Anda di halaman 1dari 3

MUHASABAH DIRI AKHIR TAHUN 2018: MELURUSKAN NIAT, MENYEHATKAN AKAL

Mengingat sejauh mana waktu telah berjalan adalah hal penting yang harus diperhatikan umat
Islam. Setiap detik waktu yang telah kita lewati serta apa saja yang telah kita perbuat dalam mengisi
waktu tersebut, merupakan hisab bagi diri kita, dan pada saat bersamaan, menjadi bekal dan
pelajaran bagi mereka yang berpikir untuk memperbaiki diri dan mempersiapkan diri memasuki
waktu yang akan datang, memasuki kehidupan baru setelah kematian.
Terkait pentingnya waktu Allah SWT bahkan telah bersumpah atas nama waktu dalam
firmanNya:

‫الص ْب‬ َ ‫اص ْوا ِب ا ْل َحقِّ َو َت َو‬


َّ ‫اص ْوا ِب‬ َ ‫ت َو َت َو‬ َّ ‫س انَ لَفِي ُخ ْس ٍر إِاَّل الَّذِينَ آَ َم ُن وا َو َع ِملُ وا‬
ِ ‫الص ال َِحا‬ َ ‫ص ِر إِنَّ اإْل ِ ْن‬
ْ ‫َوا ْل َع‬

Artinya: “Demi masa, sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati
untuk kesabaran.” (QS. Al Ashr: 1-3)

Dalam surat tersebut, Allah SWT menjadikan waktu yang telah kita lewati sebagai saksi atas
apa-apa yang telah kita kerjakan serta menetapkan manusia yang mendapati kerugian karena tidak
mampu mempergunakan waktu yang mereka miliki dengan baik. Manusia dapat menghindari
kerugian dalam menggunakan waktu tersebut jika masuk ke dalam golongan manusia yang
memenuhi 3 unsur berikut:
1) Manusia yang beriman;
2) Manusia yang saling menasehati untuk kebenaran;
3) Manusia yang saling menasehati untuk kesabaran.

Manusia yang beriman ditetapkan dalam urutan yang pertama, yang menunjukan skala
prioritas, yang bisa diartikan bahwa sebelum kita menasehati orang lain dalam kebenaran dan
kesabaran, diri kita sendiri harus terlebih dahulu berada dalam iman, masuk ke dalam laa ilaha
ilallah, kalimatul iman, secara kaffah. Aspek iman ini berkaitan erat dengan pembahasan muhasabah
diri, karena sejatinya yang mengetahui kadar keimanan kita tidak lain hanyalah diri kita sendiri dan
Allah SWT.
Melakukan muhasabah terhadap diri, menjadi salah satu jalan untuk mendorong kita menjadi
benar-benar seorang hamba Allah SWT yang beriman. Dengan melakukan muhasabah diri, kita bisa
mengukur apakah diri kita telah memenuhi ciri dan tanda apa yang disebut dengan orang yang
beriman. Allah SWT dalam hal ini berfirman:

َ‫إِ َّن َما ٱ ْل ُم ْؤ ِم ُنونَ ٱلَّذِينَ إِ َذا ُذك َِر ٱهَّلل ُ َو ِجلَتْ قُلُو ُب ُه ْم َوإِ َذا ُتلِ َيتْ َعلَ ْي ِه ْم َءا ٰ َي ُتهُۥ َزادَ ْت ُه ْم إِي ٰ َم ۭ ًنا َو َعلَ ٰى َر ِّب ِه ْم َي َت َو َّكلُونَ ٱلَّذِينَ ُيقِي ُمون‬
ٓ
‫صلَ ٰو َة َو ِم َّما َر َز ْق ٰ َن ُه ْم ُينفِقُونَ أ ُ ۟و ٰلَئِ َك ُه ُم ٱ ْل ُم ْؤ ِم ُنونَ َح ۭ ًّقا ۚ لَّ ُه ْم َد َر ٰ َجتٌ ِعن َد َر ِّب ِه ْم َو َم ْغف َِر ۭةٌ َو ِر ْز ۭقٌ َك ِري ۭ ٌم‬
َّ ‫ٱل‬ 

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut
nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya
bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal, (yaitu) orang-
orang yang mendirikan salat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada
mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh
beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.” (Qs.
Al-Anfal ayat 2-4).

Lihatlah kepada diri kita masing-masing, sudahkah kita memenuhi ciri orang-orang beriman
seperti yang ditetapkan oleh Allah SWT???
Dalam ayat di atas terdapat 3 ciri utama orang-orang yang benar-benar beriman, yang pertama
dan utama adalah orang yang ketika disebutkan nama Allah SWT, maka gemetarlah hati mereka.
Orang beriman adalah mereka yang ketika mendengar kalimatul iman dilafadzkan secara dhohir,
maka hatinya ikut berdzikir (ingat) kepada Allah SWT. Dalam konteks ini, orang beriman adalah
mereka yang selalu ingat kepada Allah SWT, mereka yang selalu berdzikir kepada Allah SWT dalam
berbagai kondisi dan situasi, baik secara dhohir maupun batin. Di hati mereka telah tertanam
kalimatul iman “laa ilaha ilallah” sehingga hati mereka akan terus dzikir (ingat) kepada Allah SWT.
Dengan hati yang selalu dzikir (ingat) kepada Allah SWT maka berbuahlah menjadi akhlak yang
baik, mendorong kita untuk memunculkan ciri-ciri orang beriman berikutnya. Membuat kita menjadi
orang yang selalu tawakal kepada Allah SWT, menerima segala apa yang ditetapkan oleh Allah SWT,
mendorong kita untuk ringan menegakan sholat dan menyisihkan sebagian rizki kita, besar atau
kecil.
Oleh karena ciri iman yang utama letaknya di dalam hati, maka melalui muhasabahlah kita
dapat mengetahui apakah benar kita sudah masuk dalam golongan orang-orang yang beriman, atau
mungkin iman kita baru sebatas simbol dan ucapan saja?
Mari kita lihat fenomena umat Islam hari ini sebagai bahan renungan kita bersama, khususnya
di negeri kita sendiri, Indonesia. Hari ini kita melihat bagaimana ghiroh umat Islam di Indonesia
untuk menegakan kalimatul iman, kalimah tauhid, laa ilaha ilallah, telah berkembang dan meningkat
secara pesat, terakhir dapat kita saksikan pada peristiwa Reuni 212 beberapa waktu lalu.
Alhamdulillah, tentu saja ini merupakan hal yang sangat menggembirakan kita semua selaku umat
Islam. Kalimatul iman secara perlahan telah menjadi simbol terbentuknya ukhuwah diantara umat
Islam di Indonesia.
Meskipun demikian, setelah itu semua, perlulah kita melakukan muhasabah diri, mengukur diri
kita sendiri, benarkah kita telah masuk dalam golongan orang yang beriman? Mari kita menilik ke
dalam hati kita sendiri, apa kalimah tauhid tersebut sudah ada dalam hati kita. Seberapa banyak hati
kita dzikir (ingat) kepada Allah SWT? Atau jangan-jangan ketika kita merasa telah menjadi orang yang
beriman dengan membela simbol-simbol tauhid, ternyata hati kita lupa kepada Allah SWT, dengan
menyatakan bahwa inilah saya orang yang benar, orang yang beriman, yang tidak sejalan dengan
saya adalah orang yang salah, orang yang sesat, atau ketika kita membela simbol-simbol tauhid
ternyata niat kita bukan lillahita’ala, akan tetapi niat-niat lain, yang kita ingat justru hal yang bersifat
duniawi. Fokus kita kemudian tidak lagi kepada Allah SWT, tetapi kepada hal remeh temeh duniawi
seperti Pilpres, gerakan menegakan khilafah, perdebatan besar kecilnya jumlah massa, dan lain-lain,
lalu merasa itu semua adalah karena hasil upaya kita, naudzubillah...kita semua lupa bahwa tidak
sehelai pun daun yang jatuh ke bumi tanpa seijin Allah SWT, bahwa hakikatnya kita tidak memiliki
daya dan upaya.
Semua hal di atas hanya mungkin kita dapati jawabannya dengan melakukan muhasabah diri.
Jangan sampai apa yang telah kita kerjakan, dikarenakan hati yang lupa kepada Allah SWT, niat yang
tidak lurus, niat yang tidak ikhlas semata-mata karena Allah SWT, justru menjerumuskan kita masuk
kepada sikap sombong bahkan munafik. Jika kita temukan bahwa diri kita menyimpang, diri kita
ternyata belum sepenuhnya menjadi orang yang beriman, maka sudah sepatutnya lah kita perbaiki,
akan tetapi jika kita temukan diri kita telah berada pada jalur yang benar, hati yang dzikir (ingat)
kepada Allah SWT, niat yang lurus, maka sepatutnya kita perkuat iman tersebut dengan
meningkatkan amal ibadah kita.
Tolak ukur niat yang lurus atau tidak selain melihat ke dalam diri kita sendiri, juga dapat kita
lihat dari sikap kita yang dihasilkan dari niat tersebut. Sebagai contoh, kembali kepada masalah
bangkitnya ghirah umat Islam Indonesia, apakah dengan semakin kuatnya pembelaan kita terhadap
kalimah tauhid membuat kita menjadi bersikap lebih beradab dan mengedepankan akhlak? Mari kita
lihat, masih banyak dari kita yang semangat membela kalimah tauhid, pada saat bersamaan masih
sering terlibat perdebatan di ruang-ruang publik yang lebih banyak mudhorotnya daripada
manfaatnya, yang kemudian meninggalkan ahklak dan adab. Kemudian, kita juga bisa menyaksikan
secara jelas, hampir setiap hari, setiap jam, di lini media sosial, kita yang mengaku membela kalimah
tauhid masih terjebak dalam sikap saling menjelekan satu sama lain, bukan karena Allah SWT, tapi
karena perbedaan pilihan politik, karena kebodohan dan matinya akal sehat kita. Kita yang merasa
membela kalimah tauhid, begitu mudahnya menyebarkan sentimen-sentimen kebencian, lagi-lagi
karena niat yang tidak lurus dan matinya akal sehat.
Masih maraknya fenomena ini, menuntut kita untuk melakukan muhasabah diri, menilai diri
kita sendiri dan berhenti sejenak menilai orang lain. Jangan sampai dengan perasaan sombong kita
karena merasa benar, kita kemudian terus menilai orang lain dan menyatakan orang lain salah serta
buruk dan lupa menilai diri sendiri. Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam menyatakan:

“Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sehingga ditanya tentang
empat perkara: tentang umurnya, untuk apa dihabiskannya, tentang masa mudanya, digunakan
untuk apa, tentang hartanya, dari mana diperoleh dan kemana dihabiskan, dan tentang ilmunya,
apa yang dilakukan dengan ilmunya itu.” (HR. Tirmidzi).

Semua yang kita perbuat, baik perbuatan hati maupun perbuatan jasad kita, semua akan
dimintai pertanggung jawaban kelak. Oleh karena itu, seringlah melakukan muhasabah diri, tidak
hanya dalam momentum pergantian tahun ini, akan tetapi sesering mungkin, agar kita mampu terus
mengukur kadar keimanan kita masing-masing, agar kita terhindar dari niat yang tidak lurus yang
menyebabkan akal kita menjadi tidak sehat, menyebabkan kita terjerumus dalam golongan orang-
orang yang munafik.
Sebagai penutup, mari kita sama-sama renungi dan kembali menilai diri kita sendiri,
menghitung diri kita sendiri, sebelum kita dihisab di akhirat kelak. Mari kita jaga hati kita untuk
selalu dzikir (ingat) kepada Allah SWT, sehingga segala apa yang kita niatkan itu semata-mata karena
Allah SWT, bukan karena hal-hal duniawi yang dibungkus dengan simbol-simbol agama, sehingga
akal kita tetap sehat sehingga mampu menempatkan adab dan akhlak dalam setiap hubungan kita
dengan sesama manusia.

Semoga selalu diberkahi segalanya, semuanya, selamanya...wassalamu’alaikum warohmatullahi


wabarokatuh...

Anda mungkin juga menyukai