Anda di halaman 1dari 6

BAB 19

HEPARIN-INDUCED THROMBOCTOPENIA

Heparin dan derivatnya, Iow molecular weight heparin (LMIVH), telah dipakai secara luas untuk
pencegahan dan pengobatan trombosis. Salah satu efek samping yang cukup sering, serius dan
berpotensi mengancam jiwa adalah heparin-induced thrombocytopenia (HİT).

Heparin-induced thrombocytopenia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan penurunan


jumlah trombosit setelah pemberian heparin, tanpa ada penyebab trombositopenia yang lain.

Heparin dan LMWH telah dipakai secara luas untuk terapi dan pencegahan trombosis. Saat ini
heparin dan LMWH masih merupakan antikoagulan pilihan jika diperlukan efek antikoagulan
yang cepat. Namun ternyata, pemberian heparin mempunyai banyak efek samping, salah satunya
yang cukup sering terjadi dan berpotensi mengancam jiwa adalah HIT. HIT adalah penurunan
jumlah trombosit beberapa saat setelah pemberian heparin, tanpa penyebab trombositopenia yang
lain. HIT terjadi akibat pembentukan antibodi terhadap kompleks antara heparin dengan PF4
yang dikeluarkan dari granula trombosit, saat terjadi aktivasi trombosit. Keadaan
trombositopenia pada HIT tidak menyebabkan perdarahan, melainkan trombosis.

Diagnosis HIT, terutama ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan hitung trombosit. Tetapi
pada beberapa keadaan, misalnya terdapat penyebab trombositopenia yang lain, diagnosis HIT
menjadi sulit ditegakkan. Dalam hal demikian, pemeriksaan laboratorium lanjutan diperlukan
untuk membantu memastikan diagnosis HIT. Pemeriksaan laboratorium untuk HIT secara garis
besar dibagi menj adi dua kelompok, yaitu tes fungsional yang membuktikan adanya aktivasi
trombosit, dan tes imunologis untuk membuktikan adanya antibodi HIT. Sampai saat ini 14C-
serotonin release assay masih dianggap metode rujukan untuk tes fungsional.

Jika ada dugaan terjadinya HIT, pemberian heparin harus segera dihentikan sampai terbukti
bahwa dugaan tersebut salah. Sebagai pengantinya dapat dipakai danaparoid, lepirudin, atau
agratroban, yang dapat menginhibisi trombin dan pembentukannya. LMWH tidak dianjurkan,
walaupun lebih jarang menyebabkan HIT, tetapi reaksi silangnya dengan antibodi HIT sangat
tinggi.
BAB 20

ACTIVATED PROTEIN C RESISTANCE

Activated protein C resistance (APC resistance) merupakan faktor risiko trombin bawaan yang
paling sering. Pada tahun 1993 Dahlback dkk melaporkan ada suatu kelainan yang dihubungkan
dengan trombosis vena familial. Mereka mendapatkan Plasma seorang penderita frombosis
menunjukkan respon antikoagulan yang buruk terhadap activatedprotein C (APC) sehingga
kelainan ini disebut sebagai APC resistance. Protein C aktif atau APC merupakan suatu inhibitor
koagulasi fisiologis yang berfungsi menghancurkan faktor V aktif (FVa) dan faktor VIII aktif
(FV111a).

Manifestasi klinis APC resistance bawaan mirip dengan defisiensi PC, PS atau AT III. Deep vein
thrombosis (DVT) merupakan masalah klinis yang paling sering dijumpai, sedangkan emboli
paru lebih jarang dijumpai pada APC resistance dibandingkan kelainan genetik Iainnya. Pada
penderita APC resistance juga dapat ditemukan ulkus pada kaki. Diduga DVT yang berulang
mengakibatkan insufisiensi vena yang akan me nimbulkan edema, Stasis dan ulkus.

Pemeriksaan laboratorium

Terdapat beberapa cara untuk deteksi adanya APC resistance. Cara Yang pertama dikemukakan
oleh Dahlback berdasarkan pemeriksaan APTT. Pada cara ini dilakukan 2 kali pemeriksaan
APTT. Pemeriksaan Pertama dengan penambahan APC dan pada pemeriksaan ke-2 tanpa
Penambahan APC.

Pada individu normal rasio > 2, sedangkan pada penderita APC resistance rasio < 2.6.

Penanganan

Pada penanganan penderita pembawa FV Leiden, ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan yaitu genotipe, gambaran klinis, riwayat keluarga adanya defek genetik dan
faktor predisposisi lain. Pembawa FV Leiden bentuk homozigot ataupun heterozigot yang
terdapat betsama-sama dengan defisiensi salah satu antikoagulan perlu mendapat terapi
pencegahan antikoagulan dengan heparin atau antikoagulan oral dalamjangka waktu 6 bulan.
BAB 21

HIPERHOMOSISTEINEMIA

Di antara faktor risiko trombosis, hanya sedikit yang sekaligus dikaitkan dengan trombosis
arteri dan trombosis vena. Hiperkolesterolemia merupakan faktor risiko untuk penyakit arteri
koroner tetapi bukan faktor risiko trombosis vena maupun emboli paru. Sebaliknya kelainan
antikoagulan alamiah seperti antitrombin, protein C dan protein S adalah faktor risiko yang
penting untuk trombosis vena, tetapi kaitannya dengan trombosis arteri tidak jelas.

Penyebab hiperhomosisteinemia

Penyebab hHcy yang tersering adalah defisiensi nutrisi folat dan vitamin BE, setelah itu kelainan
ginjal dan penyebab Iain yaitu obatobatan tertentu serta polimorfisme gen yang mengkode enzim
MTHFR.

Hiperhomosistenemia berat biasanya disebabkan oleh defisiensi CBS homosigot. Pada populasi
umum prevalensi kelainan ini adalah 1 : 200 000 sampai 1 : 335 000. Manifestasi kliniknya
berupa sindrom klasik homosistinuria yang ditandai dengan retardasi mental, ectopic lens,
kelainan skelet, penyakit vaskular prematur dan tromboembolisme.

Mekanisme terjadinya trombosis pada hiperhomosisteinemia

Sampai sekarang mekanisme terjadinya trombosis pada hHcy belum seluruhnya diketahui. Hasil
penelitian in vitro menunjukkan bahwa hHcy dapat merusak endotel sehingga sifatnya berubah
antitrombotik menjadi protombotik. Homosistein akan mengalami autooksidadi menjadi Hcy
disulfide dan Hcy tiolakton yang akan menghasilkan reactive oxygen species (ROS).

Target populasi yang dianjurkan melakukan pengukuran tHcy

Pengukuran kadar tHcy dianjurkan dilakukan terhadap beberapa target populasi, yaitu pada
penderita yang menunjukkan gejala klinis yang mungkin disebabkan defisiensi vitamin B,
penderita dengan risiko tinggi mengalami defisiensi vitamin B dan penderita penyakit
kardiovaskuler atau penderita dengan risiko tinggi penyakit kardio-vaskuler, serta penderita
homosistinuria.

Pemantauan

Seseorang dengan kadar tHcy yang masih berada dalam rentang rujukan, bila tidak terdapat
perubahan status kesehatan, pemantauan ulang dapat dikejakan setelah 3 - 5 tahun kemudian.
Bila disertai gejala, penderita tersebut harus dievaluasi kadar vitamin B serta dicari tanda-tanda
klinis defisiensi vitamin B lainnya.

Pemantauan kadar tHcy pada pasien hHcy yang diterapi dengan vitamin, dilakukan setelah 14
hari dan setelah 3 bulan pemberian terapi, selanjutnya setiap 1 - 3 tahun.

BAB 22

PLASMINOGEN ACTIVATOR INHIBITOR-I

Adanya gangguan keseimbangan hemostasis akibat penurunan aktivitas sistem fibrinolisis telah
ditemukan pada sejumlah penyakit aterosklerosis seperti penyakit jantung koroner dan stroke.
Salah satu penyebab utama penurunan aktivitas sistem fibrinolisis pada penyakit aterosklerosis
adalah kadar PAI-I yang tinggi.

Pembentukan fibrin dan penghancurannya merupakan proses yang dinamis. Proses ini tergantung
dari keseimbangan sistem koagulasi yang menghasilkan bekuan fibrin dan sistem fibrinolisis
yang menghancurkan bekuan fibrin.

Ada 3 komponen yang terlibat dalam sistem fibrinolisis yaitu plasminogen, aktivator
plasminogen dan inhibitor. Aktivator plasminogen akan mengaktiftan plasminogen menjadi
plasmin.

Sintesis

Sintesis PAI-1 diatur oleh gen yang terletak pada lengan panjang kromosom 7. Sel atau jaringan
yang mensintesis PAI-I masih belum banyak diketahui. Dari berbagai sel yang diketahui
menghasilkan PAI-I, adiposit dan sel endotel dilaporkan merupakan tempat sintesis utama.
Setelah disintesis, PAI-I akan disekresikan ke dalam plasma.
Fungsi

PAI-I berfungsi sebagai regulator utama dalam sistem fibrinolisis. Sebagian besar aktivator
plasminogen t-PA dan u-PA akan diikat oleh PAI-I sehingga terbentuk kompleks ekuimolar 1 :
1. Aktivator plasminogen yang telah berikatan dengan PAI-I tidak dapat mengaktifkan
plasminogen menjadi plasmin sehingga fibrinolisis terhambat.

Metabolisme PAI-1

Dalam plasma kadar PAI-1 rendah dan hanya sebagian saja yang berada dalam bentuk aktif yang
bebas. Bentuk aktif ini bersifat labil, waktu paruhnya hanya 30 menit. Vitronektin, suatu protein
plasma, dapat mengikat PAI- 1 bentuk aktif sehingga menjadi lebih stabil. Ikatan vitronektin
dengan PAI-1 akan memperpanjang waktu paruh PAI-1.

Pemeriksaan laboratorium

Oleh karena waktu paruh PAI-I aktif sangat singkat, maka untuk pemeriksaan aktivitas PAI-I,
bahan pemeriksaan harus segera ditangani dan dibekukan secepat mungkin. Bahan yang
mengalami proses beku cair berulang dapat menyebabkan aktivitas PAI-I hilang sehingga hal ini
harus dihindari.

Faktor yang mempengaruhi kadar PAI-1

Dalam keadaan normal, kadar PAI-1 pada orang dewasa berkisar antara 4 — 43 ng/ml. Kadar ini
dipengaruhi oleh variasi diurnal. Kadar PAI-1 mencapai puncak pada pagi hari, meningkat antara
pukul 00.00 sampai 06.00, kemudian kadarnya menurun cepat. Variasi kadar PAI-1 plasma ini
menyebabkan aktivitas fibrinolisis pada pagi hari rendah. Hal ini merupakan salah satu hal yang
dapat menerangkan mengapa infark miokard lebih sering terjadi pada pagi hari.

Anda mungkin juga menyukai