Anda di halaman 1dari 3

2.

aspek hukum rahasia kedokteran

● Dalam sejarah etika dan hukum kedokteran, rujukan yang paling luas dan rinci tentang prinsip
menjaga rahasia kedokteran terdapat dalam sejarah kode etik profesi. Karya-karya kuno tentang
kedokteran Hindu menyebutkan kewajiban untuk menyimpan rahasia kedokteran. Tradisi etika
kedokteran Barat membuat pernyataan mendasar berkaitan dengan kerahasiaan pasien yang
tercantum dalam sumpah Hippocrates: "Apa yang saya lihat atau saya dengar dalam hubungan
dengan penyembuhan atau di luar penyenbuhan yang berkaitan dengan kehidupan manusia,
tidak akan saya sebar luaskan kepada siapapun, saya akan menyimpannya untuk diri saya
sendiri, karena hal itu akan mempermalukan.

''Sumber penting lain dalam diskusi etik yang berhubungan dengan prinsip menjaga rahasia ini
adalah munculnya gerakan hak-hak pasien. Dokumen yang paling penting dalam gerakan ini
adalah "The Patient's Bill of Right," yang diterbitkan oleh American Hospital Association pada
tahun 1973. Dalam dokumen tersebut ditulis: "Pasien berhak untuk mengharapkan bahwa
semua komunikasi dan catatan yang berisi perawatan terhadap dirinya selayaknya diperlakukan
sebagai rahasia."

Ada dua argumen filosolis yang mendasari perlunya menyimpan rahasia kedokteran. Argumen
pertama adalah argumen yang bersifat kemanfaatan dan merujuk pada konsekuensi jangka
panjang. Argumen kedua mendasarkan pada penghormatan atas pribadi manusia, yang
didasarkan pada hak azasi.

Pasal 4 ayat 3, “Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran berlaku selamanya,

walaupun pasien telah meninggal dunia.”

Pasal 5 ayat 1, “Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien,
memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan
pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Pasal 5 Ayat 2, “Pembukaan rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terbatas sesuai kebutuhan.

Pasal 6 ayat 1, “Pembukaan rahasia kedokteran untuk kepentingan kesehatan pasien


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 meliputi:

a. kepentingan pemeliharaan kesehatan, pengobatan, penyembuhan, dan perawatan pasien;


dan

b. keperluan administrasi, pembayaran asuransi atau jaminan pembiayaan kesehatan.

Pasal 6 ayat 2, “Pembukaan rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilakukan dengan persetujuan dari pasien.”
Pasal 6 ayat 3, “Pembukaan rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan dengan persetujuan dari pasien baik secara tertulis maupun sistem informasi
elektronik.”

Pasal 6 ayat 4, “Persetujuan dari pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan telah
diberikan pada saat pendaftaran pasien di fasilitas pelayanan kesehatan.”

Pasal 6 ayat 5, “Dalam hal pasien tidak cakap untuk memberikan persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), persetujuan dapat diberikan oleh keluarga terdekat atau
pengampunya.”

Pasal 7 ayat 1, “Pembukaan rahasia kedokteran untuk memenuhi permintaan aparatur penegak
hukum dalam rangka penegakan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat dilakukan
pada proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan sidang pengadilan.”

Pasal 7 ayat 2, “Pembukaan rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
melalui pemberian data dan informasi berupa visum et repertum, keterangan ahli, keterangan
saksi, dan/atau ringkasan medis.”

3. visum et repertum

 Hambatan visum et repertum


1. Hambatan dalam pembuatan antara lain adalah jauhnya rumah sakit dan terbatasnya
tenaga kedokteran kehakiman yang membuat visum et repertum (Widy Hargus, 2010).
 
2. Hambatan dalam penerapan adalah, pembuatan Visum et repertum terkadang kurang
lengkap dan pembuatan Visum et repertum tidak dilakukan sesegera mungkin. (Widy
Hargus, 2010).
3. Keadaan mayat sudah membusuk. Keadaan seperti ini dapat mempengaruhi hasil dari
visum. Biasanya organ tubuh yang memberikan hasil positif untuk pemeriksaan
toksikologi sudah mengalami pembusukan maka dapat mengakibatkan hasil menjadi
negatif. (Edward Sinaga, 2010).
4. Kurangnya koordinasi antara penyidik dengan dokter yang mengakibatkan prosedur
permintaan visum menjadi memakan waktu yang lama (Edward Sinaga, 2010).
5. Dari pihak penyidik seperti keterlambatan permintaan visum, (Husnul Muasyaroh,
2002).
7. Dari pihak dokter karena butuh tempat untuk melaksanakan pemeriksaan lanjutan
(Husnul Muasyaroh, 2002).
8. Untuk korban kecelakaan yang hidup, banyak korban yang menolak untuk dilakukan
visum et repertum oleh karena belum mengetahui manfaat dan kegunaaannya (Budi
Sampurna, 2007).
 

Anda mungkin juga menyukai