BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi kepala bersifat kompleks, baik dari sifat fisik kulit, tulang, dan
otak sangat berbeda. Komponen skeletal wajah tersusun supaya apabila terjadi
dan pola fraktur tergantung pada besarnya kekuatan trauma, durasi trauma,
percepatan yang diberikan ke bagian tubuh yang terkena, dan laju perubahan
wajah bagian atas (upper face), dimana fraktur dapat terjadi meliputi tulang
frontal dan sinus frontalis. Bagian kedua merupakan wajah tengah (midface),
dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Bagian atas midface dimana terjadi fraktur
Le Fort II dan Le Fort III dan atau fraktur tulang hidung, nasoethmoidal atau
fraktur midface bagian bawah. Sedangkan bagian ketiga dari regio Maksilofasial
adalah wajah bagian bawah, yaitu fraktur yang terjadi pada mandibula. Panfacial
Tujuan pada perawatan pada trauma wajah yang parah adalah rekonstruksi 3D
dengan proyeksi wajah sebelum terjadinya trauma serta restorasi bentuk dan
fungsi. Susunan anatomi tulang-tulang maksilofasial dapat lebih jelas dilihat pada
Trauma adalah penyebab utama kematian dan kecacatan dari Amerika usia
kurang dari 40 tahun. Di Amerika Serikat, lebih dari 150.000 kematian akibat
kekerasan terjadi setiap tahun, dan lebih dari 500.000 korban trauma yang tersisa
dengan cacat permanen. Setiap tahun, sekitar 30 sampai 40 juta kunjungan dibuat
untuk unit gawat darurat untuk perawatan cedera. Biaya untuk itu cukup
Trauma wajah termasuk luka pada kulit, tulang kepala, hidung dan sinus, rongga
mata, atau gigi dan bagian lain dari mulut. Trauma wajah sering ditandai oleh
pelebaran jarak antara mata, pergerakan rahang atas ketika kepala stabil, sensasi
abnormal pada wajah, dan perdarahan dari hidung, mulut, atau telinga (Stewart
dkk, 1997).
Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu
dan juga tulang mandibula (Japardi, 2004). Fraktur tulang wajah memerlukan
temuan pemeriksaan fisik ketika menilai pasien. Kekuatan yang diperlukan untuk
•fraktur hidung - 30 g
•fraktur zygoma - 50 g
Pada fraktur sinur Frontal baik dinding anterior dan posterior mungkin rusak.
Tulang orbita terdiri dari 7 tulang dari berbagai ketebalan. Tulang frontal
membentuk rim supraorbital dan atap orbital. Permukaan medial terdiri dari
ethmoid, sedangkan dinding yang lebih besar dari sphenoid dan zygoma yang
membuat margin lateral. Di inferior, dasar dan rima infraorbital dibentuk oleh
zygoma dan maksila. Bagian ini sangat tipis, Oleh karena itu, itu adalah tempat
yang paling sering dari fraktur dalam orbit. Fraktur dasar orbita, juga dikenal
sebagai fraktur blow-out, dapat mengakibatkan jeratan dari otot rektus inferior,
sehingga membatasi pandangan ke atas. Patah tulang yang paling umum untuk
rima orbital melibatkan daerah orbita zygomatic, fraktur ini yang biasanya hasil
dari pukulan impaksi tinggi ke orbita lateral, sering menyebabkan fraktur ke dasar
Hidung adalah bagian yang paling menonjol dari struktur wajah dan
adalah yang paling sering retak dari semua tulang wajah. Sepertiga atas hidung
didukung oleh sepasang tulang hidung dan tonjolan frontal dari rahang atas,
sedangkan dua pertiga bawah dari hidung disusun oleh struktur bertulang rawan.
Sebuah cedera yang lebih serius, patah tulang nasoorbitoethmoid, terjadi dengan
trauma ke septum dari hidung. Cedera ini melibatkan ekstensi ke dalam tulang
11
Seperti tulang hidung, zygoma adalah tulang wajah yang menonjol dan,
karena itu, rawan cedera. Umumnya, sebuah kerusakan di daerah ini melibatkan
depresi sentral dengan patah tulang pada kedua ujungnya. Fragmen sentral dapat
fraktur terisolasi dari zygoma yang jarang terjadi, sering melibatkan ekstensi ke
dalam tulang lebih tipis dari orbit atau maksila, atau dikenal sebagai
zygomaticomaxillary (yaitu, patah tulang tetrapod atau tripod) (Rupp dkk, 2016).
Rene Le Fort pertama kali menjelaskan fraktur daerah rahang atas di tahun
1900-an . Klasifikasi patah tulang rahang atas didasarkan pada tingkat yang paling
unggul dari situs fraktur. Klasifikasinya merupakan yang paling sering digunakan
secara luas untuk fraktur daerah maksila. Fraktur mandibula dapat melibatkan
Fraktur body mandibula, kondilus, dan angulus terjadi dengan frekuensi yang
hampir sama, diikuti oleh fraktur ramus dan prosesus koronoid. Secara umum,
daerah karena gaya diarahkan terhadap dagu, sedangkan luka dari tinju lebih
cenderung berada di sudut mandibula, sebagai hasil dari pukulan tangan kanan .
Lebih dari 50% dari patah tulang rahang bersifat multipel; adanya fraktur satu
Pada tahun 2003, Motamedi melaporkan distribusi patah tulang wajah yaitu
orbital, 2,1% kranial, 2,1% hidung, dan 1,6% cedera frontal. Penyebab cedera
maksilofasial ini adalah mobil (30,8%) dan sepeda motor (23,2%), olahraga
(6,3%), dan peperangan (9,7%) . Distribusi patah tulang maksila adalah 54,6% Le
Fort II, 24,2% Le Fort I, 12,1% Le Fort III, dan 9,1% alveolar. Menurut Cook and
Rowe, luka midfasial paling sering terjadi pada individu yang berusia 21-30 tahun
(43%). Usia 11-20 tahun dan 31-40 tahun kelompok umur masing-masing
Fraktur maksilofacial juga terjadi lebih sering pada laki-laki dewasa dan
remaja muda, usia rata-rata untuk laki-laki dewasa adalah 32 tahun, usia rata-rata
untuk anak-anak, 12,5 tahun (Rupp dkk, 2016). Di philipina rasio kejadian antara
laki-laki dan wanita 7.1:1 (Beogo dkk, 2014). Di Indonesia, pasien trauma
maksilofasial dengan jenis kelamin pria mewakili 81,73% dari jumlah kasus
(Muchlis, 2011).
Menurut Motamedi penyebab cedera maksilofasial ini adalah mobil (30,8%) dan
sepeda motor (23,2%), olahraga (6,3%), dan peperangan (9,7%). Menurut studi
13
Baego tahun 2014 di Philipina ada keterkaitan yang signifikan antara fraktur
merupakan fraktur yang paling sulit untuk direkonstruksi. Kompleks NOE terdiri
dari sinus frontalis, sinus ethmoid, anterior cranial fossa, orbita, tulang temporal,
dan tulang nasal (Tollefson, 2013). Medial canthal tendon (MCT) berpisah
sebelum masuk ke dalam frontal process dari maksila. Kedua tungkai dari tendon
ini mengelilingi fossa lakrimal. Komponen utama dari NOE ini dikelilingi oleh
tulang lakrimal di posterior, tulang nasal dan pyriform aperture di anterior, tulang
frontal di kranial, maksila di inferior, rongga udara etmoid di tengah, dan orbita di
2. Tipe II: MCT menempel pada fragmen sentral yang telah pecah namun
dapat diatasi atau MCT menempel pada fragmen yang cukup besar untuk
memungkinkan osteosynthesis.
3. Tipe III: MCT menempel pada sentral fragmen yang pecah dan tidak dapat
dewasa. Kebanyakan fraktur NOE merupakan fraktur tipe I. Fraktur tipe III
merupakan fraktur yang paling jarang dan terjadi pada 1-5% dari seluruh kasus
struktur, fungsi, dan estetika penampilan dari wajah. ZMC memberikan kontur
15
pipi normal dan memisahkan isi orbita dari fossa temporal dan sinus maksilaris.
Zigoma merupakan tempat melekat dari otot maseter, oleh karena itu
Knight dan North. Klasifikasi ini turut mencakup tentang penanganan terhadap
fraktur ZMC. Klasifikasi tersebut dibagi menjadi enam yaitu (Meslemani, 2012):
Tulang nasal merupakan tulang yang kecil dan tipis dan merupakan lokasi
fraktur tulang wajah yang paling sering. Fraktur tulang nasal telah meningkat
kecelakaan lalu lintas (Baek, 2013). Fraktur tulang nasal mencakup 51,3% dari
Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu (Ondik, 2009):
tengah
2. Tipe II: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis tengah
3. Tipe III: Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok dengan
4. Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau
rusaknya garis tengah hidung, sekunder terhadap fraktur septum berat atau
dislokasi septum
5. Tipe V: Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan lunak,
oklusal gigi di inferior. Hubungan yang erat dengan rongga mulut, rongga hidung,
dan orbita dan sejumlah struktur yang terkandung di dalamnya dan melekat
dengan maksila merupakan struktur yang penting baik secara fungsional maupun
Klasifikasi fraktur maksila yang paling utama dilakukan oleh Rene Le Fort
pada tahun 1901 di Perancis. Klasifikasi Le Fort terbagi menjadi tiga yaitu
(Aktop, 2013):
1. Le Fort I
horizontal dari tulang palatum, dan sepertiga inferior dari sphenoid pterygoid
processes dari dua pertiga superior dari wajah. Seluruh arkus dental maksila
dapat bergerak atau teriris. Hematoma pada vestibulum atas (Guerin’s sign)
2. Le Fort II
3. Le Fort III
Pada fraktur Le Fort III, wajah terpisah sepanjang basal tengkorak akibat
gaya yang langsung pada level orbita. Garis fraktur berjalan dari regio
Ada dua tipe fraktur maksila non Le Fort lain relatif umum. Yang pertama
adalah fraktur karena trauma tumpul yang terbatas dan sangat terfokus yang
menghasilkan segmen fraktur yang kecil dan terisolasi. Sering kali, sebuah palu
atau instrumen lain sebagai senjata penyebab. Alveolar ridge, dinding anterior
sinus maksila dan nasomaxillary junction merupakan lokasi yang umum pada
cedera ini. Yang kedua adalah fraktur karena gaya dari submental yang diarahkan
yang bergerak. Pada mandibula, terdapat gigi-geligi bagian bawah dan pembuluh
darah, otot, serta persarafan. Mandibula merupakan dua buah tulang yang
joint (TMJ). Fungsi yang baik dari mandibula menentukan gerakan menutup dari
jangka pendek maupun panjang yaitu nyeri TMJ, gangguan mengatupkan gigi,
Rontgen pada tahun 1895. Sampai beberapa tahun yang lalu, sinar-X
ini, computed tomography (CT) menjadi metode pencitraan utama, seiring dengan
relatif sensitif terhadap fraktur atap tengkorak, tetapi tidak sensitif terhadap
yang tepat dari semua jenis fraktur tulang wajah dan dasar tengkorak, dan
Pada pasien multi-trauma, CT dapat diperluas ke tulang leher jika perlu. Dengan
demikian, sinar X-konvensional tidak lagi digunakan dalam kasus trauma kepala
atau pasien multitrauma; CT scan sudah secara luas diterima sebagai metode
Proyeksi standar adalah anterior / posterior (AP) dan pandangan lateral seluruh
dua kategori umum: (1) Patah tulang direk yang diidentifikasi sebagai garis
fraktur, fraktur gap dan dislokasi fragmen tengkorak; (2) fraktur tidak langsung
yang diidentifikasi sebagai opasitas dari sinus paranasal dan emfisema jaringan
lunak. Untuk kerangka wajah, foto semi-aksial dari midface diperlukan selain di
untuk patah tulang bervariasi tergantung pada jenis fraktur. Beberapa fraktur
sederhana dapat juga ditampilkan pada proyeksi X-ray. Di sisi lain, fraktur
kompleks hanya dapat dievaluasi secara parsial karena tumpang tindih dari
gambar dari isi intrakranial sebagai hasil dari penyerapan X-ray yang spesifik oleh
slice dalam sinar X-ray. Rekaman dari slice berubah menjadi matriks digital
mengandung nilai-nilai yang mewakili gambar digital dari slice. Setiap pixel dari
Untuk evaluasi tulang wajah, gambar aksial dan gambar koronal adalah hal
yang wajib. Foto tiga dimensi (3D) sangat penting untuk analisis dan visualisasi
(Treumann, 2010).
tulang, mengarah ke gangguan mineral matriks dan gangguan jaringan lunak yang
antara dua segmen tulang, atau bersifat comminuted, yang berarti terdiri dari
anatomi segmen tulang. Perubahan ini dapat terjadi sebagai akibat dari energi dari
pukulan itu sendiri atau karena tarikan otot yang dilawan. Angulation adalah
perubahan sudut sumbu panjang tulang di fraktur. Distraksi mengacu pada jarak
antara segmen tulang di patah tulang, dan rotasi adalah perubahan orientasi
menguntungkan jika orientasi vektor tarik otot bertindak untuk kompresi fraktur.
Fraktur yang tidak menguntungkan yaitu salah orientasi sehingga vektor tarik otot
Fraktur terbuka berarti ada paparan antara tulang yang patah dengan
lingkungan luar jaringan lunak, yang mengarah ke kontaminasi bakteri. Hal ini
sedikit membingungkan pada wajah karena disana terdapat rongga mulut, hidung,
24
dan sinus. Patah tulang yang melibatkan laserasi kulit wajah atau mukosa oral
disebut patah tulang terbuka. Biasanya, fraktur yang melibatkan bantalan tulang
gigi bahkan tanpa laserasi mukosa dianggap terbuka karena dari paparan flora
mulut melalui jaringan periodontal. Fraktur pada rongga hidung yang melibatkan
laserasi mukosa hidung juga terkena flora hidung. Fraktur pada sinus yang
yang terisi darah kemungkinan menjadi koloni cukup cepat. Beberapa fraktur
wajah tidak akan dianggap terbuka antara lain fraktur ramus mandibula terisolasi
atau patah tulang subcondylar dan patah tulang arkus zygomatic (Kellman Dkk,
2006).
menyebabkan patah tulang kurang kominutif dan kurang bergeser. Dampak energi
tinggi lebih biasanya terkait dengan cedera jaringan lunak yang lebih luas. Sebuah
dari pukulan benda tajam dengan energi yang sama karena energi pukulan
ditransfer ke jaringan yang lebih cepat. Trauma penetrasi seperti peluru berenergi
rendah menciptakan cedera lebih rendah dibanding peluru energi tinggi. Namun,
desain peluru juga menjadi pertimbangan. Sebuah peluru energi tinggi dengan
permukaan yang keras dapat keluar tubuh cukup cepat, tidak menghamburkan
semua energi ke dalam tubuh. Sebuah peluru energi yang lebih rendah yang
dirancang untuk memperluas sebagian besar energi sebelum keluar tubuh dapat
25
lebih merusak. Namun, jumlah energi gelombang kejut dari dampak peluru
Tulang adalah jaringan kompleks yang terdiri dari matriks kolagen yang
korteks yaitu lapisan luar dan cancellous atau spons yaitu lapisan bagian dalam.
tulang didapat melalui lapisan periosteum dan sirkulasi terbuka dalam sumsum
dan, sumsum tulang. Hal ini menyebabkan darah dan sel inflamasi sel memenuhi
jaringan granulasi, jaringan fibrosa, tulang rawan, dan menjadi tulang atau
langsung dari jaringan fibrosa menjadi tulang tergantung pada asal embryologic.
ketika tepi tulang tidak didekatkan. Mineralisasi terjadi jika pergerakan tidak
berlebihan. Jika tidak tereduksi secara anatomis, segmen akan sembuh dalam
posisi baru, yang dapat menyebabkan deformitas dan disfungsi (Kellman Dkk,
2006).
26
Jika jarak antara fragmen tulang berkurang oleh karena reduksi anatomis,
maka penyembuhan akan terjadi dengan kalus yang sedikit dan perubahan
anatomi sedikit terjadi. Area fraktur yang berdekatan dan terkompresi akan
nonunion merujuk pada fibrus union, dengan gap yang lebih luas dengan fungsi
yang sangat buruk, sedangkan fibrus union mungkin tidak menghasilkan defisit
fungsional. Pseudoarthrosis mengacu pada fibrus union yang cukup mobile untuk
berfungsi seperti sendi. Fenomena ini mungkin terjadi pada fraktur subcondylar
mengarah ke disfungsi dan nyeri. Tidak adekuatnya stabilisasi yang memadai dan
Dkk, 2006).
27
lain dunia. Pertemuan pertama dengan pasien fraktur wajah biasanya di unit gawat
ATLS meliputi pemeriksaan primer dan sekunder wajib dilakukan. Penting dalam
hal ini adalah pemeriksaan awal ke jalan napas. Luas memar jaringan lunak,
obstruksi jalan napas. Pada fraktur mandibula, intubasi nasotrakeal lebih tepat
digunakan. Namun, pada patah tulang rahang atas, selalu ada risiko patah tulang
pada fovea ethmoidalis. Intubasi dengan rute nasal dapat membahayakan bagian
menyingkirkan cedera tulang servikal. Pada titik ini, evaluasi hati-hati dari sistem
menyeluruh dan sekaligus mencari lokasi dan luasnya semua cedera. Tujuan
cedera yang dialami. Baik cedera jaringan lunak dan patah tulang harus dinilai,
pemulihan fungsi dan penampilan. Bentuk premorbid dan fungsi gigi, tulang, dan
reduksi teliti, dan fiksasi fraktur yang stabil. Pendekatan bedah harus
28
kulit atau di perbatasan estetik dari wajah. Tentu saja, sayatan dan pendekatan
yang dipilih tidak harus bertentangan dengan prinsip dasar memberikan eksposur
yang memadai untuk diagnosis dan fiksasi patah tulang apapun. Setelah
sampai fiksasi fraktur yang memadai dapat dilakukan. Reduksi yang tepat sangat
penting ketika fiksasi rigid digunakan. Teknik fiksasi harus memungkinkan untuk
Fraktur tulang wajah dapat ditangani dalam berbagai cara tergantung pada
dan tertutup. Terbuka dan tertutup mengacu apakah tindakan sayatan bedah
diperlukam untuk mengekspos tulang atau tidak. Reduksi dan fiksasi mengacu
tulang yang parah mencakup penggunaan tindakan bedah, anestesi umum bersama
dengan perangkat keras termasuk kawat, plat, dan penggunaan cangkok tulang
(Smith, 2011).
tulang dapat dibantu dengan penyatuan kembali fragmen fraktur diikuti fiksasi
29
Pengaliran kembali darah ke fragmen tulang atau graft tulang juga ditingkatkan
Berbagai tingkat stabilitas bisa diberikan oleh teknik fiksasi yang berbeda. Fiksasi
rigid dengan plate dan screw diduga memberikan stabilitas superior untuk
trauma yang membaik. Penggunaan plate telah dikritik karena teraba, kadang-
pertumbuhan, dan perisai stres melemahkan tulang. Beberapa kritik ini lebih
teoritis daripada yang lain, tapi sistem plating yang dapat diserap mengurangi
karakteristik sistem plating yang dapat diserap saat ini membutuhkan plate besar
dan sekrup dari bahan logam, sehingga mereka tidak cocok untuk setiap indikasi.
Namun, bahan baru yang diperkuat bisa mengatasi masalah ini (Kellman Dkk,
2006).
anatomis dan secara kaku bersama perangkat implan yang memberikan kekuatan
30
pelindung stres dan stabilitas fraktur. Plate menempel ke tulang dengan sekrup.
Setiap sekrup ditempatkan di tulang di setiap titik fiksasi. Plate yang lebih besar
yang terbuat dari bahan rigid memberikan stabilitas dan perisai stres yang lebih
besar. Sekrup besar memberi fiksasi yang lebih kuat dibanding sekrup kecil.
monocortical, dan meningkatkan jumlah baut atau titik fiksasi penahan plate akan
dengan meningkatkan gesekan antara tepi fraktur. Ketebalan tulang yang lebih
besar ditemukan ketika gaya yang bekerja pada tulang yang lebih besar; Namun,
lebih tebal tulang memerlukan sekrup lebih panjang, memberi stabilitas yang
Plat yang lebih rigid memerlukan pembengkokan plate yang lebih tepat
karena harus menyesuaikan dengan kontur permukaan tulang. Jika tidak, saat
memungkinkan kepala sekrup ulir untuk mengunci ke dalam lubang plat berulir
yang sesuai, sehingga kunci kepala sekrup ke plate (Kellman Dkk, 2006).
mengganti plate bicortical yang berat selama diposisikan dengan benar untuk
tambahan kekuatan kecuali korteks kedua bergeser. Panjang sekrup diluar tebal
tulang tidak menambah kekuatan, dan kerusakan struktur lain seperti akar gigi
tidak seragam, karena itu diterapkan secara berbeda oleh produsen yang berbeda.
Istilah miniplate biasanya mengacu pada plate dirancang dengan sekrup di kisaran
1,2 sampai 2,5 mm. Mikroplate merujuk pada plate dirancang untuk diameter
sekrup sekitar 1 mm. Ada beberapa ukuran menengah dan sistem modular dengan
beberapa dimensi plate dan sekrup. Sistem yang lebih besar yang dirancang
khusus untuk mandibula dengan diameter sekrup hingga 2,4 mm atau lebih dan
aplikasi lag sekrup. Biasanya, ukuran sekrup meningkat, begitu juga ketebalan
plat. Disebut plat tiga dimensi tersedia dalam mini dan ukuran mikro (Kellman
Dkk, 2006).
dimensi sekrup mungkin sama, miniplates mandibula lebih tebal dari miniplates
32
rahang atas dan zygomatic. Miniplates mandibula biasanya tebal 1 mm. Sistem
mandibula lebih lanjut digambarkan sebagai set trauma atau set rekonstruksi,
dengan set rekonstruksi menawarkan tebal (3 mm atau lebih) plat paling berat,
Plat khusus juga ada untuk bedah ortognatik atau dengan konfigurasi khusus yang
bersama saat sekrup didorong. Lubang-lubang plat berbentuk bulat, dan tepi
lubang miring. Ketika sekrup diperketat, kepala sekrup miring, membawa tulang
sesuai arahnya. Orientasi lubang plat menentukan arah gerakan dan kompresi.
Plat kompresi dinamis standar mengkompresi sejajar dengan pelat seluruh fraktur.
Plat kompresi dinamis eksentrik memiliki lubang di ujung yang berorientasi untuk
memberikan kompresi sudut untuk perbatasan superior mandibula. Saat ini, plat
kompresi jarang digunakan dibanding dulu, dan plat kompresi dinamis eksentrik
Sekrup ditempatkan di tulang sebagai titik fiksasi yang stabil, garis sekrup
kelemahan tulang yaitu osteoporosis atau osteitis. Teknik bedah yang baik, akan
diameter poros ulir dalam. Jika lubang terlalu kecil, gesekan yang berlebihan dan
33
stres akan dihasilkan. Hal ini dapat menyebabkan kepala sekrup patah atau lokal
Ketebalan sekrup ini bervariasi tapi biasanya di antara 0,1 sampai 1,0
pegangan pada tulang, apalagi lubang bor lebih besar dari yang diinginkan.
Kecepatan bor yang tinggi, bor melengkung, perubahan angulasi bor (yaitu,
menyebabkan gesekan dari tulang di sekitar lubang bor. Panas yang berlebihan
menyebabkan kematian osteosit secara lambat. Oleh karena itu, pengeboran yang
ideal dicapai dengan bor tajam dan lurus, bor kecepatan rendah, dengan panduan
bor, tangan yang stabil, dan irigasi yang banyak. Diameter bor harus sesuai
dengan diameter poros sekrup tanpa gurat bukan diameter dengan gurat (Kellman
Dkk, 2006).
Berbagai dimensi dan bentuk plat sesuai dengan aplikasi anatomi. Hal ini
memungkinkan ahli bedah untuk memaksimalkan jumlah titik fiksasi pada tulang
padat dan meminimalkan potensi cedera struktur dasar dan bekerja melalui
eksposur yang kadang-kadang sulit. Setidaknya dengan dua poin fiksasi, satu di
kedua sisi dari patah tulang, diperlukan supaya plat bisa berfungsi sebagai sebuah
alat penahan energi luar. Namun, tidak ada stabilitas rotasi dengan dua poin
fiksasi. Tiga poin fiksasi, dua sekrup di satu sisi fraktur dan satu di sisi lain, akan
mencegah rotasi plat. Namun, fragmen fraktur dengan hanya satu titik fiksasi
34
masih akan memiliki ketidakstabilan rotasi. Empat poin dari fiksasi, dua di kedua
sisi fraktur, harus menjadi tujuan minimum untuk memberikan stabilitas plat dan
kedua fragmen. Poin fiksasi tambahan hingga lima atau enam di kedua sisi fraktur
2006).
Struktur tulang wajah dapat dilihat sebagai kerangka kisi yang ditopang
tulang tebal yang memberi kekuatan tiga dimensi yang diperlukan untuk menahan
komponen wajah seperti sinus, orbit, faring, dan hidung dan rongga tengkorak
untuk reduksi fraktur. Reduksi anatomi dari tulang yang tipis juga harus
diperoleh, terutama tulang yang membentuk salah satu dinding dari orbit. Jika
35
tidak, isi orbital akan melorot melalui cacat dalam rongga yang berdekatan.
penggantian fragmen tulang yang tidak sejajar ke posisi sejajar. Pada trauma
wajah masif, titik referensi anatomi mungkin lebih sulit untuk diekspos dan
mungkin kominutif sehingga mereka tidak dapat memberikan reduksi yang tepat.
titik referensi ini mungkin memerlukan eksposur arkus zygomatic sebagai titik
Sistem penentuan posisi tiga dimensi intraoperatif dapat membantu masalah ini
Kadang-kadang, sebuah fragmen tulang dari daerah yang kurang penting dapat
tulang tambahan diperlukan, biasanya yang berasal dari luar tulang calvarial
populer yaitu ilium dan tulang rusuk. Semen hidroksiapatit menjanjikan untuk
Kunci untuk reduksi fraktur yang tepat adalah restorasi oklusi premorbid
pasien. Pemahaman oklusi gigi adalah elemen penting dari manajemen fraktur
wajah. Oklusi gigi adalah hubungan rahang atas dan gigi rahang bawah. Kaitan
fungsional yang paling penting adalah permukaan potong dan kunyah. Hubungan
ini sangat tergantung pada posisi relatif gigi dan angulasi mereka
harus ada. Untuk oklusi terjadi, cusp gigi-geligi rahang atas harus masuk ke dalam
alur dari gigi mandibula dan sebaliknya, hal ini disebut intercuspation. Facet
permukaan gigi harus kontak satu sama lain. Pola permukaan gigi mungkin satu-
satunya referensi ketika oklusi preinjury tidak normal. Oklusi molar normal dalam
puncak bukal mesial dari molar pertama molar dengan alur bukal dari rahang
Hubungan anterior gigi yang normal terjadi ketika anterior gigi rahang atas
tindih insisal sentral 1 sampai 3 mm. Peningkatan jarak horizontal antara gigi seri
adalah overjet. Peningkatan jarak vertikal disebut overbite atau gigitan dalam.
sebelumnya, hal ini berguna untuk mempertanyakan pasien atau keluarga tentang
oklusi preinjury. Catatan gigi juga cukup membantu. Dengan tidak adanya
37
informasi ini, permukaan facet adalah panduan oklusal utama. Ketika preinjury
oklusi tidak jelas, maka reduksi anatomi dari patah tulang sebelum dolakukan
fiksasi interdental mungkin lebih akurat. Seharusnya tidak ada keengganan untuk
Fiksasi interdental dan reduksi skeletal harus berkorelasi. Jika tidak, maka
Pada tahun 1899, Angle menjelaskan tiga dasar jenis occlusion yaitu kelas
I, kelas II dan kelas III. Oklusi kelas I dianggap normal. Hal ini didefinisikan
sebagai intercuspation dari titik puncak bukal mesial molar rahang atas pertama
dengan alur bukal dari molar mandibula pertama. Oklusi kelas II menunjukkan
sinovial dengan aksi bergeser dan engsel. Sendi ini berisi kapsul dengan disk
38
sensorik, yang sangat sensitif terhadap perubahan halus dalam pergerakan salah
satu atau kedua sendi. Sedikit perubahan di oklusi dari spasme otot atau patah
tulang dapat mengubah persepsi pusat posisi sendi. Loop umpan balik dalam
2.8 Komplikasi
Pada luka yang parah, tidak jarang mendapatkan hasil kurang sempurna,
meskipun rekonstruksi yang baik sering diterima oleh pasien yang menghargai
meningkatkan hasil dan mengkonversi hasil yang dapat diterima. Bijaksana dalam
daerah tulang yang hilang atau untuk reposisi bola mata. Kadang-kadang,
malunion bisa terjadi, cara mengatasinya adalah dengan remobilisasi dari tulang
wajah via osteotomy diikuti oleh reposisi dan refixation dengan graf tulang yang
2.9 Faktor risiko yang dianggap berperan pada maloklusi pasca reduksi
fraktur maksilofasial
Penyembuhan tulang yang baik selain memerlukan reduksi dan teknik operasi
yang baik juga harus ditunjang dengan suplai darah yang baik dan cukup.
Diantara tulang tulang wajah, tulang mandibula memiliki suplai darah yang lebih
sedikit dibandingkan maksila. Hal ini membuat fraktur pada tulang mandibula
lebih berisiko mengalami nonunion atau malunion yang pada akhirnya membuat
40
oklusi gigi tidak baik (Koshy dkk, 2010; Lee dkk, 2014). Setelah reduksi dan
fiksasi dari fraktur mandibula, segmen yang patah tersebut juga harus melawan
tarikan dari otot-otot pengunyah. Sedikit perubahan oklusi dari tulang mandibula
akan memberi sinyal umpan balik yang memaksa otot kontralateral pengunyahan
penelitian Marthinus dkk tahun 2014 pada hewan babon, didapatkan bahwa angka
penyembuhan dari tulang mandibula 106% lebih cepat dibanding tulang maksila
pada 3 minggu pertama setelah defek pada tulang terjadi (Marthinus dkk, 2014).
beberapa fragmen patahan tulang. Pada fraktur yang kompleks terjadi fragmen
fraktur lebih dari 1 sehingga reduksi anatomis tentu lebih sulit dibandingkan yang
operasi menjadi lebih sulit. Reduksi anatomis memegang peranan penting dalam
memerlukan lebih banyak poin fiksasi sehingga apabila kurang kuat maka
nonunion yang berakibat ke oklusi yang kurang baik (kellman dkk, 2006). Ellis
dkk telah melakunan penelitian tahun 2003 di Dallas dimana didapatkan adanya
41
Waktu operasi yang dimaksud adalah waktu dari kejadian sampai pasien
mendapat tindakan operatif. Dari berbagai literatur belum dipaparkan secara jelas
sesudah 1 hari kejadian fraktur maksilofasial (Booth dkk, 2012). Begitu juga
terhadap 168 pasien selama kurun waktu 10 tahun juga tidak terdapat perbedaan
yang signifikan terhadap komplikasi pada operasi reduksi yang dilakukan sebelum
dan sesudah 3 hari (Rothweiler dkk, 2017). Pada tahun 2002 Ruller dkk juga
berpendapat fraktur yang direduksi kurang dari 7 hari mendapat hasil yang baik
(Bhama, dkk 2016, Rasul, dkk 2016, Kellman 2006). Sampai 14 hari setelah
dan reduksi anatomis menjadi sulit, jaringan lunak sudah melengket ke antara
fragmen fraktur (Booth dkk, 2012). Melaksanakan perawatan lebih dari waktu
tersebut akan menyulitkan tindakan karena telah terjadi fibrosis dan penyembuhan
awal telah terbentuk. Sehingga tindakan yang dilakukan lebih dari 14 hari dari
kejadian akan menyulitkan tindakan operasi karena harus menghadapi fibrosis dan
proses penulangan yang sebelumnya terjadi. Hal ini tentu berpengaruh dalam
42
penyembuhan dan bisa mengarah ke oklusi yang buruk. (Rasul dkk, 2016).
Menurut Barker dkk operasi reduksi yang dikerjakan setelah 14 hari tidak
dengan reduksi terbuka dan fiksasi internal. Teknologi plate dan screw adalah
maju tetapi peran dari fiksasi kawat tidak dapat diabaikan. Namun, di dunia ketiga
di mana fraktur wajah terdiri proporsi yang signifikan dari trauma, kurangnya
dari kurang adekuatnya fiksasi dari Le Fort atau fraktur mandibula (Handal dkk,
2015). Berbagai tingkat stabilitas bisa diberikan oleh teknik fiksasi yang berbeda.
Fiksasi rigid dengan plate dan screw diduga memberikan stabilitas superior
seluruh fraktur. Oleh karena stabilisasi dengan teknik fiksasi selain plat dan screw
misalnya introseus wire akan menjadi risiko oklusi yang kurang baik. (Kellman
tidak sebagus plat dan screw dalam menjaga pergerakan fragmen tulang. Namun
Faso, Beogo dkk telah melakukan studi pada tahun 2014 dimana penggunaan
43
lebih dari 90% (Beogo dkk, 2014). Bahkan Gandhi dkk mengatakan bahwa pada
yang lebih ditoleransi tubuh dan sampai saat ini belum ada yang dilaporkan
maksilofasial. Eral dkk juga melaporkan adanya keluhan terasa dingin ketika
kelemahan, dimana tidak cukup baik dalam menjaga pergerakan antar fragmen
mengencangkan kawat. Maloklusi dapat terjadi apabila reduksi tidak adekuat pada
fraktur LeFort dan fraktur mandibula baik dalam penggunaan plat maupun kawat
merupakan alternatif yang baik bagi daerah yang sulit dalam ketersediaan plat
BAB III
20-60% pasien trauma. Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada
tulang nasal, tulang maksila, dan juga tulang mandibular. Seringkali pasien
fraktur maksilofasial juga disertai cedera organ tubuh lainnya misalnya cedera
kepala.
palpasi tulang wajah. Sebuah computed tomografi (CT) scan tulang wajah sangat
operatif patah tulang wajah melibatkan eksposur yang memadai, reduksi teliti,
dan fiksasi fraktur yang stabil. Cara terbaik untuk mencapai keakuratan dan
kestabilan, adalah dengan reduksi terbuka dan fiksasi internal baik dengan plat
Kunci untuk reduksi fraktur yang tepat adalah restorasi oklusi premorbid
pasien. oklusi gigi adalah hubungan antara gigi rahang atas dan gigi rahang
bawah. Kaitan fungsional yang paling penting adalah permukaan potong dan
kunyah. Oklusi diperiksa berdasarkan Angle yaitu normal (kelas I), maloklusi
Fraktur Maksilofasial
Variabel independen:
1. Lokasi fraktur
2. Jenis fraktur
3. Waktu dikerjakan
4. Jenis fksasi
Variabel dependen:
oklusi
46
3. Waktu dari kejadian sampai tindakan lebih dari 7 hari merupakan factor
maksilofasial
BAB IV
METODE PENELITIAN
b. Data merupakan data sekunder yang diambil dari rekam medis semua
2016.
operatif selama kurun waktu Januari 2016 sampai dengan Desember 2016.
operasi dan akan dilakukan penilaian oklusi setelah bulan ketiga pasca operasi.
Data diambil dari rekam memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel
penelitian pada penelitian ini dipilih secara acak sampai jumlah sampel yang
diperlukan terpenuhi.
49
Z2∝ . p . q
n=
d2
q = 1-p = 50 %
d = derajat penyimpangan 15 %
n = 42
adalah 42.
variabel, yaitu:
a. Variabel bebas adalah lokasi fraktur, jenis fraktur, lama waktu antara
maksila, dan juga tulang mandibular. Fraktur simpel apabila terdapat satu
garis fraktur, fraktur kompleks apabila garis fraktur lebih dari satu (Japardi,
(dalam satuan hari) dari waktu kejadian fraktur/ trauma sampai tiba di ruang
operasi rumah sakit berdasarkan data rekam medis, dibagi menjadi 2 kategori
d. Oklusi gigi adalah hubungan rahang atas dan gigi rahang bawah, dinilai
sesuai klasifikasi Angle, oklusi normal apabila jarak insisival 1-3mm dan alur
gigi ragang atas sesuai dengan yang rahang bawah. Apabila tidak sesuai dapat
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari
dan pemeriksaan penunjang diagnostik X- ray skull AP/ Lat, water’s view dan
atau CT scan kepala dan telah menjalani operasi reduksi serta follow-up dalam hal
maksilofacial :
eksklusi.
RSUP Sanglah Denpasar dijadikan sampel setelah memenuhi kriteria inklusi dan
fraktur, jenis fraktur, waktu dikerjakan, jenis fiksasinya. Selama dirawat di RSUP
Data-data yang telah diperoleh kemudian dianalisis dan hasilnya disajikan dalam
laporan.
oklusi
Faktor
risiko +
maloklusi
Fraktur
maksilofasial Data Analisis
oklusi
Faktor
risiko -
maloklusi
bebas dengan satu variabel tergantung. Analisis ini dilakukan dengan cara
tidak ada hubungan dengan variabel tergantung, sedangkan jika OR < 1 maka
tergantung. Uji statistik yang digunakan pada analisis bivariabel ini adalah chi
dan nilai p.
BAB V
dilakukan operasi dalam kurun waktu Januari 2016 sampai Desember 2016 (tabel
4.)
Table 4
Karakteristik penelitian
Pada table 4 didapatkan data umur sampel dengan rata-rata 30,1 (SD:
12,8) dengan outcome hasil operasi maloklusi yang rendah hanya 4(9,5%) dan
55
terbanyak pada laki-laki 32 (76, 2%) dengan kejadian oklusi paska operasi 28
cedera penyerta didapatkan data sampel yang mengalami maloklusi disertai cedera
fraktur mandibular dengan maksila yang terjadi maloklusi sama yaitu masing-
fraktur parasimpisis dan angulus, simpisis dan angulus, lefort II dan lefort III.
operasi < 7 hari didapatkan kejadian oklusi sebanyak 35(88,1%) dan kejadian
maloklusi sama pada lama waktu operasi ≥ 7 hari dan < 7 hari masing-masing
miniplate memberikan outcome yang lebih baik dibandingkan wire dengan oklusi
komplikasi pasca operasi didapatkan data komplikasi yang dirasakan berupa rasa
Fraktur Maksilofacial
Tabel 5
Hubungan lokasi fraktur, kompleksitas, waktu operasi dan jenis fiksasi dengan
outcome hasil operasi
dengan kejadian maloklusi dengan p-value 0,196 dengan OR 0,267 < 1. Pada
0,013 dan OR 11,6 yang berarti lama waktu operasi meningkatkan kejadian
57
maloklusi sebanyak 11, 6 kali. Berdasarkan jenis fixasi yang digunakan tidak ada
hubungan yang signifikan dengan outcome hasil operasi dengan p-value 0,440.
hasil operasi. Uji regresi logistic melalui beberapa tahapan untuk menyatakan
bahwa model uji dapat dilakukan. Pada table Omnibus Tests of Model
Coefficients didapatkan nilai p-value 0,045 < 0,05 yang berarti bahwa variabel
Selanjutnya pada uji Hosmer dan Lemeshow didapatkan nilai p-value 0,862 > 0,05
(lampiran).
Tabel 6
Faktor risiko lokasi fraktur, kompleksitas, waktu dilakukan operasi dan
jenis fixasi terhadap outcome hasil operasi
dan jenis fiksasi pada saat diuji secara bersama dalam uji regresi logistic
berdasarkan p-value tidak ditemukan faktor yang paling dominan, tetapi pada
58
kolom B didapatkan kompleksitas dan waktu operasi bernilai positif yang berarti
ada hubungan positif dari kompleksitas dan waktu operasi terhadap outcome hasil
5.4 Pembahasan
mengembalikan oklusi sebelum fraktur. Pada penelitian ini diteliti faktor faktor
maksilofasial antara lain lokasi fraktur, kompleksitas fraktur, jenis fiksasi yang
digunakan dan waktu dari kejadian sampai pasien dioperasi. Dari hasil uji bivariat
pasca operasi reduksi fraktur. Lama waktu dari kejadian sampai dikerjakan
operasi reduksi fraktur lebih dari 7 hari juga secara signifikan berkaitan dengan
fraktur maksilofasial sebesar 9,5%. Nilai ini lebih rendah dari yang dilaporkan
pada penelitian Jani di Swedia tahun 2006 yaitu sebesar 13,6%. Bahkan angka
yang lebih besar lagi ditunjukkan oleh penelitian Saha di India tahun 2015 sebesar
21,64% dan penelitian Charles tahun 2016 sebesar 28,8%. Ini menunjukkan
outcome hasil operasi reduksi fraktur maksilofasial yang cukup bagus di RSUP
Sanglah Denpasar.
dengan nilai p sebesar 0,045, namun pada uji multivariat tidak menunjukkan hasil
yang signifikan. Studi dari Lee di Korea dimana pada studi tersebut semua pasien
tahun 2009. Ini dikarenakan fragmen fraktur yang banyak sering tidak stabil dan
outcome yang lebih buruk, waktu rawat lebih lama dan terjadi masa inflamasi
yang lebih lama (Schenkel dkk, 2014). Pada fraktur yang kompleks terjadi lebih
dari satu garis fraktur sehingga reduksi anatomis lebih sulit dari yang sederhana
pengerjaan yang lebih lama dibandingkan yang sederhana. Boruk dkk mengatakan
adanya hubungan korelasi yang positif antara waktu anestesi dengan anestesi
tulang berupa nonunion atau malunion yang bisa mengarah terjadinya maloklusi.
Ellis dkk telah melakunan penelitian tahun 2003 di Dallas dimana didapatkan
pada berbagai literatur. Menurut Safa dkk, penundaan reduksi fraktur beberapa
hari tidak mengubah outcome operasi (Sharabi dkk, 2010). Pada fraktur terbuka,
semakin lama operasi ditunda maka semakin meningkat resiko infeksi dan
meningkat juga risiko outcome yang buruk. Banyak studi memperlihatkan tidak
sesudah 1 hari kejadian fraktur maksilofasial (Booth dkk, 2012). Begitu juga
terhadap 168 pasien selama kurun waktu 10 tahun juga tidak terdapat perbedaan
yang signifikan terhadap komplikasi pada operasi reduksi yang dilakukan sebelum
dan sesudah 3 hari (Rothweiler dkk, 2017). Pada tahun 2002 Ruller dkk juga
mendapat hasil yang serupa dengan studi Rothweiler. Pada uji bivariat di
penelitian ini waktu dari kejadian hingga dikerjakan operasi lebih dari 7 hari
secara signifikan berkaitan dengan kejadian maloklusi pasca operasi dengan nilai
p 0,013 dengan OR 11,6, hanya saja pada uji multivariat tidak signifikan memberi
hari mendapat hasil yang baik (Bhama, dkk 2016, Rasul, dkk 2016, Kellman
2006). Sampai 14 hari setelah kejadian, sudah terjadi proses penyembuhan inisial
yang menyebabkan mobilisasi dan reduksi anatomis menjadi sulit, jaringan lunak
sudah melengket ke antara fragmen fraktur (Booth dkk, 2012). Menurut Barker
dkk operasi reduksi yang dikerjakan setelah 14 hari tidak memberi perbedaan
reduksi anatomis maka dilakukan fiksasi pada fragmen fraktur baik dengan plat
maupun kawat osteosintesis. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang
terhadap outcome hasil operasi. Plat dan screw dikatakan memberi stabilitas yang
plat dan screw dalam menjaga pergerakan fragmen tulang. Namun dengan
hasil yang memuaskan(Miloro, 2004) seperti pada penelitian ini dimana semua
Beogo dkk telah melakukan studi pada tahun 2014 dimana penggunaan kawat
90% (Beogo dkk, 2014). Bahkan Gandhi dkk mengatakan bahwa pada fraktur
screw yang sesuai. Kawat osteosintesis menggunakan bahan yang lebih ditoleransi
tubuh dan sampai saat ini belum ada yang dilaporkan mengalami intoleran
terhadap kawat ini. Berbeda dengan plat dimana Charanarayan pernah melaporkan
kejadian rejeksi dari penggunaan implan plat maksilofasial. Eral dkk juga
melaporkan adanya keluhan terasa dingin ketika cuaca dalam keadaan dingin.
62
Namun penggunaan kawat juga memiliki kelemahan, dimana tidak cukup baik
iatrogenik juga dapat terjadi saat mengencangkan kawat. Maloklusi dapat terjadi
apabila reduksi tidak adekuat pada fraktur LeFort dan fraktur mandibula baik
osteosintesis dalam reduksi fraktur masih merupakan alternatif yang baik bagi
Diantara tulang wajah, tulang mandibula memiliki suplai darah dibanding tulang
maksila, selain itu pada reduksi dan fiksasi fraktur mandibula, fragmen fraktur
Hasil operasi yang baik akan didapat bila reduksi anatomis serta fiksasi yang tepat
didukung dengan teknik operasi yang baik juga. Literatur yang membandingkan
Menurut penelitian Marthinus dkk tahun 2014 pada hewan babon, didapatkan
bahwa angka penyembuhan dari tulang mandibula 106% lebih cepat dibanding
tulang maksila pada 3 minggu pertama setelah defek pada tulang terjadi
BAB VI
63
6.1 Simpulan
Pada penelitian ini lokasi fraktur, kompleksitas, waktu operasi dan jenis
fiksasi bukan merupakan faktor risiko terjadinya maloklusi pada pasien fraktur
maksilofasial yang menjalani operasi di RSUP Sanglah Denpasar.
6.2 Saran
fiksasi maksilo-mandibular.
DAFTAR PUSTAKA
64
Aktop, S., Gonul, O., Satilmis, T., Garip, H., Goker, K. 2013. Management of
Midfacial Fractures. A Textbook of Advanced Oral and Maxillofacial Surgery.
Bailey, B.J., Johnson, J.T., Newlands, S.D. 2006. Head & Neck Surgery-
Otolaryngology 4th Edition
Barker, D.A., Oo, K.K., Allak, A., Park, S.S., 2011. Timing for repair of mandible
fractures. Laryngoscope. 2011 Jun. 121(6):1160-3
Beogo, R., Bouletreau, P., Konsem, T., Traore, I., Caulibaly, A.T. 2014. Wire
internal fixation: an obsolete, yet valuable method for surgical management of
facial fractures. Pan Afr Med J.2014;17:219
Booth, P.W., Schmelzein, R., 2012. Maxillofacial Trauma and Esthetic Facial
Reconstruction. Elseviers. p:122-124
Chakranarayan A, Thapliyal GK, Sinha R, Menon PS. Efficacy of two point rigid
internal fixation in the management of zygomatic complex fracture. J Maxillofac
Oral Surg. 2009;8(3):265–269
65
Ellis, E., Muniz, O., Anand., 2003. Treatment considerations for comminuted
mandibular fractures. Maxillofacial Surgery. Vol 6, issue 8, p:861-870
Gandi LN, Kattimani VS, Gupta AV, Chakravarthi VS, Meka SS. Prospective
blind comparative clinical study of two point fixation of zygomatic complex
fracture using wire and mini
plates. http://www.biomedcentral.com/content/pdf/1746-160X-8-7.pdf
Handa1, A., Surendra, S.S., Rana, S.S., Mantri, R., Sharma, M., Virani, R. 2015.
Transosseous Wire Fixation: An Obsolete, Yet Valuable Method For Surgical
Management Of Facial Fractures. Journal of Applied Dental and Medical
Science. Volume 1 Issue 3
Kellman, R.M., Tatum, S.A. 2006. Complex Facial Trauma with Plating. Head &
Neck Surgery-Otolaryngology 4th Edition
Koshy, J.C., Feldman, E.M., Obi, C.J., Bullock, J.M. 2010. Pearls of Mandibular
Trauma Management. Semin Plast Surg. (4): 357-374
Lee, S.S., Kim, S.S., Moon, S.y., Oh, J.S., You, J.S. 2014. The treatment of
malocclusion after open reduction of maxillofacial fracture: a report of three
cases. J Korean Assoc Oral Maxilofac Surg. (2):91-95
66
Marthinus, J.K., Kurt, W.B., Steve, A.O., 2014. A comparison of mandibular and
maxillary alveolar osteogenesis over six weeks. Head Face Med;2014;10:50
Miloro, M., 2004. Peterson’s Principles Of Oral and Maxillofacial Surgery Second
edition. Hamilton. London. p:370-375
Moore, K.L., Dalley, A.F., Agur, A.M. 2014. Moore Clinically Oriented Anatomy
Seventh Edition. p: 822-859
Nguyen, M., J.C. Koshy, dan L.H. Hollier. 2010. Pearls of Nasoorbitoethmoid
Trauma Management. Seminar in Plastic Surgery 24: 383-388.
Ondik MP, Lipinski I., Dezfoli S dkk., 2009. The treatment of nasal fractures:a
changing paradigm. Arch Facial Plast Surg 11:296-302,2009.
Rothweiler, R., Bayer, J., Zwingmann, J., Suedkamp, N.P., Kalbhenn, J., 2017.
Outcome and complications after treatment of facial fractures at different times in
polytrauma patients. J Craniomaxillofac Surg. 2018 Feb;46(2):283-287
Schenkel, J.S., Obwegeser, J., Zemann, W., Rostetter, C., Tandon, R. 2014.
Outcome of comminuted mandibular fracture repair using an intraoral approach
for osteosynthesis. Journal of Craniofacial Surgery, 25(6):2033-2037
Schoenwetter, R.F., 1961. Reduction and Fixation of Facial Fracture. Available
from:www.angle.org [accessed on 10 February 2017]
Stewart, M.G., Chen, A.Y. 1997. Factors predictive of poor compliance with
follow-up after Facial trauma: A prospective study. Otolaryngol Head Neck
Surgery: 117:72-75
Lampiran
Descriptive Statistics
Cases
Crosstab
oklusi maloklusi
Count 28 4 32
Count 38 4 42
Chi-Square Tests
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .95.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Lower Upper
Crosstab
oklusi maloklusi
Count 8 2 10
Chi-Square Tests
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .95.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Lower Upper
Crosstab
oklusi maloklusi
Count 20 0 20
Count 38 4 42
Chi-Square Tests
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.90.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Lower Upper
Crosstab
oklusi maloklusi
Count 35 2 37
Count 38 4 42
Chi-Square Tests
a. 3 cells (75.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .48.
b. Computed only for a 2x2 table
Crosstab
oklusi maloklusi
Count 33 4 37
Count 38 4 42
Chi-Square Tests
73
a. 3 cells (75.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .48.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Lower Upper
Crosstab
Count 18 0 18
Count 3 0 3
Count 2 0 2
Count 1 1 2
74
Count 2 0 2
parasimpisis
% within bagian tulang yang fraktur 100.0% 0.0% 100.0%
+angulus
% of Total 4.8% 0.0% 4.8%
Count 2 1 3
simpisis+ang
% within bagian tulang yang fraktur 66.7% 33.3% 100.0%
ulus
% of Total 4.8% 2.4% 7.1%
Count 1 0 1
Count 4 1 5
lefort II % within bagian tulang yang fraktur 80.0% 20.0% 100.0%
Count 1 1 2
lefort III % within bagian tulang yang fraktur 50.0% 50.0% 100.0%
Count 1 0 1
simpisis+para
% within bagian tulang yang fraktur 100.0% 0.0% 100.0%
simpisis
% of Total 2.4% 0.0% 2.4%
Count 38 4 42
Chi-Square Tests
Crosstab
oklusi maloklusi
Count 23 1 24
Chi-Square Tests
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.71.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Lower Upper
Crosstab
oklusi malokl
usi
Count 6 1 7
ada komplikasi (ngilu, infeksi % within komplikasi paska 85.7% 14.3% 100.0
luka) operasi %
Chi-Square Tests
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .67.
b. Computed only for a 2x2 table
77
Risk Estimate
Lower Upper
Total 42 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 42 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of
cases.
oklusi 0
maloklusi 1
Classification Tablea,b
Observed Predicted
hasil operasi
78
oklusi 38 0 100.0
hasil operasi
Step 0 maloklusi 4 0 .0
Score df Sig.
Chi-square df Sig.
Model Summary
1 1.294 4 .862
1 3 3.000 0 .000 3
2 15 15.000 0 .000 15
3 4 4.000 0 .000 4
Step 1
4 10 9.279 0 .721 10
5 4 4.721 2 1.279 6
6 2 2.000 2 2.000 4
Classification Tablea
Observed Predicted
oklusi 37 1 97.4
hasil operasi
Step 1 maloklusi 4 0 .0
Lower Upper
80