Anda di halaman 1dari 4

CATATAN SEJARAH RUNTUHNYA KHILAFAH: ORIENTASI POLITIK KEKUASAAN SUMBER KEJATUHAN

UMAT ISLAM

Islam dalam perjalanan sejarah umat manusia pernah mencatatkan kejayaan dan kontribusi yang
demikian besar bagi perkembangan peradaban manusia, tidak hanya dalam aspek spiritual atau
keagamaan semata, akan tetapi hampir dalam semua aspek kehidupan manusia. Kejayaan Islam
tersebut masih bisa kita lihat jejaknya pada masa-masa berdirinya Khilafah Islamiyah yang dimulai
sejak diteruskannya kepemimpinan umat Islam oleh 4 sahabat (khulafaurasyidin) Rasulullah
sholallahu’alaihi wassalam hingga keruntuhan Khalifah Utsmani di Turki pada tanggal 3 Maret 1924.
Di dalam Islam, khilafah dimaknai sebagai sebuah kepemimpinan Islam dengan mensyaratkan
adanya seorang khalifah sebagai pemimpin. Khilafah dijadikan sebagai model kepemimpinan Islam
paska wafatnya Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam dengan tujuan menjaga kesatuan dan
persatuan umat muslim sepeninggal Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam. Dengan demikian,
khilafah dalam tataran ideal secara praktis merupakan model kepemimpinan umat Islam seperti
yang dijalankan oleh Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam dengan menjadikan atau mengangkat
seorang pemimpin yang disebut khalifah. Konsekuensi dari hal itu adalah, seorang khalifah haruslah
seorang mukmin yang paling banyak mewarisi akhlak dan ilmu Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam
secara keseluruhan pada masanya. Inilah yang secara ideal menjadi legitimasi kekuasaan bagi
seorang khalifah seperti yang dimiliki oleh keempat para sahabat Rasulullah sholallahu ‘alaihi
wassalam. Legitimasi kekuasaan seorang khalifah, oleh karena itu bukan diperoleh melalui praktik-
praktik politik praktis apalagi politik berdarah, akan tetapi berjalan secara alamiah, dimana ummat
akan secara otomatis memberikan legitimasi kepada seseorang yang dalam kesehariannya benar-
benar menunjukan kapasitasnya sebagai pewaris ilmu dan akhlak Rasulullah sholallahu ‘alaihi
wassalam. Hal ini sesuai dengan firman Alloh SWT:

ُ ِ‫ قَالُوا أَتَجْ َع ُل فِيهَا َم ْن يُ ْف ِس ُد فِيهَا َويَ ْسف‬.ً‫ض َخلِيفَة‬


ُ‫ك ال ِّد َما َء َونَحْ ن‬ ِ ْ‫ك لِ ْل َماَل ئِ َك ِة إِنِّي َجا ِع ٌل فِي اأْل َر‬َ ُّ‫ال َرب‬َ َ‫َوإِ ْذ ق‬
َ‫ قَا َل إِنِّي أَ ْعلَ ُم َما اَل تَ ْعلَ ُمون‬.‫ك‬
َ َ‫ك َونُقَدِّسُ ل‬َ ‫نُ َسبِّ ُح بِ َح ْم ِد‬
Artinya: "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, sesungguhnya Aku hendak
menjadikan satu khalifah di muka bumi. Mereka (malaikat) berkata, apakah Engkau hendak
menjadikan di bumi itu siapa yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu? Tuhan berfirman,
sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." 

Hakikatnya Allah SWT lah yang menetapkan khalifah di muka bumi yang tugas intinya adalah
menjadikan Islam sebagai rahmatan lil alamin dan menyeru kepada umat untuk kembali kepada
Allah SWT, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam.
Dalam perjalanannya, fakta-fakta sejarah menunjukan khilafah yang dibangun di masa keempat
sahabat Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam, menunjukan dinamika politik perebutan kekuasaan,
sebuah dinamika yang seharusnya tidak terjadi dalam sebuah kepemimpinan yang didasarkan
kepada syari’at Islam. Khilafah yang seharusnya menjadi pemersatu umat Islam, justru menjadi
sumber perpecahan umat Islam. Khilafah yang secara konseptual menunjukan Islam sebagai
rahmatan lil alamin, justru menjadi sebab pertikaian berdarah diantara sesama umat. Khilafah yang
seharusnya menjadi sistem yang mendorong umat Islam untuk kembali kepada Allah SWT, justru
mendorong umat Islam dalam kesibukan dan hiruk pikuk perebutan kekuasaan dunia.
Sejarah mencatat setidaknya perpecahan dan konflik perebutan kekuasaan dalam khilafah telah
terjadi di masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan. Konflik pada masa kepemimpinan Khalifah
Utsman bin Affan dipicu oleh kecemburuan beberapa pihak terhadap Bani Umayyah yang diberikan
posisi penting dalam pemerintahan. Kecemburuan tersebut pada akhirnya menimbulkan beberapa
pemberontakan di beberapa wilayah, seperti yang dilakukan oleh Muawiyah ibn Abi Sufyan yang
menjadi gubernur di Siria, Walid ibn Uqbah menjadi gubernur di Iraq dan Abdullah ibn Sa’ad
gubernur Mesir. Utsman bin Affan akhirnya terbunuh dalam sebuah peristiwa pemberontakan yang
dihasut oleh Abdullah bin Saba.
Paska wafatnya Utsman bin Affan, posisi Khalifah jatuh ke tangan Sayyidina Ali bin Abi Tholib,
sepupu sekaligus menantu Rasulullah sholalallhu ‘alaihi wassalam. Kepemimpinan Khalifah bin Abi
Tholib dihadapkan kepada konflik yang diwariskan oleh Khalifah Ustman bin Affan. Dalam
menghadapi konflik tersebut Sayyidina Ali mencoba mengusulkan jalan kompromi dan dialog,
termasuk dalam menghadapi para penentangnya seperti Aisyah, Thalhah, dan Zubair yang menuntut
Sayyidina Ali segera menghukum pembunuh Utsman bin Affan. Hal ini dilakukan untuk menghindari
pertikaian diantara masyarakat Islam. Namum kompromi yang diajukan oleh Sayyidina Ali ditolak,
maka peperangan tidak bisa dihindarkan dan terjadilah Perang Jamal dimana Thalhah dan Zubair
gugur sedangkan Aisyah dikembalikan ke Madinah.
Selain Perang Jamal, Sayyidina Ali juga dihadapkan kepada perang dengan kelompok Muawiyah.
Dalam perang tersebut Muawiyah meminta damai dengan cara Tahkim. Dengan tipu muslihatnya
Muawiyah menang dalam Tahkim ini dan menyulut pertikaian baru antar umat Islam, yaitu dengan
terpecahnya umat Islam menjadi dua kelompok, yaitu pendukung Sayyidina Ali dan kelompok yang
keluar dari golongan Sayyidina Ali. Konflik ini berakhir pada tanggal 17 Ramadhan ketika Sayyidina Ali
terbunuh oleh kaum Khawarij yang fanatik yaitu Ibn Muljam. Selanjutnya, Hasan putra dari Sayyidina
Ali menyerahkan kekuasaan Khalifah secara penuh kepada Muawiyah agar harapannya umat Islam
bisa bersatu kembali.
Dalam periode inilah, khilafah tidak lagi terlihat sebagai sebuah kepemimpinan Islam yang
dibangun di atas iman dan ketaatan umat kepada pemimpin yang mewarisi ilmu dan akhlak
Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam, tetapi lebih kepada sebuah sistem pemerintahan dan
kekuasaan yang tidak berbeda dengan sistem kekuasaan monarki di Eropa, dimana Agama hanya
menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan absolut seorang penguasa.
Pada masa kepemimpinan Muawiyah, dibangunlah Dinasti Umayyah dimana kekuasaan dan
legitimasinya direbut dan dibangun diatas konflik berdarah dengan sesama umat Islam. Munculnya
Muawiyah sebagai Khalifah telah merubah sistem sosial politik masyarakat Islam. Ini dapat dilihat
dari sistem suksesi atau perpindahan kekuasaan dari Sayyidina Ali melalui cara kekerasan dan
kecurangan serta melanggar prinsip demokrasi yang telah berlaku sebelumnya dalam Islam dan
dipraktikkan oleh Khulafaurrasyidin dalam proses pergantian Khalifah. Kekuasaan dalam Dinasti
Umayyah ini berjalan layaknya sistem monarki dimana kekuasaan diwariskan kepada keturunan, hal
ini terlihat dari proses peralihan kekuasaan Khalifah dari Muawiyah kepada ananya Yazid.
Kekuasaan Dinasti Umayyah ini berakhir dengan keberhasilan pemberontakan yang dilakukan
oleh Bani Abbassiyah yang didukung oleh kelompok Syi’ah. Meskipun kepemimpinan Dinasti
Abbasiyah ini dalam proses perolehan kekuasaannya tidak terlepas dari jalan konflik dan perang,
akan tetapi setidaknya masa kepemimpinan Dinasti Abbasiyah mencatat beberapa kemajuan dalam
sejarah peradaban Islam, salah satunya ketika Dinasti Abbasiyah dipimpin oleh Khalifah Al Mahdi.
Dalam kebijakan politiknya Al Mahdi meneguhkan keberadaan Abbasiyah sebagai pemimpin agama,
menegakkan kebenaran di tengah ummat yang menyimpang dari ajaran Islam, serta membangun
pertahanan dan keamanan. Al Mahdi juga melakukan perluasan wilayah hingga ke wilayah Kabul,
Tabaristan, Sind, Cina, Farghana dan wilayah lainnya.
Puncak kemajuan Abbasiyah terjadi pada saat kekhalifahan Harun al-Rasyid dan puteranya al-
Makmun, kekhalifahan Abbasiyah berhasil menjadi pusat peradaban dunia pada saat itu dan
berpusat di ibu kotanya Baghdad. Banyak sekali buku-buku keilmuan hasil karya para ilmuwan yang
terdapat di lembaga-lembaga ilmu pengetahuan di kota Baghdad. Selain itu juga terdapat berbagai
bangunan pendidikan di Baghdad. Akan tetapi masa keemasan tersebut tidak berlangsung
selamanya, karena akibat konflik internal di dalam kekhalifahan. Konflik internal yang sangat
mempengaruhi pemerintahan, adalah konflik yang ditimbulkan oleh banyakanya pertikaian dan
perselisihan akibat perbedaan mazhab. Hal ini membuat kekhalifahan menjadi melemah. Kelemahan
Dinasti Abbasiyah tersebut menjadi momentum bangi bangsa Mongol untuk melakukan serangan ke
pusat Dinasti Abbasiyah yang berujung kepada kehancuran Dinasti Abbasiyah.
Fragmentasi kekuasaan pada masa Dinasti Abbasiyah sebelum masa kehancurannya di tangan
bangsa Mongol, telah melahirkan beberapa dinasti kecil di beberapa wilayah, salah satunya adalah
Dinasti Utsmaniyah di Asia Kecil, yang sekarang dikenal dengan wilayah Turki. Dinasti Utsmaniyah
meneruskan peradaban yang telah dibangun oleh daulah sebelumnya dan melanjutkan dengan
membangun peradaban yang maju dalam berbagai bidang. Raja-raja Turki Utsmani bergelar Sultan
dan juga sekaligus sebagai Khalifah, Sultan memiliki konotasi penguasa yang menguasai kekuasaan
duniawi, sedang Khalifah, berkuasa dalam bidang agama dan spiritual.
Kejayaan Dinasti Utsmaniyah yang berlangsung cukup lama, yaitu sekitar 6 abad, pada akhirnya
runtuh akibat dari konflik internal dan peperangan. Munculnya gerakan oposisi yang ditunggangi
barat dengan memanfaatkan rasa tidak puas beberapa kelompok terhadap pemerintahan yang
absolut, penuh kekerasan, dan sikap bermewah-mewahan para pejabat istana di masa
kepemimpinan Sultan Hamid II, menjadi faktor penting runtuhnya Dinasti Utsmaniyah. Puncaknya
adalah keberhasilan gerakan oposisi, nasionalis, dan pembaharu melakukan pembubaran Khalifah
Utsmani melalui Majelis Agung Nasional Turki pada tanggal 3 Maret 1924. Dinasti Utsmani menjadi
sistem khilafah terakhir yang pernah ada hingga saat ini.
Dari beberapa catatan sejarah perkembangan sistem khilafah tersebut kita dapat mengambil
beberapa hal penting, yaitu sebagai berikut:
Pertama, fakta sejarah menunjukan bahwa sistem khilafah seperti yang dicontohkan oleh
Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam menempatkan orientasi terhadap kekuasaan sebagai alat dan
bukan sebagai tujuan. Sistem kepemimpinan Islam yang dibangun oleh Rasulullah sholallahu ‘alaihi
wassalam di Madinah dilakukan dalam rangka menjamin berjalannya dakwah Islam kepada umat
manusia, menunjukan Islam sebagai rahmatan lil alamin dengan memberikan perlindungan kepada
umat beragama lainnya, yang berujung kepada menyeru segenap umat manusia untuk kembali
kepada Allah SWT.
Kedua, sistem khilafah yang berkembang paska khulafaurasyiddin berbeda jauh dengan sistem
khilafah yang telah berjalan dan dicontohkan oleh Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam. Khilafah
tidak lagi menjadi sekedar alat, akan tetapi sudah menjadi tujuan, orientasi kelompok-kelompok
yang berambisi memegang label khalifah lebih kepada kekuasaan semata. Orientasi kekuasaan inilah
yang menyebabkan terus terjadinya konflik internal di dalam sistem khilafah, menimbulkan perang
dan pertumpahan darah diantara sesama umat Islam. Sistem kepemimpinan dalam khilafah berjalan
dan diwariskan secara turun temurun dengan kekuasaan yang bersifat absolut, hampir serupa
dengan sistem pemerintahan monarki/kerajaan. Hal ini sangat berbeda jika merujuk kepada
bagaimana jalan Khalifah Abu Bakar as Shiddiq sebagai khalifah pertama setelah wafatnya Rasulullah
sholallahu ‘alaihi wassalam ditunjuk, yaitu berdasarkan kepada kesepakatan musyawarah seluruh
umat Islam yang ada saat itu karena melihat dan mengakui sosok Abu Bakar as Shiddiq sebagai
sahabat yang paling mewarisi ilmu dan akhlak Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam.
Ketiiga, khalifah paska khulafaurasyiddin dipandang sebagai sebuah legitimasi kekuasaan, bukan
dipandang sebagai amanah, yang menyebabkan banyak pihak berebut untuk mendapatkan jabatan
tersebut, bahkan dengan jalan fitnah, kekerasan, dan pertumpahan darah. Hal ini sangat berlawanan
jika kita merujuk kepada sikap Abu Bakar as Shiddiq yang sempat menolak menjadi khalifah karena
memandang hal tersebut sebagai amanah yang berat.
Dari catatan sejarah tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa sebuah kepemimpinan Islam tidak
akan pernah tegak berdiri selama Agama dan Dakwah hanya menjadi bungkus bagi nafsu dan niat
kita untuk memperoleh kekuasaan dunia. Kepemimpinan Islam pun tidak akan tegak selama iman
belum tegak di kalangan umat Islam yang menyebabkan gampangnya umat termakan fitnah dan
perpecahan. Orientasi kekuasaan dalam bungkus Agama hanya akan membuat umat masuk dalam
perpecahan dan pertikaian.
Oleh karena itu, dalam konteks pembangunan Islam, akan lebih bermanfaat bagi kita semua
untuk menegakan iman dan Islam pada diri kita masing-masing, berusaha sekuat mungkin menahan
godaan dan nafsu pada diri kita yang menyaebabkan orientasi keduniawian, seperti orientasi
berkuasa terhadap orang lain, orientasi merasa paling benar, dan sebagainya, menjadi lebih
dominan pada diri kita. Dengan tegaknya iman dan Islam pada diri kita yang mendorong kita menjadi
ikhsan, maka Alloh SWT akan menunaikan janjinya kepada kita untuk menegakan sekali lagi Islam di
muka bumi, untuk mempertemukan kita dengan para “khalifah-Nya” di setiap jaman. Hal ini seperti
apa yang disampaikan oleh Rasulullah sholallahu “alaihi wassalam:

ْ
ِ ‫ث لِهَ ِذ ِه اأْل ُ َّم ِة َعلَى َرأ‬
‫س ُكلِّ ِمائَ ِة َسنَ ٍة َم ْن يُ َج ِّد ُد لَهَا ِدينَهَا‬ ُ ‫إِ َّن هَّللا َ يَ ْب َع‬

Artinya: “Sesungguhnya Alloh akan membangkitkan untuk umat ini di setiap awal 100 tahun,
seseorang yang akan memperbaharui agama ini (Al Mujaddid)” (HR. Al-Imam Abu Daawud As-
Sijistaaniy rahimahullah).

Wallahu’alam bis showab


Semoga kita semua selalu berada dalam ridho dan lindungan Alloh SWT. Wassalamu’alaikum
waromatullohi wabarokatuh.

Anda mungkin juga menyukai