Anda di halaman 1dari 74

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Maksilofasial

Anatomi kepala bersifat kompleks, baik dari sifat fisik kulit, tulang, dan

otak sangat berbeda. Komponen skeletal wajah tersusun supaya apabila terjadi

retak akibat trauma jarang mengganggu jaringan didalamnya. Tingkat keparahan

dan pola fraktur tergantung pada besarnya kekuatan trauma, durasi trauma,

percepatan yang diberikan ke bagian tubuh yang terkena, dan laju perubahan

percepatan serta luas permukaan impaksi (Aktop dkk, 2013).

Regio Maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian, bagian pertama merupakan

wajah bagian atas (upper face), dimana fraktur dapat terjadi meliputi tulang

frontal dan sinus frontalis. Bagian kedua merupakan wajah tengah (midface),

dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Bagian atas midface dimana terjadi fraktur

Le Fort II dan Le Fort III dan atau fraktur tulang hidung, nasoethmoidal atau

kompleks zygomaticomaxillary, dan dasar orbita. Fraktur Le Fort I merupakan

fraktur midface bagian bawah. Sedangkan bagian ketiga dari regio Maksilofasial

adalah wajah bagian bawah, yaitu fraktur yang terjadi pada mandibula. Panfacial

fracture merupakan fraktur yang melibatkan ketiga regio maksilofasial tersebut.

Tujuan pada perawatan pada trauma wajah yang parah adalah rekonstruksi 3D

dengan proyeksi wajah sebelum terjadinya trauma serta restorasi bentuk dan

fungsi. Susunan anatomi tulang-tulang maksilofasial dapat lebih jelas dilihat pada

gambar 1 (Rasul dkk, 2016; Moore dkk, 2014).


8

Gambar 1. Anatomi tulang maksilofasial ( Moore dkk, 2014)

2.2 Trauma Maksilofasial

Trauma adalah penyebab utama kematian dan kecacatan dari Amerika usia

kurang dari 40 tahun. Di Amerika Serikat, lebih dari 150.000 kematian akibat

kekerasan terjadi setiap tahun, dan lebih dari 500.000 korban trauma yang tersisa

dengan cacat permanen. Setiap tahun, sekitar 30 sampai 40 juta kunjungan dibuat

untuk unit gawat darurat untuk perawatan cedera. Biaya untuk itu cukup

signifikan. Pada tahun 2000, $ 117.000.000.000 dihabiskan oleh Amerika, yang

menyumbang 10% dari seluruh pengeluaran medis dibandingkan dengan

persentase disebabkan masalah kesehatan masyarakat lainnya seperti obesitas

(9,1%) dan merokok (14,4%) (Bailey dkk, 2006).


9

Trauma maksilofasial berarti cedera pada wajah atau tulang maksilofasial.

Trauma wajah termasuk luka pada kulit, tulang kepala, hidung dan sinus, rongga

mata, atau gigi dan bagian lain dari mulut. Trauma wajah sering ditandai oleh

pembengkakan atau luka (robek di kulit). Tulang-tulang tersebut antara lain:

tulang nasoorbitoetmoid, tulang zigomatikomaksila, tulang nasal, tulang maksila,

tulang mandibular. Tanda-tanda patah tulang meliputi memar di sekitar mata,

pelebaran jarak antara mata, pergerakan rahang atas ketika kepala stabil, sensasi

abnormal pada wajah, dan perdarahan dari hidung, mulut, atau telinga (Stewart

dkk, 1997).

2.2.1 Fraktur Maksilofasial

Fraktur adalah hilangnya atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh.

Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu

tulang nasoorbitoetmoid, tulang zigomatikomaksila, tulang nasal, tulang maksila,

dan juga tulang mandibula (Japardi, 2004). Fraktur tulang wajah memerlukan

sejumlah besar kekuatan. Dokter harus memperhitungkan mekanisme cedera serta

temuan pemeriksaan fisik ketika menilai pasien. Kekuatan yang diperlukan untuk

menghasilkan fraktur tulang wajah adalah sebagai berikut:

•fraktur hidung - 30 g

•fraktur zygoma - 50 g

• mandibula (angle) fraktur - 70 g

• fraktur wilayah Frontal - 80 g

• rahang atas (garis tengah) patah tulang - 100 g


10

• mandibula (garis tengah) patah tulang - 100 g

• fraktur rima supraorbital - 200 g

Pada fraktur sinur Frontal baik dinding anterior dan posterior mungkin rusak.

Karena dinding posterior berdekatan dengan duramater, kerusakan di wilayah ini

dapat mengakibatkan komplikasi sistem saraf pusat (SSP) seperti kebocoran

cairan serebrospinal (CSF) atau meningitis (Rupp dkk, 2016).

Tulang orbita terdiri dari 7 tulang dari berbagai ketebalan. Tulang frontal

membentuk rim supraorbital dan atap orbital. Permukaan medial terdiri dari

ethmoid, sedangkan dinding yang lebih besar dari sphenoid dan zygoma yang

membuat margin lateral. Di inferior, dasar dan rima infraorbital dibentuk oleh

zygoma dan maksila. Bagian ini sangat tipis, Oleh karena itu, itu adalah tempat

yang paling sering dari fraktur dalam orbit. Fraktur dasar orbita, juga dikenal

sebagai fraktur blow-out, dapat mengakibatkan jeratan dari otot rektus inferior,

sehingga membatasi pandangan ke atas. Patah tulang yang paling umum untuk

rima orbital melibatkan daerah orbita zygomatic, fraktur ini yang biasanya hasil

dari pukulan impaksi tinggi ke orbita lateral, sering menyebabkan fraktur ke dasar

orbital juga (Rupp dkk, 2016).

Hidung adalah bagian yang paling menonjol dari struktur wajah dan

adalah yang paling sering retak dari semua tulang wajah. Sepertiga atas hidung

didukung oleh sepasang tulang hidung dan tonjolan frontal dari rahang atas,

sedangkan dua pertiga bawah dari hidung disusun oleh struktur bertulang rawan.

Sebuah cedera yang lebih serius, patah tulang nasoorbitoethmoid, terjadi dengan

trauma ke septum dari hidung. Cedera ini melibatkan ekstensi ke dalam tulang
11

frontal dan maksila dan dapat mengakibatkan terganggunya cribriform plate

bersamaan dengan CSF rhinorrhea (Rupp dkk, 2016).

Seperti tulang hidung, zygoma adalah tulang wajah yang menonjol dan,

karena itu, rawan cedera. Umumnya, sebuah kerusakan di daerah ini melibatkan

depresi sentral dengan patah tulang pada kedua ujungnya. Fragmen sentral dapat

menimpa pada otot temporalis, mengakibatkan trismus. Karena ketebalannya,

fraktur terisolasi dari zygoma yang jarang terjadi, sering melibatkan ekstensi ke

dalam tulang lebih tipis dari orbit atau maksila, atau dikenal sebagai

zygomaticomaxillary (yaitu, patah tulang tetrapod atau tripod) (Rupp dkk, 2016).

Rene Le Fort pertama kali menjelaskan fraktur daerah rahang atas di tahun

1900-an . Klasifikasi patah tulang rahang atas didasarkan pada tingkat yang paling

unggul dari situs fraktur. Klasifikasinya merupakan yang paling sering digunakan

secara luas untuk fraktur daerah maksila. Fraktur mandibula dapat melibatkan

daerah simfisis, tubuh/body, sudut/ angulus, ramus, kondilus, dan subcondyle.

Fraktur body mandibula, kondilus, dan angulus terjadi dengan frekuensi yang

hampir sama, diikuti oleh fraktur ramus dan prosesus koronoid. Secara umum,

kecelakaan kendaraan bermotor mengakibatkan fraktur condylar dan simfisis

daerah karena gaya diarahkan terhadap dagu, sedangkan luka dari tinju lebih

cenderung berada di sudut mandibula, sebagai hasil dari pukulan tangan kanan .

Lebih dari 50% dari patah tulang rahang bersifat multipel; adanya fraktur satu

mandibula memerlukan evaluasi fraktur tambahan, mungkin ada sisi kontralateral

ke yang terkena (Rupp dkk, 2016).


12

2.2.2 Epidemiologi Trauma Maksilofasial

Pada tahun 2003, Motamedi melaporkan distribusi patah tulang wajah yaitu

72,9% mandibula, 13,9% rahang atas, 13,5% zygomatic, 24,0% zygomatico-

orbital, 2,1% kranial, 2,1% hidung, dan 1,6% cedera frontal. Penyebab cedera

maksilofasial ini adalah mobil (30,8%) dan sepeda motor (23,2%), olahraga

(6,3%), dan peperangan (9,7%) . Distribusi patah tulang maksila adalah 54,6% Le

Fort II, 24,2% Le Fort I, 12,1% Le Fort III, dan 9,1% alveolar. Menurut Cook and

Rowe, luka midfasial paling sering terjadi pada individu yang berusia 21-30 tahun

(43%). Usia 11-20 tahun dan 31-40 tahun kelompok umur masing-masing

menyumbang 20% (Aktop dkk, 2013).

Tymoty juga menyebutkan hampir 75% dari fraktur wajah terjadi di

mandibula, zygoma, dan hidung. Partisipasi Olahraga adalah penyebab paling

umum dari fraktur mandibula (31,5%), diikuti oleh kecelakaan kendaraan

bermotor (27,2%) (Rupp dkk, 2016).

Fraktur maksilofacial juga terjadi lebih sering pada laki-laki dewasa dan

remaja muda, usia rata-rata untuk laki-laki dewasa adalah 32 tahun, usia rata-rata

untuk anak-anak, 12,5 tahun (Rupp dkk, 2016). Di philipina rasio kejadian antara

laki-laki dan wanita 7.1:1 (Beogo dkk, 2014). Di Indonesia, pasien trauma

maksilofasial dengan jenis kelamin pria mewakili 81,73% dari jumlah kasus

(Muchlis, 2011).

2.2.3 Etiologi Fraktur Maksilofasial

Menurut Motamedi penyebab cedera maksilofasial ini adalah mobil (30,8%) dan

sepeda motor (23,2%), olahraga (6,3%), dan peperangan (9,7%). Menurut studi
13

Baego tahun 2014 di Philipina ada keterkaitan yang signifikan antara fraktur

wajah multipel dan kecelakaan lalu-lintas (Beogo dkk, 2014).

2.2.4 Klasifikasi Fraktur Maksilofasial

2.2.4.1 Fraktur Nasoorbitoetmoid (NOE)

Anatomi kompleks yang berliku-liku mengakibatkan fraktur NOE

merupakan fraktur yang paling sulit untuk direkonstruksi. Kompleks NOE terdiri

dari sinus frontalis, sinus ethmoid, anterior cranial fossa, orbita, tulang temporal,

dan tulang nasal (Tollefson, 2013). Medial canthal tendon (MCT) berpisah

sebelum masuk ke dalam frontal process dari maksila. Kedua tungkai dari tendon

ini mengelilingi fossa lakrimal. Komponen utama dari NOE ini dikelilingi oleh

tulang lakrimal di posterior, tulang nasal dan pyriform aperture di anterior, tulang

frontal di kranial, maksila di inferior, rongga udara etmoid di tengah, dan orbita di

lateral (Nguyen, 2010).

Klasifikasi yang digunakan pada fraktur NOE adalah klasifikasi Markowitz-

Manson yang terdiri dari tiga tipe yaitu (Aktop, 2013):

1. Tipe I: MCT menempel pada sebuah fragmen sentral yang besar.

2. Tipe II: MCT menempel pada fragmen sentral yang telah pecah namun

dapat diatasi atau MCT menempel pada fragmen yang cukup besar untuk

memungkinkan osteosynthesis.

3. Tipe III: MCT menempel pada sentral fragmen yang pecah dan tidak dapat

diatasi atau fragmen terlalu kecil untuk memungkinkan terjadinya

osteosynthesis atau telah terlepas total.


14

Fraktur NOE meliputi 5% dari keseluruhan fraktur maksilofasial pada orang

dewasa. Kebanyakan fraktur NOE merupakan fraktur tipe I. Fraktur tipe III

merupakan fraktur yang paling jarang dan terjadi pada 1-5% dari seluruh kasus

fraktur NOE (Nguyen, 2010).

Gambar 2 Klasifikasi Markowitz-Manson (Aktop, 2013).

Gambar 3 Klasifikasi Markowitz-Manson (Tollefson, 2013)

2.2.4.2 Fraktur Zigomatikomaksila

Zygomaticomaxillary complex (ZMC) mempunyai peran penting pada

struktur, fungsi, dan estetika penampilan dari wajah. ZMC memberikan kontur
15

pipi normal dan memisahkan isi orbita dari fossa temporal dan sinus maksilaris.

Zigoma merupakan tempat melekat dari otot maseter, oleh karena itu

kerusakannya akan berpengaruh terhadap proses mengunyah (Tollefson, 2013).

Fraktur ZMC menunjukkan kerusakan tulang pada empat dinding penopang

yaitu zygomaticomaxillary, frontozygomatic, zygomaticosphenoid, dan

zygomaticotemporal. Fraktur ZMC merupakan fraktur kedua tersering pada

fraktur maksilofasial setelah fraktur nasal (Meslemani, 2012).

Klasifikasi pada fraktur ZMC yang sering digunakan adalah klasifikasi

Knight dan North. Klasifikasi ini turut mencakup tentang penanganan terhadap

fraktur ZMC. Klasifikasi tersebut dibagi menjadi enam yaitu (Meslemani, 2012):

1. Kelompok 1: Fraktur tanpa pergeseran signifikan yang dibuktikan secara

klinis dan radiologi

2. Kelompok 2: Fraktur yang hanya melibatkan arkus yang disebabkan oleh

gaya langsung yang menekuk malar eminence ke dalam

3. Kelompok 3: Fraktur yang tidak berotasi

4. Kelompok 4: Fraktur yang berotasi ke medial

5. Kelompok 5: Fraktur yang berotasi ke lateral

6. Kelompok 6: Fraktur kompleks yaitu adanya garis fraktur tambahan

sepanjang fragmen utama

Berdasarkan klasifikasi Knight dan North, fraktur kelompok 2 dan 3 hanya

membutuhkan reduksi tertutup tanpa fiksasi, sementara fraktur kelompok 4, 5, dan

6 membutuhkan fiksasi untuk reduksi yang adekuat (Meslemani, 2012).


16

2.2.4.3 Fraktur Nasal

Tulang nasal merupakan tulang yang kecil dan tipis dan merupakan lokasi

fraktur tulang wajah yang paling sering. Fraktur tulang nasal telah meningkat

baik dalam prevalensi maupun keparahan akibat peningkatan trauma dan

kecelakaan lalu lintas (Baek, 2013). Fraktur tulang nasal mencakup 51,3% dari

seluruh fraktur maksilofasial (Haraldson, 2013).

Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu (Ondik, 2009):

1. Tipe I: Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya deviasi garis

tengah

2. Tipe II: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis tengah

3. Tipe III: Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok dengan

penopang septal yang utuh

4. Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau

rusaknya garis tengah hidung, sekunder terhadap fraktur septum berat atau

dislokasi septum

5. Tipe V: Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan lunak,

saddling dari hidung, cedera terbuka, dan robeknya jaringan


17

Gambar 4 Klasifikasi Fraktur Nasal (Ondik, 2009)

2.2.4.4 Fraktur Maksila dan Le Fort

Maksila mewakili jembatan antara basal kranial di superior dan lempeng

oklusal gigi di inferior. Hubungan yang erat dengan rongga mulut, rongga hidung,

dan orbita dan sejumlah struktur yang terkandung di dalamnya dan melekat

dengan maksila merupakan struktur yang penting baik secara fungsional maupun

kosmetik. Fraktur pada tulang-tulang ini memiliki potensi yang mengancam

nyawa (Moe, 2013).


18

Klasifikasi fraktur maksila yang paling utama dilakukan oleh Rene Le Fort

pada tahun 1901 di Perancis. Klasifikasi Le Fort terbagi menjadi tiga yaitu

(Aktop, 2013):

1. Le Fort I

Garis fraktur horizontal memisahkan bagian bawah dari maksila, lempeng

horizontal dari tulang palatum, dan sepertiga inferior dari sphenoid pterygoid

processes dari dua pertiga superior dari wajah. Seluruh arkus dental maksila

dapat bergerak atau teriris. Hematoma pada vestibulum atas (Guerin’s sign)

dan epistaksis dapat timbul.

2. Le Fort II

Fraktur dimulai inferior ke sutura nasofrontal dan memanjang melalui

tulang nasal dan sepanjang maksila menuju sutura zygomaticomaxillary,

termasuk sepertiga inferomedial dari orbita. Fraktur kemudian berlanjut

sepanjang sutura zygomaticomaxillary melalui lempeng pterygoid.

3. Le Fort III

Pada fraktur Le Fort III, wajah terpisah sepanjang basal tengkorak akibat

gaya yang langsung pada level orbita. Garis fraktur berjalan dari regio

nasofrontal sepanjang orbita medial melalui fissura orbita superior dan

inferior, dinding lateral orbita, melalui sutura frontozygomatic. Garis fraktur

kemudian memanjang melalui sutura zygomaticotemporal dan ke inferior

melalui sutura sphenoid dan pterygomaxillary.


19

Gambar 5 Klasifikasi Le Fort (Gartshore, 2010)

Ada dua tipe fraktur maksila non Le Fort lain relatif umum. Yang pertama

adalah fraktur karena trauma tumpul yang terbatas dan sangat terfokus yang

menghasilkan segmen fraktur yang kecil dan terisolasi. Sering kali, sebuah palu

atau instrumen lain sebagai senjata penyebab. Alveolar ridge, dinding anterior

sinus maksila dan nasomaxillary junction merupakan lokasi yang umum pada

cedera ini. Yang kedua adalah fraktur karena gaya dari submental yang diarahkan

langsung ke superior dapat mengakibatkan beberapa fraktur vertikal melalui

beberapa tulang pendukung horizontal seperti alveolar ridge, infraorbital rim,

dan zygomatic arches (Moe, 2013).

2.2.4.5 Fraktur Mandibula

Mandibula mengelilingi lidah dan merupakan satu-satunya tulang kranial

yang bergerak. Pada mandibula, terdapat gigi-geligi bagian bawah dan pembuluh

darah, otot, serta persarafan. Mandibula merupakan dua buah tulang yang

menyatu menjadi satu pada simfisis (Stewart, 2008).


20

Mandibula terhubung dengan kranium pada persendian temporomandibular

joint (TMJ). Fungsi yang baik dari mandibula menentukan gerakan menutup dari

gigi. Fraktur mandibula dapat mengakibatkan berbagai variasi dari gangguan

jangka pendek maupun panjang yaitu nyeri TMJ, gangguan mengatupkan gigi,

ketidakmampuan mengunyah, gangguan salivasi, dan nyeri kronis. Fraktur

mandibula diklasifikasikan sesuai dengan lokasinya dan terdiri dari simfisis,

badan, angulus, ramus, kondilar, dan subkondilar (Stewart, 2008).

Gambar 6 Lokasi fraktur mandibula (Stewart, 2008)

2.3 Pemeriksaan Penunjang Diagnostik Pada Fraktur Maksilofasial

2.3.1 X-ray skull AP/ Lat, water’s view

Fisikawan Jerman yang pertama sekali menemukan X-ray adalah Wilhelm

Rontgen pada tahun 1895. Sampai beberapa tahun yang lalu, sinar-X

konvensional merupakan standar pencitraan untuk trauma kranioserebral. Saat

ini, computed tomography (CT) menjadi metode pencitraan utama, seiring dengan

meningkatnya teknologi pengembangan multislice CT. Sinar-X konvensional

relatif sensitif terhadap fraktur atap tengkorak, tetapi tidak sensitif terhadap

fraktur dasar tengkorak dan tulang wajah. CT scan memungkinkan diagnosis


21

yang tepat dari semua jenis fraktur tulang wajah dan dasar tengkorak, dan

memberikan informasi tentang perdarahan intrakranial dan cedera otak mayor.

Pada pasien multi-trauma, CT dapat diperluas ke tulang leher jika perlu. Dengan

demikian, sinar X-konvensional tidak lagi digunakan dalam kasus trauma kepala

atau pasien multitrauma; CT scan sudah secara luas diterima sebagai metode

pencitraan utama pilihan (Treumann, 2010).

Eksposur sinar-X standar untuk tengkorak dirangkum pada Tabel dibawah.

Proyeksi standar adalah anterior / posterior (AP) dan pandangan lateral seluruh

tengkorak. Gambar-gambar ini sensitif terhadap patah tulang tengkorak diantara

dua kategori umum: (1) Patah tulang direk yang diidentifikasi sebagai garis

fraktur, fraktur gap dan dislokasi fragmen tengkorak; (2) fraktur tidak langsung

yang diidentifikasi sebagai opasitas dari sinus paranasal dan emfisema jaringan

lunak. Untuk kerangka wajah, foto semi-aksial dari midface diperlukan selain di

proyeksi occipito-mental atau occipito-frontal, sedangkan fraktur mandibula

memerlukan panorama dan foto Clementschitsch. Sensitivitas eksposur berbeda

untuk patah tulang bervariasi tergantung pada jenis fraktur. Beberapa fraktur

sederhana dapat juga ditampilkan pada proyeksi X-ray. Di sisi lain, fraktur

kompleks hanya dapat dievaluasi secara parsial karena tumpang tindih dari

berbagai struktur dalam kerangka kraniofasial, fraktur kompleks memerlukan

keahlian dalam evaluasi (Treumann, 2010).


22

Tabel 1. Jenis proyeksi X-ray kepala(Treumann, 2010).

2.3.2 Computed Tomography Scanner (CT scan) Kepala

CT scan kepala adalah prosedur penyinaran X-ray yang menghasilkan

gambar dari isi intrakranial sebagai hasil dari penyerapan X-ray yang spesifik oleh

jaringan yang diperiksa. Metode pencitraannya dengan X-ray di mana sumber X-

ray berputar di sekitar pasien, memberikan informasi tentang densitas jaringan di

slice dalam sinar X-ray. Rekaman dari slice berubah menjadi matriks digital

mengandung nilai-nilai yang mewakili gambar digital dari slice. Setiap pixel dari

gambar merupakan elemen volume kecil pada pasien. CT dapat menganalisis

struktur anatomi dalam pasien tanpa superimposisi struktur, dan dengan

karakterisasi kepadatan jaringan relatif baik, yang bahkan dapat ditingkatkan

dengan injeksi intravena bahan kontras (Treumann, 2010).

Untuk evaluasi tulang wajah, gambar aksial dan gambar koronal adalah hal

yang wajib. Foto tiga dimensi (3D) sangat penting untuk analisis dan visualisasi

fraktur kompleks. Foto tersebut memberikan gambaran fragmen dan dislokasi

yang lebih relevan, sehingga dapat dicari kesimpulan mekanisme trauma.


23

Intraoperatif, CT dapat digunakan untuk navigasi. Untuk tujuan ini, CT gambar

aksial primer dimuat ke dalam program komputer yang menampilkan CT lalu

ditampilkan di layar. Pasca operasi, CT dapat digunakan untuk memeriksa dan

mendokumentasikan fragmen fraktur direposisi dan posisi bahan osteosynthesis

(Treumann, 2010).

2.4 Klasifikasi dan Patofisiologi Fraktur

Fraktur terjadi ketika tenaga yang diterapkan melebihi kemampuan stres

tulang, mengarah ke gangguan mineral matriks dan gangguan jaringan lunak yang

terkait. Fraktur bisa bersifat sederhana/ simpel, melibatkan gangguan tunggal

antara dua segmen tulang, atau bersifat comminuted, yang berarti terdiri dari

beberapa fragmen tulang. Pergeseran mengacu pada perubahan dalam hubungan

anatomi segmen tulang. Perubahan ini dapat terjadi sebagai akibat dari energi dari

pukulan itu sendiri atau karena tarikan otot yang dilawan. Angulation adalah

perubahan sudut sumbu panjang tulang di fraktur. Distraksi mengacu pada jarak

antara segmen tulang di patah tulang, dan rotasi adalah perubahan orientasi

segmen tulang sepanjang sumbu panjang mereka. Fraktur dianggap

menguntungkan jika orientasi vektor tarik otot bertindak untuk kompresi fraktur.

Fraktur yang tidak menguntungkan yaitu salah orientasi sehingga vektor tarik otot

bertindak untuk menjauhkan fragmen (Kellman Dkk, 2006).

Fraktur terbuka berarti ada paparan antara tulang yang patah dengan

lingkungan luar jaringan lunak, yang mengarah ke kontaminasi bakteri. Hal ini

sedikit membingungkan pada wajah karena disana terdapat rongga mulut, hidung,
24

dan sinus. Patah tulang yang melibatkan laserasi kulit wajah atau mukosa oral

disebut patah tulang terbuka. Biasanya, fraktur yang melibatkan bantalan tulang

gigi bahkan tanpa laserasi mukosa dianggap terbuka karena dari paparan flora

mulut melalui jaringan periodontal. Fraktur pada rongga hidung yang melibatkan

laserasi mukosa hidung juga terkena flora hidung. Fraktur pada sinus yang

terinfeksi mungkin awalnya tidak melibatkan kontaminasi bakteri. Namun, sinus

yang terisi darah kemungkinan menjadi koloni cukup cepat. Beberapa fraktur

wajah tidak akan dianggap terbuka antara lain fraktur ramus mandibula terisolasi

atau patah tulang subcondylar dan patah tulang arkus zygomatic (Kellman Dkk,

2006).

Jumlah energi yang terkait dengan cedera cenderung mempengaruhi

karakteristik cedera. Dampak energi rendah seperti pukulan tinju cenderung

menyebabkan patah tulang kurang kominutif dan kurang bergeser. Dampak energi

tinggi lebih biasanya terkait dengan cedera jaringan lunak yang lebih luas. Sebuah

benda keras menerpa wajah lebih cenderung menyebabkan kominusi dibanding

dari pukulan benda tajam dengan energi yang sama karena energi pukulan

ditransfer ke jaringan yang lebih cepat. Trauma penetrasi seperti peluru berenergi

rendah menciptakan cedera lebih rendah dibanding peluru energi tinggi. Namun,

desain peluru juga menjadi pertimbangan. Sebuah peluru energi tinggi dengan

permukaan yang keras dapat keluar tubuh cukup cepat, tidak menghamburkan

semua energi ke dalam tubuh. Sebuah peluru energi yang lebih rendah yang

dirancang untuk memperluas sebagian besar energi sebelum keluar tubuh dapat
25

lebih merusak. Namun, jumlah energi gelombang kejut dari dampak peluru

menentukan tingkat kerusakan jaringan sekitar (Kellman Dkk, 2006).

2.5 Penyembuhan tulang

Tulang adalah jaringan kompleks yang terdiri dari matriks kolagen yang

dimineralisasi dengan kristal kalsium fosfat (hidroksiapatit). Didalam tulang

terdapat komponen seluler yang memediasi resorpsi tulang, deposisi, dan

metabolisme. Tulang memiliki dua komponen struktural, yaitu cortical atau

korteks yaitu lapisan luar dan cancellous atau spons yaitu lapisan bagian dalam.

Bagian tulang yang pipih sedikit mengandung tulang cancellous. Nutrisi ke

tulang didapat melalui lapisan periosteum dan sirkulasi terbuka dalam sumsum

tulang (Kellman Dkk, 2006).

Fraktur menyebabkan gangguan matriks tulang, jaringan lunak sekitar

dan, sumsum tulang. Hal ini menyebabkan darah dan sel inflamasi sel memenuhi

daerah fraktur. Terbentuklah hematoma, yang mengalami maturasi melalui

jaringan granulasi, jaringan fibrosa, tulang rawan, dan menjadi tulang atau

langsung dari jaringan fibrosa menjadi tulang tergantung pada asal embryologic.

Pembentukan kalus ini menyebabkan terjadinya penyembuhan tidak langsung

ketika tepi tulang tidak didekatkan. Mineralisasi terjadi jika pergerakan tidak

berlebihan. Jika tidak tereduksi secara anatomis, segmen akan sembuh dalam

posisi baru, yang dapat menyebabkan deformitas dan disfungsi (Kellman Dkk,

2006).
26

Jika jarak antara fragmen tulang berkurang oleh karena reduksi anatomis,

maka penyembuhan akan terjadi dengan kalus yang sedikit dan perubahan

anatomi sedikit terjadi. Area fraktur yang berdekatan dan terkompresi akan

sembuh dengan penyembuhan kontak atau pembentukan tulang langsung tanpa

pembentukan kalus. Penyembuhan Microgaps dengan kalus atau gap

penyembuhan di mana tulang diposisikan tegak lurus dengan orientasi normal

diikuti dengan remodelling untuk mengubah orientasi ini. Fragmen akan

menyembuh dalam posisi anatomis (Kellman Dkk, 2006).

Masalah pada mekanisme penyembuhan tulang dapat mengakibatkan

komplikasi patah tulang. Delayed union mengacu mineralisasi berkurang pada

garis fraktur 8 sampai 12 minggu setelah imobilisasi. Malunion terjadi ketika

patah menyembuh dengan segmen di posisi nonanatomic. Fibrus union terjadi

ketika progresi osifikasi penyembuhan tidak langsung tidak terjadi. Sebuah

nonunion merujuk pada fibrus union, dengan gap yang lebih luas dengan fungsi

yang sangat buruk, sedangkan fibrus union mungkin tidak menghasilkan defisit

fungsional. Pseudoarthrosis mengacu pada fibrus union yang cukup mobile untuk

berfungsi seperti sendi. Fenomena ini mungkin terjadi pada fraktur subcondylar

yang mengakibatkan ankilosis sendi temporomandibular. Mobilitas akan

mengarah ke disfungsi dan nyeri. Tidak adekuatnya stabilisasi yang memadai dan

infeksi adalah penyebab utama dari masalah-masalah penyembuhan ini (Kellman

Dkk, 2006).
27

2.6. Tatalaksana Fraktur maksilofasial

Manajemen pola perawatan patah tulang wajah, berbeda-beda di negara

lain dunia. Pertemuan pertama dengan pasien fraktur wajah biasanya di unit gawat

darurat. Pasien sering menjadi korban kecelakaan multitrauma. Penanganan sesuai

ATLS meliputi pemeriksaan primer dan sekunder wajib dilakukan. Penting dalam

hal ini adalah pemeriksaan awal ke jalan napas. Luas memar jaringan lunak,

fraktur mandibula bilateral, dan fraktur Le Fort, semua bisa mengakibatkan

obstruksi jalan napas. Pada fraktur mandibula, intubasi nasotrakeal lebih tepat

digunakan. Namun, pada patah tulang rahang atas, selalu ada risiko patah tulang

pada fovea ethmoidalis. Intubasi dengan rute nasal dapat membahayakan bagian

intrakranial dari sehingga intubasi oral, krikotiroidotomi, atau trakeostomi harus

digunakan untuk mengamankan jalan napas. Setelah kondisi pasien stabil,

pemeriksaan fisik dan radiografi tulang leher harus dilakukan untuk

menyingkirkan cedera tulang servikal. Pada titik ini, evaluasi hati-hati dari sistem

penting lainnya dilakukan. Penatalaksanaan pasien dengan trauma wajah harus

menyeluruh dan sekaligus mencari lokasi dan luasnya semua cedera. Tujuan

pengobatan pasien dengan cedera craniomaxillofacial harus sinergi dengan semua

cedera yang dialami. Baik cedera jaringan lunak dan patah tulang harus dinilai,

dan rencana perawatan harus ditetapkan. Tujuan pengobatan harus mencakup

pemulihan fungsi dan penampilan. Bentuk premorbid dan fungsi gigi, tulang, dan

jaringan lunak harus dikembalikan. (Paul dkk, 2003).

Pengobatan bedah patah tulang wajah melibatkan eksposur yang memadai,

reduksi teliti, dan fiksasi fraktur yang stabil. Pendekatan bedah harus
28

menggunakan sayatan transmucosal atau sayatan yang disamarkan dalam garis

kulit atau di perbatasan estetik dari wajah. Tentu saja, sayatan dan pendekatan

yang dipilih tidak harus bertentangan dengan prinsip dasar memberikan eksposur

yang memadai untuk diagnosis dan fiksasi patah tulang apapun. Setelah

mengekspos fraktur wajah, reduksi teliti harus dilakukan dan dipertahankan

sampai fiksasi fraktur yang memadai dapat dilakukan. Reduksi yang tepat sangat

penting ketika fiksasi rigid digunakan. Teknik fiksasi harus memungkinkan untuk

penyembuhan tulang dalam tiga dimensi: tinggi (superior-inferior), lebar (lateral

medial), dan kedalaman atau proyeksi (anterior-posterior). Perbaikan dari cedera

jaringan lunak sama pentingnya dengan pengobatan patah tulang sebagai

kelengkapan penanganan pasien (Paul dkk, 2003).

Fraktur tulang wajah dapat ditangani dalam berbagai cara tergantung pada

tingkat keparahan. Perawatan biasanya diklasifikasikan sebagai reduksi terbuka

dan tertutup. Terbuka dan tertutup mengacu apakah tindakan sayatan bedah

diperlukam untuk mengekspos tulang atau tidak. Reduksi dan fiksasi mengacu

pada mengembalikan dan stabilisasi tulang tersebut. Perawatan cedera patah

tulang yang parah mencakup penggunaan tindakan bedah, anestesi umum bersama

dengan perangkat keras termasuk kawat, plat, dan penggunaan cangkok tulang

(Smith, 2011).

2.6.1 Alasan untuk Fiksasi rigid

Terlepas dari etiologi atau klasifikasi fraktur, mekanisme penyembuhan

tulang dapat dibantu dengan penyatuan kembali fragmen fraktur diikuti fiksasi
29

untuk menciptakan stabilitas dan mengurangi gerakan fragmen tulang. Penurunan

gerakan fragmen tulang meningkatkan osifikasi dan penyambungan tulang.

Pengaliran kembali darah ke fragmen tulang atau graft tulang juga ditingkatkan

dengan imobilitas. Kurangnya gerakan atau stabilitas tulang membutuhkan

kekuatan biomekanik yang bekerja pada fragmen tulang untuk mengatasinya.

Berbagai tingkat stabilitas bisa diberikan oleh teknik fiksasi yang berbeda. Fiksasi

rigid dengan plate dan screw diduga memberikan stabilitas superior untuk

melawan kekuatan fungsional dari muskuloskeletal di sekitar fraktur. Konsep ini

tidak selalu diterima secara universal. Meningkatnya perangkat tambahan dalam

kemampuan pencitraan dan teknik eksposure bedah telah sejajar dengan

perkembangan teknologi plating. Perkembangan ini dapat menjelaskan hasil

trauma yang membaik. Penggunaan plate telah dikritik karena teraba, kadang-

kadang menjadi terlihat, menyebabkan sensitivitas suhu, menghambat

pertumbuhan, dan perisai stres melemahkan tulang. Beberapa kritik ini lebih

teoritis daripada yang lain, tapi sistem plating yang dapat diserap mengurangi

sebagian besar masalah ini. Untuk mendapatkan kekuatan yang sebanding,

karakteristik sistem plating yang dapat diserap saat ini membutuhkan plate besar

dan sekrup dari bahan logam, sehingga mereka tidak cocok untuk setiap indikasi.

Namun, bahan baru yang diperkuat bisa mengatasi masalah ini (Kellman Dkk,

2006).

2.6.2 Prinsip Dasar Fiksasi rigid

Konsep fiksasi rigid untuk mengembalikan fragmen tulang ke posisi

anatomis dan secara kaku bersama perangkat implan yang memberikan kekuatan
30

yang cukup di seluruh fraktur untuk mempertahankannya dari tenaga

muskuloskeletal. Fiksasi plate dirancang untuk patah tulang dan memberikan

pelindung stres dan stabilitas fraktur. Plate menempel ke tulang dengan sekrup.

Setiap sekrup ditempatkan di tulang di setiap titik fiksasi. Plate yang lebih besar

yang terbuat dari bahan rigid memberikan stabilitas dan perisai stres yang lebih

besar. Sekrup besar memberi fiksasi yang lebih kuat dibanding sekrup kecil.

Sekrup Bicortical memberikan stabilitas yang lebih besar dari sekrup

monocortical, dan meningkatkan jumlah baut atau titik fiksasi penahan plate akan

meningkatkan stabilitas. Kompresi di tempat fraktur meningkatkan stabilitas

dengan meningkatkan gesekan antara tepi fraktur. Ketebalan tulang yang lebih

besar ditemukan ketika gaya yang bekerja pada tulang yang lebih besar; Namun,

lebih tebal tulang memerlukan sekrup lebih panjang, memberi stabilitas yang

lebih (Kellman Dkk, 2006).

Plat yang lebih rigid memerlukan pembengkokan plate yang lebih tepat

karena harus menyesuaikan dengan kontur permukaan tulang. Jika tidak, saat

sekrup dikencangkan, tulang dapat tertarik ke arah plate, menciptakan distraksi.

Untuk mengatasi masalah ini, locking-screw plate telah dikembangkan. Ini

memungkinkan kepala sekrup ulir untuk mengunci ke dalam lubang plat berulir

yang sesuai, sehingga kunci kepala sekrup ke plate (Kellman Dkk, 2006).

Pada fraktur mandibula, miniplate monocortical telah ditemukan untuk

mengganti plate bicortical yang berat selama diposisikan dengan benar untuk

mengatasi kekuatan distraksi. Tambahan poin fiksasi (yaitu, sekrup) memberikan

stabilitas tambahan. Peningkatan stabilitas harus dipertimbangkan sesuai eksposur


31

yang dibutuhkan dan ukuran implan. Peningkatan diameter sekrup harus

dipertimbangkan terhadap melemahnya sisa tulang yang menopang.

Memperpanjang sekrup ke dalam tulang cancellous menambahkan sedikit

tambahan kekuatan kecuali korteks kedua bergeser. Panjang sekrup diluar tebal

tulang tidak menambah kekuatan, dan kerusakan struktur lain seperti akar gigi

bisa terjadi (Kellman Dkk, 2006).

2.6.3 Klasifikasi dan Terminologi Perangkat Fiksasi

Terminologi yang diterapkan pada sistem plating membingungkan dan

tidak seragam, karena itu diterapkan secara berbeda oleh produsen yang berbeda.

Sistem plating biasanya diidentifikasi secara dimensi atau tempat aplikasinya.

Istilah miniplate biasanya mengacu pada plate dirancang dengan sekrup di kisaran

1,2 sampai 2,5 mm. Mikroplate merujuk pada plate dirancang untuk diameter

sekrup sekitar 1 mm. Ada beberapa ukuran menengah dan sistem modular dengan

beberapa dimensi plate dan sekrup. Sistem yang lebih besar yang dirancang

khusus untuk mandibula dengan diameter sekrup hingga 2,4 mm atau lebih dan

lebih panjang untuk aplikasi bicortical, termasuk panjang hingga 40 mm untuk

aplikasi lag sekrup. Biasanya, ukuran sekrup meningkat, begitu juga ketebalan

plat. Disebut plat tiga dimensi tersedia dalam mini dan ukuran mikro (Kellman

Dkk, 2006).

Sistem plating kadang-kadang didesain sesuai fungsi yang diusung, seperti

rahang atas atau miniplates zygomatic atau miniplates mandibula. Meskipun

dimensi sekrup mungkin sama, miniplates mandibula lebih tebal dari miniplates
32

rahang atas dan zygomatic. Miniplates mandibula biasanya tebal 1 mm. Sistem

mandibula lebih lanjut digambarkan sebagai set trauma atau set rekonstruksi,

dengan set rekonstruksi menawarkan tebal (3 mm atau lebih) plat paling berat,

terpanjang dengan sekrup terbesar. Prostesis condylar juga termasuk didalamnya.

Plat khusus juga ada untuk bedah ortognatik atau dengan konfigurasi khusus yang

berguna untuk rekonstruksi mikrovaskular mandibula. Berbagai desain mesh

digunakan untuk menggantikan daerah cacat di daerah non-load-bearing seperti

dasar orbital (Kellman Dkk, 2006).

Plat kompresi dinamis dirancang untuk mendorong fragmen fraktur

bersama saat sekrup didorong. Lubang-lubang plat berbentuk bulat, dan tepi

lubang miring. Ketika sekrup diperketat, kepala sekrup miring, membawa tulang

sesuai arahnya. Orientasi lubang plat menentukan arah gerakan dan kompresi.

Plat kompresi dinamis standar mengkompresi sejajar dengan pelat seluruh fraktur.

Plat kompresi dinamis eksentrik memiliki lubang di ujung yang berorientasi untuk

memberikan kompresi sudut untuk perbatasan superior mandibula. Saat ini, plat

kompresi jarang digunakan dibanding dulu, dan plat kompresi dinamis eksentrik

juga jarang digunakan (Kellman Dkk, 2006).

2.6.4 Prinsip Aplikasi Screw

Sekrup ditempatkan di tulang sebagai titik fiksasi yang stabil, garis sekrup

harus memegang tulang di sekitar lubang bor. Faktor yang menyebabkan

kelemahan tulang yaitu osteoporosis atau osteitis. Teknik bedah yang baik, akan

meningkatkan stabilitas sekrup di tulang. Lubang bor harus sesuai dengan

diameter poros ulir dalam. Jika lubang terlalu kecil, gesekan yang berlebihan dan
33

stres akan dihasilkan. Hal ini dapat menyebabkan kepala sekrup patah atau lokal

resorpsi dan iskemia tulang (Kellman Dkk, 2006).

Ketebalan sekrup ini bervariasi tapi biasanya di antara 0,1 sampai 1,0

mm. Setiap ketidaktepatan dalam pengeboran dapat menyebabkan kurangnya

pegangan pada tulang, apalagi lubang bor lebih besar dari yang diinginkan.

Kecepatan bor yang tinggi, bor melengkung, perubahan angulasi bor (yaitu,

gerakan tangan), atau pengeboran berulang-ulang setelah lubang selesai dapat

menyebabkan gesekan dari tulang di sekitar lubang bor. Panas yang berlebihan

menyebabkan kematian osteosit secara lambat. Oleh karena itu, pengeboran yang

ideal dicapai dengan bor tajam dan lurus, bor kecepatan rendah, dengan panduan

bor, tangan yang stabil, dan irigasi yang banyak. Diameter bor harus sesuai

dengan diameter poros sekrup tanpa gurat bukan diameter dengan gurat (Kellman

Dkk, 2006).

2.6.5 Aplikasi Plat

Berbagai dimensi dan bentuk plat sesuai dengan aplikasi anatomi. Hal ini

memungkinkan ahli bedah untuk memaksimalkan jumlah titik fiksasi pada tulang

padat dan meminimalkan potensi cedera struktur dasar dan bekerja melalui

eksposur yang kadang-kadang sulit. Setidaknya dengan dua poin fiksasi, satu di

kedua sisi dari patah tulang, diperlukan supaya plat bisa berfungsi sebagai sebuah

alat penahan energi luar. Namun, tidak ada stabilitas rotasi dengan dua poin

fiksasi. Tiga poin fiksasi, dua sekrup di satu sisi fraktur dan satu di sisi lain, akan

mencegah rotasi plat. Namun, fragmen fraktur dengan hanya satu titik fiksasi
34

masih akan memiliki ketidakstabilan rotasi. Empat poin dari fiksasi, dua di kedua

sisi fraktur, harus menjadi tujuan minimum untuk memberikan stabilitas plat dan

kedua fragmen. Poin fiksasi tambahan hingga lima atau enam di kedua sisi fraktur

mungkin diperlukan bila terjadi komplikasi penyembuhan. Kompresi segmen

tulang di tempat patah tulang, dapat meningkatkan stabilitas (Kellman Dkk,

2006).

Tabel 2. Jenis plat sesuai lokasi fraktur (Kellman Dkk, 2006)

2.6.6 Reduksi fraktur

Struktur tulang wajah dapat dilihat sebagai kerangka kisi yang ditopang

tulang tebal yang memberi kekuatan tiga dimensi yang diperlukan untuk menahan

kekuatan fungsional pengunyahan. Intervensi tulang yang tipis menambah sedikit

kekuatan tambahan tetapi berfungsi sebagai partisi yang memisahkan berbagai

komponen wajah seperti sinus, orbit, faring, dan hidung dan rongga tengkorak

(Kellman Dkk, 2006).

Mengembalikan posisi anatomi dan struktur penopang ini adalah kunci

untuk reduksi fraktur. Reduksi anatomi dari tulang yang tipis juga harus

diperoleh, terutama tulang yang membentuk salah satu dinding dari orbit. Jika
35

tidak, isi orbital akan melorot melalui cacat dalam rongga yang berdekatan.

Reduksi anatomi dapat menjadi suatu kerangka acuan yang memandu

penggantian fragmen tulang yang tidak sejajar ke posisi sejajar. Pada trauma

wajah masif, titik referensi anatomi mungkin lebih sulit untuk diekspos dan

mungkin kominutif sehingga mereka tidak dapat memberikan reduksi yang tepat.

Misalnya, dalam fraktur kompleks zygomaticomaxillary, aspek medial tepi

infraorbital, aspek superior dari tepi orbital lateral, zygomatico-sphenoid di orbit

lateral, dan maxillomalarbuttress posterior memberikan referensi yang memadai

untuk reduksi anatomi. Fraktur Panfacial mengakibatkan kominusi atau mobilitas

titik referensi ini mungkin memerlukan eksposur arkus zygomatic sebagai titik

referensi lain untuk penempatan yang tepat dari kompleks zygomaticomaxillary.

Sistem penentuan posisi tiga dimensi intraoperatif dapat membantu masalah ini

(Kellman Dkk, 2006).

Membangun kembali kontinuitas tulang penopang penting karena pada

akhirnya akan mengirimkan energi dari pengunyahan ke dasar tengkorak.

Kadang-kadang, sebuah fragmen tulang dari daerah yang kurang penting dapat

dipinjam dan reorientasi untuk membangun kembali kontinuitas tulang. Seringkali

tulang tambahan diperlukan, biasanya yang berasal dari luar tulang calvarial

merupakan pilihan untuk cangkok tulang karena reliabilitasnya. Tempat donor

populer yaitu ilium dan tulang rusuk. Semen hidroksiapatit menjanjikan untuk

mengatasi cacat tulang tanpa morbiditas donor (Kellman Dkk, 2006).


36

2.7 Oklusi Dental

Kunci untuk reduksi fraktur yang tepat adalah restorasi oklusi premorbid

pasien. Pemahaman oklusi gigi adalah elemen penting dari manajemen fraktur

wajah. Oklusi gigi adalah hubungan rahang atas dan gigi rahang bawah. Kaitan

fungsional yang paling penting adalah permukaan potong dan kunyah. Hubungan

ini sangat tergantung pada posisi relatif gigi dan angulasi mereka

satu sama lain (Paul dkk, 2003).

Supaya proses pengunyahan berfungsi dengan baik, oklusi yang stabil

harus ada. Untuk oklusi terjadi, cusp gigi-geligi rahang atas harus masuk ke dalam

alur dari gigi mandibula dan sebaliknya, hal ini disebut intercuspation. Facet

permukaan gigi harus kontak satu sama lain. Pola permukaan gigi mungkin satu-

satunya referensi ketika oklusi preinjury tidak normal. Oklusi molar normal dalam

dimensi anteroposterior (AP) didefinisikan sebagai intercuspation dari titik

puncak bukal mesial dari molar pertama molar dengan alur bukal dari rahang

bawah molar pertama (Kellman Dkk, 2006).

Hubungan anterior gigi yang normal terjadi ketika anterior gigi rahang atas

adalah 1 sampai 3 mm anterior ke anterior gigi rahang bawah dengan tumpang

tindih insisal sentral 1 sampai 3 mm. Peningkatan jarak horizontal antara gigi seri

adalah overjet. Peningkatan jarak vertikal disebut overbite atau gigitan dalam.

Anterior crossbite dan anterior open bite adalah kondisi sebaliknya.

Karena oklusi preinjury sering tidak normal seperti yang didefinisikan

sebelumnya, hal ini berguna untuk mempertanyakan pasien atau keluarga tentang

oklusi preinjury. Catatan gigi juga cukup membantu. Dengan tidak adanya
37

informasi ini, permukaan facet adalah panduan oklusal utama. Ketika preinjury

oklusi tidak jelas, maka reduksi anatomi dari patah tulang sebelum dolakukan

fiksasi interdental mungkin lebih akurat. Seharusnya tidak ada keengganan untuk

membuka fiksasi interdental jika mencegah reduksi anatomi segmen tulang.

Fiksasi interdental dan reduksi skeletal harus berkorelasi. Jika tidak, maka

maloklusi yang sudah ada sebelumnya harus dicurigai(Kellman Dkk, 2006).

Pada tahun 1899, Angle menjelaskan tiga dasar jenis occlusion yaitu kelas

I, kelas II dan kelas III. Oklusi kelas I dianggap normal. Hal ini didefinisikan

sebagai intercuspation dari titik puncak bukal mesial molar rahang atas pertama

dengan alur bukal dari molar mandibula pertama. Oklusi kelas II menunjukkan

hubungan retrognatik dan oklusi kelas III menunjukkan hubungan prognatik

(Bhama dkk, 2016).

Gambar 7 Oklusi sesuai klasifikasi Angle (Bhama dkk, 2016).

Maloklusi sering begitu parah sehingga pasien sangat sulit mengunyah

makanan padat. Otot-otot pengunyah pada mandibula termasuk temporalis,

pterygoideus internal pterygoideus eksternal, dan masseter. Semua otot ini

berkontribusi pada pergerakan sendi temporomandibular, yang merupakan sendi

sinovial dengan aksi bergeser dan engsel. Sendi ini berisi kapsul dengan disk
38

fibrocartilaginous. Kapsul yang padat dipersarafi dengan serat proprioseptif dan

sensorik, yang sangat sensitif terhadap perubahan halus dalam pergerakan salah

satu atau kedua sendi. Sedikit perubahan di oklusi dari spasme otot atau patah

tulang dapat mengubah persepsi pusat posisi sendi. Loop umpan balik dalam

sistem saraf pusat memaksa otot-otot kontralateral pengunyahan untuk

mengimbangi. Rangkaian ini dapat menyebabkan sindrom sendi

temporomandibular kronis pada fraktur mandibula yang tidak direduksi atau

reduksi yang buruk (Paul dkk, 2003).

2.8 Komplikasi

Pada luka yang parah, tidak jarang mendapatkan hasil kurang sempurna,

meskipun rekonstruksi yang baik sering diterima oleh pasien yang menghargai

keparahan cedera awal mereka. Namun, operasi revisi selektif dapat

meningkatkan hasil dan mengkonversi hasil yang dapat diterima. Bijaksana dalam

penggunaan graf tulang atau implan alloplastic diperlukan untuk membentuk

daerah tulang yang hilang atau untuk reposisi bola mata. Kadang-kadang,

malunion bisa terjadi, cara mengatasinya adalah dengan remobilisasi dari tulang

wajah via osteotomy diikuti oleh reposisi dan refixation dengan graf tulang yang

diperlukan. Komplikasi fraktur maksilofasial dan penanganannya dapat dilihat

pada tabel dibawah (Kellman Dkk, 2006).


39

Tabel 3. Komplikasi fraktur maksilofasial dan penanganannya (Kellman Dkk,


2006).

2.9 Faktor risiko yang dianggap berperan pada maloklusi pasca reduksi

fraktur maksilofasial

2.9.1 Lokasi fraktur

Salah satu komplikasi dari fraktur adalah nonunion atau malunion.

Penyembuhan tulang yang baik selain memerlukan reduksi dan teknik operasi

yang baik juga harus ditunjang dengan suplai darah yang baik dan cukup.

Diantara tulang tulang wajah, tulang mandibula memiliki suplai darah yang lebih

sedikit dibandingkan maksila. Hal ini membuat fraktur pada tulang mandibula

lebih berisiko mengalami nonunion atau malunion yang pada akhirnya membuat
40

oklusi gigi tidak baik (Koshy dkk, 2010; Lee dkk, 2014). Setelah reduksi dan

fiksasi dari fraktur mandibula, segmen yang patah tersebut juga harus melawan

tarikan dari otot-otot pengunyah. Sedikit perubahan oklusi dari tulang mandibula

akan memberi impuls saraf propioseptif di kapsul sendi temporomandibula yang

akan memberi sinyal umpan balik yang memaksa otot kontralateral pengunyahan

untuk mengimbangi (Paul dkk, 2003). Literatur yang membandingkan proses

penyembuhan antara tulang maksila dan mandibula masih terbatas. Menurut

penelitian Marthinus dkk tahun 2014 pada hewan babon, didapatkan bahwa angka

penyembuhan dari tulang mandibula 106% lebih cepat dibanding tulang maksila

pada 3 minggu pertama setelah defek pada tulang terjadi (Marthinus dkk, 2014).

2.9.2 Jenis Fraktur

Jenis fraktur dibagi 2 yaitu simpel dan kompleks. Fraktur sederhana/

simpel artinya melibatkan gangguan tunggal antara dua segmen tulang,

sedangkam fraktur kompleks atau kominutif berarti fraktur yang melibatkan

beberapa fragmen patahan tulang. Pada fraktur yang kompleks terjadi fragmen

fraktur lebih dari 1 sehingga reduksi anatomis tentu lebih sulit dibandingkan yang

simpel. Apalagi fragmen tulangnya kecil-kecil dan banyak membuat teknis

operasi menjadi lebih sulit. Reduksi anatomis memegang peranan penting dalam

proses penyembuhan tulang. Selain itu stabilisasi pada fraktur kompleks

memerlukan lebih banyak poin fiksasi sehingga apabila kurang kuat maka

meningkatkan risiko terjadinya komplikasi penyembuhan seperti malinion atau

nonunion yang berakibat ke oklusi yang kurang baik (kellman dkk, 2006). Ellis

dkk telah melakunan penelitian tahun 2003 di Dallas dimana didapatkan adanya
41

hubungan yang signifikan antara jumlah fragmen pada fraktur maksilofasial

kompleks dengan komplikasi operasi termasuk didalamnya kejadian maloklusi

(Ellis dkk, 2003).

2.9.3 Waktu operasi.

Waktu operasi yang dimaksud adalah waktu dari kejadian sampai pasien

mendapat tindakan operatif. Dari berbagai literatur belum dipaparkan secara jelas

waktu ideal untuk operasi maksilofasial. Banyak studi memperlihatkan tidak

adanya perbedaan outcome antara pengerjaan operasi reduksi sebelum dan

sesudah 1 hari kejadian fraktur maksilofasial (Booth dkk, 2012). Begitu juga

dengan penelitian retrospektif dari Rothweiler di Jerman pada tahun 2017

terhadap 168 pasien selama kurun waktu 10 tahun juga tidak terdapat perbedaan

yang signifikan terhadap komplikasi pada operasi reduksi yang dilakukan sebelum

dan sesudah 3 hari (Rothweiler dkk, 2017). Pada tahun 2002 Ruller dkk juga

mendapat hasil yang serupa dengan studi Rothweiler. Beberapa peneliti

berpendapat fraktur yang direduksi kurang dari 7 hari mendapat hasil yang baik

(Bhama, dkk 2016, Rasul, dkk 2016, Kellman 2006). Sampai 14 hari setelah

kejadian, sudah terjadi proses penyembuhan inisial yang menyebabkan mobilisasi

dan reduksi anatomis menjadi sulit, jaringan lunak sudah melengket ke antara

fragmen fraktur (Booth dkk, 2012). Melaksanakan perawatan lebih dari waktu

tersebut akan menyulitkan tindakan karena telah terjadi fibrosis dan penyembuhan

awal telah terbentuk. Sehingga tindakan yang dilakukan lebih dari 14 hari dari

kejadian akan menyulitkan tindakan operasi karena harus menghadapi fibrosis dan

proses penulangan yang sebelumnya terjadi. Hal ini tentu berpengaruh dalam
42

mencapai reduksi anatomis sehingga berisiko meningkatkan kompikasi

penyembuhan dan bisa mengarah ke oklusi yang buruk. (Rasul dkk, 2016).

Menurut Barker dkk operasi reduksi yang dikerjakan setelah 14 hari tidak

memberi perbedaan hasil yang signifikan (Barker dkk, 2011).

2.9.4 Jenis fiksasi

Pada fraktur maksilofasial cara terbaik untuk mencapai oklusi, adalah

dengan reduksi terbuka dan fiksasi internal. Teknologi plate dan screw adalah

standar emas dalam pengobatan modern dan banyak digunakan di negara-negara

maju tetapi peran dari fiksasi kawat tidak dapat diabaikan. Namun, di dunia ketiga

di mana fraktur wajah terdiri proporsi yang signifikan dari trauma, kurangnya

sumber daya menghalangi penggunaan teknologi plating di sebagian besar negara

dan kawat osteosynthesis masih banyak digunakan. Maloklusi mungkin akibat

dari kurang adekuatnya fiksasi dari Le Fort atau fraktur mandibula (Handal dkk,

2015). Berbagai tingkat stabilitas bisa diberikan oleh teknik fiksasi yang berbeda.

Fiksasi rigid dengan plate dan screw diduga memberikan stabilitas superior

dengan mengatasi kekuatan fungsional diterapkan oleh sistem muskuloskeletal di

seluruh fraktur. Oleh karena stabilisasi dengan teknik fiksasi selain plat dan screw

misalnya introseus wire akan menjadi risiko oklusi yang kurang baik. (Kellman

Dkk, 2006). Penggunaan fiksasi hanya dengan kawat osteosintesis rigiditasnya

tidak sebagus plat dan screw dalam menjaga pergerakan fragmen tulang. Namun

dengan memberi tambahan stabilitas berupa fiksasi maksilo-mandibula akan

memberi hasil yang memuaskan(Miloro, 2004). Seperti pada penelitian di Burkina

Faso, Beogo dkk telah melakukan studi pada tahun 2014 dimana penggunaan
43

kawat osteosintesis dalam reduksi fraktur maksilofasial memberi keberhasilan

lebih dari 90% (Beogo dkk, 2014). Bahkan Gandhi dkk mengatakan bahwa pada

fraktur zygomaticomaksilaris efisiensi kawat osteosintesis sama dengan

penggunaan plat. Kawat osteosintesis merupakan metode yang ekonomis, dan

mudah didapat. Pengadaan plat harus menyesuaikan terlebih dahulu dengan

ketersediaan ukuran screw yang sesuai. Kawat osteosintesis menggunakan bahan

yang lebih ditoleransi tubuh dan sampai saat ini belum ada yang dilaporkan

mengalami intoleran terhadap kawat ini. Berbeda dengan plat dimana

Charanarayan pernah melaporkan kejadian rejeksi dari penggunaan implan plat

maksilofasial. Eral dkk juga melaporkan adanya keluhan terasa dingin ketika

cuaca dalam keadaan dingin. Namun penggunaan kawat juga memiliki

kelemahan, dimana tidak cukup baik dalam menjaga pergerakan antar fragmen

fraktur. Kemungkinan adanya fraktur iatrogenik juga dapat terjadi saat

mengencangkan kawat. Maloklusi dapat terjadi apabila reduksi tidak adekuat pada

fraktur LeFort dan fraktur mandibula baik dalam penggunaan plat maupun kawat

osteosintesis. Penggunaan kawat osteosintesis dalam reduksi fraktur masih

merupakan alternatif yang baik bagi daerah yang sulit dalam ketersediaan plat

(Beogo dkk 2014).


44

BAB III

KERANGKA BERPIKIR , KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Trauma maksilofasial menjadi masalah kesehatan umum yang mewakili

20-60% pasien trauma. Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada

tulang-tulang wajah yaitu tulang nasoorbitoetmoid, tulang zigomatikomaksila,

tulang nasal, tulang maksila, dan juga tulang mandibular. Seringkali pasien

fraktur maksilofasial juga disertai cedera organ tubuh lainnya misalnya cedera

kepala.

Diagnosis fraktur maksilofasial didapatkan dari anamnesis yang baik,

pemeriksaan fisik dan juga penunjang berupa radiografi. Pemeriksaan fisik

termasuk pemeriksaan hati-hati oklusi gigi, pemeriksaan kontur wajah, dan

palpasi tulang wajah. Sebuah computed tomografi (CT) scan tulang wajah sangat

penting dalam menegakkan diagnosis yang benar. Pola fraktur maksilofasial

bervariasi dalam jenis, tingkat keparahan, dan penyebabnya.

Setelah diagnosis fraktur selesai, rencana pengobatan dibuat. Tatalaksana

operatif patah tulang wajah melibatkan eksposur yang memadai, reduksi teliti,

dan fiksasi fraktur yang stabil. Cara terbaik untuk mencapai keakuratan dan

kestabilan, adalah dengan reduksi terbuka dan fiksasi internal baik dengan plat

screw, kawat fiksasi, atau fiksasi maksilomandibula.


45

Kunci untuk reduksi fraktur yang tepat adalah restorasi oklusi premorbid

pasien. oklusi gigi adalah hubungan antara gigi rahang atas dan gigi rahang

bawah. Kaitan fungsional yang paling penting adalah permukaan potong dan

kunyah. Oklusi diperiksa berdasarkan Angle yaitu normal (kelas I), maloklusi

(kelas II dan kelas III).

3.2 Kerangka Konsep

Fraktur Maksilofasial

Anamnesis Pemeriksaan fsik Pemeriksaan penunjang


(skull AP, Lat, Waters’s X-
Ray atau CT Scan Kepala)

Konservatif Diagnosis Operatif

Variabel independen:

1. Lokasi fraktur
2. Jenis fraktur
3. Waktu dikerjakan
4. Jenis fksasi

Variabel dependen:

oklusi
46

3.2 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian pustaka, kerangka berpikir dan konsep yang diuraikan

diatas maka didapatkan rumusan hipotesis sebagai berikut:

1. Fraktur pada mandibula merupakan factor risiko terjadinya maloklusi

pasca operasi reduksi pada fraktur maksilofasial

2. Fraktur maksilofasial kompleks merupakan factor risiko terjadinya

maloklusi pasca operasi reduksi pada fraktur maksilofasial

3. Waktu dari kejadian sampai tindakan lebih dari 7 hari merupakan factor

risiko terjadinya maloklusi pasca operasi reduksi pada fraktur

maksilofasial

4. Fiksasi fraktur dengan kawat osteosintesis merupakan factor risiko

terjadinya maloklusi pasca operasi reduksi pada fraktur maksilofasial


47

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini bersifat studi cross-sectional

dengan pasien fraktur maksilofasial yang telah menjalani operasi reduksi di

RSUP Sanglah Denpasar dalam periode Januari 2016- Desember 2016.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Tempat dilakukan penelitian yaitu di Lab/SMF Ilmu Bedah RSUP Sanglah

Denpasar yang akan dilakukan mulai bulan april 2017.

4.3 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi penelitian

a. Populasi target adalah semua pasien dengan fraktur maksilofasial

yang menjalani terapi operatif.

b. Populasi terjangkau adalah semua pasien dengan fraktur

maksilofasial yang berobat di RSUP Sanglah Denpasar sejak kurun waktu

terhitung Januari 2016 sampai Desember 2016.

4.3.2 Sampel penelitian

a. Sampel dipilih dengan teknik acak dari populasi terjangkau setelah

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.


48

b. Data merupakan data sekunder yang diambil dari rekam medis semua

pasien dengan fraktur maksilofasial yang berobat di RSUP Sanglah

Denpasar sejak kurun waktu terhitung Januari 2016 sampai Desember

2016.

4.3.3 Kriteria Inklusi

a. Seluruh penderita yang menderita fraktur maksilofasial dengan umur ≥ 16

tahun yang datang ke RSUP Sanglah dan telah mendapatkan penatalaksanaan

operatif selama kurun waktu Januari 2016 sampai dengan Desember 2016.

b. Penderita datang kontrol dalam kurun waktu minimal 3 bulan pasca

operasi dan akan dilakukan penilaian oklusi setelah bulan ketiga pasca operasi.

c. Memiliki catatan rekam medis yang lengkap.

4.3.4 Kriteria Eksklusi

a. Rekam medik tidak lengkap.

b. Rekam medis hilang.

c. Pasien tidak datang kontrol.

4.3.5 Teknik Pengambilan Sampel

Data diambil dari rekam memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel

penelitian pada penelitian ini dipilih secara acak sampai jumlah sampel yang

diperlukan terpenuhi.
49

4.3.6 Besar Sampel

Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus :

Z2∝ . p . q
n=
d2

Zα = derajat kepercayaan 95 % = 1,96

p = prevalensi fraktur maksilofasial dengan maloklusi

q = 1-p = 50 %

d = derajat penyimpangan 15 %

n = 42

Berdasarkan rumus diatas maka didapatkan jumlah sampel yang diperlukan

adalah 42.

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Klasifikasi dan Identifikasi Variabel

Variabel dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 2 kelompok

variabel, yaitu:

a. Variabel bebas adalah lokasi fraktur, jenis fraktur, lama waktu antara

kejadian dengan tindakan operasi , jenis fiksasi.

b. Variabel tergantung adalah oklusi pasca operasi.


50

4.4.2 Definisi Operasional Variabel

Untuk keseragaman dan agar tidak terjadi kerancuan maka variabel-

variabel yang digunakan dalam penelitian ini perlu didefinisikan. Definisi

operasional dari variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut:

a. Umur adalah umur yang tertera pada rekam medis.

b. Fraktur maksilofasial adalah fraktur/ diskontinuitas tulang yang terjadi

pada tulang-tulang wajah yaitu tulang zigomatikomaksila, tulang nasal, tulang

maksila, dan juga tulang mandibular. Fraktur simpel apabila terdapat satu

garis fraktur, fraktur kompleks apabila garis fraktur lebih dari satu (Japardi,

2004, Kellman dkk, 2006)

c. Lama waktu antara kejadian dengan tindakan operasi adalah waktu

(dalam satuan hari) dari waktu kejadian fraktur/ trauma sampai tiba di ruang

operasi rumah sakit berdasarkan data rekam medis, dibagi menjadi 2 kategori

yaitu sebelum dan sesudah 7 hari.

d. Oklusi gigi adalah hubungan rahang atas dan gigi rahang bawah, dinilai

sesuai klasifikasi Angle, oklusi normal apabila jarak insisival 1-3mm dan alur

gigi ragang atas sesuai dengan yang rahang bawah. Apabila tidak sesuai dapat

dikatakan maloklusi (Kellman Dkk, 2006).

e. Jenis fiksasi merupakan implan yang digunakan dalam imobilisasi

fragmen fraktur setelah dilakukan reduksi, bisa berupa kawat osteosintesis

atau plate dan screw (Kellman Dkk, 2006).


51

4.5 Bahan Penelitian

4.5.1 Data sekunder dari rekam medis

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari

rekam medis penderita yang didiagnosa fraktur maksilofasial selama periode

Januari 2016-Desember 2016 yang telah dilakukan anamnesa, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan penunjang diagnostik X- ray skull AP/ Lat, water’s view dan

atau CT scan kepala dan telah menjalani operasi reduksi serta follow-up dalam hal

outcome oklusi 3 bulan pasca operasi.

4.6 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah formulir kuesioner

yang digunakan untuk mengeksplorasi hubungan faktor- faktor yang

mempengaruhi oklusi pada pasien dengan fraktur maksilofasial yang menjalani

operasi di RSUP Sanglah Denpasar.

4.7 Prosedur Penelitian

Pengisian kuesioner berdasarkan catatan dalam rekam medis pasien fraktur

maksilofacial :

a) Semua rekam medis pasien fraktur maksilofacial yang datang ke RSUP

Sanglah Denpasar selama kurun waktu Januari 2016 – Desember 2016

dikumpulkan, kemudian dipilih yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi.

b) Seluruh data pasien kemudian ditulis pada kuesioner penelitian.

c) Oklusi yang diteliti adalah 3 bulan pasca operasi.


52

d) Setelah data lengkap dilakukan analisis data.

4.8 Alur Penelitian

Penderita fraktur maksilofasial yang datang ke Instalasi Rawat Jalan

RSUP Sanglah Denpasar dijadikan sampel setelah memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi. Setelah layak menjadi sampel, penderita fraktur maksilofasial dievaluasi

mengenai variabel-variabel yang berkaitan dalam penelitian ini, yaitu lokasi

fraktur, jenis fraktur, waktu dikerjakan, jenis fiksasinya. Selama dirawat di RSUP

Sanglah, penderita fraktur maksilofasial akan mendapatkan terapi yang sesuai.

Data-data yang telah diperoleh kemudian dianalisis dan hasilnya disajikan dalam

laporan.

oklusi
Faktor
risiko +
maloklusi

Fraktur
maksilofasial Data Analisis
oklusi
Faktor
risiko -
maloklusi

4.9 Analisis Data

Analisis data pada penelitian ini antara lain:

1. Analisis univariabel, bertujuan untuk menggambarkan karakteristik subjek dan

variabel penelitian. Hasil analisis univariabel ditampilkan dalam tabel distribusi

tunggal. Variabel yang berskala data numerik ditampilkan menggunaka mean


53

dan standar deviasi. Sedangkan variabel yang berskala data kategorikal

ditampilkan dalam frekuensi relatif.

2. Analisis bivariabel, bertujuan untuk mengetahui hubungan antara satu variabel

bebas dengan satu variabel tergantung. Analisis ini dilakukan dengan cara

membuat tabel silang 2 x 2. Kemudian dihitung Odds Ratio (OR). Adapun

interpretasi dari OR adalah, jika OR > 1, maka variabel bebas merupakan

faktor risiko terjadinya variabel tergantung, jika OR = 1 maka variabel bebas

tidak ada hubungan dengan variabel tergantung, sedangkan jika OR < 1 maka

variabel bebas merupakan faktor preventif (mencegah) terjadinya variabel

tergantung. Uji statistik yang digunakan pada analisis bivariabel ini adalah chi

square test pada batas kemaknaan 0.05. Penilaian kemaknaan menggunakan

95%CI dari OR dan nilai p.

3. Analisis multivariabel, analisis ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh murni

satu variabel bebas terhadap 1 variabel tergantung dengan mengontrol

(mengendalikan) variabel bebas lainnya yang juga mempengaruhi variabel

tergantung. Kemaknaan secara statistik dinilai menggunakan 95%CI dari OR

dan nilai p.

Keseluruhan tahap analisis data tersebut diolah menggunakan bantuan

perangkat komputer berupa program SPSS.


54

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Data Deskripti

Penelitian ini dilakukan di RSUP Sanglah dengan melibatkan 42 sampel yang

dilakukan operasi dalam kurun waktu Januari 2016 sampai Desember 2016 (tabel

4.)

Table 4
Karakteristik penelitian

Variable Hasil operasi n= 42


Maloklusi Oklusi
Umur (mean, SD) - - 30,1±12,8
Outcome hasil operasi 4(9,5% 38(90,5%) 42(100%)
Jenis kelamin
Laki-laki 4 (12,5%) 28(66,7%) 32 (76,2%)
Perempuan 0 10(23,8%) 10(23,8%)
Lokasi tulang yang patah
Mandibula 2(4,8%) 30(71,4%) 32(76,2%)
Maksila 2(4,8%) 8(19%) 10(23,8%)
Kompleksitas fraktur
Kompleks 3(7,1%) 18(42,9%) 21(50%)
Simple 1(2,4%) 20(47,6%) 21(50%)
Jumlah hari operasi
≥ 7 hari 2(4,8%) 3(7,1%) 5(11,9%)
< 7 hari 2(4,8%) 35(88,1%) 37(88,1%)
Fixasi
Wire 0 5(11,9%) 5(11,9%)
Miniplate 4(9,5%) 33(78,6%) 37(88,1%)

Pada table 4 didapatkan data umur sampel dengan rata-rata 30,1 (SD:

12,8) dengan outcome hasil operasi maloklusi yang rendah hanya 4(9,5%) dan
55

oklusi tercapai sebanyak 38(90,5%). Karakteristik berdasarkan jenis kelamin

terbanyak pada laki-laki 32 (76, 2%) dengan kejadian oklusi paska operasi 28

(66,7%) dan kejadian maloklusi sebanyak 4 (12,5%). Karakteristik berdasarkan

cedera penyerta didapatkan data sampel yang mengalami maloklusi disertai cedera

penyerta seperti cedera kepala dan fraktur klavikula terbanyak 3(7,1%)

dibandingkan tanpa cedera penyerta sebanyak 1 pasien (2,4%). Etiologi dari

fraktur maksilofasial yaitu 41 (97,6%) disebabkan oleh kecelakaan bermotor, dan

1 (2,4%) disebabkan karena perkelahian.

Karakteristik berdasarkan lokasi tulang yang fraktur didapatkan data

fraktur mandibular dengan maksila yang terjadi maloklusi sama yaitu masing-

masing 2 responden (4,8%). Karakteristik berdasarkan bagian tulang yang patah

terbanyak pada fraktur parasimpisis 18(42,9%) dengan kejadian maloklusi pada

fraktur parasimpisis dan angulus, simpisis dan angulus, lefort II dan lefort III.

Karakteristik berdasarkan kompleksitas fraktur terbanyak terjadi maloklusi

pada fraktur komplek 3(7,1%). Karakteristik berdasarkan lama waktu dilakukan

operasi < 7 hari didapatkan kejadian oklusi sebanyak 35(88,1%) dan kejadian

maloklusi sama pada lama waktu operasi ≥ 7 hari dan < 7 hari masing-masing

2(4,8%). Karakteristik berdasarkan alat fixasi yang digunakan didapatkan data

miniplate memberikan outcome yang lebih baik dibandingkan wire dengan oklusi

sebanyak 33 (78,6%) dan kejadian maloklusi 4(9,5%). Karakteristik berdasarkan

komplikasi pasca operasi didapatkan data komplikasi yang dirasakan berupa rasa

ngilu dan infeksi luka operasi tetapi frekuensinya kecil 7 (16,7%).


56

5.2 Hubungan Faktor Risiko Terhadap Outcome Operasi pada Pasien

Fraktur Maksilofacial

Uji bivariate dilakukan untuk mengetahui hubungan faktor risiko dengan

outcome operasi menggunakan uji korelasi Chi Square (table 5).

Tabel 5
Hubungan lokasi fraktur, kompleksitas, waktu operasi dan jenis fiksasi dengan
outcome hasil operasi

Variable Outcome (Hasil Operasi) OR p- IK 95%


Maloklusi Oklusi value
Lokasi fraktur
Mandibular 2(4,8%) 30(71,4%) 0,267 0,196 0.032-2.198
Maksila 2(4,8%) 8(19%)
Kompleksity
Kompleks 3(7,1%) 18(42,9%) 1,222 0.045 1.004-1.488
Simple 1(2,4%) 20(47,6%)
Lama tindakan
≥ 7 hari 2(4,8%) 3(7,1%) 11,66 0,013 1.185-
< 7 hari 2(4,8%) 35(88,1%) 114.896
Jenis fiksasi
Wire 0 5(11,9%) 0,892 0,440 0.797-0.998
Miniplate 4(9,5%) 33(78,6%)

Pada table 5 didapatkan data lokasi fraktur tidak berhubungan signififan

dengan kejadian maloklusi dengan p-value 0,196 dengan OR 0,267 < 1. Pada

kompleksitas fraktur didapatkan ada hubungan yang signifikan antara

kompleksitas dengan outcome hasil operasi dengan p-value 0,045 dengan

terbanyak kejadian maloklusi pada fraktur yang komplek.

Pada kolom ketiga tabel 5 didapatkan data waktu dilakukan operasi

dengan outcome hasil operasi berhubungan secara signifikan dengan p-value

0,013 dan OR 11,6 yang berarti lama waktu operasi meningkatkan kejadian
57

maloklusi sebanyak 11, 6 kali. Berdasarkan jenis fixasi yang digunakan tidak ada

hubungan yang signifikan dengan outcome hasil operasi dengan p-value 0,440.

5.3 Faktor Risiko Yang Paling Dominan Terhadap Outcome Operasi

Analisis multivariate dilakukan dengan uji regresi logistic untuk

mengetahui variabel bebas yang paling dominan berpengaruh terhadap outcome

hasil operasi. Uji regresi logistic melalui beberapa tahapan untuk menyatakan

bahwa model uji dapat dilakukan. Pada table Omnibus Tests of Model

Coefficients didapatkan nilai p-value 0,045 < 0,05 yang berarti bahwa variabel

bebas dapat memberikan pengaruh nyata pada variable terikat (lampiran).

Selanjutnya pada uji Hosmer dan Lemeshow didapatkan nilai p-value 0,862 > 0,05

yang berarti menerima Ho menunjukkann bahwa model uji dapat dilakukan

karena ada perbedaan yang signifikan antara model dengan observasinya

(lampiran).

Tabel 6
Faktor risiko lokasi fraktur, kompleksitas, waktu dilakukan operasi dan
jenis fixasi terhadap outcome hasil operasi

Variable B p-value OR IK 95%


Lokasi fraktur -1.248 .350 .287 .021-3.942
Kompleksitas 18.878 .998 157926418.5 .000
Waktu operasi 2.257 .104 9.556 .627-145.705
Jenis fixasi -18.256 .999 .000 .000

Pada table 6 didapatkan data lokasi fraktur, kompleksitas, waktu operasi,

dan jenis fiksasi pada saat diuji secara bersama dalam uji regresi logistic

berdasarkan p-value tidak ditemukan faktor yang paling dominan, tetapi pada
58

kolom B didapatkan kompleksitas dan waktu operasi bernilai positif yang berarti

ada hubungan positif dari kompleksitas dan waktu operasi terhadap outcome hasil

operasi dengan Exp (B)/OR 157926418, 5 dan waktu operasi OR 9,556.

5.4 Pembahasan

Tujuan dari penanganan operatif reduksi fraktur maksilofasial adalah

mengembalikan oklusi sebelum fraktur. Pada penelitian ini diteliti faktor faktor

yang berkaitan dengan terjadinya maloklusi pasca reduksi pada fraktur

maksilofasial antara lain lokasi fraktur, kompleksitas fraktur, jenis fiksasi yang

digunakan dan waktu dari kejadian sampai pasien dioperasi. Dari hasil uji bivariat

didapatkan fraktur maksilofasial kompleks berkaitan dengan kejadian maloklusi

pasca operasi reduksi fraktur. Lama waktu dari kejadian sampai dikerjakan

operasi reduksi fraktur lebih dari 7 hari juga secara signifikan berkaitan dengan

kejadian maloklusi pasca reduksi fraktur.

Pada penelitian ini didapatkan prevalensi kejadian maloklusi pasca reduksi

fraktur maksilofasial sebesar 9,5%. Nilai ini lebih rendah dari yang dilaporkan

pada penelitian Jani di Swedia tahun 2006 yaitu sebesar 13,6%. Bahkan angka

yang lebih besar lagi ditunjukkan oleh penelitian Saha di India tahun 2015 sebesar

21,64% dan penelitian Charles tahun 2016 sebesar 28,8%. Ini menunjukkan

outcome hasil operasi reduksi fraktur maksilofasial yang cukup bagus di RSUP

Sanglah Denpasar.

Pada analisis bivariat pada penelitian ini, fraktur maksilofasial kompleks

memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian maloklusi pasca reduksi


59

dengan nilai p sebesar 0,045, namun pada uji multivariat tidak menunjukkan hasil

yang signifikan. Studi dari Lee di Korea dimana pada studi tersebut semua pasien

yang mengalami maloklusi pasca reduksi merupakan fraktur maksilofasial

kompleks. Marcelo dkk, mengatakan bahwa fraktur maksilofasial kompleks juga

meningkatkan risiko terjadinya maloklusi pasca reduksi melalui penelitiannya

tahun 2009. Ini dikarenakan fragmen fraktur yang banyak sering tidak stabil dan

belum ada konsensus yang tepat tentang penanganan fraktur maksilofasial

kompleks (Marcelo, dkk 2009). Fraktur maksilofasial kompleks memiliki

outcome yang lebih buruk, waktu rawat lebih lama dan terjadi masa inflamasi

yang lebih lama (Schenkel dkk, 2014). Pada fraktur yang kompleks terjadi lebih

dari satu garis fraktur sehingga reduksi anatomis lebih sulit dari yang sederhana

(Kellman dkk, 2006). Fraktur maksilofasial kompleks memerlukan waktu

pengerjaan yang lebih lama dibandingkan yang sederhana. Boruk dkk mengatakan

adanya hubungan korelasi yang positif antara waktu anestesi dengan anestesi

umum pada operasi kepala leher dengan meningkatnya risiko komplikasi.

Stabilisasi pada fraktur maksilofasial kompleks memerlukan lebih banyak titik

fiksasi, apabila kurang maka akan meningkatkan risiko komplikasi penyembuhan

tulang berupa nonunion atau malunion yang bisa mengarah terjadinya maloklusi.

Ellis dkk telah melakunan penelitian tahun 2003 di Dallas dimana didapatkan

adanya hubungan yang signifikan antara jumlah fragmen pada fraktur

maksilofasial kompleks dengan komplikasi operasi termasuk didalamnya kejadian

maloklusi (Ellis dkk, 2003).


60

Waktu ideal untuk reduksi fraktur maksilofasial belum jelas dipaparkan

pada berbagai literatur. Menurut Safa dkk, penundaan reduksi fraktur beberapa

hari tidak mengubah outcome operasi (Sharabi dkk, 2010). Pada fraktur terbuka,

semakin lama operasi ditunda maka semakin meningkat resiko infeksi dan

meningkat juga risiko outcome yang buruk. Banyak studi memperlihatkan tidak

adanya perbedaan outcome antara pengerjaan operasi reduksi sebelum dan

sesudah 1 hari kejadian fraktur maksilofasial (Booth dkk, 2012). Begitu juga

dengan penelitian retrospektif dari Rothweiler di Jerman pada tahun 2017

terhadap 168 pasien selama kurun waktu 10 tahun juga tidak terdapat perbedaan

yang signifikan terhadap komplikasi pada operasi reduksi yang dilakukan sebelum

dan sesudah 3 hari (Rothweiler dkk, 2017). Pada tahun 2002 Ruller dkk juga

mendapat hasil yang serupa dengan studi Rothweiler. Pada uji bivariat di

penelitian ini waktu dari kejadian hingga dikerjakan operasi lebih dari 7 hari

secara signifikan berkaitan dengan kejadian maloklusi pasca operasi dengan nilai

p 0,013 dengan OR 11,6, hanya saja pada uji multivariat tidak signifikan memberi

pengaruh. Beberapa peneliti berpendapat fraktur yang direduksi kurang dari 7

hari mendapat hasil yang baik (Bhama, dkk 2016, Rasul, dkk 2016, Kellman

2006). Sampai 14 hari setelah kejadian, sudah terjadi proses penyembuhan inisial

yang menyebabkan mobilisasi dan reduksi anatomis menjadi sulit, jaringan lunak

sudah melengket ke antara fragmen fraktur (Booth dkk, 2012). Menurut Barker

dkk operasi reduksi yang dikerjakan setelah 14 hari tidak memberi perbedaan

hasil yang signifikan (Barker dkk, 2011).


61

Reduksi terbuka dengan fiksasi internal masih menjadi tantangan dalam

mengembalikan anatomi wajah dan kelainan fungsi premorbid. Setelah dilakukan

reduksi anatomis maka dilakukan fiksasi pada fragmen fraktur baik dengan plat

maupun kawat osteosintesis. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang

signifikan antara penggunaan fiksasi dengankawat osteosintesis maupun plat

terhadap outcome hasil operasi. Plat dan screw dikatakan memberi stabilitas yang

lebih superior dibandingkan dengan kawat osteosintesis (Kellman dkk,2006).

Penggunaan fiksasi hanya dengan kawat osteosintesis rigiditasnya tidak sebagus

plat dan screw dalam menjaga pergerakan fragmen tulang. Namun dengan

memberi tambahan stabilitas berupa fiksasi maksilo-mandibula akan memberi

hasil yang memuaskan(Miloro, 2004) seperti pada penelitian ini dimana semua

menggunakan fiksasi maksilo-mandibula. Seperti pada penelitian di Burkina Faso,

Beogo dkk telah melakukan studi pada tahun 2014 dimana penggunaan kawat

osteosintesis dalam reduksi fraktur maksilofasial memberi keberhasilan lebih dari

90% (Beogo dkk, 2014). Bahkan Gandhi dkk mengatakan bahwa pada fraktur

zygomaticomaksilaris efisiensi kawat osteosintesis sama dengan penggunaan plat.

Kawat osteosintesis merupakan metode yang ekonomis, dan mudah didapat.

Pengadaan plat harus menyesuaikan terlebih dahulu dengan ketersediaan ukuran

screw yang sesuai. Kawat osteosintesis menggunakan bahan yang lebih ditoleransi

tubuh dan sampai saat ini belum ada yang dilaporkan mengalami intoleran

terhadap kawat ini. Berbeda dengan plat dimana Charanarayan pernah melaporkan

kejadian rejeksi dari penggunaan implan plat maksilofasial. Eral dkk juga

melaporkan adanya keluhan terasa dingin ketika cuaca dalam keadaan dingin.
62

Namun penggunaan kawat juga memiliki kelemahan, dimana tidak cukup baik

dalam menjaga pergerakan antar fragmen fraktur. Kemungkinan adanya fraktur

iatrogenik juga dapat terjadi saat mengencangkan kawat. Maloklusi dapat terjadi

apabila reduksi tidak adekuat pada fraktur LeFort dan fraktur mandibula baik

dalam penggunaan plat maupun kawat osteosintesis. Penggunaan kawat

osteosintesis dalam reduksi fraktur masih merupakan alternatif yang baik bagi

daerah yang sulit dalam ketersediaan plat (Beogo dkk 2014).

Pada analisis bivariat tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara

lokasi fraktur dengan outcome hasil operasi reduksi fraktur maksilofasial.

Diantara tulang wajah, tulang mandibula memiliki suplai darah dibanding tulang

maksila, selain itu pada reduksi dan fiksasi fraktur mandibula, fragmen fraktur

akan melawan tarikan otot otot pengunyah sehingga meningkatkan risiko

terjadinya maloklusi apabila penyembuhan tulang tidak baik (Paul dkk,2003).

Hasil operasi yang baik akan didapat bila reduksi anatomis serta fiksasi yang tepat

didukung dengan teknik operasi yang baik juga. Literatur yang membandingkan

proses penyembuhan antara tulang maksila dan mandibula masih terbatas.

Menurut penelitian Marthinus dkk tahun 2014 pada hewan babon, didapatkan

bahwa angka penyembuhan dari tulang mandibula 106% lebih cepat dibanding

tulang maksila pada 3 minggu pertama setelah defek pada tulang terjadi

(Marthinus dkk, 2014).

BAB VI
63

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Pada penelitian ini lokasi fraktur, kompleksitas, waktu operasi dan jenis
fiksasi bukan merupakan faktor risiko terjadinya maloklusi pada pasien fraktur
maksilofasial yang menjalani operasi di RSUP Sanglah Denpasar.

6.2 Saran

Penggunaan kawat osteosintesis masih dapat dipertimbangkan sebagai

pilihan alternatif sebagai fiksasi fraktur maksilofasial dengan disertai tambahan

fiksasi maksilo-mandibular.

DAFTAR PUSTAKA
64

Aktop, S., Gonul, O., Satilmis, T., Garip, H., Goker, K. 2013. Management of
Midfacial Fractures. A Textbook of Advanced Oral and Maxillofacial Surgery.

Baek, H.J dkk., 2013. Identification of Nasal Bone Fractures on Conventional


Radiography and Facial CT: Comparison of the Diagnostic Accuracy in Different
Imaging Modalities and Analysis of Interobserver Reliability. Iran Journal of
Radiology 10: 140-147

Bailey, B.J., Johnson, J.T., Newlands, S.D. 2006. Head & Neck Surgery-
Otolaryngology 4th Edition

Barker, D.A., Oo, K.K., Allak, A., Park, S.S., 2011. Timing for repair of mandible
fractures. Laryngoscope. 2011 Jun. 121(6):1160-3

Beogo, R., Dokoure, P.W., Coulibaly, T.A., Donkor, P. 2014. Epidemiology of


facial fractures: an analysis of 349 patients. Med Buccale Chir Buccale 20:13-16

Beogo, R., Bouletreau, P., Konsem, T., Traore, I., Caulibaly, A.T. 2014. Wire
internal fixation: an obsolete, yet valuable method for surgical management of
facial fractures. Pan Afr Med J.2014;17:219

Bhama, P., Cheney, M. 2016. SURGICAL MANAGEMENT OF


MAXILLOFACIAL TRAUMA. OPEN ACCESS ATLAS OF
OTOLARYNGOLOGY, HEAD & NECK OPERATIVE SURGERY. University
of Cape Town South Africa

Booth, P.W., Schmelzein, R., 2012. Maxillofacial Trauma and Esthetic Facial
Reconstruction. Elseviers. p:122-124

Chakranarayan A, Thapliyal GK, Sinha R, Menon PS. Efficacy of two point rigid
internal fixation in the management of zygomatic complex fracture. J Maxillofac
Oral Surg. 2009;8(3):265–269
65

Ellis, E., Muniz, O., Anand., 2003. Treatment considerations for comminuted
mandibular fractures. Maxillofacial Surgery. Vol 6, issue 8, p:861-870

Erol B, Tanrikulu R, Görgün B. Maxillofacial Fractures. Analysis of demographic


distribution and treatment in 2901 patients (25-year experience) Journal of
Cranio-Maxillofacial Surgery. 2004;32(5):308–313

Gandi LN, Kattimani VS, Gupta AV, Chakravarthi VS, Meka SS. Prospective
blind comparative clinical study of two point fixation of zygomatic complex
fracture using wire and mini
plates. http://www.biomedcentral.com/content/pdf/1746-160X-8-7.pdf

Handa1, A., Surendra, S.S., Rana, S.S., Mantri, R., Sharma, M., Virani, R. 2015.
Transosseous Wire Fixation: An Obsolete, Yet Valuable Method For Surgical
Management Of Facial Fractures. Journal of Applied Dental and Medical
Science. Volume 1 Issue 3

Haraldson, S.J. 2013. Nasal Fracture. Available From:


http://emedicine.medscape.com/article/84829-overview [accessed on 10 February
2017]

Japardi, I. 2004. Trauma Maksilofasial. In: Cedera Kepala: Memahami Aspek-


Aspek Penting dalam Pengelolaan Penderita Cedera Kepala. Jakarta: PT. Bhuana
Ilmu Populer.

Kellman, R.M., Tatum, S.A. 2006. Complex Facial Trauma with Plating. Head &
Neck Surgery-Otolaryngology 4th Edition

Koshy, J.C., Feldman, E.M., Obi, C.J., Bullock, J.M. 2010. Pearls of Mandibular
Trauma Management. Semin Plast Surg. (4): 357-374

Lee, S.S., Kim, S.S., Moon, S.y., Oh, J.S., You, J.S. 2014. The treatment of
malocclusion after open reduction of maxillofacial fracture: a report of three
cases. J Korean Assoc Oral Maxilofac Surg. (2):91-95
66

Marthinus, J.K., Kurt, W.B., Steve, A.O., 2014. A comparison of mandibular and
maxillary alveolar osteogenesis over six weeks. Head Face Med;2014;10:50

Meslemani, D., dan R.M., Kellman. 2012. Zygomaticomaxillary Complex


Fractures. Archives of Facial Plastic Surgery 14: 62-66

Miloro, M., 2004. Peterson’s Principles Of Oral and Maxillofacial Surgery Second
edition. Hamilton. London. p:370-375

Moe KS. Maxillary and Le Fort Fractures. Available at


http://emedicine.medscape.com/article/1283568-overview. [accessed on 10
February 2017]

Moore, K.L., Dalley, A.F., Agur, A.M. 2014. Moore Clinically Oriented Anatomy
Seventh Edition. p: 822-859

Muchlis. 2011. Gambaran Fraktur Maksilofasial akibat Kecelakaan Lalu Lintas


pada Pengendara Sepeda Motor. Universitas Sumatera Utara

Nguyen, M., J.C. Koshy, dan L.H. Hollier. 2010. Pearls of Nasoorbitoethmoid
Trauma Management. Seminar in Plastic Surgery 24: 383-388.

Ogundipe, O.K., Afolabi, A.O., Adebayo, O. 2012. Maxillofacial Fractures in


Owo, South Western Nigeria. A 4 Year Retrospective Review of Pattern and
Treatment Outcome. Dentistry 2012, 2:4

Ondik MP, Lipinski I., Dezfoli S dkk., 2009. The treatment of nasal fractures:a
changing paradigm. Arch Facial Plast Surg 11:296-302,2009.

Paul, J., Donald, Sykes, J. 2003. Facial Fractures. Ballenger’s


Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery Sixteenth Edition .p:900-949

Rasul, M.I., Arifin, M.Z., Winarno. 2016. MANAGEMENT OF TRAUMATIC


HEAD INJURY WITH PANFACIAL FRACTURE AND PNEUMOCEPHALUS
(case report). Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Rumah Sakit dr. Hasan
Sadikin, Bandung
67

Rothweiler, R., Bayer, J., Zwingmann, J., Suedkamp, N.P., Kalbhenn, J., 2017.
Outcome and complications after treatment of facial fractures at different times in
polytrauma patients. J Craniomaxillofac Surg. 2018 Feb;46(2):283-287

Rupp, T.J., Young, C.C. 2016. Facial Fracture. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/84613-overview [accessed on 10 February
2017]

Schenkel, J.S., Obwegeser, J., Zemann, W., Rostetter, C., Tandon, R. 2014.
Outcome of comminuted mandibular fracture repair using an intraoral approach
for osteosynthesis. Journal of Craniofacial Surgery, 25(6):2033-2037
Schoenwetter, R.F., 1961. Reduction and Fixation of Facial Fracture. Available
from:www.angle.org [accessed on 10 February 2017]

Smith, H.L. 2011. EPIDEMIOLOGY AND CLINICAL INDICATORS OF


MIDFACE FRACTURE IN PATIENTS WITH TRAUMA. The University of
Iowa

Stewart, M.G., Chen, A.Y. 1997. Factors predictive of poor compliance with
follow-up after Facial trauma: A prospective study. Otolaryngol Head Neck
Surgery: 117:72-75

Tollefson, T.T. 2013. Nasoorbitoethmoid Fractures. Available From:


http://emedicine.medscape.com/article/869330-overview [accessed on 10
February 2017]

Tollefson, T.T. 2013. Zygomaticomaxillary Complex Fractures. Available From:


http://emedicine.medscape.com/article/867687-overview [accessed on 10
February 2017]

Treumann, T. 2010. Radiology of Craniofacial Fractures. Craniofacial Trauma.

Springer-Verlag Berlin Heidelberg


68

Lampiran

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

umur responden 42 18.00 69.00 30.1905 12.87508


Valid N (listwise) 42

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

jenis kelamin responden * 42 100.0% 0 0.0% 42 100.0%


hasil operasi
lokasi fraktur * hasil operasi 42 100.0% 0 0.0% 42 100.0%
kompleksitas * hasil operasi 42 100.0% 0 0.0% 42 100.0%
waktu dilakukan operasi * 42 100.0% 0 0.0% 42 100.0%
hasil operasi
jenis fixasi * hasil operasi 42 100.0% 0 0.0% 42 100.0%
bagian tulang yang fraktur * 42 100.0% 0 0.0% 42 100.0%
hasil operasi
trauma penyerta * hasil 42 100.0% 0 0.0% 42 100.0%
operasi
komplikasi paska operasi * 42 100.0% 0 0.0% 42 100.0%
hasil operasi

Crosstab

hasil operasi Total

oklusi maloklusi

Count 28 4 32

laki-laki % within jenis kelamin responden 87.5% 12.5% 100.0%


jenis
% of Total 66.7% 9.5% 76.2%
kelamin
Count 10 0 10
responden perempu
% within jenis kelamin responden 100.0% 0.0% 100.0%
an
% of Total 23.8% 0.0% 23.8%
69

Count 38 4 42

Total % within jenis kelamin responden 90.5% 9.5% 100.0%

% of Total 90.5% 9.5% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig.


(2-sided) sided) (1-sided)

Pearson Chi-Square 1.382a 1 .240


b
Continuity Correction .312 1 .577
Likelihood Ratio 2.304 1 .129
Fisher's Exact Test .557 .321
Linear-by-Linear Association 1.349 1 .246
N of Valid Cases 42

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .95.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

For cohort hasil operasi = .875 .768 .997


oklusi
N of Valid Cases 42

Crosstab

hasil operasi Total

oklusi maloklusi

Count 8 2 10

maksilla % within lokasi fraktur 80.0% 20.0% 100.0%

% of Total 19.0% 4.8% 23.8%


lokasi fraktur
Count 30 2 32

mandibula % within lokasi fraktur 93.8% 6.3% 100.0%

% of Total 71.4% 4.8% 76.2%


Count 38 4 42

Total % within lokasi fraktur 90.5% 9.5% 100.0%

% of Total 90.5% 9.5% 100.0%


70

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig.


(2-sided) sided) (1-sided)

Pearson Chi-Square 1.672a 1 .196


Continuity Correctionb .457 1 .499
Likelihood Ratio 1.447 1 .229
Fisher's Exact Test .236 .236
Linear-by-Linear Association 1.632 1 .201
N of Valid Cases 42

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .95.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for lokasi fraktur .267 .032 2.198


(maksilla / mandibula)
For cohort hasil operasi = .853 .618 1.178
oklusi
For cohort hasil operasi = 3.200 .515 19.885
maloklusi
N of Valid Cases 42

Crosstab

hasil operasi Total

oklusi maloklusi

Count 20 0 20

simple % within kompleksitas 100.0% 0.0% 100.0%

% of Total 47.6% 0.0% 47.6%


kompleksitas
Count 18 4 22

komplek % within kompleksitas 81.8% 18.2% 100.0%

% of Total 42.9% 9.5% 52.4%


71

Count 38 4 42

Total % within kompleksitas 90.5% 9.5% 100.0%

% of Total 90.5% 9.5% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig.


sided) sided) (1-sided)

Pearson Chi-Square 4.019a 1 .045


b
Continuity Correction 2.186 1 .139
Likelihood Ratio 5.555 1 .018
Fisher's Exact Test .109 .065
Linear-by-Linear Association 3.923 1 .048
N of Valid Cases 42

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.90.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

For cohort hasil operasi = 1.222 1.004 1.488


oklusi
N of Valid Cases 42

Crosstab

hasil operasi Total

oklusi maloklusi

Count 35 2 37

% within waktu 94.6% 5.4% 100.0%


< 7 hari
dilakukan operasi

% of Total 83.3% 4.8% 88.1%


waktu dilakukan operasi
Count 3 2 5

% within waktu 60.0% 40.0% 100.0%


>/ 7 hari
dilakukan operasi

% of Total 7.1% 4.8% 11.9%


72

Count 38 4 42

% within waktu 90.5% 9.5% 100.0%


Total
dilakukan operasi

% of Total 90.5% 9.5% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. Exact Sig.


sided) (2-sided) (1-sided)

Pearson Chi-Square 6.118a 1 .013


b
Continuity Correction 2.762 1 .097
Likelihood Ratio 4.126 1 .042
Fisher's Exact Test .063 .063
Linear-by-Linear Association 5.972 1 .015
N of Valid Cases 42

a. 3 cells (75.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .48.
b. Computed only for a 2x2 table

Crosstab

hasil operasi Total

oklusi maloklusi

Count 33 4 37

miniplate % within jenis fixasi 89.2% 10.8% 100.0%

% of Total 78.6% 9.5% 88.1%


jenis fixasi
Count 5 0 5

wire % within jenis fixasi 100.0% 0.0% 100.0%

% of Total 11.9% 0.0% 11.9%

Count 38 4 42

Total % within jenis fixasi 90.5% 9.5% 100.0%

% of Total 90.5% 9.5% 100.0%

Chi-Square Tests
73

Value df Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


(2-sided) (2-sided) (1-sided)

Pearson Chi-Square .597a 1 .440


Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio 1.069 1 .301
Fisher's Exact Test 1.000 .590
Linear-by-Linear Association .583 1 .445
N of Valid Cases 42

a. 3 cells (75.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .48.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

For cohort hasil operasi = .892 .797 .998


oklusi
N of Valid Cases 42

Crosstab

hasil operasi Total


oklusi maloklusi

Count 18 0 18

parasimpisis % within bagian tulang yang fraktur 100.0% 0.0% 100.0%

% of Total 42.9% 0.0% 42.9%

Count 3 0 3

simpisis % within bagian tulang yang fraktur 100.0% 0.0% 100.0%

% of Total 7.1% 0.0% 7.1%


bagian tulang
Count 3 0 3
yang fraktur
korpus % within bagian tulang yang fraktur 100.0% 0.0% 100.0%

% of Total 7.1% 0.0% 7.1%

Count 2 0 2

angulus % within bagian tulang yang fraktur 100.0% 0.0% 100.0%

% of Total 4.8% 0.0% 4.8%

Count 1 1 2
74

parasimpisis % within bagian tulang yang fraktur 50.0% 50.0% 100.0%


+ angulus % of Total 2.4% 2.4% 4.8%

Count 2 0 2
parasimpisis
% within bagian tulang yang fraktur 100.0% 0.0% 100.0%
+angulus
% of Total 4.8% 0.0% 4.8%

Count 2 1 3
simpisis+ang
% within bagian tulang yang fraktur 66.7% 33.3% 100.0%
ulus
% of Total 4.8% 2.4% 7.1%

Count 1 0 1

lefort I % within bagian tulang yang fraktur 100.0% 0.0% 100.0%

% of Total 2.4% 0.0% 2.4%

Count 4 1 5
lefort II % within bagian tulang yang fraktur 80.0% 20.0% 100.0%

% of Total 9.5% 2.4% 11.9%

Count 1 1 2

lefort III % within bagian tulang yang fraktur 50.0% 50.0% 100.0%

% of Total 2.4% 2.4% 4.8%

Count 1 0 1
simpisis+para
% within bagian tulang yang fraktur 100.0% 0.0% 100.0%
simpisis
% of Total 2.4% 0.0% 2.4%
Count 38 4 42

Total % within bagian tulang yang fraktur 90.5% 9.5% 100.0%


% of Total 90.5% 9.5% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-


sided)

Pearson Chi-Square 13.374a 10 .204


Likelihood Ratio 12.049 10 .282
Linear-by-Linear Association 5.355 1 .021
N of Valid Cases 42

a. 21 cells (95.5%) have expected count less than 5. The minimum


expected count is .10.
75

Crosstab

hasil operasi Total

oklusi maloklusi

Count 23 1 24

tidak ada % within trauma penyerta 95.8% 4.2% 100.0%

trauma % of Total 54.8% 2.4% 57.1%


penyerta Count 15 3 18
ada penyerta (cedera
% within trauma penyerta 83.3% 16.7% 100.0%
kepala, fraktur klavikula)
% of Total 35.7% 7.1% 42.9%
Count 38 4 42

Total % within trauma penyerta 90.5% 9.5% 100.0%


% of Total 90.5% 9.5% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


(2-sided) (2-sided) (1-sided)

Pearson Chi-Square 1.865a 1 .172


b
Continuity Correction .697 1 .404
Likelihood Ratio 1.883 1 .170
Fisher's Exact Test .297 .202
Linear-by-Linear Association 1.821 1 .177
N of Valid Cases 42

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.71.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for trauma 4.600 .437 48.465


penyerta (tidak ada / ada
penyerta (cedera kepala,
fraktur klavikula))
76

For cohort hasil operasi = 1.150 .920 1.437


oklusi
For cohort hasil operasi = .250 .028 2.210
maloklusi
N of Valid Cases 42

Crosstab

hasil operasi Total

oklusi malokl
usi

Count 6 1 7
ada komplikasi (ngilu, infeksi % within komplikasi paska 85.7% 14.3% 100.0
luka) operasi %

komplikasi % of Total 14.3% 2.4% 16.7%


paska operasi Count 32 3 35

% within komplikasi paska 91.4% 8.6% 100.0


tidak ada
operasi %

% of Total 76.2% 7.1% 83.3%


Count 38 4 42

% within komplikasi paska 90.5% 9.5% 100.0


Total operasi %

90.5% 9.5% 100.0


% of Total
%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


(2-sided) (2-sided) (1-sided)

Pearson Chi-Square .221a 1 .638


Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .200 1 .655
Fisher's Exact Test .532 .532
Linear-by-Linear Association .216 1 .642
N of Valid Cases 42

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .67.
b. Computed only for a 2x2 table
77

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for komplikasi .563 .050 6.360


paska operasi (ada
komplikasi (ngilu, infeksi luka)
/ tidak ada)
For cohort hasil operasi = .938 .681 1.290
oklusi
For cohort hasil operasi = 1.667 .202 13.784
maloklusi
N of Valid Cases 42

Case Processing Summary

Unweighted Casesa N Percent

Included in Analysis 42 100.0

Selected Cases Missing Cases 0 .0

Total 42 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 42 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of
cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

oklusi 0
maloklusi 1

Classification Tablea,b

Observed Predicted

hasil operasi
78

oklusi maloklusi Percentage


Correct

oklusi 38 0 100.0
hasil operasi
Step 0 maloklusi 4 0 .0

Overall Percentage 90.5

a. Constant is included in the model.


b. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant -2.251 .526 18.342 1 .000 .105

Variables not in the Equation

Score df Sig.

lokasi 1.672 1 .196

kompleksitas 4.019 1 .045


Variables
Step 0 time 6.118 1 .013

fixation .597 1 .440

Overall Statistics 9.591 4 .048

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 9.742 4 .045

Step 1 Block 9.742 4 .045

Model 9.742 4 .045

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Nagelkerke R


Square Square

1 16.676a .207 .443


79

a. Estimation terminated at iteration number 20 because


maximum iterations has been reached. Final solution cannot be
found.

Hosmer and Lemeshow Test

Step Chi-square df Sig.

1 1.294 4 .862

Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test

hasil operasi = oklusi hasil operasi = maloklusi Total


Observed Expected Observed Expected

1 3 3.000 0 .000 3

2 15 15.000 0 .000 15

3 4 4.000 0 .000 4
Step 1
4 10 9.279 0 .721 10

5 4 4.721 2 1.279 6

6 2 2.000 2 2.000 4

Classification Tablea

Observed Predicted

hasil operasi Percentage

oklusi maloklusi Correct

oklusi 37 1 97.4
hasil operasi
Step 1 maloklusi 4 0 .0

Overall Percentage 88.1

a. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for


EXP(B)

Lower Upper
80

lokasi -1.248 1.337 .872 1 .350 .287 .021 3.942

18.878 8511.824 .000 1 .998 15792 .000 .


kompleksitas 6418.5
33
Step 1a
time 2.257 1.390 2.637 1 .104 9.556 .627 145.705

-18.256 15596.56 .000 1 .999 .000 .000 .


fixation
4

Constant -20.184 8511.824 .000 1 .998 .000

a. Variable(s) entered on step 1: lokasi, kompleksitas, time, fixation.

Anda mungkin juga menyukai