Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

ERUPSI AKNEIRORMIS

Referat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan mengikuti kepaniteraan klinik


senior (KKS) di bagian Ilmu Kedokteran Kulit dan Kelamin di
RSUD Dr. RM. Djoelham Binjai

Pembimbing :

dr. Hj. Hervina,Sp.KK, FINSDV, MKM

DEPARTEMEN / SMF ILMU PENYAKIT KULIT & KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM
RSUD DR R.M DJOELHAM BINJAI
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat tentang “Erupsi
Akneiformis”. Referat ini disusun sebagai syarat untuk memenuhi dan
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior bagian Ilmu Kulit dan Kelamin RSUD
DR. R.M. Djoelham Binjai.

Penulis menyadari bahwa, referat ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa
adanya arahan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada
kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Hj. Hervina,
Sp.KK, FINSDV, MKM selaku pembimbing dan rekan-rekan sejawat
seperjuangan yang telah memberikan dukungan kepada penulis. Semoga arahan,
motivasi, dan bantuan yang telah diberikan menjadi amal ibadah pembimbing dan
rekan-rekan sehingga memperoleh balasan yang lebih baik dari Allah SWT.

Mengingat keterbatasan pengetahuan serta pengalaman penulis, penulis


menyadari bahwa referat ini tidak luput dari kekurangan. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
referat ini. Semoga referat ini bermanfaat bagi pembaca serta dapat dijadikan
sebagai sumbangan pikiran untuk perkembangan pendidikan khususnya
pendidikan kedokteran.

Binjai, November 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Latar Belakang.........................................................................................1


BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................2

FOLIKULITIS

2.1 Definisi....................................................................................................2
2.2 Etiologi ...................................................................................................4
2.3 Epidemiologi...........................................................................................5
2.4 Faktor resiko............................................................................................5
2.5 Diagnosis.................................................................................................5
2.5.1 Anamnesis...............................................................................5
2.5.2 Pemeriksaan Fisik...................................................................5
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang..........................................................6
2.6 Patogenesis..............................................................................................7
2.7 Patofisiologi.............................................................................................7
2.8 Diagnosis banding...................................................................................8
2.9 Penatalaksanaan.......................................................................................8
2.9.1 Non Farmakologi ...................................................................8
2.9.2 Farmakologi............................................................................8
2.10 Komunikasi dan Edukasi.........................................................................9
2.11 Komplikasi...............................................................................................9
2.12 Prognosis.................................................................................................9
2.13 Profesionalisme.....................................................................................10

BAB III KESIMPULAN......................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Erupsi akneiformis adalah kelainan kulit yang menyerupai akne berupa


peradangan folikular dengan manifestasi klinis papulo pustular. Etiologi
penyakit ini masih belum jelas. (Wasiaatmaja, 2018).
Etiologi erupsi akneiformis sampai saat ini masih belum dapat diketahui
secara pasti, namun di duga erupsi akneiformis disebabkan oleh obat,
baikobat-obatan yang digunakan secara sistemik maupun yang digunakan
secara topikal. Umumnya reaksi pada kulit atau daerah mukokutan yang
terjadi sebagai akibat pemberian obat (erupsiobat) timbul karena reaksi
hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis, tetapi reaksi ini juga
dapat terjadi melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena
dosis yang berlebihan, akumulasi obat atau karena efek farmakologi yang
tidak di inginkan (Wasiaatmaja, 2018).
Erupsi akneiformis dapat muncul pada lokasi yang tidak khas, misalnya
lengan dan tungkai. Bentuk lesi pada umumnya monomorf dan tidak
ditemukan komedo. Berbeda dengan akne, erupsi akneiformis timbul secara
akut atau subakut, dan tempat terjadinya tidak di tempa tpredileksi akne saja,
namun di seluruh bagian tubuh yang mempunyai folikel pilosebasea.
Manifestasi klinis erupsia dalah papul dan pustule, monomorfik atau
oligomorfik, pada mulanya tanpa komedo. Komedo dapatter jadi sekunder
kemudian setelah sisitem sebum ikut terganggu. Dapat disertai demam, dan
umumnya tidak terasa gatal. Umur penderita berbeda dari remaja sampai orang
tua (Wasiaatmaja, 2018).

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Erupsi akneformis adalah kelainan kulit yang menyerupai akne yang


berupa reaksi peradangan folikuler dengan manifestasi klinis papulopustular
(Wasiaatmaja, 2018).

2.2 Etiologi
Etiologi penyakit ini masih belum jelas. Semula erupsi akneformis
disangka sebagai salah satu jenis akne, namun kemudian diketahui bahwa
etiopatogenesis dan gejalanya berbeda. Induksi obat yang diberikan secara
sistemik diakui sebagai faktor penyebab yang paling utama seperti yang
 
tercantum dalam tabel. Ada pula yang mengganggap bahwa erupsi
akneformis dapat disebabkan oleh aplikasi topikal kortikosteroid, psoralen dan
ultraviolet A (PUVA) atau radiasi, bahkan berbagai bahan kimia yang kontak

2
ke kulit akibat kerja (minyak, klor), kosmetika, atau tekanan pada kulit (Riedl
MA, 2018).
Obat dan bahan yang diduga menyebabkan erupsi akneiformis :

Hormon dan steroid Antibiotik

– gonadotropin – tetrasiklin                   – co-trimoxazole

– androgen- steroid anabolik- steroid topikal – penisilin                     – doxicyclin-


dan oral kloramfenikol- o floxacin

Senyawa halogen Vitamin

– bromida – riboflavin (B2)

– iodida- halotan – piridoksin (B6)- sianokobalamin (B12)

Obat antikonvulsi Obat lain

– fenitoin – Lithium

– fenobarbital- troxidone – Kloral hidrat- Disulfiram

Obat anti Tuberkulosis – Psorialen dengan ultraviolet A

– isoniazid (INH)- rifampisin

2.3 Epidemiologi
Letusan jerawat dapat terjadi pada semua usia dan dapat mempengaruhi
kedua jenis kelamin. Individu yang paling rentan terkena kelainan kulit ini
adalah mereka yang terpapar bakteri dan mereka yang menggunakan
antibiotik. Kondisi tersebut sering berkembang pada pasien rawat inap
(Wasiaatmaja, 2018).

Faktor Resiko
 Reaksi daripada obat-obatan – penyebab paling terbanyak
(contohnya kortikosteroid, ACTH, INH, yodida dan bromide,
Phenobarbital, vitamin B2,B6 dan B12, definil hidantoin,
trimetadion,tetrasiklin, lithium, pil kontrasepsi, kina, rifampisin.

3
 Infeksi
 Ketidakseimbangan hormonal atau metabolit
 Kelainan genetic (Blackwell, 2016)

2.4 Penegakan Diagnosis


2.5.1 Anamnesis
Adanya riwayat konsumsi obat yang lama
2.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik :
o Lokalisasi : seluruh bagian tubuh yang mempunyai folikel pilosebasea.
(punggung sering)
o Efloresensi : Bentuk lesi pada umumnya monomorf dan tidak ditemukan
komedo. Berbeda dengan akne, erupsi akneiformis timbul secara akut atau
subakut, dan tempat terjadinya tidak di tempa tpredileksi akne saja, namun di
seluruh bagian tubuh yang mempunyai folikel pilosebasea. Manifestasi klinis
erupsia dalah papul dan pustule, monomorfik atau oligomorfik, pada mulanya
tanpa komedo. Komedo dapatter jadi sekunder kemudian setelah sisitem
sebum ikut terganggu. Dapat disertai demam, dan umumnya tidak terasa gatal.

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium sederhana dapat dilakukan pemeriksaan
mikrobiologi dengan pewarnaan Gram dari cairan pustula. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk membedakan erupsi akneiformis dengan folikulitis (Kuflik,
2019).
Pemeriksaan histopatologis memperlihatkan gambaran yang tidak spesifik
berupa sebukan sel radang kronis di sekitar folikel sebasea dengan massa sebum
di dalam folikel. Pada kista, radang sudah menghilang diganti dengan jaringan
ikat pembatas massa cair sebum yang bercampur dengan darah, jaringan mati, dan
keratin yang lepas (Kuflik, 2019).
Penelitian yang dilakukan oleh Audrey Lobo, dkk. pada tahun 1992
memberikan gambaran erupsi secara histopatologis. Pada erupsi akibat INH dan

4
kortikosteroid didapatkan adanya sumbatan folikel, retensi kista, dan peradangan
di daerah perifolikular. Pada penggunaan kortikosteroid ditemukan adanya
gambaran tambahan seperti kerusakan pada sel-sel luminal dan supurasi dinding
folikel sedangkan pada penggunaan INH tidak ditemukan pustul dan lesi
nodulokistik. Kelainan ini muncul setelah penggunaan 1 hari -11 bulan (Hunter J
et al,2016)

2.5 Patogenesis
Mekanisme patogenesis terjadinya erupsi akneiformis belum diketahui
secara pasti. John Hunter dkk menyatakan bahwa erupsi akneiformis terjadi
melalui mekanisme non imunologis yang dapat disebabkan karena dosis yang
berlebihan, akumulasi obat atau karena efek farmakologi yang tidak
diinginkan. Andrew J.M dalam bahasannya tentang Cutaneous Drug Eruption
menyatakan bahwa mekanisme non imunologis merupakan suatu reaksi
pseudo-allergic yang menyerupai reaksi alergi, tetapi tidak bersifat antibody-
dependent. Ada satu atau lebih mekanisme yang terlibat dalam reaksi tersebut,
yaitu: pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung
dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim
asam arachidonat sel. Selain itu adanya efek sekunder yang merupakan bagian
dari efek farmakologis obat, juga dapat menimbulkan manifestasi di jaringan
kulit (layton, 2010; Hunter J et al, 2016; Andrew J.M, 2018)

2.6 Patofisiologi
Agak sedikit berbeda dengan akne, erupsi akneformis dapat timbul
secara akut, subakut, dan kronis. Tempat terjadinya tidak hanya terjadi di
tempat predileksi akne saja, namun dapat terjadi di seluruh bagian tubuh yang
mempunyai folikel pilosebasea. Tempat tersering pada dada, punggung bagian
atas dan lengan. Gambaran klinis berupa papul yang eritematous, pustul,
monomorfik atau oligomorfik, biasanya tanpa komedo, komedo dapat terjadi
kemudian setelah sistem sebum ikut terganggu. Dapat disertai demam,
malaise, dan umumnya tidak terasa gatal. Umur penderita bervariasi, mulai

5
dari remaja sampai orang tua dan pada anamnesis ditemukan adanya riwayat
pemakaian obat. Erupsi akneformis secara klinis mempunyai karakteristik
tersendiri seperti erupsi akneformis akibat steroid (akne steroid), erupsi
akneformis akibat paparan senyawa halogen (chloracne), dan erupsi
akneformis akibat antibiotik. Akne steroid memberi gambaran papulopustul,
monomorfik, tempat predileksi di daerah dada, ekstremitas, sedikit pada
daerah wajah, dan timbul setelah penggunaan kortikosteroid topikal atau
sistemik. Chloracne berupa komedo yang polimorf dan kista, sering
ditemukan pada pekerja industri dan biasanya lebih berat daripada akne
steroid. Erupsi akneformis akibat antibiotik biasanya bersifat akut, erupsi
pustular generalisata, demam disertai lekositosis, dan tanpa komedo (Kuflik,
2019).

2.7 Diagnosis Banding


 Akne vulgaris : terutama di wajah dan punggung
 Pityrosporum folikulitis : Malassezia folliculitis (MF) adalah infeksi
kronik folikel pilosebasea yang disebabkan oleh jamur yaitu
Malassezia sp. Malassezia sp. Adalah jamur lipofilik dimorfik yang
dapat ditemukan dalam jumlah kecil di stratum korneum dan hampir
90% terdapat pada folikel rambut. MF paling sering terlihat pada
remaja atau pria dewasa muda yang ditandai dengan timbulnya papul
eritematosa dan pustule perifolikular yang gatal, terutama di area badan
bagianatas, leher, dan lenganatas.

2.8 Penatalaksanaan
Penghentian konsumsi obat-obat penyebab dapat menghentikan
bertambahnya dan secara perlahan menghilangkan erupsi yang ada. Apabila
penghentian pemakaian obat tidak bisa dilakukan, maka pemberian obat-obatan
yang digunakan untuk mengobati akne, baik secara sistemik maupun topikal dapat
memberikan hasil yang cukup baik (Thomson J, 2017)
Pengobatan Topikal

6
---- Pengobatan topikal dilakukan untuk menekan peradangan, dan
mempercepat penyembuhan lesi. Jika sistem sebum telah ikut terganggu, maka
obat-obatan ini dapat digunakan untuk mencegah pembentukan komedo. Obat
topikal yaitu :
a. Bahan keratolitik yang dapat mengelupas kulit misalnya sulfur (4-20%),
asam retinoid (0,025-0,1%), benzoil peroksida (2,5-10%), asam azeleat
(15-20%), dan akhir-akhir ini digunakan pula asam alfa-hidroksi (AHA)
seperti asam glikolat (3-8%).
1) Sulfur bekerja sebagai keratolitik. Biasanya yang digunakan adalah
sulfur dengan tingkat terhalus, yaitu sulfur presipitatum (belerang
endap) berupa bubuk kuning kehijauan. Biasanya digunakan dalam
bentuk bedak kocok. Bedak kocok yang biasa digunakan adalah losio
kumorfeldi, yang terdiri dari:
- Camphorae 1 gram
- Sulfur 6,6 gram
- Etanol 90% 3 ml
- Calcici hidroxy solutio 40 ml
- Zat pengemulsi 1,5 gr
2) Asam retinoid topikal (tretinoin, isotretinoin, dan retinoid like drug,
adapalene) bekerja untuk mengoreksi ketidaknormalan keratinosit
folikuler. Terapi ini efektif untuk terapi dan pencegahan lesi primer,
dengan cara membatasi formasi lesi peradangan. Retinoid topikal juga
membantu penetrasi obat topikal lainnya dan juga memperbaiki
hiperpigmentasi yang banyak terjadi pada kulit gelap setelah
penyembuhan dari lesi peradangan. Retinod topikal tidak boleh
diberikan pada wanita hamil (James WD, 2010))
3) Benzoil peroksida, tidak saja membunuh bakteri melainkan
menyebabkan deskuamasi dan timbulnya gumpalan di dalam folikel.
Pada permulaan pengobatan, pasien merasa seperti terbakar. Gejala ini
akan berkurang dalam beberapa minggu. Sebaiknya dimulai dari dosis
rendah dahulu, kemudian lambat laun diganti dengan dosis tinggi. Efek

7
samping pada pemakaian lama adalah sensitisasi secara kontak (2,5 %
dari kasus). Cara kerja obat ini, yaitu:
- Anti bakteri yang kuat
- Komedolitik
- Menekan produksi sebum
Dibanding dengan asam retinoid, asam benzoil peroksida memiliki
berbagai kelebihan:
- Kurang menyebabkan iritasi dan rasa tak menyenangkan bagi
penderita.
- Tidak menyebabkan bertambah hebatnya (flare up) pada bulan
pertama pengobatan.
- Mengeringkan pustula lebih cepat daripada tretinoin.
- Pada bentuk komedo, kurang efektif dibandingkan dengan
tretinoin.
Kombinasi asam retinoid dengan benzoil peroksida akan diperoleh efek
sinergistik, tetapi sayang keduanya tak dapat dipakai bersama-sama
dalam satu bahan dasar. Asam retinoid dapat menyebabkan kulit lebih
permiabel sehingga meningkatkan konsentrasi benzoil peroksida dalam
jaringan. 11
4) Asam azeleat
--- Merupakan suatu dikarbosilisik yang mempunyai efek yang sama
dengan benzoil peroksida dan asam retinoid, dengan cara mengurangi
granula keratohialin pada saluran pilosebasea. Sifat iritasinya lebih
kecil dan dapat ditolerir dengan baik dan mempunyai efek anti
inflamasi.
5) Asam alfa-hidroksi (AHA)
---- Asam alfa-hidroksi (AHA) konsentrasi rendah akan mengurangi kohesi
korniosit dan berguna untuk lesi yang tidak beradang sedangkan pada
konsentrasi tinggi akan menyebabkan epidermolisis subkorneal (atap
pustula pecah) dan pada lapisan dermis akan merangsang sintesis
kolagen baru. Efek asam alfa hodroksi tergantung pada macam,

8
konsentrasi, vehikulum, waktu pajanan dan kondisikondisi lain (Kuflik
JH, 2019)
b. Antibiotik topikal dapat mengurangi jumlah mikroba dalam folikel, misalnya,
eritromisin (1%), klindamisin fosfat (1%).
Pengobatan sistemik
Pengobatan sistemik ditujukan terutama untuk mengurangi reaksi radang
disamping itu dapat juga menekan produksi sebum, menekan aktivitas jasad renik
dan mempengaruhi keseimbangan hormonal. Golongan obat sistemik yaitu:
1. Antibiotik sistemik, diindikasikan untuk penyakit sedang sampai berat,
untuk terapi erupsi akneiformis di dada, punggung, dan lengan, dan pasien
dengan penyakit peradangan dimana kombinasi obat topikal tidak berhasil.
Antibiotik yang sering digunakan antara lain eritromisin (4x250mg/hari).
2. Obat hormonal untuk menekan produksi androgen dan secara kompetitif
menduduki reseptor organ target di kelenjar sebasea, misalnya
antiandrogen siproteron asetat (2mg/hari).
3. Vitamin A dan retinoid oral. Vitamin A digunakan sebagai antikeratinisasi
(50.000-150.000 IU/hari) dan Isotretinoin (0,5-1mg/kgBB/hari) yang dapat
menghambat produksi sebum (Lobo A, et al 2016)

2.10 Edukasi Dan Komunikasi


Edukasi pasien sangat penting. Pasien dianjurkan untuk menghentikan
konsumsi obat yang dipakai untuk menghentikan bertambahnya erupsi dan
secara perlahan mengilangkan erupsi. Kepatuhan dalam penggunaan obat juga
berperan, begitupun dalam kontrol makanan. Pasien dianjurkan untuk
mengurangi konsumsi makanan berlemak dan tentunya selalu menjaga
hygiene (Kuflik, 2019).

2.11 Komplikasi
Pasien harus diperingatkan untuk tidak menggaruk lesi karena dapat
menyebabkan bekas luka dan pembentukan keloid (Truitt JM, et al 2018)

9
2.12 Prognosis
Erupsi akneiformis merupakan penyakit yang dapat sembuh, apabila obat
yang diduga sebagai penyebab dihentikan. Apabila hal tersebut tidak mungkin
dilaksanankan karena vital, maka pengobatan topikal maupun sistemik akan
memberikan hasil yang cukup baik (Hunter J, 2017)

2.14 Rofesionalisme
 Membantu mengontrol kesembuhan pasien dengan
memberikan obat dengan dosis yang tepat.
 jika ada keluhan Tambahan dapat di rujuk ke spesialis kulit.

BAB III

KESIMPULAN

Erupsi akneformis adalah kelainan kulit yang menyerupai akne yang


berupa reaksi peradangan folikuler dengan manifestasi klinis papulopustular.
Etiologi penyakit ini masih belum jelas. Induksi obat yang diberikan secara
sistemik diakui sebagai faktor penyebab yang paling utama. Reaksi ini terjadi
melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over
dosis, interaksi antarobat dan perubahan dalam metabolisme. erupsi akneformis
dapat timbul secara akut, subakut, dan kronis. Tempat terjadinya tidak hanya
terjadi di tempat predileksi akne saja, namun dapat terjadi di seluruh bagian tubuh
yang mempunyai folikel pilosebasea. Tempat tersering pada dada, punggung

10
bagian atas dan lengan. Gambaran klinis berupa papul yang eritematous, pustul,
monomorfik atau oligomorfik, biasanya tanpa komedo, komedo dapat terjadi
kemudian setelah sistem sebum ikut terganggu. Dapat disertai demam, malese,
dan umumnya tidak terasa gatal.
Umur penderita bervariasi, mulai dari remaja sampai orang tua dan pada
anamnesis ditemukan adanya riwayat pemakaian obat. Erupsi akneformis secara
klinis mempunyai karakteristik tersendiri seperti erupsi akneformis akibat steroid
(akne steroid), erupsi akneformis akibat paparan senyawa halogen (chloracne),
dan erupsi akneformis akibat antibiotik. Penghentian konsumsi obat-obat
penyebab dapat menghentikan bertambahnya erupsi dan secara perlahan
menghilangkan erupsi yang ada. Apabila penghentian pemakaian obat tidak bisa
dilakukan, maka pemberian obat-obatan yang digunakan untuk mengobati akne,
baik secara sistemik maupun topikal dapat memberikan hasil yang cukup baik.
Terdapat beberapa macam penyakit yang memiliki manifestasi klinis yang
hampir serupa dengan erupsi akneiformis, diantaranya akne, folikulitis, dan
dermatitis perioral. Sehingga perlu dilakukan identifikasi dan anamnesis yang
tepat dari penyebab timbulnya reaksi obat adalah salah satu hal penting untuk
memberikan tatalaksana yang cepat dan tepat bagi penderita dengan tujuan
membantu meningkatkan prognosis serta menurunkan angka morbiditas.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wasitaatmadja, S. (2018). Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi 7.


Jakarta: BalaiPenerbit FKUI.
2. Gupta M, Aggarwal M, Bhari N. Acneiform eruptions: An unusual
dermatological side effect of ribavirin. Dermatol Ther. 2018
Sep;31(5):e12679. [PubMed]
3. Kuflik JH, Schwartz RA. Acneiform Eruption.
http://www.emedicine.medscape.com [diakses 20 Desember 2019]
4. Chan Kam Tim Michael. Private Dermatologist, Hong Kong SAR. Access
on: 30 June 2017

11
5. Lobo A, Mathai R, Jacob M. Pathogenesis of Drug Induced Acneform
Eruptions. Indian Journal Dermatology Venereol Leprol. 1992. Access
on:2016. 58(3): 159-63.
6. Truitt JM, Reichenberg JS, Sharghi KG, Sampson SM, Roenigk RK,
Magid M. Isotretinoin: the ups are just as troubling as the downs. G Ital
Dermatol Venereol. 2018 Aug;153(4):535-539. [PubMed]
7. Hunter J, Savin J, Dahl M. Clinical Dermatology 3rd Edition. Oxford:
Blackwell Science Ltd, 2017. 148-56, 307-13
8. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd
ed. Pharmaceutical Press. 2006. Access on: December 28, 2017. Available
at: http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf
9. Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment
Options. In: American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003.
Access on: December 28, 2018. Available at: www.aafp.org/afp
10. Andrew J.M, Sun. Cutaneous Drugs Eruption.In: Hong Kong Practitioner.
Volume 15. Cardiff : Department of Dermatology University of Wales
College of Medicine, 1993. Access on: December 28, 2010. Available at:
http://sunzi1.lib.hku.hk/hkjo/view/23/2301319.pdf
11. Layton AM. Disorders of the Sebaceous Gland in Rook’s Textbook of
Dermatology. 8th ed. WileyBlackwell. Singapore. 2010
12. James WD. Acne. The New England Journal of Medicine. 2005; 352: 1463
- 72. Access on: December 29, 2010. Available at:
www.insp.mx/biblio/alerta/al0805/24.pdf
13. Webster GF, Rawling AV. Acne and It's Therapy. New York: Informa
Healthcare, 2017. 1-2
14. Blackwell, W. (2016) Rook’s Textbook of Dermatology, 8th Edition. UK.
15. Kuflik, J. H. (2019) ‘Acneiform Eruptions’. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/1072536-overview.

12

Anda mungkin juga menyukai