Anda di halaman 1dari 5

 

  KEKURANGAN OUTSOURCING dan DAMPAK BURUK BAGI PERUSAHAAN

Outsourcing atau contracting out  adalah pemindahan pekerjaan (operasi) dari satu perusahaan ke
perusahaan lain. Hal ini biasanya dilakukan untuk memperkecil biaya produksi atau untuk
memusatkan perhatian kepada hal utama dari perusahaan tersebut. Istilah offshoring artinya
pemindahan pekerjaan (operasi) dari satu negara ke negara lain.  keuntungan dan kerugian
outsourcing. Lihatlah masing-masing dari kerugian outsourcing tercantum di bawah ini dan
memutuskan apa dampak yang akan item pada bisnis Anda. Jika kerugian lebih besar daripada
keuntungan outsourcing, maka Anda harus menghindari outsourcing operasi-operasi.

1. Biaya Tersembunyi Anda akan menandatangani kontrak dengan perusahaan outsourcing yang
akan menutupi rincian layanan yang mereka akan menyediakan. Setiap hal yang tidak tercakup
dalam kontrak akan menjadi dasar bagi Anda untuk membayar biaya tambahan. Selain itu, Anda
akan mengalami biaya hukum untuk mempertahankan seorang pengacara untuk meninjau kontak
yang akan menandatangani. Ingat, ini adalah bisnis perusahaan outsourcing itu. Mereka telah
melakukan ini sebelumnya dan mereka adalah orang-orang yang menulis kontrak. Oleh karena
itu, Anda akan mengalami kerugian ketika perundingan dimulai.

2. Ancaman Keamanan dan Kerahasiaan Kehidupan setiap bisnis adalah informasi yang terus
berjalan. Jika Anda memiliki gaji, catatan medis atau informasi rahasia lainnya yang akan
dikirim kepada perusahaan outsourcing, ada resiko bahwa kerahasiaan dapat mempengaruhi. Jika
fungsi outsourcing melibatkan perusahaan milik berbagi data atau pengetahuan (misalnya
gambar produk, formula, dll), ini harus diperhitungkan. Mengevaluasi perusahaan outsourcing
dengan hati-hati untuk memastikan data Anda dilindungi dan kontrak memiliki klausul denda
jika insiden terjadi.

3. Kehilangan Kontrol Manajerial Apakah Anda menandatangani kontrak untuk memiliki


perusahaan lain melaksanakan fungsi dari seluruh departemen atau tugas tunggal, Anda memutar
pengelolaan dan pengendalian fungsi itu ke perusahaan lain. Benar, Anda akan memiliki kontrak,
tapi kontrol manajerial akan menjadi milik perusahaan lain. perusahaan outsourcing Anda tidak
akan didorong oleh standar yang sama dan misi yang mendorong perusahaan Anda. Mereka akan
didorong untuk membuat keuntungan dari layanan yang mereka sediakan untuk Anda dan bisnis
lain seperti Anda.

4. Terikat pada Kesejahteraan Keuangan Perusahaan lain Karena Anda akan membalik bagian
dari operasi bisnis Anda ke perusahaan lain, sekarang Anda akan dikaitkan dengan kesejahteraan
keuangan perusahaan itu. Ini tidak akan menjadi pertama kalinya bahwa sebuah perusahaan
outsourcing bisa bangkrut dan meninggalkan Anda memegang-kantong-.

5. Masalah kualitas Perusahaan outsourcing akan termotivasi oleh laba. Karena kontrak akan
memperbaiki harga, satu-satunya cara bagi mereka untuk meningkatkan keuntungan adalah
untuk menurunkan biaya. Selama mereka memenuhi persyaratan kontrak, Anda akan membayar.
Selain itu, Anda akan kehilangan kemampuan untuk dengan cepat menanggapi perubahan
lingkungan bisnis. Kontrak ini akan sangat spesifik dan Anda akan membayar biaya tambahan
untuk perubahan.
6. Publisitas buruk dan Ill-Will Kata “outsourcing” mengingatkan hal-hal yang berbeda untuk
orang yang berbeda. Jika Anda tinggal di sebuah komunitas yang memiliki perusahaan
outsourcing dan mereka menggunakan teman dan tetangga, outsourcing yang baik. Jika teman-
teman dan tetangga Anda kehilangan pekerjaan mereka karena mereka dikirim di seluruh negara
bagian, di negara atau di seluruh dunia, outsourcing akan membawa publisitas buruk. Jika Anda
Outsource bagian dari operasi Anda, moral mungkin menderita dalam angkatan kerja yang
tersisa.  Sumber : http://www.mitra-kerja.com/seputar-outsourcing-14/6-kekurangan-
outsourcing-dampak-buruk-bagi-perusahaan-241/

DEMO BURUH 3 OKTOBER: 1.400 Pekerja outsourcing PT Unilever siap mogok  Fahmi
Achmad  Rabu, 03 Oktober 2012 | 06:45 WIB     JAKARTA: Sekitar 1.400 pekerja outsourcing
PT Unilever menyatakan siap mogok jika pihak manajemen perusahaan tidak mengangkat status
mereka menjadi karyawan tetap (PKWTT) sesuai dengan UU No. 13 tahun 2003 pasal 66
tentang Ketenagakerjaan.  “Kami memastikan produksi akan berhenti jika kami (buruh
outsourcing) yang mogok karena kami yang bekerja di bagian-bagian utama perusahaan,” tegas
Ketua Pimpinan Unit Kerja (PUK) Serikat Pekerja Aneka Industri – Federasi Serikat Pekerja
Metal Indonesia (SPAI-FSPMI) PT Unilever, Siyamto dalam siaran pers yang diterima Bisnis
tadi malam.  Dia menyebutkan PT Unilever mempekerjakan 4.000 buruh di enam bidang
perusahaan yang berproduksi di tiga pabrik berbeda yang semuanya terletak di kawasan industri
Jababeka, Cikarang. B  idang-bidang PT Unilever memproduksi barang-barang dengan merek
yang sudah dikenal luas oleh masyarakat, yakni HPC Powder memproduksi Rinso, Surf, Viso
dan Rinso Matic; HPC Liquid memproduksi Sunsilk, Clear, Dove, Lifebuoy, Sunlight, Molto,
Superpel, Rinso cair; Walls memproduksi es krim; SCCNC memproduksi Blue Band (mentega);
TBB  memproduksi Sariwangi dan Royco; dan memSkin Care produksi kosmetik, seperti
Ponds.  Menurut SPAI-FSPMI, pekerja outsourcing didatangkan dari enam Yayasan yang
berbeda, yang di antaranya PT Mamat Anugerah, PT Tobirus Jaya, PT Teguh Jaya, dan PT Sapta
Buana.  Menurut Siyamto, buruh outsourcing mendapatkan perlakuan diskriminatif dari pihak
perusahaan. Pekerja outsourcing hanya memperoleh uang makan sebesar Rp9.000 per orang,
sementara pekerja tetap mendapatkan uang makan Rp16.000.  Dia memaparkan perusahaan
memberikan tunjangan cuti, tunjangan perumahan Rp 6,4 juta/tahun dan distribusi produk-
produk PT Unilever per bulan kepada pekerja atau karyawan berstatus tetap. Di sisi lain, pekerja
outsourcing hanya memperoleh paket distribusi setahun sekali, tidak ada tunjangan cuti, apalagi
tunjangan perumahan. Ruang makan pun dipisahkan. Pekerja outsourcing makan di tempat yang
terpisah dari pekerja berstatus tetap, bahkan seragam kerja juga dibedakan.   “Kami, pekerja
outsourcing, memang mendapatkan Jamsostek yang diberikan oleh yayasan kami. Misalnya
saya, pekerja outsourcing dari PT Mamat Anugerah, dapat tunjangan kesehatan Jamsostek
dengan limit hanya Rp 100 ribu untuk ke dokter. Kalau sakitnya sampai menginap di rumah
sakit, hanya dapat Rp 1 juta. Kalau biaya berobat lebih dari itu, terpaksa ditanggung sendiri.
Dulu, anggota keluarga yang sakit tidak masuk hitungan, baru belakangan ini, setelah Februari,
baru dapat setelah diperjuangkan,” kata Siyamto.  Selain itu, Siyamto tidak yakin jika kebijakan
manajemen perusahaan PT Unilever di Jababeka yang mempekerjakan buruh outsourcing atas
sepengetahuan pemilik PT Unilever. “Pernah ada auditor yang datang, kami buruh outsourcing
malah disuruh ganti seragam, bahkan ada yang disembunyikan,” tuturnya. (faa)     Sumber :
http://www.bisnis.com/articles/demo-buruh-3-oktober-1-dot-400-pekerja-outsourcing-pt-
unilever-siap-mogok
Apa yang salah dengan outsourcing?

Melihat ilustrasi diatas tentunya tidak langsung menghakimi bahwa outsourcing disamakan
dengan jin yang mempunyai kekuatan ataupun kompetensi yang diluar nalar maupun disamakan
dengan asisten rumah tangga yang seakan sebagai penguasa di rumah atau seperti pekerja
musiman yang bekerja pada saat dibutuhkan (habis manis sepah dibuang kemudian diberi
pemanis lagi untuk dibuang lagi begitu seterusnya).

Outsourcing sebetulnya bisa menjadi suatu yang keren dan diminati banyak orang bila
pemahamannya didudukan dengan benar. Sampai saat ini pengertian terhadap pekerjaan
outsourcing adalah pekerjaan sepele yang tidak membutuhkan keahlian khusus atau pekerjaan
tersebut bisa digantikan dengan cepat tanpa melalui pelatihan dan pendidikan khusus. Pengertian
ini tidak sepenuhnya salah karena yang berkembang disini adalah hanya pekerjaan yang
merupakan kegiatan penunjang perusahaan yang boleh dilakukan secara outsourcing.

Berangkat dari pengertian tersebut sehingga banyak perusahaan yang menganggap outsourcing
adalah tenaga kerja kelas lima. Perusahaan tidak menerapkan win-win solution dengan tenaga
outsourcing. Mereka akan cenderung mengintimidasi tenaga outsourcing untuk bekerja lebih
keras atau siap-siap untuk digantikan dengan orang lain. Tidak jarang tenaga outsourcing yang
digantikan hanya karena mereka menanyakan hak yang seharusnya mereka dapatkan.

Siapa yang mau dikatakan mengerjakan kegiatan penunjang perusahaan padahal pekerjaan
tersebut dikerjakan dengan susah payah dan penuh perjuangan. Siapa yang mau diintimidasi
dengan dikatakan banyak tenaga kerja lain diluar yang ingin bekerja atau saya bisa mendapatkan
tenaga seperti kamu di perempatan trafic-light? Kalau kondisinya demikian, bagaimana dengan
tenaga profesional yang dipekerjakan di perusahaan yang menganut project-based?

Ambil contoh perusahaan yang bergerak di bidang konsultansi. Perusahaan bekerja menurut
project-based dan mungkin akan lebih efisien bila menggunakan associate consultant. Dengan
associate consultant perusahaan tidak terbebani dengan fixed cost. Apakah associate consultant
merupakan pekerjaan yang bisa digantikan dalam waktu cepat? Apakah menjadi associate
consultant tanpa melalui pelatihan dan pendidikan? Kalau kita lihat penggunaan tenaga kerja
asing, yang nota bene sebetulnya outsourcing juga, di suatu perusahaan. Sebetulnya mereka
hanya boleh melakukan pekerjaan yang tidak menghambat proses produksi secara langsung. Tapi
pada kenyataannya banyak yang melakukan pekerjaan seperti penjualan dan pemasaran hanya
karena pelanggan berasal dari negara yang sama. Bagaimana dengan Tenaga Kerja Indonesia
yang bekerja di luar negeri? Mungkin sama, hanya peraturan yang sedikit berbeda mensyaratkan
keahlian dan sertifikat khusus untuk melakukan suatu kegiatan.

Bagaimana memperbaiki outsourcing?

Dalam Undang-Undang sebetulnya Pemerintah sudah cukup jelas mendefinisikan dan mengatur
penggunaan outsourcing. Dalam UU No.13 tahun 2003 menggariskan bahwa penyerahan
pekerjaan kepada pihak ketiga harus melalui suatu perjanjian tertulis dan diketahui oleh kedua
belah pihak. Disitu juga disebutkan bahwa penyerahan pekerjaan tersebut bisa bersifat
pemborongan pekerjaan ataupun hanya penyediaan jasa pekerja/buruh. Lebih jauh lagi diatur
bahwa pihak ketiga tersebut haruslah suatu bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki
izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Artinya diluar dari kondisi
tersebut tidak bisa diklasifikasikan sebagai penyerahan pekerjaan dan akan lemah secara hukum.

Dari uraian diatas sebetulnya sudah jelas perlunya perjanjian tertulis sebagai bentuk persetujuan
penyerahan pekerjaan kepada pihak ketiga. Yang menjadi masalah bila dalam perjanjian tersebut
tidak secara detail dan jelas menggambarkan apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-
masing pihak. Sebagai contoh, sebuah perusahaan menggunakan tenaga kerja outsourcing waktu
tertentu dan berganti selang 3 bulan. Yang bisa terjadi adalah pada bulan kesatu dan kedua
tenaga kerja tersebut akan menunjukan dedikasi yang cukup tinggi, namun memasuki akhir dari
perjanjian semangat maupun motivasi kerja akan menurun karena yang terbayang adalah hari
besok yang tidak ada pekerjaan. Tentunya yang dirugikan adalah perusahaan yang menggunakan
tenaga kerja tersebut karena tidak mudah memutuskan hubungan kerja. Perusahaan yang
mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah
sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Kembali sampai sejah mana perjanjian kerja
mencakup risiko yang mungkin terjadi baik pihak pengusaha, perusahaan outsourcing, dan
pekerja sendiri.

Bentuk dari penyerahan pekerjaan sebetulnya cukup jelas, borongan atau jasa tenaga kerja, hanya
yang kemudian menjadi tidak jelas bila belum ada batasan maupun kriteria yang bisa digunakan
untuk memisahkan kegiatan mana yang dapat atau tidak dapat dilakukan oleh pihak ketiga.
Dalam UU disebutkan bahwa pekerjaan dapat diserahkan kepada perusahaan lain dengan syarat
bahwa pekerjaan tersebut terpisah dari kegiatan utama, tidak melaksanakan kegiatan pokok atau
yang berhubungan langsung dengan proses produksi, merupakan kegiatan penunjang, dan tidak
menghambat proses produksi secara langsung. Lantas siapa yang berkewajiban mendefinisikan
apakah suatu pekerjaan adalah utama maupun penunjang. Apakah bisa dimaklumi kalau dalam
industri yang sama beberapa perusahaan memiliki keyakinan yang berbeda-beda untuk
mendefiniskan pekerjaan utama atau penunjang. Suatu kondisi yang rumit dan rawan
penyelewengan. Akan lebih mudah bila pasal tersebut tidak perlu ada karena sesungguhnya sulit
memisahkan kegiatan yang ada dalam perusahaan. Pada dasarnya setiap kegiatan yang ada dalam
perusahaan haruslah berguna bagi perusahaan tersebut dan tidak dipisahkan utama maupun
penunjang. Atau tugas pemerintah berikutnya adalah menganalisa dalam suatu industri tertentu
mana yang menjadi utama dan penunjang.

Dalam hal pihak penyedia jasa yang harus berbentuk badan usaha dan memiliki izin dari instansi
tertentu tentunya suatu persyaratan yang wajib dipenuhi. Bila berbicara mengenai badan usaha
tentunya berbicara mengenai manajemen. Bagaimana pengelolaan keuangan, operasi, dan SDM-
nya. Rasanya Pemerintah sudah cukup bijaksana dalam hal ini hanya saja dalam hal pengeluaran
izin pembentukan badan usaha jangan dicampuri dengan faktor politis maupun sosial. Dalam
suatu pengajuan tentunya Pemerintah perlu mempertimbangkan kemampuan dan kualitas
organisasi. Disatu sisi baik dengan peningkatan status organisasi namun buat apa bila hanya
untuk sementara. Hal ini yang sering menjadi keruwetan disaat suatu perusahaan penyedia jasa
tidak mampu mengelola tenaga kerjanya, perusahaan pengguna jasa yang akan menanggung
akibatnya.
Berkaca pada beberapa kasus yang terjadi belakangan dimana perusahaan sering dengan
penggunaan tenaga outsourcing, bila tenaga outsourcing ingin mendapat tempat terhormat dan
bukan warga kelas lima, semestinya 3P (Pemerintah, Pengusaha, dan Pekerja) duduk bersama
untuk merumuskan secara lebih jelas prosedur penggunaan outsourcing di masing-masing
industri. Pengertian outsourcing harus segera diubah sebagai tenaga terampil yang profesional
bukan lagi hanya tenaga kerja yang sifatnya membantu dan mengerjakan pekerjaan penunjang.
Sehingga alasan untuk mendapatkan biaya operasional yang rendah tidak lagi menjadi alasan
peruahaan dalam menggunakan tenaga outsourcing.

Ke depan bila perusahaan menyerahkan sebagian pekerjaan kepada pihak ketiga adalah
berdasarkan ingin mendapatkan kualitas hasil pekerjaan yang lebih baik dan bukan pada
pertimbangan harga murah semata. Outsourcing juga jangan hanya dianggap sebagai peredam
terhadap kekurangan tenaga kerja. Jangan lagi permintaan outsourcing diadakan tanpa ada suatu
perencanaan. Perlu dipahami bahwa pengadaan tenaga outsourcing juga perlu suatu perencanaan
dan perusahaan penyedia juga butuh waktu agar bisa memberikan tenaga yang profesional dan
kompeten. Pengusaha jangan lagi memandang rendah terhadap tenaga outsourcing dan
perusahaan penyedia juga jangan melupakan pengembangan dan jaminan hidup pekerja
outsourcing. Dan akhirnya tenaga kerja outsourcing dapat bekerja dengan lebih profesional.

- See more at: http://ppm-manajemen.ac.id/penggunaan-outsourcing-


masalah/#sthash.bEi56dWq.dpuf

Anda mungkin juga menyukai