Anda di halaman 1dari 26

GABUNGAN RESUME PANCASILA😊

DARI PANCASILA SEBAGAI SUMBER DARI SEGALA HUKUM SAMPE AKHIR

A. PANCASILA SEBAGAI SUMBER DARI SEGALA HUKUM


Asas Peraturan Perundang-Undangan
1. Asas lex superior derogat legi inferiori, yang artinya peraturan yang lebih tinggi
mengesampingkan yang rendah (asas hierarki)
2. Asas lex specialis derogat legi generali, adalah adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan
bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex
generalis)
3. Asas lex posterior derogat legi priori, yaitu pada peraturan yang sederajat, peraturan yang
paling baru melumpuhkan peraturan yang lama
4. Asas undang-undang tidak boleh berlaku surut (non-retroaktif) atau asas legalitas,
mengandung tiga pengertian, yaitu:
 Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu tidak terlebih
dahulu dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang
 Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (qiyas)
 Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut

Dasar Hukum
 TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 jo TAP MPR No. V/MPR/1973 dan TAP MPR No.
IX/MPR/1978
 Pasal 1 ayat (3) TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan
 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan
 Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara (Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011)

Pancasila sebagai Cita Hukum


 Pancasila menjadi cita hukum (rechts ide) yang mendasari setiap hukum di Indonesia.
 Setiap hukum yang lahir di Indonesia harus berdasar pada Pancasila.
 Hukum-hukum di Indonesia juga harus ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan negara
dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

Pengertian Hukum
Hukum adalah suatu sistem yang dibuat lembaga yang berwenang untuk membatasi
tingkah laku manusia di masyarakat agar tingkah lakunya dapat terkontrol. Hukum adalah aspek
terpenting  dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum mempunyai tugas
untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Jadi, hukum adalah peraturan atau
ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan
menyediakan sanksi bagi pelanggarnya.

Tujuan Hukum
 Mempunyai  sifat universal, seperti  ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan dan
kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat.
 Menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi hakim atas dirinya sendiri.

Macam-Macam Hukum
Menurut sumbernya:
 Hukum undang-undang, yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan perundangan.
 Hukum adat, yaitu hukum yang terletak dalam peraturan-peraturan kebiasaan.
 Hukum traktat, yaitu hukum yang ditetapkan oleh Negara-negara suatu dalam perjanjian
Negara.
 Hukum jurisprudensi, yaitu hukum yang terbentuk karena putusan hakim.
 Hukum doktrin, yaitu hukum yang terbentuk dari pendapat seseorang atau beberapa orang
sarjana hukum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum.
Menurut bentuknya:
 Hukum tertulis, yaitu hukum yang dicantumkan pada berbagai perundangan
 Hukum tidak tertulis (hukum kebiasaan), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan
masyarakat, tapi tidak tertulis, namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan perundangan.
Menurut tempat berlakunya:
 Hukum nasional, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu Negara.
 Hukum internasional, yaitu yang mengatur hubungan hubungan hukum dalam dunia
internasional.
Menurut waktu berlakunya:
 Ius constitutum (hukum positif), yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat
tertentu dalam suatu daerah tertentu.
 Ius constituendum, yaitu hukum yang diharapkan berlaku pada masa yang akan datang.
 Hukum asasi (hukum alam), yaitu hukum yang berlaku dimana-mana dalam segala waktu dan
untuk segala bangsa di dunia.
Menurut cara mempertahankannya:
 Hukum material, yaitu hukum yang memuat peraturan yang mengatur kepentingan dan
hubungan yang berwujud perintah-perintah dan larangan.
 Hukum formal, yaitu hukum yang memuat peraturan yang mengatur tentang bagaimana cara
melaksanakan hukum material
Menurut sifatnya:
 Hukum yang memaksa, yaitu hukum yang dalam keadaan bagaimanapun mempunyai paksaan
mutlak.
 Hukum yang mengatur, yaitu hukum yang dapat dikesampingkan apabila pihak-pihak yang
bersangkutan telah membuat peraturan sendiri.
Menurut wujudnya:
 Hukum obyektif, yaitu hukum dalam suatu Negara berlaku umum.
 Hukum subyektif, yaitu hukum yang timbul dari hukum obyektif dan berlaku pada orang
tertentu atau lebih. Disebut juga hak.
Menurut isinya:
 Hukum privat, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan yang
lain dengan menitik beratkan pada kepentingan perseorangan.
 Hukum publik, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan alat
kelengkapannya ata hubungan antara negara dengan warga negara.

Unsur Rumusan Pengertian Hukum


 Hukum mengatur tingkah laku atau tindakan manusia dalam masyarakat.
 Peraturan hukum ditetapkan oleh lembaga  atau badan yang berwenang.
 Penegakan aturan hukum bersifat memaksa.
 Hukum memiliki sanksi dan setiap pelanggaran atau perbuatan melawan hukum akan
dikenakan sanksi yang tegas.

Pancasila sebagai Kaidah Penuntun Hukum


 Hukum haruslah bertujuan membangun dan menjamin integrasi negara dan bangsa
 Hukum haruslah didasarkan pada demokrasi dan nomokrasi (kedaulatan hukum) sekaligus
 Hukum harus ditujukan untuk membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
 Hukum haruslah didasarkan pada toleransi beragama yang berkeadaban (non diskriminatif)

Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia


Lex Superior Derogat Legi Inferiori
1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR)
3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (UU/Perppu)
4) Peraturan Pemerintah (PP)
5) Peraturan Presiden (Perpres)
6) Peraturan Daerah (Perda) Provinsi
7) Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota

Pelaksanaan dan Pengamalan Pancasila


1. Pelaksanaan Obyektif adalah pelaksanaan Pancasila di dalam semua peraturan dari yang
tertinggi sampai terendah yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan-peraturan hukum
yang ada di bawahnya.
 Pelaksanaan sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, dilaksanaan dalam pasal 29 UUD
1945
 Pelaksanaan sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab, dilaksanaan di dalam pasal
14, 27, 28, 31 ayat 1 UUD 1945
 Pelaksanaan sila ketiga: Persatuan Indonesia, dilaksanakan di dalam pasal 1 ayat 1, 26, 31
ayat 2, 32, 35, dan 36 UUD 1945
 Pelaksanaan sila keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dilaksanakan di dalam pasal 1 ayat 2, 2, 5 ayat 1, 6 ayat 2,
11, 18, 19, 20, 21, 22, 30 ayat 1 UUD 1945.
 Pelaksanaan sila kelima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dilaksanakan di
dalam pasal 33, 34 UUD 1945.
2. Pelaksanaan Subyektif adalah pelaksanaan di dalam diri setiap orang Indonesia, yaitu para
penguasa, warga negara, dan setiap orang yang berhubungan dengan Indonesia.
Pelaksanaan subyektif penting sekali karena bagaimanapun baiknya suatu peraturan, kalau
dalam pelaksanaannya tidak melakukan peraturan itu dengan baik hasilnya tentu tidak sesuai
dengan apa yang diharapkan. Man behind the gun adalah ucapan yang menunjukkan betapa
pentingnya peranan manusia.

B. RUMUSAN DAN SISTEMATIKA PANCASILA DALAM SEJARAH


PERKEMBANGAN KETATANEGARAAN INDONESIA
Sejarah Pancasila
1. Masa Kerajaan
Sejarah Indonesia selalu menyebut ada dua kerajaan yang melambangkan
kemegahan dan kejayaan Indonesia masa purba, yaitu Sriwijaya dan Majapahit, selain
Kerajaan Kutai yang pertama di Indonesia dan kerajaan-kerajaan sebelum Majapahit di
tanah Jawa.
2. Masa Penjajahan dan Perlawanan terhadap Penjajahan
Pada mulanya para imperialis hanya ingin mencari bahan mentah untuk industri.
Namun, imperialisme ini akhirnya menimbulkan “Politik Penghisapan” daerah jajahan
sehingga menimbulkan pemberontakan penduduk pribumi.
3. Kebangkitan Nasional
Perkembangan pendidikan di Indonesia akibat dari politik etis telah menyebabkan
perubahan besar bagi bangsa Indonesia dan mengarah kepada kesadaran nasional dan di
tandai dengan berdirinya Budi Utomo dan PNI.
4. Sumpah Pemuda
Kongres pemuda 28 Oktober 1928, Satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa.
5. Penjajahan Jepang
Jepang mengambil alih kedudukan Belanda (KNIL), dan memulai propaganda 3A.

BPUPKI
Tanggal 1 Maret 1945, Kumakici Harada mengumumkan dibentuknya BPUPKI
(Dokuritsu Zyunbi Tyoshakai). Pada tanggal 29 April 1945 anggota BPUPKI dipilih. Anggota
BPUPKI beranggotakan 63 orang, dengan ketua Dr. Rajiman Wedyodiningrat dan wakil ketua
Icibangase dari Negara Jepang dan sekretarisnya, R.P. Soeroso. Anggota BPUPKI setelah itu
ditambahkan 7 orang. Anggota BPUPKI resmi diumukan pada tanggal 28 Mei 1945 dan
upacaranya dilaksanakan di Gedung Cuo Sangi In di Pejambon Jakarta. Sidang Pertama Tanggal
28 Mei - 01 Juni 1945 (Pidato M. Yamin, Soepomo, dan Soekarno tentang Dasar Negara).
Sidang Kedua Tanggal 10 – 16 Juli 1945
1. 10 Juli 1945 Panitia Kecil BPUPKI berhasil merumuskan dasar negara dan membahas
perumusan UUD 45.
2. 11 Juli 1945 Panitia perancang UUD sepakat menjadikan Piagam Jakarta sebagai
Pembukaan UUD 45.
3. 14 Juli 1945, Panitia Kecil BPUPKI, dipimpin Supomo melaporkan hasil Panitia Perancang
UUD yang terdiri dari pernyataan kemerdekaan, pembukaan UUD, dan batang tubuh.

Pidato Perumus Dasar Negara


Prof. Moh. Yamin SH. (29 Mei 1945)
Secara lisan :
1. Peri kebangsaan
2. Peri kemanusiaan
3. Peri ketuhanan
4. Peri kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat
Secara tulisan :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kebangsaan Persatuan Indonesia
3. Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
4. Kerayatan Yang Dipimpin oleh Hikmat  Kebijaksanaan dalam Permusayawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia 

Prof. Mr. Dr. Soepomo SH. (31 Mei 1945)


1. Paham negara kesatuan
2. Perhubungan negara dengan agama
3. Sistem badan permusyawaratan
4. Sosialisasi negara
5. Hubungan antarbangsa
Yang berbunyi:
1. Persatuan Indonesia
2. Ketuhanan Yang Maha Esa
3. Kerakyatan yang berdasarkan permusyawaratan perwakilan
4. Pemerataan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
5. Kemakmuran Indonesia dalam ikatan Asia Timur Raya

Ir. Soekarno (1 Juni 1945)


1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau peri kemanusiaan
3. Mufakat atau demokrasi
4. Kesejahteraan sosial
5. Ketuhanan yang berkebudayaan
Kelima pendapat ini diberinya nama ‘Pancasila’, maka tanggal 1 Juni 1945 ini diperingati
sebagai Hari Lahirnya Pancasila.
 
Rumusan Versi Piagam Djakarta (Jakarta Charter) pada 22 Juni 1945
1. Ketoehanan dengan kewadjiban mendjalankan sjari'at Islam bagi pemeloek-pemeloeknja
2. Kemanoesiaan jang adil dan beradab
3. Persatoean Indonesia
4. Kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat, kebidjaksanaan dalam permoesjarawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seloeroeh Rakjat Indonesia.

PPKI
Pada tanggal 9 Agustus 1945, BPUPKI dibubarkan oleh Jepang. Kemudian Jepang
membentuk PPKI (Dokuritsu Zyunbi Iinkai) oleh Jendral Terauchi untuk melanjutkan hasil kerja
BPUPKI. PPKI dibentuk dengan beranggotakan 21 orang yang setelah itu ditambahkan 6 orang
anggota lagi dan diketuai oleh Ir. Soekarno. Tugas PPKI pada awalnya adalah untuk
mempersiapkan kemerdekaan yang telah dijanjikan Jepang pada tanggal 24 Agustus 1945.
Agar tidak terkesan bahwa PPKI adakah bentukan Jepang, maka Ir. Soekarno
menambahkan 6 anggota baru yang membuat PPKI beranggotakan 27 orang. Sidang PPKI yang
pertama diadakan pada tanggal 18 Agustus 1945 yang membahas tentang penetapan konstitusi
negara, presiden, wakil presiden, dan lembaga-lembaga yang akan membantu presiden.
Namun, sebelum sidang dimulai, Bung Hatta dan beberapa tokoh Islam mengadakan
pembahasan untuk mencari penyelesaian masalah kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang terdapat dalam Jakarta Charter. Hal
ini dilakukan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Hasil Sidang Pertama PPKI:
1. Menetapkan dan mengesahkan UUD 1945
2. Memilih presiden dan wakil presiden (Soekarno dan Moh. Hatta)
3. Membentuk Komite Nasional Indonesia sebagai badan musyawarah darurat.

Undang-Undang Dasar 1945


a. Keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
b. Berita Negara RI II No.7 tanggal 15 Febuari 1946.
Sistematika sebagai berikut:
a. Pembukaan terdiri dari 4 alinea
b. Batang tubuh terbagi dalam 16 bab, 37 pasal, 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan
Tambahan
c. Penjelasan yang meliputi Penjelanan Umum dfan Penjelasan pasal demi pasal
Rumusan Pancasila tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat.
1. Ketuhanan yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Konferensi Meja Bundar


Isi Konferensi Meja Bundar adalah sebagai berikut;
1. Indonesia menjadi negara federal dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS),
2. Hutang bekas pemerintah Hindia Belanda ditanggung oleh RIS,
3. RIS dan Kerajaan Belanda bergabung yang merupakan uni Indonesia-Belanda di bawah Ratu
Belanda sebagai kepala uni,
4. Pengakuan kedaulatan dilaksanakan akhir tahun 1949,
5. Penyerahan Irian Barat diserahkan satu tahun setelah KMB.

Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949


a. Kepres No. 48 tahun 1950 tanggal 31 Januari 1950.
b. Sifat berlakunya sementara sesuai pasal 186, yaitu Konstituante bersama-sama pemerintah
selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi RIS yang akan menggantikan Konstitusi pertama.
Sistematika sebagai berikut:
a. Mukaddimah terdiri dari 4 alinea
b. Batang Tubuh terdiri dari 6 Bab dan 197 pasal.

Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950


Lahirnya Negara RIS merupakan siasat para pimpinan kita untuk memperoleh pengakuan
kedaulatan dari Belanda. Tetapi cita-cita tetap Negara kesatuan. Untuk mempercepat kembali ke
bentuk Negara kesatuan, dibentuk panitia bersama dengan tugas merancang UUD sementara.
Sistematika sebagai berikut:
a. Mukadimah terdiri dari 4 alinea
b. Batang Tubuh terdiri dari 6 Bab dan 146 pasal
c. Tidak ada penjelasan.
Rumusan Pancasila tercantum dalam mukaddimah UUDS 1950 alinea keempat.
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Peri Kemanusiaan
3. Kebangsaan
4. Kerakyatan
5. Keadilan Sosial

Kembali ke UUD 1945 (5 Juli 1959 – Sekarang)


Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga sekarang, UUD 1945 terus berlaku dan di
berlakukan sebagai hukum dasar. Sifatnya masih sebagai UUD sementara. Namun, pada masa
orde baru, konsolidasi kekuasaan lama kelamaan semakin terpusat. Di sisi lain, siklus kekuasaan
mengalami stagnasi yang statis karena pucuk pimpinan pemerintah tidak mengalami pergantian
selama 32 tahun.
Rumusan Pancasila tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat;
1. Ketuhanan yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Akibatnya, UUD 1945 mengalami proses sakralisasi yang irasional semasa rezim orde
baru. UUD 1945 tidak diizinkan bersentuhan dengan ide perubahan sama sekali. Padahal, UUD
1945 jelas merupakan UUD yang masih sementara.

C. PANCASILA SEBAGAI DASAR NILAI PENGEMBANGAN ILMU

Aspek Penting dalam Ilmu Pengetahuan


Aspek fenomenal menunjukan bahwa ilmu pengetahuan mewujud/memanifestasikan
dalam bentuk masyarakat, proses, dan produk. Sebagai masyarakat, ilmu pengetahuan
menampakkan diri sebagai suatu masyarakat atau kelompok elit yang dalam kehidupan
kesehariannya begitu mematuhi kaidah-kaidah ilmiah, yang menurut paradigma Merton disebut
universalisme, komunalisme, dan skeptisisme yang teratur dan terarah. Sebagai proses, ilmu
pengetahuan menampakkan diri sebagai aktivitas atau kegiatan kelompok elit tersebut dalam
upayanya untuk menggali dan mengembangkan ilmu melalui penelitian, eksperimen, ekspedisi,
seminar, konggres. Sebagai produk, ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai hasil kegiatan
kelompok elit tadi berupa teori, ajaran, paradigma, temuan-temuan lain sebagaimana
disebarluaskan melalui karya-karya publikasi yang kemudian diwariskan kepada masyarakat
dunia.
Aspek struktural menunjukan bahwa ilmu pengetahuan di dalamnya terdapat unsur-unsur
sebagai berikut;
1. Sasaran yang dijadikan objek untuk diketahui (Gegenstand)
2. Objek sasaran ini terus-menerus dipertanyakan dengan suatu cara (metode) tertentu tanpa
mengenal titik henti. Suatu paradoks bahwa ilmu pengetahuan yang akan terus berkembang
justru muncul permasalahan-permasalah baru yang mendorong untuk terus menerus
mempertanyakannya.
3. Ada alasan dan motivasi mengapa gegenstand itu terus menerus dipertanyakan.
4. Jawaban-jawaban yang diperoleh kemudian disusun dalam suatu kesatuan sistem (Koento
Wibisono, 1985)

Pilar-Pilar Penyangga bagi Eksistensi Ilmu Pengetahuan


Pilar ontologi (ontology), selalu menyangkut problematika tentang keberadaan
(eksistensi);
 Aspek kuantitas: Apakah yang ada itu tunggal, dual atau plural (monisme, dualisme,
pluralisme )
 Aspek kualitas (mutu, sifat): bagaimana batasan, sifat, mutu dari sesuatu (mekanisme,
teleologisme, vitalisme dan organisme).
Pengalaman ontologis;
 Dapat memberikan landasan bagi penyusunan asumsi, dasar-dasar teoritis, dan membantu
terciptanya komunikasi interdisipliner dan multidisipliner.
 Membantu pemetaan masalah, kenyataan, batas-batas ilmu dan kemungkinan kombinasi
antar ilmu.
Pilar epistemologi (epistemology), selalu menyangkut problematika tentang sumber
pengetahuan, sumber kebenaran, cara memperoleh kebenaran, kriteria kebenaran, proses, sarana,
dasar-dasar kebenaran, sistem, prosedur, strategi.
Pengalaman epistemologis dapat memberikan sumbangan;
 Sarana legitimasi bagi ilmu/menentukan keabsahan disiplin ilmu tertentu,
 Memberi kerangka acuan metodologis pengembangan ilmu,
 Mengembangkan ketrampilan proses,
 Mengembangkan daya kreatif dan inovatif.
Pilar aksiologi (axiology), selalu berkaitan dengan problematika pertimbangan nilai (etis,
moral, religius) dalam setiap penemuan, penerapan atau pengembangan ilmu. Pengalaman
aksiologis dapat memberikan dasar dan arah pengembangan ilmu, mengembangkan etos
keilmuan seorang profesional dan ilmuwan (Iriyanto Widisuseno, 2009).

Prinsip-Prinsip Berpikir Ilmiah


 Objektif, yaitu cara memandang masalah apa adanya, terlepas dari faktor-faktor subjektif,
misalnya perasaan, keinginan, emosi, sistem keyakinan, otorita.
 Rasional, yaitu menggunakan akal sehat yang dapat dipahami dan diterima oleh orang lain.
Mencoba melepaskan unsur perasaan, emosi, sistem keyakinan dan otorita.
 Logis, yaitu berfikir dengan menggunakan azas logika/runtut/ konsisten, implikatif. Tidak
mengandung unsur pemikiran yang kontradiktif. Setiap pemikiran logis selalu rasional, begitu
sebaliknya yang rasional pasti logis.
 Metodologis, yaitu selalu menggunakan cara dan metode keilmuan yang khas dalam setiap
berfikir dan bertindak, misalnya induktif, dekutif, sintesis, hermeneutik, intuitif).
 Sistematis, yaitu setiap cara berfikir dan bertindak menggunakan tahapan langkah prioritas
yang jelas dan saling terkait satu sama lain. Memiliki target dan arah tujuan yang jelas.

Masalah Nilai dalam IPTEK


1. Keserbamajemukan ilmu pengetahuan dan persoalannya
 Ilmu pengetahuan tidak lagi satu, kita tidak bisa mengatakan inilah satu-satunya ilmu
pengetahuan yang dapat mengatasi problem manusia dewasa ini.
 Secara metodis dan sistematis manusia mencari azas-azas sebagai dasar untuk memahami
hubungan antara gejala-gejala yang satu dengan yang lain sehingga bisa ditentukan
adanya keanekaan di dalam kebhinekaannya.
 a) Mengapa timbul spesialisasi?
 Spesialisasi di samping tuntutan kemajuan ilmu juga dapat meringankan beban manusia
untuk menguasai ilmu dan mencukupi kebutuhan hidup manusia. Seseorang tidak
mungkin menjadi generalis, yaitu menguasai dan memahami semua ilmu pengetahuan
yang ada (Sutardjo, 1982).
 b) Persoalan yang timbul dalam spesialisasi
 Spesialisasi mengandung segi-segi positif, namun juga dapat menimbulkan segi negatif.
Segi positif ilmuwan dapat lebih fokus dan intensif dalam melakukan kajian dan
pengembangan ilmunya. Segi negatif, orang yang mempelajari ilmu spesialis merasa
terasing dari pengetahuan lainnya.
2. Dimensi moral dalam pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan.
Arah pemikiran: (a) apakah ada kaitan antara moral atau etika dengan ilmu pengetahuan,
(b) saat mana dalam pengembangan ilmu memerlukan pertimbangan moral/etik?
Permasalahan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berupa adanya
keterbatasan ilmu pengetahuan itu menghadapi masalah-masalah yang menyangkut hidup serta
pribadi manusia. Misalnya, menghadapi soal transplantasi jantung, pencangkokan genetis,
problem mati hidupnya seseorang, ilmu pengetahuan menghadapi keterbatasannya. Ia butuh
kerangka pertimbangan nilai di luar disiplin ilmunya sendiri.
Akibat teknologi pada perilaku manusia, yaitu:
 Penemuan teknologi yang mengatur perilaku ini menyebabkan kemampuan perilaku
seseorang diubah dengan operasi dan manipulasi syaraf otak,
 Penyelidikan dan pemahaman mendalam tentang kelakuan manusia,
 Menyebabkan penggunaan media untuk mengatur kelakuan manusia,
 Kelakuan seseorang dikontrol oleh teknologi,
 Pemakaian teknologi modern condong mengasingkan manusia dari eksistensinya sebagai
pekerja.
3. Beberapa pokok nilai yang perlu diperhatikan dalam pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
a. Rumusan hak azasi merupakan sarana hukum untuk menjamin penghormatan terhadap
manusia. Individu-individu perlu dilindungi dari pengaruh penindasan ilmu pengetahuan,
b. Keadilan dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi sebagai hal yang mutlak.
Perkembangan teknologi sudah membawa akibat konsentrasi kekuatan ekonomi maupun
politik. Jika kita ingin memanusiawikan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
berarti bersedia mendesentralisasikan monopoli pengambilan keputusan dalam bidang
politik, ekonomi. Pelaksanaan keadilan harus memberi pada setiap individu kesempatan
yang sama menggunakan hak-haknya.
c. Soal lingkungan hidup. Tidak ada seorang pun berhak menguras/mengeksploitasi
sumber-sumber alam dan manusiawi tanpa memperhatikan akibat-akibatnya pada seluruh
masyarakat. Ekologi mengajar kita bahwa ada kaitan erat antara benda yang satu dengan
benda yang lain di alam ini.
d. Nilai manusia sebagai pribadi. Dalam dunia yang dikuasai teknik, harga manusia dinilai
dari tempatnya sebagai salah satu instrumen sistem administrasi kantor tertentu.
Akibatnya manusia dinilai bukan sebagai pribadi tapi lebih dari sudut kegunaannya atau
hanya dilihat sejauh ada manfaat praktisnya bagi suatu sistem. Nilai sebagai pribadi
berdasar hubungan sosialnya, dasar kerohanian dan penghayatan hidup sebagai manusia
dikesampingkan. Bila pengembangan ilmu dan teknologi mau manusiawi, perhatian pada
nilai manusia sebagai pribadi tidak boleh kalah oleh mesin. Hal ini penting karena sistem
teknokrasi cenderung dehumanisasi (T. Yacob, 1993).

45 Butir Nilai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila


I. KETUHANAN YANG MAHA ESA
1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaannya terhadapTuhan Yang
Maha Esa.
2. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan
agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dan
penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.
5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa yang dipercayai dan
diyakini.
6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
kepada orang lain.
II. KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
1. Mengakui memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
2. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa
membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan
sosial, warna kulit dan sebagainya.
3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
4. Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepa selira.
5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
7. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
8. Berani membela kebenaran dan keadilan.
9. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
10. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
III. PERSATUAN INDONESIA
1. Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa
dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan.
2. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
3. Mengembangkan rasa cinta tanah air dan bangsa.
4. Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
5. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
6. Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
7. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
IV. KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM
PERMUSYAWARATAN/PERWAKILAN
1. Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai
kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.
2. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
3. Menggunakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
5. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil
musyawarah.
6. Dengan itikat baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan
musyawarah.
7. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau
golongan.
8. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
9. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan
Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran
dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
10. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan
permusyawaratan.
V. KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA
1. Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana
kekeluargaan dan kegotong royongan.
2. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4. Menghormati hak orang lain.
5. Suka memberikan pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
6. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap
orang lain.
7. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup
mewah.
8. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bertentangan dengan atau merugikan
kepentingan umum.
9. Suka bekerja keras.
10. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan
kesejahteraan bersama.
11. Suka Melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan
keadilan sosial.

Pancasila sebagai Dasar Nilai dalam Strategi Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa; melengkapi ilmu pengetahuan menciptakan
perimbangan antara yang rasional dan irasional, antara rasa dan akal. Sila ini menempatkan
manusia dalam alam sebagai bagiannya dan bukan pusatnya.
Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab; memberi arah dan mengendalikan ilmu
pengetahuan. Ilmu dikembalikan pada fungsinya semula, yaitu untuk kemanusiaan, tidak hanya
untuk kelompok, lapisan tertentu.
Sila Persatuan Indonesia; mengkomplementasikan universalisme dalam sila-sila yang
lain, sehingga supra sistem tidak mengabaikan sistem dan sub-sistem. Solidaritas dalam sub-
sistem sangat penting untuk kelangsungan keseluruhan individualitas, tetapi tidak mengganggu
integrasi.
Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan; mengimbangi otodinamika ilmu pengetahuan dan teknologi
berevolusi sendiri dengan leluasa. Eksperimentasi penerapan dan penyebaran ilmu pengetahuan
harus demokratis dapat dimusyawarahkan secara perwakilan, sejak dari kebijakan, penelitian
sampai penerapan massal.
Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; keadilan sosial juga menjaga
keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, karena kepentingan individu tidak
boleh terinjak oleh kepentingan semu. Individualitas merupakan landasan yang memungkinkan
timbulnya kreativitas dan inovasi.

Pengertian Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK)
Pertama, bahwa setiap ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang dapat
dikembangkan haruslah tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Kedua, bahwa setiap iptek yang dikembangkan harus menyertakan nilai-nilai Pancasila
sebagai faktor internal pengembangan iptek itu sendiri.
Ketiga, bahwa nilai-nilai Pancasila berperan sebagai rambu normatif bagi pengembangan
iptek.
Keempat, bahwa setiap pengembangan iptek harus berakar dari budaya dan ideologi
bangsa Indonesia sendiri.

Pentingnya Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK)
Pertama, kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh iptek, baik dengan dalih
percepatan pembangunan daerah tertinggal maupun upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Kedua, menjadi sarana untuk mengontrol dan mengendalikan kemajuan iptek yang
berpengaruh pada cara berpikir dan bertindak.
Ketiga, nilai kearifan lokal yang menjadi simbol kehidupan diberbagai daerah digantikan
dengan gaya hidup global seperti; sikap bersahaja digantikan gaya hidup mewah,
konsumenrisme, solidaritas sosial digantikan semangat individualistis, musyawarah mufakat
digantikan voting.

D. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN DALAM BERMASYARAKAT,


BERBANGSA, DAN BERNEGARA

Pengertian Paradigma
Paradigma adalah suatu asumsi dasar dan teoritis yang umum (merupakan suatu sumber
nilai) sehingga merupakan suatu sumber hukum, metode, serta penerapan dalam ilmu
pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.
Istilah paradigma berkembang menjadi terminologi yang mengandung konotasi pengertian
sumber nilai, kerangka pikir, orientasi dasar, sumber asas serta tujuan dari suatu perkembangan,
perubahan serta proses dari suatu bidang tertentu termasuk dalam bidang pembangunan,
reformasi maupun dalam pendidikan.
Reformasi sebagai Paradigma Pembangunan
Tujuan negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD “melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia” merupakan tujuan negara hukum formal, ada pun rumusan
“memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa” merupakan tujuan negara
hukum material, yang secara keseluruhan sebagai tujuan khusus atau nasional. Adapun tujuan
umum atau internasional adalah “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional mengandung suatu konsekuensi
bahwa dalam segala aspek pembangunan nasional kita harus mendasarkan pada hakikat nilai-
nilai Pancasila karena nilai-nilai Pancasila mendasarkan diri pada dasar ontologis manusia
sebagai subyek pendukung Pancasila sekaligus sebagai subyek pendukung negara.
Unsur-unsur hakikat manusia “monopluralis” meliputi susunan kodrat manusia, terdiri
rokhani (jiwa) dan jasmani (raga), sifat kodrat manusia terdiri makhluk individu dan makhluk
sosial serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan makhluk
Tuhan YME.
Saat ini Indonesia tengah berada pada era reformasi yang telah diperjuangkan sejak tahun
1998. Bangsa Indonesia ingin menata kembali (reform) tatanan kehidupan yang berdaulat, aman,
adil, dan sejahtera. Namun, dalam mencapai terwujudnya reformasi bangsa Indonesia harus
mengalami berbagai dampak, baik dampak sosial, politik, ekonomi, terutama kemanusiaan.
Meskipun demikian ada satu yang tersisa dari keterpurukan bangsa Indonesia, yaitu keyakinan
akan nilai yang dimilikinya, yaitu nilai yang berakar dari pandangan hidup bangsa indonesia
yaitu nilai-nilai Pancasila.
Jadi reformasi yang dilakukan bangsa Indonesia adalah menata kehidupan bangsa dan
negara dalam suatu sistem negara dibawah nilai-nilai Pancasila, bukan menghancurkan dan
membubarkan bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila sangat tepat sebagai
paradigma( acuan, kerangka ) dan tolak ukur gerakan reformasi di Indonesia.

Pancasila sebagai Paradigma Reformasi


 Reformasi yang berketuhanan YME, artinya gerakan reformasi berdasarkan pada moralitas
ketuhanan dan harus mengarah pada kehidupan yang baik sebagai manusia makhluk Tuhan.
 Reformasi yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab. Artinya, gerakan reformasi
berlandaskan pada moral kemanusiaan yang luhur dan sebagai upaya penataan kehidupan
yang penuh penghargaan atas harkat dan martabat manusia.
 Reformasi yang berdasarkan nilai Persatuan. Artinya, gerakan reformasi harus menjamin tetap
tegaknya negara dan bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan. Gerakan reformasi yang
menghindarkan diri dari praktik dan perilaku yang dapat menciptakan perpecahan dan
disintegrasi bangsa.
 Reformasi yang berakar pada asas kerakyatan. Artinya, seluruh penyelenggaraan kehidupan
berbangsa dan bernegara harus dapat menempatkan rakyat sebagai subyek dan pemegang
kedaulatan.
 Reformasi yang bertujuan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yaitu demi
terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan POLEKSOSBUDHANKAM


Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Bidang Politik
Pengembangan dan pembangunan bidang politik harus mendasarkan pada tuntutan hak
dasar kemanusiaan yang di dalam istilah ilmu hukum dan kenegaraan disebut hak asasi manusia.
Dalam sistem politik, negara harus mendasarkan pada kekuasaan yang bersumber pada
penjelmaan hakikat manusia sebagai individu – mahluk sosial yang terjelma sebagai rakyat.
Drs. Moh. Hatta, menyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa,
atas dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab. Bahwa dalam politik negara harus mendasarkan
pada kerakyatan (sila IV), adapun pengembangan dan aktualisasi politik negara berdasarkan pada
moralitas berturut-turut moral ketuhanan (sila I), moral kemanusiaan (sila II) dan moral
persatuan, yaitu ikatan moralitas sebagai suatu bangsa (sila III). Adapun aktualisasi dan
pengembangan politik negara demi tercapainya keadilan dalam hidup bersama (sila V).

Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ekonomi


Mubyarto mengembangkan ekonomi kerakyatan, yaitu ekonomi humanistik yang
mendasarkan pada tujuan demi kesejahteraan rakyat secara luas. Maka sistem ekonomi Indonesia
mendasarkan atas kekeluargaan seluruh bangsa.
Tujuan ekonomi itu sendiri adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia, agar manusia
menjadi lebih sejahtera. Ekonomi harus mendasarkan pada kemanusiaan yaitu demi
kesejahteraan manusia, sehingga harus menghindarkan diri dari pengembangan ekonomi yang
hanya mendasarkan persaingan bebas, monopoli dan lainnya yang menimbulkan penderitaan
pada manusia, penindasan atas manusia satu dengan lainnya.

Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Sosial Budaya


Pengembangan sosial budaya pada masa reformasi dewasa ini kita harus mengangkat
nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia sebagai dasar nilai yaitu nilai-nilai Pancasila itu
sendiri. Prinsip etika Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik, artinya nilai-nilai Pancasila
mendasarkan pada nilai yang bersumber pada harkat dan martabat manusia sebagai makhluk
yang berbudaya. Pancasila sebagai kerangka kesadaran yang dapat mendorong untuk
universalisasi yaitu melepaskan simbol-simbol dari keterikatan struktur, dan transendentalisasi,
yaitu meningkatkan derajat kemerdekaan manusia, kebebasan spiritual.

Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Hankam


 Pertahanan dan keamanan negara harus mendasarkan pada tujuan demi tercapainya
kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa.
 Pertahanan dan keamanan negara haruslah mendasarkan pada tujuan demi kepentingan rakyat
sebagai warga negara.
 Pertahanan dan keamanan harus menjamin hak-hak dasar, persamaan derajat serta kebebasan
kemanusiaan
 Pertahanan dan keamanan diperuntukkan demi terwujudnya keadilan dalam masyarakat agar
negara benar-benar meletakkan pada fungsi yang sebenarnya sebagai suatu negara hukum dan
bukannya suatu negara yang berdasarkan kekuasaan.

Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Beragama


Pancasila telah memberikan dasar-dasar nilai yang fundamental bagi bangsa Indonesia
untuk hidup secara damai dalam kehidupan beragama di negara Indonesia. Dalam pengertian ini
maka negara menegaskan dalam pokok pikiran ke IV bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa “, ini berarti bahwa kehidupan dalam negara mendasarkan pada nilai-nilai
Ketuhanan.

Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Hukum


Bahwa semua produk hukum yang lahir di Indonesia (baik tertulis dan tak tertulis) seperti
UUD 1945, konvensi dan semua produk hukum lainnya haruslah, baik yang sudah dibentuk
maupun yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila yang ada
dalam Pancasila. Oleh karena itu, substansi hukum yang dikembangkan di Indonesia tentu saja
harus menggambarkan dan harus merupakan perwujudan atau penjabaran sila-sila yang
terkandung dalam Pancasila.

E. AKTUALISASI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN KAMPUS

Pemahaman Aktualisasi Pancasila


Aktualisasi adalah sesuatu mengaktualkan.
 Aktualisasi Pancasila secara objektif, yaitu melaksanakan Pancasila dalam setiap aspek
penyelenggaraan Negara meliputi eksekutif, legislative dan yudikatif dan dalam bidang
kehidupan kenegaraan lainnya.
 Aktualisasi Pancasila secara subjektif, yaitu pelaksanaan Pancasila dalam setiap pribadi,
perseorangan, warga Negara, dan penduduk. Pelaksanaan Pancasila secara subjektif sangat
ditentukan oleh kesadaran, ketaatan, serta kesiapan individu untuk mengamalkanan Pancasila.

Pemahaman Kampus
Kampus dari bahasa Latin; campus yang berarti “lapangan luas"”, “tegal”. Dalam
pengertian modern, kampus berarti sebuah kompleks atau daerah tertutup yang merupakan
kumpulan gedung-gedung universitas atau perguruan tinggi. Bisa pula berarti sebuah cabang
daripada universitas sendiri. Menurut kamus lengkap Bahasa Indonesia, kampus adalah daerah
lingkungan bangunan utama perguruan tinggi (universitas, akademi) tempat semua kegiatan
belajar mengajar dan administrasi berlangsung.
Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan Pendidikan Tinggi.
(Pasal 1 (6) UU No. 12 Tahun 2012). Pendidikan Tinggi berasaskan: kebenaran ilmiah;
penalaran; kejujuran; keadilan; manfaat; kebajikan; tanggung jawab; kebhinnekaan; dan
keterjangkauan.

Tridharma Perguruan Tinggi


Tridharma adalah kewajiban Perguruan Tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
 Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara
sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan
pemahaman dan/atau pengujian suatu cabang ilmu pengetahuan dan teknologi.
 Pengabdian kepada Masyarakat adalah kegiatan sivitas akademika yang memanfaatkan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan
kehidupan bangsa.
(UU No. 12 Tahun 2012)

Sivitas Akademika
Sivitas Akademika adalah masyarakat akademik yang terdiri atas dosen dan mahasiswa.
 Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan,
mengembangkan, dan menyebarluaskan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui
Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat.
 Mahasiswa adalah peserta didik pada jenjang Pendidikan Tinggi.
Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang
mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program
profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan
kebudayaan bangsa Indonesia. Sivitas Akademika merupakan komunitas yang memiliki tradisi
ilmiah dengan mengembangkan budaya akademik.

Pendidikan Tinggi
Pendidikan Tinggi berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Pasal
2 UU No. 12 Tahun 2012
Berfungsi:
 mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa;
 mengembangkan Sivitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing,
dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma; dan
 mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan
nilai Humaniora.
Pasal 4 UU No. 12 Tahun 2012
Bertujuan:
 berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil,
kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa;
 dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk
memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa;
 dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang memperhatikan dan
menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan umat
manusia; dan
 terwujudnya Pengabdian kepada Masyarakat berbasis penalaran dan karya Penelitian yang
bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pasal 4 UU No. 12 Tahun 2012

Budaya Akademik
Akademik berasal dari academia, yaitu sekolah yang diadakan Plato (Pranarka, 1983:37-
375). Istilah akademi yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar, sebagai tempat
dilakukannya kegiatan mengembangkan intelektual, mencakup pengertian kegiatan intelektual
yang bersifat refleksif, kritis, dan sistematis; merupakan seluruh sistem nilai, gagasan, norma,
tindakan, dan karya yang bersumber dari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sesuai dengan asas
Pendidikan Tinggi. (Pasal 11 ayat 2 UU No. 12 Tahun 2012)
Budaya Akademik menurut Suhadi (1998);
 Kritis, senantiasa mengembangkan sikap ingin tahu segala sesuatu untuk selanjutnya
diupayakan jawaban dan pemecahannya melalui suatu kegiatan ilmiah penelitian.
 Kreatif, senantiasa mengembangkan sikap inovatif, berupaya untuk menemukan sesuatu yang
baru dan bermanfaat bagi masyarakat.
 Obyektif, kegiatan ilmiah yang dilakukan harus benar-benar berdasarkan pada suatu
kebenaran ilmiah, bukan karena kekuasaan, uang atau ambisi pribadi.
 Analitis, suatu kegiatan ilmiah harus dilakukan dengan suatu metode ilmiah yang merupakan
suatu prasyarat untuk tercapainya suatu kebenaran ilmiah.
 Konstruktif, harus benar-benar mampu mewujudkan suatu karya baru yang memberikan asas
kemanfaatan bagi masyarakat.
 Dinamis, ciri ilmiah sebagai budaya akademik harus dikembangkan terus-menerus.
 Dialogis, dalam proses transformasi ilmu pengetahuan dalam masyarakat akademik harus
memberikan ruang pada peserta didik untuk mengembangkan diri, melakukan kritik serta
mendiskusikannya.
 Menerima kritik, sebagai suatu konsekuensi suasana dialogis yaitu setiap insan akademik
senantiasa bersifat terbuka terhadap kritik.
 Menghargai prestasi ilmiah/akademik, masyarakat intelektual akademik harus menghargai
prestasi akademik, yaitu prestasi dari suatu kegiatan ilmiah.
 Bebas dari prasangka, budaya akademik harus mengembangkan moralitas ilmiah yaitu harus
mendasarkan kebenaran pada suatu kebenaran ilmiah.
 Menghargai waktu, senantiasa memanfaatkan waktu seefektif dan seefisien mungkin,
terutama demi kegiatan ilmiah dan prestasi.
 Memiliki dan menjunjung tinggi tradisi ilmiah, memiliki karakter ilmiah sebagai inti pokok
budaya akademik.
 Berorientasi ke masa depan, mampu mengantisipasi suatu kegiatan ilmiah ke masa depan
dengan suatu perhitungan yang cermat, realistis dan rasional.
 Kesejawatan atau kemitraan, harus memiliki persaudaraan yang kuat untuk mewujudkan suatu
kerja sama yang baik.

Kebebasan Akademik, Kebebasan Mimbar, dan Otonomi Keilmuan


 Kebebasan Akademik merupakan kebebasan Sivitas Akademika dalam Pendidikan Tinggi
untuk mendalami dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi secara bertanggung
jawab melalui pelaksanaan Tridharma.
 Kebebasan Mimbar merupakan wewenang profesor dan/atau Dosen yang memiliki otoritas
dan wibawa ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai
sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya.
 Otonomi Keilmuan merupakan otonomi Sivitas Akademika pada suatu cabang Ilmu
Pengetahuan dan/atau Teknologi dalam menemukan, mengembangkan, mengungkapkan,
dan/atau mempertahankan kebenaran ilmiah menurut kaidah, metode keilmuan, dan budaya
akademik.
(UU No. 12 Tahun 2012)

Kampus sebagai Moral Force Pengembangan Hukum dan HAM


 Masyarakat kampus wajib senantiasa bertanggung jawab secara moral atas kebenaran
obyektif, tanggung jawab terhadap masyarakat bangsa dan negara, serta mengabdi kepada
kesejahteraan kemanusiaan.
 Sikap masyarakat kampus tidak boleh tercemar oleh kepentingan politik penguasa sehingga
benar-benar luhur dan mulia.
 Dasar pijak kebenaran masyarakat kampus adalah kebenaran yang bersumber pada ketuhanan
dan kemanusiaan.
 Permasalahan utama yang perlu mendapatkan perhatian dalam rangka pendidikan Pancasila
ini adalah pembangunan Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Apabila berbagai persoalan
utama dalam kehidupan ketatanegaraan kita semenjak kemerdekaan tidak lepas dari kekuatan
moral dari kalangan kampus, maka reformasi yang menjadi tuntutan utama kalangan kampus
tertentu tidak lepas dari upaya mereka dalam mencari solusi pemecahannya.
 Kampus melalui kajian ilmiah, mimbar akademik yang bebas, budaya akademik, dan berfikir
rasional objektif dengan menggunakan metodologi ilmiah dalam kerangka pelaksanaan
Tridharma Perguruan Tinggi, akan mempunyai peluang yang sangat besar untuk berperan
serta sebagai kekuatan moral (moral force) untuk mengaktualisasikan Pancasila dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Anda mungkin juga menyukai