Anda di halaman 1dari 30

TINJAUAN PUSTAKA

I. Renal Replacement Therapy (RRT)


I.a. Indikasi
Renal replacement therapy (RRT) diindikasikan ketika akumulasi
produk- produk buangan dari ginjal sudah mengganggu fungsi kehidupan atau
ketika perubahan-perubahan yang timbul akibat tidak berfungsinya ginjal tidak
dapat lagi dikontrol dengan diet atau obat-obatan. Penurunan fungsi ginjal yang
progresif menuju ke gagal ginjal terminal atau end stage renal disease (ESRD)
disebut sebagai chronic kidney disease (CKD). Perawatan yang tepat ditujukan
untuk memperlambat progresifitas CKD, yaitu dengan mengontrol faktor-faktor
yang diketahui berpengaruh pada morbiditas dan mortalitas dari gagal ginjal,
dan persiapan yang tepat untuk memulai RRT sejak pasien diketahui menderita
CKD.1
Waktu yang tepat untuk memulai dialisis pasien tidak dapat
didefinisikan secara jelas. Banyak nefrologis yang memutuskan untuk memulai
dialysis berdasarkan hasil data laboratorium dan penilaian subjektif terhadap
pasien. Sampai saat ini, kebanyakan pasien yang memerlukan intervensi dialisis
terdapat penurunan glomerular filtration rate (GFR) di bawah 10 mL per menit.
Tetapi ada beberapa pasien yang tampak sehat sampai GFR mencapai 5 mL per
menit. Secara umum pasien dengan diabetes memerlukan intervensi yang lebih
awal (GFR kurang dari 15 mL per menit) dibandingkan dengan pasien yang
penyebab gagal ginjalnya bukan karena diabetes. Dialisis harus dimulai sebelum
muncul gejala uremia.1 Bila sudah muncul gejala uremia maka akan timbul
beberapa gangguan elektrolit dan cairan, sisitem endokrin, sistem
neuromuskuler, kardiovaskuler dan pulmonum, dermatologi, gastrointestinal,
serta gangguan dari sistem hematologi dan imunologi. Gangguan elektrolit dapat
berupa hipernatremi atau hiponatremi, hiperkalemia, asidosis metabolik,
hiperfosfatemia, dan hipokalsemia. Pada umumnya hiperkalemia tidak akan
menimbulkan gejala klinik yang signifikan sampai GFR turun di bawah 10
mL/menit. Hiperkalemia pada pasien ESRD juga dapat dipicu oleh turunnya pH
karena asidosis metabolik akan mengakibatkan effluks kalium dari intraseluler
ke ekstraseluler.2
1
I.b. Jenis RRT
Ada beberapa jenis RRT, yaitu hemodialisis, peritoneal dialisis, dan
transplantasi ginjal. Dari beberapa pilihan terapi tersebut, transplantasi ginjal
berhasil meningkatkan kualitas hidup yang tertinggi.4 Hal ini karena tehnik
dialisis hanya menggantikan 10 sampai 15% dari fungsi ginjal normal pada
tingkat small-solute removal dan kurang efisien pada pembuangan solute yang
lebih besar. Kriteria secara umum untuk memasukkan pasien dengan dialisis
meliputi adanya sindrom uremik, adanya hiperkalemia yang tidak respon dengan
terapi konservatif, peningkatan volume ekstraseluler, asidosis yang refrakter
terhadap terapi medikamentosa, bleeding diathesis, dan klirens kreatinin kurang
dari 10 mL/menit per 1,73 m2. Ada konsensus yang mengatakan bahwa pasien
dengan ESRD seharusnya diawali dengan dialisis sejak dini.2
Pilihan terapi yang tersedia untuk pasien gagal ginjal tergantung pada
onsetnya, akut atau kronik. Pada gagal ginjal kronik atau ESRD pilihan terapi
meliputi hemodialisis; peritoneal dialisis seperti continuous ambulatory
peritoneal dialysis (CAPD), intermitten peritoneal dialysis (IPD), dan continuous
cyclic peritoneal dialysis (CCPD); atau dengan transplantasi.5 Meskipun terdapat
variasi geografik, hemodialisis masih merupakan modalitas terapi yang paling
umum untuk ESRD. Pilihan antara hemodialisis dan peritoneal dialisis
melibatkan peran serta dari beberapa faktor yang meliputi umur pasien, adanya
kondisi komorbid, kemampuan untuk mengadakan prosedurnya, dan pengertian
pasien sendiri tentang terapi. Pada peritoneal dialisis tidak dibutuhkan heparin
seperti pada hemodialisis, oleh karena itu peritoneal dialisis merupakan pilihan
yang baik pada pasien dengan bleeding diathesis. Kelebihan CAPD yang lain
lebih fleksibel, mudah digunakan dan tehniknya sederhana, toleransi
hemodinamik lebih baik, dan hanya membutuhkan sedikit pembatasan diet.4

II. Definisi CAPD


Peritoneal dialisis merupakan suatu proses dialisis di dalam rongga perut
yang bekerja sebagai penampung cairan dialisis dan peritoneum sebagai membran
semipermeabel yang berfungsi sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang
berlebihan dan solute yang berisi racun ureum yang akan dibuang.6 Peritoneal
dialysis ini secara prinsip mirip dengan hemodialisis. Keduanya sama-sama
tergantung pada pergerakan pasif dari air dan solute melewati membrane
semipermeabel. Proses ini

disebut sebagai difusi. Arah dari aliran solute ini ditentukan oleh konsentrasi
masing- masing sisi membrane, sehingga solute bergerak dari sisi dengan
konsentrasi tinggi ke sisi yang konsentrasinya lebih rendah. Pada zaman dulu
peritoneal dialisis dilakukan secara intermiten, dimana pasien harus melakukan
pergantian cairan secara rutin setiap 8 jam atau lebih (biasanya sepanjang
malam), 3 atau 4 kali seminggu. Sejumlah mesin otomatis telah dikembangkan
untuk membantu agar proses dialisis menjadi lebih sederhana dan lebih mudah.7
Kemudian pada tahun 1976 diperkenalkan salah satu tehnik peritoneal
dialisis yaitu continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), dan langsung
dapat diterima sebagai terapi alternative untuk pasien dengan gagal ginjal. 8
Continuous pada CAPD ini berarti bahwa cairan dialisat selalu berhubungan
4
dengan membrane peritoneum, kecuali pada saat penggantian cairan dialisat.

Gambar 1. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)

III. Prinsip dan Tehnik CAPD


Tehnik dari CAPD ini lebih sederhana dan sudah ada beberapa alat yang
dikembangkan untuk mempermudah proses penggantian cairan dialisat. Pada
CAPD ini, rongga abdomen/peritoneum pasien selalu terisi cairan dialisat yang
merupakan cairan khusus yang terdiri dari elektrolit dan dekstrosa. Cairan dialisat
ini perlu

diganti secara periodik ketika konsentrasi dari produk buangan (waste product)
meningkat. Waste product ini berdifusi dari darah pasien melewati membran
peritoneum dan masuk ke rongga abdomen. Dekstrosa atau gula pada cairan
dialisat akan menarik air melalui proses osmosis dari tubuh menuju ke rongga
peritoneum. Karena sejumlah dekstrosa diserap melalui proses difusi masuk ke
dalam tubuh pasien dan karena konsentrasi dekstrosa di dalam rongga peritoneum
menurun karena penambahan air, maka pergerakan cairan juga menurun dan
pada saat inilah diperlukan penggantian cairan dialisat.7

Gambar 2. Prinsip CAPD

Proses penggantian cairan dialisat ini diulang 3 sampai 5 kali sehari, pada
umumnya 4 kali sehari. Proses penggantian cairan dialisat ini harus menggunakan
tehnik aseptik untuk mencegah terjadinya kontaminasi cairan dialisat. Untuk
mencapai akses ke peritoneum digunakan alat berupa tube kecil atau kateter yang
dimasukkan secara bedah ke dalam rongga abdomen. Karena menggunakan
insisi yang kecil dan prosedur pemasangan yang cepat, maka lebih baik dan lebih
aman menggunakan anestesi lokal daripada anestesi umum. Kateter harus keluar
dari abdomen di sisi samping pasien dan jauh dari belt line.4
Ada beberapa metode untuk memasukkan kateter peritoneal dialisis,
yaitu open dissection, blind percutaneus placement dengan trokar Tenckhoff,
blind percutaneus placement dengan guidewire (tehnik Seldinger), penempatan
minitrokar

dengan peritoneoskopi (Y-TEC) atau laparoskopi, tehnik Moncrief-Popovich, dan


kateter presternal (merupakan modifikasi Swan neck Missouri coil catheter
yang terdiri dari 2 tube silikon).9 Meskipun ada beberapa tehnik pemasangan
kateter peritoneal dialisis, tetapi hampir tidak ada perbedaan dari masing-masing
tehnik tersebut dalam hal insiden terjadinya komplikasi peritonitis. ISPD 1998
mengeluarkan International Guidelines mengenai prinsip pemasangan kateter
peritoneal dialisis, yaitu kateter harus dipasang oleh operator yang
berpengalaman dan kompeten; tempat masuk peritoneal harus di sebelah lateral
atau paramedian untuk fiksasi yang baik dan mencegah terjadinya hernia dan
kebocoran cairan dialisat; deep cuff sebaiknya berada dalam otot dari dinding
abdomen depan atau ruang peritoneal; subkutaneus cuff diletakkan dekat dengan
permukaan kulit dan jaraknya minimal 2 cm dari exit site; dan selalu cek
patensi dari kateter; bagian kateter intra abdominal harus diletakkan di antara
lapisan viseral dan parietal mengarah ke kavum Dauglas.

IV. Pemasangan Kateter Peritoneal Dialisis


Keberhasilan penempatan kateter adalah hal yang paling utama, karena
alat tersebut bersifat permanen. Komplikasi yang berhubungan dengan kateter
termasuk infeksi exit site dan tunel telah diidentifikasi sebagai kegagalan tehnik
yang diperkirakan 1/3 dari kegagalan peritoneal dialisis dan harus kembali ke
hemodialisa. Penanganan yang baik, penempatan kateter yang tepat dan
perawatan kateter awal akan mengurangi komplikasi tersebut.
Sehari sebelum operasi pasien menjalani hemodialisis terlebih dahulu.
Letak exit site sebaiknya ditentukan lebih dulu serta diberi tanda. Letak exit site
sebaiknya pada posisi lateral dan ditempatkan di atas atau di bawah garis
pinggang dan sebaiknya tidak pada bekas luka atau di bawah lipatan lemak. Satu
jam sebelum operasi disarankan pemberian antibiotika 1 gram cephalosporin
generasi pertama dan 2x0,5 gram yang masing-masing diberikan 8 jam dan 12
jam kemudian. Alternatif lain dapat juga diberikan 1 gram vancomycin intra
vena 24 jam sebelum operasi. Anestesi diberikan secara lokal dengan lidocain 2%
subkutan tanpa epinefrin. Meskipun anestesi lokal sudah cukup, namun perlu
menghubungi dokter anestesi untuk mencegah komplikasi.
Jarak 2 cm dari bawah umbilikus arah ke kanan atau ke kiri dibuat insisi
transverse paramedian 3 cm sampai ke rektus fascia anterior. Kemudian rektus
fascia anterior disayat secara transversal untuk mendapatkan otot rektus. Setelah
didapatkan

rektus fascia posterior dan menyayatnya akan didapatkan selaput peritoneum


dimana selaput peritoneum ini harus dijaga agar tidak terjadi robekan. Kemudian
ditempatkan 2 klem di atas rectus fascia posterior pada daerah sayatan sehingga
terbentuk lobang selebar diameter kateter. Kateter dimasukkan secara kaudal ke
arah pelvik minor untuk memungkinkan terjadinya gravitasi pada waktu drain.
Pergerakan kateter selama dialisa sangat diharapkan karena posisi tersebut
mengoptimalkan pada waktu cairan masuk atau keluar. Cuff internal ditempatkan
di dalam setara dengan otot rektus. Dengan tehnik Purse string peritoneum
ditutup dengan pas menggunakan benang yang dapat diserap di bawah cuff.
Untuk mengurangi insiden terjadinya infeksi dibuat tunnel dengan
menggunakan tunneller, dimana sebaiknya tunel ini berada di dinding abdomen
di bawah kulit. Selanjutnya kateter akan melalui tunel dan keluar pada exit site
dan mengarah ke bawah. Cuff eksternal sebaiknya ditempatkan sedalam jaringan
lemak di bawah fascia scarpa minimal 2 cm di bawah exit site. Penempatan ini
akan membantu mencegah infeksi serta ekstrusi cuff eksternal. Setelah kateter
keluar pada exit site, luer lock adaptor dipasang dan dihubungkan dengan
ekstension line dan dicek fungsi kateter yaitu dengan mencoba memasukkan
sejumlah cairan dialisat untuk mengetahui posisi kateter serta ada tidaknya
kebocoran. Jika kateter telah terpasang dengan tepat, pemasukan cairan tidak
akan memberikan rasa sakit serta cairan dapat keluar dengan lancar. Setelah letak
kateter dianggap tepat, luka operasi dijahit lapis demi lapis. Untuk meminimalkan
pergerakan kateter dari exit site sebaiknya difiksasi. Hal ini juga berguna untuk
mencegah ekstrusi cuff eksternalserta mempercepat proses penyembuhan.
Pemberian antibiotika pada exit site tidak diperlukan karena dikhawatirkan akan
terjadi resistensi. Perawatan luka operasi yang tepat merupakan metode terbaik
pencegahan infeksi.
Meskipun proses dialisa dapat segera dilakukan, namun lebih baik
menundanya untuk 1-3 hari dengan tujuan agar terjadi proses penyembuhan luka
operasi yang lebih baik. Jika dialisa mendesak untuk dilakukan, dapat dikerjakan
pada pasien dengan posisi terlentang serta volume minimal (500 mL). Idealnya
CAPD ditunda sampai 10-14 hari setelah pemasangan kateter. Pada masa ini
pasien perlu dilakukan hemodialisa atau intermiten peritoneal dialisa.9

Gambar 3. Letak kateter Tenchkoff dan exit site pada pasien CAPD

V. Cairan Dialisat
Ada 3 macam konsentrasi cairan dialisat dalam CAPD, yaitu dekstrose
1,5%, dekstrose 2,5% (hipertonik), dan dekstrose 4,25% (hipertonik). Dekstrose
1,5% dapat menarik cairan sebanyak 200-400 mL dan digunakan untuk pasien
dehidrasi atau pasien dengan berat badan turun. Dialisat ini mengandung 110
kalori. Dekstrose 2,3% yang mengandung 180 kalori dapat menarik cairan
sebanyak 400-600 mL dan umumnya digunakan pada pasien overload atau
kelebihan cairan, sedangkan dekstrose 4,25 % dapat menarik cairan sebanyak
600-800 mL dan juga digunakan untuk pasien overload. Dialisat dengan
konsentrasi 4,25% ini mengandung 250 kalori.10
Komposisi cairan dialisat terdiri dari natrium 132 meq/L, kalium 0 meq/L,
klorida 96 meq/L, kalsium 3,5 meq/L, magnesium 0,5 meq/L, laktat 40 meq/L
dan pH berkisar 5,2. Sebelum digunakan sebaiknya cairan dialisat dihangatkan
terlebih dahulu secara pemanasan kering misalnya dengan cara diletakkan di
atas bantalan atau selimut listrik atau dibungkus di dalam selimut dengan tujuan
agar mencapai suhu normal atau sama dengan suhu tubuh pasien.2

VI. Penggantian Cairan Dialisat


Pada saat proses penggantian cairan dialisat pasien harus ditempatkan
pada tempat yang tenang dan bersih untuk mencegah kemungkinan kontaminasi.
Setelah cuci tangan dengan bersih dan menyiapkan beberapa alat, pasien mulai
untuk mengalirkan solute lama yang sudah berada di rongga peritoneum secara
gravitasi keluar dari rongga abdomennya. Proses ini disebut sebagai drain dan
biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 menit.
Langkah selanjutnya adalah melepas tube dari kantong dialisat lama dan
menghubungkan tube ke kantong dialisat yang baru. Proses ini dapat dilakukan
secara

manual dimana dibutuhkah koordinasi yang baik antara mata dan tangan
dan juga fisik yang kuat. Setelah tube terhubung ke kantong dialisat yang baru,
kantong tersebut harus diletakkan di atas abdomen pasien sehingga dialisat yang
baru dapat mengalir ke dalam rongga peritoneum pasien secara gravitasi. Proses
ini dikenal dengan istilah infusion. Setelah semua cairan dialisat masuk ke rongga
peritoneum pasien melepaskan tube dari kantong dialisat tersebut dan pasien bisa
beraktifitas seperti biasa. Keseluruhan proses penggantian cairan dialisat ini
membutuhkan waktu sekitar 20 sampai 30 menit.
Penggantian cairan dialisat ini pada umumnya berlangsung 4 kali sehari,
yaitu pada pagi hari, kemudian siang hari, sore hari dan sebelum waktu tidur.
Untuk efisiensi yang maksimum, dwell time yaitu waktu saat cairan dialisat
berada di abdomen, sebaiknya paling sedikit 4 jam. Selama dialisat berada dalam
abdomen, pasien selalu dalam kondisi didialisis. Oleh karena itu, pembuangan
waste product dan air berlangsung secara gradual dan kontinu. Proses ini hampir
mendekati fungsi ekskresi dari ginjal normal.7,11

VII. Komplikasi Infeksi dan Penanganannya


Infeksi terkait kateter peritoneal dialisis (PD) adalah a faktor predisposisi utama
untuk peritonitis terkait PD . Tujuan utama mencegah dan mengobati infeksi terkait
kateter adalah untuk mencegah peritonitis.

Komplikasi yang berhubungan dengan CAPD secara umum dapat dibagi


menjadi 3 kategori yaitu mekanik, medis, dan infeksi. Komplikasi mekanik terdiri
dari aspek tehnik sistem dialisat. Komplikasi yang berhubungan dengan kateter
dapat terjadi. Misalnya nyeri pada exit site yang disebabkan karena gerakan yang
berlebihan dari kateter karen perlekatan yang tidak adekuat pada dinding
abdomen. Hal ini juga dapat mengakibatkan kebocoran cairan dialisat di sekitar
exit site dan memungkinkan terjadinya infeksi di jaringan sekitarnya. Nyeri intra
abdomen juga dapat disebabkan karena instilasi cairan dialisat yang terlalu cepat
sehingga menyebabkan jet effect. Komplikasi mekanik lainnya meliputi sumbatan
atau tertekuknya kateter. Hal ini dapat diperbaiki dengan melakukan revisi atau
repair dari kateter.4

2.1. Angka Kejadian Peritonitis

Sebagai bagian dari program peningkatan kualitas secara berkesinambungan,


unit PD harus melakukan monitoring angka kejadian peritonitis, sekurangnya setahun
sekali dalam bentuk jumlah episode per pasien per tahun. Monitoring tersebut
meliputi angka kejadian peritonitis secara keselurahan, angka kejadian peritonitis
berdasarkan mikroorganisme penyebab, persentase pasien yang bebas peritonitis dan
kepekaan antimicrobial dalam mengobati peritonitis.

Dilakukan monitoring terhadap setiap episode peritonitis yang berkembang


setelah pemasangan kateter dan sebelum pelatihan PD dimulai. Episode peritonitis
yang berkembang saat pasien dirawat di rumah sakit dan PD yang dilakukan oleh
perawat juga harus dihitung. Selama perhitungan, hanya episode peritonitis yang
berkembang dari hari pertama pelatihan PD harus dihitung, sementara episode
kambuh seharusnya hanya dihitung sekali. Selain tingkat peritonitis keseluruhan,
pemantauan harus mencakup mikroorganisme penyebab peritonitis dan kepekaan
obat dari organisme yang menginfeksi, sehingga dapat membantu untuk merancang
rejimen antibiotik empiris yang spesifik. Dengan informasi ini, intervensi dapat
diimplementasikan saat angka kejadian peritonitis meningkat atau terlalu tinggi.4

2.2. Pencegahan Peritonitis

Exit-site dan catheter-tunnel infection adalah faktor predisposisi utama untuk


peritonitis terkait PD. Banyak strategi pencegahan bertujuan untuk mengurangi
kejadian infeksi saluran keluar dan saluran keluar, dan uji klinis di area ini sering

melaporkan angka kejadian peritonitis sebagai hasil sekunder. 5


ISPD merekomendasikan penggunaan antibiotika profilaksis sesaat sebelum
dilakukan insersi kateter. Ada 4 uji acak, terkontrol pada penggunaan perioperatif
intravena (IV) cefuroxime, gentamisin, vankomisin, dan cefazolin dibandingkan
dengan tidak ada pengobatan profilaksis. Tiga dari mereka menunjukkan bahwa
antibiotik perioperatif mengurangi kejadian peritonitis awal, sementara 1 yang
menggunakan cefazolin dan gentamisin tidak menemukan manfaat. Vancomycin dan
cefazolin dibandingkan head-to-head dalam 1 studi, menunjukkan bahwa vankomisin
lebih efektif daripada cefazolin. Meskipun sefalosporin generasi pertama mungkin
sedikit kurang efektif daripada vankomisin, namun masih umum digunakan karena
kekhawatiran mengenai resistensi vankomisin. Setiap program PD harus menentukan
pilihan antibiotiknya sendiri untuk profilaksis setelah mempertimbangkan spektrum

lokal resistensi anti-biotik. Tidak ada data tentang efektivitas skrining rutin dan
pemberantasan Staphylococcus aureus nasal carriage sebelum pemasangan kateter

(misalnya oleh mupirocin intranasal). 6


Selain antibiotik profilaksis, berbagai teknik penempatan kateter telah diuji.
Sebuah tinjauan sistematis menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan
dalam tingkat peritonitis antara teknik-teknik ini. Begitu juga terhadap jenis kateter,
tidak ada data memperlihatkan mengenai efek desain dan konfigurasi PD kateter pada
risiko peritonitis. Delapan uji coba acak telah membandingkan kateter PD lurus dan
melingkar dan tidak menemukan perbedaan dalam tingkat peritonitis. Beberapa
penelitian retrospektif menyarankan bahwa kateter double-cuffed dikaitkan dengan
tingkat peritonitis yang lebih rendah daripada yang cuff tunggal. Namun, satu-satunya
uji coba secara acak pada topik ini menunjukkan tidak ada perbedaan risiko
peritonitis antara dua jenis kateter. 7
Untuk CAPD, beberapa studi prospektif menegaskan bahwa penggunaan
sistem koneksi Y dengan desain “flush before fill” menghasilkan angka kejadian

peritonitis yang lebih rendah daripada sistem spike tradisional.8


ISPD tidak merekomendasikan secara khusus pada pilihan solusi dialisis
untuk pencegahan peritonitis. Data awal menunjukkan bahwa pilihan cairan PD dapat
mempengaruhi tingkat peritonitis, meskipun hasil uji coba yang dipublikasikan
bertentangan. Percobaan acak terbesar dan metodologis yang paling kuat dari cairan
pH netral, rendah-glucosa degradation-produk (GDP) PD menunjukkan bahwa cairan
ini secara signifikan mengurangi kejadian dan tingkat keparahan peritonitis

dibandingkan dengan cairan konvensional. 9


Rekomendasi ISPD mengenai penggunaan krim atau salep antibiotik topikal
(mupirocin atau gentamicin) setiap hari ke daerah exit site. Dilakukan pengobatan
yang optimal untuk infeksi exit site atau infeksi tunnel kateter untuk mengurangi
risiko peritonitis berikutnya . Langkah-langkah umum mengenai perawatan di luar-
tempat dan kebersihan tangan yang teliti selama pertukaran dialisis telah

direkomendasikan dan harus ditekankan selama pelatihan pasien.10

Rekomendasi ISPD terbaru untuk memberikan edukasi dan pelatihan terhadap


pasiem. Pelatihan PD dilakukan oleh staf perawat dengan kualifikasi dan pengalaman
yang sesuai.
Setelah pelatihan PD selesai dan pasien dimulai di rumah PD, kunjungan
rumah oleh perawat PD sering berguna dalam mendeteksi masalah dengan teknik
pertukaran, kepatuhan terhadap protokol, dan masalah lingkungan dan perilaku
lainnya yang meningkatkan risiko peritonitis. Selain pelatihan awal, pelatihan
kembali memainkan peran penting dalam mengurangi kesalahan menurut spesialis
pembelajaran. Studi menemukan bahwa 6 bulan setelah inisiasi PD, sebagian besar
pasien mengambil jalan pintas, memodifikasi metode pertukaran standar, atau tidak
mengikuti teknik aseptic. Pelatihan kembali dilakukan pada adanya episode rawat
inap yang berkepanjangan, setelah peritonitis dan/atau infeksi kateter, adanya
perubahan dalam ketangkasan, penglihatan, atau aktivitas mental, perubahan ke
pemasok lain atau jenis koneksi yang berbeda, dan setelah adanya interupsi pada

program PD, pasien dilakukan hemodialisa.11


ISPD merekomendasikan antibiotik profilaksis sebelum kolonoskopi dan
prosedur ginekologi invasive. Peritonitis pada PD biasanya terjadi setelah prosedur
intervensi invasif (misalnya kolonoskopi, histeroskopi, kolesistektomi) pada pasien
PD. Dalam satu penelitian, di dapatkan dari 97 colonoskopi yang dilakukan pada 77
pasien CAPD, peritonitis terjadi pada 5 (6,3%) dari 79 colonoskopi yang dilakukan
tanpa antibiotik prophylaxis dan tidak ada satupun dari 18 colonoskopi yang

dilakukan dengan antibiotik prophylaxis (p = 0,58). 12


Sejumlah faktor risiko lain yang berpotensi dimodifikasi untuk peritonitis
telah dilaporkan pada banyak penelitian. Khususnya, hipoalbuminemia, depresi, dan
hilangnya motivasi berulang kali dilaporkan sebagai faktor risiko penting, meskipun
tidak ada data yang dipublikasikan untuk menunjukkan bahwa pengobatan masalah
ini akan mengurangi tingkat peritonitis. Demikian pula, paparan terhadap hewan
domestik merupakan faktor risiko lain. Hewan harus dikeluarkan dari ruang di mana
PD sedang dilakukan. Dua penelitian observasional menunjukkan bahwa terapi
vitamin D oral

dikaitkan dengan kejadian peritonitis yang secara signifikan lebih rendah, tetapi

penelitian acak prospektif diperlukan untuk mengkonfirmasi hasilnya.13,14

Tabel 1. Faktor resiko peritonitis yang bisa dimodifikasi .


Rekomendasi ISPD memberikan profilaksis antijamur ketika pasien PD
menerima antibiotik untuk mencegah peritonitis karena jamur. Sejumlah penelitian
observasional dan uji coba acak memeriksa penggunaan nistatin atau flukonazol oral
sebagai profilaksis selama terapi antibiotik. Pada intinya, 2 uji coba terkontrol secara

acak dan tinjauan sistematis menunjukkan manfaat yang signifikan.15

2.3. Manisfestasi Klinis Dan Diagnosis Peritonitis

Diagnosis peritonitis ditegakkan ketika ditemui paling sedikit 2 dari kriteria


berikut: (1) gambaran klinis yang konsisten dengan peritonitis, yaitu nyeri perut dan /
atau cairan dialisis berawan; (2) jumlah sel darah putih dialisis> 100 / μL atau> 0,1 x
109 / L (setelah waktu tinggal paling sedikit 2 jam), dengan> 50% polimorfonuklear;
dan (3) kultur dialisis positif. Pasien PD yang datang dengan efluen berawan
dianggap memiliki peritonitis dan diperlakukan seperti itu sampai diagnosis dapat

dikonfirmasikan atau dikecualikan. Cairan effluent dilakukan pemeriksaan jumlah sel,

hitung jenis, pewarnaan Gram, dan biakan setiap kali peritonitis dicurigai. 16

Gambar 1. Manajemen awal pada peritonitis


Pasien-pasien dengan peritonitis biasanya datang dengan effluent PD yang
berawan dan ada keluhan sakit perut. Effluent yang berawan hampir selalu
menunjukkan infeksi peritonitis, meskipun ada diagnosis banding lainnya (Tabel 2).
Beberapa pasien datang dengan cairan keruh tetapi tidak ada atau sedikit sakit perut.
Di sisi lain, peritonitis juga harus dimasukkan dalam diagnosis banding pasien PD
yang mengalami nyeri perut, bahkan jika efluennya jernih. Selain gejala yang
muncul, pasien harus ditanyai tentang kontaminasi terbaru, kejadian salah koneksi ,
prosedur endoskopi atau ginekologi, serta adanya konstipasi atau diare. Selain itu,

pasien harus ditanyai tentang riwayat peritonitis dan ESI. 16

Tabel 2. Differenssial diagnosis untuk effluent berawan


Pada pemeriksaan fisik, nyeri perut terasa di seluruh bagian perut dan
memberat dengan maneuver rebound. Rasa sakit yang terlokalisir dapat
meningkatkan
kecurigaan kelainan dasar yang memerlukan pembedahan. atau kelembutan lokal
harus meningkatkan kecurigaan dari patologi bedah yang mendasarinya. Pemeriksaan
fisik juga harus mencakup daerah exit site dan jalur kateter. Setiap sekret yang keluar
harus dilakukan kultur. Tingkat nyeri perut merupakan faktor penting dalam
menentukan apakah seorang pasien memerlukan rawat inap di rumah sakit. Secara
umum, pasien dengan nyeri minimal dapat diobati secara rawat jalan dengan terapi
antibiotik intraperitoneal (IP), dilakukan monitoring selama 3 hari untuk menilai
resolusi yang terjadi.

2.4. Penalataksanaan Peritonitis

Terapi antibiotik empiris dimulai sesegera mungkin setelah dilakukan


pemriksaan kultur. Terapi empiris harus mencakup organisme gram positif dan gram
negatif . Untuk organisme gram positif diberikan vankomisin atau cephalosporin
generasi pertama dan organisme gram negatif dengan sefalosporin generasi ketiga
atau aminoglikosida. Pemberian antibiotik bertujuan untuk resolusi cepat peradangan
dan mempertahankan fungsi membran peritoneum. Tidak ada rejimen antibiotik yang
terbukti lebih unggul dibanding yang lain sebagai pengobatan empiris, meskipun
kombinasi glikopeptida (vankomisin atau teicoplanin) plus
ceftazidime dianggap lebih unggul daripada rejimen lain dalam meta analisis

proporsional. 17
Untuk cakupan gram positif, beberapa penelitian membandingkan
sefalosporin generasi pertama dengan rejimen berbasis glikopeptida. Ketika dianalisis
secara keseluruhan, rejimen berbasis glikopeptida menghasilkan tingkat
penyembuhan lengkap yang lebih tinggi, tetapi tidak ada perbedaan dalam tingkat
kegagalan pengobatan primer, kambuh, atau pengangkatan kateter. Sebuah tinjauan
sistematis mencatat bahwa hasilnya sangat dipengaruhi oleh 1 studi, di mana dosis
cefazolin secara substansial lebih rendah dari rekomendasi saat ini. Penelitian lain
tidak menemukan perbedaan dalam tingkat penyembuhan untuk vankomisin dan
cefazolin
ketika dosis cephalosporin yang tepat digunakan. Meskipun demikian,
beberapa unit PD memiliki tingkat organisme resisten methicillin yang tinggi dan
vankomisin lebih baik untuk cakupan gram positif empiris , meskipun masih
kontroversial penggunaan empiris vankomisin secara rutin.
Untuk cakupan organisme gram negatif, penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa aminoglikosida (misalnya gentamisin atau netilmicin),
ceftazidime, cefepime, atau carbapenem semuanya efektif. Cefepime memiliki
kemampuan bagus melawan bakteri gram positif dan dapat digunakan sebagai
monoterapi. Fluoroquinolones juga dapat digunakan jika didukung oleh pola
kerentanan antimikroba lokal. Untuk pasien yang alergi terhadap sefalosporin,
aztreonam juga merupakan alternatif yang mungkin. Dalam studi terkontrol secara
acak, IP netilmicin dan ceftazidime memiliki kemanjuran yang sama untuk cakupan
gram-negatif empiris. Pengobatan aminoglikosida jangka pendek tidak mahal, aman,
dan memberikan cakupan gram negatif yang baik. Tidak ada bukti bahwa pengobatan
jangka pendek aminoglikosida mempercepat penurunan fungsi ginjal. Namun,
pengobatan aminoglikosida yang berulang atau berkepanjangan (lebih dari 3 minggu)

dikaitkan dengan tingginya insiden toksisitas vestibular. 18,19


Pemberian antibiotik IP lebih direkomendasikan kecuali pasien menunjukkan
gejala sepsis. Secara umum, pemberian dosis IP menghasilkan tingkat obat IP yang
tinggi dan lebih disukai daripada pemberian IV. Selain itu, dosis IP menghindari
venipuncture dan dapat dilakukan oleh pasien di rumah setelah pelatihan yang tepat.
Meskipun IV vankomisin cukup berhasil sebagai cakupan gram positif empiris,
penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa IV vankomisin menghasilkan
tingkat kegagalan pengobatan primer yang lebih tinggi secara signifikan daripada
administrasi IP. Pemberian antibiotik IP harus dilakukan menggunakan teknik steril,
seperti menempatkan povidone iodine, menggosok dengan alkohol 70% strip, atau

chlorhexidine pada port obat selama 5 menit sebelum penyisipan jarum melalui port.2
Table 3. Dosis antibiotic intraperitoneal untuk terapi peritonitis

Table 4. Dosis antibiotic sistemik pada peritonitis


Antibiotik intraperitoneal dapat diberikan secara terus menerus (yaitu di setiap
pertukaran) atau dosis intermiten (yaitu sekali sehari). Dalam dosis intermiten, larutan
dialisis yang mengandung antibiotik harus dibiarkan tinggal selama setidaknya 6 jam
untuk memungkinkan penyerapan yang cukup. Banyak antibiotik yang secara
signifikan meningkatkan penyerapan selama peritonitis, yang memungkinkan masuk

kembali ke dalam rongga peritoneum selama siklus PD berikutnya.21


Telah dilakukan penelitian tentang stabilitas dan kompatibilitas berbagai
antibiotik untuk administrasi IP. Vankomisin, aminoglikosida, dan sefalosporin dapat
dicampur dalam kantong larutan dialisis yang sama tanpa kehilangan bioaktivitas.
Aminoglikosida dan sefalosporin dapat ditambahkan ke dalam kantong yang sama,
meskipun aminoglikosida tidak boleh ditambahkan ke kantong yang sama dengan
penisilin karena ketidakcocokan bahan kimia. Untuk antibiotik apa pun yang harus
dicampur, jarum suntik terpisah. Meskipun vankomisin dan ceftazidime kompatibel
ketika ditambahkan ke solusi dialisis (1 L volume total atau lebih besar), mereka
tidak kompatibel jika digabungkan dalam spuit yang sama atau ditambahkan ke
kantong dialisis kosong untuk reinfusi ke pasien. Antibiotik stabil untuk beberapa
lama walau setelah ditambahkan ke cairan PD. Vancomycin stabil selama 28 hari
dalam larutan dialisis yang disimpan pada suhu kamar. Gentamisin stabil selama 14
hari baik pada suhu kamar dan di bawah pendinginan, tetapi durasi stabilitas
berkurang dengan pencampuran dengan heparin. Cefazolin stabil selama 8 hari pada
suhu kamar atau selama 14 hari jika didinginkan; penambahan heparin tidak memiliki
pengaruh buruk. Ceftazidime stabil selama 4 hari pada suhu kamar atau 7 hari jika

didinginkan. Cefepime stabil selama 14 hari jika cairan dialisat didinginkan. 22,23
Pada pasien juga diberikan heparin 500 unit / L IP untuk mencegah oklusi
kateter oleh fibrin. Tergantung pada tingkat keparahan gejala, beberapa pasien akan
membutuhkan analgesik untuk mengontrol rasa sakit. Pada presentasi awal dan
sebelum antibiotik IP dimulai, 1 atau 2 pertukaran PD cepat sering dilakukan untuk
menghilangkan rasa sakit, meskipun tidak ada data yang mendukung pendekatan ini.
Sebuah uji coba terkontrol secara acak menunjukkan bahwa lavage peritoneal cepat
yang lebih ekstensif selama 24 jam pertama peritonitis tidak mempengaruhi tingkat
penyembuhan atau kekambuhan total dibandingkan dengan praktek yang biasa dari 2

siklus pertukaran cepat. 24


Permeabilitas peritoneal terhadap air, glukosa, dan protein biasanya
meningkat selama peritonitis. Pengurangan dalam ultrafiltrasi sering timbul, dan
kelebihan cairan adalah komplikasi yang sering terjadi. Penggunaan sementara
dialisat hipertonik dan waktu tinggal yang pendek mungkin diperlukan untuk
mempertahankan pengeluran cairan yang adekuat. Penggunaan sementara larutan
icodextrin dapat mencegah kelebihan cairan pada pasien PD dengan peritonitis akut.
Karena penyerapan glukosa yang cepat, kontrol glikemik dapat memperburuk pada
pasien diabetes. Pemantauan glukosa darah dengan penyesuaian dosis insulin yang
tepat mungkin diperlukan. Kehilangan protein selama peritonitis juga meningkat.
Skrining untuk malnutrisi harus dilakukan pada pasien dengan peradangan

peritoneum berkepanjangan.25
Algoritma manajemen untuk cocci gram positif dan basil gram negatif yang
diidentifikasi dalam dialysis effluent diringkas dalam Gambar 2 dan 3. Dalam 48 jam
setelah memulai terapi, sebagian besar pasien dengan peritonitis terkait PD akan
menunjukkan perbaikan klinis yang cukup besar. Efluen harus diperiksa secara visual
secara teratur untuk menentukan apakah sudah jernih. Jika tidak ada perbaikan
setelah
48 jam, jumlah sel dan kultur ulang har us dilakukan.
Selain itu, pemantauan jumlah WBC di efluen PD dapat memprediksi respons
pengobatan. Sebuah penelitian retrospektif menunjukkan bahwa dialisis effluent
WBC count ≥ 1.090 / mm3 pada hari ke 3 adalah penanda prognostik independen

untuk kegagalan pengobatan.2


Gambar 2. Algoritme untuk gram positif

Gambar 3. Algoritme untuk gram negative

Setelah memulai pengobatan antibiotik, biasanya ada perbaikan klinis dalam


72 jam. Peritonitis refrakter didefinisikan sebagai kegagalan efluen PD menjadi
jernih
setelah 5 hari pemberian antibiotik yang tepat. Pengangkatan kateter diindikasikan
dalam kasus peritonitis refrakter, atau lebih awal jika kondisi klinis pasien
memburuk, untuk mempertahankan peritoneum untuk PD di masa depan serta
mencegah morbiditas dan mortalitas. Upaya jangka panjang untuk mengobati
peritonitis refraktori oleh antibiotik tanpa pengangkatan kateter berhubungan dengan
tinggal di rumah sakit yang lebih lama, kerusakan membran peritoneum, peningkatan

risiko peritonitis jamur, dan mortalitas yang tinggi. 27


Peritonitis rekuren adalah episode peritonitis yang terjadi dalam waktu 4
minggu setelah penyelesaian terapi dari episode sebelumnya tetapi dengan organisme
yang berbeda. Sedangkan peritonitis relaps yaitu Sebuah episode yang terjadi dalam 4
minggu setelah penyelesaian terapi dari episode sebelumnya dengan organisme yang
sama atau satu episode steril. Peritonitis berulang adalah sebuah episode yang terjadi
lebih dari 4 minggu setelah selesainya terapi dari episode sebelumnya dengan

organisme yang sama. 28


Ketika dibandingkan dengan episode non-relaps, relaps berhubungan dengan
tingkat penyembuhan yang lebih rendah, lebih banyak masalah ultrafiltrasi, dan
tingkat kegagalan teknik yang lebih tinggi. Peritonitis episode rekuren memiliki

prognosis yang lebih buruk daripada yang relaps.28

2.5. Peritonitis Jamur


Peritonitis jamur adalah komplikasi serius dengan tingginya tingkat rawat

inap, pengangkatan kateter, transfer ke hemodialisis, dan kematian. Terapi awal


merupakan kombinasi dari amfoterisin B dan flusitosin. Namun, IP amphotericin
menyebabkan peritonitis kimia dan nyeri, sementara pemberian IV memiliki
bioavailabilitas peritoneum yang buruk. Selain itu, flusitosin tidak tersedia secara
luas. Jika flusitosin digunakan, pemantauan konsentrasi serum secara teratur
diperlukan untuk menghindari toksisitas sumsum tulang. Kadar flusitosin serum

puncak, diukur 1 - 2 jam setelah dosis oral, harus 25 - 50 mcg / mL. 29


Agen lain pilihan termasuk flukonazol, echinocandin (misalnya caspofungin,
micafungin, atau anidulafungin), posaconazole, dan vorikonazol. Meskipun
flukonazol umumnya digunakan, prevalensi resistensi azol meningkat. Flukonazol
hanya memiliki aktivitas melawan spesies Candida dan Cryptococcus. Echinocandins
dianjurkan untuk pengobatan peritonitis jamur yang disebabkan oleh spesies
Aspergillus dan non- albicans spesies Candida, atau pada pasien intoleran terhadap
terapi antijamur lainnya. Caspofungin telah berhasil digunakan sebagai monoterapi
atau dalam kombinasi dengan amfoterisin. Posaconazole dan vorikonazol digunakan
untuk pengobatan peritonitis yang disebabkan oleh jamur berfilamen. Terlepas dari
pilihan agen anti- jamur, penelitian observasional menunjukkan bahwa pengangkatan
kateter yang cepat akan meningkatkan hasil dan mengurangi mortalitas. Agen anti-
jamur harus dilanjutkan setelah pengangkatan kateter selama minimal 2 minggu.
Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa sekitar sepertiga pasien dapat kembali

ke PD.29
2.6. Peritonitis Tuberkulosa

Meskipun gejala klasik demam, sakit perut, dan cairan keruh dapat terjadi
dengan peritonitis tuberkulosis, diagnosis harus dipertimbangkan pada setiap pasien

dengan peritonitis refrakter atau kambuh dengan kultur bakteri negatif. 30


Protokol pengobatan harus didasarkan pada protokol umum untuk pengobatan
tuberkulosis tetapi sering dimulai dengan 4 obat: rifampisin, isoniazid, pirazinamid,
dan ofloxacin. Sebuah penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kadar rifampisin
dalam efluen PD sering rendah. Terapi rifampisin intraperitoneal telah dianjurkan
tetapi tidak tersedia di banyak negara. Secara umum, pyrazinamide dan ofloxacin
dapat dihentikan setelah 2 bulan, sementara rifampisin dan isoniazid harus
dilanjutkan untuk total 12-18 bulan. Pyridoxine (50 hingga 100 mg / hari) harus
diberikan untuk menghindari neurotoksisitas yang diinduksi isoniazid. Streptomisin,
bahkan dalam dosis yang dikurangi, dapat menyebabkan ototoksisitas setelah
penggunaan jangka

panjang dan harus dihindari. Ethambutol dikaitkan dengan risiko tinggi neuritis optik

pada pasien dialisis dan harus digunakan dengan pengurangan dosis yang tepat. 30
2.7. Pengangkatan Dan Re-Insersi Kateter

Untuk peritonitis refrakter dan peritonitis jamur, simultan re-


insersi kateter PD baru tidak dianjurkan, dan pasien harus menjalani hemodialisis
sementara. Studi observasional menunjukkan bahwa antibiotik yang efektif harus
dilanjutkan selama setidaknya 2 minggu setelah pengangkatan kateter untuk
peritonitis refrakter. Setelah episode peritonitis berat, sekitar 50% pasien berpotensi

kembali ke PD . 31

Table 5. Indikasi Pengangkatan kateter

Ada beberapa data tentang durasi optimal antara pengangkatan kateter untuk
peritonitis dan re-insersi kateter baru. Studi observasional menunjukkan periode
minimal 2 sampai 3 minggu, meskipun beberapa akan merekomendasikan waktu
yang lebih lama untuk re-insersi pada kasus peritonitis jamur. Re-insersi kateter baru
harus dilakukan dengan pendekatan laparoskopi atau mini-laparotomi sehingga adhesi
dapat divisualisasikan secara langsung. Masalah ultrafiltrasi umum terjadi setelah
kembali ke PD. Sebagian kecil pasien dengan peritonitis terkait PD , dapat terjadi
koleksi cairan intra-abdominal berulang yang membutuhkan drainase perkutan setelah
pengangkatan kateter. Kesempatan berhasil kembali ke PD sangat rendah pada
kelompok pasien ini, dan konversi langsung ke hemodialisis jangka panjang harus

dipertimbangkan. 31
KESIMPULAN

Tingkat mortalitas pasien dialisis yang tinggi menjadi perhatian banyak


kalangan nephrologists. Mortalitas dikaitkan dengan infeksi, serta perawatan di
rumah sakit yang terkait dengan infeksi telah dicatat secara signifikan lebih tinggi
untuk pasien yang menggunakan dialisis peritoneal dibandingkan dengan pasien yang
dilakukan hemodialisis . Peritonitis terkait PD adalah infeksi yang paling umum pada
pasien PD dan hanya menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas tetapi juga
penyebab utama kegagalan teknik pasien yang dirawat pada PD.
Spektrum khas organisme yang menyebabkan peritonitis termasuk organisme
gram positif (67%), organisme gram negatif (28%), jamur (2,5%) atau organisme
anaerob (2,5%). Kejadian kultur-negatif terjadi hingga 20% dari episode peritonitis.
Pengobatan komplikasi infeksi berupa peritonitis lebih terstandardisasi dengan
rekomendasi yang dikeluarkan oleh International Society of Peritoneal Dialysis yang
diadopsi secara universal. Sekitar 80% pasien yang mengalami peritonitis akan
merespon terapi antimikroba dan tetap menggunakan terapi PD, sementara 10 hingga
15% pasien memerlukan pengangkatan kateter dan transfer ke hemodialisis. Hasilnya
berbeda berdasarkan organisme dengan episode gram negatif dan jamur memiliki

hasil yang lebih buruk daripada episode gram positif. 32


Komplikasi infeksi terkait Peritoneal Dialisis (PD) telah mendapat banyak
perhatian dan telah menjadi subyek penyelidikan yang luas. Minat telah difokuskan
pada strategi untuk mengurangi kejadian infeksi, lebih memahami faktor risiko yang
mempengaruhi pasien terhadap infeksi, dan mengembangkan strategi terapi yang
lebih baik untuk mengobati infeksi

DAFTAR PUSTAKA
1. Ghali JR, Bannister KM, Brown FG, Rosman JB, Wiggins KJ, Johnson DW,
McDonald SP. Microbiology and outcomes of peritonitis in Australian
peritoneal dialysis patients. Perit Dial Int 2011; 31:651–62
2. Piraino B, Bernardini J, Brown E, Figueiredo A, Johnson DW, Lye WC, et al.
ISPD position statement on reducing the risks of peritoneal dialysisrelated
infections. Perit Dial Int 2011; 31:614–30.
3. Krediet RT. 30 Years of peritoneal dialysis development: the past and the
future. Peritoneal Dialysis I nternational 2007; 27: 2
4. Piraino B. Today’s approaches to prevent peritonitis. Contrib Nephrol 2012;
178:246– 50.
5. van Diepen AT, Tomlinson GA, Jassal SV. The association between exit site
infection and subsequent peritonitis among peritoneal dialysis patients. Clin J
Am Soc Nephrol 2012; 7:1266–71.
6. Gadallah MF, Ramdeen G, Mignone J, Patel D, Mitchell L, Tatro S. Role of
preoperative antibiotic prophylaxis in preventing postoperative peritonitis in
newly placed peritoneal dialysis catheters. Am J Kidney Dis 2000; 36:1014–9.
7. Eklund B, Honkanen E, Kyllonen L, Salmella K, Kala AR. Peritoneal dialysis
access: prospective randomized comparison of single-cuff and double-cuff
straight Tenckhoff catheters. Nephrol Dial Transplant 1997; 12:2664–6.
8. Daly C, Cody JD, Khan I, Rabindranath KS, Vale L, Wallace SA. Double bag
or Y- set versus standard transfer systems for continuous ambulatory
peritoneal dialysis in end-stage kidney disease. Cochrane Database Syst Rev
2014; 8:CD003078.
9. Cho Y, Johnson DW, Badve SV, Craig JC, Strippoli GF, Wiggins KJ. The
impact of neutral-pH peritoneal dialysates with reduced glucose degradation
products on clinical outcomes in peritoneal dialysis patients. Kidney Int 2013;
84:969–7
10. Aykut S, Caner C, Ozkan G, Ali C, Tugba A, Zeynep G, et al. Mupirocin
application at the exit site in peritoneal dialysis patients: five years of
experience. Ren Fail 2010; 32:356–61.
11. Ellis EN, Blaszak C, Wright S, Van Lierop A. Effectiveness of home visits to
pediatric peritoneal dialysis patients. Perit Dial Int 2012; 32:419–23
12. Yip T, Tse KC, Lam MJ, Cheng SW, Lui SL, Tang S, et al. Risks and
outcomes of peritonitis after flexible colonoscopy in CAPD patients. Perit
Dial Int 2007; 27:560– 4.
13. Broughton A, Verger C, Goffin E. Pets-related peritonitis in peritoneal
dialysis: companion animals or Trojan horses? Semin Dial 2010; 23:306–16
14. Rudnicki M, Kerschbaum J, Hausdorfer J, Mayer G, Konig P. Risk factors for
peritoneal dialysis-associated peritonitis: the role of oral active vitamin D.
Perit Dial Int 2010; 30:541–8.
15. Restrepo C, Chacon J, Manjarres G. Fungal peritonitis in peritoneal dialysis
patients: successful prophylaxis with fluconazole, as demonstrated by
prospective randomized control trial. Perit Dial Int 2010; 30:619–25
16. Rocklin MA, Teitelbaum I. Noninfectious causes of cloudy peritoneal
dialysate. Semin Dial 2001; 14:37–40
17. Ballinger AE, Palmer SC, Wiggins KJ, Craig JC, Johnson DW, Cross NB, et
al. Treatment for peritoneal dialysis-associated peritonitis. Cochrane Database
Syst Rev 2014; 4:CD005284
18. Lui SL, Cheng SW, Ng F, Ng SY, Wan KM, Yip T, et al. Cefazolin plus
netilmicin versus cefazolin plus ceftazidime for treating CAPD peritonitis:
effect on residual renal function. Kidney Int 2005; 68:2375–80.
19. Tokgoz B, Somdas MA, Ucar C, Kocyigit I, Unal A, Sipahioglu MH, et al.
Correlation between hearing loss and peritonitis frequency and administration
of ototoxic intraperitoneal antibiotics in patients with CAPD. Ren Fail 2010;
32:179–84
20. Lye WC, Lee EJ, van der Straaten J. Intraperitoneal vancomycin/oral
pefloxacin versus intraperitoneal vancomycin/gentamicin in the treatment of
continuous ambulatory peritoneal dialysis peritonitis. Perit Dial Int 1993;
13(Suppl 2):S348–50.
21. Boyce NW, Wood C, Thomson NM, Kerr P, Atkins RC. Intraperitoneal (IP)
vancomycin therapy for CAPD peritonitis—a prospective, randomized
comparison of intermittent v continuous therapy. Am J Kidney Dis 1988;
12:304–6.
22. de Vin F, Rutherford P, Faict D. Intraperitoneal administration of drugs in
peritoneal dialysis patients: a review of compatibility and guidance for clinical
use. Perit Dial Int 2009; 29:5–15. 327.
23. Dooley DP, Tyler JR, Wortham WG, Harrison LS, Starnes WF Jr, Collins
GR, et al. Prolonged stability of antimicrobial activity in peritoneal dialysis
solutions. Perit Dial Int 2003; 23:58–62
24. Ejlersen E, Brandi L, Lokkegaard H, Ladefoged J, Kopp R, Haarh P. Is initial
(24 hours) lavage necessary in treatment of CAPD peritonitis? Perit Dial Int
1991; 11:38– 42.
25. Chow KM, Szeto CC, Kwan BC, Pang WF, Ma T, Leung CB, et al.
Randomized controlled study of icodextrin on the treatment of peritoneal
dialysis patients during acute peritonitis. Nephrol Dial Transplant 2014;
29:1438–43.
26. Chow KM, Szeto CC, Cheung KK, Leung CB, Wong SS, Law MC, et al.
Predictive value of dialysate cell counts in peritonitis complicating peritoneal
dialysis. Clin J Am Soc Nephrol 2006; 1:768–73.
27. Choi P, Nemati E, Banerjee A, Preston E, Levy J, Brown E. Peritoneal
dialysis catheter removal for acute peritonitis: a retrospective analysis of
factors associated with catheter removal and prolonged postoperative
hospitalization. Am J Kidney Dis 2004; 43:103–11.
28. Burke M, Hawley CM, Badve SV, McDonald SP, Brown FG, Boudville N, et
al. Relapsing and recurrent peritoneal dialysis-associated peritonitis: a
multicenter registry study. Am J Kidney Dis 2011; 58:429–36.
29. Basturk T, Koc Y, Unsal A, Ahbap E, Sakaci T, Yildiz I, et al. Fungal
peritonitis in peritoneal dialysis: a 10-year retrospective analysis in a single
center. Eur Rev Med Pharmacol Sci 2012; 16:1696–1700.
30. Abraham G, Mathews M, Sekar L, Srikanth A, Sekar U, Soundarajan P.
Tuberculous peritonitis in a cohort of continuous ambulatory peritoneal
dialysis patients. Perit Dial Int 2001; 21(Suppl 3):S202–4.
31. Troidle L, Gorban-Brennan N, Finkelstein FO. Outcome of patients on
chronic peritoneal dialysis undergoing peritoneal catheter removal because of
peritonitis. Adv Perit Dial 2005; 21:98–101.
32. Troidle, L. and F. Finkelstein. Treatment and outcome of CPD-associated
peritonitis. Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobials 2006; 5(1): 6

Anda mungkin juga menyukai