Anda di halaman 1dari 3

PERSPEKTIF ISLAM TENTANG PEMIMPIN DALAM KONTEKS KEHIDUPAN BERBANGSA DAN

BERNEGARA

Konsep kepemimpinan dalam Islam mengenal beberapa istilah pemimpin. Masing-masing


istilah tersebut memiliki konteksnya masing-masing, sehingga satu istilah pemimpin hanya tepat
diimplementasikan dalam satu konteks saja. Adanya beberapa istilah pemimpin dalam Islam ini
menjadi bukti bahwa Islam merupakan agama yang sempurna dan kontekstual, dimana aturan dan
konsep yang mengacu kepada Al Qur’an dan Hadist selalu bisa diimplementasikan dalam berbagai
konteks kehidupan manusia, baik di masa kini maupun di masa yang akan datang.
Terdapat 2 istilah pemimpin dalam Islam yang umum dikenal oleh umat Islam dan seringkali
disamakan pengertian dan implementasinya satu sama lain, kedua istilah tersebut adalah Kholifah
dan Ulil amri. Selain ketiga istilah tersebut masih terdapat lagi istilah pemimpin dalam konsep
kepemimpinan Islam, akan tetapi penulis mengambil ketiga contoh istilah tersebut untuk
memudahkan pembaca memahami bagaimana implementasi knsep kepemimpinan Islam dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Istilah Kholifah merujuk pada fiman Alloh subhanahu wata’ala yaitu:

ً‫ض َخ لِ َيف ة‬ ِ ‫ك لِ ْل م اَل ئِ َك ِة إِ يِّن ج‬


ِ ‫اع ٌل يِف ا أْل َ ْر‬ َ َ َ‫َو إِ ْذ ق‬
َ َ ُّ‫ال َر ب‬
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". (QS. Al Baqaroh:30)

Istilah kholifah secara etimologi berarti pengganti, maka jika dikaitkan dengan ayat di atas
dimana kata kholifah tersebut muncul maka secara etimologi kholifah dapat diartikan sebagai
pengganti Alloh di muka bumi (kholifah fil ardhi). Istilah kholifah mulai digunakan paska Rasululloh
SAW wafat yang digunakan untuk menyebutkan para pengganti Rasululloh SAW yang kemudian kita
kenal sebagai khulafaurosyidin. Dalam tahap ini, istilah kholifah kemudian berganti makna menjadi
pemimpin. Kholifah kemudian dimaknai sebagai pemimpin umat yang lebih bersifat transenden
karena merujuk kepada ayat di atas, kewenangan yang diberikan kepadanya berasal langsung dari
Alloh subhanahu wata’ala melalui wasilah atau jalan muyawaroh.
Jika dilihat dalam sejarah, penerapan istilah kholifah ini sekilas mirip dengan penerapan
pemimpin dalam konteks negara-bangsa, karena seorang kholifah memiliki kewenangan untuk
membuat kebijakan dan menerapkan aturan hukum yang berdasarkan Islam dalam sebuah wilayah
kekuasaan. Akan tetapi, jika diteliti lebih lanjut, istilah kholifah secara implementatif tidaklah sama
dengan pemimpin dalam konteks negara-bangsa. Hal ini dikarenakan sifatnya yang transenden atau
berhubungan langsung dengan Alloh subhanahu wata’ala serta dikarenakan konsep khilafah dimana
seorang kholifah menjadi pemimpinnya berbeda dengan konsep negara-bangsa itu sendiri.
Istilah berikutnya adalah Ulil amri, dimana isitlah ini merujuk kepada firman Alloh subhanahu
wata’ala sebagai berikut:

‫ول َو أُو يِل ا أْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم‬ ِ ‫َط يع وا اللَّ ه و أ‬


ِ ِ َّ
َ ‫الر ُس‬
َّ ‫َط يعُ وا‬ َ َ ُ ‫آم نُ وا أ‬ َ ‫يَا أَيُّ َه ا ال ذ‬
َ ‫ين‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu”. (QS. An Nisa:59)

Sebagian besar ulama bersepakat bahwa istilah Ulil amri memiliki arti pemimpin negara, atau
istilah pemimpin yang dapat diimplementasikan dalam konteks negara-bangsa. Hal ini diperkuat
dengan pengertian ulil amri secara etimologis yang berarti yang mempunyai wewenang, urusan,
atau perintah. Bisa kita sebut sebagai pihak yang berwenang, yang mengatur urusan, atau
pemerintah.
Dalam upaya mendapatkan pemimpin yang sesuai dengan konsep kepemimpinan Islam, baik
itu pemimpin daerah (Bupati, Walikota dan Gubernur) maupun pemimpin negara (Presiden), umat
seringkali dipaksakan untuk menerima konsep kepemimpinan Islam yang merujuk kepada istilah
kholifah. Padahal dari segi makna maupun penerapan, istilah yang lebih tepat digunakan adalah
istilah ulil amri. Meskipun menurut pakar tafsir, Abu Jafar Muhammad bin Jarir At-Thabari (224-
310 H), atau yang lebih popular dengan sebutan Imam At-Thabari, di dalam kitab tafsirnya  Jâmi’
Al-Bayân ‘an Ta`wîl âyi Al-Qurân, popular dengan sebutan Tafsîr at-Thabarî, sebagai kitab tafsir
klasik yang banyak dirujuk oleh para mufassir berikutnya, menyebutkan bahwa para ahli ta'wil
berbeda pandangan mengenai arti ulil amri, pendapat dominan menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan ulil amri adalah umaro (pemimpin yang konotasinya adalah pemimpin
politik). Ulama-ulama yang berpendapat demikian diantaranya Abu Hurairah, Ibn Abbas, Ibn
Zaid, dan as-Suddy.
Imam Asy-Syafi’i menguatkan pendapat tersebut, yaitu maksud ulil amri adalah para
pemimpin/pemerintah (lihat, Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, VIII:106). Sehubungan
dengan itu Imam An-Nawawi membuat judul bab untuk hadis Ibnu Abbas Ra. mengenai tafsir
ayat ini dengan judul (terjemahnya) “Kewajiban taat kepada pemerintah selama bukan dalam
kemaksiatan dan diharamkannya hal itu dalam perbuatan maksiat.” Kemudian beliau
menukilkan ijma’ (konsensus) para ulama tentang wajibnya hal itu (Lihat,  Syarah
Shahih Muslim, VI:467).
Lantas bagaimana sebenarnya konsep pemimpin ideal jika mengacu kepada isitilah ulil amri
tersebut?
Dalam Islam seorang pemimpin dalam pengertian ulil amri, yang berkuasa atas suatu wilayah
dan suatu masyarakat-bangsa, setidaknya memiliki 3 karakteristik utama yaitu memiliki integritas,
kuat, dan amanah. Integritas mencakup sifat-sifat kepemimpinan yang ada pada diri Rasululloh SAW
seperti jujur (sidiq), tabligh (menyampaikan yang harus disampaikan), fathonah (cerdik, pandai,
memiliki kemampuan intelektual dan keilmuan yang cukup), dan adil. Pemimpin yang berintegritas
dalam pandangan Islam berarti pemimpin yang memiliki komitmen terhadap amanah yang diberikan
kepadanya. Komitmen ini berarti juga kesanggupan dan kemampuan untuk menjalankan dan
menjaga amanah tersebut.
Dalam kaitannya dengan integritas, maka seorang pemimpin dalam Islam haruslah memiliki
karakater yang kuat dan amanah. Kedua karakter tersebut akan mampu menopang terbentuk
integritas seorang pemimpin.
Di dalam Al Qur’an dinyatakan:

ِ ُّ ‫إِ َّن خ ي ر م ِن اس تَ أْ ج ر ت الْ َق ِو‬


ُ‫ي ا أْل َ م ني‬ َ َْ ْ َ ََْ
Artinya: “...karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada
kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. (QS. Al Qashas:26)

Ayat diatas menunjukan bahwa seorang pemimpin yang bekerja melayani rakyatnya yang
paling baik adalah pemimpin yang kuat serta dapat dipercaya (amanah).
Terkait dengan hal tersebut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam karyanya as-Siyasah as-
Syar’iyah menyatakan terkait kriteria pemimpin yang baik sebagai berikut: “Selayaknya untuk
diketahui siapakah orang yang paling layak untuk posisi setiap jabatan. Karena kepemimpinan yang
ideal itu memiliki dua sifat dasar: kuat (mampu) dan amanah”.
Terkait dengan sifat kuat seorang pemimpin, Ibu Taimiyah menjelaskan bahwa sifat ‘kuat’
untuk setiap pemimpin, tergantung dari medannya. Kuat dalam memimpin perang kembali kepada
keberanian jiwa dan kelihaian dalam berperang dan mengatur strategi. Karena inti perang adalah
strategi. Demikian pula kembali kepada kemampuan dalam menggunakan senjata perang.
Sementara kuat dalam menetapkan hukum di tengah masyarakat kembali kepada tingkat
keilmuannya memahami keadaan yang diajarkan Al Quran dan sunnah, sekaligus kemampuan untuk
menerapkan hukum itu.
Sedangkan untuk sifat amanah Beliau menjelaskan bahwa Sifat amanah, itu kembali kepada
kesungguhan orang untuk takut kepada Allah, tidak memperjual belikan ayat Allah untuk
kepentingan dunia, dan tidak takut dengan ancaman manusia.
Dalam kaitannya dengan sifat kuat dan amanah ini, dalam sejarah kepemimpinan Islam kita
dapat melihat dari sosok sahabat Rasululloh SAW yang juga menjadi kholifah sepeninggal
Rasulullulloh SAW, dia adalah Sayyidina Umar bin Khattab RA. Sosok Sayyidina Umar bin Khattab RA.
adalah salah satu sahabat Rosul yang memiliki watak keras. Sifatnya berangsur lunak setelah ia
menjadi pemimpin. Namun dengan lunak itu bukan berarti dia tidak tegas dalam melaksanakan
kebijakan-kebijakannya. Justru kedamaian sangat dirasakan pada masyarakat dibawah pimpinannya.
Atas kebijakan, ketegasan, dan kelembutannya, Sayyidina Umar bin Khattab RA. dicatat sebagai
pemimpin termakmur dalam masa kepemimpinan khulafaurrosyidin.
Amanah terhadap segala apa yang diserahkan, juga kuat menghadapi konspirasi dibalik layar
yang mampu menggoyangkan kepemimpinannya. Bila kuat tapi tidak amanah, maka bisa
membuahkan sikap diktator. Bila amanah namun lemah, ia mudah sekali diserang dengan berbagai
musuh dari luar. Intervensi terbuka lebar, karena lemahnya dalam bersikap, tidak tegas dan terlalu
menggampangkan perkara.
Karakter pemimpin yang berintegritas, kuat, dan amanah inilah yang sangat relevan dengan
kondisi bangsa Indonesia hari ini. Karakteristik pemimpin dalam perspektif Islam ini tidak hanya
dibutuhkan oleh umat muslim saja, tetapi oleh seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia ditengah
potensi-potensi perpecahan dan semakin jatuhnya citra kepemimpinan di Indonesia dalam berbagai
tingkatan pemerintahan.
Oleh karena itu, tahun politik yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini, khususnya
masyarakat Jawa Barat, haruslah dipergunakan sebaik-baiknya bagi kita umat Islam untuk bisa
menghasilkan pemimpin yang berintegritas, kuat, dan amanah sesuai dengan kriteria pemimpin yang
ideal dalam sudut pandang Islam. Semoga kiranya tulisan singkat ini bisa menjadi bahan referensi
bagi kita umat Islam dalam memilih pemimpin ke depan.

Wallohu’alam bisshowab...
Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh...

Anda mungkin juga menyukai