Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTIK KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

SINDROM OBSTRUKSI PASCA TUBERCHOLOSIS (SOPT)

RSUD dr. H. MOCH ANSARI SALEH

BANJARMASIN

DOSEN PEMBIMBING : M.Husni,S.Kep.,Ns.,M.Kes

DISUSUN OLEH :

NAMA : Yogi Feby Pebria Bayu Pradana

NIM : 11409719075

TINGKAT : II

SEMESTER : III

AKADEMI KEPERAWATAN KESDAM VI/TANJUNGPURA

BANJARMASIN
2020

LEMBAR PERSETUJUAN

LAPORAN PRAKTIK KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH SINDROM OBSTRUKSI


PASCA TUBERCHOLOSIS DI RSUD dr. H. MOCH ANSARI SALEH DI BANJARMASIN,
TELAH DI SETUJUI OLEH PEMBIMBING LAHANDAN PEMBIMBING AKADEMIK.

Banjarmasin, Desember 2020

Yogi Feby Pebria Bayu Pradana


NIM : 11409719075

Menyetujui

Pembimbing Lahan Pembimbing Akademik

Hj.Asmi.S.Kep.Ners M.Husni,S.Kep.,Ns.,M.Kes
NIP : 19821112206042009 NIK : 1125039101
LAPORAN PENDAHULUAN SOPT

I. KONSEP TEORI
A. Latar Belakang
SOPT yaitu suatu kelainan obstruksi yang berhubungan dengan proses TB
dikenal dengan berbagai nama. Cugger 1955 menyebutnya emfisema obstruksi kronik.
Martin dan Hallet menggunakan istilah emfisema obstruksi difus. Bomberg dan Robin
menyebutnya sebagai emfisema obstruksi difus. Lain halnya dengan Vargha dan
Bruckner yang menyebutnya sindrom ventilasi obstruksi. Oleh Tanuwiharja, kelainan
ini disebutnya sindrom obstruksi difus. Di Unit Paru RSUP Persahabatan
Jakarta, kelainan obstruksi pada penderita TB paru didiagnosis sebagai TB paru
dengan sindrom obstruksi, sedangkan kelainan obstruksi pada penderita bekas TB paru
didiagnosis sebagai obstruksi pasca TB (SOPT). 
Tuberkulosis paru ini juga meninggalkan gejala sisa yang dinamakan Sindrom
Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT) yang cukup meresahkan. Gejala sisa yang paling
sering ditemukan yaitu gangguan faal paru dengan kelainan obstruktif yang memiliki
gambaran klinis mirip Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). Adapun patogenesis
timbulnya SOPT sangat kompleks, dinyatakan pada penelitian terdahulu bahwa
kemungkinan penyebabnya adalah akibat infeksi TB yang dipengaruhi oleh reaksi imun
seseorang yang menurun sehingga terjadi mekanisme makrofag aktif yang
menimbulkan peradangan nonspesifik yang luas. Peradangan yang berlangsung lama
ini menyebabkan gangguan faal paru berupa adanya sputum, terjadinya perubahan pola
pernapasan, rileksasi menurun, perubahan postur tubuh, berat badan menurun dan
gerak lapang paru menjadi tidak maksimal (Irawati, 2013). Berdasarkan wacana dan
permasalahan yang timbul di atas, penulis berniat untuk mengetahui dan mendalami
manfaat dari pemberian modalitas fisioterapi berupa IR, Breathing Exercise, Coughing
Exercise, dan Mobilisasi Sangkar Toraks pada kondisi Sindrom Obstruksi Pasca
Tuberkulosis (SOPT).

B. Anatomi dan Fisiologi


A. Anatomi
a. Hidung
Hidung atau naso atau nasal merupakan saluran udara yang pertama,
mempunyai dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum
nasi). Di dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring
udara,debu, dan kotoran yang masuk ke dalam lubang hidung.
b. Faring
Faring atau tekak merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan
dan jalan makanan, terdapat di bawah dasar tengkorak, dibelakang rongga
hidung, dan mulut sebelah depan ruas tulang leher.
c. Laring
Laring atau pangkal tenggorokan merupakan saluran udara danbertindak
sebagai pembentukan suara, terletak di depan bagian faring
sampaiketinggian vertebra servikal dan masuk ke dalam trakhea di
bawahnya.Pangkal tenggorokan itu dapat ditutup oleh sebuah empang
tenggorokan yangbiasanya disebut epiglotis, yang terdiri dari tulang-tulang
rawan yangberfungsi pada waktu kita menelan makanan menutupi laring.
d. Trakhea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan lanjutan dari laring yang
dibentuk oleh 16 sampai 20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan
yangberbentuk seperti kuku kuda (huruf C) sebelah dalam diliputi oleh
selaputlendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, hanya bergerak ke
arah
e. Bronkus
Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan lanjutan dari trakea, ada 2
buah yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V,
mempunyaistruktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis set yang
sama. Bronkus berjalan ke bawah dan ke samping ke arah tampuk paru-
paru. Bronkuskanan lebih pendek dan lebih besar dari pada bronkus kiri,
terdiri dari 6-8cincin, mempunyai 3 cabang. Bronkus kiri lebih panjang dan
lebih rampingdari yang kanan, terdiri dari 9-12 cincin mempunyai 2 cabang.
Bronkus bercabang-cabang, cabang yang lebih kecil disebut bronkiolus
(bronkioli).
f. Paru-paru
Paru-paru ada dua, merupakan alat pernfasan utama. Paru-paru mengisi
rongga dada. Terletak disebelah kanan dan kiri dan ditengah dipisahkan
olehjantung beserta pembuluh darah besarnya dan struktur lainnya yang
terletakdidalam media stinum. Paru-paru adalah organ yang berbentuk
kerucutdengan apeks (puncak) diatas dan sedikit muncul lebih tinggi
daripadaclavikula didalam dasar leher. Pangkal paru-paru duduk diatas
landau ronggathoraks, diatas diafraghma. Paru-paru mempunyai permukaan
luar yangmenyentuh iga-iga, permukaan dalam yang memutar tampuk
paruparu, sisibelakang yang menyentuh tulang belakang, dan sisi depan
yang menutupsebagian sisi depan jantung. Paru-paru dibagi menjadi
beberapa belahan atau lobus oleh fisura. Paru-paru kanan mempunyai tiga
lobus dan paru-paru kiri dua lobus. Setiap lobus tersusun atas lobula.
Jaringan paru-paru elastis, berpori, dan seperti spons.
Pembagian paru-paru; paru-paru dibagi 2 (dua) :
1) Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru), lobus pulmo
superior, lobus media, dan lobus inferior.
2) Paru-paru kiri, terdiri dari, pulmo sinister lobus superior dan lobus
inferior.

C. Fisiologi
Fungsi paru-paru ialah pertukaran gas oksigen dan karbondoksida. Pada
pernafasan melalui paru-paru atau pernafasan eksterna, oksigendipungut melalui
hidung dan mulut pada waktu bernafas; oksigen masukmelalui trakea dan pipa
bronkial ke alveoli, dan dapat behubungan eratdengan darah didalam kapiler
pulmonaris. Hanya satu lapisan membran,yaitu membran alveoli kapiler, yang
memisahkan oksigen dari darah.Oksigen menembus membran ini dan dipungut
oleh hemoglobin seldarah merah dan dibawa ke jantung. Dari sini dipompa
didalam arterikesemua bagian tubuh.

D. Etiologi
Etiologi penyakit ini belum diketahui, Menurut Muttaqin Arif (2008), penyebab dari
SOPT adalah:
1. Kebiasaan merokok,
2. Adanya infeksi: Haemophilus influenza dan streptococcus pneumonia.
3. Polusi oleh zat-zat pereduksi.
4. Faktor keturunan
5. Lanjutan dari penyakit tubercholosis

E. Tanda dan Gejala


Adapun gejala utama pada pengidap TBC dan SOPT berupa:
1) batuk berdahak
2) sesak napas,
3) penurunan ekspansi sangkar toraks. Gejala lainnya adalah demam tidak tinggi
atau meriang, dan penurunan berat badan (Widoyono, 2005).

F. Patofisiologi dan Pathway


Munculnya sindrom obstruksi pada TB paru yang mengarah ke timbulnya
sindrom pasca TB sangat kompleks; pada penelitian terdahulu dikatakan akibat
destruksi jaringan paru oleh proses TB. Kemungkinan lain adalah akibat infeksi
TB, dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan sehingga menimbulkan
reaksi peradangan nonspesifik yang luas karena tertariknya neutrofil ke dalam
parenkim paru makrofag aktif. Peradangan yang berlangsung lama ini
menyebabkan proses proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk
jangka lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas menuju
kerusakan paru menahun dan mengakibatkan gangguan faal paru yang dapat
dideteksi secara spirometri.
Gangguan faal paru akibat proses tuberkulosis paru berupa kelainan
restriksi dan obstruksi telah banyak diteliti; kelainan yang bersifat obstruksi dan
menetap akan mengarah pada ter- jadinya sindrom obstruksi pasca TB (SOPT).
Destruksi parenkim paru pada emfisema menyebabkan elastisitas berkurang
sehingga terjadi mekanisme ventil yang menjadi dasar terjadinya obstruksi arus
udara. Emfisema kompensasi yang ditemukan pasca reseksi paru dan akibat
atelektasis lobus atas karena TB paru seharusnya tidak obstruktif. McCanel
(2010) pada emfisema karena sekuele TB terjadi destruksi dan dilatasi pada
dinding alveoli hingga bronkiolus terminalis akibat proses fibrosis. Proses
tersebut menyebabkan perubahan permanen dari struktur paru karena
kehilangan elastisitas pada bronkiolus yang menyebabkan gangguan obstruksi
yang ditandai adanya penurunan FEV1.
PATHWAY

G. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya kadang-kadang


meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis baru
mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis
pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai
meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah
limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi.Hasil
pemeriksaan darah lain didapatkan juga : anemia ringan dengan gambaran normokrom
dan normositer, gama globulin meningkat, kadar natrium darah menurun pemeriksaan
tersebut di atas nilainya juga tidak spesifik.
2. Pemeriksaan Sputum

Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan adanya pemeriksaan sputum juga
dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah dapat diberikan.
Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan dilapangan (puskesmas).
Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak
batuk atau batuk yang non produktiv. Dalam hal ini dianjurkan dalam satu hari sebelum
pemeriksaan sputum dianjurkan minum air sebanyak ±2ltr dan diajarkan melakukan
refleks batuk. Dapat juga dengan memberikan tambahan obat-obat mukolitik eks-
pektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20 – 30 menit. Bila
masih sulit , sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi di ambil dengan brushing
atau bronchial washing atau BAL ( broncho alveolar lavage). BTA dari sputum bisa juga
di dapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena
mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan di periksa hendaknya sesegar
mungkin.

3. Tes Tuberkulin

Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis


tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita). Biasanaya dipakai test Mantoux yakni
dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D. (Purfied Protein Derivative) intrcutan
berkekuatan 5 T.U. (intermediate strength). Bila ditakutkan reaksi hebat dengan 5 T.U.
dapat diberikan dulu 1 atau 2 T.U. (first strength. Kadang-kadang bila denga 5 T.U.
masih memberikan hasil negatif dapat diulangi dengan 250 T.U.(second sterngth). Bila
dengan 250 T.U. masih memberikan hasil negatif, berarti tuberkulosis dapat
disingkirkan. Umumnya tes mantuox dengan 5 T.U. saja sudah cukup berarti.Setelah
48-72 jam setelah tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan
yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi seluler dan
antigen tuberkulin. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan antibodi selular dan antigen
tuberkulin amat dipegaruhi oleh antibodi humoral, makin besar pengaruh antibodi
humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan.
H. Prognosis
Prognosis dari SOPT cukup buruk, karena SOPT tidak dapat disembuhakan
secara permanen, 30% penderita dengan sumbatan yang berat akan meninggal
dalam waktu 1 tahun, 95% meninggal dalam waktu 10 tahun. Ini terjadi oleh
kegagalan napas, pneumonia, aritmia jantung, atau emboli paru.

I. .Penatalaksanaan

1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.


2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini
umumnya disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka
digunakan ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman
penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang
memproduksi beta laktamase. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol,
amoksisilin, atau doksisilin pada pasien yang mengalami eksasebrasi akut
terbukti mempercepat penyembuhan dan membantu mempercepat
kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode
eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia,
maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
b. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
c. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
d. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan
adrenergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau
ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer
atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.

3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :

a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4x0,25-


0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafastiap
pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaanobyektif
dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi.

4. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.

5. Mukolitik dan ekspektoran.

6. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe IIdengan
PaO2<7,3kPa (55 mmHg).

II. Konsep Asuhan Keperawatan Pasien SOPT


A. Pengkajian
1. Aktivitas dan istirahat
Gejala :
- Keletihan, kelemahan, malaise.
- Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas.
- Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi.
- Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan.
Tanda :
1. Keletihan.
2. Gelisah, insomnia.
- Kelemahan umum atau kehilangan masa otot.
2. Sirkulasi
Gejala :
Pembengkakan pada ekstrimitas bawah
Tanda :
3. Peningkatan tekanan darah.
4. Peningkatan frekuensi jantung atau takikardia berat atau disritmia.
5. Distensi vena leher atau penyakit berat.
6. Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung.
7. Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan diameter AP dada)
8. Warna kulit atau membrane mukosa normal atau abu-abu atau sianosis, kuku
tabuh dan sianosis perifer.
- Pucat dapat menunjukkan anemia.
3. Integritas Ego
Gejala :
- Peningkatan faktor resiko.
- Perubahan pola hidup.
Tanda :
Ansietas, ketakutan, peka rangsang
4. Makanan atau Cairan
Gejala :
- Mual atau muntah.
- Nafsu makan buruk atau anoreksia (emfisema).
- Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan.
- Penurunan berat badan menetap (emfisema)
5. Hygiene
Gejala :
Penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas
sehai-hari.
Tanda :
Kebersihan buruk, bau badan.
6. Pernafasan
Gejala :
- Nafas pendek, umumnya tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala menonjol
pada emfisema , khususnya pada kerja, cuaca atau episodeberulangnya sulit
nafas (asma), rasa dada tertekan, ketidakmampuanuntuk bernafas (asma).
- Sesak nafas kronis.
- Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari terutama saat bangun
selama minimal 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi
sputum (hijau, putih atau kuning) dapat banyak sekali(bronkhitis kronis).
- Episode batuk hilang-timbul, biasanya tidak produktif pada tahap dini meskipun
dapat menjadi produktif (emfisema).
- Riwayat pneumonia berulang, terpajan oleh polusi kimia atau iritan pernafasan
dalam jangka panjang misalnya rokok sigaret atau debuatau asap misalnya
asbes, debu batubara, rami katun, serbuk gergaji.
- Faktor keluarga dan keturunan misalnya defisiensi alfa antritipsin (emfisema).
- Penggunaan oksigen pada malam hari atau terus menerus
7. Penggunaan oksigen pada malam hari terus menerus
Tanda :
- Pernafasan biasanya cepat, dapat lambat, fase ekspirasi memanjangdengan
mendengkur, nafas bibir (emfisema).
- Lebih memilih posisi 3 titik (tripot) untuk bernafas khususnya
denganeksasebrasi akut (bronchitis kronis).
- Penggunaan otot bantu pernafasan misalnya meninggikan bahu, retraksi fosa
supraklavikula, melebarkan hidung.
- Dada dapat terlihat hiperinflasi dengan peninggian diameter AP (bentuk barrel
chest), gerakan diafragma minimal.
- Bunyi nafas mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema), menyebar,
lembut, atau krekels lembab kasar (bronkhitis), ronki, mengi,sepanjang area
paru pada ekspirasi dan kemungkinan selama inspirasiberlanjut sampai
penurunan atau tak adanya bunyi nafas (asma).
- Perkusi ditemukan hiperesonan pada area paru misalnya jebakan udara
dengan emfisema, bunyi pekak pada area paru misalnya konsolidasi,cairan,
mukosa.
- Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 sampai 5 kata sekaligus.
- Warna pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku. Keabu-abuan keseluruhan,
warna merah (bronkhitis kronis, biru menggembung).Pasien dengan emfisema
sedang sering disebut pink puffer karena warnakulit normal meskipun
pertukaran gas tak normal dan frekuensipernafasan cepat.
- Tabuh pada jari-jari (emfisema).
8. Keamanan
Gejala :
- Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat atau faktorlingkungan.
- Adanya atau berulangnya infeksi.
- Kemerahan atau berkeringan (asma)
9. Seksual
Gejala :
Penurunan libido.
10. Interaksi Sosial
Gejala :
- Hubungan ketergantungan.
- Kurang sistem pendukung.
- Kegagalan dukungan dari atau terhadap pasangan atau orang terdekat.
- Penyakit lama atau kemampuan membaik.
Tanda :
- Ketidakmampuan untuk membuat atau mempertahankan suara karenadistress
pernafasan.
- Keterbatasan mobilitas fisik.
- Kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain.
11. Penyuluhan atau pembelajan
Gejala :
- Penggunaan atau penyalahgunaan obat pernafasan.
- Kesulitan menghentikan merokok.
- Penggunaan alkohol secara teratur.
- Kegagalan untuk membaik.

B. Diagnosa keperawatan
1. Ketidak efektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan retensi secret, mucus
berlebih.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidak seimbangan perfusi
ventilasi.
3. Hipertermi berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme.
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis.
5. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah.
6. Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
7. Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan organisme purulen.
C. Intervensi Keperawatan

No Tujuan dan kriteria hasil Intervensi


1. NOC : NIC:
Setelah diberikan asuhan keperawatan 1. Buka jalan nafas, gunakan teknik
diharapkan bersihan jalan nafas efektif chinlift atau jaw thrust bila perlu
dengan kriteria hasil: 2. Posisikan pasien untuk
1. Mendemonstrasikan batuk efektif memaksimalkan ventilasi
dan suara nafas yang bersih, tidak 3. Identifikasi pasien perlu
ada sianosis dan dyspneu (mampu pemasangan alat bantu nafas
mengeluarkan sputum, mampu buatan
bernafas dengan mudah, tidak ada 4. Pasang mayo bila perlu
pursed lips) 5. Keluarkan secret nafas, catat
2. Menunjukan jalan nafas yang adanya suara tambahan
paten (klien tidak merasa tercekik, 6. Auskultasi suara nafas, catat adanya
irama nafas, frekuensi pernafasan suara tambahan
dalam rentang normal, tidak ada 7. Lakukan suction pada mayo
suara nafas abnormal) 8. Berikan bronkodilator bila perlu
3. Mampu mengidentifikasikan dan 9. Berikan pelembab udara kassa
mecegah faktor yang dapat basah NaCl lembab
menghambat jalan nafas. 10. Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan keseimbangan
11. Monitor respirasi dan status O2
2. NOC : NIC :
Setelah diberikan asuhan keperawatan Airway management
diharapkan gangguan pertukaran gas 1. Buka jalan nafas ,gunakan teknik
teratasi dengan kriteria hasil: chin lift atau jaw thrust bila perlu
1. Mendemonstrasikan peningkatan 2. Posisikan pasien untuk
ventilasi dan oksigenasi yang memaksimalkan ventilasi
adekuat 3. Identifikasi pasien perlu
2. Memelihara kebersihan paru dan pemasangan alat bantu nafas
bebas dari tanda-tanda distress buatan
pernafasan 4. Pasang mayo bila perlu
3. Mendemonstrasikan batuk efektif 5. Keluarkan secret nafas, catat
dan suara nafas yang bersih, tidak adanya suara tambahan
ada sianosis dan dypnea (mampu 6. Auskultasi suara nafas, catat adanya
mengeluarkan sputum, mampu suara tambahan
bernafas dengan mudah, tidak ada 7. Lakukan suction pada mayo
pursed lips) 8. Berikan bronkodilator bila perlu
4. Tanda-tanda vital dalam rentang 9. Berikan pelembab udara kassa
normal basah NaCl lembab
10. Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan keseimbangan
11. Monitor respirasi dan status O2

Repiratory Monitoring:
1. Monitor frekuensi, ritme, kedalaman
pernafasan.
2. Catat pergerakan dada,
kesimetrisan, penggunaan otot
tambahan dan retraksi otot
intracostal.
3. Monitor suara nafas
4. Monitor pola nafas:bradipena,
takipnea, kurssmaul, hiperventilasi,
cheyne stokes, biot
5. Catat lokasi trakea
6. Monitor kelelahan otot diafragma
(gerakan paradoksis)
7. Auskultasi suara nafas, catat area
penurunan/tidak adanya ventilasi
dan suara tambahan
8. Tentukan kebutuhan suction dengan
mengauskultasi crakles dan ronchi
pada jalan nafas utama
9. Auskultasi suara paru setelah
tindakan untuk mengetahui hasilnya

3. NOC : NIC :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan Fever treatment :
selama proses keperawatan 1. monitor suhu sesering mungkin
2. monitor IWL
diharapkan suhu tubuh dalam rentang 3. monitor warnaa dan suhu kulit
normal dengan kriteria hasil : 4. monitor tekanan darah, nadi, dan RR
5. monitor penurunan tingkat
1. suhu tubuh dalam rentang
kesadaran
normal 6. monitor WBC, Hb, dan Hct
2. nadi dan RR dalam rentang 7. monitor intak e dan output
8. berikan antipiretik
normal 9. berikan pengobatan untuk
3. tidak ada perubahan warna kulit mengatasi penyebab demam
10. selimuti pasien
dan tidak ada pusing
11. lakukan tapid sponge
12. kolaborasi pemberian cairan IV
13. kompres pasien pada lipatan paha
dan aksila
14. tingkatkan sirkulasi udara
15. berikan pengobatan untuk
mencegah terjadinya menggigil

Temperature regulation :
1. monitor suhu tiap minimal 2 jam
2. rencanakan monitoring suhu secara
kontinu
3. monitor TD, Nadi, RR
4. monitor warna kulit dan suhu kulit
5. monitor tanda-tanda hipertermi dan
hipotermi
6. tingkatkan intake cairan dan nutrisi
7. selimuti pasien untuk mencegah
hilangnya kehangatan tubuh
8. ajarkan pasien cara mencegah
keletihan akibat panas
9. berikan antipiretik jika perlu

Vital Sign Monitoring


1. monitor TD, Nadi, suhu, dan RR
2. catat adanya fluktuasi tekanan darah
3. monitor VS saat pasien berbaring,
duduk, berdiri
4. auskultasi TD pada kedua lengan
dan bandingkan
5. Monitor TD, Nadi, dan RR sebelum,
selama dan setelah aktivitas
6. Monitor kualitas dari nadi
7. Monitor frekuensi dan irama
pernapsan
8. monitor suara paru
9. monitor pola pernapsan abnormal
10. monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit
11. monitor sianosis perifer
12. monitor adanya cushing triad
(tekanan nadi melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
13. indentifikasi penyebab dari
perubahan vital sign
4. NOC : NIC :
Setelah diberikan asuhan keperawatan 1. Kalikan pengkajian nyeri secara
diharapkan nyeri pasien berkurang konferhensif termasuk lokasi,
dengan kriteria hasil : karakteristik, durasi, frekuensi,
1. Mengenal faktor- faktor penyebab. kualitas dan factor presipitasi.
2. Tindakan pertolongan non 2. Observasi reaksi nonverbal dari
analgetik. ketidaknyamanan.
3. Mengenal onset nyeri. 3. Gunakan teknik komunikasi
4. Menggunakan analgetik. terapiutik untuk mengetahui
5. Melaporkan gejala kepada pengalaman nyeri pasien
perawat. 4. Kaji kultur yang mempengaruhi
6. Nyeri terkontrol. respon nyeri
7. Melaporkan nyeri. 5. Evaluasi pengalaman nyeri pada
8. Frekuensi nyeri. masa lampau
9. Ekspresi wajah. 6. Evaluasi bersama pasien dan tim
10. Lamanya episode nyeri. kesehatan lain tentang ketidak
11. Posisi melindungi tubuh. efektipan cobtrol nyeri masa lampai
12. Perubahan respirasi rote. 7. Bantu pasien dan keluarga untuk
13. Perubahan heart. mencari dan menemukan dukungan
14. Perubahan tekanan darah. 8. Kontrol lingkungan yang dapat
15. Perubahan ukuran pupil. mempengaruhi nyeri seperti suhu
16. Kehilangan nafsu makan. ruangan, pencahayaan dan
kebisingan
9. Kurangi faktor presifitasi nyeri
10. Pilih dan lakukan penanganan nyari
(farmakalogi, non farmakaologi dan
interpersonal)
11. Kaji tipe dan sumbernyeri untuk
menentukan intervensi
12. Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
13. Berikan analgetik untuk mengatasi
nyeri
5. NOC: NIC:
Setelah dilakukan asuhan keperawatan Nutrition Management
selama proses keperawatan 1. Kaji adanya alergi makanan.
diharapkan kebutuhan nutrisi dapat 2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
terpenuhi dengan criteria hasil: menentuka jumlah kalori dan nutrisi
1. Adanya peningkatan berat badan yang dibutuhkan pasien.
sesuai dengan tujuan. 3. Anjurkan pasien untuk meningkatkan
2. Berat badan ideal sesuai dengan Fe.
tinggi badan. 4. Anjurkan pasien untuk meningkatkan
3. Mampu mengidentifikasi protein protein dan vitamin C.
kebutuhan nutrisi. 5. Berikan substansi gula.
4. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi. 6. Yakinkan diet yang dimakan
5. Tidak terjadi penurunan berat mengandung tinggi serat untuk
badan yang berarti. menegah konstipasi.
7. Berikan makanan yang terpilih
(sudah dikonsultasikan dengan ahli
gizi).
8. Ajarkan pasien bagaimana membuat
catatan makanan harian.
9. Monitor jumlah nutrisi dan
kandungan kalori.
10. Berikan informasi tentang kebutuhan
nutrisi.
11. Kajikemampuan pasien untuk
mendapatkan nutrisi yang
dibutuhkan.

Nutrition Monitoring
1. BB pasien dalam batas normal.
2. Monitor adanya penurunan berat
badan.
3. Monitor tipe dan jumlah aktifitas
yang biasa dilakukan.
4. Monitor interaksi anak atau orang
tua selama makan.
5. Monitor lingkungan selama makan.
6. Jadwalkan pengobatandan tindakan
tidak selama jam makan.
7. Monitor kulit kering dan perubahan
pigmentasi.
8. Monitor turgor kulit.
9. Monitor kekeringnan, rambut kusam,
dan mudah patah.
10. Monitor mual dan muntah.
11. Monitor kadar albumin, total protein,
Hb, dan kadar Ht.
12. Monitor makanan kesukaan.
13. Monitor pertumbuhan dan
perkembangan.
14. Monitor pucat, kemerahan, dan
kekeringan jaringan konjungtiva.
15. Monitor kalori dan intake nutrisi.
16. Catat adanya edema, hiperemik,
hipertonik papilla lidah dan cavitas
oral.
17. Catat jika lidah berwarna magenta,
scarlet.

6. NOC : NIC :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan Terapi aktifitas
selama proses keperawatan 1. menentukan penyebab toleransi
diharapkan aktivitas dapat dilakukan aktifitas (fisik, psikologis atau
dengan keriteria hasil : motivasional)
1. Istirahat dan aktivitas seimbang 2. berikan periode aktivitas selama
2. Tidur siang beraktifitas
3. Mengetahui keterbatasan 3. pantau respon kardiopulmonal
energinya setelah melakukan aktifitas dan
4. Menggunakan teknik konservasi sebelum melakukan aktifitas
energi 4. meminimalkan kerja kardiovaskuler
5. Mengubah gaya hidup seusai dengan memberikan posisi tidur ke
dengan tingkat energi posisi setegah duduk
6. Memelihara nutrisi yang adekuat 5. jika memungkinkan tingkatkan
7. Persediaan ebergi cukup untuk aktofitas secara bertahap (dari
beraktifitas. duduk, jalan, aktifitas maksimal)
6. pastikan perubahan posisi klein
Keterangan penilaian NOC : secara bertahap dan monitor gejaa
1. tidak pernah menunjukan dan intoleran aktivitas
2. jarang menunjukan 7. monitor intake nutrisi untuk
3. kadang menunjukan memastikan kecukupan sumber-
4. sering menunjukan sumber energi
5. selalu menunjukan 8. ajarkan kepada klien bagaimana
mengunakan teknik pernafas ketika
Toleransi aktifitas indicator : melakukan aktifitas
1. saturasi aktifitas bdn dalam respon
sktifitas
2. HR dbn dalam merespon aktifitas
3. RR dbn respon aktifitas
4. TD sistolik dbn dalam respon
aktifitas
5. TD distolik dbm dalam respon
aktifitas
6. Kecepatan berjalan
7. Jarang berjalan
8. ADL telah dilakukan
Keterangan penilaian NOC :
1 tidak pernah dilakukan
2 jarang dilakukan
3 kadang dilakukan
4 sering dilakukan
5 selalu dilakukan
7. NOC : NIC :
Setelah dilakukan tindakan Infection Control (Kontrol Infeksi)
keperawatan selama asuhan 1. bersihkan lingkungan setelah dipakai
keperawatan diharapkan penyebab pasien lain
infeksi tidak terjadi dengan kriteria hasil 2. pertahankan teknik isolasi
: 3. batasi pengunjung bila perlu
1. klien bebas dari tanda dan gejala 4. instruksikan pada pengunjung untuk
infeksi mencuci tangan saat berkunjung dan
2. mendeskripsikan proses penularan setelah berkunjung meninggalkan
penyakit, factor yang pasien
mempengaruhi penularan, serta 5. gunakan sabun anti mikroba untuk
penatalaksanaannya mencuci tangan
3. menunjukan kempampuan untuk 6. cucitangan setiap sebelum dan
mencegah timbulnya infeksi sesudah tindakan keperawatan
4. jumlah leukosit dalam batas 7. gunakan baju, sarung tangan
normal sebagai alat pelindung
5. menunjukan perilaku hidup sehat 8. pertahankan lingkungan aseptik
selama pemasangan alat
9. ganti letak IV perifer dan line central
dan dressing sesuai dengan
petunjuk umum
10. tingkatkan intake nutrisi
11. berikan terapi antibiotic bila perlu

Infection protection :
1. monitor tanda dan gejala infeksi
sistemik dan local
2. monitor hitung granulosit, WBC
3. monitor kerentanan terhadap infeksi
4. batasi pengunjung
5. saring pengunjung terhadap
penyakit menular
6. pertahankan teknik aseptic pada
pasien yang beresiko
7. pertahankan teknik isolasi k/p
8. berikan perawatan kulit pada area
epidema
9. inspeksi kondisi luka/insisi bedah
10. dorong masukan nutrisi yang cukup
11. dorong masukan cairan
12. dorong istirahat
13. instruksikan pasien untuk minum
antibiotic sesuai resep
14. ajarkan pasien dan keluarga tanda
dan gejala infeksi
15. ajarkan cara menghindari infeksi
16. laporkan kecurigaan infeksi
17. laporkan kultur positif
DAFTAR PUSTAKA

Amril, Y., 2002. Keberhasilan Directly Observed Therapy (DOT) Pada Pengobatan TB SOPT
Kasus Baru di BP4 Surakarta. Tesis. Jakarta : Bagian Pulmonologi dan Kedokteran
Respirasi FKUI Arikunto, S., 2017.
Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Proses. Rineka Cipta: Jakarta. Aris, M., 2017.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penularan Tuberkulosis Paru di. Yogyakarta: Universitas
Gajah Mada Bahar, A., 2018. Tuberkulosis Paru.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor Soeparman . jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI hal.
715 - 727 Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta, 2019. Data Kasus TB
Paru 2015-2016. Surakarta: BBKPM

Anda mungkin juga menyukai