Anda di halaman 1dari 2

Teladan Kejujuran Rasulullah

Ilustrasi (ist)

Sama halnya seperti ibadah yang berangkat dari individu, sikap jujur dan kejujuran harus
berangkat dari individu. Jujur ini sudah tentu berdampak pada kehidupan secara luas,
karena ke mana pun melangkah, apapun yang terucap, dan bagaimana pun berperilaku,
penting bagi manusia menjunjung tinggi kejujuran.
 
Pakar bidang Tafsir Prof KH Nasaruddin Umar dalam Khutbah-khutbah Imam Besar (2018)
menjelaskan bahwa Nabi Muhammad pernah menegaskan ‘ibda’ bi nafsik (mulailah dari diri
sendiri). Dalam Al-Qur’an juga ada penegasan, kafa bi nafsik al-yauma hasiba (cukuplah
dirimu sendiri sebagai penghisab, penentu terhadapmu).

Dari penegasan Nabi Muhammad dan wahyu Allah SWT tersebut menggambarkan bahwa
pada akhirnya diri pribadi manusia yang lebih tahu, apakah sesungguhnya diri pribadi
manusia menjadi faktor terjadinya sebuah konflik dikarenakan kebohongan yang kita
sebarkan. Apalagi di era digital seperti sekarang di mana informasi mudah kita dapat,
mudah kita buat, dan mudah kita sebarkan sendiri.

Oleh kaum Quraisy pra-Islam, Nabi Muhammad SAW mendapat julukan al-Amin, orang
yang dapat dipercaya, artinya manusia yang sangat jujur hingga mendapat predikat
terhormat di antara kaumnya. Muhammad memulainya dari sendiri dan berdampak pada
kebaikan untuk orang lain dan orang-orang di sekitarnya.

Muhammad muda (12 tahun) kerap mengikuti pamannya Abdul Muthalib untuk berdagang.
Bahkan kadang-kadang ia ikut berdagang hingga ke negeri jauh seperti Syam (Suriah).
Diceritakan dalam Sirah Nabawiyah, tidak seperti pedagang pada umumnya, dalam
berdagang Muhammad dikenal sangat jujur, tidak pernah menipu baik pembeli maupun
majikannya.

Muhammad juga tidak pernah mengurangi timbangan atau pun takaran. Muhammad juga
tidak pernah memberikan janji-janji yang berlebihan, apalagi bersumpah palsu. Semua
transaksi dilakukan atas dasar sukarela, diiringi dengan ijab kabul. Muhammad pernah tidak
melakukan  sumpah untuk menyakinkan  apa yang dikatakannya, termasuk  menggunakan
nama Tuhan.

Pernah suatu ketika Muhammad berselisih paham dengan salah seorang pembeli. Saat itu
Muhammad menjual dagangan di Syam, ia bersitegang dengan salah satu pembelinya
terkait  kondisi  barang yang  dipilih oleh pembeli tersebut. Calon pembeli berkata kepada
Muhammad, “Bersumpahlah demi Lata dan Uzza!” Muhammad menjawab, “Aku tidak
pernah bersumpah atas  nama  Lata dan Uzza  sebelumnya.”

Kejujuran Muhammad kala itu cukup sebagai prinsip kuat yang dipegang secara mandiri
tanpa melibatkan Tuhan sekali pun. Karena baginya, orang akan melihat dan merasakan
sendiri terhadap kejujuran yang dipegangnya selama berdagang.

Prinsip Muhammad muda ini tentu saja bertolak belakang dengan fenomena keagamaan
simbolik di zaman sekarang. Agama hanya dijadikan simbol, bukan diwujudkan dalam
akhlak mulia sehari-hari. Memahami agama secara hitam dan putih dengan menawarkan
murahnya surga. Bahkan, Allah SWT dibawa-bawa dalam aktivitas duniawi seperti politik
praktis demi kepentingan kelompoknya.

Dimensi sosial tidak terlepas dari ibadah yang diamalkan oleh seorang Muslim. Dengan
kata lain, keshalehan individual akan menjadi bermakna jika bisa mewujudkan keshalehan
sosial. Hal ini terlihat ketika ibadah puasa yang bersifat sangat pribadi ujung-ujungnya
harus diakhiri dengan mengeluarkan zakat, yaitu ibadah yang memiliki dimensi sosial.

Sama halnya shalat yang merupakan ibadah individual, tetap diakhiri dengan salam lalu
menengok ke kanan dan ke kiri sebagai simbol memperhatikan lingkungan sosial. Hal ini
membuktikan bahwa ibadah vertikal harus diamalkan secara horisontal sehingga tercipta
kehidupan yang baik. (Fathoni)

Anda mungkin juga menyukai