Anda di halaman 1dari 3

Pravalensi Kasus Psikosomatis di Masyarakat

Berdasarkan penelitian Katon dan Sullivan (dalam Pomerantz,2013), diperkirakan terdapat 15-33
persen orang yang datang ke dokter sebenarnya menderita penyakit karena sebab emosional
seperti khawatir, frustrasi, dan rasa tidak aman. Lalu kemudia menurut data dari Departemen
Penyakit Dalam (FKUL), penderita psikosomatis mencapai 50 persen dari jumlah pasien.
Bahkan 15-30 persen orang meninggal dunia karena gangguan psikosomatis.

Besarnya kasus yang terjadi di dalam masyarakat merupakan bukti bahwa masih kurangnya
pengetahuan masyarat terkait psikosomatis. Hal ini dikarenakan istilah psikosomatis tidak
sepopuler istilah penyakit fisik lainnya seperti serangan jantung dan maag. Psikosomatis yang
muncul di masyarakat umumnya berupa maag, mual-mual, diare dan sakit pernafasan. Hal ini
juga berarti saat adanya emosi negatif dan tekanan emosional, yang datang maka individu
kurang tepat dalam mengatasinya atau kurangnya kemampuan mengontrol emosi sehingga
tekanana-tekanan itu memberatkan individu dan terekspresikan dalam bentuk psikosomatis yang
menyerang tubuh.

Kasus Individu Mengalami Psikosomatis Selama Pandemi

Sari adalah seorang karyawan swasta berusia 29 tahun. di tengah pandemi, pekerjaan sari tidak
memungkinkan dirinya untuk bekerja dari rumah, meskipun setengah dari populasi di Jakarta
sudah melakukan pembatasan jarak. Pekerjaan mengharuskan sari untuk bertemu dengan orang
lain di berbagai tempat publik. Hal tersebut membuat sari was-was dan terus mematuhi protokol
kesehatan seperti memakai masker, membawa sabun, dan hand sanitizer .

Suatu hari sari bangun dengan keadaan tubuh meriang, gatal di tenggorokan dan demam. Sari
pun merasa panik dan segera berencana untuk isolasi diri namun terlebih dahulu mengecek
kondisi ke dokter. Dokter melakukan serangkaian pemeriksaan seperti cek suhu badan,
memeriksa kondisi tenggorokan, rentrogen paru-paru dan cek darah. Setelah hasilnya keluar
dokter memaparkan bahwa kondisi Sari tidak ada yang abnormal bahkan suhu tubuhnya berkisar
di angka 37 derajat celcius. Dokter lalu menasehati sari agar tidak stress karena hal tersebut
dapat mempengaruhi kesehatan.
Kartono & Gulo (1987) menyatakan bahwa, psikosomatis adalah gangguan fisik yang
disebabkan tekanan emosional dan psikologis. Terjadi kegiatan psikologis yang berlebihan
dalam mengekspresikan gejala emosi sehingga berimbas pada tubuh. Proses terjadinya
psikosomatis menurut Maramis (2004) adalah sebagai berikut :

1. Saat ada stimulus emosi datang ke individu maka akan ditangkap oleh panca indera,
2. Kemudian stimulus akan dibawa masuk ke sistem limbrik yaitu pusat emosi,
3. Di dalam sistem limbrik stimulus akan dipelajari dan diamati setelah itu akan diambil
keputusan untuk melakukan tindakan apa sebagai respon dari stimulus tersebut,
4. Untuk mengekspresikan tindakannya, sistem limbrik mengirim perintah dari thalamus
dan hipotalamus ke organ-organ lain yang kemudina dieskpresikan dalam bentuk ceria
atau cemberut, marah atau pucat dan menangis atau tertawa,
5. Saat sistem limbrik memutuskan bahwa stimulus tersebut berbahaya maka akan timbul
reaksi psikis berupa ketegangan emosi yang mengaktifkan organ tubuh secara hiperaktif
seperti detak jantung semakin cepat, ketegangan otot dan tekanan darah meningkat
6. Jika ketegangan emosi terus berlanjut maka akan menyebabkan kerusakan pada jaringan
tubuh sehingga terjadilan psikosomatis

Corona Virus Diesease (COVID-19) merupakan jenis virus yang baru muncul, virus ini
menyerang saluran pernafasan hingga dapat menyebabkan kematian (Kemenkes, 2020).
Gejala seseorang terinfeksi virus ini adalah demam di atas 38 derajat celcius, batul, sesak,
dan sulit bernafas. perkembangan teknologi memudahkan semua orang untuk mengakses
informasi terkait perkembangan COVID-19, hal ini menyebabkan masyarakat semakin
meningkatkan kewaspadaan terkait penyebaran virus, masing-masing individu sadar akan
bahaya, gejala hingga apa yang harus dipersiapkan guna melindungi diri. namun, kebebasan
berita dalam menyiarkan kabar juga membuat masyarakat semakin terpapar informasi terkait
COVID-19 dan memunculkan kecemasan-kecemasan dalam dirinya.

kecemasana adalah reaksi emosional yang dialami individu sebagai respon dari situasi yang
tidak pasti. Saat harus menghadapai situasi yang tidak pasti, individu cenderung merasa
terancam. (Kartono, 1981). Seperti yang terjadi pada Sari. Saat Jakarta sudah melakukan
pembatasan jarak, namun karena pekerjaan Sari terkendala untuk isolasi diri. sari sering
terpapar berita COVID-19, dari situ sari merasa khawatir dan was-was sehingga terus
berupaya menjaga protokol kesehatan. Kekhawatirannya diperparah akibat pekerjaan yang
terus mengharuskannya untuk bertemu dengan orang lain di tempat publik. Kekhawatiran itu
terus direduksi oleh Sari dengan menekan gejolak emosi yang diekspresikan dengan terus
menerus menjaga diri dengan protokol kesehatan hingga kemudiansuatu hari psikisnya sudah
tidak dapat menampung kecemasan dan ketegangan emosi yang terus menerus dialami Sari
membuat kerusakan jaringan di tubuhnya dan pada akhrinya membuat tubuhnya mengalami
sakit seperti demam dan tenggorokan gatal.

Daftar pustaka :

Kartono, K. (1981). Gangguan- gangguan Psikis. Bandung : Sinar Baru.

Kartono, K. & Gulo, D. 1987. Kamus Psikologi. Bandung : Pioner Jaya.

Maramis, W. E. 2004. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Sirlangga University Press.

Kemenkes “Tanya Jawab Novel Coronavirus (2019-n-COV)- FAQ Update 4 Ferbruari 2020”
Diakses pada : https://covid19.kemkes.go.id/situasi-infeksi-emerging/info-corona-
virus/tanya-jawab-novel-coronavirus-2019-ncov-faq-update-4-februari-2020/#.X5Jc-
9IzZH0 . Pada tanggal 26 Oktober 2020.

Anda mungkin juga menyukai