Anda di halaman 1dari 6

Dari Inisiasi 7

Diskusi 7. Ontology
Diskusikan perbedaan pandangan antara ontological realism dan ontological relativism.
Ke arah mana Anda condong? Sebutkan alasan Anda.

Filsafat dalam perkembangannya menjadi sebuah disiplin ilmu yang mendukung


perkembangan ilmu-ilmu yang lain. Dalam memudahkan pemahaman dalam mempelajari
filsafat para ahli membaginya dalam beberapa cabang, meskipun pengklasifikasiannya bisa
berbeda-beda. Secara umum, terdapat empat cabang filsafat yaitu metafisik (ontologi),
epistemologi, aksiologi, dan logika (Achmadi, 2000).
Metafisika berasal dari dua kata yaitu meta yang berarti setelah atau dibelakang
sesuatu, dan pysika yang berarti nyata (Mustansyir, 1997). Sedangkan ontologi berasal dari
kata ontos yang artinya ada (Jalaluddin & Idi, 1998). Jadi metafisika / ontologi membahas
tentang keberadaan. Objek studi adalah bahwa apa yang ada tidak terikat pada manifestasi
tertentu. Ontologi membahas apa yang ada secara universal dan berusaha mencari inti yang
mengandung setiap realitas, yang memuat semua realitas dalam segala bentuknya.
Berkenaan dengan sifat realitasnya, dalam filsafat terdapat 2 aliran yaitu aliran
realisme dan relativisme begitu juga dengan ontologinya menjadi ontologi realisme
(ontological realism) dan ontologi relativisme (ontological relativism).

a. Ontologi Realisme/Ontological Realism


Aliran realisme muncul di awal abad ke-20 terutama di Inggris dan Amerika Utara.
Realisme berasal dari kata real yang berarti nyata atau aktual atau yang ada. Kata real
merujuk pada benda atau kejadian, bukan abstrak atau hanya dalam pikiran. Jadi, realisme
adalah salah satu cabang filsafat yang memandang bahwa sesuatu yang nyata/real adalah
sesuatu yang sifatnya fisik dan psikis. Kenyataan dipandang tidak hanya sebagai pengalaman
inderawi ataupun ide/gagasan yang muncul secara internal, namun juga berasal dari
eksternal. Muhmidayeli (2011) menyatakan bahwa realisme menganggap suatu kebenaran
sebagai gambaran nyata atau salinan sebenarnya atas realitas sebuah gagasan yang ada
dalam pikiran seseorang. Gagasan yang ada dalam pikiran manusia adalah pengetahuan
yang merupakan gambaran tentang dunia yang dipengaruhi oleh proses berpikir dalam
dirinya. Secara singkat, realisme menganggap obyek dari indera manusia adalah nyata atau
riil terlepas apakah diketahui atau tidak, atau bisa dipersepsikan atau ada hubungannya
dengan pikiran manusia.
John Macmurray, seorang realis dari Inggris mengatakan bahwa manusia tidak bisa
melepaskan diri dari fakta bahwa terdapat perbedaan antara benda dan gagasan. Benda
adalah suatu realitas dan gagasan adalah bagaimana suatu benda dapat tampak oleh
manusia. Untuk itu, agar memperoleh kebenaran, pikiran harus berlandaskan pada
kenyataan sebuah benda. Benda tidak menyesuaikan dengan gagasan, tetapi sebaliknya
gagasan harus sesuai dengan realitas benda untuk memperoleh kebenaran. Mengingat
filsafat sangat mementingkan gagasan maka yang diutamakan adalah alam pikiran atau ide,
maka secara wajar jika terkadang berbeda dengan realitas atas benda (Titus et al., 1995).
Aristoteles mengungkapkan bahwa realitas yang objektif harus memenuhi dasar-
dasar metafisika dan logika yang tertinggi (Audi, 1999). Dasar itu ada tiga:
1) Semua yang benar harus sesuai dengan adanya sendiri. Tidak mungkin ada kebenaran
kalau didalamnya ada pertentangan. Hal ini dikenal dengan hukum identika.
2) Dari dua pertanyaan tentang sesuatu, jika yang satu membenarkan dan yang lain
menyalahkan, hanya satu yang benar. Hal ini disebut hukum penyangkalan atau
kontradikta.
3) Antara dua pertanyaan yang bertentangan dan saling meniadakan, tidak dimungkinkan
adanya pertanyaan yang ketiga. Dasar ini disebut hukum peniadaan.
Berdasarkan ketiga dasar tersebut, dalam realisme kebenaran atas suatu hal
didasarkan pada sifat nyata/riil benda sehingga tidak berubah atau tetap, bukan didasarkan
atas gagasan atau pengalaman manusia.
Pada awal abad ke-20 di Amerika Serikat muncul gerakan realis yang baru yaitu
neorealism dan critical realism. Neorealisme merupakan gerakan kritis terhadap idealisme.
Neorealisme menolak subjektivisme dan menerima common sense yang menyatakan bahwa
dunia adalah nyata, objektif, dan dikenal oleh indera manusia. Pengetahuan terhadap
sebuah objek tidak akan mengubah objek tersebut. Pengalaman manusia akan objek
bersifat selektif, karena manusia yang memilih untuk memperhatikan benda-benda tertentu
dibanding yang lain. Pengalaman tersebut tidak akan mengubah objek yang diperhatikan.
Sedangkan, critical realism menyatakan bahwa keberadaan suatu benda tidak
bergantung pada pengetahuan tentang benda tersebut seperti halnya neorealisme. Namun,
critical realisme juga mengkritisi neorealisme yang menghubungkan manusia sebagai
pengamat (subjek) dengan benda (objek) secara langsung. Mereka berpendapat bahwa
hubungan antara subjek dan objek tidak langsung. Benda sebagi objek sesungguhnya tidak
berada dalam kesadaran manusia, yang ada dalam kesadaran manusia adalah rasa sebagai
respon pengaruh di luar manusia (eksternal). Manusia tidak dapat melampaui rasa pada
objek kecuali dengan inferensi. Jadi, secara singkat menurut critical realisme hubungan
manusia dengan objek adalah tidak langsung tapi melalui rasa yang ada dalam kesadaran
manusia.
Dari kedua aliran realisme tersebut dapat diketahui adanya dialektika antara subjek
yang menyadari dan mengetahui adanya realitas dalam dirinya dan realitas di luar dirinya
sebagai sesuatu yang menjadi objek pengetahuan. Pengetahuan dianggap benar apabila
faktual, observable (dapat diamati), dan memiliki substansi. Realisme menekankan bahwa
kebenaran ada jika nyata atau riil.
Pengetahuan dalam realisme diperoleh dengan cara pengamatan (observasi) dan
pengembangan pemikiran baru berdasarkan hasil observasi. Realisme juga memungkinkan
untuk membuat nyata gagasan yang bersifat abstrak dengan menggunakan simbol-simbol
linguistik dan kesadaran manusia.
Jadi ontologis realisme adalah memandang keberadaan dengan menggunakan panca
indera sebagai alat untuk mengamati sesuatu guna memperoleh suatu pengetahuan dan
kebenaran. Seseorang yang berpikiran realis tidak cukup hanya mempercayai gagasan saja,
namun perlu melakukan pembuktian dalam mendapatkan suatu kebenaran. kebenaran atas
suatu hal didasarkan pada sifat nyata/riil benda sehingga tidak berubah atau tetap, bukan
didasarkan atas gagasan atau pengalaman manusia. Pembuktian kebenaran dilakukan
dengan melakukan pengamatan untuk memperoleh fakta-fakta menggunakan alat berupa
panca indera (Gandhi, 2017). Ontologi realisme juga bersifat objektif berarti bahwa realitas
atau kenyataan yang ada tidak menambah atau mengurangi sifat dari objeknya.

b. Ontologi Relativisme/Ontological Relativism


Secara bahasa, relativisme yang dalam bahasa Inggris relative, berasal dari bahasa
latin relativus yang memiliki arti berhubungan dengan. Jadi secara bahasa relativisme adalah
berhubungan dengan sesuatu hal. Secara etimologis relativisme menyatakan bahwa suatu
kebenaran adalah relatif berhubungan dengan suatu hal (Bagus, 2005). Pengusung paham
ini adalah Protagoras.
Relativisme menurut terminologinya adalah doktrin yang menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan, moralitas, dan kebenaran yang berkaitan dengan budaya, sejarah, atau
masyarakat bersifat tidak mutlak. Relativisme juga menyatakan bahwa benar atau salah,
baik atau buruk, tidak bersifat mutlak namun senantiasa berubah relatif terhadap keadaan
individu, lingkungan, maupun kondisi sosial (Britannica.com).
Dalam relativisme tidak ada kebenaran yang bersifat universal. Begitu juga dengan
pengetahuan. Relativisme memandang tidak ada pengetahuan yang salah, karena setiap
pengetahuan memiliki dasar atau referensi sendiri yang berbeda antara pengetahuan satu
dengan yang lain. Konsekuensinya juga tidak ada pengetahuan yang benar secara universal.
Kebenaran juga memiliki karakter komunikatif, performatif, dan promotif. Karakter
komunikatif karena sebagai manusia pasti akan selalu mencari kebenaran dan
mengkomunikasikannya. Performatif karena kebenaran itu tampak dan tidak tersembunyi.
Sedangkan promotif karena kebenaran itu tidak bisa ditutupi dan dicegah, bahkan semakin
memukau dan memikat manusia untuk merengkuhnya (Tjahjadi, 2004).
Aliran filsafat relativisme dicetuskan pertama kali oleh Protagoras (490 SM – 420 SM)
seorang tokoh sophis abad 5 SM yang terkenal sebagai orator dan pendebat yang ulung
serta seorang guru yang memiliki banyak murid (Audi, 1999). Protagoras berpendapat
bahwa manusia sebagai individu adalah ukuran segala sesuatu. Jadi pengenalan atas
sesuatu tergantung individu yang mengenalinya berdasarkan panca inderanya (Tjahjadi,
2004). Seperti ketika orang sakit yang merasakan dingin karena demam, sedangkan orang
sehat merasakan hangat. Kondisi keduanya sakit dan sehat yang menyebabkan perbedaan
dalam merasakan suhu.
Relativisme kemudian berkembang di era modern sebagai materialisme,
rasionalisme, positivisme, evolusionisme dan hedonisme. Aliran ini selalu berkaitan dengan
etika, agama dan kebudayaan. Edel (1955) dalam karyanya yang berjudul Ethical Judgment
menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan relativisme tumbuh dengan pesat di
abad 20 yaitu:
1) Pandangan mengenai peradaban, kebudayaan, dan agama adalah hasil karya manusia.
Bahkan, menurut Darwin, manusia merupakan bagian daridunia hewan. Kebenaran
bukan berasal dari Tuhan karena tidak dikenal, terletak sangat jauh, dan tidak
berhubungan dengan manusia.
2) Pandangan mengenai politik bahwa tindakan dianggap baik atau buruk diukur dari
kekuasaan yang dimilikinya. Cara pandang tersebut dipengaruhi oleh perkembangan
ilmu politik itu sendiri. Dari zaman Machiavelli menuju Marx serta Lenin hingga saat kini,
yang menjadi perhatian adalah bagaimana berkuasa. Kekuasaan merupakan tujuan dan
sarana manusia untuk memahami kehidupan sosial.
3) Keadaan dimana manusia telah menganggap dirinya tidak lebih tinggi dari hewan atau
bahkan benda karena manusia tidak mengetahui jalan yang bisa menghubungkan dirinya
dengan sumber-sumber kebenaran.
Jadi, ontological relativisme adalah pandangan dalam aliran filsafat relativisme yang
menganggap bahwa kebenaran relatif terhadap suatu hal. Tidak ada kebenaran yang
berlaku secara universal. Kebenaran bisa berbeda tergantung dari kondisi atau keadaan
yang menjadi rujukannya dan tidak bisa berlaku secara general.

c. Perbedaan Ontological Realism dan Ontological Relativism


Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya dapat dibedakan antara
Ontological Realism dan Ontological Relativism sebagai berikut:
1) Ontological realism menyatakan bahwa kebenaran adalah kenyataan atas sesuatu,
sedangkan menurut ontological relativism kebenaran itu relatif relatif terhadap sesuatu.
2) Konsekuensinya kebenaran dalam ontological realism bersifat tetap atau tidak berubah
atas sesuatu tersebut. Namun, bagi ontological relativism kebenaran bersifat dinamis,
dapat berubah tergantung/relatif terhadap sesuatu.
3) Dalam ontological realism bersifat objektif sehingga kebenaran dapat ditemukan dengan
pengamatan atau pengukuran, tetapi menurut ontological relativism akan bermakna
tergantung subjeknya atau dapat diamati dengan pengukuran yang subjektif.
4) Dengan sifat objektifnya, kebenaran menurut ontological realism dapat diterapkan pada
situasi yang lain karena bersifat universal. Namun, bagi ontological relativism tidak dapat
dilakukan karena kebenaran bersifat relatif sehingga tidak berlaku universal.

Selanjutnya, atas penjelasan dan perbedaan antara ontological realism dan


ontological relativism, saya berkesimpulan bahwa cenderung condong pada ontological
relativism. Alasannya adalah bahwa kebenaran itu relatif. Misal dalam memandang suatu
hal tertentu, menurut saya benar tetapi bisa jadi menurut orang lain salah. Hal ini terjadi
karena cara pandang dan pemikiran yang berbeda dalam memandang suatu hal tertentu
tersebut. Dengan demikian, ontological relativisme lebih tepat bagi saya dibandingkan
dengan ontological realism.

Referensi
Achmadi, A. (2000). Filsafat Umum. Jakarta: Raja Grafindo.
Audi, R. (1999). Sophist. In The Cambridge Dictionary of Philosophy. Cambridge: Cambridge
University Press.
Bagus, L. (2005). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Edel, A. (1955). Ethnical Judgment The Use of Science in Ethnics. Glencoe: Free Press.
Gandhi, T. W. (2017). Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Jalaluddin & Idi, A. (1998). Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Muhmidayeli, (2011). Filsafat Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.
Mustansyir, R. (1997). Aliran-Aliran Metafisika (Studi Kritis Filsafat Ilmu). Jurnal Filsafat.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Titus, H. (1995). Living Issues in Philosophy, 9th Edition. Oxford: Oxford University Press.
Tjahjadi, S. P. L (2004). Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai