Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Pengalaman beberapa negara berkembang khususnya negara-negara latin yang cendrung


memakai teknologi dalam industri yang ditransfer dari negara-negara maju (core industry) untuk
pembangunan ekonominya seringkali berakibat pada terjadinya distorsi tujuan. Keadaan ini terjadi
karena aspek-aspek dasar dari manfaat teknologi bukannya dinikmati oleh negara importir, tetapi
memakmurkan negara pengekspor atau pembuat teknologi. Negara pengadopsi hanya menjadi
konsumen dan ladang pembuangan produk teknologi karena tingginya tingkat ketergantungan akan
suplai berbagai jenis produk teknologi dan industri dari negara maju. Alasan umum yang digunakan
oleh negara-negara berkembang dalam mengadopsi teknologi (iptek) dan industri, searah dengan
pemikiran yang menyebutkan bahwa untuk masuk dalam era globalisasi dalam ekonomi dan era
informasi harus melewati gelombang agraris dan industrialis. Hal ini didukung oleh itikad pelaku
pembangunan di negara-negara untuk beranjak dari satu tahapan pembangunan ke tahapan
pembangunan berikutnya.

Tetapi akibat tindakan penyesuaian yang harus dipenuhi dalam memenuhi permintaan akan
berbagai jenis sumber daya (resources), agar proses industri dapat menghasilkan berbagai produk
yang dibutuhkan oleh manusia, seringkali harus mengorbankan ekologi dan lingkungan hidup
manusia. Hal ini dapat kita lihat dari pesatnya perkembangan berbagai industri yang dibangun dalam
rangka peningkatan pendapatan (devisa) negara dan pemenuhan berbagai produk yang dibutuhkan
oleh manusia.

Disamping itu, iptek dan teknologi dikembangkan dalam bidang antariksa dan militer,
menyebabkan terjadinya eksploitasi energi, sumber daya alam dan lingkungan yang dilakukan untuk
memenuhi berbagai produk yang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari.
Pengertian dan persepsi yang berbeda mengenai masalah lingkungan hidup sering menimbulkan
ketidak harmonisan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Akibatnya seringkali terjadi kekurang
tepatan dalam menerapkan berbagai perangkat peraturan, yang justru menguntungkan perusak
lingkungan dan merugikan masyarakat dan pemerintah.

B. Rumusan masalah
1. Apa itu limbah?
2. Apa saja yang termasuk kedalam limbah dan dampaknya terhadap lingkungan?
3. Bagaimana ciri-ciri perairan yang mengandung limbah?
C. Tujuan
1. Mengetahui apa itu limbah
2. Mengetahui apa saja yang termasuk kedalam limbah dan dampaknya terhadap lingkungan
3. Mengetahui ciri-ciri perairan yang mengandung limbah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Limbah

Definisi limbah atau Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) berdasarkan BAPEDAL (1995) ialah
setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan
beracun (B3) karena sifat (toxicity,flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau
jumlahnya yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan
lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia.

Limbah bahan berbahaya dan beracun, disingkat limbah B3, adalah sisa suatu usaha
dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat
dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat
mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan
hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.

Limbah dapat dikatakan sebagai limbah B3 apabila setelah melalui pengujian memiliki salah
satu atau lebih karakteristik mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, penyebab
infeksi, dan bersifat korosif.

Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun
domestik(rumah tangga), yang lebih dikenal sebagai sampah, yang kehadirannya pada suatu saat
dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau
secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia Senyawa organik dan Senyawa anorganik. Dengan
konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan
terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat
bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah.

Limbah memberikan arti teknis adalah sebagai barang yang dihasilkan oleh sebuah proses
dan dapat dikategorikan sebagai bahan yang sudah tidak terpakai . Limbah merupakan buangan
yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industry maupun domestic (rumah tangga atau yang
lebih dikenal sabagai sampah), yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak
dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Jenis sampah ini pada umumnya
berbentuk padat dan cair.

Sampah (refuse) atau limbah adalah sebagian dari sesuatu yang tidak dipakai, tidak
disenangi atau sesuatu yang harus dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan
oleh manusia (termasuk kegiatan industri), tetapi bukan biologis (karena human waste tidak
termasuk didalamnya) dan umumnya bersifat padat (Azwar, 1990). Sumber sampah bisa bermacam-
macam, diantaranya adalah : dari rumah tangga, pasar, warung, kantor, bangunan umum, industri,
dan jalan.

B. Macam-macam Limbah dan Bahaya Limbah


1. Berdasarkan sumbernya, limbah B3 dapat diklasifikasikan menjadi:
 Primary sludge, yaitu limbah yang berasal dari tangki sedimentasi pada pemisahan awal dan
banyak mengandung biomassa senyawa organik yang stabil dan mudah menguap.
 Chemical sludge, yaitu limbah yang dihasilkan dari proses koagulasi dan flokulasi.
 Excess activated sludge, yaitu limbah yang berasal dari proses pengolahan dengn lumpur
aktif sehingga banyak mengandung padatan organik berupa lumpur dari hasil proses
tersebut.
 Digested sludge, yaitu limbah yang berasal dari pengolahan biologi dengan digested aerobic
maupun anaerobic di mana padatan/lumpur yang dihasilkan cukup stabil dan banyak
mengandung padatan organik.

Limbah B3 dikarakterisasikan berdasarkan beberapa parameter yaitu total solids residue


(TSR), kandungan fixed residue(FR), kandungan volatile solids (VR), kadar air (sludge moisture
content), volume padatan, serta karakter atau sifat B3 (toksisitas, sifat korosif, sifat mudah terbakar,
sifat mudah meledak, beracun, serta sifat kimia dan kandungan senyawa kimia).

Contoh limbah B3 ialah logam berat seperti Al, Cr, Cd, Cu, Fe, Pb, Mn, Hg, dan Zn serta zat
kimia seperti pestisida, sianida, sulfida, fenol dan sebagainya. Cd dihasilkan dari lumpur dan limbah
industri kimia tertentu sedangkan Hg dihasilkan dari industri klor-alkali, industri cat, kegiatan
pertambangan, industri kertas, serta pembakaran bahan bakar fosil. Pb dihasilkan dari peleburan
timah hitam dan accu. Logam-logam berat pada umumnya bersifat racun sekalipun dalam
konsentrasi rendah.

2. Limbah Logam Berat Beracun di Perairan

Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari 5 gr/cm3, terletak
di sudut kanan bawah sistem periodik, mempunyai afinitas yang tinggi terhadap unsur S dan
biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari perioda 4 sampai 7 (Miettinen, 1977). Sebagian logam
berat seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), dan merkuri (Hg) merupakan zat pencemar yang berbahaya.
Afinitas yang tinggi terhadap unsur S menyebabkan logam ini menyerang ikatan belerang dalam
enzim, sehingga enzim bersangkutan menjadi tak aktif. Gugus karboksilat (-COOH) dan amina (-NH2)
juga bereaksi dengan logam berat. Kadmium, timbal, dan tembaga terikat pada sel-sel membran
yang menghambat proses transpormasi melalui dinding sel. Logam berat juga mengendapkan
senyawa fosfat biologis atau mengkatalis penguraiannya (Manahan, 1977).

Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya, maka tingkat atau daya racun logam berat terhadap
hewan air dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah) sebagai berikut merkuri (Hg), kadmium (Cd), seng
(Zn), timah hitam (Pb), krom (Cr), nikel (Ni), dan kobalt (Co) (Sutamihardja dkk, 1982). Menurut
Darmono (1995) daftar urutan toksisitas logam paling tinggi ke paling rendah terhadap manusia yang
mengkomsumsi ikan adalah sebagai berikut Hg 2+ > Cd2+ >Ag2+ > Ni2+ > Pb2+ > As2+ > Cr2+ Sn2+ > Zn2+.
Sedangkan menurut Kementrian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1990) sifat toksisitas
logam berat dapat dikelompokan ke dalam 3 kelompok, yaitu bersifat toksik tinggi yang terdiri dari
atas unsur-unsur Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn. Bersifat toksik sedang terdiri dari unsur-unsur Cr, Ni, dan
Co, sedangkan bersifat tosik rendah terdiri atas unsur Mn dan Fe.
Adanya logam berat di perairan, berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan
organisme, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Hal ini berkaitan
dengan sifat-sifat logam berat ( PPLH-IPB, 1997; Sutamihardja dkk, 1982) yaitu :

 Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan


keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan)
 Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan, dan akan membahayakan
kesehatan manusia yang mengkomsumsi organisme tersebut
 Mudah terakumulasi di sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi dari konsentrasi
logam dalam air. Disamping itu sedimen mudah tersuspensi karena pergerakan masa air
yang akan melarutkan kembali logam yang dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen
menjadi sumber pencemar potensial dalam skala waktu tertentu

Kadmium dalam air berasal dari pembuangan industri dan limbah pertambangan. Logam ini
sering digunakan sebagai pigmen pada keramik, dalam penyepuhan listrik, pada pembuatan alloy,
dan baterai alkali. Keracunan kadmium dapat bersifat akut dan kronis. Efek keracunan yang dapat
ditimbulkannya berupa penyakit paru-paru, hati, tekanan darah tinggi, gangguan pada sistem ginjal
dan kelenjer pencernaan serta mengakibatkan kerapuhan pada tulang (Clarkson, 1988; dan Saeni,
1997).

Tembaga merupakan logam yang ditemukan dialam dalam bentuk senyawa dengan sulfida
(CuS). Tembaga sering digunakan pada pabrik-pabrik yang memproduksi peralatan listrik, gelas , dan
alloy. Tembaga masuk keperairan merupakan faktor alamiah seperti terjadinya pengikisan dari
batuan mineral sehingga terdapat debu, partikel-partikel tembaga yang terdapat dalam lapisan
udara akan terbawa oleh hujan. Tembaga juga berasal dari buangan bahan yang mengandung
tembaga seperti dari industri galangan kapal, industri pengolahan kayu, dan limbah domestik.

Pada konsentrasi 2,3 – 2,5 mg/l dapat mematikan ikan dan akan menimbulkan efek
keracunan, yaitu kerusakan pada selaput lendir (Saeni, 1997). Tembaga dalam tubuh berfungsi
sebagai sintesa hemoglobin dan tidak mudah dieksresikan dalam urine karena sebagian terikat
dengan protein, sebagian dieksresikan melalui empedu ke dalam usus dan dibuang kefeses, sebagian
lagi menumpuk dalam hati dan ginjal, sehingga menyebabkan penyakit anemia dan tuberkulosis.

Logam timbal (Pb) berasal dari buangan industri metalurgi, yang bersifat racun dalam bentuk
Pb-arsenat. Dapat juga berasal dari proses korosi lead bearing alloys. Kadang-kadang terdapat dalam
bentuk kompleks dengan zat organik seperti hexaetil timbal, dan tetra alkil lead (TAL) (Iqbal dan
Qadir, 1990)

Pada hewan dan manusia timbal dapat masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan
minuman yang dikomsumsi serta melalui pernapasan dan penetrasi pada kulit. Di dalam tubuh
manusia, timbal dapat menghambat aktifitas enzim yang terlibat dalam pembentukan hemoglobin
yang dapat menyebabkan penyakit anemia. Gejala yang diakibatkan dari keracunan logam timbal
adalah kurangnya nafsu makan, kejang, kolik khusus, muntah dan pusing-pusing. Timbal dapat juga
menyerang susunan saraf dan mengganggu sistem reproduksi, kelainan ginjal, dan kelainan jiwa
(Iqbal dkk 1990; Pallar, 1994)

3. Limbah Udang sebagai Material Penyerap Logam Berat


Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya. Fungsi kulit udang
tersebut pada hewan udang (hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai pelindung (Neely dan
Wiliam, 1969). Kulit udang mengandung protein (25 % – 40%), kalsium karbonat (45% – 50%), dan
khitin (15% – 20%), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya.
sedangkan kulit kepiting mengandung protein (15,60% – 23,90%), kalsium karbonat (53,70 –
78,40%), dan khitin (18,70% – 32,20%), hal ini juga tergantung pada jenis kepiting dan tempat
hidupnya (Focher et al., 1992). Kandungan khitin dalam kulit udang lebih sedikit dari kulit kepiting,
tetapi kulit udang lebih mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak sebagai limbah.

Khitin berasal dari bahasa Yunani yang berarti baju rantai besi, pertama kali diteliti oleh
Bracanot pada tahun 1811 dalam residu ekstrak jamur yang dinamakan fungiue. Pada tahun 1823
Odins mengisolasi suatu senyawa kutikula serangga janis ekstra yang disebut dengan nama khitin
(Neely dan Wiliam, 1969). Khitin merupakan konstituen organik yang sangat penting pada hewan
golongan orthopoda, annelida, molusca, corlengterfa, dan nematoda. Khitin biasanya berkonyugasi
dengan protein dan tidak hanya terdapat pada kulit dan kerangkanya saja, tetapi juga terdapat pada
trachea, insang, dinding usus, dan pada bagian dalam kulit pada cumi-cumi (Neely dan Wiliam,
1969). Adanya khitin dapat dideteksi dengan reaksi warna Van Wesslink. Pada cara ini khitin
direaksikan dengan I2-KI yang memberikan warna coklat, kemudian jika ditambahkan asam sulfat
berubah warnanya menjadi violet. Perubahan warna dari coklat hingga menjadi violet menunjukan
reaksi positif adanya khitin.

Khitin termasuk golongan polisakarida yang mempunyai berat molekul tinggi dan merupakan
melekul polimer berantai lurus dengan nama lain -(1-4)-2-asetamida-2-dioksi-D-glukosa (N-asetil-D-
Glukosamin) (Hirano,b 1986; Tokura, 1995). Struktur khitin sama dengan selulosa dimana ikatan
yang terjadi antara monomernya terangkai dengan ikatan glikosida pada -(1-4). Perbedaannya
dengan selulosa adalah gugus hidroksil yangbposisi terikat pada atom karbon yang kedua pada
khitin diganti oleh gugus asetamida (NHCOCH2) sehingga khitin menjadi sebuah polimer berunit N-
asetilglukosamin (The Merck Indek, 1976).

Khitin mempunyai rumus molekul C18H26N2O10 (Hirano, 1976) merupakan zat padat yang tak
berbentuk (amorphous), tak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol,
dan pelarut organik lainnya tetapi larut dalam asam-asam mineral yang pekat. Khitin kurang larut
dibandingkan dengan selulosa dan merupakan N-glukosamin yang terdeasetilasi sedikit, sedangkan
khitosan adalah khitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin.

Khitosan yang disebut juga dengan merupakan turunan dari khitin melalui proses
deasetilasi. Khitosan juga merupakan suatu polimer multifungsi karena mengandung tiga jenis gugus
fungsi yaitu asam amino, gugus hidroksil primer dan skunder. Adanya gugus fungsi ini menyebabkan
khitosan mempunyai kreatifitas kimia yang tinggi (Tokura, 1995). Khitosan merupakan senyawa yang
tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan HNO3, dan H3PO4, dan tidak
larut dalam H2SO4. Khitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat
polielektrolitik (Hirano, 1986). Disamping itu khitosan dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-
zat organik lainnya seperti protein. Oleh karena itu, khitosan relatif lebih banyak digunakan pada
berbagai bidang industri terapan dan induistri kesehatan (Muzzarelli, 1986). Saat ini budi daya udang
dengan tambak telah berkembang dengan pesat, karena udang merupakan komoditi ekspor yang
dapat dihandalkan dalam meningkatkan ekspor non -migas dan merupakan salah satu jenis biota
laut yang bernilai ekonomis tinggi. Udang di Indonesia pada umumnya diekspor dalam bentuk udang
beku yang telah dibuang bagian kepala, kulit, dan ekornya.

Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan udang, dan pengolahan
kerupuk udang berkisar antara 30% – 75% dari berat udang. Dengan demikian jumlah bagian yang
terbuang dari usaha pengolahan udang cukup tinggi (Anonim, 1994). Limbah kulit udang
mengandung konstituen utama yang terdiri dari protein, kalsium karbonat, khitin, pigmen, abu, dan
lain-lain (Anonim, 1994). Meningkatnya jumlah limbah udang masih merupakan masalah yang perlu
dicarikan upaya pemanfaatannya. Hal ini bukan saja memberikan nilai tambah pada usaha
pengolahan udang, akan tetapi juga dapat menanggulangi masalah pencemaran lingkungan yang
ditimbulkan, terutama masalah bau yang dikeluarkan serta estetika lingkungan yang kurang bagus
(Manjang, 1993). Saat ini di Indonesia sebagian kecil dari limbah udang sudah termanfaatkan dalam
hal pembuatan kerupuk udang, petis, terasi, dan bahan pencampur pakan ternak. Sedangkan di
negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang, limbah udang telah dimanfaatkan di dalam industri
sebagai bahan dasar pembuatan khitin dan khitosan. Manfaatnya di berbagai industri modern
banyak sekali seperti industri farmasi, biokimia, bioteknologi, biomedikal, pangan, kertas, tekstil,
pertanian, dan kesehatan. Khitin dan khitosan serta turunannya mempunyai sifat sebagai bahan
pengemulsi koagulasi dan penebal emulsi (Lang, 1995).

Isolasi khitin dari limbah kulit udang dilakukan secara bertahap yaitu tahap pemisahan
protein (deproteinasi) dengan larutan basa, demineralisasi, tahap pemutihan (bleancing) dengan
aseton dan natrium hipoklorit. Sedangkan transformasi khitin menjadi khitosan dilakukan tahap
deasetilasi dengan basa berkonsentrasi tinggi, seperti terlihat pada gambar 1 (Ferrer et al., 1996;
Arreneuz, 1996., dan Fahmi, 1997). Khitin dan khitosan yang diperoleh dari limbah kulit udang
digunakan sebagai absorben untuk menyerap ion kadmium, tembaga, dan timbal dengan cara
dinamis dengan mengatur kondisi penyerapan sehingga air yang dibuang ke lingkungan menjadi air
yang bebas dari ion-ion logam berat. Mengingat besarnya manfaat dari senyawa khitin dan khitosan
serta tersedianya bahan baku yang banyak dan mudah didapatkan maka perlu pengkajian dan
pengembangan dari limbah ini sebagai bahan penyerap terhadap logam-logam berat diperairan.

4. Limbah Deterjen

Deterjen merupakan produk teknologi yang strategis, karena telah menjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari masyarakat modern mulai rumah tangga sampai industri. Deterjen umumnya
tersusun atas lima jenis bahan penyusun, yaitu :

 surfaktan, yang merupakan senyawa Alkyl Bensen Sulfonat (ABS) yang berfungsi untuk
mengangkat kotoran pada pakaian. ABS memiliki sifat tahan terhadap penguraian oleh
mikroorganisme (nonbiodegradable).
 senyawa fosfat (bahan pengisi), yang mencegah menempelnya kembali kotoran pada bahan
yang sedang dicuci. Senyawa fosfat digunakan oleh semua merk deterjen memberikan andil
yang cukup besar terhadap terjadinya proses eutrofikasi yang menyebabkan Booming Algae
(meledaknya populasi tanaman air)
 Pemutih dan pewangi (bahan pembantu), zat pemutih umumnya terdiri dari zat natrium
karbonat. Menurut hasil riset organisasi konsumen Malaysia (CAP) Pemutih dapat
menimbulkan kanker pada manusia. sedangkan untuk penwangi lebih banyak merugikan
konsumen karena bahan ini membuat makin tingginya biaya produksi, sehingga harga jual
produk semakin mahal. Padahal zat pewangi tidak ada kaitannya dengan kemampuan
mencuci.
 Bahan penimbul busa, yang sebenarnya tidak diperlukan dalam proses pencucian dan tidak
ada hubungan antara daya bersih dengan busa yang melimpah.
 Fluorescent, berguna untuk membuat pakaian lebih cemerlang.

Menurut Asosiasi Pengusaha Deterjen Indonesia (APEDI), surfaktan anionik yang digunakan
di Indonesia saat ini adalah alkyl benzene sulfonate rantai bercabang (ABS) sebesar 40% dan alkyl
benzene sulfonate rantai lurus (LAS) sebesar 60%. Dibandingkan dengan LAS, ABS merupakan
senyawa yang lebih sukar terurai secara alami. Oleh karenanya, pada banyak negara di dunia
penggunaan ABS telah dilarang dan diganti dengan LAS. Sedangkan di Indonesia, peraturan
mengenai larangan penggunaan ABS belum ada. Beberapa alasan masih digunakannya ABS dalam
produk deterjen, antara lain karena : harganya murah, kestabilannya dalam bentuk krim pasta dan
busanya melimpah.

Penggunaan deterjen dapat mempunyai risiko bagi kesehatan dan lingkungan. Risiko
deterjen yang paling ringan pada manusia berupa iritasi (panas, gatal bahkan mengelupas) pada kulit
terutama di daerah yang bersentuhan langsung dengan produk. Hal ini disebabkan karena
kebanyakan produk deterjen yang beredar saat ini memiliki derajat keasaman (pH) tinggi. Dalam
kondisi iritasi/terluka, penggunaan produk penghalus apalagi yang mengandung pewangi, justru
akan membuat iritasi kulit semakin parah.

Dalam jangka panjang, air minum yang telah terkontaminasi limbah deterjen berpotensi
sebagai salah satu penyebab penyakit kanker (karsinogenik). Proses penguraian deterjen akan
menghasilkan sisa benzena yang apabila bereaksi dengan klor akan membentuk senyawa
klorobenzena yang sangat berbahaya. Kontak benzena dan klor sangat mungkin terjadi pada
pengolahan air minum, mengingat digunakannya kaporit (dimana di dalamnya terkandung klor)
sebagai pembunuh kuman pada proses klorinasi. Saat ini, instalasi pengolahan air milik PAM dan
juga instalasi pengolahan air limbah industri belum mempunyai teknologi yang mampu mengolah
limbah deterjen secara sempurna.

Penggunaan fosfat sebagai builder dalam deterjen perlu ditinjau kembali, mengingat
senyawa ini dapat menjadi salah satu penyebab proses eutrofikasi (pengkayaan unsur hara yang
berlebihan) pada sungai/danau yang ditandai oleh ledakan pertumbuhan algae dan eceng gondok
yang secara tidak langsung dapat membahayakan biota air dan lingkungan. Di beberapa negara
Eropa, penggunaan fosfat telah dilarang dan diganti dengan senyawa substitusi yang relatif lebih
ramah lingkungan.

Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen, konsumen mempunyai hak untuk


memperoleh informasi suatu produk secara jelas, hak untuk memilih dan hak untuk
menuntut/menggugat produsen apabila produk mereka tidak sesuai dengan klaimnya Berkaitan
dengan hak konsumen tersebut, diperlukan transparansi dari produsen mengenai kandungan produk
deterjen yang dihasilkannya dalam bentuk pelabelan komposisi bahan baku.

Persepsi masyarakat bahwa deterjen yang menghasilkan busa melimpah mempunyai daya
cuci yang baik adalah tidak benar. Untuk merubah persepsi tersebut, diperlukan partisipasi baik dari
pihak konsumen maupun produsen. Di satu pihak, konsumenharus tahu bahwa tidak ada kaitan
antara daya cuci dan busa melimpah. Di lain pihak, produsen seharusnya tidak lagi menggunakan
“busa melimpah” dalam mempromosikan produknya.

Produksi deterjen Indonesia rata-rata per tahun sebesar 380 ribu ton. Sedangkan tingkat
konsumsinya, menurut hasil survey yang dilakukan oleh Pusat Audit Teknologi di wilayah Jabotabek
pada tahun 2002, per kapita rata-rata sebesar 8,232 kg. Regulasi yang berkaitan dengan deterjen di
Indonesia masih belum sepenuhnya mengakomodasi aspek lingkungan. Standar, sebagai salah satu
produk regulasi, yang berlaku sekarang dan digunakan sebagai acuan bagi produk deterjen sudah
berumur lebih dari 15 tahun dan tidak sesuai lagi dengan tuntutan produk yang berwawasan
lingkungan, sehingga perlu direvisi, seiring dengan perkembangan teknologi dan perkembangan
baku mutu lingkungan.

5. Limbah Tinja

Bagian yang paling berbahaya dari limbah domestik adalah mikroorganisme patogen yang
terkandung dalam tinja, karena dapat menularkan beragam penyakit bila masuk tubuh manusia,
dalam 1 gram tinja mengandung 1 milyar partikel virus infektif, yang mampu bertahan hidup selama
beberapa minggu pada suhu dibawah 10 derajat Celcius. Terdapat 4 mikroorganisme patogen yang
terkandung dalam tinja yaitu : virus, Protozoa, cacing dan bakteri yang umumnya diwakili oleh jenis
Escherichia coli (E-coli). Menurut catatan badan Kesehatan dunia (WHO) melaporkan bahwa air
limbah domestik yang belum diolah memiliki kandungan virus sebesar 100.000 partikel virus infektif
setiap liternya, lebih dari 120 jenis virus patogen yang terkandung dalam air seni dan tinja. Sebagian
besar virus patogen ini tidak memberikan gejala yang jelas sehingga sulit dilacak penyebabnya.

Saat ini E-coli adalah mikroorganisme yang mengancam Kali Mas. Bakteri penghuni usus
manusia dan hewan berdarah panas ini telah mengkontaminasi badan air Kali Mas, dari Kajian Dhani
Arnantha staf peneliti Lembaga kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah menyebutkan bahwa di
Hulu Kali Mas tepatnya di daerah Ngagel jumlah E-coli dalam 100 ml air Kali Mas mencapai 350
milyar – 1600 milyar padahal dalam baku mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah dalam PP
82/2001 tentang Pengendalian Limbah cair menyebutkan bahwa badan air yang dimanfaatkan
sebagai bahan baku air minum seperti Kali Mas kandungan E-coli dalam 100 ml air tidak boleh lebih
dari 10.000.

Setelah tinja memasuki badan air, E-coli akan mengkontaminasi perairan, bahkan pada
kondisi tertentu E-coli dapat mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh dan dapat tinggal di dalam
pelvix ginjal dan hati.

Tingginya tingkat pencemaran domestik Kali Mas memberikan dampak yang signifikan
terhadap kualitas kesehatan masyarakat yang tinggal disepanjang bantaran Kali Mas, hal ini merujuk
pada data yang dikeluarkan oleh Paguyuban Kanker Anak Jawa Timur RSUD Dr Soetomo Oktober
2003 yang menyebutkan bahwa 59% penderita kanker anak adalah leukimia dan sebagian besar dari
penderita kanker ini tinggal di Daerah Aliran Sungai Brantas (termasuk Kali Surabaya dan Kali Mas).
Jenis Kanker lainnya yang umum diderita Anak yang tinggal di Bantaran Kali adalah kanker syaraf
(neuroblastoma), Kanker kelenjar getah bening (Limfoma), kanker ginjal (tumor wilms), dan Kanker
Mata.
Ancaman serius ini harus memicu peran aktif Pemerintah dalam mengendalikan pencemaran
domestik, karena dibandingkan dengan Limbah cair industri, penanganan sumber limbah domestik
sulit untuk dikendalikan karena sumbernya yang tersebar. Upaya yang dimaksudkan bukan
penyuluhan kepada masyarakat untuk tidak membuang tinja atau deterjen kesungai, tetapi lebih
kepada mengarahkan industri-industri kita untuk menerapkan cleaner production (industri yang
berwawasan lingkungan) dengan menerapkan pengolahan limbah dan menghasilkan produk-produk
ramah lingkungan.

Sebagai konsumenpun masyarakat pemakai detergen juga harus berani memilih dengan
menggunakan produk-produk yang dihasilkan oleh industri yang telah memiliki predikat hijau,
predikat hijau ini diberikan oleh Kantor kementrian Lingkungan Hidup dalam program Proper
(Program Pentaatn Industri) dalam program ini diberikan predikat emas untuk industri yang
menerapkan industri bersih, predikat Hijau untuk industri yang telah mengelolah limbahnya dan
telah mengembangkan community development bagi masyrakat sekitar, predikat biru, Predikat
Merah dan Predikat hitam bagi industri yang menimbulkan kerusakan lingkungan.

C. Indikasi pencemaran air

Suatau perairan yang tercemar oleh limbah dapat kita ketahui baik secara visual maupun
pengujian, yaitu :

1. Perubahan pH (tingkat keasaman / konsentrasi ion hidrogen) Air normal yang memenuhi
syarat untuk suatu kehidupan memiliki pH netral dengan kisaran nilai 6.5 – 7.5. Air limbah
industri yang belum terolah dan memiliki pH diluar nilai pH netral, akan mengubah pH air
sungai dan dapat mengganggukehidupan organisme didalamnya. Hal ini akan semakin
parahjika daya dukung lingkungan rendah serta debit air sungai rendah. Limbah dengan pH
asam / rendah bersifat korosif terhadap logam.
2. Perubahan warna, bau dan rasa Air normak dan air bersih tidak akan berwarna, sehingga
tampak bening / jernih. Bila kondisi air warnanya berubah maka hal tersebut merupakan
salah satu indikasi bahwa air telah tercemar. Timbulnya bau pada air lingkungan merupakan
indikasi kuat bahwa air telah tercemar. Air yang bau dapat berasal darilimba industri atau
dari hasil degradasioleh mikroba. Mikroba yang hidup dalam air akan mengubah organik
menjadi bahan yang mudah menguap dan berbau sehingga mengubah rasa.
3. Timbulnya endapan, koloid dan bahan terlarut Endapan, koloid dan bahan terlarut berasal
dari adanya limbah industri yang berbentuk padat. Limbah industri yang berbentuk padat,
bila tidak larut sempurna akan mengendapdidsar sungai, dan yang larut sebagian akan
menjadi koloid dan akan menghalangibahan-bahan organik yang sulit diukur melalui uji BOD
karena sulit didegradasi melalui reaksi biokimia, namun dapat diukur menjadi uji COD.
Adapun komponen pencemaran air pada umumnya terdiri dari bahan buangan padat, bahan
buangan organik, bahan buangan anorganik.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Limbah dapat dikatakan sebagai limbah B3 apabila setelah melalui pengujian memiliki salah
satu atau lebih karakteristik mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, penyebab
infeksi, dan bersifat korosif. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia Senyawa
organik dan Senyawa anorganik. Contoh limbah B3 ialah logam berat seperti Al, Cr, Cd, Cu, Fe, Pb,
Mn, Hg, dan Zn serta zat kimia seperti pestisida, sianida, sulfida, fenol dan sebagainya. Cd dihasilkan
dari lumpur dan limbah industri kimia tertentu sedangkan Hg dihasilkan dari industri klor-alkali,
industri cat, kegiatan pertambangan, industri kertas, serta pembakaran bahan bakar fosil.

B. Saran
Makalah ini dapat digunakan sebagai salah satu sumber informasi pembaca

Anda mungkin juga menyukai