dunleavey, R. (2009) Cervical Cancer A Guide for Nurses. First publ. Wiley-
Blackwell.
10. Gattoc, Leda, M. et al. (2015) Cervical Cancer | Cancer Network, Cancer Network
home of the journal Oncology. Available at:
http://www.cancernetwork.com/cancer-management/cervical-cancer.
11. Garza-salazar, J. G. De, Morales-Vasquez, F. and Meneses-Garcia, A. (2017)
Cervical Cancer. Switzerland: Springer International Publishing Switzerland.
12. Gunarsa, Prof. Dr. Singgih D. & Dra Ny. Y. Singgih D.G. (2012). Psikologi Praktis
: Anak, Remaja, dan Keluarga. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia
13. Irianti dan Herlina.2011.Buku Ajar Psikologi untuk Kebidanan.Jakarta : EGC.
14. Jhingran, A. and Rodriguez, A. M. (2017) ‘Neoplasms of the cervix’, pp. 1–28. doi:
10.1002/9781119000822.hfcm103.
36
15. Kemenkes (2017) Profil Kesehatan Indonesia 2016. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
16. Kemenkes, R. (2015) Panduan Program Nasional Gerakan Pencegahan Dan Deteksi
Dini Kanker Kanker Leher Rahim Dan Kanker Payudara. Jakarta.
17. Kementrian Kesehatan RI Pusat Data dan Informasi Kesehatan (2015) ‘Stop
Kanker’, infodatin-Kanker, p. hal 3. doi: 10.1017/CBO9781107415324.004.
18. Kessler, T. A. (2017) ‘Cervical Cancer: Prevention and Early Detection’, Seminars
in Oncology Nursing. Elsevier Inc., 33(2), pp. 172–183. doi:
10.1016/j.soncn.2017.02.005.
19. Notoatmodjo, S.Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku. Jakarta : PT. Rineka Cipta,
2010.
20. Roura, E. et al. (2016) ‘The Influence of Hormonal Factors on the Risk of
Developing Cervical Cancer and Pre-Cancer: Results from the EPIC Cohort’,
21. Pecorelli, S. and Chairman (2010) ‘FIGO Committee on Gynecologic Oncology
“Revised FIGO staging for carcinoma of the vulva, cervix, and endometrium”.’,
22. Rosser, J. I. et al. (2014) ‘Men ’ s knowledge and attitudes about cervical cancer
screening in Kenya’, BMC Women’s Health, pp. 1–7.
23. Sarwono, S.W. 2010. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers.
24. Soetjiningsih, 2004. Buku Ajar: Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya.
Jakarta : Sagung Seto.
25. Shetty, M. K. and Trimble, E. L. (2013) ‘Breast and gynecological cancers: An
integrated approach for screening and early diagnosis in developing countries’,
Breast and Gynecological Cancers: An Integrated Approach for Screening and
Early Diagnosis in Developing Countries, pp. 1–360. doi: 10.1007/978-1-4614-
1876-4.
26. Soetjiningsih. 2012. Perkembangan Anak dan Permasalahannya dalam Buku Ajar I
Ilmu Perkembangan Anak Dan Remaja. Jakarta :Sagungseto .Pp 86-90.
27. WHO | Screening as well as vaccination is essential in the fight against cervical
cancer’ (2016) WHO. World Health Organization. Available at:
http://www.who.int/reproductivehealth/topics/cancers/fight-cervical- cancer/en/
28. Widiyastuti, Y. Dkk. 2009. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Fitramaya.
29. Zawid, C. (2015). Sexual Health: A Nurse’s Guide. USA: Delmar.
30. Mazarico, E. et al. (2014) ‘Relationship between smoking , HPV infection , and
risk of cervical cancer’, (January 2016). doi: 10.12892/ejgo25042014.
31. Norat, T. et al. (2015) ‘European Code against Cancer 4th Edition : Diet and
cancer’, Cancer Epidemiology. Elsevier Ltd, 39, pp. S56–S66. doi:
10.1016/j.canep.2014.12.016
32. Jeronimo, J. et al. (2017) ‘Secondary Prevention of Cervical Cancer : ASCO
Resource-Stratified Clinical Practice Guideline’, Journal of Global Oncology, 3(5).
doi: 10.1200/JGO.2016.006577
33. WHO (2012) GLOBOCAN 2012 : Estimated Cancer Incidence, Mortality and
Prevalence Worldwide in 2012. Available at:
http://globocan.iarc.fr/Pages/fact_sheets_populati
37
36