Anda di halaman 1dari 70

PENGARUH SUHU AIR PENCUCIAN AMBING

TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU


BERDASARKAN UJI REDUKTASE PADA SAPI
PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN (PFH)

SKRIPSI

Oleh :

Rubella Candida Milladiah


NIM. 135050101111076

PROGRAM STUDI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
PENGARUH SUHU AIR PENCUCIAN AMBING
TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU
BERDASARKAN UJI REDUKTASE PADA SAPI
PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN (PFH)

SKRIPSI

Oleh :

Rubella Candida Milladiah


NIM. 135050101111076

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh


gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya

PROGRAM STUDI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
PENGARUH SUHU AIR PENCUCIAN AMBING
TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU
BERDASARKAN UJI REDUKTASE PADA SAPI
PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN (PFH)

SKRIPSI

Oleh :

Rubella Candida Milladiah


NIM. 135050101111076

Telah dinyatakan lulus dalam ujian Sarjana


Pada Hari/Tanggal : Senin, 29 Mei 2017

Tanggal Tanda tangan


Pembimbing Utama:
Dr. Ir. Tri Eko Susilorini, MP ....................... .......................
NIP. 19580711 198601 2 001
Pembimbing Pendamping:
Dr. Ir. Puguh Surjowardojo, MP ....................... .......................
NIP. 19571216 198403 1 001
Dosen Penguji:
Ir. Endang Setyowati, MS ....................... .......................
NIP. 19521106 197903 2 001
Dr. Ir Imam Thohari, MP ....................... .......................
NIP. 19590211 198601 1 002

Mengetahui:
Dekan Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya

Prof. Dr. Sc. Agr. Ir. Suyadi, MS


NIP. 19620403 198701 1 001
Tanggal : ..............................
RIWAYAT HIDUP

Rubella Candida Milladiah (Bella) dilahirkan di Madiun


pada tanggal 25 April 1995 sebagai putri pertama Bapak Drs.
Muhammad Sonhadji, S.sos, M.Si dan Ibu Riris
Suswatiningsih, S.Pd. Tahun 2007 penulis lulus SD di SDN
Gending 1, 2010 lulus SMP di SMPN 2 Probolinggo dan 2013
lulus SMA di SMA Brawijaya Smart School (BSS) Malang.
Tahun 2013 penulis juga sekaligus diterima sebagai mahasiswi
di Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya melalui jalur
SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
Selama kuliah di Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya penulis aktif dalam beberapa organisasi, yaitu EM
(Eksekutif Mahasiswa) Kementrian Pemuda dan Olahraga
sebagai staf muda, Basket Fapet UB sebagai anggota, CBC
(Cattle and Buffalo Club) BOS Fapet UB sebagai anggota dan
FASCO (Fapet Sport Community) Fapet UB sebagai
bendahara. Penulis juga menjadi asisten praktikum pada mata
kuliah Ilmu Produksi Ternak Perah dan Manajemen Produksi
Ternak Ruminansia. Penulis diberi amanah menjadi bendahara
untuk praktikum Ilmu Produksi Ternak Perah selama dua
periode (2015 ± 2016).
Penulis melakukan kegiatan PKL (Praktek Kerja Lapang)
pada tanggal 18 Juli hingga 17 Agustus 2016 di BBPTU-HPT
Baturraden Purwokerto dengan judul Manajemen Pengadaan
Bibit di BBPTU-HPT Baturraden dibawah bimbingan Ibu Dr.
Ir. Ita Wahju Nursita, M.Sc. Penulis melakukan penelitian
untuk tugas akhir di KPSP (Koperasi Peternakan Sapi Perah)
Setia Kawan Nongkojajar pada tanggal 25 Desember 2016
hingga 20 Pebruari 2017.

i
ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang


telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ³Pengaruh
Suhu Air Pencucian Ambing terhadap Produksi dan Kualitas
Susu Berdasarkan Uji Reduktase pada Sapi Peranakan
Friesian Holstein (PFH)´. Penulis mengucapkan terima kasih
atas dukungan kepada semua pihak diantaranya:
1. Ibu Dr. Ir. Tri Eko Susilorini, MP selaku pembimbing
utama yang dengan kesabaran dan kebijaksanaanya telah
membimbing dan mengarahkan, sehingga penulisan
skripsi ini terselesaikan.
2. Bapak Dr. Ir. Puguh Surjowardojo, MP selaku
pembimbing pendamping yang selalu memberi masukan
agar skripsi ini terselesaikan dengan baik dan benar.
3. Ibu Ir. Endang Setyowati, MS dan Bapak Dr. Ir. Imam
Thohari, MP sebagai dosen penguji.
4. Bapak Prof. Dr. Sc. Agr. Ir. Suyadi, MS sebagai dekan
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
5. Mama dan Papa yang selalu memberikan doa, motivasi,
dukungan materil serta segala pengorbanan demi
keberhasilan penulis selama ini.
6. Bapak H. Sutrikno dan Ibu, Pak John dan Ibu Tin, Pak
6XSD¶DW 3DN .RGLU 3DN 6ODPHW 0DV 6XGLU GDQ 0DV
Wanto yang telah banyak membantu saya ketika
penelitian di KPSP Setia Kawan Nongkojajar.
7. Ryan dan Bahar sebagai teman kelompok penelitian
selama di KPSP Setia Kawan Nongkojajar.

iii
8. Mega, Ayu, Dyta, Atika, Nungki, Ika, Amel dan Zihan
yang telah memberi semangat dan dukungan selama
penelitian sampai selesai.
9. Ema, Abiyoga, Razan, Ristya, Teguh dan Izzu sebagai
teman bertukar pikiran untuk menyelesaikan skripsi ini.
10. Sinta dan Ulfa yang telah membantu dan memberi
semangat untuk segera menyelesaikan skripsi ini dengan
baik.
11. Putri, Sisil, Yasinta, Dilla, Hanum, Rifa, Masaji, Zaky,
Soni dan Ekki yang telah memberi semangat untuk
menyelesaikan skripsi ini.
12. Meisya dan Maula yang telah memberi doa dan semangat.
13. Teman-teman kelas C, asisten laboratorium perah,
Enjang, Rizka, Lindri, Indah, Wahyu, Dwikiat dan
Chantika yang telah memberi semangat.
14. Wildan Maulana Nabhani yang telah membantu,
mendoakan dan memberi semangat agar skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik, serta
15. Semua pihak yang turut membantu, sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang konstruktif dari semua pihak. Penulis juga berharap
agar karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca,
dalam konteks untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Malang, Juni 2017

Penulis
iv
THE EFFECT OF WASHING WATER TEMPERATURE
ON UDDER TO MILK PRODUCTION AND QUALITY
OF MILK BASED ON REDUCTATION TEST AT
FRIESIAN HOLSTEIN CROSSBRED

Rubella Candida Milladiah1, Tri Eko Susilorini2, Puguh


Surjowardojo2

1
Student of Animal Production Departement, Animal
Husbandry Faculty, Brawijaya University
2
Lecturer of Animal Production Departement, Animal
Husbandry Faculty, Brawijaya University
E-mail: rubellacandidam@gmail.com

ABSTRACT

The purpose of this research was to determine effect


of washing water temperature for udder on milk production
and quality of milk based on reductation test. The materials
used for this research were 15 Friesian Holstein Crossbred
cows and 15 milk samples. The method that used was
Randomize Block Design (RBD) with 3 treatments and 5
replications, then Analysis of Covariance (Ancova), if there
ZHUH D VLJQLILFDQW HIIHFW LW ZRXOG EH FRQWLQXH E\ 'XQFDQ¶V
Multiple Range Test (DMRT). The result showed that washing
water temperature on udder had a high significant effect
(P<0.01) to milk production. Washing water with 37°C has
increasing milk production up to 10.83% or 0.86
litre/head/day. Stimulation of this washing water on udder
would secreted an oxytocin hormone from posterior pituitary
and also stimulated alveoli that sorounded by myoepithel
contraction to secrete milk. While in reductation test showed
that it did not significant different to milk quality based on
reductation test. The conclusion that 37°C washing water
temperature could increasing the reductation time up to
v
10.84% or 0.63 hour/head/week. The 37żC washing water
temperature gave the best results in milk production and
quality of milk based on reductation test.

Keywords: milk production, oxytocin hormone, reductation test

vi
PENGARUH SUHU AIR PENCUCIAN AMBING
TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU
BERDASARKAN UJI REDUKTASE PADA SAPI
PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN (PFH)

Rubella Candida Milladiah1, Tri Eko Susilorini2, Puguh


Surjowardojo2
1
Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
2
Dosen Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
E-mail: rubellacandidam@gmail.com

RINGKASAN

Manajemen pemerahan merupakan salah satu tatalaksana


pada sapi perah yang sangat penting, karena berhubungan
dengan produksi dan kualitas susu. Prinsip pemerahan sapi
perah adalah cepat dan tuntas. Tujuannya yaitu untuk
mendapatkan susu yang berkuantitas dan berkualitas tinggi.
Prinsip pemerahan tersebut dipengaruhi oleh hormon dan
perlakuan saat pemerahan. Tatalaksana pemerahan yang baik
tersebut diharapkan mampu menghasilkan kuantitas dan
kualitas susu yang tinggi.
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah apakah suhu
air pencucian ambing 22żC, 27żC dan 37żC berpengaruh
terhadap produksi dan kualitas susu berdasarkan uji reduktase.
Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah perbedaan suhu
pencucian ambing berpengaruh terhadap produksi dan kualitas
susu berdasarkan uji reduktase. Hasil dari penelitian ini
diharapkan mampu memberikan informasi tentang
penggunaan suhu air pencucian ambing dalam manajemen
pemerahan serta memberikan informasi tentang suhu yang
ideal untuk pencucian ambing, ditinjau dari produksi dan
kualitas susu berdasarkan uji reduktase kepada peternak dan
khalayak umum.

vii
Penelitian ini dilakukan di Koperasi Peternakan Sapi Perah
(KPSP) Setia Kawan Nongkojajar, Pasuruan, Jawa Timur.
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah ternak sapi
perah jenis PFH sebanyak 15 ekor dan 15 sampel susu. Sampel
susu tersebut diuji reduktase setiap satu minggu sekali. Metode
yang digunakan yaitu eksperimen dan pemilihan sampel ternak
dilakukan secara purposive sampling.
Perlakuan penelitian yaitu suhu air pencucian ambing
22 C, 27żC dan 37żC. Variabel dari penelitian ini yaitu
ż

produksi susu pagi dan sore hari serta jumlah bakteri dalam
susu berdasarkan uji reduktase. Penelitian dilakukan selama 8
minggu, 1 minggu untuk pra-perlakuan dan 7 minggu
perlakuan. Data yang diperoleh dianalisis dengan Microsoft
Excel, dilanjutkan dengan analisis statistik menggunakan
RAK (Rancangan Acak Kelompok) dan Ancova (Analysis of
Covariance). Apabila terdapat perbedaan pengaruh yang nyata
(P<0,05) atau sangat nyata (P<0,01) antar perlakuan, maka
dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu air
pencucian ambing berpengaruh sangat nyata (P<0,01)
terhadap produksi susu, yaitu 6,84 + 1,43; 7,29 + 2,15
dan 8,76 + 1,39 liter/ekor/hari. Perlakuan yang terbaik
adalah dengan suhu air pencucian ambing 37 żC. Produksi
susu mengalami peningkatan sebesar 10,83% atau
sebanyak 0,86 liter. Rata-rata waktu uji reduktase yang
terbaik selama 7 minggu adalah P 2 yaitu 6,42
jam/ekor/minggu. Hasil uji reduktase selama 7 minggu
menunjukkan angka yang tidak stabil dan hasil terbaik
adalah pada minggu ke-5 yaitu 7,08 jam. Pengaruh
perbedaan suhu menunjukkan bahwa perlakuan tidak
berpengaruh nyata, yaitu 5,58 + 0,28; 5,84 + 0,42 dan
6,42 + 0,46 jam. Meskipun hasilnya tidak berpengaruh
nyata, tetapi dengan suhu air pencucian ambing 37 żC
dapat meningkatkan lama waktu reduktase. Lama waktu
viii
uji reduktase mengalami peningkatan sebesar 10,84%,
atau sebanyak 0,63 jam. Jumlah bakteri diestimasikan
sekitar 1.000.000 ± 4.000.000/ml dan masuk ke dalam
grade 1. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah suhu
air pencucian ambing 37żC mampu meningkatkan
produksi susu sebanyak 10,83% yaitu 0,86 liter/ekor/hari
dan meningkatkan angka reduktase sebesar 10,84% yaitu
0,63 jam.

ix
x
DAFTAR ISI

Isi Halaman

RIWAYAT HIDUP ........................................................ i


KATA PENGANTAR ................................................... iii
ABSTRACT..................................................................... v
RINGKASAN................................................................. vii
DAFTAR ISI .................................................................. xi
DAFTAR TABEL .......................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ...................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................. xvii
DAFTAR SINGKATAN ................................................ xix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................. 3
1.3 Tujuan................................................................... 3
1.4 Manfaat ................................................................. 3
1.5 Kerangka Pikir ...................................................... 3
1.6 Hipotesis ............................................................... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Karakteristik Sapi Perah PFH (Peranakan Friesian
Holstein) ............................................................... 7
2.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Produksi Susu ... 8
2.2.1 Faktor Genetik (Internal)............................... 8
2.2.2 Faktor Lingkungan (Eksternal) ...................... 12
2.3 Pencucian Ambing ................................................ 14
2.4 Hormon yang Berperan dalam Pembentukan Susu
.............................................................................. 16
2.5 Milk Let Down ....................................................... 18

xi
2.6 Uji Reduktase........................................................ 19

BAB III. MATERI DAN METODE PENELITIAN


3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................. 23
3.2 Materi Penelitian ................................................... 23
3.3 Metode Penelitian ................................................. 23
3.4 Tahapan Penelitian ................................................ 25
3.5 Variabel Penelitian ................................................ 26
3.6 Analisis Data ......................................................... 26
3.7 Batasan Istilah ....................................................... 27

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Keadaan Umum KPSP Setia Kawan ...................... 29
4.2 Pengaruh Suhu Air Pencucian Ambing terhadap
Produksi Susu........................................................ 32
4.3 Pengaruh Suhu Air Pencucian Ambing terhadap
Kualitas Susu Berdasarkan Uji Reduktase .............. 36

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan ........................................................... 41
5.2 Saran..................................................................... 41

DAFTAR PUSTAKA ....................................................... 43

LAMPIRAN ..................................................................... 49

xii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Hubungan antara kualitas susu dengan perkiraan


jumlah bakteri dalam uji reduktase ............................ 21
2. Rata-rata produksi susu sebelum dan sesudah
dilakukan pencucian ambing dengan suhu yang
berbeda selama 49 hari .............................................. 33
3. Angka reduktase dalam susu sebelum dan sesudah
dilakukan pencucian ambing dengan suhu yang
berbeda selama 7 minggu .......................................... 37
4. Estimasi jumlah bakteri susu dan grade-nya pada
hasil uji reduktase ..................................................... 38

xiii
xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka pikir penelitian .......................................... 5


2. Sapi peranakan Friesian Holstein (PFH) ................... 8
3. Rataan produksi susu seluruh periode laktasi
(Sukandar dkk., 2008) ............................................ 10
4. Alveoli dan jaringan ambing lainnya pada sapi
perah (Flanders, 2012) ............................................ 15
5. Hormon utama (beserta sumber-sumbernya) yang
mempengaruhi anatomi dan fisiologi kelenjar
mammae (Taylor dan Field, 2004) .......................... 17
6. Mekanisme reflek milk let down (Husveth, 2011).... 19
7. Sanitasi kandang yang baik ..................................... 31
8. Rata-rata produksi susu sebelum dan sesudah
perlakuan................................................................ 34
9. Angka reduktase susu sebelum dan sesudah
perlakuan................................................................ 39

xv
xvi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Diagram alir pencucian ambing .............................. 49


2. Diagram alir uji reduktase ....................................... 50
3. Data produksi susu sebelum perlakuan (7 hari) ....... 51
4. Data rata-rata produksi susu setelah perlakuan
(7 minggu).............................................................. 52
5. Data angka redukase sebelum dan sesudah
perlakuan................................................................ 54
6. Alat dan bahan penelitian ....................................... 56
7. Perhitungan hasil pengaruh suhu air pencucian
ambing terhadap produksi susu ............................... 59
8. Perhitungan hasil pengaruh suhu air pencucian
ambing terhadap angka reduktase ........................... 65
9. Dokumentasi kegiatan ............................................ 70

xvii
xviii
DAFTAR SINGKATAN
ż
C = Derajat Celcius
Ancova = Analysis of Covariance
CI = Calving Interval
DMRT = 'XQFDQ¶V0XOWLSOH5DQJH7HVW
FK = Faktor Koreksi
JK = Jumlah Kuadrat
Kg = Kilo gram
KT = Kuadrat Tengah
L = Liter
ml = mili liter
p = Perlakuan
PFH = Peranakan Friesian Holstein
RAK = Rancangan Acak Kelompok
SOP = Standar Operasional Prosedur
TDN = Total Digestible Nutrient
u = Ulangan

xix
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manajemen pemeliharaan sapi perah meliputi manajemen
perkandangan dan sanitasi lingkungan, pemberian pakan,
pemerahan, pengaturan perkawinan dan penanganan penyakit
serta pencegahannya. Manajemen pemerahan merupakan salah
satu tata laksana pada sapi perah yang sangat penting, karena
berhubungan dengan produksi dan kualitas susu. Prinsip
pemerahan sapi perah adalah cepat dan tuntas. Tujuannya
yaitu untuk mendapatkan susu yang berkuantitas dan
berkualitas tinggi. Prinsip pemerahan tersebut dipengaruhi
oleh hormon dan perlakuan saat pemerahan. Pencucian
ambing merupakan salah satu manajemen sebelum pemerahan
(Taylor dan Field, 2004). Perlakuan berupa pencucian ambing
menggunakan air hangat 37°C merupakan stimulus untuk
menginisiasi terjadinya milk let down.
Perlakuan sebelum pemerahan akan menstimulus keluarnya
susu dari kelenjar-kelenjar susu. Perlakuan tersebut salah
satunya adalah mencuci bagian ambing, bagian belakang
disekitar lipatan paha bagian dalam menggunakan kain lap
basah. Kemudian ambing di lap lagi dengan air hangat (37°C)
untuk menghindari pencemaran bakteri dan juga untuk
merangsang agar susu dapat keluar dari kelenjar-kelenjar susu
(Suheri, 2000). Pencucian ambing berfungsi agar ambing
dalam keadaan bersih dan merangsang keluarnya susu,
sehingga dalam pencuciannya perlu diperhatikan agar peternak
tidak banyak kehilangan produksi susu. Selain itu pencucian
ambing erat hubungannya dengan stimulus dan aktivitas dari
horomon oksitosin Tatalaksana pemerahan yang baik tersebut
1
diharapkan mampu menghasilkan kuantitas dan kualitas susu
yang tinggi. Salah satu indikator kualitas susu adalah jumlah
mikroorganisme dalam susu. Susu merupakan bahan makanan
yang berasal dari ternak yang bernilai gizi tinggi. Selain kaya
akan protein, juga kaya akan kalori, mineral dan hampir semua
zat yang dibutuhkan oleh manusia. Zat ini sangat mudah
dicerna dan diserap oleh darah dengan sempurna. Susunan zat
gizi yang sempurna dari susu ini merupakan media yang
sangat baik untuk pertumbuhan bakteri, sehingga susu sangat
peka terhadap kontaminasi bakteri serta sangat mudah busuk.
Salah satu cara yang sederhana untuk mengetahui kualitas
susu adalah dengan uji reduktase.
Uji reduktase bertujuan untuk memperkirakan jumlah
bakteri dalam susu, sehingga dapat diketahui grade-nya.
Prinsipnya yaitu metabolisme bakteri di dalam susu akan
menghasilkan enzim yang akan mereduksi warna biru dari
methylene blue menjadi putih kembali. Jadi semakin lama
warna biru berubah menjadi putih kembali, maka semakin baik
kualitas susu. Sebaliknya semakin cepat warna biru berubah
menjadi putih, maka semakin buruk kualitas susu tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian
terkait dengan pengaruh perbedaan suhu air pencucian ambing
untuk mendapatkan produksi susu yang optimal serta
mengetahui kualitas susu berdasarkan uji reduktase. Pencucian
ambing menggunakan air hangat diharapkan mampu
meningkatkan kuantitas dan kualitas susu, sehingga peternak
dapat meningkatkan pendapatannya.

2
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah, apakah suhu
air pencucian ambing 22żC; 27żC dan 37żC berpengaruh
terhadap produksi dan kualitas susu berdasarkan uji reduktase?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1.3.1 Mengetahui pengaruh perbedaan suhu air pencucian
ambing terhadap produksi susu.
1.3.2 Mengetahui pengaruh perbedaan suhu air pencucian
ambing terhadap kualitas susu berdasarkan uji
reduktase.

1.4 Manfaat
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat:
1.4.1 Memberikan informasi tentang penggunaan suhu air
pencucian ambing dalam manajemen pemerahan
kepada peternak dan khalayak umum.
1.4.2 Memberikan informasi tentang suhu yang ideal untuk
pencucian ambing ditinjau dari produksi dan kualitas
susu berdasarkan uji reduktase.

1.5 Kerangka Pikir


Manajemen pemerahan merupakan salah satu faktor
lingkungan yang mempengaruhi produksi susu sapi perah.
Salah satu praktik dari manajemen pemerahan adalah
pencucian ambing sebelum dilakukan pemerahan. Pencucian
ambing berfungsi agar ambing dalam keadaan bersih dan
merangsang keluarnya susu, sehingga dalam pencuciannya
perlu diperhatikan agar peternak tidak banyak kehilangan

3
produksi susu. Selain itu pencucian ambing erat hubungannya
dengan stimulus dan aktivitas dari horomon oksitosin.
Salah satu kegunaan pencucian ambing dengan air bersuhu
37żC yaitu untuk merangsang keluarnya susu dari kelenjar
susu secara optimal. Suhu 37żC merupakan suhu normal dari
tubuh sapi dan pada suhu ini dapat memberikan sapi rasa
tenang serta nyaman. Hal ini dikarenakan hormon oksitosin
bekerja dengan efektif serta dapat dihambat oleh hormon
adrenalin yang mengakibatkan terhentinya kerja hormon
oksitosin.
Susu yang dihasilkan dari proses pemerahan dapat
diketahui secara kualitatif jumlah bakteri yang terkandung di
dalamnya menggunakan uji reduktase. Metabolisme bakteri di
dalam susu akan menghasilkan enzim yang akan mereduksi
warna biru dari methylene blue menjadi putih kembali. Jadi
semakin banyak bakteri di dalam susu maka akan
mempercepat waktu reduktse. Sebaliknya jika semakin sedikit
bakteri di dalam susu maka waktu reduktase akan lebih lama.
Semakin lama waktu perubahan warna biru dari methylene
blue menjadi putih kembali maka semakin baik, karena dapat
disimpulkan bahwa bakteri di dalam susu sedikit.

4
Manajemen
pemerahan Ambing dilap
Persiapan sebelum
pemerahan adalah dengan air
penting artinya, hangat
sebab ada Pencucian (37°C) untuk
pengaruhnya ambing menghindari
terhadap kualitas pencemaran
susu yang bakteri dan
dihasilkan. Suhu air juga untuk
Sebelum sapi 22żC, 27żC merangsang
diperah ambing dan 37żC agar susu
harus dicuci dapat keluar
terlebih dahulu dari kelenjar-
menggunakan air kelenjar susu
Hormon
panas (Makin, (Suheri,
oksitosin 2000).
2011).

Produksi dan kualitas


susu berdasarkan uji
reduktase meningkat

Gambar 1. Kerangka pikir penelitian

1.6 Hipotesis
Suhu air pencucian ambing berpengaruh terhadap
produksi dan kualitas susu berdasarkan uji reduktase.

5
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Sapi Perah PFH


Sapi PFH merupakan hasil persilangan antara sapi FH
dengan sapi lokal yang ada di Indonesia (Mukhtar, 2006).
Menurut Soetarno (2003) sejak tersebarnya sapi FH di
beberapa daerah di Indonesia, khususnya pulau Jawa, telah
terjadi perkawinan secara tidak terencana antara sapi FH
dengan sapi lokal dan menghasilkan keturunan yang disebut
PFH. Hasil persilangan ini lebih terkenal dengan nama sapi
grati (Sunarko, Sutrasno, Siwi, Kumalajati, Supriadi, Marsudi
dan Budiningsih, 2009). Ciri-ciri fisik dari sapi PFH
menyerupai sapi FH, namun produksinya relatif lebih rendah
(Sunarko dkk., 2009). Ciri-ciri fisiknya antara lain yaitu
memiliki kepala agak panjang, mulut lebar, lubang hidung
terbuka luas, ukuran tubuh besar, pinggang sedang, dan telinga
sedang.
Sapi PFH mewarisi sifat bobot badan cukup tinggi dan
mudah beradaptasi dengan lingkungan tropis dengan produksi
susu yang relatif tinggi. Namun buruknya manajemen
reproduksi sapi perah menyebabkan produktifitas susu relatif
rendah, sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan susu
dalam negeri (Zainudin, Ihsan dan Suyadi, 2014). Produksi
susu sapi perah jenis PFH yang diternakkan di Indonesia
hanya 10 ± 12 liter/ekor/hari, sedangkan di beberapa negara
tetangga sudah mencapai 20 liter/ekor/hari (Sudono, Rosdiana
dan Setiawan, 2003). Kemampuan berproduksi susu sapi perah
FH dapat mencapai lebih dari 6.000 kg per laktasi dengan
kadar lemak susu rata-rata 3,6%. Standar bobot betina
dewasa berkisar antara 570 ± 730 kg. Sedangkan produksi
7
susu sapi PFH sebelum tahun 1979 sekitar 1800 ± 2000
kg/laktasi dengan panjang laktasi rata-rata kurang dari 10
bulan.

Gambar 2. Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH)

2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu


2.2.1 Faktor Genetik (Internal)
Komposisi dan produksi susu yang dihasilkan oleh
seekor ternak sapi perah laktasi sangat bervariasi. Variasi
yang terjadi dapat disebabkan oleh banyak faktor. Salah
satu faktor yang mempengaruhi produksi susu adalah
faktor genetik, dimana kontribusi faktor genetik terhadap
komposisi dan produksi susu berkisar antara 25 ± 30%.
Faktor-faktor genetik tersebut antara lain bangsa sapi,
individu, keturunan, lama laktasi, hormonal, lama
bunting, umur dan ukuran badan (Mukhtar, 2006).
Bangsa sapi perah FH merupakan penghasil susu
yang paling tinggi diantara bangsa sapi perah lain di
dunia. Produksi susu yang dihasilkan rata-rata 6000 liter
per laktasi dengan persentase kadar lemak rata-rata
sebesar 3,5%. Bangsa sapi perah lain yang memiliki

8
produksi susu terbanyak adalah Brown Swiss dengan
jumlah lebih dari 4000 liter per laktasi. Sapi perah Brown
Swiss menghasilkan susu dengan persentase kadar lemak
sekitar 4% (Makin, 2011). Faktor individu merupakan
pembeda setiap individu di dalam kelompok jenis yang
sama jika dilihat dari jumlah produksi susu yang
dihasilkan per masa laktasi. Variasi individu di dalam
satu bangsa sapi yang sama tersebut sebagian besar
disebabkan oleh faktor keturunan dan faktor lingkungan
(Rusmita, 2011).
Selama laktasi, pola kurva produksi susu mengalami
perubahan yang terlihat tidak tetap. Setelah beranak,
produksi susu agak rendah, kemudian meningkat sampai
mencapai puncaknya sekitar bulan kedua laktasi. Setelah
itu, secara perlahan mengalami penurunan dan mencapai
titik terendah pada bulan laktasi kedelapan sampai
kesepuluh. Produksi susu berkaitan erat dengan kondisi
tubuh. Puncak produksi susu dicapai saat masa laktasi 31
± 100 hari. Rataan produksi susu sepanjang laktasi
seluruh periode laktasi ditampilkan pada Gambar. 3
(Sukandar, Purwanto dan Anggraeni, 2008). Penurunan
produksi susu setelah puncak produksi susu menunjukkan
persistensi.

9
Gambar 3. Rataan produksi susu seluruh periode laktasi
(Sukandar dkk., 2008)

Salah satu faktor yang menentukan tingginya


produksi susu adalah pengaruh optimalitas sekresi
hormon yang diturunkan dari tetuanya (induk betina dan
jantan). Jika sekresi hormon yang berpengaruh terhadap
produksi susu diefisiensi, maka kapasitas sekresi susu
juga akan menurun. Hormon-hormon yang berpengaruh
terhadap produksi susu antara lain hormon prolaktin,
hormon laktogenetik, hormon pertumbuhan, hormon
paratioidea, hormon adrenalin, dan hormon oktitosin
(Mukhtar, 2006). Sapi yang sedang bunting akan
mengalami penurunan produksi susu 3 ± 4 kali lebih cepat
dibandingkan dengan sapi yang tidak mengalami
10
kebuntingan. Penurunan yang mencolok terlihat pada
umur kebuntingan 6 ± 7 bulan. Hal tersebut disebabkan
besarnya nutrisi yang dibutuhkan untuk fetus dan
terjadinya perubahan imbangan hormon yang terjadi di
dalam tubuh induk (Rusmita, 2011).
Puncak tertinggi produksi susu seekor sapi dicapai
ketika berumur antara 7 ± 8 tahun. Sapi-sapi muda di
bawah umur tersebut produksi susunya masih rendah,
karena masih dalam proses pertumbuhan. Sabaliknya
setelah umur tersebut produksi susu mulai menurun,
karena umurnya semakin menua (senilitas). Produksi susu
menurun sedikit demi sedikit hingga mencapai umur 10 ±
12 tahun. Penurunan produksi susu selain disebabkan
oleh senilitas juga karena kelenjar-kelenjar susu mulai
menurun aktivitasnya (Makin, 2011). Kemampuan
memproduksi susu tidak terlepas dari normalitas besarnya
tubuh, kapasitas menampung dan mencerna makanan,
besarnya ambing dan ketahanan terhadap penyakit.
Menurut Anggraeni (2007), seiring dengan
berjalannya waktu produksi, sejumlah faktor lain dapat
pula memberi pengaruh pada kemampuan produksi susu
ternak yang umum ditemukan pada peternakan rakyat,
seperti rendahnya sumber daya genetik ternak itu sendiri,
penurunan standar manajemen pemeliharaan dan
berkurangnya aktivitas seleksi pada replacement stock.
Dinyatakan pula, kondisi tersebut merupakan suatu
fenomena yang umum ditemukan pada adopsi budidaya
sapi perah subtropis di daerah tropis.

11
2.2.2 Faktor Lingkungan (Eksternal)
Produksi susu per laktasi sapi perah akan
dipengaruhi oleh sejumlah faktor lingkungan, sehingga
menimbulkan variasi produksi antara individu ternak.
Produksi susu yang dihasilkan akan ditentukan oleh
struktur ternak, pakan, musim, manajemen dan
keseluruhan lingkungan pemeliharaan (Anggraeni, 2007).
Manajemen perkawinan merupakan salah satu faktor
lingkungan yang mempengaruhi kuantitas susu yang
dihasilkan. Lamanya kebuntingan seekor sapi memiliki
pengaruh tidak langsung terhadap produksi susu. Hal ini
disebabkan karena sebagian kecil pakan yang dikonsumsi
tidak sepenuhnya diproses untuk menghasilkan susu akan
tetapi untuk membesarkan janin di dalam kandungan sapi.
Calving Interval (CI) yang teratur merupakan stimulus
utama agar tingkat produksi susu tetap tinggi. Calving
Interval (CI) yang ideal adalah antara 12 ± 14 bulan.
Usaha yang terbaik adalah dengan mengawinkan sapi 2 ±
3 bulan setelah beranak (Makin, 2011).
Menurut Utomo dan Miranti (2010) salah satu faktor
yang mempengaruhi produksi susu adalah kualitas pakan
yang diberikan pada sapi laktasi. Hal ini kemungkingan
konsentrat yang diberikan pada sapi perah dengan sistem
perbaikan manajemen pemeliharaan berpengaruh
terhadap produksi asam propionat (C3), karena banyak
mengandung karbohidrat yang mudah difermentasikan.
Asam propionat berpengaruh terhadap produksi susu,
karena asam propionat dapat diubah menjadi glukosa dan
glukosa merupakan bahan pembentuk laktosa susu.

12
Suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor
iklim yang mempengaruhi produksi susu sapi perah,
karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan
panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air,
keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku
ternak. Produksi susu dan konsumsi pakan secara
otomatis direduksi dalam usaha mengurangi produksi
panas tubuh. Penurunan nafsu makan menyebabkan
produksi susu direduksi. Stres panas merupakan faktor
yang sangat berpengaruh tinggi terhadap produksi
susu terutama pada saat puncak produksi. Pendinginan air
pada tubuh sapi perah pada keadaan tidak nyaman
meningkatkan efisiensi produksi susu lebih baik
dibandingkan tanpa penyemprotan (Kurniawan, Indrijani,
dan Tasripin, 2012).
Keadaan lingkungan sekitar kandang yang tenang
membuat sapi merasa nyaman dan tenang. Pada malam
hari lingkungan sekitar kandang sunyi karena tidak ada
aktifitas di sekitar lingkungan kandang. Hal ini berbeda
dengan siang hari yang dipengaruhi oleh aktifitas bising
di sekitarnya yang dapat mengganggu ketenangan sapi
laktasi. Akibatnya sapi bisa merasakan stres pada siang
hari di samping stres panas, sehingga pemanfaatan
energi digunakan untuk mengurangi beban stres tersebut.
Namun, pada malam hari sapi cenderung beristirahat
dengan tenang. Proses istirahat ini dapat mendukung
produksi susu pada pagi hari, karena pada malam hari
energi (TDN) sepenuhnya dimanfaatkan pada produksi
susu (Kurniawan dkk., 2012).

13
Menurut Resti (2009) selang pemerahan yang
seimbang memiliki pengaruh penting agar sapi dapat
memproduksi susu secara optimal. Sapi yang diperah
dengan selang pemerahan 12:12 memiliki produksi susu
yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang diperah
dengan selang pemerahan 10:14. Produksi susu setelah
ambing kosong akan meningkat dengan meningkatnya
selang pemerahan. Susu dibentuk atau disekresi oleh
seekor sapi pada waktu atau periode antar waktu
pemerahan. Sintesis susu yang paling cepat terjadi sesaat
setelah pemerahan, susu pertama yang disintesis mengisi
tempat-tempat penampungan yang ada di dalam ambing,
sehingga tekanan mammae meningkat dan laju sekresi
susu berkurang.

2.3 Pencucian Ambing


Ambing sapi merupakan perkembangan khusus dari
jaringan kulit pada bagian tubuh sebelah bawah diantara dua
kaki belakang. Melekat ke tubuh oleh jaringan ikat ditutupi
oleh kulit, terdapat vena darah dan syaraf yang melalui canalis
inguinalis di bawah kulit. Ambing normal terdiri atas empat
bagian kelenjar yang terpisah satu sama lain. Masing-masing
bagian disebut kuartir, bagian sebelah kanan dan kiri terpisah
oleh suatu membran tebal yang disebut septum media. Susu
yang dihasilkan oleh kuartir belakang lebih banyak, rata-rata
produksi 60% sedangkan kuartir depan rata-rata 40% dari total
produksi per ekor (Makin, 2011).
Menurut Flanders (2012) susu diproduksi di dalam kelenjar
mammae (mammary gland), atau ambing. Ambing adalah
bagian yang paling penting dari sapi perah, karena bagian

14
tersebut merupakan tempat dimana produksi susu terjadi.
Struktur kecil di dalam ambing disebut alveoli, di mana alveoli
menerima nutrisi-nutrisi dari darah dan mengubah nutrisi-
nutrisi tersebut menjadi susu. Susu dari alveoli bergerak
menuju ke saluran-saluran susu yang besar. Saluran-saluran
susu besar yang kosong tersebut menuju gland cistern. Gland
cistern merupakan tempat penyimpanan untuk mengumpulkan
susu dari saluran-saluran besar susu. Ambing sapi perah terdiri
dari empat kelenjar mammae yang terpisah atau disebut
kuartir. Tiap kuartir memiliki puting yang menyediakan
tempat keluarnya susu (outlet). Susu lewat dari gland cistern
dan keluar dari ambing melalui puting (Gambar. 4).

Alveoli Interior of
alveolus
showing milk

Milk ducts
Gland
Milk
cistern
Teat cistern
Circular
muscle Tubule
Streak
canal Fat droplets in
Blood lumen
Gambar 4. Alveoli dan jaringan ambing lainnya pada
sapi perah (Flanders, 2012)

Setiap peternak sapi perah dalam melakukan pemerahan


harus berupaya untuk mendapatkan hasil susu yang bersih dan
sehat. Kuantitas dan kualitas hasil pemerahan tergantung pada
15
tatalaksana pemeliharaan dan pemerahan yang dilakukan
(Handayani dan Purwanti, 2010).

2.4 Hormon yang Berperan dalam Pembentukan Susu


Hormon adalah zat kimia pengatur yang disekresikan ke
dalam darah oleh kelenjar endokrin. Darah membawa hormon
menuju ke setiap sel di dalam tubuh, tetapi hanya sel-sel untuk
hormon tertentu saja yang dapat merespon (Raven dan
Johnson, 2002). Hormon pertumbuhan, kortikoid adrenal dan
prolaktin adalah hormon utama yang bertanggung jawab untuk
inisiasi laktasi. Hormon-hormon ini menjadi efektif mendekati
partus dan ketika tingkat hormon estrogen dan progesteron
menurun. Melalui pemerahan susu atau menyusui, susu di
kelenjar ambing segera berkurang. Namun tetap ada sejumlah
susu di alveoli yang dipaksa masuk ke dalam saluran oleh
kontraksi sel mioepitel. Sel-sel ini berkontraksi di bawah
pengaruh hormon oksitosin, yang disekresikan oleh hipofisa
posterior (Gambar. 5). Hormon oksitosin dilepaskan dari
hipofisa posterior oleh rangsangan pedet yang menyusui,
kepalanya akan menyenggol ambing untuk
menginisiasi/memulai respon milk let down. Milk let down
dapat dihubungkan dengan pemberian pakan atau pencucian
ambing. Pencucian ambing merupakan manajemen sebelum
pemerahan. Pelepasan oksitosin dapat terhambat oleh rasa
sakit, suara yang keras dan rangsangan stres lainnya (Taylor
dan Field, 2004).

16
Gambar 5. Hormon utama (beserta sumber-
sumbernya) yang mempengaruhi
anatomi dan fisiologi kelenjar
mammae (Taylor dan Field, 2004)

Hormon yang berperan dalam proses pemerahan adalah


hormon oksitosin. Sentuhan pada puting akan memberikan
impuls ke saraf yang diteruskan ke otak kemudian ke kelenjar
pituitary posterior yang menyebabkan terjadinya sekresi
oksitosin. Oksitosin yang terdapat di dalam darah meningkat
seiring dengan perangsangan pada ambing. Oksitosin
menyebabkan serabut mioepitel yang merupakan reseptor
yang menyelubungi alveoli berkontraksi dan menyampaikan
pesan ke alveoli untuk mengeluarkan susu. Setelah 45 detik
perangsangan ambing akan menjadi padat dan penuh oleh susu
17
yang menandakan bahwa sapi telah siap untuk diperah. Sapi
yang mengalami stres akan mengalami penghambatan laju
oksitosin dalam pembuluh darah yang menyempit akibat
peningkatan hormon adrenalin (Ensminger dan Howard,
2006).

2.5 Milk Let Down


Reseptor saraf pada permukaan ambing sensitif terhadap
sentuhan dan suhu. Selama persiapan pemerahan, saraf-saraf
dipicu untuk PHPXODL UHIOHN µmilk let down¶ \DQJ
memungkinkan terjadinya pelepasan susu. Hormon-hormon
dan sistem saraf juga terlibat dalam regulasi aliran darah ke
ambing. Misalnya, ketika sapi kaget atau merasa sakit sacara
fisik, aksi bersama dari adrenalin dan sistem saraf mengurangi
aliran darah ke ambing, sehingga menghambat reflek milk let
down dan mengurangi poduksi susu. Menurut Surjowardojo,
Suyadi, Hakim dan $XODQL¶DP (2008), pemerah hendaknya
memandikan sapi, membersihkan ambing dengan air hangat
yang dibasuhkan dengan handuk dan mengeringkan ambing
dengan handuk kering. Hal ini dilakukan untuk
menghindarkan ambing dan puting dari mikroorganisme
penyebab mastitis dan untuk merangsang pelepasan oksitosin
dalam proses milk let down.
Proses milk let down diprakarsai oleh rangsangan
ligkungan dan fisik yang memicu serangkaian proses
hormonal (Gambar 6.). Sinyal stimulus positif kelenjar
hipofisa di otak untuk menghasilkan oksitosin. Oksitosin
berjalan menuju ambing di dalam aliran darah dan
menyebabkan sel-sel mioepitel di sekitar alveoli berkontraksi
dan menggerakkan susu ke dalam saluran dan cistern system di

18
mana ia dapat diekstraksi melalui proses pemerahan. Peristiwa
stimulus negatif (seperti berteriak pada sapi, menggunakan
anjing untuk mengejar sapi atau mencolok sapi) menstimulus
pelepasan hormon adrenalin. Adrenalin menyebabkan
pembuluh darah berkontraksi dan mengurangi efek dari
oksitosin (Ruegg dan Pamela, 2001).

Gambar 6. Mekanisme reflek milk let down


(Husveth, 2011)

2.6 Uji Reduktase


Uji reduktase memberikan gambaran mengenai kualitas
higienis susu. Namun, uji ini tidak dapat memberikan hasil
yang memuaskan karena tidak semua bakteri mempunyai
kemampuan mereduksi yang sama. Methylene blue digunakan
pada uji reduktase, sehingga campuran susu dan methylene
19
blue menyebabkan susu berubah warna menjadi biru. Inkubasi
pada suhu 37żC, berangsur-angsur warna biru akan berubah
menjadi putih. Pemeriksaan dilakukan setiap 15 menit
(Susilorini dan Sawitri, 2006).
Prinsip dari uji reduktase adalah dalam susu terdapat enzim
reduktase yang dibentuk oleh kuman-kuman, maka enzim ini
akan mereduksi zat biru metilen menjadi larutan tidak
berwarna (Saragih, Suada dan Sampurna, 2013). Waktu
reduktase susu segar pada proses penyimpanan ini sangat lama
dibuktikan lama reduktase dengan total rata-rata 7,937 jam di
mana perkiraan jumlah bakterinya adalah sebanyak 1.000.000
± 4.000.000 per mL, sedangkan waktu reduktase susu yang
normal adalah dua sampai lima jam. Semakin lama terjadi
perubahan warna methylene blue pada susu segar menjadi
putih kembali, menunjukkan bahwa jumlah bakteri dalam susu
semakin sedikit (Nababan, Suada dan Swacita, 2014).
Semakin tinggi jumlah kuman di dalam susu, semakin cepat
terjadi perubahan warna, maka dilakukan uji reduksi methylen
blue yang dapat memberikan gambaran perkiraan jumlah
kuman yang terdapat di dalam susu, kemudian diamati waktu
yang dibutuhkan oleh kuman untuk melakukan aktifitas yang
dapat menyebabkan perubahan warna dari zat warna methylen
blue (Suardana dan Swacita, 2004).
Susu sapi diambil dan dimasukkan ke dalam tabung
reduktase yang telah disterilkan dan diisikan masing-masing
0,5 ml larutan methylen blue ke dalam tabung tersebut dengan
menggunakan pipet 0,5 ml. Tabung reduktase disumbat
dengan alumunium foil dan diikat dengan gelang karet.
Kemudian dilakukan inkubasi dalam inkubator dengan suhu
37żC. Angka reduktase ditentukan bersdasarkan waktu (jam)

20
terjadinya perubahan warna methylen blue menjadi tidak
berwarna (Umar, Razali dan Novita, 2014). Asumsi nilai pada
angka reduktase sebagai berikut:

Tabel 1. Hubungan antara kualitas susu dengan perkiraan


jumlah bakteri dalam uji reduktase
Waktu Perkiraan Jumlah
No. Kualitas
(jam) Bakteri (per ml)
1. Baik >8 < 500.000
2. Cukup Baik 6±8 1.000.000 ± 4.000.000
3. Kurang Baik 2±6 4.000.000 ± 20.000.000
4. Rendah/Jelek <2 > 20.000.000
Sumber : Susilorini dan Sawitri (2006)

21
22
BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 25 Desember 2016
hingga 20 Februari 2017 di Koperasi Peternakan Sapi Perah
(KPSP) Setia Kawan Nongkojajar, Pasuruan, Jawa Timur.
Lokasi penelitian berada di lereng sebelah barat Gunung
Tengger di ketinggian 400 ± 2000 meter di atas permukaan
laut. Uji reduktase dilakukan di Laboratorium KPSP Setia
Kawan.

3.2 Materi Penelitian


Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
3.2.1 Ternak sapi perah jenis PFH sebanyak 15 ekor yang
dibagi menjadi 5 kelompok berdasarkan bulan
laktasi, yaitu awal (1 bulan), puncak (2 ± 3 bulan),
tengah (4 ± 6 bulan), akhir (7 ± 10 bulan) dan diatas
10 bulan. Alat dan bahan yang digunakan untuk
menyiapkan air pencucian ambing antara lain panci,
kompor, termos, termometer, ember, lap dan air.
3.2.2 Sampel susu sebanyak 15, diuji reduktase setiap satu
minggu sekali. Alat yang digunakan antara lain
tabung reaksi, waterbath, penutup karet, serta pipet
0,5 dan 10 cc. Bahan yang digunakan yaitu
methylene blue dan sampel susu.

3.3 Metode Penelitian


Metode yang digunakan yaitu percobaan dengan 3
perlakuan dan 5 ulangan. Pemilihan sampel ternak dilakukan
23
secara purposive sampling, yaitu sapi perah PFH yang
dikelompokkan menjadi 5, yaitu berdasarkan fase laktasinya
(awal, puncak, tengah, akhir dan > 10 bulan). Percobaan
dilakukan menggunakan 3 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan
yang digunakan adalah sebagai berikut:
P0 : suhu air pencucian ambing 22żC
P1 : suhu air pencucian ambing 27żC
P2 : suhu air pencucian ambing 37żC
Teknik pengambilan data dilakukan setiap hari ketika
pemerahan pagi dan sore hari, lalu dicatat produksi susu yang
dihasilkan dan dirata-rata. Pada uji reduktase dilakukan 1
minggu sekali untuk mengetahui jumlah bakteri susu.
3.3.1 Prosedur Pencucian Ambing
Prosedur pencucian ambing sebelum pemerahan
adalah sebagai berikut :
a. Direbus air panas hingga mendidih
b. Disiapkan termos berisi air panas
c. Dimasukkan air panas ke dalam ember
kemudian ditambah air bersuhu biasa untuk
menentukan suhu air yang diinginkan
d. Dimasukkan termometer ke dalam ember untuk
melihat suhu air
e. Ditutup ember berisikan air tersebut
menggunakan lap agar suhu air dapat bertahan
f. Dicelupkan lap ke dalam ember hingga basah
untuk membersihkan ambing
g. Dibersihkan ambing dan dipijat-pijat
(massage)
h. Diperah.

24
3.3.2 Prosedur Uji Reduktase
Prosedur uji reduktase menurut Umar dkk (2014)
adalah sebagai berikut :
a. Susu sapi diambil sebanyak 10 cc dan
dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah
disterilkan
b. Diisikan masing-masing 0,5 ml larutan
methylen blue ke dalam tabung tersebut dengan
menggunakan pipet 0,5 ml
c. Tabung reduktase disumbat dengan alumunium
foil dan diikat dengan gelang karet
d. Kemudian dilakukan inkubasi dalam inkubator
dengan suhu 37żC
e. Angka reduktase ditentukan bersdasarkan
waktu (jam) terjadinya perubahan warna
methylen blue menjadi tidak berwarna.

3.4 Tahapan Penelitian


Tahapan penelitian ini adalah sebagai berikut:
3.4.1 Pra Penelitian
Tahapan-tahapan pra penelitian adalah sebagai
berikut :
a. Mensurvey lokasi penelitian
b. Menentukan sampel 15 ekor sapi
c. Mempersiapkan alat dan bahan yang akan
digunakan
d. Mengoleksi data sebelum perlakuan selama 1
minggu

25
3.4.2 Koleksi Data
Koleksi data pada penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Rata-rata produksi susu pagi dan sore dicatat
setiap hari
b. Sampel susu diuji reduktase setiap satu minggu
sekali

3.5 Variabel Penelitian


Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
3.5.1 Produksi susu pagi dan sore hari
3.5.2 Angka reduktase

3.6 Analisis Data


Data yang diperoleh dianalisis dengan Microsoft Excel,
sehingga didapatkan data rata-rata, dilanjutkan dengan analisis
statistik yaitu menggunakan RAK (Rancangan Acak
Kelompok) dan Ancova (Analysis of Covariance). Apabila
terdapat perbedaan pengaruh yang nyata (P<0,05) atau sangat
nyata (P<0,01) antar perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji
jarak berganda Duncan. Model Rancangan Acak Kelompok
adalah sebagai berikut :
Yij —IJL ȕj + İij
Keterangan :
Yij = nilai pengamatan perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
µ = nilai rataan umum
IJL = pengaruh perlakuan ke-i
ȕj = pengaruh kelompok ke-j
İij = pengaruh galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

26
i = perlakuan ke-1, 2, 3, ...
j = kelompok ke-1, 2, 3, ...

3.7 Batasan Istilah


Codex : Badan antar pemerintah yang
bertugas melaksanakan Joint
FAO/WHO Food Standards
Programme (program standar
pangan FAO/WHO)
Higienis : Upaya kesehatan dengan cara
memelihara dan melindungi
kebersihan subyeknya
Sanitasi Kandang : Kegiatan yang dilakukan oleh
peternak untuk kebersihan kandang
dan lingkungan

27
28
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum KPSP Setia Kawan


KPSP Setia Kawan beralamatkan di Jalan Raya
Nongkojajar nomor 38, Wonosari, Tutur, Kabupaten Pasuruan,
Jawa Timur, Indonesia. Secara geografis terletak di dataran
tinggi sebelah barat Pegunungan Tengger dengan ketinggian
400 ± 2000 meter di atas permukaan laut. Suhu udara rata-rata
16 ± 25żC dengan kelembaban udara rata-rata 80% dan curah
hujan 3.650 milimeter per tahun. Batasan wilayah KPSP Setia
Kawan antara lain:
Sebelah Utara : Kecamatan Puspo
Sebelah Selatan : Kecamatan Jabung (Malang)
Sebelah Barat : Kecamatan Purwodadi
Sebelah Timur : Kecamatan Tosari
Populasi ternak pada tahun 2011 di KPSP Setia Kawan
sebanyak 17.461 ekor yang terdiri dari + 7.900 ekor induk
laktasi dan sisanya adalah induk kering, pedet dan jantan
dewasa, pedet betina serta dara bunting. Produksi susu segar di
KPSP Setia Kawan yaitu sebanyak + 82.000 liter/hari (KPSP,
2011). Penelitian dillakukan di salah satu anggota peternak
sekaligus pengurus KPSP Setia Kawan yang bernama Bapak
H. Sutrikno. Ternak yang dimiliki Bapak H. Sutrikno terdiri
sapi perah dewasa 22 ekor, dara bunting 1 ekor dan pedet 6
ekor. Sistem pemeliharaan dilakukan secara intensif dengan
model perkandangan head to head. Tipe atap kandang dari
peternakan ini adalah monitor. Atap dari bangunan kandang
ketika udara panas dari sapi muncul lalu dilepaskan melalui
outlet, dan udara dingin dari sisi lain tertarik masuk
(Anonimous, 2005).
29
Tahapan pemerahan terdiri dari pra pemerahan, pemerahan
dan pasca pemerahan. Peternakan Bapak H. Sutrikno
menggunakan metode pemerahan manual yang dilakukan oleh
tiga orang tenaga kerja pemerah. Kegiatan yang dilakukan
sebelum pemerahan (pra pemerahan) adalah disiapkan alat dan
bahan yang digunakan untuk memerah, ternak dibersihkan
bagian tubuhnya yang kotor menggunakan sapu lidi, kandang
dibersihkan dari kotoran berupa feses dan urin serta sisa pakan
yang jatuh. Pemerahan dilakukan pukul 05.30 hingga 06.30.
Urutan dari proses pemerahan adalah tali keluh ternak ditahan
menggunakan kaki agar ternak tenang ketika diperah, ambing
dibersihkan menggunakan air hangat dengan menggunakan lap
sambil dipijat-pijat (massage) kira-kira selama 30 detik, puting
dioles dengan minyak goreng sebagai pelicin, dibuang
pancaran pertama, diperah hingga tuntas. Setelah pemerahan
selesai ambing dibersihkan lagi menggunakan lap. Hal
tersebut sesuai dengan Surjowardojo (2011) bahwa
manajemen pemerahan dibagi menjadi tiga tahap yaitu
persiapan pemerahan, pelaksanaan pemerahan dan tahap
pengakhiran pemerahan. Adiarto (2012) menambahkan bahwa
ada tiga tahapan pemerahan yang harus dilakukan yaitu
sebelum pemerahan, saat pemerahan dan sesudah pemerahan.
Tenaga kerja yang bekerja untuk memerah dan mencari
hijauan pakan ternak (HPT) sebanyak tiga orang. Pemilik dari
peternakan juga ikut terjun langsung untuk membersihkan sapi
dan kandang sebelum dilakukan pemerahan. Pakan yang
diberikan terdiri dari dua jenis yaitu HPT dan konsentrat. HPT
yang diberikan berupa rumput gajah (Pennisetum purpureum),
sedangkan konsentrat yang diberikan berupa pollard dan
konsentrat dari KPSP Setia Kawan yaitu cipro. Rumput gajah

30
diberikan sebanyak 10% dari bobot badan, yaitu rata-rata
sekitar 40 kg/ekor/hari. Pemberian rumput gajah dilakukan
pada pukul 06.30 dan 15.00 setelah pemerahan. Konsentrat
berupa pollard dan cipro diberikan secara bersamaan dengan
perbandingan 1:1. Pemberiannya sebanyak 6 ± 8 kg/ekor/hari
yang diberikan pada pukul 04.00 dan 13.00 sebelum dilakukan
pemerahan. Pemberian minum dilakukan secara ad libitum.
Sistem sanitasi kandang sangat baik (Gambar 7.), karena
setiap sebelum dan sesudah pemerahan, kandang selalu
dibersihkan dari kotoran berupa feses serta urin. Sapi
dibersihkan dengan air mengalir serta disikat pada bagian
tubuh yang terdapat banyak kotoran sampai bersih. Hal ini
selalu dilakukan sebelum pemerahan. Tempat pakan juga
selalu dibersihkan, sehingga tidak ada pakan sisa yang
tertinggal.

Gambar 7. Sanitasi kandang yang baik

31
4.2 Pengaruh Suhu Air Pencucian Ambing terhadap
Produksi Susu
Pencucian ambing merupakan salah satu SOP (Standar
Operasional Pelaksanaan) dalam manajemen pemerahan,
dengan tujuan untuk memberikan rangsangan terhadap
kelenjar ambing. Rangsangan dari pencucian ambing dibawa
oleh susunan syaraf untuk memicu hipofisa posterior
mensekresi hormon oksitosin, di mana hormon tersebut akan
menstimulus mioepitel yang menyelubungi alveoli untuk
berkontraksi dan mensekresi susu. Suheri (2000) menyatakan
bahwa perlakuan sebelum pemerahan akan menstimulus
keluarnya susu dari kelenjar-kelenjar susu. Perlakuan tersebut
salah satunya adalah memandikan sapi, terutama pada bagian
ambing, bagian belakang disekitar lipatan paha bagian dalam
menggunakan kain lap basah. Kemudian ambing di lap lagi
dengan air hangat (37°C) untuk menghindari pencemaran
bakteri dan juga untuk merangsang agar susu dapat keluar dari
kelenjar-kelenjar susu.
Hasil analisis statistik pada Lampiran 7 menunjukkan
bahwa suhu air pencucian ambing berpengaruh sangat nyata
(P<0,01) terhadap produksi susu.

32
Tabel 2. Rata-rata produksi susu sebelum dan sesudah
dilakukan pencucian ambing dengan suhu yang
berbeda selama 49 hari
Produksi Susu + SD
Perlakuan (liter/ekor/hari)
Sebelum Sesudah
P0 (22żC) 6,9 + 1,41 6,84 + 1,43a
P1 (27żC) 6,87 + 1,76 7,29 + 2,15a
P2 (37żC) 7,9 + 1,3 8,76 + 1,39b
Keterangan: superskrip berbeda (a ± b) pada kolom
yang sama menunjukkan perbedaan
yang sangat nyata (P<0,01)

Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan terbaik adalah P2,


yaitu dengan suhu air pencucian ambing 37żC, karena pada
suhu tersebut ternak terstimulus untuk menghasilkan susu
secara optimal. Rangsangan pencucian ambing dengan
menggunakan air suhu 37żC akan mengoptimalkan sekresi
hormon oksitosin dari hipofisa posterior. Hal tersebut
dikarenakan suhu air 37żC merupakan suhu normal dari tubuh
sapi, sehingga sapi tidak perlu menyesuaikan kembali terhadap
suhu air pencucian ambing yang telah diberikan. Hormon
oksitosin akan masuk dalam aliran darah seiring dengan
rangsangan yang diberikan untuk menggertak serabut
mioepitel yang menyelubungi alveoli. Serabut mioepitel akan
memberikan pesan kepada alveoli untuk mensekresi susu.
Produksi susu mengalami peningkatan sebesar 10,83%, yaitu
sebanyak 0,86 liter/ekor/hari. Pencucian ambing menggunakan
air bersuhu 37°C berguna untuk menghindari pencemaran
bakteri dan juga merangsang keluarnya susu dari kelenjar-

33
kelenjar susu dengan optimal, karena suhu 37°C merupakan
suhu normal tubuh sapi dan ternak merasa nyaman karena
hormon oksitosin bekerja dengan efektif dan menghambat
keluarnya hormon adrenalin yang mengakibatkan terhentinya
hormon oksitosin (Mahardika, Trisunuwati dan Surjowardojo,
2016).
Penerapan pemerahan yang baik meliputi beberapa tahap.
Pengeluaran susu harus dirangsang dengan cara yang tepat
agar susu mengalir dengan cepat dan ambing cukup kosong.
Rangsangan pra-pemerahan dapat dilakukan secara manual,
mesin, atau dengan membiarkan pedet menghisap puting
induk sebelum memulai pemerahan (Lam, 2011). Waktu
pelepasan oksitosin dapat mempengaruhi ejeksi susu (milk
ejection).

Gambar 8. Rata-rata produksi susu sebelum dan sesudah


Perlakuan

34
Hasil analisis ragam (Lampiran 7.) menunjukkan bahwa
pada suhu air pencucian ambing 22°C, 27°C dan 37°C
berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap produksi susu.
Rata-rata produksi susu (Gambar 8.) menunjukkan bahwa P0
tidak mengalami peningkatan, yaitu turun sebanyak 0,86%
atau sebanyak 0,06 liter. Pada P 1 dan P2 produksi susu
mengalami peningkatan, yaitu 6,11% dan 10,83%. Perlakuan
pencucian ambing yang dilakukan selama 7 minggu, ternyata
dapat meningkatkan produksi susu P 1 dan P2, akan tetapi P 0
tidak. Hal tersebut dikarenakan suhu air pencucian ambing
pada P1 dan P2 ditingkatkan sedangkan P0 tidak. Gerakan
menyusui dari pedet, usapan satu basuhan air hangat pada
ambing merupakan rangsangan pada otak melalui jaringan
syaraf. Selanjutnya otak akan mengeluarkan hormon oksitosin
ke dalam darah. Hormon oksitosin menyebabkan otak-otak
pada kelenjar susu bergerak dan lubang puting terbuka,
sehingga susu mengalir keluar (Hidayat, 2008).
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi produksi susu
adalah panjang pendeknya masa kering kandang. Hal tersebut
akan sangat mempengaruhi produksi dalam satu masa laktasi.
Masa istirahat yang normal berlangsung sekitar 40 ± 60 hari.
Kering kandang atau masa istirahat yang terlalu singkat
menyebabkan produksi susu pada masa laktasi berikutnya
menjadi rendah (Sudono dkk., 2003). Salah satu faktor lain
yang mempengaruhi produksi susu adalah kualitas pakan yang
diberikan pada sapi laktasi. Hal ini kemungkinan konsentrat
yang diberikan pada sapi perah dengan sistem perbaikan
manajemen pemeliharaan berpengaruh terhadap produksi asam
propionat (C3) karena banyak mengandung karbohidrat yang
mudah difermentasikan. Asam propionat berpengaruh

35
terhadap produksi susu karena asam propionat dapat diubah
menjadi glukosa dan glukosa merupakan bahan pembentuk
laktosa susu. Kurang lebih 40% dari bahan kering susu adalah
laktosa yang bersifat menyerap air, sehingga apabila terjadi
peningkatan kadar laktosa maka produksi susu juga meningkat
(Utomo dan Miranti, 2010).
Produksi susu pada P2 dengan suhu air pencucian ambing
37°C mengalami peningkatan yang paling besar yaitu 10,83%
atau sebesar 0,86 liter/ekor/hari. Hal ini diketahui dapat
meningkatkan pendapatan peternak, di mana per liternya susu
dihargai Rp. 5.600, 00. Penentuan harga susu tersebut juga
berkaitan dengan kualitas susu menggunakan uji reduktase.
Produksi susu yang meningkat tersebut harus diimbangi
dengan kualitas susu yang tinggi pula, karena akan
berpengaruh pada penentuan harga susu per liternya. Rataan
produksi susu sekitar 10 sampai dengan 12 liter/ekor/hari,
tingkat harga susu segar ditentukan melalui penentuan
kualitasnya (Nugroho, 2010). Suhu air pencucian ambing
37°C menurun ketika berada di suhu lingkungan, hal ini dapat
diminimalisir dengan memantau penurunan suhu dengan
termometer dan ditambah dengan air hangat lagi hingga suhu
mencapai 37°C. Cara lain untuk mengatasi penurunan suhu
yang dapat dilakukan adalah dengan menyiapkan air
pencucian ambing dengan suhu diatas 37°C, dengan begitu
suhu dapat dikontrol penurunannya.

4.3 Pengaruh Suhu Air Pencucian Ambing terhadap


Kualitas Susu Berdasarkan Uji Reduktase
Manajemen sanitasi pada sapi perah sangat menentukan
kualitas susu yang dihasilkan. Kandang yang senantiasa bersih

36
tentu akan membuat sapi merasa nyaman dan terhindar dari
mikroorganisme yang dapat menghambat produksi susu dari
sapi tersebut. Kebersihan tubuh sapi, pemerah serta alat
pemerahan juga wajib diperhatikan untuk menjaga kualitas
susu yang dihasilkan. Kualitas susu dapat diuji secara
sederhana dengan menggunakan uji reduktase, di mana dengan
uji tersebut dapat diketahui grade serta estimasi jumlah bakteri
yang ada di dalam susu. Uji reduktase dilakukan satu minggu
sekali sebanyak 15 sampel dari 15 ekor sapi.
Hasil analisis statistik pada Lampiran 8 menunjukkan
bahwa pengaruh suhu air pencucian ambing tidak berpengaruh
nyata terhadap kualitas susu berdasarkan uji reduktase.

Tabel 3. Angka reduktase dalam susu sebelum dan sesudah


dilakukan pencucian ambing dengan suhu yang
berbeda selama 7 minggu
Rata-Rata + SD (jam)
Perlakuan
Sebelum Sesudah
ż
P0 (22 C) 5,53 + 0,33 5,58 + 0,28
P1 (27żC) 5,88 + 0,27 5,84 + 0,42
ż
P2 (37 C) 5,79 + 0,33 6,42 + 0,46

Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan terbaik adalah P 2,


yaitu dengan menggunakan suhu air pencucian ambing 37żC.
Angka reduktase mengalami peningkatan sebesar 10,84%,
yaitu sebanyak 0,63 jam. Estimasi jumlah bakteri P 2
diestimasikan sekitar 1.000.000 ± 4.000.000/ml dengan
kategori kualitas susu yang cukup baik. Angka reduktase pada
P0 mengalami peningkatan sebesar 0,9%, yaitu 0,05 jam.
Estimasi jumlah bakteri P0 sekitar 4.000.000 ± 20.000.000/ml
dengan kategori kualitas susu yang kurang baik. Hal yang
37
berbeda terjadi pada P1 karena mengalami penurunan angka
reduktase sebanyak 0,77% atau 0,05 jam, dengan estimasi
jumlah bakteri sekitar 4.000.000 ± 20.000.000/ml. Kategori
kualitas susu P1 adalah kurang baik. Berikut adalah estimasi
jumlah bakteri susu dan grade-nya pada hasil uji reduktase
yang telah dilakukan (Tabel. 4).

Tabel 4. Estimasi jumlah bakteri susu dan grade-nya pada


hasil uji reduktase

Hasil Estimasi Jumlah


Perlakuan Grade
(jam) Bakteri (per ml)

P0 (22żC) 5,58 4.000.000 ±


1
20.000.000/ml

P1 (27żC) 5,84 4.000.000 ±


1
20.000.000/ml

P2 (37żC) 6,42 1.000.000 ±


1
4.000.000/ml

Utami, Radiati, dan Surjowardojo (2014), grade susu


ditentukan berdasarkan waktu reduksi (jam) dengan uji
reduktase dan memperkirakan jumlah bakteri dalam susu.
Grade 1 ditentukan jika waktu reduksi lebih dari 5 jam dengan
perkiraan 500.000 sel/ml. Grade 2 ditentukan jika waktu
reduksi > 2 ± 5 jam dengan perkiraan 500.000 ± 4.000.000
sel/ml. Sedangkan grade 3 ditentukan jika waktu reduksi < 2
jam, dengan perkiraan 4.000.000 ± 20.000.000 sel/ml. Jadi

38
hasil uji reduktase P0, P1 dan P 2 tergolong baik dan masuk ke
dalam grade 1 (Tabel 4).

Gambar 9. Angka reduktase susu sebelum dan


sesudah perlakuan

Rata-rata angka reduktase susu (Gambar 9.) menunjukkan


bahwa P0 mengalami peningkatan yang tidak signifikan, yaitu
sebanyak 0,9%. P1 mengalami penurunan, yaitu 0,77%. Hasil
rata-rata angka reduktase yang terbaik adalah P 2, yaitu
mengalami peningkatan sebesar 10,84%. Faktor-faktor yang
mempengaruhi angka reduktase ini antara lain adalah pemerah
tidak membuang pancaran pertama, sanitasi alat penampung
susu yang kurang baik, adanya kontaminasi udara ketika
dilakukan pemerahan, kontaminasi oleh feses dan urin serta
kesehatan ternak itu sendiri. Hal tersebut sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sudhasaravanan dan
Binukumari (2015), bakteri yang ditemukan dalam kotoran,

39
tanah dan air dapat masuk ke dalam susu karena peralatan
pemerahan serta kontak dengan susu. Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa 53% dan 49% dari sampel susu mentah
dikategorikan sangat buruk (very poor) dan buruk (poor),
tetapi pada kasus sampel susu pasteurisasi, 86% sampel
berkualitas baik karena dilakukan pasteurisasi.
Jumlah kuman susu yang ditentukan dengan codex susu
adalah 3 x 106 sel/ml. Jumlah bakteri dalam susu yang
diproduksi dapat dihambat dengan penanganan susu yang
baik. Faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah
higenitasnya dengan cara melindungi susu dari kontak
langsung ataupun tidak langsung dengan sumber-sumber yang
dapat mencemari susu selama pemerahan, pengumpulan dan
pengangkutan. Selain itu perlu penanganan yang tepat dalam
proses pengolahan dan penyimpanannya (Everitt et al., 2002
dalam Resnawati, 2020).
Angka reduktase pada P0, P1 dan P2 dikategorikan
grade 1, karena hasil uji reduktase menunjukkan di atas 5
jam. Mutu susu dapat diterima apabila lama warna biru
hilang lebih dari 2 jam dan kurang dari 6 jam serta
diperkirakan jumlah bakteri per ml adalah 4.000.000 ±
20.000.000 (Hadiwiyoto, 1994 dalam Umar dkk, 2014).
Hasil penelitian P0, P1 dan P2 tidak terdapat perbedaan
angka reduktase, dengan demikian dalam melakukan
pencucian ambing dapat menggunakan suhu 22żC, 27żC
atau 37żC. Ditinjau dari penentuan harga susu per
liternya, angka reduktase di atas 5 jam dihargai sebesar
Rp. 5.600,00/liter, sedangkan angka reduktase dibawah 5
jam dihargai sebesar Rp. 5.100,00/liter.
40
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian pengaruh suhu air
pencucian ambing terhadap produksi dan kualitas susu
berdasarkan uji reduktase pada sapi PFH adalah sebagai
berikut:
1. Suhu air pencucian ambing 37żC mampu meningkatkan
produksi susu sebanyak 10,83% yaitu 0,86 liter/ekor/hari.
2. Suhu air pencucian ambing 37żC mampu meningkatkan
lama waktu reduktase sebesar 10,84% yaitu 0,63 jam.

5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka
disarankan untuk pencucian ambing dalam SOP
pemerahan di KPSP Setia Kawan Nongkojajar dapat
menggunakan suhu air 22 ± 37żC untuk mengoptimalkan
produksi dan kualitas susu.

41
42
DAFTAR PUSTAKA

Adiarto. 2012. Beternak Sapi Perah Ramah Lingkungan. Citra


Aji Parama, Yogyakarta.

Anonimous. 2015. Dairy Cow Housing. Ministry for Primary


Industries, Hamilton.

Anggraeni, A. 2007. Pengaruh Umur, Musim dan Tahun


Beranak terhadap Produksi Susu Sapi Friesian
Holstein pada Pemeliharaan Intensif dan Semi-
Intensif di Kabupaten Banyumas. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner, 156 ± 166.

Brit, T.J. dan R.K. Robinson. 2008. Advanced Dairy Science


and Technology. Blackweel Publishing, USA.

Ensminger, M.E., D.T. Howard. 2006. Dairy Cattle Science 4th


Edition. The Interstate Printers and Publisher,
Danville.

Flanders, F.B. 2012. Exploring Animal Science. Delmar


Cengage Learning, USA.

Hadi, S. 2000. Statistika Jilid 2. Andi Press, Yogyakarta.

Handayani, K.S. dan M. Purwanti. 2010. Kesehatan Ambing


dan Higiene Pemerahan di Peternakan Sapi Perah
Desa Pasir Buncir Kecamatan Caringin. Jurnal
Penyuluhan Pertanian, 5 (1): 47 ± 54.

Hidayat, A. 2008. Buku Petunjuk Praktis untuk Peternak Sapi


Perah tentang Manajemen Kesehatan Pemerahan.
Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat, Bandung.
43
Husveth, F. 2011. Physiological and Reproductional Aspects
of Animal Production. Digitalis Tankonyvtar,
Hungaria.

KPSP Setia Kawan. 2011. Profil Peternakan Sapi Perah


Koperasi Peternakan Sapi Perah Setia Kawan.
http://www.kpsp-setiakawan.com/. Diakses tanggal 7
April 2017.

Kurnianto, E., Sutopo, S. Johari dan I. Sumeidiana. 2011.


Faktor Koreksi Lama Laktasi untuk Standarisasi
Produksi Susu Sapi Perah. Seminar Nasional
Peternakan Berkelanjutan, Fakultas Peternakan
Universitas Padjajaran, 85 ± 89.

Kurniawan, H. Indrijani dan S. Tasripin. 2012. Model Kurva


Produksi Susu Sapi Perah dan Korelasinya pada
Pemerahan Pagi dan Siang Periode Laktasi Satu.
Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran,
Bandung.

Mahardika, H.A., P. Trisunuwati dan P. Surjowardojo. 2016.


Pengaruh Suhu Air Pencucian Ambing dan Teat
Dipping terhadap Jumlah Produksi, Kualitas dan
Jumlah Sel Somatik Susu pada Sapi Peranakan
Friesian Holstein. Buletin Peternakan, 40 (1): 11 ±
20.

Lam, V. 2011. Milk Production Smallholder Dairy Cattle


Farms in Southern Vietnam. Faculty of Veterinary
Medicine and Animal Science, Departement of
Animal Nutrition and Management, Uppsala.

44
Makin, M. 2011. Tata Laksana Peternakan Sapi Perah. Graha
Ilmu, Yogyakarta.

Mukhtar, A. 2006. Ilmu Produksi Ternak Perah Cetakan I.


Lembaga Pengembangan Profesi dan Universitas
Sebelas Maret Press, Surakarta.

Nababan, L.A., I.K. Suada dan I.B.N. Swacita. 2014.


Ketahanan Susu Segar pada Penyimpanan Suhu
Ruang Ditinjau dari Uji Tingkat Keasaman, Didih
dan Waktu Reduktase. Indonesia Medicus Veterinus,
3(4): 274 ± 282.

Nugroho, B.A. 2010. Pasar Susu Dunia dan Posisi Indonesia.


Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan Brawijaya, 20(1): 65 ±
76.

Pasaribu, A., Firmansyah dan N. Idris. 2015. Analisis Faktor-


Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu Sapi
Perah di Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara.
Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan, 18 (1): 28 ± 35.

Raven, P.H. dan G.B. Johnson. 2002. Biology 6th Edition.


McGraw-Hill, Boston.

Resnawati, H. 2020. Kualitas Susu Pada Berbagai Pengolahan


dan Penyimpanan. Semiloka Nasional Prospek
Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas, 497
± 502.

Resti, Y. 2009. Pengaruh Selang Pemerahan terhadap Produksi


Susu Sapi Fries Holland (FH). Skripsi, Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas
Peternakan IPB, Bogor.
45
Ruegg, L. Pamela. 2001. Milk Secretion and Quality
Standards. University of Wisconsin, Madison, USA.

Rusmita. 2011. Analisis Faktor-Fakor yang Mempengaruhi


Produksi Susu Sapi FH (Fries Holland) pada Laktasi
yang Berbeda di UPT Ruminansia Besar Dinas
Peternakan Kabupaten Kampar. Skripsi, Program
Studi Peternakan Fakultas Pertanian dan Peternakan
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau,
Pekanbaru.

Saragih, C.I., I.K. Suada dan I.P. Sampurna. 2013. Ketahanan


Susu Kuda Sumbawa Ditinjau dari Waktu
Reduktase, Angka Katalase, Berat Jenis dan Uji
Kekentalan. Indonesia. Medicus Veterinus, 2(5): 553
± 561.

Soetarno, T. 2003. Manajemen Budidaya Sapi Perah.


Laboratorium Ternak Perah Fakultas Peternakan
UGM, Yogyakarta.

Suardana, I.W. dan I.B.N. Swacita. 2004. Food Hygiene.


Petunjuk Laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana, Denpasar.

Sudhasaravanan, R. dan S. Binukumari. 2015. Microbial


Quality of Raw and Pasteurized Milk Samples
Collected From Different Regions of Madurai
District, (T.N.) India. IOSR Journal of
Environmental Science, Toxicology and Food
Technology, 9(1): 1.

Sudjana. 2005. Metode Statistika. Tarsito, Bandung.

46
Sudono, A., F. Rosdiana dan B.S. Setiawan. 2003. Beternak
Sapi Perah Secara Intensif. Agromedia Pustaka,
Jakarta.

Suheri, G. 2000. Teknik Pemerahan dan Penanganan Susu


Sapi Perah. Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor.

Sukandar, A., B.P. Purwanto dan A. Anggraeni. 2008.


Keragaan Body Condition Score dan Produksi Susu
Sapi Perah Friesian-Holstein di Peternakan Rakyat
KPSBU Lembang, Bandung. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner, 86 ± 99.

Sunarko, C., B. Sutrasno, T.H. Siwi, A. Kumalajati, H.


Supriadi, A. Marsudi dan Budiningsih. 2009.
Petunjuk Pemeliharaan Bibit Sapi Perah.
Departemen Pertanian Direktorat Jendral Peternakan
BBPTU Baturraden, Purwokerto.

Surjowardojo, P. 2011. Tingkat Kejadian Mastitis dengan


Whiteside Test dan Produksi Susu Sapi Perah
Friesien Holstein. Jurnal Ternak Tropika 12(1): 46 ±
55.

Surjowardojo, P., Suyadi, L. Hakim dDQ $XODQL¶DP 


Ekspresi Produksi Susu pada Sapi Perah Mastitis. J.
Ternak Tropika, 9(2): 1 ± 11.

Susilorini, T.E dan M.E. Sawitri. 2006. Produk Olahan Susu.


Penebar Swadaya, Jakarta.

Taylor, R.E. dan T.G. Field. 2004. Scientific Farm Animal


Production: An Introduce to Animal Science 8th

47
Edition. Pearson Education, Inc. Upper Saddle River,
New Jersey.

Umar, Razali dan A. Novita. 2014. Derajat Keasaman dan


Angka Reduktase Susu Sapi Pasteurisasi dengan
Lama Penyimpanan yang Berbeda. Jurnal Medika
Veterinaria, 8(1): 43 ± 46.

Utami, K.B., L.E. Radiati dan P. Surjowardojo. 2014. Kajian


Kualitas Susu Sapi Perah PFH (Studi Kasus Pada
Anggota Koperasi Agro Niaga di Kecamatan Jabung
Kabupaten Malang). Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan,
24(2): 58 ± 66.

Utomo, B. dan D.P. Miranti. 2010. Tampilan Produksi Susu


Sapi Perah yang Mendapat Perbaikan Manajemen
Pemeliharaan. Caraka Tani, 25(1): 21 ± 25.

Zainudin, M., M.N. Ihsan dan Suyadi. 2014. Efisiensi


Reproduksi Sapi Perah PFH pada Berbagai Umur di
CV. Milkindo Berka Abadi Desa Tegalsari
Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang. Jurnal
Ilmu-Ilmu Peternakan, 24 (3): 32 ± 37.

48

Anda mungkin juga menyukai