Anda di halaman 1dari 29

MASALAH-MASALAH HUKUM AKTUAL

DALAM W ACANA REFORMASI AGRARIA DI INDONESIA

Suparjo Sujadi'
Abslrak
This article does endeavor to launch many issues in recent agrarian reform
in Indonesia. Many factors become considerations to conduct newly
agrarian reforms and momentously. The prior agrarian reforms outstanding
in the ideal agrarian and land tenure structure that has reflected many land
conflicts needs adequate resolution. That situation coincides to the huge
number of deprived people who living in less in public service such as food,
education, health, living hood that have reflected any social-economic gaps.
All of them ideally are the mostly agrarian concern to be accomplished by
mainly idea to create ideal land tenure and access to land itself Ultimately,
the unfinished on delegation ofpower between central to local government in
post decentralization law since J 999 has been substantial problems.

Kata kunci: hukum tanah, masalah-masalah aktual, refarmasi agraria,


indonesia

I. Uraian tentang Reformasi Agraria di Indonesia

Dalam sejarah program reformasi agraria d i Indonesia yang dimulai


dengan berlakunya UUPA memiliki visi dan misi ideal untuk dapat
meningkatkan kemakmuran sosial-ekonomi rakyat Indonesia. Program
landrefonn sebagai ujung tombak terdepan .dalam pelaksanaan reformasi
agraria menitikberatkan pengaturan yang mengubah ketimpangan struktur
pemilikkan dan penguasaan tanah di Indonesia.
Hingga pasca reformasi 1998, ternyata permasalahan reformasi agraria
masih juga belum memiliki peru bah an yang signifikan dalam mencapai
tujuan program landreform yang dicanangkan sejak 1960. Hal itu dapat
dilihat pada berbagai kasus sengketa tanah di berbagai tempat seperti kasus
pembebeasan tanah oleh pemerintah (kasus Kedungombo, kasus tanah adat
Hebe-Ohee); ataupun kasus pendudukan tanah-tanah perkebunan yang marak
belakangan ini oleh pihak-pihak yang mengklaim sebagai pemilik tanah
dimaksud.

I Pengajar pada Kelompok Hukum Agraria dan Mata Kuliah Penatagunaan Tanah
dan Landreform Program Sarjana FHUI, Jakarta sej ak 1994.
Masalah Hukllm Aklllal dalam Wael/no Relormasi di Indonesia, Sujadi 91

Masalah besar lainnya adalah berkenaan dengan masalah ketahanan


pangan dan perumahan. Masalah pangan memiliki relevansi erat dengan
sektor pertanian yang memerlukan alokasi sumber daya tanah-tanah
pertanian yang semakin menurun Illasnya. Penurunan luas tanah pcrtanian
terse but disebabkan adanya peningkatan kebutuhan tanah untuk berbagai
keperluan seperti peru mahan, kawasan industri, pusat pertokoan,
infrastruktur.
Ada kesadaran melakukan reformasi agraria hal mana pad a masa
reformasi telah ada TAP MPR-RI NO. IX/TAP/ MPR/2001 tentang
" Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam" . Namun dalam
pandangan Said Nisar ketetap3l1 tersebut masih mengandung banyak
kelemahan dan s ifatnya sangat kontoversial, dangat kompleks dan
membingllngkan. Persoalan agraria adalah persoalan yang compleks, antara
lain 2 :

a. Memahami dan menjaga "Political Equilibrium" dengan


melakukan Reajusment dibidang Agraria;
Issue "land Reform" telah melanda hampir seluruh negara sedang
berkembang. Pad a masa pemerintahan President Macapagal di
Philipina, President Betancourt di Venezuela dan pad a masa
pemerintahan Perdana Menteri Nehru di India telah menggunakan
konsep "land reform" untuk menjawab ketidakstabilan dalam
Negeri. Namun land reform ini tidak dapat meyelesaikan masalah.
Muatan kebijakan pembaruan Agraria lebih banyak muatan
politiknya dari pada mengejar misi yang sebenarnya.
pelaksanaan land reform di lapangan akan menimbulkan
banyak persoalan sosial sebelum tanah ini dibagi-bagikan
kepada petani miskin. Terhadap tanah-tanah yang telah
dimiliki oleh Petani itu harus dibarengi dengan kebutuhan
alat-alat pembangunan lainnya.
Lapangan hidup disektor pertanian belum mampu menjadi
tumpuan hidup para petani. Hal ini disebabkan bukan karena
Undang-Undang Pokok Agraria tidak mendukung, tetapi adanya
perangkap pad a fenomena tenaga petani yang harus dibayar cash.
Akibatnya banyak petani meninggalkan lahan pertanian lalu
mereka masuk ke kota-kota besar menjadi buruh harian atau

2 H. M. Said Nisar, "Kajian tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan


SDA TAP MPR NO: IXIMPRl2001", paper lepas.
92 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No. I .fanuOl·i-Maret 2007

menarik becak. Kenapa hal seperti ini terjadi karen a Pemerintah


belum berhasil mengubah wajah lapangan kerja di bidang
pertanian menjadi "/ndustriali::ed Farming, atau Commercial
Farming". Dalam ungkapan yang sistematis adalah belum adanya
link and match dalam pelaksanaan program landreform.
"Strategy" Pertanian ini adalah strategi politik. Da lam suasana
perang ekonomi (Economic War) pertanian ini selalu menjadi
sasaran untuk diobrak-abrik sehingga pola ketergantungan negara
berkembang kepada negara industri maju menjadi lebih langgeng
dan bahkan bersifat permanent.
b. Prinsip yang terdapat dalam Pasal 4 dari TAP MPR Nomor
IX/MPRl2001 dimulai dari point a sampai dengan point II
(semuanya ada II point) pad a dasarnya hanya merupakan
pengulangan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 45,
Undang-Undang Pokok Agraria GBI-IN , dan Undang-Undang RI
Nomor 39 tahun 1999 tetnag I-Iak Asasi Manusia dan juga
beberapa aturan tertulis lainnya.
Point a dari Pasal 4 dimaksud berbunyi sebagai berikul:
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam hanls
dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip:
a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Kalimat "Negara
Kesatuan Republik Indonesia" sebagai suatu prinsip
sudah banyak kali diulang-ulang dalam teks Undang-
Undang Dasar 45 dengan berbagai penampilan kata-kata
seperti: PERSATUAN INDONESIA, NEGARA
KESATUAN REPUBLIK INDONESIA dstnya.
b. Memelihara dan menjunjung tinggi hak asasi manllsia
Indonesia. Kalimat seperti ini juga adalah fotocopy
verbatim dari Undang-Undang 39 tahun 1999.
c. Prinsip yang lainnya yaitu prinsip transparansi, prinsip
keadilan, prinsip kelestarian lingkungan, prinsip
keterpaduan pembangunan. prinsip pengakuan hak
masyarakat ad at, prinsip keseimbangan, dan prinsip
decentra Iisas i.
Semua prinsip yang termuat dalam Pasal 4 diatas tidak ada yang
bersifat baru dan spesial. Oleh karena prinsip-prinsip ini sudah
umulll sifatnya dan ditemukan disemu3 perulldallg-undangan yang
ada. maka keberadaannya sangat tidak diperlukan.
Maso/tI" /-/UkU111 Akftlo/ c/a/alll WaC(1IlO Re/or/1Iasi eli Indonesia. Sl!iaeli 93

c. TAP ini memual dua arah kebijakan ya itu: Pembaruall Agrar ia


dan Pengelo laa n Sumber Daya Alam. Ke lemahan TAP illi ya ng
sekaligus merupakan sumber kebingungan adalah:
I) Kajian lerhadap UUpA 1960 sudah berulangkali dilakukan
bahkan sejak lahun 1966 berbagai Undang-Undang lerkail
dengan Agrar ia sudah diundangkan misalnya: UU Kehulanan
NO.5 (1967); UU Pokok Pertamhangan No. II 1967, UU
No.8la hun 1971 tentang Pertambangan Minyak GAS dan
BUM!. dan sebagainya.
Perdebatan d i bidang agraria sudah berlangsung se lama dua
abad akan selalumeliputi isu-isu berikul ini :
a. Bagaima ll a meningkatkan produksi pangan (Ag,.arian
Production);
b. Bagaima na mensejahteraan masyarakat Pedesaan;
c. Bagaimana menciptakan "Keadilan sosia l" ditengah-
tengah masyarakat.
Keliga isu tersebut pad a hakekalnya menyangkul kinelja
institLlsi Pemerintahan dari Pusal hingga ke daerah dan bukan
terletak pada usaha untuk melakukan pengkajian ulang
berbagai peraturan dibidang agraria lalu dicarikan dasar
hukumnya melal ui suatLl TAP.
Sebagai contoh dapat kita ambi I parad igma institusi
"Walikota" diseluruh Indonesia yang tidak pernah berubah
dari dulu hingga hari ini. Kesibukannya hanya berfokus pada
soal-soal administrasi, soa l person ii, dan mengejar pajak
Bumi da n Bangunan. Keberhasilan seorang Walikota dan
daparat dibawahnya ditentukan pada target pajak yang
d iperolehnya.
Bahkan pernah ada kejadian di Sulawesi Selatan seorang
petani tidak mampu membayar Pajak Bumi dan Bangunan
pada waktunya lalu piring dan barang-barang berharga yang
ada di dalam rumah sang petani disita (oleh petugas pajak) .
Kejadian seperti 1111 banyak ditemukan dilapangan .
A lasannya adalah bukan karen a Undang-Undang Pokok
Agrar ia dan sejenisnya yang sudah tidak bisa menjawab
tantangan pembangunan.
Pembagunan agraria tidak saja terletak kepada hukum yang
ada tetapi bagaimana programnya dibuat dan
pelaksanaannya. Ada banyak peristiwa d imana Walikota dan
9J JlIrnal HlIkllm dan Pembangllnan Tahlln Ke-37 No. I Janllari-Maret 2007

aparat dibawahnya hanya tinggal diam, tidak mengambil


tindakan umpamanya dalam hal:
a) Bagaimana tindakan Pemerintah da lam peristiwa
banjir yang melanda daerah pertanian dan tambak
setiap tahun;
b) Bagaimana eara mempermudah petani tambak
memperoleh bibit dan pupuk;
c) Bagaimana eara mengatasi hama tanaman termasuk
penyakit yang melanda pertanian dan perikanan setiap
tahun~

Persoalan-persoalan diatas dihadapi oleh petani sendiri dan


pemerintah hanya tinggal diam saja. Berita seperti ini hanya
merupakan konsumsi pers saja. Aparat pemerintah tidak
pernah merasa berdosa sehingga tidak merasa
bertanggungjawab. Persoalannya sekali lagi bukan karena
UUPA yang salah sehingga perlu dirobah , tetapi paradigma
institllsi dan bagaimana programnya di lapangan yang
memerlukan pemikiran ulang ke arah yang lebih baik.
2) Potensi Sumber Daya Alam Indonesia yang kaya dan
beragam.
Kondis i ini telah memperoleh atensi dari seorang peneliti
Carolyn Mar dengan mengatakan: "Indonesia is fabulously
rich and Indonesia is desperately poor" (Indonesia kaya
secara menakjubkan dan miskin seeara menyedihkan).
Pe rsoalan yang ada pada Sumber Daya A lam berbeda dengan
yang ada di bidang kepemilikan tanah (Undang- Undang
Agraria). Ada beberapa rakta yang sering terungkap di
lapallgan:
a) Investor-investor asing yang mengelola Sumber Oaya
A lam seperti " Newmon" di Propensi NTB yang
mengelola sumber daya mineral lebih banyak
mengulltungkan para Investor.
b) Pengrusakan lillgkungan sudah merupakan bahagian
tak terpisahkan denga n kegiatan Investor
c) Kasus kelaparan ya ng menyebabkan meninggalnya
250 penduduk di Yakuhimo, di Papua yang notabene
memiliki sumber daya dan kekayaan alam ya ng
melimpah seperti ya ng dieksploitasi Freeport yang
seeara nominal lebih dari cukup untuk membiayai
Ma.w/all /-/ukul}1 Akluu/ cia/am IVw:w1£I RejiJrmasi di Indonesia, Sl!jadi 95

pembangunan di seluruh Indonesia. Namun realitas


kelaparan sebagai penyebab matinya 250 jiwa
sungguh menegaskan pendapat Carolyn Mar tersebut.
Berkaitan de ngan fenomena semakin terkonsentrasinya pemilikan dan
penguasan tanah pada sekelompok kecil masyaraka! dapat diliha! baik di
perdesaan maupull perkotaan . Oi perdesaan, konsentrasi pengllasaan tanah
dapat dilihat dari beberapa hasil sensus pertanian dalam beberapa dekade
terakhir. Sensus pertanian tahun 1993 menunjukkan bahwa 69% luas tanah
pertanian dikuasai oleh 16% rumah tangga perdesaan, sementara 31 % luas
tanah pertanian sisanya dikuasai o leh sebagian besar petani keeil dan
tunaki sma (sebesar 84% rumah tangga perdesaan).
Pada sisi lain, dalam kurun waktu tiga dekade terakhir ini luas rata-rata
penguasaan tanah per rtJmah tangga pertanian semakin mengecil yailu 1,05
hektar pada tahun 1983 menjadi 0,74 hektar pad a tahun 1993 dan
diperkirakan menurun tajam pada sensus pertanian 2003 yang saat ini sedang
berlangsung. Sementara angka rata-rata pengllasaan tanah di Jawa saat ini
diperkirakan hanya meneapai 0,2 hektar per rumah tangga pertanian. Luas
rata-rata penguasaan tanah yang sangat kecil ini jelas tidak lagi mampu
mencukupi kebutuhan rumah tangga pertanian tersebut. Fenomena tersebut
semakin diperburul< dengan adanya fragmentasi tanah yang semakin tidak
dapat dihindari, alih fungsi tanah pertanian ke penggunaan nonpeltanian
yang tidak terkendali , masalah kerusakan lingkungan sebagai akibat
eskploitasi yang berlebihan, dan masalah lainnya.
Gambaran konsentrasi pemilikan dan penguasaan tanah di perkotaaan
dapat dilihat dari semakin banyaknya kelompok miskin yang tersisih dan
bahkan kehilangan tanahnya untuk berbagai kepentingan pembangunan. Hal
ini terkait dengan tata ruang perkotaan yang kurang memberikan akses
kelompok masyarakat miskin untuk turut menikmati adanya perubahan
penggunaan tanah.
Di sisi lain, dalam waktu beberapa tahun terakhir ini khususnya pada
masa hisis ekonomi, pendudukan atas tanah yang sudah memiliki status hal<
alas tanah "tertentu" terjadi baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Hal
ini berdampak pad a hilangnya kepereayaan investor untuk menanamkan
modalnya di Indonesia sebagai akibat dari tidak memadainya jaminan
kepastian hukum atas tanah, dan masalah lainnya.
Untuk itulah relevan dengan komentar Carolyn Mar di atas amat
diperlllkan pelaksanaan reformasi agraria di Indonesia secara terlls-menerlls,
sistematis dan menyelesaikan masalah keserasian, keseimbangan dalam
struktur pemilikkan, penguasaan dan penggunaan tanah banyak hal yang
mesti dipikirkan jalan keluar terbaik untuk melaksanakan program reforma
agraria terse but.
96 iurnal HukunT dan Pembangunan Tahull Ke-37 No. I ianuari-Maret 2007

II. Masalah-Masalah Pertanahan yang Aktual dan di Masa Depan

Adapun dalam kerangka tantangan jaman dan waktu hingga sampai


pada perkembangan terakhir di Indonesia, masih amat diperlukan reformasi
agraria dengan l1lengingat masalah-l1lasalah aktual yang secara khusus
dikelol1lpokkan dalal1l ura ian berikut ini .

A. Rencana pemerintah mclakukan redistribusi tanah 8,5 juta ha


(60% untuk petani tuna kisma); dan sisanya 40% untuk
perumahan dengan jangka waktu hak 100 tahun

Pemerintah akan l1lelaksanakan reformasi agrar ia secara bertahap


mulai tahun 2007 hingga 2014. Tanah seluas 8,15 juta hektar akan
d ibagikan ke masyarakat l1liskin yang memenuhi kriteria tertentu dan
pengusaha dengan ketentuan lerbalas. Dalam Acara S imposium
Agraria Nasional III di Jakarla, Selasa 12 Desember Kepala Badan
Perlanahan Nas ional Joyo Winolo mengatakan, pelllbagian tanah
kepada 1ll3syarakat miskin akan mulai dilakukan sekitar akhir April
2007. Da lalll lahap awa l, 5.000 keluarga miskin akan diberikan tanah
bersertifikal. Luas lanah yang dibagikan untuk setiap keluarga
berbeda-beda bergantung pada kebutuhan dan ketersediaan lahan di
setiap daerah .
Diperkirakan sebanyak 6 juta heklar lahan akan dibagikan bagi
masyarakat miskin dan 2,15 juta hektar sisanya diberikan kepada
pengu saha untuk usaha produktif dengan terap Illelibatkan petani
perkebunan. Negara dapat mencabut kembali pemberian tanah tersebut
jika tidak dapa! dimanfaatkan untuk usaha produktif.
Tanah yang akan dibagikan berasal dari lahan kritis. hutan
produksi konversi. tanah telantar, tallah milik negara yang hak guna
L1sahanya habis, maupull tanah bekas swapraja. Reformasi agraria juga
dilllaksudkan unruk Illemberikan akses rakyat terhadap tanah sebagai
sumber ekonomi serta mengatasi sengketa dan konflik pertanahan
yang ada.Dalam pandangan Kepala BPN tersebut' pemberian (anah

Joyo Winoto. yang dilansir dalam Harian Kompas , 13 Desember 2006


dikutip dari sillis Bappenas. <http://perpustakaan.bappenas.go.idlplsl klipingldata_
access.show _ filc_ clp?v_ filcIl3mc =F976 7/8.htm> , diakses tallggal 18 Descmber,
2006. Berita serupa juga dimwtt da lam berbagai surat kabar sejak bulan September
2006, dalam rangka Bulan Bakti Agraria mcmpering<l1i tangg<ll 24 September SCI at
berJakunya U UPA tahun 1960 diantaranya:
Ma.w/all /-fukllm Ak/uu/ da/ol11 lVaC(/l1l1 RI.;/i>rlI111Si di Il1llmlesia ..'·lIiodi 97

bagi kelliarga misk in eli pedesaan diharapkan mampll meningkatkan


taraf hidup mercka. Dari sekitar 40 juta penduduk mis kin eli Indo nesia
pada tahun 2006, seban yak 67 persen di antaranya tinggal di pedesaan.
Dari j uml ah kelllarga miskin te rse but. 90 persen menggantllll gkan
hidupnya pad a sektor pertanian . Adapapun mode l pe mbagian lahan
a kan berbeda untuk setiap daerah, bergantung pada ko ndisi dan
ketersediaan lahan.
Terhadap isu re neana ke bijakan recli stribusi ta nah te rse but telah
menimblilkan komentar dan kritik antara lain yang diuraikan eli bawah
Inl .

I. Perhimpunan Bantuan Hllkum Indonesia (PBln)"'

PBHI telah menyatakan sikap atas rencana pcmerintah


menga lokas ika n lahan un tuk rakyat/menjalankan " reforma
Agraria" haru slah dalam kerangka refol'ma agraria sejati yang
ses ua i dengan asas-asas dan prinsip dari UUPA 1960. Sehingga
tidak dijadikan sebaga i alat legitimas i bagi dilaksanakannya
refonna agraria berdasarkan kei nginan moda l dan ke bijakan ya ng
seten gah-sete n ga h.
Pandangan PBHI tersebut dengan pandangan ya ng agak
se mpit ya itu , karena da lam praktek la ndrefo rm yang
ses ungguhnya tidak dikenal tanah untllk investor, tapi tanah untuk
petani/ penggarap (land to the tiller). Berdasarkan pandangan-
pandangannya terse but PBHI menuntut:

TEMPO Inleraklif, "Pelllerintah Bagikan 9 Juta Hektar Tanah" Kallli.>, 28


September 2006 i9:j.j WIB < http ://www.tempo interaktif.com/hg/ ekb is/2006/0 9/281
brk,20060928 -84977, id .htm I> .
n. Gorontalo (SIB), "8, I Jula Hektar Lahan Di Indonesia Akan Di
Bebaskan Un/uk Rakya{" <http://www.hariansib.com /content/ view/ 147
99/381>, diakses tangga l 25 Novembe r 2006.
b. Medan Bi snis, Program Reformasi Agraria: Pemerintah Bagikan 8.2
Jula Heklar Lahan bual Pelani, <http ://www.fsp i.or.id/index .php?option
~ com _ content&task ~ v i ew&id ~ 357&ltemid~62>, diakses tanggal 29
September 2006.

PBHI , "Rencana Pemerinlah Menjaiankan "Re/orma Agraria" di


Indonesia", <http :// www. pbhi .or.id/content.php?id ~ 251 &id_tit~ 7> . diakses 19
Oktober 2006.
98 Jurnal Hukwn dan Pelllbangunan Ta"un Ke-37 No. I Janllari-Marel 2007

a) Pemerintah segera menjalankan reforma agraria


sejati yallg diamanatkan oleh UUPA 1960;
b) Pemerilltah Illdonesia ulltuk segera menye1esaikan
konflik agraria dengan mellgutamakall keberpihakall
dall keadilan kepada petani, nelayan dall masyarakat
adat.
c) Negara untuk mencabut segala peraturan dan
perulldangan yang bertentangan dengan reforma
agraria sejati dan dilaksanaknnya Undang-Undang
Pokok Agraria 1960 secara konsekwen.

2. Fedcrasi Serikat Pctani Indonesia (FSPI)

FSPI memandang bahwa pelaksanaan refonna agrana


menulltut penyusunall undang-lIlldang bani yang merupakan
tunman dari UUPA 1960. sehingga se lain tidak me langgar
struktur peruntukan, penguasaan, pemanfaatan. dan pengolahan
tentang agraria, hanls ada jaminall keberianjutan dan kelestarian
agraria terse but.
Penataan struktur agraria yang berhubungan disektor
pertanian dan kaum tani haruslah dimulai dari pelaksallaall
program Landreform yailll sliatu upaya yang mencakup
pemecahan dan penggabullgan satuall -satuan lIsaha tani, dan
perubahan skala pemilikan. Kemudian dilanjutkall dellgall
peningkatan kemampuan petani dengan berbagai program-
program pelldidikall, upaya pellyediaall subsidi. pemilikall
teknologi pertanian. sistem distribusi/perdagangan yang adil. dan
mendorong tumbuhnya organisasi-organisasi massa petalli dan
koperasi petalli, serta infrastruktur laillilya.
MCllllrut palldallgall FSPI' lallgkah-Iallgkah yang harus
ditempuh oleh penyelellggara Ilegara dalam melljalan kall
pembaruan agraria tersebut adalah:

I) Menjalankan reforma agraria haruslah sesllai dengan prillsip


dan semangat dari jiwa UUPA 1960. yang dilaksanakan
secara Illurni dan konsekwen.

5 FSPI. "J'ondollgall dall Sil,ap FSPI 1l'lIll1J1g Program Pel1lharuol1 .-Igraria


SUSiOllll'" ="
<hI tp: 1h nn\". fsp i.or.id/incle.\. php?opt ion =cnm_ conl~nt& l<t~k il!"·& i d= ~ 66&
ltt:mid= J 7>. di al\sL's 21) NO\"l~·l11hr.:r 20()6.
/Wasalah Hukum AklUal dalam Wacalla Rejbrl1wsi di lJ1donesia. Sl!i(l(/i 99

2) Pembatalan atau pencabutan tcrhadap se luruh prodllk


1Il1dang-lindang dan peratllran yang berkaitan den ga n agraria,
termasuk penghentian pcmbahasan RUU Penanaman Modal.
Pembatalan atall pencabutan seillruh undang-undang dan
peratllran yang berkaitan dengall agraria tersebllt ha rllslah
diikllti pula pembllatan lIndang-undang dan peratllran yang
merupakan tunman dari UUPA 1960, sehingga tidak menjadi
lIndang-undang dan peratllran yang se ktoral dan tUlllpang
tindih.
3) Untuk penyede rhanaan dalam pelaksanaannya sehingga tidak
terjadi tumpang tindih , maka departe me n ya ng berkaitan
dengan agraria harus la h dalam satll koordinas i, yang
memiliki otoritas .

B. Relevansi Rencana Redislribusi Dan Rc.lIisasinya Dengan


Kondisi Hukum (UUPA Dan UU No.56/Prp/1960) Dan
Peraluran Pcrundang-Undangan Yang Berlakn Bagi Program
Landreform

Berkenaan denga n rencana keb ijakan re distribus i tanah tersebut


tentlln ya secara hukum memeriukan legitimasi baik secara formil
maupun materil. Secara formil tentunya harus ada paying hukllm yang
memadai "adequate "; dan secara materiil te ntllnya ju ga harlls
mempe rhat ikan mekanisme dan s iste m pe nye le nggaraa n ya ng tepat
dan e fi sien. Untuk itu di s ini akan disampaikan review ter hada p
hukum pos itif yang berlaku dalam pelaksanaan program landreform
yang sudah dimulai tidak lama sete la h berlakllnya UUPA,ya itli antara
lain:
I) Landasan Idi il: Pancas ila
2) Landasan Konstitusional: Pasal 33 ayat 3 UUD 1945
3) Landasan Operasional:
a) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Pasal 7, 10,
13, 15, 17 dan 53;
b) Undang-Undang (UU) Nomor 56/ Prpl1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian;
c) UU Nomor 211960 tentang Perjanjian Bagi Hasil
Tanah Pertanian ;
d) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22411961 tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti
Rugi;
100 Jurnal Hukull1 dan Pembangunan Tahlll1 Ke-J7 No. I Januari-Maret 2007

e) PP Nomor 4111964 tentang Perubahan dan tambahan


PP Nomor 224/1961;
f) PP Nomor 411977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian
secara Guntai (Absentee) Bagi Para Pensiunan
Pegawai Negeri;
g) Peraturan Menteri Dalam Negeri (PM DN) Nomor
1511974 tentang Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan
Land Reform;
h) Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 13 tahun 1980
tentang Pedoman Pelaksanaan UU no. 211960;
i) Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 5411980
tentang Kebijaksanaan Pencetakan Sawah;
j) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nas ional (BPN)
Nomor 311991 tentang Pengaturan Penguasaan Tanah
dan Obyek Land Reform Secara Swadaya;
Adapun di dalam pengaturan mengenai redistribusi tanah yang
masih berlaku yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961,
kiranya layak dijelaskan untuk memberikan analisis kemungkinan
sebagai tolok ukur pelaksanan rencana kebijakan pemerintah
membagi-bagi tanah pada akhir tahllll 2006 yang lalu mengenai :
I) Tanah yang Menjadi Obyek Redistribusi
2) Pemberian Ganti Kerugian kepada Bekas Pemilik
3) Penerillla Redistribusi
4) Persyaratan bagi Penerima Redsitribusi
5) Kewajiban Penerima Redistribusi
PP Nomor 22411961 lersebut diatas telah mengatur pelaksanaan
pembagian tanah dan pemberiall ganti rugi sebagai ketentuan
pelaksana dari Pasal 17 UUPA dan Pasal 2 dan 3 UU Nomor
56/ Prp1l960. Namun karena buruknya kondisi politik dan ekonomi di
Indonesia pada waklu itu tidak menguntungkan menyebabkan
redistribusi tallah pertaniall kurang berjalan sebagaimana yang
diharapkan
Adanya sinyalemen kegagalan pelaksanaan landrefonn dan terkait
dengan isu pelaksanaan redistribusi tanah, maka dapat diajukan
beberapa permasalahan dari segi formalitas hukum yang mendasari
pelaksanaan program tersebut, yaitu:
I) Selain UUPA dan UU No.56/ PrpIl960, maka apakah
peraturan pelaksananya PP Nomor 224 tahun 1961 secara
At/asalah HlIklll1l Akwal dolam rVacana /?e/ormasi eli Indonesia. Sl!iadi 101

Illateril Illasih relev3n dengan kOlldisi (rcalitas) masyarakat


saat illi?
2) Apabi la sudah tidak relevan dan memerlukan pcngaturan
kembali dengan merevisi PI' Nomor 224 tahun 1961, maka
akan memeriukan waktu lebih lama dalam pelaksanaan
program redistribusi lanah tersebut?
3) Bagaimana lIrliSall koordinasi dengan pemerintah daerah dan
bagailllana rllmllsan peran pemerintah daerah dalam hal ini?
4) Berkenaan dengan business core dan competency, maka
instansi mana yang paling memiliki kewenangan, apakah
BPN; atau Kementrian Dalam Negeri; ataukah pemda?
Selain itu te lah juga ditetapkan Pemturan Kepala Badan
Pertanahan Nasio na l (BPN) Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pengaturan
Penguasaan Tanah Obyek Land Reform Secara Swadaya. Redistribusi
tanah obyek Land Reform yang semu la hanya tanggung jawab
Pemerintah kemlldian dengan peratllran tersebut Illaka petalli penerima
redistribusi dapat turut berpartisipasi aktif.
Tujuan pengaturan penguasan tanah obyek Land Reform secara
swadaya ada lah untuk meningkalkan pembagian tanah kepada para
petani penggarap yang sanggllp berperan serta da lam pelaksanaan dan
pembiayaannya dalam meningkatkan kesejahteraannya, sehingga pad a
akhirnya dapat tercapai:
a. Tertatanya penggllnaan tanah obyek Land Reform dalam bidang
tanah yang teratur disertai dengan prasarana jalan dan/atau
saluran irigasi serta kemllngkinan penyediaan areal untuk
kawasan lindllng dan fasilitas umllm.
b. Terselenggaranya pembagian tanah yang merata tanpa
menimbulkan perbedaan pemilikan tanah yang besar.
c. Tersedianya lanah yang dapat dimanfaatkan dan menjadi modal
kehidllpan petani yang dikelola secara kooperatif.

C. Masalah Penanganan Sengketa Tanah-Tanah Vlayat

Masalah sengketa pemilikan yang bernuansa historis ini dapat


terjadi diantara ora ng-perorangan maupun antara badall hllkllll1 swasta
dengan pihak instansi pemerintah alau dapat juga kombinasi dian!ara
unSllr-lInsur tersebllt. Nuansa historis ini diajllkan berkaitan dengan
pemilikan yang terkait dengan fakta sejarah adanya pluralisme hukllm
tanah yang pernah beriakll sejak jaman penjajahan; juga unsm
102 Jurnal Hukum dan Pembangunan TahzlI1 Ke-37 No. I Januari-Maret 2007

keturunan (turun-temurun); penerapan sistem pembuktian (tertulis-


tidak tertulis) yang diterapkan dalam hukum aeara6
Masalah yang s ignifikan dan relevan adalail berkaitan d e ngan Hak
Ulayat Masyarakat iluklilTI ad at yang kembali diako modas ikan dalam
berbagai tingkatan peratllran perlindang-lindangan 7.
Pengakllan dan perlindungan teriladap masyarakat ad at dalam
peraturan perundang-undangan seeara umum diatur dalalll Pasal 18b,
dan Pasa l 281 Undang-undang Dasar 1945. Kedua Pasal tersebut dalalll
pengakuan dan perlindungan Illensyaratkan dengan "sepanj a ng sesllai
dengan perkeillbangan masyarakat dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. ses uai dengan perkembangan jaman dan peradaban".
Pengakuan dan perlindungan teriladap Illasyarakat adat sebagai
suatu unit kOlll llnitas berdasarkan peratllran perundang-undangan di
tingkat pelaksanaan berdasarkan pernail diatur Illelalui Peraturan
Menter i Dalalll Negeri No.3 Tailun 1997 tentang Pemberdayaan dan
Pelestarian se tta Pengeillbangan Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasaan
Masyarakat, dan Leillbaga Adat di Daerah 8

(, Hin gga saat ini khusllsnya di DKI Jakarta nwsih banyak lerjadi sl! ngkda tallah
berkaitan dengan eks. hnk-hak mas tanah Belandn (ex -eigendom verponding. ex-tanall
partilielir) eontoh lain kasus rcncann pClllbnngullnn bandar udara di alas Tnnah I kbc-Ohce di
Papua dan di daerah Inin yang Icrkait (k ngan kasus-kaslis tanah milik pl.!nduduk yang sccara
alami lllcndiami lokasi tcrtl.!nlu yang akan dijadikan proyek pembangllnan yang bl!rskala
ckonomi besar scperti pcrtamb'lIlgan. pcrkebllnan. wadllk, kehulanan, transmigrasi. (III.

7 Pellgnluran Masyarakal hukulll adal dan I-lak Ulayal dapal dilihal mulai dari UUD

1945 h;nggn pcrn!uran kepala desa. Dua argumen rdim"n,; yang bcrkcmbang illcnjcJang
pcmberiakukan UU nomor 41 ti.lhUll 199<) , yailu: arglll1lcn pcrl 3ma. mClluntut pcngakuiln dan
pcngt:rnhalian hak alas hutan dan pel1lutihan hak yang lelah dirampas sc!ama ini serla
klasilikasi ulan g. Icrhadnp hulan ncgara. Terhadap argulllcn ini Franz von fknda-[3c'ckmann
mcmandangnya st:baga i bukan pengakllall alas hllkum (adal) mcrcka atil U kcmbali ke eara-cara
lama yang tcrutama diinginkan masyarakat. mdainkan pCllgakuan dan pcnghapusan
kctidakadilan historis s\!rtn kt:ku(lsaan yang sah dan diakui (legitimate) untuk mcngatur lIflisan
mercka scndiri: dan arg llmcn kedui1 adalah Illntutan distrihusi ulang. at as akscs tt!rhadap
slI mbl!r daya hUlan dan pl.!ndapalan dari hulan scbagai sa r~lIla untuk ll1l:ngillihkan ckonomi dari
kendali sl!ge lintir elite rnenu,ill jaring.an bisnis hl!rskala kedl dan mCl1l!ngah yang
diorgnnisas ik'lI1 sl!baga i koperasi

s NamUll (kl1likian pcngakuan dan pcrlidullgan illl tclah I11cn:duk si lingkllp


kchidupan masyarakat adat kcn.:na dalam kOllsl!p pClllhl..'rda)<1 <11l dan pekstarian yang diatur
hanya Illcngenai aspd-. yang s~lllpit yaitu "sr~k budaY<1 yang eli identilikasik<ln dnlam \"ujud
tidal istiadat. kchiasaan-kchiasaan. dan kmbaga ada!. Pcngaturan tcrhadap huhungan dan
Masalah fill/Will Aklllol dalol1l Wacana Reformasi di Indones ia, Sl~iadi 1113

Sebagai pengaturan Jebih Janjut, masyarakat adat juga diakui


daJam Ketetapan MPR Nomor XYII / MPR/ J 998 tentang Hak Azasi
Manusia ya ng ke mudian ditamp ung daJam UU Hak Azas i Manusia
No . 39 Tahun 1999
Pada permasaJahan khusus menyangkut penyeJesaian masaJah
ta nah -t a na h Hak UJayat teJah di atur pula di daJam Peraturan Menteri
Negara AgrarialKepaJa BPN No. 511999 memberikan sej umJ ah kriter ia
dasar untuk me mastikan keberadaan hak uJ ayat masyarakat adat (yaitll
keberadaan Ta nah U Jayat ). Di sebutkan bahwa masyarakat mempunyai
hak atas tanah bi Jamana:
I) Masyarakat ya ng bersangkutan masih terikat oJeh hukum
adat sebaga i sebuah masyarakat spes ifik ya ng mengakui da n
menerapka n hukllm adat daJam kehidupan sehari-har i;
2) Terdapat tanah uJayat ya ng menjadi Ji ngk unga n hidup
masyarakat adat ya ng bersangkutan dan menjadi tempat
pemenuhan ke butuhan hidup mereka sehari -hari;dan
3) Terdapat hukum ad at yang mengatur pengeJoJaan dan
pemanfaatan tanah uJayat yang bersangkutan, yang dipatuhi
oJeh masyarakat adat tersebut.
Pasa J 3 PM NA No.511999 ini menetapkan sejumJah keadaan yang
mengakibat kan punahnya hak atas tanah adat, yaitu:
I) Bidang tanah yang bersangkutan teJah d ikuasai oleh
perorangan atau badan
2) hukum dengan suatu hak berdasarkan UUPA; atau
3) B idang tanah yang bersangkutan teJah diambiJaJih atau
dibebaskan oJe h Jembaga pemerintah , badan hukum, atau
perorangan sesuai dengan peratllran perllndang-lIndangan
dan prosedur yang berlaku.

akses masyarakat adal dengan sllmber daya alam yang sudah ada ti dak diperhatikan dalam
pengertian tidak mendapat pengaturan yang komperehensi f.
Hal tersebut tampak dari adanya empat dari 11 detinisi istilah yang amat signilikan
dengan pcmbcrdayaan masyarakat adat tidak dijabarkan dalam Pasal-Pasal sc lanjlltnya.
Adapun isti lah yang dimaksud adalah ist il ah lembaga ad at. wilaya h adat. hak adat. hukum
adat.
10-1 Jurnal Huklllll dan Pembangunan Tail/In Ke-37 No. 1 Jal7l1ari-Marel2007

O. Polemik mengenai Oesentralisasi dan Kewenangan


Pengelolaan Pertanahan (Pengelolaannya Apakah Ada di
Pusat Saja; atau Di daerah Saja; atau Ada Pembagian Jenis
Wewenang dalam Pengelolaan Tanah Oi pusat Ada. dan Oi
daerah Ada Juga?)

Pasea reformasi yang ditandai dengan era otonomi daerah dengan


berlakunya UU Nomor 22 tahun 1999 dan UU NomoI' 25 tahun 1999 9 ,
telah juga menimbulkan berbagai masalah. Adapun permasalahan yang
timbld dapat dikelompokkan menjadi konflik horizontal dan konflik
vertikal. Konflik horisontal'Oyang sempat dan masih berlanjut? Adalah
berkaitan dengan kewenangan di dalam bidang pertanahan yang
melibatkan an tara lain Badan Pertanahan Nasional dan Dep3l1emen
Dalam Negeri. Hal itu dapat dilihat dengan adanya beberapa produk
Keputusan Presiden yang bertllfut-turut namun berbeda arah
pelaksanaan o(onomi pertanahan yang satu kepada Depdagri kemudian
yang baru kepada BPN (Keppres Nomor 34/2003). Konflik vertikal
adalah yang terjadi antara pemerintah pusat dengan propinsi; propinsi
dengan kabupaten ".
Sejak masa desentralisasi pemerintahan daerah dimulai dengan
bcrlakunya UU No.22 tahllll 1999 dan kemudian direvisi dengan UU
No.34 tahun 2004, maka dimulailah prosesi penyerahan berbagai
kewenangan yang selama ini berada di tangan pemerintah plisat
kepada pcmerintah daerah. Namun dalam rangka penyerahan urusan
kewenangan pe rtanahan sebagaimana diatur di dalam UU NO.34 tahun
2004, ternyata mcnimbulkan polemik menyusul di tetapkann ya
Peraturan Presiden Nomor 10 tahllll 2006.

'l Pad a tahun 2004 keoua lIlldang-undang (CrSCb ul tdah dig<lllti dengan UU NomoI'
32 lahull 2004 dan UU Nomor 33 tahlln 2004

10 Kontlik horisontal yang sernpat tel:jadi adulah anll1ra dun knbupalen yang berebut
pcnentu<1n bata s wilayah sepcrli <llltara kabupaten Kutai Timur ckngan Kutai Kertanegara:
antara kccamutan <.kngan kec<ll11atan yang dalum whap pemekaran .

II Yang terlihat kontlik antara pem';!rinlah pusat ckngan propinsi adalah kaslis

Ka,vasan Gdor;:'l SI!!1;:'1yan selama ini dikuasai olch S~tncg-RI (tkn gan Propinsi OKI) yang
Illasih tallS bcrlanjut bt:rkt:naan dcngan otonomi di propinsi DKI Jakarta d~l1gan UU nomor
3-l tnhun 2000 yang Illcmbcrikan pclmlllg kepada pl.:l11crinlnh propinsi OKI untuk Illl.:ngdo\a
lanah di \\'ilayl.lhnya bakailan dcngan kC\\'t!nangan umum pcmcrinlahan propinsi.
Masa/aft fillkllm Akflla/ da/am WaCl1na Relormasi £I; Indouesia, Sl!iadi lOS

Akibatnya persaingan pelaksanaannya di tingkat teknis terlihat di


berbagai daerah yang masih terdapat Kantor Pcrtanahan (instansi
vertikal BPN) namun juga ada Dinas Pertanahan Kabupaten/ kota
se bagai pelaksanaan otonomi daerah.
Prates dan kritik antara lain diberikan oleh para srake holders
yang berkepentingan dengan masalah-masalah pelaksanaan otonomi
daerah: 12
I) Semua pemerintahan provinsi yang tergabung dalam API'SI
(Asosiasi Pemerintahan Provin s i Seluruh Indonesia) sepakat
untuk mengajukan judlfcial review terhadap Perpres
(Pe raturan Presiden) Nomor 10 Tahun 2006 tentang BPN
(Badan Pertanahan Nasional). Kesepakatan untuk
mengajukan judicial review itu dicapai dalam rapat APPSI
yang dipimpin ketuanya, Gubernur DKI Jakarta SUliyoso.
Menurut Sutiyoso, kesepakatan ini sebagai tindak lanjut dari
rekomendasi yang dikeluarkan dalam rapat kerja nasional
APPSI di Mataram beberapa waktu lalu.
2) Menurut Sutiyoso Perpres 10/2 006 itu bertentangan dengan
pflnsip otonomi daerah, karena persoalan pertanahan
sepe nuhnya sudah merupakan wewenang pemerintah daerah,
baik provinsi , kabupaten maupun kota, sebagaimana amanat
UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
3) Selain itu, keberadaan Perpres dinilai sudah mendahului
lahirnya PP (Peraturan Pemerintah) tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan, antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai
pengganti PP No. 25 tahun 2000 tentang Pembagian
Kewenangan Pemerintah dengan Pemerintah Daerah
Otonom.
Sebab itulah , sejak keluarnya Perpres tersebut, APPSI sudah
mengingatkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk
menangguhkan pelaksanaannya. Bahkan Presiden sudah berjanji untuk
melakukan revisi. Tetapi yang menjadi aneh dan menggelikan, adalah
tindakan dari Kepala BPN Joyowinoto, yang sudah melantik 700
pejabat eselon II untuk ditempatkan di berbagai provinsi dan

12
<h ttp://w\Vw.bangyos.comlid_berita-isi.php?cid= l &id=274>, diakses Rabu. 26
Juli 2006.
106 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tabun Ke-37 No.1 .!anuari-Maret 2007

kabupaten/kota untuk ditempatkan sebagai Kepala kantor Wilayah


BPN.

1. DPRD Kota Bekasi , Jawa Bara!

Ketlla Komisi A DPRD Kota Bekas i, Hasnul Kholid


Pasaribll , mempertanyakan kejelasan stat LIS Badan Pertanahan
Nas ional (BPN) Kota Bekasi. Menllrlltnya, BPN saat ini masih
mendlla karena di satll sisi bertanggllng jawab ke Pemerintah
Pusat, di sisi lain ke Pemkot Bekasi. "Coba sekarang ini Kepala
Kantor Pe rtan ahan pergi ke Jakarta, namlln Pemkot Bekasi tidak
tahu dan mungkin tidak dilapori ," lIjarnya d i Bekasi, Selasa
(19/8) -"
Sementara itll, Sek retaris Komisi A, Qisas Rachman, ketika
dimintai komentarnya soa l status BPN jllga sepe nd apat dengan
Hasnul Kholid Pasaribll. Pertanyaan itll sebagai konsekllensi
diajukannya perllbahankelembagaan di jajaran Pemkot Bekasi ke
DPRD sete mpat, namlln tidak meng iklltsertakan BPN.
Adaplln kelembagaan yang diajllkan Pe mkot Bekas i
sebanyak 23 organisasi perangkat daerah antara lain, penambahan
lembaga Asisten Daerah (A sda), Dinas Kebersihan, Pertamanan
dan Pemakaman. Selanjlltnya, Lembaga Teknis Kantor Pemaclam
Kebakaran, Bakllkeda (Badan Kekayaan dan Kellangan Daerah)
akan diganti menjadi Badan Pendapatan Daerah.

2. Asosiasi Pemedntah Kota Seluruh Indonesia (AJlcksi)


Komisariat Sumatcra Bagian Sclatan"

Asosiasi Pemerintah Kota Selllrllh Indonesia (Apeksi)


Komisariat SUl11atera 8agian Selatan meminta pemerintah pusat
segera menyerahkan Ufusall pertanahan kepada daerah otanom.
Penyerahan lIrllsan pertanahan itll penting agar se mlla kota dan
kabupaten Illudah mengatur alokasi lalum guna perencanaan tata
rllang. Hal itll dikemllkakan koordinator Apeksi Komi sariat

IJ "Dr!?/J A'ola Rd'o.\'; Per!oll),akal1 A'ejclas(/II SWIllS !JP,\ ", <hllp:l/\\'\\'\\'.kompas.


com/ Il1~lro / lh~\\ s/030~ f 19/ 1 0294 7 .hlm>. cii:-.ksl.:s 19 Aguslus 2006 .

1.1 "AINksi S'wJlhagsc! Tunt /II Olollollli Perwllo!wl/" h tlp :/Ikomp<.ls. com/vcr 11
llusanlara/0611 / 1·VI15112.hlm> ui<lk~c :\. Sdnsa 19 Aguslus 2006.
Masalah HukuIII Akllfal dalom Wa cana RelorlllClsi d i Indonesia , Sl~jadi I II 7

Sumbagsel dan Wali Kota Pangkal Pinang. Zlilkarnain Karim ,


dalam penutupan Musyawa rah Apeksi Sumbagsel, Selasa 14
Novembe r 2006 di Pangkal Pinang.
Untuk memudahkan penyer"han urusa n peltanahan , Apeksi
bersama dengan asosiasi pemerintah kabllpaten dan asosiasi
pe merintah desa sudah mengajukan judicial review atas peraturan
pres iden mengenai tllgas dan fllngs i BPN. Judicial review itu
untuk me mudahkan ditetapkannya peraturan pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah.
Dalam peraturan pelaksanaan itll , akan dipertcgas
kewe nangall pemerilltah daerah oton ol11, yang sa lah satunya
adalah Ufusan pemerintahall. Peraturan itl! akan membuat kalltor
BPN di daerah akan dilebur menjadi Dinas Pertanahan , di bawah
wali kota dan bupati. Para staf Dinas Pe rtanahan, kata Zulkarnain,
akan direkrut dari staf BPN daerah, sedangkan , se mua aset, data,
pe ta dan semua peralatan kerja BPN daerah ju ga akan menjadi
milik Dinas Pertanahan daerah.
Selain itu dalam pandangan Apeksi juga penyerahan
kewena ngan kepada daearah akan memudahkan pengaturan tata
ruang kota, penyerahan kewenangan pertanahan di daerah akan
membuat pelayanan pembuatan sertifikat bagi masyarakat
semakin eepat dan murah. Di sisi lain , pemasukan bagi daerah
dari urusan pertanahan juga semakin besar karena tidak tersedot
ke pemerintah pusa!.

3. Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (Adeksl) "

Asos ias i DPRD Kota Seluruh Indones ia (Adeksi) seeara tegas


meno la k Pe raturan Presiden (Perpres) No. 10 Tahun 2006 T e ntang
Badan Pe rtanahan Nasional (BPN). Pen o lakan ini didasarkan
karena Perpres tersebut telah mengllrallg i kewe nangan daerah
se rta substans i Pasa l-Pasal Perpres tersebut bertentangan dengan
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada Pasal
2 Perpres No. 10/2006 disebutkan, Badan Pe rtanahan Nasional
(BPN) melaksanakan tugas pemerintahan dibidang pertanahan
seeara nas ional, regional dan sektora!' Kemudian pada Pasal

15 "Adeksi menolak Perpres No . 10 Tahlln 2006, tentang Badan Pertallohan


Nasional"_ <http ://www.adeksi.or.id/detailldetailpressrelease.php?id=6>. diakses 19
Desember 2006.
108 Jurnal Huklllll dan Pembangllnan Tahun Ke-37 No. I Januari-Maret 2007

berikutnya diterangkan mengenai 21 fungsi BPN, antara lain


pengaturan dan penetapan hak atas tanah, pembinaan dan
pelayanan admin istrasi umum bidang pertanahan, serta
pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan
wilayah khusus.
Pasal-pasal tersebut mengindikasikan bahwa daerah tidak
mempllnyai kewenangan atas pertanahan , karena semua yang
berhllbungan dengan pertanahan diatur dari pusat. Padahal secara
logika hukum bidang pertanahan di daerah berkaitan dengan tata
mang wi layah dimana yang mengetahui pers is kondisi wilayah
serta persoalan pertanahan adalah daerah itu sendiri. Oleh karena
itu bila pertanahan diserahkan kewenangannya ke pusat hal ini
akan menimbu lkan persoalan yang serius dikemudian hari.
Pertanahan sa mpai saat ini masih selalu menjadi persoa lan di
daerah. Hal ini karena di daerah tidak ada kantor dinas pertanahan
mengingat semua urusan tanah diatur dari pusal (BPN) melalui
kantor wi layah BPN yang ada di kabupaten/kota. Akibatnya
persoalan-persoalan pertanahan di daerah tidak kunjung selesai.
Seharusnya uru san dan kewenangan pertanahan tidak diserahkan
semuanya kepada BPN seperti yang diatur dalam Perpres No.
10/2006. Karena dikhawatirkan mereka tidak mampu
menyelesa ikan masalah pertanahan seperti yang diharapkan
masyarakal.
Sehubungan dengan persoa lan pertanahan tersebut, Adeksi
telah mengeluarkan pernyataan s ikap sebagai berikut :
a) Menolak dikeluarkannya Perpres No. 10 Tahun 2006
lenlang Badan Pe.1anahan Nasional, karena Perpres
tersebul sebagai bukli tidak adanya kewenangan
daerah atas perla nahan sebagaimana amanal UU
32/2004 lenlang Pemerinlahan Daerah.
b) Mengharapkan segera dibentuk badan konsullasi
unluk memfasililasi anlara pusal dan daerah dalam
proses pengembalian kewenangan atas pertanahan
kepada daerah.
c) Mengajak komponen daerah unluk secara serius
berkoordinasi dan bekerjasama dalam rangka
mewujudkan desenlralisasi bidang perlanahan di
daerah sebagaimana cita-cila olonomi daerah.
d) Menunlut kepada pemerinlah agar konsekuen dan
serius dalam menjalankan politik desentralisasi sesuai
semangat otonomi daerah.
lv/usalall HllkulJI A kl1lo/ da/olJl Wacal1a R(>j'onnCls i di Indonesia, SI(jaC/i lOY

e) Mendcsak iJarlllonisasi dan sinkronisasi antar


leillbaga pelllerintaiJ bidang sektor,,1 dalam
menerapkan prinsip-prinsip desentrali sasi.

Penje lasan menganai penyerahan kewenangan bidang


pertanaiJan Illenurul Undang-Undang N o. 32 Tahun 2004 dapat
dijelaskan berikut ini. Adapun kewenangan yang Illenjadi urusan
Peille rintahan Daerah Propinsi , Kabupaten/ Kota ada yang
Illerupakan urusan wajib dan ada yang bersifat piliiJan. Yang
Illerupakan urusan wajib, disebut da lalll Pasal 13 ayat (I) dan
Pasal 14 ayat( I). Sepanjang yang Illengenai bidang pe rtanahan,
urllsan y ang bersifat wajib meliputi "pelayallall pertallflflall",
yang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Peillerintah, yang
hingga sekarang bellll11 ada.
Pasal 10 ayat (I) dan (2) Illenyatakan , bahwa: "Peillerintahan
Daerah menyelenggarakan lIrusall pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, keclIali urusan pemerintahan yang oleh undang-
undang ini dite ntukan Illenjadi urusan Pemerintah. Dalalll
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang kewellallgall daerah
sebagailllana d illlaksud dalalll ayat (I), peillerintahan daerah
menjalankan otonoilli seluas-Iuasnya untuk mengatur dan
mellgurus sendi ri urllsan pemerintahall berdasarkan asas otonomi
dan tllgas pemballtuan".
Perlu diperhatikan, bahwa urusan kewenangan pemerintahan
tersebut tidak khusus/tidak hanya mengenai pertanahan. Maka
masih Illenjadi persoalan, apakah yang dinyatakan dalalll Pasal 10
ayat (2) terse but seluruhnya berlaku juga terhadap musan
pelayanan pertanahan, yang disebut dalam Pasal 13 dan 14
Pasal 10 ayat (5) Illenetapkan bahwa "selain urusan
pemerintahan yang disebut dalalll ayat (3) diatas", Illasih ada
urusan-urusan lain, yang kewenangannya ada pada Peillerintah
Pusa!. K iranya ini adalah urusan yang ditentukan secara khusus
oleh berbagai undang-undang.Diantara urusan-lirusan lain itll
termaslik juga lIrlisan bidang pertanahan, yang oleh Pasal 33 ayat
(3) UUD RI 1945 dan Pasal 2 UUPA kewenangannya ditllgaskan
kepada Negara.

III, Beberapa Pendapat Lain

Slisie Berindra dalam tulisannya bertajuk 'Pertanahan


Kewenangan yang Masih Diperebutkan" dalam harian Kompas,
110 Jurnal HukuIII dan Pembangunan Tahun Ke-3 7 No. I Januari-Marel 2007

Jumat. 16 Juni 2006 memberikan highlight dari hasi l Rapat Kerja


Nasional Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia, bulan Mei
2006. APPSI te lah meminta pemerintah memberi kewenangan bidang
pertanahan kepada daerah, sesua i Undang-Unda ng Nomor 32/2004
tentang Pemerintahan Daerah.
UU No 32/2004 telah dua tahlm dilaksanakan. Namun, sampai
sekarang pembagiall kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah
be lum kunjung j elas. Salah satunya bidang pertanaha n yang masih
diwarllai tarik-menar ik pusat dan daerah. Pusal ingin mengu3sai semU3
kewenangan di bidallg pertall ahan, sementara pemer intah daerah ingin
mendapat bagian urusan pertanahan.
Dalam UU No 32/2004 , ada enam kewenangan pemerintahan
pusat dan 30 kewenangan yang bisa dilaksanakan peme rintahan
daerah. Pusat pun ya wewenang dala m bidan g politik lu ar nege ri ,
pertahanan , kea manan, hukulll, mOlleter, dan agama. Salah salu
kewenangan pemerinlah daerah adalah dalam bidang pelaya nan
pertanahan. Akan lela pi , dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenanga n Provinsi
se bagai Daerah Olono m, ya ng merupaka n (unll1an UU No 32/2204,
tida k salu pun ya ng menyebut pemda puny a kewenangan pertanahan.
Belum lagi , revisi PP No 25/2000 diselesaikan Departemen Dalam
Negeri , tiba-t iba muncul Peraturan Presiden Nomor 10 Tah un 2006
ten tang Badan Pertanahan Nasional (BPN), II Apr il 2006. Pasal 2
Perpres No 10/2006 menyebutkan, BPN bertugas me laksanakan lugas
pemerintahall di bidang pertanahan secara n3sionaL regional dan
sektoral. Kemudian Pasal berikutnya. menyebut BPN memiliki 21
fungsi. Beberapa fungs i itu ada lah pengaturan da n penetapan hak alas
tanah, pembinaan dan pelayanan administrasi umllill bidang
pertallahan serta pelaksanaan penatagunaan tanah, reforlll3si agraria
dan penataan wilayah-wilayah khus us.
Dalam aturan sebelumnya, Keputusan Presiden No moI' 95/2000
tentang BPN, disebutkan bahwa tugas BPN adalah pengaturan
perulltukan, persediaan dan penggllnaan tanah , pengaturan hllblln gan
hllkllm antara oran g dan tanah serta pengaturan hllbungan hukllm
antara ora ng dan pe rbllatan hllkllm berkaitan dengan tanah. Oi dalam
Keputusan Pres id en NomoI' 95 /2000 itu menyebut BPN mempunyai
enam fungsi.
Perpres No 10/2006 ini te ntu membuat bera ng kalangan
pemerintahan daerah, baik di ting kat provinsi maupun kabupaten /kota.
Dalam Rapat Koordinasi Asos ias i dan Badan Ke lja Sama selu ruh
lv/asa/ah fllIklll11 Aklu£I/ do/am WlicallO Reji)rmasi cli Indonesia, Slu"adi
'"
Ind o nesia dengan Oepdagri, mereka memprotes Perpres No 10/2006
yang tidak memberi napas otonomi daerah.
Itu sebabnya, APPSI dalam rapat Mei 2006 merekomendasi
prakarsa pengajuan konsep perubahan UU No 511 960 tontang Pokok-
pokok Agraria agar selaras dengan asas descntralisasi, demi
menampung tuntutan pelayanan pertanahan ak ibat perkembangan
jumlah penduduk, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
perubahan tala ruang, kepastian hak-hak atas tanah. tennasuk hak
ulayat/adat.
Mantan Sekretaris Utama BPN Toto SUllliyoto dalam tulisannya
beljudul Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Rangka Pelaksanaan
Otonollli Oaerah Illcngatakan, dengan diberlakukan UU 2211 999
tentang Pemerintahan Daerah, sistel'n pcmcrinlahan bcrubah
s ignifikan, dcngan memberi kewcnangan !lIas, nyata, dan bertanggung
jawab kepada daerah secara proporsional. Karena itll, perlu peillbagian
kewcnangan yang jelas antara pelllerintah pusat dengan provinsi dan
kabupaten/ kota.
Toto mengusulkan peillerintah provinsi diberi kewenangan
perencanaan penatagunaan tanah provinsi, perencanaall penatagullaan
pertanahan antara dlla kabupaten/kota, dan penyelesaian penetapan hak
ulayat antara dua kabupaten/ kota. Adapun peillerintah kabupaten /kota
diberi kewenangan izin lokasi , pengaturan dan peruntukan tanah,
penyelesaian Illasalah se ngke ta tanah garapan at as tanah negara,
pe nguasaan pendudukan tanah tanpa iz in dari yang berwenang dan
penye lesaian ganti rugi untllk pengadaan tanah.
Oi sisi lain, Sekjen Konsorsiulll Peillbaruan Agraria Usep
Setiawan Illengungkapkan tarik ulur kewenangan bidang pertanahan
antara pusat dan daerah ini sebenarnya tidak terlalu penting.
Pelllbagian kewenangan yang jelas akan Illenjadi percuma, tanpa
reformasi agraria dengan perubahan struktur organisasi pemerintahan"
Berbagai persoalan sengketa pertanahan tetap saja tidak bisa
diselesaikan.
Menurut Usep refonnasi agraria membutuhkan kebijakan
nasional. Karena itlilah, tidak bisa se mua kewenangan bidang
pertanahan diberikan kepada daerah. Sebaiknya pemerintah membagi
kewenangan secara proporsional dan menghentikan tarik-I1lenarik
kepentingan pusat dan daerah, lupakan kepentingan internal
pemerintahan. Selain itll hanls dimulai tahap memikirkan sol usi
terbaik kondi s i agraria di lapangan sehingga berbagai persoalan agraria
yang banyak memakan korban dapat segera diselesaikan.
112 Jurnal Hllkllm dan Pembangunan Tahlln Ke-37 No.1 JallZlari-Maret 2007

A. Penjelasan Peri hal Pendelegasian Kewenangan Bidang


Pertanahan

Menyikapi polemik desentralisasi kewenangan di bidang


pertanahan tersebut, dengan memperhatikan Pasal 33 ayat (3) dan
beberapa ketentuan Undang-Undang yang merupakan hukum positif,
maka dapat diberikan penjelasan sebagai berikut:

I. Kewenangan Pemerintah Pusat

Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD


1945. yang secara konstitusional memberikan wewenang dalam
rangka mengelola pel1anahan dan dalam arti luas lerhadap sumber
kekayaan alam di Indonesia, jelas dan dapat ditafsirkan bahwa
dalam kerangka pengaturan masalah pertanahan pada dasarnya
merupakan kewenangan Negara RI.
Selanjulnya dalam rangka pelaksanaan lebih lanjul
kewenangan negara terse but, dengan memperhatikan ketentuan
Pasal 2 dan Pasal 14 UUPA, maka kewenangan negara dalam
bidang pertanahan adalah meliputi:
a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaall dan pemeliharaan bumi, air
dan ruang angkasa terse but;
b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukulTI antara orang-orang dengan bumi , air dan
fllang angkasa,
c) mellentukan dan mengatur hubungan-!1ubungan
huku111 antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukuITI yang mengena i bumi, air dan fllang angkasa.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2)U U PA tersebul, maka


untuk saal lIli berkenaan dengan adanya desentralisasi
kewenangan kepada pemerintah daerah. sesungguhnya
kewenangan tersebul masih relevan. Hal itu karena kewenangan
yang d iatur di dalam Pasal 2 ayat (2) terscbut sebagai kewen3ngan
dalam bentuk kaedah polil ik pertanahan yang dimaksudkall
menjabarkall Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. secar'a sistematis jika
ditafsirkan dengan desentralisasi adalah relevan dengan ketelltuan
Pasal2 ayat (4) UUPA:
Hak mengllasai dari Negoro lerseblll diolos
peloksanaannya dapol dikuosokon kcpadll daerah-
Masalah Hukum Aktual dalam Wacana Reformasi di Indonesia, Sujadi 113

daerah swatantra dan masyarakal-masyarakal hukum


adal, sekedar diperlukan dan lidak berlenlangan
dengan kepenlingan nasional, menurul ketentuan-
kelentuan Peraturan Pemerintah.
Pasal2 ayat (4) terse but membuka kemungkinan pelaksanaan
desentralisasi kewenangan tersebut dan memerlukan perumusan
lebih lanjut dalam kerangka pelaksanaan UU Nomor 34 tahun
2004 yang sementara ini dirumuskan dalam lingkup "pelayanan
dalam bidang pertanahan".

2. Kewenangan Pemerintah Daerah

Dalam perspektif Hukum Tanah nasional (UUPA)


Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia membu(I( SU(I(U
renc(ln(l umum " mengenai persediaan, peruntukan dan
penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam
yang terkandung didalamnya:
a) untuk keperluan Negara,
b) untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci
lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha
Esa;
c) untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat,
sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
d) untuk keperluan memperkembangkan produksi
pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan
dengan itu;
e) untuk keperluan memperkembangkan industri,
transmigrasi dan pertambangan.
Berdasarkan rencana umum terse but dan mengingat
peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah
mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta
ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah
masing-masing 17 •

16 Tenninologi "membuat suatu rencana umum", sebagai kewenangan pemerintah


(pusat) dalam Pasal 14 UUPA memang tepat dalam menjabarkan Pasal33 ayat (3) UUD 1945,
kewenangan tersebut dalam level politik pertanahan seperti di dalam Pasal2 ayat (2) UUPA.
114 Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-37 No.1 Januari-Maret 2007

Sementara di dalam UU Nomor 32 tahun 2004, di dalam


Pasal 13 dan 14, terlihat dua jenis kewenangan dalam bidang
pelayanan pertanahan dan perencanaan, pemanfaatan dan
pengawasan tata ruang pada level propinsi dan kabupatenlkota".
Berdasarkan pemahaman terhadap ketentuan UUPA dan UU
Nomor 32 tahun 2004, tersebut maka secara yuridis dapat
dijelaksan mengenai kewenangan di bidang pertanahan:
I) Lingkup kewenangan pemerintah pusat, adalah dalam
lingkup membuat blue print politiklkebijakan pertanahan
nasional sebagai pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
dalam lingkup substansi pengaturan yang sudah ada di dalam
Pasal2 dan Pasal 14 UUPA;
2) Ada juga lingkup kewenangan pemerintah daerah, dapat
disinkronkan berkenaan dengan pelaksana delegasi
kewenangan pemerintah pusat (dapat ditafsirkan dalam
bidang pelayanan pertanahan) dan membuat rencana umum
tata ruang wilayah (RUTR) sebagai kewenangan yang linear
dengan kewenangan pemerintah pusat. Dalam lingkup
kewenangan ini pemerintah daerah tetap tunduk pada
pedoman umum kebijakan/politik pertanahan nasional di
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 jo. Pasal 14 dan Pasal 2
UUPA. Hal itu sebagai konsekuensi format negara kesatuan
yang memberikan kedaulatan penuh pada NKRI dalam
segala aspek. Pemerintah Pusat sebagai organisasi kekuasaan
adalah penyelenggara kekuasaan negara, sedangkan
pemerintah daerah tidak lain hanya menjalankan

17 Ketentuan Pasal 14 ayat (2) UUPA, terlihat adanya pelimpahan kepada daerah

untuk juga membuat politik pertanahan di daerahnya masing-masing sesuai kandisi tiap-tiap
daerah dan adanya keharusan politik pertanahan terseb ut dituangkan dalam bentuk Peraturan
Pemerintah Daerah (PERDA) baik di level propinsi, kabupatenlkota. Ketentuan Pasal 14 ini
memi liki perbedaan dengan Pasal 2 UUPA yang bersifat hubungan vertikal (sub-ordinasi);
namun di dalam Pasal 14 in i ada kewenangan linear pada level pemerintahan masing-masing
(Pemerintah pusat - pemerintah daerah), sekaJipun terkandung sub-ordinasi narnun hanya
pada lingkup substansi politiklkebijakan rencana penggunaan tanah secara normatif.

18 Namun kewcnangan pemcrintah prop ins i dalam pelayanan pertanahan dibatasi


sejauh pelayanan pertanahan yang bers ifat lintas kabupaten/kota saja, selb ihnya merupakan
kewenangan pemerintah kabupatenlkota, yang dipcrtegas di dalam Pasal 14 undang-undang
terse but.
/\1asalah Hllkul11 Akltllll dolam lVacol1o Relormosi di Indonesia , Sl(iadi 115

pelllerintahan sebagai pelimpahall kekllasaan negara dari


pelllerintah pusat, l<)
Demikianlah maka se be narnya po lemik desenlralisasi
kewe nangan pertanahan dapat dijelaskan dan tidak perlu
berkepanjangan, sepanJang dilandasi nial luhur para
penye lenggara negara dan seyogyanya rlllllllsan di dalam revisi PP
2512000, tentang Pembagian Kewenangan Pemerintahan pada
peillerintah pusat dan daerah, akan Illemu at substa nsi yang tidak
me ningga lkan prinsip-prins ip tersebut di atas.

IV. Penulup

Dari uraian Illengenai Illasa lah-masalah Hktllal dalam rangka refo rmasi
agraria di Indonesia pad a bagian terdahulll , maka dapat di saillpa ikan res ume
seka li gus sebaga i kesimpulan sebaga i berikut:
I. Re formas i agraria di Indones ia sesunggu hnya telah dimu la i sejak
ta hun 1960 secara norm at if namun dalam rea li sas inya me ngalami
keteriambalan, berbagai hambatan id eo logis, politis dan pada
akhirnya pro gra m landreform di Indonesia lermasuk gagal
diba nding kan dengan Jepang dan Taiwan;
2. Adanya isu kebijakan pemerintah untuk me lakukan landreform,
khususnya ll1elakukan redistribusi tanah kepada rakyat miskin
yang me liputi tanah seiuas 8,5 juta ha (60% untuk petan i tuna
ki sma); dan s isanya 40% untuk perumahan dengan jangka wa ktu
hak 100 lahun meme riukan pemikiran dan pe rumusan kembali
terhadap ketentuan hukum positif ya ng berlaku. Hal itu agar
pelaksanaan redistribusi tanah yang digagas pemerintahan SBY
saat ini tidak mengulangi kegagalan pelaksanaan redistribusi yang
te la h te rjadi di dasawarsa 1960-an. Hal 1111 dengan
ll1empertill1bangkan beberapa isu kontemporer mengenai:
a. masa lah mendasar dengan tenls bertambah
me ningkatnya angka kemiskinan di perkotaan dan
perdesaan;

19 Sebagai Pcmahaman kontekstual materi Undang-Undang Nomer 32 tahun 2004


yang seca ra sistematik telah mengatur di dalam BAB III dan BAB IV. berkenaan dengan
Pembagian Kewenangan dan pe nydcnggaraan Pemerintahan dan dapat diterapkan dalam
menguraikan penjelasan tcrhadap po lemik desentralisasi pcrtanahan yang dibahas ini
116 Jurnal Hukllm dan Pembanglillan Tahlln Ke-37 No. I Janllari-Marel 2007

b. masalah penyelesaian sengketa tanah-tanah ulayat


masyarakat hukum ad at yang belum tuntas;
c. masalah sengketa desentralisasi kewenangan bidang
pertanahan yang belum juga tuntas
AI/asalah Hukum Aklual dalam lVo(.'ona Rciormasi eli Indonesia. Sr{iadi I J7

Oaftar Pustaka

Buku

Harsono. Boedi., Hukum Agraria Indones ia, Bagian Pertama , J ilid I, Jakarta:
Pe nerbit Djambata n, Edisi Revis i 1999.
Hutaga lung, Arie S.. ef .01 .. Asas-asas Hukul11 Agraria, bahan kuliah Hukul11
Agraria FHUI , 1997.
Indrawati, Sri Mulyani. Dr., "'Krisis Eko nomi Indonesia dan Langkah
Reformasi", Pidato Ilmiah disampa ikan dalam acara Dies Natalis
Uni versitas Indo nes ia ke-48, Kampus UI Depok, 7 Februa ri 1998.
Kasi m, Ifdhal dan Endang Suhendar, Tanah Se baga i KOl1loditas, Cel.
Perta ma, Jakarta: E LSAM, 1996.
N isar, Said, H. M" Kajian tentang Peillbaruan Agraria dan Pengelolaan SDA
TAP MPR NO: IX / MPRl2001 , paper lepas .
Rajaguguk, Erman dalam di sertasi nya ya ng bej udul , "Hukul1l Agraria, Pola
Pengllasaan Tanah dan Kebutuhan HidllP", Cel. Pertama, Jakarta:
Chandra Pratama, 1995.
Suj ad i, Suparj o."Pel1lbaharuan Hukum dalam Revis i UUPA, Kajian dari
Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekono mi ", Majalah Hllkum dan
Pembangunan, Edisi Khusus Dies-Natalis UI, February 2001.

Internet

"Apeksi Sumbagsel Tuntut Olonomi Pertanahan ". < http ://kompas.com/


ver IInusantara/ 061 1114IlS 11 2.htm> , d iakses, Selasa 19 AgllStU S
2006.
"DPRD Kola Bekasi Perlanyakan Kejelasan Status BPN ".
<http ://www.kompas.co m/ metro/news/0308119/ 102947.htm.> , diakses
19 AgustllS 2006.
"Adeksi menolak Perpres No. J 0 Tahun 2006. lenlang Badan Perlanahan
Nas ional ", < http: //www.adeksi.or.id/deta i I/deta iIpressre lease. php?
id=6>, diakses 19 Desember 2006.
< http ://www.bangyos.comlid_berita-i s i.php?c id= l&id=274> , d iakses Rabu,
26 Juli 2006.
118 .furnal Hukum dan Pembangunan Tailun Ke-l7 No. I .fanuari-Maret 2007

FSPI., "Pandangan dan Sikap FSPf tentang Program Pembaruan Agraria


Nasional", dalam situs <http://www . fspi .o r.id/ index.php?option~
com_content&task~view&id~366&ltemid~37>, diakses 29 November
2006 .
Gorontalo (SIB)" "8,1 Juta Hektar Lahan Di 1ndonesia Akan Di Bebaskan
Untuk Rakyal", <http://www.hariansib.com/content/view/l 4799/38/>,
diakses 25 November 2006.
Medan Bisnis" "ProgramReformasi Agraria: Pemerintah Bagikan 8,2 Juta
Hektar Lahan buat Petani", <http://www.fspi . or.id/index.php?option~
com_content&task~view&id~357&ltemid~62>, diakses 29 September
2006.
PBHI. , "Rencana Pemerinlah menjalankan "Relorma Agraria" di
1ndonesia," <http://www.pbhi .or.id/content. php? id~2 5 I & id _ tit~ 7>,
d iakses 19 Oktober 2006.
TEMPO 1nteraklif, "Pemerintah Bagikan 9 Jula Hektar Tanah" Kamis, 28
September 20061 19:54 WIB < http://www. tempointeraktif.com/hg/
ekbis/2006/09/28/brk,20060928 84977,id.html>. diakses 29 September
2006.
Winoto, Joyo. , Harian Kampas, 13 Desember 2006 dikutip dari situs
Bappenas: <http://perpustakaan.bappenas.go.id/pls/k Iiping/data_access.
show_file_clp?v_filename~F9767/8.htm> , diakses 18 Desember 2006.

Anda mungkin juga menyukai