Pembimbing:
Kelompok 2
PENDAHULUAN
1. 1 LATAR BELAKANG
Appendics merupakan peradangan yang terjadi pada lapisan mukosa
dari apendiks vermiformis yang kemudian dapat menyebar ke bagian lainnya
dari apendiks. Peradangan ini terjadi karena adanya sumbatan atau infeksi
pada lumen apendics. Appendisc yang tidak segera ditangani dapat
menyebabkan beberapa komplikasi seperti perforasi atau sepsis, bahkan dapat
menyebabkan kematian. Apendisitis akut merupakan kasus abdomen akut
paling sering yang membutuhkan pembedahan darurat (Craig,
2017;Shogilevetal., 2014).
Prevalensi seseorang untuk menderita Apendisitis adalah sebesar7%
(Mostbeck etal., 2016). Lebih dari 250.000 kasus Apendisitis didiagnosis di
Amerika Serikat tiap tahunnya, dengan angka mortalitas 0,0002% dan
morbiditas 3%. Pemeriksaan yang diperlukan untuk mendiagnosis Apendisitis
adalah anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium digunakan untuk
mengetahui kadar lekosit,C-reactive protein (CRP), dan polimorfo nuklear
(PMN). Sedangkan pemeriksaan imaging dapat dilakukan denga
nultrasonografi (USG), Computed Tomography (CT-Scan), Magnetic
Resonance Imaging (MRI), dan apendikogram (Shogilev etal.,2014). Untuk
mendiagnosis Apendisitis juga dikenal adanya Skor Alvarado, skor ini dinilai
efektif dalam mendiagnosis Apendisitis. Skoral varado Apendiktomime
rupakan operasi yang paling sering dilakukan diseluruh dunia (Espejo et al.,
2014;Pinto et al., 2013). Indonesia sendiri menduduki peringkat ketiga negara
di-Asia dengan jumlah mortalitas tertinggi karena Apendisitis, yaitu sebesar
3,8 per 100.000 jiwa (Health Grove, 2013). Dinas Kesehatan Jawa Tengah
menyebutkan pada tahun 2009 jumlah kasus apendisits sebanyak 5.980, dan
177 diantaranya meninggal. Data lain menyebutkan bahwa kasus Apendisitis
di Rumah Sakit Panembahan Senopati naik sebesar 3,5% dari tahun 2014
sampai tahun 2015. Dan Apendisitis akut merupakan kasus yang paling
banyak terjadi (Widyanita et al., 2016).
Alat pencitraan yang paling sering digunakan sebagai penunjang
diagnosisi Apendisitis adalah USG, walaupun akurasinya lebih rendah
dibanding CT-Scan dan MRI. Ultrasonografi menjadi pilihan utama karena
penggunaanya yang mudah, murah, dan tidak invasif. Sayangnya tingkat
akurasi USG sangat bergantung pada operator dan alat yang digunakan
(Sezeretal.,2012). Kriteria pencitraan USG yang digunakan untuk
mendiagnosis Apendisitis adalah jika ditemukan Penebalan dinding apendiks,
diameterlumen >6mm, apendikolith, lack ofcompressibility, peningkatan
aliran darah pada dinding apendiks pada pewarnaan dopler, lemak
hiperekoik peri-enterik, penebalan dinding caecum >5mm, dan adanya cairan
bebas disekitar apendiks. Minimal terpenuhi 2 kriteria di atas untuk dapat
mendiangnosisadanya Apendisitis (Hussain et al., 2014; Mostbeck et al.,
2016).
Apendiktomi merupakan upaya kuratif yang dapat dilakukan pada
pasien appendisitis. Tujuannya adalah untuk meminimalisir timbulnya
komplikasi yang dapat berakibat kematian. Sayangnya setelah dilakukan
operasi pengangkatan apendiks, tidak semua pasien positif mengalami
apendisits. Sebagai contoh, sebuah penelitian di India menyebutkan kejadian
negatif apendiktomi sebesar 17,2% (12,4% pada laki-laki dan 33,3% pada
perempuan). Insidennegatif apendiktomi terbesar pada perempuan usia11-20
tahun atau sebesar 66,7% (Joshi et al., 2014).Salah satu komplikasi dari
Apendisitis yaitu perforasi, berhubungan dengan peningkatan signfikan
morbiditas dan mortalitas. Oleh karena itu terdapat kesepakatan luas bahwa
tingginya insiden negatif apendiktomi harus dimaklumi dengan tujuan untuk
menurunkan angka kejadian perforasi (Mostbeck et al.,2016). Hasil
apendiktomi yang negatif menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi
pasien dalam berbagai aspek. Kerugian dalam segi kesehatan akibat
komplikasi dari apendiktomi yaitu infeksi. Kerugian darisegi ekonomi karena
harus membayar biaya rumah sakit yang tidak sedikit. Kerugian dari segi
sosial akibat waktu yang hilang karena harus menjalani perawatan setelah
operasi (Hidayatullah, 2014).
1. 2 TUJUAN KEGIATAN
1. Tujuan umum
Mahasiswa mampu melakasanakan Proses Asuhan Gizi Terstandar
(PAGT) pada pasien dengan penyakit perutonitis dan Appendics
2. Tujuan khusus
a. Mahasiswa mampu melaksanakan skrining gizi pada pasien perutonitis
dan Appendics
b. Mahasiswa Mampu melaksankan assement gizi pada pasien perutonitis
dan appendics
c. Mahasiswa mampu melakukan diagonase gizi pada pasien perutonitis
dan appendics
d. Mahasiswa mampu melakukan intervensi gizi pada pasien perutonitis
dan appendics
e. Mahasiswa mampu melakukan monev gizi pada pasien perutonitis dan
appendics
f. Mahasiswa mampu melakukan edukasi dan konseling gizi pada
pasien perutonitis dan appendics
1. 3 MANFAAT KEGIATAN
1. Manfaat bagi peneliti
Menambah wawasan mahasiswa dalam melakukan penatalaksaan
proses asuhan gizi terstandar untuk pasien dengan diagnosa penyakit
peritonitis dan appendics acute.
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 APPENDICS ACUTE
2. 1. 1 Definisi
Apendiks merupakan organ tambahan kecil yang menyerupai jari,
melekat pada sekum tepat dibawah katup ileocecal (Smeltzer, 2001).
Apendisitis merupakan suatu proses obstruksi (Hyperplasia limpo nodi
submukosa, fecolith, benda asing, tumor) kemudian diikuti proses
infeksi dan disusul oleh peradangan dari apendiks verniformis
(Nugroho, 2011)
Klasifikasi apendisitis dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Apendisitis akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang
didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan
tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang
peritoneum lokal. Gejala apendisitis akut ialah nyeri samar-
samar dan tumpul merupakan nyeri visceral di daerah
epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering di sertai
mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan
menurun dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan
bawah ke titik McBurney. Di sini nyeri di rasakan lebih tajam
dan lebih jelas letaknya. Sehingga merupakan nyeri somatik
setempat.
b. Apendisitis kronik
Diagnosis apendiksitis kronik baru dapat di tegakkan
jika di penuhi semua syarat: riwayat nyeri perut kanan bawah
lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara
makroskopik dan mikroskopik, dan keluhan menghilang
setelah apendiktomi. Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik
adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan
parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan
ulkus lama di mukosa, dan sel inflamasi kronik. Insidens
apendiksitis kronik antara 1-5 %.
2. 1. 2 Etiologi
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal menjadi faktor
penyebabnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor pencetus disamping
hyperplasia jaringan limfe, batu feses, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat
juga menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga menimbulkan
apendisitis yaitu erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.Histolytica
(Sjamsuhidajat, 2010).
2. 1. 3 Patofisiologi
Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan
oleh fases yang terlibat atau fekalit. Sesuai dengan pengamatan epidemiologi
bahwa apendisitis berhubungan dengan asupan makanan yang rendah serat.
Pada stadium awal apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa.
Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan peritoneal.
Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa dan
berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan. Dalam
stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam lumen yang
menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks
menjadi bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi
nekrosis ke rongga peritoneal. Jika perforasi yang terjadi dibungkus oleh
omentum, abses local akan terjadi (Burkit, Quick & Reed, 2007).
Pada dasarnya bentuk makanan rumah sakit terbagi menjadi 4 tingkatan, yaitu:
- Protein tinggi
Protein diberikan dalam jumlah tinggi yaitu 2-2,5 g/kgBB
karena setelah pembedahan pasien mengalami kehilangan protein
(Almatsier, 2007). Kehilangan protein 10% akan berpengaruh
terhadap morbiditas. Respon katabolik ini dapat dipercepat dengan
pemberian zat gizi yang dapat memacu sintesis protein dan
perbaikan jaringan. Prinsip pemberian protein 2-2.5 g/kgBB
(Graham L. Hill, 2000). Makanan sumber protein misalnya pada
susu, telur dan daging (Almatsier, 2007).
Setiap sel didalam tubuh mengandung protein baik sebagai
suatu bagian membran sel itu sendiri maupun dalam sitoplasma sel.
Protein memiliki peran utama dalam fungsi sistem imun, karena
protein dibutuhkan dalam pembelahan sel normal untuk
menghasilkan komponen seluler. Antibodi dan agens vital lainnya
juga menyusun asam amini. Oleh karena itu, defisiensi protein
akan mengakibatkan defek sistem imun. Asam amino penting
untuk penyembuhan luka. Kekurangan protein mengakibatkan
penurunan angiogenisis, penurunan proliferasi fibroblas dan sel
endotel, seta penurunan sintesis kolagen dan remodeling. Telah
dilaporkan bahwa protein telur dan susu terutama penting untuk
perbaikan jaringan yang rusak (Boyle, 2008).
2.1.5Gejala
Gejala-gejala permulaan pada apendisitis yaitu nyeri atau perasaan tidak enak
sekitar umbilikus diikuti anoreksia, nausea dan muntah, ini berlangsung lebih
dari 1 atau 2 hari. Dalam beberapa jam nyeri bergeser ke nyeri pindah ke kanan
bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di titik Mc.
Burney, nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung, nyeri pada kuadran kanan
bawah saat kuadran kiri bawah ditekan, nyeri pada kuadran kanan bawah bila
peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk, dan mengedan,
nafsu makan menurun, demam yang tidak terlalu tinggi, biasanya terdapat
konstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi diare (Wijaya, 2013).
2. 2 PERITONITIS
2. 2. 1 Definisi
Peritonitis merupakan inflamasi peritoneum dalam rongga abdomen
yang dapat terjadi baik karena faktor pathogen, seperti kontaminasi
mikroorganisme dalam rongga peritoneum dan non-patogen (bahan kimiawi).
(Mazuski, et al., 2009) Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan
serosa yang menutupi rongga abdomen dan organ-organ abdomen di
dalamnya). Suatu bentuk penyakit akut, dan merupakan kasus bedah darurat.
Dapat terjadi secara lokal maupun umum, melalui proses infeksi akibat
perforasi usus, misalnya pada ruptur appendiks atau divertikulum kolon,
maupun non infeksi, misalnya akibat keluarnya asam lambung pada perforasi
gaster, keluarnya asam empedu pada perforasi kandung empedu. Pada wanita
peritonitis sering disebabkan oleh infeksi tuba falopi atau ruptur ovarium.
2. 2. 2 Etiologi
Peritonitis berarti suatu respon inflamasi dari peritoneum dalam rongga
abdomen dalam hal aktivasi kaskade mediator lokal dengan stimulus yang
berbeda. Oleh karena itu, agen infeksius (bakteri, virus) dan non-infeksius
(bahan kimia : empedu) dapat menyebabkan peradangan pada lapisan
peritoneum. Peritonitis sering disebabkan oleh infeksi ke dalam lingkungan
rongga peritoneum yang steril melalui perforasi usus, misalnya ruptur dari
apendiks dan divertikel kolon. Bahan kimia yang dapat mengiritasi
peritoneum, misalnya asam lambung dari perforasi gaster atau empedu dari
perforasi kantung empedu atau laserasi hepar. Pada wanita sangat
dimungkinkan peritonitis terlokalisasi pada rongga pelvis dari infeksi tuba
falopi atau rupturnya kista ovari. (Akujobi, et al., 2006)
2. 2. 3 Patofisiologi
Peritonitis merupakan komplikasi akibat penyebaran infeksi dari
organ-organ abdomen, ruptur saluran cerna, atau luka tembus abdomen.
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa, kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara perlekatan
fibrinosa yang membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi
menghilang, tetapi dapat menetap sehingga menimbulkan obstruksi usus.
BAB III
GAMBARAN UMUM PASIEN
Nama : Tn. Tm
Usia : 44 tahun
Pekerjaan : Swasta
Status : Menikah
Ruang / kelas :
Tanggal masuk RS :
Tanggal skrining :
3.2 Assessment
3.2.1. Antropometri
Berat badan : 65 kg
BB 65
= = 22,49 Kg/m² (normal)
(TB) ² (1,71)²
= 65 kg
Kesimpulan : Berdasarkan hasil perhitungan IMT status gizi pasien dikategorikan Normal.
3.2.2 Biokima
Pemeriksaan laboratorium Tn. Tm pada tanggal 11 januari 2021 yang didapat terdapat
pada tabel berikut:
Pemeriksaan fisik dan klinis Tn. Tm pada tanggal 11 januari 2021 yang didapat
terdapat pada tabel berikut:
Kebutuhan cairan x 20
20 TPM =
24 x 60
kebutuhan cairan x 20
20 =
1440
1440 x 20
Keb. Cairan =
20
Kesimpulan : berdasrkan hasil pemeriksaan Klinis Tekanan Darah (tinggi) dan Nafas
(tinggi). Untuk Suhu dan Nadi normal.
Fisik:
1. Mual, muntah, tidak bisa flaktus, sakit kepala, nyeri perut bawah, dan kurang
nafsu makan.
Riwayat gizi :
Hasil recall : 3x 24 jam : Energi = 1350 kkal (73,7 % dari kebutuhan), Protein= 45gr
(49,2% dari kebutuhan).
Hasil recall 24 jam : enteral tinggi protein 600 kkal (32%) protein 30gr (43,7%)
pasien tidak ada alergi, kurang suka sayuran, suka konsumsi buah – buahan 2x/ hari.
Diagnosa gizi yang didapat berdasarkan kondisi pasien terdapat pada tabel berikut.
NI.5.2 Malnutrisi pasien yang nyata (p) berkaitan dengan malabsorbsi (e) ditandai dengan
nilai albumin rendah dari normal yaitu 3,3 gr/dl (s).
NI.2.3 Kekurangan intake nutrisi enteral (p) berkaitan dengan gangguan absorbsi atau
metabolisme zat gizi (e) ditandai dengan volume enteral tidak adekuat dengan
kebutuhan dengan hasil recall 24 jam 32%.
NC.2. Perubahan nilai laboratorium terkait zat gizi khusus (p) berkaitan dengan gangguan
2 fungsi organ lain akibat perubahan biokimia (e) ditandai denngan hasil laboratorium
albumin 3.3 gr/dl Rendah (N:3,5 – 59gr/dl) (s)
NC.3. Penurunan berat badan yang tidak diharapkan (p) berkaitan dengan tidak nafsu
2 makan (e) ditandai dengan kehilangan berat badan 4 kg (5,7%) dalam 2 bulan (s).
1. Pada fase akut dipuaskan dan diberi makanan secara parenteral saja.
2. Bila fase akut teratasi, pasien diberi makanan secara bertahap, mulai dari bentuk cair
(per oral maupun enteral), kemudian meningkatkan menjadi Diet Sisa Rendah dan
Serat Rendah.
3. Bila gejala hilang dapat diberikan Makanan Biasa.
4. Kebutuhan gizi yaitu:
a. Energi tinggi dan protein tinggi.
b. Suplemen vitamin dan mineral antara lain vitamin A, C, D asam folat, vitamin
B₁₂, Kalsium, zat besi, Magnesium, dan Zeng.
5. Makanan Entral Rendah atau Bebas Laktosa dan mengandung asam lemak rantai
sedang (medium cbain trygliceride = MCT) dapat diberikan karena sering terjadi
intolerensi laktosa dan malabsorpsi lemak.
6. Cukup cairan dan elektrolit.
7. Menghindari makanan yang menimbulkan gas.
8. Sisa rendah dan secara bertahap kembali ke makanan biasa.
= 1.806,5 – 299,2
= 1.507,3
E = BMR X FA X FS
= 365,84
= 91,45 gr
= 548,949
= 60,9 gr
= 914,94
= 228,73 gr
d. frekuensi :6 x
Berikut ini adalah makanan yang di anjurkan dan tidak di anjurkan untuk penyakit
Pasien Appendics Acute Dan Perutonitis
Sumber lemak
Sumber vitamin dan meniral
3.4.6 Menu sehari
Edukasi gizi dilakukan sebagai bentuk intervensi dalam kegiatan asuhan gizi. Pada
kasus ini dilakukan edukasi gizi dengan cara pemberian motivasi keepada pasien dan
keluarga untuk menimbulkan keinginan dan kemauan agar pasien dan keluarga dapat
melaksanakan diet yang benar terkait penyakit yang sedang dialami.
Hasil monitoring dan evaluasi tentang perkembangan pasien selama dirawat dapat
dilihat pada tabel berikut.
No Monitoring Evaluasi
1 Biokimia Memantau hasil laboraturium terkait hasil laboraturium
2 Klinik Pemeriksaan klinis pasien meliputi tekanan drah, suhu, nadi
dan nafas sudah normal semua
3 Fisik Pasien tidak lagi mengalami mual, muntah, sakit kepala
4 Asupan gizi Pasien sudah bisa diberikan diet makanan lunak yaitu bubur
dengan tetap memberi ekstra enteral tinggi protein 3x100 cc.
Kesimpulan : Hasil monitoring biokimia di hari pertama ada perubahan hasil Tekanan darah
normal, mual muntah mulai berkurang hanya tinggal nyeri perut dan lemah. Pasien masi
menjalankan therapy obat dan infuse masi berjalan, berat badan pasien tidak ada perubahan
dan menunggu hasil USG Abdomen. Hari ini diet pasien telah di ubah menjadi diet bubur dan
penambahan formula komersial 300 cc.
BAB IV
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Pasien didiagnosa
2. Kebutuhan sehari
3. Terapi diet yang diberikan
4. Diagnosa yang ditetapkan adalah
DAFTAR PUSTAKA
Mosbeck, G., Adam, EJ., Nielsen, M.B., Claudon, M., et al. (2016) How to diagnose acute
appendicitis: ultrasound first. Insight into Image. (Online) 7 (2),255-263. Available from:
www.ijcmr.com [Accessed:9 May 2017].
Espejo, O. De J.A., Mejia, M.E.M. & Guerrero, L.H.U. (2014)Acute appendicitis: imaging
findings and current approach to diagnostic images. (3), 3877-3888.
Hartono, A. 2006. Terapi Gizi Dan Diet Rumah Sakit. Edisi 2. EGC. Jakarta
Healt Grove (2013) Appendicitis Global Statisticds- Mortality, Societal Burden. (Online).
2013. Available from: http://global-diseases.healthgrove.com/1/152/Appendicitis [Accessed:
8 May 201].
Widyanita, A., Arini, M., & Dewi, A.,. (2016). Evaluasi Implementasi Clinical Pathway
Appendicitis Acute Pada Unit Rawat Inap Bagian Bedah RSUD Penambahan Senopati
Bantul. Tesis.Program Studi Manajemen Rumah Sakit, Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.
Joshi R, Alim M, Kengne AP, Jan S, Maulik PK, Peiris D, et al. (2014) Task Shifting for
Non-Communicable Disease Management in Low and Middle Income Countries-A
Systematic Review. PLoS ONE 9(8): e103754. Doi:10.1371/journal.pone.0103754.
Hidayatullah, Priyanto. 2014. Visual Basic. NET. Edisi Revisi. Bandung: informatika.
Sjamsuhidajat, R. & Jong, V., 2010 Bku-Ajar Ilmu Bedah Edisi 3, 757, Jakarta, EGC.
Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Burkitt, H. G., Quick, C. R. G ., and Reed, J. B., 2007. Apendicitis. In: Essential Surgery
Problems, Diagnosis, & Management. Fourt Edition. Elsevier, 389-398.