Anda di halaman 1dari 26

REFLEKSI KASUS ANESTESI

SPINAL ANESTESI

Disusun Oleh :
Graditama Wira Bianglala
42190388
Pembimbing Klinik :
dr. Yos Kresno Wardana, M.Sc, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESI RUMAH SAKIT EMANUEL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2020

1
BAB I
STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Bp. DD
Nomor RM : 0055XXXX
Tanggal lahir : 2 Oktober 2002
Usia : 51 tahun
Alamat : Banjarnegara
Tanggal operasi : 22 Agustus 2020
Ruangan :-

STATUS UMUM
Keadaan umum : Baik, Compos mentis
Tinggi badan : 170 cm
Berat badan : 70 kg
Status Gizi : Baik

KELUHAN
Keluhan utama : Nyeri perut
Riwayat Penyakit Sekarang : DD mengeuhkan nyeri perut sejak bulan februari lalu. BAB
Normal, warna, dan ukuran normal
Skala Nyeri : 5
Riwayat Penyakit Dahulu : Tidak ada riwayat serupa dengan keluhan ini. Pasien tidak
menderita penyakit kronis atau mengkonsumsi obat-obatan
tertentu.
Riwayat penyakit keluarga : Tidak ada keluhan serupa pada keluarga

ASSESMENT PRA ANESTESI


Kebiasaan : Merokok (-), konsumsi kopi,teh (+) dan alkohol(-)
Aktivitas Fisik : Jarang
Sesak saat beraktivitas : (-)
Riwayat minum obat : (-)
2
Riwayat operasi : (-)
Riwayat pembiusan : (-)
Riwayat penyakit berat : (-)
Riwayat alergi obat/makanan : (-)
Kehamilan :-
Pemakaian alat bantu : Kaca mata, gigi palsu, kaki/tangan palsu (-)
Pelepasan aksesoris : Sudah
Puasa 8 jam (Dewasa) : Sudah
Makan-minum terakhir : 10.00 WIB

PEMERIKSAAN FISIK PRA ANESTESI


Keadaan umum : CM
GCS : E4 V5 M6
Tanda vital :

 Tekanan darah : 134/95 mmHg


 Nadi : 89x/menit
 RR : 20x/menit
 Suhu : 36,00C

j
A : airway
Jalan napas : Bebas (tidak menggunakan alat bantu nafas)
Hidung : patensi hidung (+)/ tidak ada sumbatan
Mulut : gigi palsu/goyang/maju/ompong (-)
Lidah : simetris ; ukuran normal
Faring : malapati 1
Mandibula : tidak ada kelainan mandibula

B : Breathing
Respirasi : 20x/menit
Suara nafas : vesikuler
Pergerakan dinding dada : simetris

3
C : Circulation
Tekanan darah : 134/95 mmHg
Nadi : 89x/menit ; adekuat
Saturasi : 99%
CPR : <2 detik
Kondisi akral : hangat

D : Disability
Keadaan umum : Baik
GCS : E4V5M6
Kelainan neurologis : (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

LABORATORIUM

Darah lengkap (24/05/2019)

Hematologi Hasil Rujukan


Hemoglobin 16,7 12-16 g/dl
Lekosit 7,07 4,8 – 10,8 ribu/mm3
Eritrosit 6,08 4,7 – 6,1 juta/mm3
Hematokrit 49,3 (L) 37-47 %
MCV 81,1 79,0 – 99,0 fL
MCH 27,5 27,0 – 31,0 pg
MCHC 33,9 33,0 – 37,0 g/dl
RDW 37,2 35 – 47 fL
Trombosit 394 150 – 450 ribu/mm3
PDW 10,8 9,0 – 13,0 fL
P-LCR 21,8 15,0 – 25,0 %

4
Pemeriksaan Hasil Rujukan
MPV 9,5 7.2 – 11.1 fL
Neutrofil % 56,2 50 – 70 %
Eosinofil % 3,8 2-4 %
Basofil % 0,4 0-1%
Limfosit % 33,9 25 – 40 %
Monosit % 5,7 2-8 %
Clotting time 5 2-6 menit
Bleeding time 3 1-3 menit
Kimia Klinik
Glukosa sewaktu 80 70-115 mg/dl
Kreatinin Darah 0,79 0,6-1,1 mg/dl

1. Pemeriksaan Thoraks :

Tidak ditemukan hasil rontgen thorax di RM

2. Pemeriksaan USG

3. Pemeriksaan EKG

Tidak dilakukan pemeriksaan EKG


KESIMPULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
5
Pemeriksaan Lab normal
Terdapat batu ureter dextra berukuran 1x0,5 cm

KESIMPULAN ASSESMENT PRE OPERASI


Diagnosis Bedah : Peritonitis
Tindakan operasi : Apendiktomy
Status ASA : I , non emergency
Rencana teknik anestesi : Spinal anestesi
Rencana analgetik : inj. Ketorolac 30 mg / iv
ASSESMENT PRA INDUKSI
Identitas pasien benar √
Persetujuan medis telah ditandatangani √
Teknik anestesi sudah ditentukan √
Tensi sistolik antara 90-180 mmHg √
Tensi diastolik antara 50-110 mmHg √
Nadi dewasa antara 50-130 kali per menit √
Laju nafas dewasa 8-35 kali per menit √
Suhu antara 36,5 sampai 39oC √
Saturasi oksigen antara 90-100% √
Jalan nafas bebas/terkontrol √
Nyeri minimal/tidak ada √
PELAKSANAAN ANESTESI
Tanggal operasi : 22 Agustus 2020
Mulai anestesi : 15.15 WIB
Selesai anestesi : 15.20 WIB
Anestesi : Spinal Anestesi
Posisi pasien : Terlentang
Dokter bedah : dr. Samuel Zakharia, Sp.B, MM
Dokter Anestesi : dr.Yos Kresno Wardhana Sp.An, M.Sc

Intra operatif
Keadaan umum : Baik
Subyektif : Pasien merasa nyaman dan siap menjalani operasi
Obyektif : Posisi pasien sudah nyaman
6
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Obat Anestesi :

 Bunascan 20 mg, 4 ml : obat induksi


 Ondansetron 4 mg, 2 ml : obat antiemetik
 Remopain 30 mg, 1 ml : obat analgesik
 Pethidin HCl (50mg/ml) dalam 2 ml (50mg) : obat analgesik

Maintenance : O2 (2,5 lpm)


Infus : RL I (500 cc)
RL As I (500 cc)

Monitoring durante op

No. Pukul Tekanan Darah Nadi


1. 17.15 130/80 mmHg 80 x/menit
2. 17.30 120/70 mmHg 70 x/menit
3. 17.45 110/56 mmHg 60 x/menit
4. 18.00 110/60 mmHg 65x/menit

Pasca operatif (Recovery Room)


Monitoring hemodinamik

No. Pukul Tekanan Darah Nadi


1. 18.15 120/78 mmHg 70 x/menit
2. 18.30 114/90 mmHg 68 x/menit

Bromage score

7
Masuk 3
Keluar 2

Bromage score ≤ 2, boleh pindah ruangan atau 3 dengan TTV baik dan saran dari dokter
anestesi
Bila kesakitan diberi injeksi ketorolac 30 mg/ ml
Mual muntah diberi ondansetron 4 mg/ 2 ml

Follow up pasca operatif


Tanggal : 22 Mei 2019 pukul 08.00
Subyektif : Pasien mengatakan nyeri pada luka operasi, kesemutan pada kaki (-),
kaki kaku (-), BAK (+), mual (-), muntah (-).
Objektif :

 Kesadaran : Compos mentis


 Keadaan umum : Baik
 Tekanan darah : 130/70 mmHg
 HR : 64 x/menit
 RR : 20 x/menit
 Suhu : 36,60 C
 Skala Nyeri :2

Komplikasi spinal (-)


Efek samping spinal (-)

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Anestesi Regional

Anestesi regional merupakan teknik anestesi yang berdasarkan pada satu regio
pada tubuh manusia. Anestesi dengan teknik ini akan menghilangkan rangangan,
namun pasien akan dalam keadaan sadar (Compos Mentis). Metode ini dilakukan
dengan menginjeksikan obat anestesi lokal ke sejumlah sel saraf dengan tujuan untuk
memblok saraf menghantarkan sensasi dan mencegahnya sampai ke otak. Bentuk
anestesi regional dapat berupa anestesi spinal, anestesi epidural, anestesi kaudal dan
kombinasi anestesi spinal-epidural.

Patofisiologi Nyeri

Fisiologi Nyeri Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu
nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas
ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera
jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri : tranduksi,
transmisi, modulasi, dan persepsi. Transduksi adalah suatu proses dimana akhiran
saraf aferen menerjemahkan stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls
nosiseptif.
Ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu serabut A-beta,
A-delta, dan C. Serabut yang berespon secara maksimal terhadap stimulasi non
noksius dikelompokkan sebagai serabut penghantar nyeri, atau nosiseptor. Serabut ini
adalah A-delta dan C. Silent nociceptor, juga terlibat dalam proses transduksi,
merupakan serabut saraf aferen yang tidak bersepon terhadap stimulasi eksternal
tanpa adanya mediator inflamasi.
Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju kornu
dorsalis medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju otak. Neuron
aferen primer merupakan pengirim dan penerima aktif dari sinyal elektrik dan
kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medula spinalis dan selanjutnya
berhubungan dengan banyak neuron spinal.
9
Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related
neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula spinalis, dan
mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor opioid seperti mu, kappa,
dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem nosiseptif juga mempunyai jalur
desending berasal dari korteks frontalis, hipotalamus, dan area otak lainnya ke otak
tengah (midbrain) dan medula oblongata, selanjutnya menuju medula spinalis. Hasil
dari proses inhibisi desendens ini adalah penguatan, atau bahkan penghambatan (blok)
sinyal nosiseptif di kornu dorsalis.
Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi merupakan
hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi, aspek psikologis, dan
karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi
untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri
adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat
yang secaara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga Nociseptor. Secara
anatomis, reseptor nyeri (nociseptor) ada yang bermiyelin dan ada juga yang tidak
bermiyelin dari syaraf aferen.

Anatomi Vertebra
Kolumna vertebralis terdiri dari 33 korpus vertebralis: 7 servikal, 12 torakal, 5
lumbal, 5 sakral dan 4 coccygeus. Kolumna vertebralis mempunyai 4 lekukan, yaitu
lordosis servikalis, kifosis torakalis, lordosis lumbalis dan kifosis sakralis Lekukan
kolumna vertebralis berpengaruh terhadap penyebaran obat analgetika lokal dalam
ruang subarakhnoid. Pada posisi terlentang titik tertinggi pada vertebra lumbal 3 dan
terendah pada torakal.
Untuk mencapai ruang subarachnoid penyuntikan akan menembus kulit,
subkutan, kemudian ligamen interspinosum, ligament flavum, ruang epidural,
duramater, lalu ruang subarachnoid. Jika sudah mencapai ruang subarachnoid akan
ditandai dengan keluarnya liquor cerebrospinalis (LCS). Dalam prosedur anestesi
spinal yang peling utama adalah penentuan daerah penyuntikan.

10
11
Indikasi anestesi spinal
 pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila
mammae ke bawah)
 Bedah ekstremitas bawah
 Bedah panggul
 Tindakan sekitar rektum dan perineum
 Bedah obstetri dan ginekologi
 Bedah urologi
 Bedah abdomen bawah
 Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasi dengan anestesi
umum ringan.
Kontraindikasi Anestesi Spinal

- Kontraindikasi anestesi spinal secara absolute :

 Pasien menolak
 Pasien dengan gangguan koagulasi berat karena dapat menyebabkan perdarahan
subdural dan epidural
 Pasien dengan syok hipovolemik
 Adanya infeksi di daerah suntikan
 Peningkatan TIK
 Fasilitas resusitasi yang minim
 Kurang pengalaman

- Kontraindikasi anestesi spinal relatif :

 Kelainan anatomis tulang belakang


 Kelainan neurologis
 Previous laminektomi
 Nyeri punggung kronik

12
Efek samping anestesi spinal durante op :

 Hipotensi dan segala akibatnya (menggigil, mual muntah, pusing, gelisah)


 Bradikardi
 Sesak napas atau sulit bernapas.

Penanganan :

 Usahakan jalan napas tetap bebas, kadang diperlukan bantuan napas lewat face
mask
 Jika depresi pernapasan makin berat, perlu segera dilakukan intubasi endotrakeal
dan control ventilasi untuk menjamin oksigenasi yang adekuat
 Bantuan sirkulasi dengan dekompresi jantung luar diperlukan bila terjadi henti
jantung
 Pemberian cairan kristaloid 10-20 ml/kgBB diperlukan untuk mencegah hipotensi
 Jika hipotensi tetap terjadi atau jika pemberian cairan yang agresif harus dihindari
maka pemberian vasopresor merupakan pilihan seperti adrenalin dan sulfas
atropin

Komplikasi post op anestesi spinal:

 Defisit neurologis
 Retensi urin
 Nyeri radikuler saraf
 PDPH (Post Dural Puncher Headache)

PDPH merupakan komplikasi iatrogenik dari anestesi spinal yang diakibatkan dari
tusukan atau robekan pada duramater yang menyebabkan terjadinya kebocoran pada
liquor cerebrospinal (LCS). Tanda dan gejala yang ditimbulkan dari PDPH
merupakan akibat keluarnya LCS dari celah yang terbentuk pada penusukan jarum
spinal yang mengakibatkan terjadinya traksi pada komponen-komponen intrakranial
13
dan refleks vasodilatasi serebral. Postdural Puncture Headache mengakibatkan nyeri
kepala yang dirasakan terletak di frontal dan oksipital menjalar ke leher dan bahu
yang diperberat pada posisi berdiri dan membaik pada posisi berbaring. Nyeri kepala
pada PDPH merupakan salah satu bentuk nyeri pasca operasi yang dapat dinilai
dengan Visual Analogue Scale (VAS). Pasien yang mengalami PDPH juga
mengalami gejala yang terkait dengan nyeri kepala yaitu mual, muntah, gangguan
pendengaran dan penglihatan. Umumnya nyeri kepala muncul dalam dua hari pertama
setelah anestesi spinal dan sembuh secara spontan dalam beberapa hari.

Tahap persiapan :

 Informed consent
 Pemeriksaan fisik

Status fisik dinyatakan dalam status ASA (American Society of Anesthesiologist) dibagi
menjadi beberapa tingkatan yaitu

- ASA 1

Pasien normal (sehat), tidak ada gangguan organik, fisiologis, atau kejiwaan, tidak termasuk
sangat muda dan sangat tua.

- ASA 2

Pasien memiliki kelainan sistemik ringan (misal : hipertensi, riwayat asma, diabetes mellitus
terkontrol)

- ASA 3

Pasien dengan kelainan sistemik berat terdapat beberapa keterbatasan fungsional, memiliki
penyakit lebih dari satu sistem tubuh atau satu sistem utama yang terkendali, tidak ada
bahaya kematian, gagal jantung kongestif terkontrol, angina stabil, serangan jantung tua,
hipertensi tidak terkontrol, obesitasi morbid, gagal ginjal kronis, penyakit bronkospastik
dengan gejala intermiten

- ASA 4

14
Pasien dengan kelainan sistemik berat dan incapacitance (misalnya pasien dengan gagal
jantung derajat tiga dan hanya bisa berbaring di tempat tidur saja). Pasien dengan setidaknya
satu penyakit berat yang tidak terkontrol atau pada tahap akhir, kemungkinan risiko kematian,
angina tidak stabil, PPOK bergejala, gejala CHF, kegagalan hepatorenal

- ASA 5

Pasien yang dengan atau tanpa operasi diperkirakan meninggal dalam 24 jam atau tidak
diharapkan untuk hidup lebih dari 24 jam tanpa operasi, risiko besar akan kematian,
kegagalan multiorgan, sindrom sepsis dengan tidak kestabilan hemodinamik, hipotermia, dan
koagulopati tidak terkontrol

- ASA 6

Mati batang otak untuk donor organ

 Pemeriksaan laboratorium (cek darah rutin, EKG, foto thorax)

Teknik Anestesi Spinal

4 P anestesi spinal :

 Preparation

Mempersiapkan pasien, alat dan obat anestesi

 Position

Memposisikan pasien saat injeksi anestesi spinal sesuai dengan kondisi pasien yaitu
lateral decubitus, duduk atau tengkurap

 Projection and Puncture

Ada 2 pendekatan untuk mengakses ruang subarachnoid :


15
- Teknik Median (metode midline)

Tulang belakang dipalpasi dan posisi tubuh pasien diatur agar tegak lurus
dengan lantai. Ini untuk memastikan jarumnya dimasukkan secara paralel dengan
lantai dan akan tetap pada posisi garis tengah walaupun penusukan lebih dalam.
Processus spinosus vertebrae di lokasi yang akan digunakan dipalpasi, dan akan
menjadi tempat memasukkan jarum. Setelah mempersiapkan dan menganestesi kulit,
jarum dimasukkan ke garis tengah. Mengingat bahwa arah processus vertebra
mengarah ke bawah, maka setelah jarum masuk langsung diarahkan perlahan ke arah
cephalad. Jaringan subkutan akan memberikan sedikit tahanan terhadap jarum.
Setelah dimasukkan lebih dalam, jarum akan memasuki ligamen supraspinal dan
interspinal, yang akan terasa meningkat kepadatan jaringannya. Jarum juga terasa
lebih kuat tertanam.Jika terasa jarum memnyentuh tulang, berarti jarum mengenai
bagian bawah processus spinosus. Kontak dengan tulang pada tusukan yang lebih
dalam menunjukkan bahwa jarum pada posisi garis tengah dan menyentuh processus
spinosus atas atau berada di posisi lateral dari garis tengah dan mengenai lamina.
Dalam kasus seperti ini jarum harus diarahkan kembali. Saat jarum menembus
ligamentum flavum, akan terasa tahanan yang meningkat. Pada titik inilah prosedur
anestesi spinal dan epidural dibedakan.Pada anestesi epidural, hilangnya tahanan tiba-
tiba menandakan jarum menembus ligamentum flavum dan memasuki ruang
epidural.Untuk anestesi spinal, jarum dimasukkan lagi hingga menembus
membran dura-subarachnoid dan ditandai dengan adanya aliran LCS. 

-
-
-
-
-
-

Teknik (metode)  Paramedian
16
Penusukan kulit untuk teknik paramedian dilakukan 2 cm lateral ke prosesus
spinosus superior dari tingkat yang ditentukan. Karena teknik lateral ini sebagian
besar menembus ligamen interspinous dan otot paraspinous, jarum akan menghadapi
perlawanan kecil pada awalnya dan mungkin tidak tampak berada di jaringan
kuat. Jarum diarahkan dan lanjutan pada 10-25° sudut ke arah garis tengah.
Identifikasi ligamentum flavum dan masuk ke dalam ruang epidural  sering kali lebih
halus dibanding dengan teknik median. Jika tulang dijumpai pada kedalaman yang
dangkal dengan teknik paramedian, jarum kemungkinan bersentuhan dengan bagian
medial lamina yang lebih rendah dan harus diarahkan terutama ke atas dan sedikit
lebih lateral. Di sisi lain, jika tulang yang ditemukan lebih dalam, jarum
biasanya  kontak dengan bagian lateral lamina yang lebih rendah dan harus diarahkan
hanya sedikit ke atas, lebih ke arah garis tengah

Gambar Teknik anestesi spinal median dan paramedian

Langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal adalah sebagai berikut.

1. Setelah dimonitor,tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri


bantal kepala,selain enak untuk pasienjuga supaya tulang belakang stabil. Buat
pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain
adalah duduk.
2. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan
pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.

17
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml.

5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G
dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan
jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan
jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah,
untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala
pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar
likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan
(0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap
baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak
keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
kontinyu dapat dimasukan kateter.

6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
(wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ±
6cm.

Gambar 3.Posisi penyuntikan anestesi spinal.

18
Obat Anestesi
1. Bupivakain
Bupivakain telah banyak digunakan pada blok subrakhnoid untuk operasi
abdominal bawah. Bupivakain dibedakan menjadi 2 jenis menurut berat jenis obat
menjadi bupivakain isobarik dan hiperbarik. Bupivakain hiperbarik memiliki berat
jenis lebih tinggi dari pada CSF sehingga bupivakain akan cenderung turun dan
menetap pada vertebra di bawah lokasi penyuntikan. Bupivakain isobarik akan
menetap pada vertebra lokasi penyuntikan.
Pemberian bupivakain isobarik, biasanya menggunakan konsentrasi 0,5%,
volume 3-4 ml dan dosis total 15-20 mg, sedangkan bupivakain hiperbarik diberikan
dengan konsentrasi 0,5%, volume 2-4 ml dan total dosis 15-22,5 mg. Bupivakain
dapat melewati sawar darah tetapi hanya dalam jumlah kecil. Sifat dari bupivakain
selain dari kerjanya yang panjang adalah sifat blockade motorisnya yang lemah.
Bupivakain juga mempunyai lama kerja yang lebih panjang dari lignokain karena
mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mengikat protein. Untuk
menghilangkan nyeri pada persalinan, dosis sebesar 30 mg akan memberikan rasa
bebas nyeri selama 2 jam disertai blokade motoris yang ringan. Analgesik paska
bedah dapat berlangsung selama 4 jam atau lebih, sedangkan pemberian dengan
tehnik anestesi kaudal akan memberikan efek analgesik selama 8 jam atau lebih. Pada
dosis 0,25 – 0,375 % merupakan obat terpilih untuk obstetrik dan analgesik paska
bedah. adalah 175 mg. Dosis rata-ratanya 3 – 4 mg / kgBB.

Farmakokinetik Bupivakain
Obat bupivakain segera setelah penyuntikan subarakhnoid akan mengalami
penurunan konsentrasi dengan secara bertahap karena terjadinya: dilusi dan
pencampuran di liquor serebro spinalis, difusi dan distribusi oleh jaringan saraf,
uptake dan fiksasi oleh jaringan saraf, absorbsi dan eliminasi oleh pembuluh darah.
Didalam ruang subarakhnoid obat akan kontak dengan struktur jaringan saraf dan obat
ini akan memblokade transmisi impuls serabut-serabut saraf. Aktivitas anestesi lokal
dalam ruang subarakhnoid yang penting di akar-akar saraf di medula spinalis
(primer), ganglia dorsalis dan sinap-sinap di kornu anterior dan posterior (sekunder)
dan traktus asenden dan desenden parenkim di medula spinalis.dengan konsentrasi
yang terbesar, dan secara klinis akan terjadi suatu regresi analgesik dari atas ke bawah

19
menuju daerah dengan konsentrasi terbesar. Bupivakain memilki onset kerja 5-10
menit setelah penyuntikan, dan memiliki durasi kerja panjang 90-120 menit
Efek samping anestesi spinal yang sering terjadi adalah hipotensi dan
bradikardi. Biasanya terjadi 5 menit setelah anestesi spinal. Selain itu setelah 45 menit
pemberian bupivakain 0,5% isobarik akan terjadi penurunan tekanan darah dan
penurunan denyut jantung. Disamping itu mual-muntah, blokade spinal tinggi,
keracunan, menggigil, retensi urin, post dural puncture headache dan henti jantung
dapat juga terjadi.

2. Ketorolac
Ketorolac merupakan suatu obat NSAID yang menunjukan efek analgesia dan
memiliki aktifitas antiinflamasi. Obat ini biasa digunakan pasca pembedahan baik
secara tunggal maupun dengan opioid. Ketorolac 30 mg IM menghasilkan analgesia
yang sebanding dengan 10 mg morfin atau 100 mg petidin.Keuntungan ketorolac
sewaktu induksi adalah tidak adanya depresi pada kardiovaskular maupun pernapasan.

Farmakokinetik

Setelah injeksi IM, maximum plasma concentration tercapai pada 45-60 menit.
Onset of action adalah 10 menit dan efek puncak dicapai dalam 2-3 jam. Ketorolac
menghambat enzim prostaglandin synthetase secara reversible. Bleeding time dapat
meningkat pada pemberian ketorolac intra vena dosis tunggal pada pasien yang
mendapat anestesi spinal (blok stinggi Th 6). Bronskospasme yang mengancam jiwa
dapat terjadi setelah pemberian ketorolac pada pasien nasal polyposis,asma, dan
sensitive aspirin.
3. Ondansetron
Ondansetron adalah golongan antagonis reseptor serotonin (5-HT3)
merupakan obat yang selektif menghambat ikatan serotonin dan reseptor 5-HT3.
Obat-obat anestesi akan menyebabkan pelepasan serotonin dari sel-sel mukosa
enterochromafin dan dengan melalui lintasan yang melibatkan 5-HT3 dapat
merangsang area postrema menimbulkan muntah. Pelepasan serotonin akan diikat
reseptor 5-HT3 memacu aferen vagus yang akan mengaktifkan refleks muntah.
Serotonin juga dilepaskan akibat manipulasi pembedahan atau iritasi usus yang
merangsang distensi gastrointestinal (Pranowo, 2006). Efek antiemetik ondansetron
terjadi melalui Blokade sentral pada area postrema (CTZ) dan nukleus traktus
20
solitarius melalui kompetitif selektif di reseptor 5-HT3, lalu memblok reseptor perifer
pada ujung saraf vagus yaitu dengan menghambat ikatan serotonin dengan reseptor
pada ujung saraf vagus.
Efek Samping Keluhan yang umum ditemukan ialah konstipasi. Gejala lain
dapat berupa sakit kepala,, mengantuk, gangguan saluran cerna, nyeri dada, susah
bernapas, dll). Metabolismenya di dalam hati secara hidroksilasi dan konjugasi
dengan glukoronida atau sulfat dan di eliminasi cepat didalam tubuh, waktu paruhnya
adalah 3-4 jam pada orang dewasa sedangkan pada anak-anak dibawah 15 tahun
antara 2-3 jam, oleh karena itu ondansetron baik diberikan pada akhir
pembedahan.Dosis Ondansetron 4-8 mg IV sangat efektif untuk menurunkan kejadian
PONV (post Operative Nausea and Vomitus ). Sebagai profilaksis dosis 1-8 mg IV
sangat efektif dalam penanganan PONV (Katzung,2010).

4. Pethidin hcl

Meperidin HCl yang biasa dikenal dengan nama petidin, merupakan salah satu
obat penghilang rasa sakit golongan narkotik. Petidin merupakan narkotika sintetik
derivat fenilpiperidinan dan terutama berefek terhadap susunan saraf pusat.
Mekanisme kerja petidin menghambat kerja asetilkolin (senyawa yang berperan
dalam munculnya rasa nyeri) yaitu pada sistem saraf serta dapat mengaktifkan
reseptor, terutama pada reseptor µ, dan sebagian kecil pada reseptor kappa.
Penghambatan asetilkolin dilakukan pada saraf pusat dan saraf tepi sehingga rasa
nyeri yang terjadi tidak dirasakan oleh pasien.
Efeknya terhadap SSP adalah menimbulkan analgesia, sedasi, euphoria,
depresi pernafasan serta efek sentral lain. Efek analgesik petidin timbul lebih cepat
daripada efek analgetik morfin, yaitu kira-kira 10 menit setelah suntikan subkutan
atau intramuskular, tetapi masa kerjanya lebih pendek, yaitu 2–4 jam. Absorbsi
petidin melalui pemberian oral maupun secara suntikan berlangsung dengan baik.
Obat ini mengalami metabolism di hati dan diekskresikan melalui urin. Efek samping
yang ditimbulkan oleh petidin antara lain sakit kepala ringan, kepala terasa berputar,
mual, muntah, gangguan aliran darah, gangguan koordinasi otot serta gangguan
jantung. Efek samping yang tidak terlalu parah dapat berupa kesulitan buang air besar
(konstipasi), kehilangan nafsu makan, mual, muntah, sakit kepala dan mulut terasa
kering serta keringat berlebihan.
21
Obat ini juga dapat menimbulkan efek alergi berupa kemerahan, gatal dan
bengkak pada daerah sekitar tempat penyuntikan. Gejala alergi ini dapat
bermanifestasi parah, seperti kesulitan bernafas, bengkak pada wajah, bibir dan lidah,
serta tenggorokan.

Pengawasan di recovery room :

 Monitoring hemodinamik
 Monitoring keadaan fisik pasien
 Mengisi bromage score

Jika bromage score 2 dapat dipindahkan ke bangsal.

BAB III
PEMBAHASAN

Pada pasien Bpk. DD, apendiktomy dengan menggunakan teknik anestesi spinal.
Sebelum dilakukan dilakukan tindakan anestesi diperlukan asessment (anamnesis ,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium) pasien pre-operation. Setelah itu pasien
dipasang infus dan di bawa ke ruang operasi. Pasien termasuk dalam ASA I kondisi pasien
tersebut sehat organik, fisiologik, psikiatrik, dan biokimia. Indikasi penggunaan anestesi
spinal pada pasien yang akan dilakukan apendiktomy ini karena pembedahan dilakukan pada
daerah yang dipersrafi oleh T11-S2. Apendik terletak pada regio abdomen kuadran kanan
bawah sehingga anestesi dilakukan hanya untuk memblok saraf nyeri pada abdomen (L3-L4).
Kemudian durasi operasi yang tidak terlalu lama, pada pemeriksaan fisik dan penunjang tidak
ditemukan kelainan yang membuat tindakan anestesi spinal menjadi kontraindikasi.
Keuntungan dari anestesi spinal ini adalah anestesi spinal cepat untuk dilakukan, dan
memiliki kualitas yang lebih baik dalam blokade saraf sensoris dan motoris.
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya stadium
pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi untuk
mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi. Obat induksi yang
digunakan pada anestesi ini adalah Bupivacain. Bupivakain bekerja dalam ruang
subarakhnoid dengan memblokade transmisi impuls serabut-serabut saraf teknik yang

22
dilakukan pada anestesi ini adalah penyuntikan median yaitu dengan menyuntikan dibagian
tengah vertebra. Dosis bupivacaine yang digunakan adalah Bunascan 20 mg. Kemudian
untuk maintenance selama operasi, digunakan O2. Selama perjalanan operasi, pasien
mengeluhkan menggigil sehingga diberikan pethidin 50 mg (obat analgesi). Pethidin
(meperidin) merupakan analgesia golongan Opioid yang memiliki sifat unik yaitu
menurunkan shivering pasien pada dosis minimal 25 mg/intravena. Pethidin sebanyak 1
ampul (2 ml) berisi 50 mg /ml diencerkan dengan aquades sampai 10 cc, kemudian diberikan
3 cc disuntikan iv untuk analgesia post-operatif dan menurunkan shivering/menggigil.
Pada Anastesi Spinal pasien operasi dalam keadaan sadar. Selama operasi, banyak hal
yang perlu yang diperhatikan, yang pertama kali, apakah pasien cemas, apakah pasien merasa
malu karna teknik operasi menggunakan teknik spinal yang tidak dilakukan pembiusan
seluruh badan. Jika iya, pasien bisa diberikan sedacum 0.1% sebanyak 1 ampul, kemudian
pasien akan tertidur. Kemudian operasi akan dilaksanakan, dan perlu diperhatikan
bagaimana, tensi, nadi, dan saturasi oksigen apakah sudah cukup atau belum. Kita perhatikan
jika tensi terus turun, bisa kita berikan ephidrin 1 ml yg terlebih dahulu akan di encerkan
kedalam 10 cc dan diberikan 2 cc setiap tensi pasien turun, boleh dilihat reaksi nya dan
diamati selama 10 menit. Kemudian untuk pasien yang tampak kedinginan karena pengaruh
suhu ruangan juga karena pengaruh cairan masuk yang diberikan melalui infus dan obat
obatan, dapat diberikan pethidin 1 ampul (2ml) yang sebelumnya akan di encerkan terlebih
dahulu. Jika saturasi oksigennya kurang dari 95%, perhatikan lagi kesediaan oksigen dan
berikan pasien oksigen melalui nasal canul 2-3liter/menit.
Setelah operasi hampir selesai, medikasi yang diberikan yaitu ondansetron (obat anti
mual- muntah) dan ketorolac 3% (obat analgesi). Ondansetron 4 mg/2 ml diberikan sebagai
sebagai pasca operasi. Ondansetron merupakan suatu antagonis reseptor serotonin 5-HT3
selektif yang diindikasikan sebagai pencegahan dan pengobatan mual dan muntah pasca
bedah. Ondansetron sangat efektif untuk menurunkan kejadian PONV (Post Operative
Nausea and Vomitus). Pelepasan 5HT3 ke dalam usus dapat merangsang refleks muntah
dengan mengaktifkan serabut aferen vagal lewat reseptornya. Ondansetron diberikan pada
pasien ini untuk mencegah mual dan muntah yang bisa menyebabkan aspirasi. Sediaan
injeksi 4mg dan 8mg. Sedangkan pemberian pada kasus ini adalah 4 mg dan untuk
pemberiannya adalah maksimal 8mg/hari. Ketorolac merupakan analgesik golongan NSAID
yang biasanya dipakai untuk mengatasi nyeri pasca-operasi. Cara kerja golongan NSAID
adalah mengatasi dengan mencegah pembentukan prostaglandin. Sebagai analgetik

23
digunakan Ketorolac sebanyak 1 ampul (1 ml) berisi 30 mg/ml, disuntikan iv untuk terapi
pasca operasi.
Setelah selesai dilakukan operasi maka pasien dipindahkan ke Recovery Room(RR),
dalam RR pasien dilakukan monitoring hemodinamik (tensi, nadi, respirasi, saturasi O2,
suhu tubuh) dan juga penghitungan Bromage score, untuk menyatakan layak atau tidaknya
pasien untuk pindah ke ruang bangsal/rawat. Skor Bromage jika nilainya ≤ 2 maka pasien
boleh pindah ke bangsal. Pasien dalam kasus ini memiliki skor Bromage 3 pada saat masuk,
dan 2 pada saat keluar. Evaluasi post operatif juga wajib dilakukan dengan mengunjungi
pasien di bangsal, untuk mencari adanya kemungkinan efek samping anestesi spinal seperti
mual, muntah, sakit kepala, atau sesak nafas ataupun komplikasinya yaitu hipotensi, hipoksia,
kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, mual muntah, nyeri kepala setelah operasi,
retansi urine dan kerusakan saraf permanen.

BAB IV
KESIMPULAN

Telah dilakukan operasi terhadap pasien dengan diagnosa Apendisitis – ASA 1,


dilakukan metode anestesi spinal. Efek samping yang ditemukan selama jalannya operasi
pasien yang tampak kedinginan yang kemudian diberkan pethidine. Dengan pengawasan
di recovery room, pasien bisa dipindahkan ke bangsal di rawat untuk pemulihan.

24
DAFTAR PUSTAKA

Bogra, Arora, Srivastava. Synergistic Effect of Intrathecal Fentanyl and Bupivacaine in


Spinal Anaesthesia for Cesarean Section.BioMed Central Journal.Vol 5. 2005.
Available at website :http://www.biomedcentral.com\

Campbell, NJ. Effective Management of The Post Dural Puncture Headache. Anaesthesia
Tutorial of The Week 181. 2010. Available at website
http://www.totw.anaesthesiologists.org
Dobridnjov, I., etc. Clonidine Combined With Small-Dose Bupivacaine During Spinal
Anesthesia For Inguinal Herniorrhaphy: A Randomized Double-Blind Study. Anesth
Analg 2003;96:1496-1503.
Dobson, M. B.1994.Anestesi Spinal dalam Buku Penuntun Praktis Anestesi.EGC. Jakarta.
Hocking G. Spinal anaesthetic spread.2006
Katzung, B. 2010.Farmakologi dasar dan klinik ed. 10.EGC. Jakarta.

Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI

Mansjoer, Arif. dkk. Anestesi spinal. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran edisi III hal.261-
264. 2000. Jakarta.
Miller, RD.2011. Anesthesia for obstetrics.Miller’s anesthesia ed. 6. United Kingdom:
Elsevier Churchill livingstone.
Morgan GE. 2013. Clinical Anesthesiology: 54th Edition.
Snell RS. Clinical Anatomy: 7thedition. Philadelphia: Wolters Kluwer Health; 2010
Stamtiou, G.2009. The Effect of Hyperbaric Versus Isobaric Spanal Bupivacaine on Sensory
and Motor Blockade Post Operative Pain and Analgesic Requiretments for Turp.
Syarif, Amir. Et al. Kokain dan Anestetik Lokal Sintetik. Dalam: Farmakologi dan Terapi
edisi 5 hal.259-272. 2007. Gaya Baru, jakarta.
The New York School of Regional Anesthesia.Spinal anesthesia. 2013. (Diakses dari
http://www.nysora.com/techniques/neuraxial-and-perineuraxialtechniques/landmark-
based/3423-spinal-anesthesia.html).

25
26

Anda mungkin juga menyukai