disebut sebagai difusi. Arah dari aliran solute ini ditentukan oleh konsentrasi
masing- masing sisi membrane, sehingga solute bergerak dari sisi dengan
konsentrasi tinggi ke sisi yang konsentrasinya lebih rendah. Pada zaman dulu
peritoneal dialisis dilakukan secara intermiten, dimana pasien harus melakukan
pergantian cairan secara rutin setiap 8 jam atau lebih (biasanya sepanjang
malam), 3 atau 4 kali seminggu. Sejumlah mesin otomatis telah dikembangkan
untuk membantu agar proses dialisis menjadi lebih sederhana dan lebih mudah.7
Kemudian pada tahun 1976 diperkenalkan salah satu tehnik peritoneal
dialisis yaitu continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), dan langsung
dapat diterima sebagai terapi alternative untuk pasien dengan gagal ginjal. 8
Continuous pada CAPD ini berarti bahwa cairan dialisat selalu berhubungan
4
dengan membrane peritoneum, kecuali pada saat penggantian cairan dialisat.
diganti secara periodik ketika konsentrasi dari produk buangan (waste product)
meningkat. Waste product ini berdifusi dari darah pasien melewati membran
peritoneum dan masuk ke rongga abdomen. Dekstrosa atau gula pada cairan
dialisat akan menarik air melalui proses osmosis dari tubuh menuju ke rongga
peritoneum. Karena sejumlah dekstrosa diserap melalui proses difusi masuk ke
dalam tubuh pasien dan karena konsentrasi dekstrosa di dalam rongga peritoneum
menurun karena penambahan air, maka pergerakan cairan juga menurun dan
pada saat inilah diperlukan penggantian cairan dialisat.7
Proses penggantian cairan dialisat ini diulang 3 sampai 5 kali sehari, pada
umumnya 4 kali sehari. Proses penggantian cairan dialisat ini harus menggunakan
tehnik aseptik untuk mencegah terjadinya kontaminasi cairan dialisat. Untuk
mencapai akses ke peritoneum digunakan alat berupa tube kecil atau kateter yang
dimasukkan secara bedah ke dalam rongga abdomen. Karena menggunakan
insisi yang kecil dan prosedur pemasangan yang cepat, maka lebih baik dan lebih
aman menggunakan anestesi lokal daripada anestesi umum. Kateter harus keluar
dari abdomen di sisi samping pasien dan jauh dari belt line.4
Ada beberapa metode untuk memasukkan kateter peritoneal dialisis,
yaitu open dissection, blind percutaneus placement dengan trokar Tenckhoff,
blind percutaneus placement dengan guidewire (tehnik Seldinger), penempatan
minitrokar
Gambar 3. Letak kateter Tenchkoff dan exit site pada pasien CAPD
V. Cairan Dialisat
Ada 3 macam konsentrasi cairan dialisat dalam CAPD, yaitu dekstrose
1,5%, dekstrose 2,5% (hipertonik), dan dekstrose 4,25% (hipertonik). Dekstrose
1,5% dapat menarik cairan sebanyak 200-400 mL dan digunakan untuk pasien
dehidrasi atau pasien dengan berat badan turun. Dialisat ini mengandung 110
kalori. Dekstrose 2,3% yang mengandung 180 kalori dapat menarik cairan
sebanyak 400-600 mL dan umumnya digunakan pada pasien overload atau
kelebihan cairan, sedangkan dekstrose 4,25 % dapat menarik cairan sebanyak
600-800 mL dan juga digunakan untuk pasien overload. Dialisat dengan
konsentrasi 4,25% ini mengandung 250 kalori.10
Komposisi cairan dialisat terdiri dari natrium 132 meq/L, kalium 0 meq/L,
klorida 96 meq/L, kalsium 3,5 meq/L, magnesium 0,5 meq/L, laktat 40 meq/L
dan pH berkisar 5,2. Sebelum digunakan sebaiknya cairan dialisat dihangatkan
terlebih dahulu secara pemanasan kering misalnya dengan cara diletakkan di
atas bantalan atau selimut listrik atau dibungkus di dalam selimut dengan tujuan
agar mencapai suhu normal atau sama dengan suhu tubuh pasien.2
manual dimana dibutuhkah koordinasi yang baik antara mata dan tangan
dan juga fisik yang kuat. Setelah tube terhubung ke kantong dialisat yang baru,
kantong tersebut harus diletakkan di atas abdomen pasien sehingga dialisat yang
baru dapat mengalir ke dalam rongga peritoneum pasien secara gravitasi. Proses
ini dikenal dengan istilah infusion. Setelah semua cairan dialisat masuk ke rongga
peritoneum pasien melepaskan tube dari kantong dialisat tersebut dan pasien bisa
beraktifitas seperti biasa. Keseluruhan proses penggantian cairan dialisat ini
membutuhkan waktu sekitar 20 sampai 30 menit.
Penggantian cairan dialisat ini pada umumnya berlangsung 4 kali sehari,
yaitu pada pagi hari, kemudian siang hari, sore hari dan sebelum waktu tidur.
Untuk efisiensi yang maksimum, dwell time yaitu waktu saat cairan dialisat
berada di abdomen, sebaiknya paling sedikit 4 jam. Selama dialisat berada dalam
abdomen, pasien selalu dalam kondisi didialisis. Oleh karena itu, pembuangan
waste product dan air berlangsung secara gradual dan kontinu. Proses ini hampir
mendekati fungsi ekskresi dari ginjal normal.7,11
lokal resistensi anti-biotik. Tidak ada data tentang efektivitas skrining rutin dan
pemberantasan Staphylococcus aureus nasal carriage sebelum pemasangan kateter
dikaitkan dengan kejadian peritonitis yang secara signifikan lebih rendah, tetapi
hitung jenis, pewarnaan Gram, dan biakan setiap kali peritonitis dicurigai. 16
proporsional. 17
Untuk cakupan gram positif, beberapa penelitian membandingkan
sefalosporin generasi pertama dengan rejimen berbasis glikopeptida. Ketika dianalisis
secara keseluruhan, rejimen berbasis glikopeptida menghasilkan tingkat
penyembuhan lengkap yang lebih tinggi, tetapi tidak ada perbedaan dalam tingkat
kegagalan pengobatan primer, kambuh, atau pengangkatan kateter. Sebuah tinjauan
sistematis mencatat bahwa hasilnya sangat dipengaruhi oleh 1 studi, di mana dosis
cefazolin secara substansial lebih rendah dari rekomendasi saat ini. Penelitian lain
tidak menemukan perbedaan dalam tingkat penyembuhan untuk vankomisin dan
cefazolin
ketika dosis cephalosporin yang tepat digunakan. Meskipun demikian,
beberapa unit PD memiliki tingkat organisme resisten methicillin yang tinggi dan
vankomisin lebih baik untuk cakupan gram positif empiris , meskipun masih
kontroversial penggunaan empiris vankomisin secara rutin.
Untuk cakupan organisme gram negatif, penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa aminoglikosida (misalnya gentamisin atau netilmicin),
ceftazidime, cefepime, atau carbapenem semuanya efektif. Cefepime memiliki
kemampuan bagus melawan bakteri gram positif dan dapat digunakan sebagai
monoterapi. Fluoroquinolones juga dapat digunakan jika didukung oleh pola
kerentanan antimikroba lokal. Untuk pasien yang alergi terhadap sefalosporin,
aztreonam juga merupakan alternatif yang mungkin. Dalam studi terkontrol secara
acak, IP netilmicin dan ceftazidime memiliki kemanjuran yang sama untuk cakupan
gram-negatif empiris. Pengobatan aminoglikosida jangka pendek tidak mahal, aman,
dan memberikan cakupan gram negatif yang baik. Tidak ada bukti bahwa pengobatan
jangka pendek aminoglikosida mempercepat penurunan fungsi ginjal. Namun,
pengobatan aminoglikosida yang berulang atau berkepanjangan (lebih dari 3 minggu)
chlorhexidine pada port obat selama 5 menit sebelum penyisipan jarum melalui port.2
Table 3. Dosis antibiotic intraperitoneal untuk terapi peritonitis
didinginkan. Cefepime stabil selama 14 hari jika cairan dialisat didinginkan. 22,23
Pada pasien juga diberikan heparin 500 unit / L IP untuk mencegah oklusi
kateter oleh fibrin. Tergantung pada tingkat keparahan gejala, beberapa pasien akan
membutuhkan analgesik untuk mengontrol rasa sakit. Pada presentasi awal dan
sebelum antibiotik IP dimulai, 1 atau 2 pertukaran PD cepat sering dilakukan untuk
menghilangkan rasa sakit, meskipun tidak ada data yang mendukung pendekatan ini.
Sebuah uji coba terkontrol secara acak menunjukkan bahwa lavage peritoneal cepat
yang lebih ekstensif selama 24 jam pertama peritonitis tidak mempengaruhi tingkat
penyembuhan atau kekambuhan total dibandingkan dengan praktek yang biasa dari 2
peritoneum berkepanjangan.25
Algoritma manajemen untuk cocci gram positif dan basil gram negatif yang
diidentifikasi dalam dialysis effluent diringkas dalam Gambar 2 dan 3. Dalam 48 jam
setelah memulai terapi, sebagian besar pasien dengan peritonitis terkait PD akan
menunjukkan perbaikan klinis yang cukup besar. Efluen harus diperiksa secara visual
secara teratur untuk menentukan apakah sudah jernih. Jika tidak ada perbaikan
setelah
48 jam, jumlah sel dan kultur ulang har us dilakukan.
Selain itu, pemantauan jumlah WBC di efluen PD dapat memprediksi respons
pengobatan. Sebuah penelitian retrospektif menunjukkan bahwa dialisis effluent
WBC count ≥ 1.090 / mm3 pada hari ke 3 adalah penanda prognostik independen
ke PD.29
2.6. Peritonitis Tuberkulosa
Meskipun gejala klasik demam, sakit perut, dan cairan keruh dapat terjadi
dengan peritonitis tuberkulosis, diagnosis harus dipertimbangkan pada setiap pasien
panjang dan harus dihindari. Ethambutol dikaitkan dengan risiko tinggi neuritis optik
pada pasien dialisis dan harus digunakan dengan pengurangan dosis yang tepat. 30
2.7. Pengangkatan Dan Re-Insersi Kateter
kembali ke PD . 31
Ada beberapa data tentang durasi optimal antara pengangkatan kateter untuk
peritonitis dan re-insersi kateter baru. Studi observasional menunjukkan periode
minimal 2 sampai 3 minggu, meskipun beberapa akan merekomendasikan waktu
yang lebih lama untuk re-insersi pada kasus peritonitis jamur. Re-insersi kateter baru
harus dilakukan dengan pendekatan laparoskopi atau mini-laparotomi sehingga adhesi
dapat divisualisasikan secara langsung. Masalah ultrafiltrasi umum terjadi setelah
kembali ke PD. Sebagian kecil pasien dengan peritonitis terkait PD , dapat terjadi
koleksi cairan intra-abdominal berulang yang membutuhkan drainase perkutan setelah
pengangkatan kateter. Kesempatan berhasil kembali ke PD sangat rendah pada
kelompok pasien ini, dan konversi langsung ke hemodialisis jangka panjang harus
dipertimbangkan. 31
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Ghali JR, Bannister KM, Brown FG, Rosman JB, Wiggins KJ, Johnson DW,
McDonald SP. Microbiology and outcomes of peritonitis in Australian
peritoneal dialysis patients. Perit Dial Int 2011; 31:651–62
2. Piraino B, Bernardini J, Brown E, Figueiredo A, Johnson DW, Lye WC, et al.
ISPD position statement on reducing the risks of peritoneal dialysisrelated
infections. Perit Dial Int 2011; 31:614–30.
3. Krediet RT. 30 Years of peritoneal dialysis development: the past and the
future. Peritoneal Dialysis I nternational 2007; 27: 2
4. Piraino B. Today’s approaches to prevent peritonitis. Contrib Nephrol 2012;
178:246– 50.
5. van Diepen AT, Tomlinson GA, Jassal SV. The association between exit site
infection and subsequent peritonitis among peritoneal dialysis patients. Clin J
Am Soc Nephrol 2012; 7:1266–71.
6. Gadallah MF, Ramdeen G, Mignone J, Patel D, Mitchell L, Tatro S. Role of
preoperative antibiotic prophylaxis in preventing postoperative peritonitis in
newly placed peritoneal dialysis catheters. Am J Kidney Dis 2000; 36:1014–9.
7. Eklund B, Honkanen E, Kyllonen L, Salmella K, Kala AR. Peritoneal dialysis
access: prospective randomized comparison of single-cuff and double-cuff
straight Tenckhoff catheters. Nephrol Dial Transplant 1997; 12:2664–6.
8. Daly C, Cody JD, Khan I, Rabindranath KS, Vale L, Wallace SA. Double bag
or Y- set versus standard transfer systems for continuous ambulatory
peritoneal dialysis in end-stage kidney disease. Cochrane Database Syst Rev
2014; 8:CD003078.
9. Cho Y, Johnson DW, Badve SV, Craig JC, Strippoli GF, Wiggins KJ. The
impact of neutral-pH peritoneal dialysates with reduced glucose degradation
products on clinical outcomes in peritoneal dialysis patients. Kidney Int 2013;
84:969–7
10. Aykut S, Caner C, Ozkan G, Ali C, Tugba A, Zeynep G, et al. Mupirocin
application at the exit site in peritoneal dialysis patients: five years of
experience. Ren Fail 2010; 32:356–61.
11. Ellis EN, Blaszak C, Wright S, Van Lierop A. Effectiveness of home visits to
pediatric peritoneal dialysis patients. Perit Dial Int 2012; 32:419–23
12. Yip T, Tse KC, Lam MJ, Cheng SW, Lui SL, Tang S, et al. Risks and
outcomes of peritonitis after flexible colonoscopy in CAPD patients. Perit
Dial Int 2007; 27:560– 4.
13. Broughton A, Verger C, Goffin E. Pets-related peritonitis in peritoneal
dialysis: companion animals or Trojan horses? Semin Dial 2010; 23:306–16
14. Rudnicki M, Kerschbaum J, Hausdorfer J, Mayer G, Konig P. Risk factors for
peritoneal dialysis-associated peritonitis: the role of oral active vitamin D.
Perit Dial Int 2010; 30:541–8.
15. Restrepo C, Chacon J, Manjarres G. Fungal peritonitis in peritoneal dialysis
patients: successful prophylaxis with fluconazole, as demonstrated by
prospective randomized control trial. Perit Dial Int 2010; 30:619–25
16. Rocklin MA, Teitelbaum I. Noninfectious causes of cloudy peritoneal
dialysate. Semin Dial 2001; 14:37–40
17. Ballinger AE, Palmer SC, Wiggins KJ, Craig JC, Johnson DW, Cross NB, et
al. Treatment for peritoneal dialysis-associated peritonitis. Cochrane Database
Syst Rev 2014; 4:CD005284
18. Lui SL, Cheng SW, Ng F, Ng SY, Wan KM, Yip T, et al. Cefazolin plus
netilmicin versus cefazolin plus ceftazidime for treating CAPD peritonitis:
effect on residual renal function. Kidney Int 2005; 68:2375–80.
19. Tokgoz B, Somdas MA, Ucar C, Kocyigit I, Unal A, Sipahioglu MH, et al.
Correlation between hearing loss and peritonitis frequency and administration
of ototoxic intraperitoneal antibiotics in patients with CAPD. Ren Fail 2010;
32:179–84
20. Lye WC, Lee EJ, van der Straaten J. Intraperitoneal vancomycin/oral
pefloxacin versus intraperitoneal vancomycin/gentamicin in the treatment of
continuous ambulatory peritoneal dialysis peritonitis. Perit Dial Int 1993;
13(Suppl 2):S348–50.
21. Boyce NW, Wood C, Thomson NM, Kerr P, Atkins RC. Intraperitoneal (IP)
vancomycin therapy for CAPD peritonitis—a prospective, randomized
comparison of intermittent v continuous therapy. Am J Kidney Dis 1988;
12:304–6.
22. de Vin F, Rutherford P, Faict D. Intraperitoneal administration of drugs in
peritoneal dialysis patients: a review of compatibility and guidance for clinical
use. Perit Dial Int 2009; 29:5–15. 327.
23. Dooley DP, Tyler JR, Wortham WG, Harrison LS, Starnes WF Jr, Collins
GR, et al. Prolonged stability of antimicrobial activity in peritoneal dialysis
solutions. Perit Dial Int 2003; 23:58–62
24. Ejlersen E, Brandi L, Lokkegaard H, Ladefoged J, Kopp R, Haarh P. Is initial
(24 hours) lavage necessary in treatment of CAPD peritonitis? Perit Dial Int
1991; 11:38– 42.
25. Chow KM, Szeto CC, Kwan BC, Pang WF, Ma T, Leung CB, et al.
Randomized controlled study of icodextrin on the treatment of peritoneal
dialysis patients during acute peritonitis. Nephrol Dial Transplant 2014;
29:1438–43.
26. Chow KM, Szeto CC, Cheung KK, Leung CB, Wong SS, Law MC, et al.
Predictive value of dialysate cell counts in peritonitis complicating peritoneal
dialysis. Clin J Am Soc Nephrol 2006; 1:768–73.
27. Choi P, Nemati E, Banerjee A, Preston E, Levy J, Brown E. Peritoneal
dialysis catheter removal for acute peritonitis: a retrospective analysis of
factors associated with catheter removal and prolonged postoperative
hospitalization. Am J Kidney Dis 2004; 43:103–11.
28. Burke M, Hawley CM, Badve SV, McDonald SP, Brown FG, Boudville N, et
al. Relapsing and recurrent peritoneal dialysis-associated peritonitis: a
multicenter registry study. Am J Kidney Dis 2011; 58:429–36.
29. Basturk T, Koc Y, Unsal A, Ahbap E, Sakaci T, Yildiz I, et al. Fungal
peritonitis in peritoneal dialysis: a 10-year retrospective analysis in a single
center. Eur Rev Med Pharmacol Sci 2012; 16:1696–1700.
30. Abraham G, Mathews M, Sekar L, Srikanth A, Sekar U, Soundarajan P.
Tuberculous peritonitis in a cohort of continuous ambulatory peritoneal
dialysis patients. Perit Dial Int 2001; 21(Suppl 3):S202–4.
31. Troidle L, Gorban-Brennan N, Finkelstein FO. Outcome of patients on
chronic peritoneal dialysis undergoing peritoneal catheter removal because of
peritonitis. Adv Perit Dial 2005; 21:98–101.
32. Troidle, L. and F. Finkelstein. Treatment and outcome of CPD-associated
peritonitis. Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobials 2006; 5(1): 6