Anda di halaman 1dari 3

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) semula dimaksudkan

dalam rangka mereformasi struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri atas
DPR dan DPD. Dengan struktur bikameral itu diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan
berdasarkan sistem double-check yang memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat secara
relatif dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas. DPR merupakan cermin representasi politik
(political representation), sedangkan DPD mencerminkan prinsip representasi teritorial atau regional
(regional representation). Akan tetapi, ide bikameralisme atau struktur parlemen dua kamar itu
mendapat tantangan yang keras dari kelompok konservatif di Panitia Ad Học Perubahan UUD 1945 di
MPR 1999-2002, sehingga yang disepakati adalah rumusan sekarang yang tidak dapat disebut menganut
sistem bikameral sama sekali. Dalam ketentuan UUD 1945 dewasa ini, jelas terlihat bahwa DPD tidaklah
mempunyai kewenangan membentuk Undang-Undang. Namun, di bidang penga- wasan, meskipun
terbatas hanya berkenaan dengan kepentingan dae- rah dan hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan
Undang-Undang tertentu, DPD dapat dikatakan mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan fungsi
pengawasan terhadap kinerja pemerintahan. Oleh karena itu, kedudukannya hanya bersifat penunjang
atau auxiliary terhadap fungsi DPR di bidang legislasi, sehingga DPD paling jauh hanya dapat disebut
sebagai co-legislator, dari pada legislator yang sepenuhnya. Oleh karena itu, DPD dapat lebih
berkonsentrasi di bidang pengawasan, sehingga keberadaannya dapat dirasakan efektivitasnya oleh
masyarakat di daerah-daerah.

Menurut ketentuan Pasal 22D UUD 1945, Dewan Perwakilan rah (DPD) mempunyai beberapa
kewenangan sebagai berikut- (1) DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang Dae-
yang berkaitan dengan: otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah: pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya; serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. b. Den bidang (2) Dewan Perwakilan
Daerah (DPD): a. ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan: pengaw organ)
bidang sebagai otonomi daerah; Sifat tu hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya eko- nomi lainnya; serta tugas
k Undan mutus sekali. perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta b. memberikan pertimbangan
kepada DPR atas: jauh le gota D tidak d rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan be lanja
negara; wakil Dalam rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pap rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan per didikan; dan (1) Ar (2) Ar rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
agan (3) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dapat melakukan pengaN (kontrol) atas: ar (3) D (4) St
pelaksanaan Undang-Undang mengenai: a. Se ayat ( syarat OMtps otonomi daerah; ABIT pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah

. hubungan pusat dan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya;
pelaksanaan anggaran dan belanja negara; pajak; pendidikan; dan agama; serta b. menyampaikan hasil
pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Dengan demikian,
harus dibedakan antara fungsi DPD dalam bidang legislasi dan bidang pengawasan. Meskipun dalam
bidang pengawasan, keberadaan DPD itu bersifat utama (main constitutional organ) yang sederajat dan
sama penting dengan DPR, tetapi dalam bidang legislasi, fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu
hanyalah sebagai co-legislator di samping Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sifat tugasnya di bidang
legislasi hanya menunjang (auxiliary agency) tugas konstitusional DPR. Dalam proses pembentukan
suatu Undang- Undang atau legislasi, DPD tidak mempunyai kekuasaan untuk me- mutuskan atau
berperan dalam proses pengambilan keputusan sama sekali. Padahal, persyaratan dukungan untuk
menjadi anggota DPD jauh lebih berat daripada persyaratan dukungan untuk menjadi ang- gota DPR.
Artinya, kualitas legitimasi anggota DPD itu sama sekali tidak diimbangi secara sepadan oleh kualitas
kewenangannya sebagai wakil rakyat daerah (regional representatives).

MA

Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
dilengkapi dengan lima kewenangan atau sering disebut empat kewenangan ditambah satu kewajiban,
yaitu (i) menguji konstitusionalitas Undang-Undang;1s (i) memutus sengketa kewenangan konstitusional
antarlembaga ne- gara; (iii) memutus perselisihan mengenai hasil pemilihan umum; (iv) memutus
pembubaran partai politik;20 dan (v) memutus pendapat DPR yang berisi tuduhan bahwa Presiden
melanggar hukum atau idak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wakil Presiden sebagaimana
ditentukan dalam UUD 1945, sebelum hal itu dapat di- usulkan untuk diberhentikan oleh MPR. Yang
terakhir ini biasa disebut uga dengan perkara impeachmemt 121 seperti yang dikenal di Amerika Serikat.
Dalam melakukan fungsi peradilan keempat bidang kewenangan sebut, Mahkamah Konstitusi
melakukan penafsiran terhadap Undang-Undang Dasar, sebagai satu-satunya lembaga yang mem-
punyai kewenangan tertinggi untuk menafsirkan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, di
samping berfungsi sebagai pengawal Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi juga biasa disebut
sebagai the Sole Interpreter of the Constitution. profession, lima tahun Komisi Yu Di san Bahkan dalam
rangka kewenangannya untuk memutus perseli- sihan hasil pemilu, Mahkamah Konstitusi juga dapat
disebut sebagai pengawal proses demokratisasi dengan cara menyediakan sarana dan jalan hukum
untuk menyelesaikan perbedaan pendapat di antara penyelenggaran pemilu dengan peserta pemilu
yang dapat memicu terjadinya konflik politik dan bahkan konflik sosial di te ngah masyarakat. Dengan
adanya Mahkamah Konstitusi, potensi konflik semacam itu dapat diredam dan bahkan diselesaikan
melalui cara-cara yang beradab di meja merah Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, Mahkamah
Konstitusi itu di samping berfungsi sebagai (i) pengawal konstitusi; (ii) penafsir konstitusi; juga adalah
(iii) pengawal demokrasi (the guardian and the sole interpreter of the constitution, as wll as the guardian
of the process of democratization). Bahkan, Mahkamah Konstitusi juga merupakan (iv) pelindung hak
asasi manusia (the protector of human rights). Dalam UUD 1945, ketentuan mengenai Mahkamah
Konstitusi ini diatur dalam Pasal 24C yang terdiri atas 6 ayat, yang didahului oleh pengaturan mengenai
Komisi Yudisial pada Pasal 24B. Me- ngapa urutannya demikian? Sebabnya ialah bahwa semula, ke-
tentuan mengenai Komisi Yudisial tersebut hanya dimaksudkan terkait keberadaannya dengan
Mahkamah Agung saja, tidak dengan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, dalam perkembangan pemben-
tukan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi juga dijadikan objek yang
martabat, kehormatan, dan perilaku ha- kimnya diawasi oleh Komisi Yudisial (KY). Dijadikannya hakim
konstitusi pada Mahkamah Konstitusi juga sebagai pihak yang diawasi perilakunya oleh Komisi Yudisial
diten- tukan oleh Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, bukan oleh Undang-Undang tentang
Mahkamah Konstitusi. Apabila dikaitkan dengan original intent dan sistematika Pasal 24, Pasal 24A,
Pasal 248 dan Pasal 24C, sangat jelas bahwa tugas konstitusional Komisi Yudisial hanya terkait dengan
Mahkamah Agung dan hakim di lingkunga husi jika se Agung der pat bertinc Konstitusi Yudisial. L
Konstitusi atas rasion dang tenta pemerinta agar hakin oleh Kom: 24B UUD Undang-L anggota F
perumusa semua me maksud U Oleh Undang-L mencantu perilakun stitusi bel undang-u tentangam
ngikat ur anggota dengan c Yudisial C ini sama tasi

Anda mungkin juga menyukai