Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

CEDERA KEPALA

A. Pengertian
Cedera kepala merupakan trauma yang mengenai otak yang dapat mengakibatkan
perubahan fisik, intelektual, emosional dan sosial. Trauma tenaga dari luar yang
mengakibatkan berkurangnya atau terganggunya status kesadaran dan perubahan
kemampuan kognitif, fungsi fisik dan emosional (Judha & Rahil, 2011).
Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatam dan perlambatan (accelerasi-
decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk di pengaruhi oelh notasi yaitu pergerakan
pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan
(Rendy, 2012).
B. Tekanan Intra Kranial (TIK)
Tekanan intracranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intracranial cairan
serebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK oang dewasa dalam posisi
terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4-10
mmHg. Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau
memperberat iskemia. Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari
20 mmHg, terutama bila menetap. Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti
gumpalan darah dapat terus menerus bertambah sementara TIK masih dalam keadaan
normal. Saat pengaliran CCS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka
TIK secara cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan
dinamika TIK. Sebuah konsep utamanya adalah bahwa volume intracranial harus dan
selalu konstan, konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie. Otak memperoleh suplai
darah yang besar yaitu sekitar 800 ml/min atau 16% dari cardiac output, untuk menyuplai
oksigen dan glukosa yang cukup. Aliran darah otak (ADO) normal kedalam otak pada
oran dewasa anatara 50-55 ml/100 gr jaringan otak permenit. Pada anak, ADO bisa lebih
bear tergantung pada usianya. ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam pertama sejak
cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari
berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO tetap dibawah normal sampai
beberapa hari atau minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO
(MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg sangat rirekomendasikan untuk meningkatkan ADO.
C. Etiologi
Penyebab cedera kepala terdiri dari kecelakaan dari kendaraan bermotor, jatuh,
kecelakaan industri, serangan dan yang berhubungan dengan olahraga, trauma akibat
persalinan. Menurut Mansjoer (2011), cedera kepala penyebab sebagian kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas.
D. Klasifikasi Cedera Kepala
1. Kategori Penentuan Keparahan Cedera Kepala berdasarkan Nilai Glasgow Coma
Scale
Penentuan Deskripsi
Keparahan
Minor/Ringan GCS 13-15
Sadar penuh, membuka mata bila dipanggil. Dapat terjadi
kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit dan disorientasi, tidak ada fraktur tengkorak, tidak
ada kontusia cerebral, hematoma.
Sedang GCS 9-12
Kehilangan kesadaran, namun masih menuruti perintah
yang sederhana atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
Berat GCS 3-8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari
24 jam. Juga meliputi kontusioa serebrel, laserasi atau
hematoma intracranial. Dengan perhitungan GCS sebagai
berikut:
- Eye: nilai 2 atau 1
- Motorik: nilai 5 atau<5
- Verbal: nilai 2 atau 1

Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang
muncul setelah cedera kepala. Ada berbagai klasifikasi yang dipakai dalam penentuan
derajat cedera kepala. Menurut Judha (2011), berdasarkan derajat penurunan tingkat
kesadaran serta tidaknya deficit neurologic cedera kepala dikelompokkan
1. Kerusakan Primer
Kerusakan otak yang timbul pada saat cedera, sebagai akibat dari kekuatan mekanik
yang menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat fokal ataupun
difus. Keruskan primer ini dapat berlanjut menjadi keruskan sekunder, jika kerusakan
primer tidak mendapat penanganan yang baik, maka kerusakan primer dapat menjadi
kerusakan sekunder.
a. Kerusakan Fokal
Merupakan kerusakan yang melibatkan bagian-bagian tertentu dari otak,
bergantung pada mekanisme cedera yang terjadi. Kerusakan fokal yang terjadi
dapat berupa:
1) Kontusio serebri, Memar ini umumnya terjadi di area permukaan dan terdiri
dari area hemoragi kecil–kecil yang tersebar melalui substansi otak pada
daerah tersebut, dari pada satu lokasi yang berbeda.  Kontusio serebral
merupakan lesi yang paling banyak tampak setelah cedera kepala.
2) Kontusio ‘intermediete coup’/kontusio ‘glinding’, Lesi kontusio sering
berkembang sejalan dengan waktu,  penyebabnya adalah pendarahan yang
terus berlangsung, iskemik, nekrosis, dan diikuti oleh edema vasogenik.
Selanjutnya lesi akan mengalami reabsorbsi terhadap eritrosit yang lisis (48-72
jam), disusul dengan infiltrasi makrofag (24 jam-beberapa minggu) dan gliosis
aktif yang terus berlangsung secara progresif (mulai dari 48 jam).
3) Perdarahan subarachnoid traumatika, paling sering ditemukan pada cedera
kepala, umumnya menyertai lesi lain. Perdarahan terletak di antara arachnoid
dan piameter, mengisi ruang subarachnoid.
4) Intraserebral hematoma (ICH), diartikan sebagai hematoma yang terbentuk
pada jaringan otak (parenkim) sebagai akibat dari adanya robekan pembuluh
darah. Terutama melibatkan lobus frontal dan temporal (80-90%), tetapi dapat
juga melibatkan korpus kallosum, batang otak dan ganglia basalis. Gejala dan
tanda juga ditentukan oleh ukuran dan lokasi hematoma. Berdasarkan hasil
pemeriksaan CT Scan, Fukamachi dkk. Tahun 1985, membagi ICH atas:
a) Tipe 1, hematoma sudah terlihat dalam CT Scan awal
b) Tipe 2, hematoma berukuran kecil sampai sedang pada CT Scan awal,
kemudian membesar pada CT Scan selanjutnya
c) Tipe 3, hematoma terbentuk pada daerah normal pada CT Scan awal
d) Tipe 4, hematoma berkembang pada daerah yang abnormal sejak awal (‘salt
and pepper)
5) Hematoma Epidural, adalah suatu akumulasi darah pada ruang antara ruang
tengkorak bagian dalam dan lapisan meninges paling luar. Hematoma ini
terjadi karena robekan cabang kecil arteri meningeal tengah atau arteri
meningeal frontal. Pasien dengan hematoma epidural membentuk suatu
kelompok yang dapat di kategorikan sebagai “talk and die”. Tanda dan gejala
klasik terdiri dari penurunan kesadaran ringan pada waktu terjadi benturan
yang terjadi pada periode lucid (pikiran jernih) dari beberapa menit sampai
beberapa jam. Periode “talk” ini kemudian di ikuti oleh penurunan neurologis
dari kacau mental sampai koma, dari bentuk gerakan bertujuan sampai pada
bentuk tubuh dekotrikasi atau deserebrasi, dan dari pupil isokor sampai
anisokor. Semua ini merupakan tanda – tanda hernia yang berkembang cepat
dan harus ditngani dengan cepat untuk mencegah kematian pada pasien.
6) Hematoma Subdural, adalah akumulasi darah dibawah lapisan meningeal
duramater dan diatas lapisan araknoid yang menutupi otak. Penyebabnya
biasanya robekan permukaan vena. Pasien dengan hematoma subdural akut
menunjukkan gejala dalam 24 jam sampai 48 jam setelah cedera. Manifestasi
ini dari perluasan massa lesi dan peningkatan TIK (PTIK) dengan cepat dan
memerlukan interfensi darurat.      Hematoma subdural kronis terjadi dari 2
minggu sampai 3-4 bulan setelah cedera awal. Gejala umum meliputi sakit
kepala, letargi, kacau mental, kejang, dan kadang-kadang disfasia. Bila
intervensi bedah diperlukan pada kasus perluasan hematoma dan
memperburuknya gejala, kraniotomi biasanya diperlukan dan drain dapat
dipasang setelah bedah kepala. CT scan Penyebaran hematoma subdural
(panah tunggal), pergeseran garis tengah (panah ganda).
7) Fraktur Tengkorak, Susunan lapisan tengkorak sampai kulit kepala membantu
menghilangkan energy benturan kepala sehingga sedikit kekuatan
ditransmisikan ke permukaan otak. Sekalipun demikian fraktur tengkorak
kerupakan masalah yang umum terjadi pada pasien dengan cedera kepala berat
meskipun kejadiannya berfariasi dari 12% sampai 80%, tergantung pada
laporan penelitian
8) Gegar Serebral, adalah sindrom yang mengakibatkan bentuk ringan dari
cedera otak menyebar. Ini adalah disfungsi neurologis sementara dan dapat
pulih dengan atau tanpa kehilangan kesadaran. Jika ada penurunan kesadaran
mungkin hanya beberapa detik atau beberapa menit. Sesudah itu mungkin
pasien mengalamidisorentasi dan bingung hanya dalam waktu yang relative
singkat. Gejala lain meliputi : sakit kepala, tidak mampu untuk berkonsentrasi,
ganguan memori sementara, pusing dan peka. Beberapa penderita mengalami
amnesia retrograde. Kebanyakan pasien sembuh sempurna dan cepat, tetapi
beberapa penderita lain berkembang ke arah sindrom pascagegar dan dapat
mengalami gejala lanjut selama beberapa bulan
9) Konkusio, adalah hilangnya kesadaran (kadang ingatan) sekejap, setelah
terajdinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang
nyata. Konkusio menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan
kerusakan struktural yang nyata.   Konkusio bisa menyebabkan kebingungan,
sakit kepala dan rasa mengantuk yang abnormal; sebagian besar penderita
mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau hari.
2. Kerusakan Sekunder
Kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari kerusakan primer termasuk
kerusakan oleh hipoksia, iskemia, pembengkakan otak, TTIK (Tekanan Tinggi
Intrakranial), Hidrosephalus, dan infeksi. Berdasarkan mekanismenya, kerusakan ini
dapat dikelompokkan atas 2, yaitu:
a. Kerusakan Hipoksi-iskemik menyeluruh
1) Sudah berlangsung saat antara terjadinya trauma dan awal pengobatan
2) Martin dkk membaginya atas 3 fase yaitu:
a) Fase 1: Hipoperfusi, terjadi pada hari 0, dapat turun hingga <18 ml/100
gr/min pada 2-6 jam sesudah cedera.
b) Fase 2: Hiperemia, terjadi pada hari 1-3
c) Fase 3: Vasospasme, terjadi di antara hari 4-15.
3) Kerusakan ini timbul karena:
a) Hipoksia: penurunan jumlah O2 dalam alveoli
b) Iskemia: berhentinya aliran darah
c) Hipotensi arterial sistemik
b. Edema serebri terjadi karena peningkatan kandungan air dalam jaringan otak atau
peningkatan volume darah (intravaskuler), Kekurangan O2 menyebabkan
berlangsungnya metabolism anaerob yang menimbulkan terjadinya gangguan
pembentukan energi dan mengakibatkan terjadinya gangguan pada fungsi sel:   
dimana 1 mol glukosa aerob ® 38 ATP sedangkan 1 mol glukosa anaerob ® asam
laktat + 2 ATP Berkurangnya jumlah ATP disertai pembentukan asam laktat akan
mengakibatkan bertambahnya edema otak.  Secara prinsip terapi dari edema
serebri adalah menghilangkan air yang ada dalam sel (intraseluler) ataupun air
diluar sel (ekstraseluler) dengan cara pemberian cairan hiperosmotik (manitol)
dengan dosis 0,5 g – 1 g/Kg BB/kali diberikan secara bolus dalam waktu 15 – 20
menit., disamping sebagai cairan hiperosmolar maka manitol dengan dosis rendah
berfungsi sebagai penangkap bahan radikal bebas dan dapat meningkatkan
mikrosirkulasi dari sel-sel darah merah (rheologi), pemberian manitol selama 4
hari kemudian dilakukan tapering agar tidak terjadi "rebound phenomena".
Pemberian Kortikosteroid, obat ini dapat memperbaiki sawar darah otak sehingga
secara tidak langsung memperbaiki edema serebri, dan pemberian Diueretik
seperti furosemide.
c. Peningkatan Tekanan intra kranial, Pada umumnya definisi tekanan intra kranial
merupakan jumlah tekanan dari jaringan otak (80%), cairan serebrospinal (10%),
pembuluh darah (10%). Penyebabnya PTIK sendiri adalah   Infeksi SSP,
perdarahan intrakranial, tumor otak, hidrosefalus. Disamping itu PTIK juga
memiliki komplikasi antara lain herniasi otak sehingga menyebabkan kerusakan
syaraf otak dan kematian.
E. Tanda dan Gejala
1. Penurunan kesadaran, koma
2. Peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai dengan
a. Turunnya denyut nadi
b. Peningkatan tekanan darah
c. Kedalaman pernafasan berkurang/terlambat
d. Penurunan skor GCS
e. Muntah proyektil
f. Dilatasi pupil, hilangnya reflek pupil/pupil asimetris
g. Nyeri kepala
3. Fraktur kranium
a. Hematoma periorbita (mata panda)
b. Memar di sekitar area mastoideus (battle sign)
c. Keluarnya cairan serebrospinal dari hidung, telinga, dan laserasi di sekitar fraktur
d. Pembengkakan kulit kepala yang terlihat menonjol
e. Perdarahan subkonjungtiva tanpa batas posterior
4. Disfungsi sensori
5. Kejang otot
6. Vertigo
7. Gangguan pergerakan
8. Kejang
9. Syok hipovolemik
F. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf  hampir seluruhnya melalui proses
oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak
walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Pada saat otak mengalami
hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob
yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini
akan menyebabkan asidosis metabolic.
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya
dampak yang akan diberikan pada otak. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan,
mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan
atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan
autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi
hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya
peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. Genneralli dan
kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar” sebagai kategori
cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50-60 ml/menit/100 gr.
jaringan otak, yang merupakan 15% dari cardiac output. Trauma kepala meyebabkan
perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypicalmyocardial, perubahan tekanan
vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan
gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia. Akibat adanya
perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan
vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi . Pengaruh persarafan
simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu
besar.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras): mengidentifikasi luasnya lesi traumatic (edema
fokal & difus, kontusio, hematoma intraserebral, hematoma intraventrikuler,
hematoma ekstraserebral, perdarahan subarachnoid, fraktur). Indikasi dilakukan CT
scan adalah CT scan dilakukan pada semua cedera otak berat, penurunan GCS lebih
dari 1, lateralisasi (pupil anisokor, hemiparesis), luka tusuk/tembak, GCS di bawah 15
dan tidak membaik selama terapi konservatif, kejang, nyeri kepala/muntah,
bradikardi.(Samsuhidayat, 1997)
2. MRI: Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
Pemeriksaan ini jarang digunakan untuk cedera otak karena kurang praktis dan
memiliki keterbatasan dalam deteksi perdarahan pada jam-jam pertama (ATLS, 1997)
3. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti: perubahan
jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
4. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Punksi: Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
9. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial
10. Kadar Elektrolit: Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial
11. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.

H. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul dan Rencana Asuhan Keperawatan


1. Gangguan perfusi jaringan b/d oedema cerebri, meningkatnya aliran darah ke otak
a. Pantau status neurologis secara teratur.
b. Evaluasi kemampuan membuka mata (spontan, rangsang nyeri)
c. Kaji respon motorik terhadap perintah yang sederhana.
d. Pantau TTV dan catat hasilnya.
e. Anjurkan orang terdekat untuk berbicara dengan klien
f. Kolaborasi pemberian cairan sesuai indikasi melalui IV dengan alat control
2. Gangguan rasa nyaman nyeri b/d peningkatan tekanan intra kranial.
a. Teliti keluhan nyeri, catat intensitasnya, lokasinya dan lamanya.
b. Catat kemungkinan patofisiologi yang khas, misalnya adanya infeksi, trauma
servikal.
c. Berikan kompres dingin pada kepala
3. Perubahan persepsi sensori b/d penurunan kesadaran, peningkatan tekanan intra
kranial.
a. Evaluasi secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan,
sensori dan proses pikir.
b. Kaji kesadaran sensori dengan sentuhan, panas/dingin, benda tajam/tumpul dan
kesadaran terhadap gerakan.
c. Bicara dengan suara yang lembut dan pelan. Gunakan kalimat pendek dan
sederhana. Pertahankan kontak mata.
d. Berikan lingkungan tersetruktur rapi, nyaman dan buat jadwal untuk klien jika
mungkin dan tinjau kembali.
e. Gunakan penerangan siang atau malam
f. Kolaborasi pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara dan terapi kognitif.
4. Resiko tinggi infeksi b/d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.
a. Berikan perawatanwatan aseptik dan antiseptik, pertahankan teknik cuci tangan
yang baik.
b. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat
invasi, catat karakteristik drainase dan adanya inflamasi.
c. Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi atau cegah pengunjung yang
mengalami infeksi saluran nafas atas.
d. Kolaborasi pemberian atibiotik sesuai indikasi
5. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/d haluaran urine dan elektrolit
meningkat.
a. Kaji tanda klinis dehidrasi atau kelebihan cairan.
b. Catat masukan dan haluaran, hitung keseimbangan cairan, ukur berat jenis urine.
c. Berikan air tambahan/bilas selang sesuai indikasi
d. Kolaborasi pemeriksaan lab. kalium/fosfor serum, Ht dan albumin serum.
6. Gangguan pola nafas b/d obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan medula
oblongata.
a. Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernafasan. Catat ketidakteraturan pernafasan.
b. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturan posisi miring sesuai indikasi.
c. Anjurkan pasien untuk latihan nafas dalam yang efektif jika pasien sadar.
d. Auskultasi suara nafas. Perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara- suara
tambahan yang tidak normal. (krekels, ronki dan wheezing).
e. Kolaborasi untuk pemeriksaan AGD, tekanan oksimetri.
f. Berikan oksigen sesuai indikasi.

Anda mungkin juga menyukai