Anda di halaman 1dari 6

Paper 1

Nama : Tubagus Phandu Mursabdo

NPM : 180720170507

Dosen : Aquarini Priyatna, M.A., M.Hum., Ph.D

Reviewer 1: Sella Arby

Reviewer 2 : Tri Sulapmi Dolina Ikeh

Ideologi, Subjektvitas dan Tubuh

Kajian Budaya (Culture Studies) memiliki beberapa pokok bahasan yang harus dipahami oleh pengkaji budaya,
salah satunya yaitu Identitas Sosial. Menurut saya terdapat beberapa poin penting dalam memahami identitas
Sosial yaitu “Ideologi”, “Subjektivitas” dan “Tubuh”. Saya akan membahas dan menjelaskan tentang Ideologi,
Subjektivitas dan Tubuh dengan metode deksriptif dan memberi penjelasan dari pendekatan-pendekatan
tokoh Cultural Studies.

Ideologi

Istilah ideologi diperkenalkan oleh filsuf Perancis Destutt de Tracy pada abad ke-18. Ideologi merupakan ilmu
tentang ide (science of idea). Ideologi termasuk dalam salah satu aspek dari sensasionalisme. Ketika analisis
dijadikan sebagai metode acuan tunggal dan diaplikasikan oleh ilmu, ideologi memiliki makna menjadi analisa
ide (analysis of idea). Freud dan De Man menegaskan tentang konsep ideologi dari ilmu tentang ide (science of
ideas) dan analisis dari ide yang orisinil (analysis of the origin ideas) menjadi sistem ide (system of ideas).
Ideologi lebih baik diteliti lebih lanjut dengan pendekatan sejarah, dalam istilah filosofi praxis, hal tersebut
dikenal sebagai superstructure. Praktik filosofi konsep ini digunakan pada konsep kekuasaan.
Antonio Gramsci (1891-1937) menyatakan konsep “hegemoni” yang merupakan penindasan dan/atau
dominasi satu kelompok ke kelompok lain dan berusaha mengidentifikasi bagaimana kekuasaan menciptakan
mekanisme-mekanisme berupa ideologi dan sebagaiannya untuk mempertahankan kekuasaannya tanpa
melalui sarana kuasa koersif dan kekayaan. Konsep hegemoni menjelaskan bagaimana kelompok-kelompok
yang didominasi dapat menerima ideologi-ideologi dari yang berkuasa dan menganggap ideologi tersebut
memiliki nilai-nilai sebagai sesuatu yang bersifat universal. Kelas dominan hanya dapat menegaskan otoritas
dan menjadikannya commone sense. Althusser (1971: 81) menyatakan bila mekanisme yang terdiri dari
ideologi dan represif ini dikaitkan dengan Negara, ideologi memungkinkan menguasai warganya tunduk
dengan aturan-aturan yang berlaku. Bentuk kekuasaan menurut Gramsci, tidak hanya ditopang oleh dominasi
politik dan ekonomi. Pada kenyataannya, hegemoni berkembang pesat dengan meyakinkan kelompok-
kelompok sosial yang subordinasi agar menerima sistem kultural dan nilai-nilai etik yang dihargai oleh
kelompok-kelompok yang berkuasa seolah-olah sistem dan nilai tersebut benar secara universal dan melekat
dalam kehidupan manusia.
Louis Althusser menyatakan bahwa “all ideology hails or interpellates concrete individuals as concrete
subjects” (1994: 130). Menurut saya, Althusser mendefinisikan bahwa seluruh ideologi ‘berasal’ atau
‘menginterpelasi’ (meminta keterangan/menanyakan kembali) individu sebagai subjek yang konkret. Louis
Althusser memberikan contoh tentang seseorang memanggil individu lain tanpa menyebutkan nama di tempat
umum dan individu lain tersebut merespon (baca: menoleh ke pemanggil) untuk menunjukkan bahwa ideologi
menginterpelasi individu sebagai subjek yang konkret. Contohnya, ketika seseorang (A) memanggil individu
lain (B) dengan diktum “Hei, Kamu!”, individu lain (B) mengenali suara seseorang (A) dan individu lain (B)
merespon (baca: menoleh/menghadap ke) seseorang (A). Hal tersebut menunjukkan bahwa individu lain (B)
tunduk (subjected to) terhadap ideologi seseorang (A).
Menurut Louis Althusser, terdapat dua aparatus dalam menyebarkan ideologi yaitu State Apparatus
(SA) dan Ideological State Apparatus (ISA). State Apparatus (SA) terdiri dari entitas/instansi/lembaga yang
memiliki kuasa dalam menjalankan ideologi dengan cara represif/memaksa (function by violence) seperti
pemerintah, tentara, pengadilan, penjara dan lain-lain. Ideological State Apparatus (ISA) sendiri memiliki
mekanisme ideologi yang lebih halus dibanding SA. Cangkupan lembaga dari ISA merupakan lembaga
pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, lembaga komunikasi, organisasi masyarakat, partai politik,
olahraga, sastra, seni, dsb.
Konsep ideologi dapat digunakan, sebagaimana Karl Marx dan Friederich gunakan dalam The German
Ideology, untuk menentang gagasan bahwa ide-ide sesungguhnya secara mandiri dapat menggunakan konteks
politik dan ekonomi tempat ide-ide tersebut itu diformulasikan. Ideologi dalam hal ini, secara kultural
menentukan sekumpulan ide-ide yang dimaksudkan untuk mendahulukan kepentingan-kepentingan sosial
tertentu yang menyebabkan kerugian bagi orasng lain. Teori-teori Marxis dan Post Marxis meneliti masalah-
masalah ideologi dengan menitikberatkan pada pertanyaan fundamental: mengapa orang menerima dan
menginternalisasikan kondisi-kondisi yang nereka ketahui sebagai merugikan? Terkait dengan itu: mengapa
orang mengakhiri pencariannya terhadap ketidakbahagian mereka sendiri dan menahan kesenangan-
kesenangan marginal yang terbawa bersamanya? Dalam mencari jawaban tersebut, para kritikus dan filsuf
telah mengusulkan sejumlah definisi ideologi. Definisi yang utama adalah:

 Sekumpulan ide, cita-cita, nilai atau kepercayaan;


 Filsafat;
 Agama
 Nilai-nilai palsu yang digunakan untuk mengendalikan sesorang;
 Seperangkat kebiasaan atau ritual;
 Suatu media tempat sebuah budaya membentuk dunianya;
 Ide-ide yang diunggulkan oleh kelas sosial, gender atau kelompok ras tertentu;
 Nilai-nilai yang melanggengkan struktur kekuasaan dominan;
 Suatu proses dimana sebuah budaya memproduksi makna dan peran-peran bagi subjeknya;
 Gabungan antara budaya dan bahasa;
 Perwujudan kosntruksi budaya sebagai kenyataan yang sesungguhnya.

Dengan demikian, ideologi dapat didefinisikan baik secara netral, sebagai seperangkat ide tanpa
konotasi-konotasi politis yang jelas/terang-terangan, maupun secara kritis, sebagai seperangkat ide dengan
cara apa orang membiasakan dirinya sendiri dan orang lain dalam konteks sosio-historis yang spesifik dan
melalui mana kemakmuran kelompok-kelompok tertentu dikedepankan. Menurut saya, ideologi merupakan
faktor penting dalam menunjukkan identitas setiap entitas karena dalam ideologi terdapat “ide” atau sebuah
pemikiran terhadap “sesuatu”, baik ide “sebelum”; “sedang” maupun “setelah” melakukan suatu tindakan
tertentu. Ideologi dalam pelaksanaannya dapat disalurkan melalui instansi atau media yang telah disepakati
bersama. Ideolgi juga dapat membentuk sebuah kearifan lokal daerah tertentu sampai dengan sebuah aturan
negara.

Subjektivitas

Dalam menelaah konstruksi budaya baik identitas-identitas personal maupun kolektif, teori kritis dan teori
budaya telah beralih dari penggunaan kata ‘diri’ (self) menjadi menggunakan ‘subjek’ (subject). Hal tersebut
dikarenakan kata ‘diri’ secara tradisional memunculkan ide tentang identitas sebagai sebuah kepemilikan
pribadi dan sebuah gagasan mengenai individu sebagai unik dan otonom. ‘Subjek’ lebih mendua atau memiliki
makna ambigu. Subjek bersifat aktif maupun pasif. Misalnya, subjek sebuah kalimat mungkin menunjukkan
seseorang yang melakukan tindakan yang dilukiskan dalam kalimat atau seseorang yang padanya suatu
tindakan dikenakan (‘Phandu memakan beruang’; ‘Phandu dimakan beruang’).
Subjektivitas hanya dapat dimengerti dengan mencermati cara-cara manusia dan kejadian-kejadian
disusun (emplotted): dituangkan dalam suatu narasi bahwa budaya membentuk dirinya tanpa kompromi.
Mendekati posisi ini, saya akan menawarkan sebuah contoh pandangan-pandangan representatif mengenai
subjektivitas, dengan satu penekanan pada ketersebaran (decentring) identitas. Pada episteimologi tradisional
istilah subjektivitas seringkali ditandai dengan pengalaman seseorang dan proses berfikir yang digambarkan
pada kata “i/ saya”. Menurut Descartes (1596-1650) seorang filsuf modernisme menyatakan kata ‘I’
menunjukan kesadaran yang bebas yang mengangkat esensi dari manusia. Ungkapan terkenal Descartes yaitu
Cogito ergo sum yang berarti “saya berpikir, karena itu saya ada”. Dasar ungkapan itu muncul karena Descartes
meragukan keberadaan dirinya, tetapi satu hal yang ia tidak bisa ragukan adalah rasa ragu itu sendiri. Kata ‘I’
menjadi subjek mandiri yang menyadari kemampuannya untuk berfikir sehingga secara otomatis menyadari
keberadaannya sendiri. Pemikiran ini menjadikan subjek sebatas dirinya saja memiliki kesadaran yang mandiri
atau karakter dari subjektivitas yang sudah ditentukan.
Dalam tradisi filosofis Idealisme, misalnya, istilah subjek sering menunjukkan ‘Aku’ atau ‘Diri’ universal
yang membawa realitas menuju eksistensi dengan memahami dan merumuskannya. Menurut saya, kita harus
memahami terlebih dahulu secara singkat tentang idealisme agar mampu memahami tentang subjektivitas.
Saya akan memberi penjelasan singkat tentang idealisme. Teori-teori Immanuel Kant didefinisikan kembali
oleh gerakan filosofis abad ke-19 yang dikenal sebagai Idealisme Jerman dan dihubungkan dengan tulisan-
tulisan Johann Gottlieb Fichte (1762-1814), Friedrich Wilhelm Joseph von Schelling (1775-1854) dan Georg
Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Idealisme menolak keberadaan benda sebagaimana ada pada dirinya
(things in themselves) dan berpendapat bahwa manusia menciptakan realitas dengan memahaminya.
Idealisme berpendapat bahwa kita membentuk dunia dengan memahaminya (sebagaimana ‘idea’ dan
‘ideology’, ‘idealisme’ berasal dari bahasa Yunani idein, ‘melihat’). Akibatnya, hubungan antara bahasa dan
dunia terputus sama sekali: bahasa dan pemikiran berdiri sendiri sedangkan orang yang memahami berperan
aktif dalam mengkonstruksi dunia. Secara singkat telah saya berikan tentang idealisme, hal tersebut dapat
menjadi alat pembantu dalam memahami subjektivitas. Karena dalam idealisme berusaha membawa realitas
menuju eksistensi dengan memahami dan merumuskannya.
Pendekatan Descartes maupun Idealisme tentang subjektivitas ditentang oleh sikap kaum anti-
Rasionalis dan kaum anti-Idealis yang menolak gagasan subjek sebagai sebuah kesadaran otonom dan justru
menekankan karakter subjektivitas yang pasti yang terpenting dalam hal ini adalah tulisan-tulisan dari Soren
Kierkegaard, Arthur Schopenhauer dan Freidrich Nietzsche. Soren Kierkegaard (1813-1855) menolak konsep-
konsep kaum Rasionalis maupun kaum Idealis tentang subjek sebagai sebuah kesadaran yang memegang
kendali diri. Soren Kierkegaard tidak melihat bukti bagi keberadaan substansi yang berpikiran bebas dari jenis
yang didalilkan Descartes. Subjek bagi Soren Kierkegaard adalah mahluk yang rentan dan gelisah, dipaksa
untuk mendefinisikan dan merumuskan kembali dirinya sendiri secara terus menerus melalui aksi dan
keputusan-keputusan yang keabsahaanya dapat dibatalkan setiap saat. Arthur Schopenhauer (1788-1860)
berpendapat bahwa subjek tidak bebas dan tidak sanggup mencapai pengetahuan objektif. Pengetahuan
adalah bungkus belaka dan subjek itu sendiri dapat diketahui berdasarkan penampilannya. Di samping dimensi
fisik tersebut, apa yang menentukan subjektivitas adalah kehendak: kehendak untuk hidup (will to live) yang
gigih, tak sadar dan buta. Melalui konsep kehendak ini Arthur Schopenhauer menolak dengan sangat terang-
terangan ide tentang nilai individu: kehendak merupakan kekuatan impersonal yang dijelmakan dalam
sejumlah mahluk yang terbatas tanpa satu pun di antara mereka pernah membuat lelah potensi-potensi
kehendak. Konsep tentang kehidupan individu ini menempatkan filsafat Arthur Schopenhauer sebagai oposisi
telak atas Idealisme, terutama dalam rumusan G.W.F Hegel.
G.W.F Hegel (1770-1831) berpendapat bahwa subjek itu bebas: subjek memberi ekspresi bagi prinsip
universal (Jiwa) dan secara bersamaan prinsip ini membentuk inti dari identitas unik subjek tersebut. Seperti
Hegel, Schopenhauer mendalilkan suatu dimensi metafisik universal sebagai dasar di mana subjek individu
terbentuk. Namun tidak seperti Jiwa Hegel, kehendak Schopenhauer benar-benar abai terhadap identitas
individu subjek dan terhadap prospek realisasi diri subjek. Jika Schoupenhauer memahami subjek sebagai
kilasan khayalan filosofis yang pedih, Freidrich Nietzsche (1844-1900) melanjutkan proyek tersebut dengan
menekankan bahwa subjektivitas adalah produk dari sistem nilai yang represif. Orang dilatih untuk menghargai
konsep-konsep abstrak seperti akal budi, kebenaran, moralitas, logika dan identitas, dilatih untuk
menyembunyikan fakta bahwa semua ide tersebut merupakan fungsi-fungsi biologi yang sebenarnya, dari
struktur dan tubuh kita. Mengembangkan pemikiran Schopenhauer mengenai kehendak, Nietzsche melihat
hidup sebagai sebuah kehendak untuk berkuasa (will to power) yang sewaktu-waktu senantiasa berhadapan
dengan bahaya dan penderitaan. Kehendak berkuasa ini tidak dapat direduksi pada untuk mempunyai otoritas
atas manusia lain, karena keinginan yang lemah untuk menguasai tidak punya dimensi kreativitas. Kehendak
untuk berkuasa terdiri dari energi-energi aktif maupun pasif, kekuatan-kekuatan penerimaan hidup dan
penolakan hidup. Nietzsche mendalilkan tokoh Ubermensch (‘manusia unggul’, ‘superman’ yang merupakan
manusia ideal menurutnya dan sebagai tipe subjek yang, melalui upaya-upaya kreatif yang tak habisnya,
sanggup menemukan kembali eksistensi dan sanggup menerima ketidakpastian hidup. Ubermensch
mempunyai visi dan menggerakan langit dan bumi untuk mencapai tujuannya. Julius Caesar dan Napoleon
merupakan contoh ubermensch. Mereka mengguncang tatanan sosial pada zamannya. Konsep Ubermensch
diangkat Hitler dan diselewengkan di luar konteks. Nietzsche meratapi xenophobi dan anti-Semitismenya,
demikian pula kekejaman para Nazi yang terlembagakan. Ubermensch dimaksudkan untuk membebaskan dan
meningkatkan mutu hidup, bukan menginjak orang guna mencapai visi yang picik. Energi Ubermensch secara
kontinu ditekan sepanjang sejarah manusia. Sesungguhnya, bagi Nietzsche, sejarah menyisakan pengaruh
kekuatan reaktif, yang cenderung menundukkan gerak hati yang kreatif berkenaan dengan moral.
Subjek yang menantang hukum-hukum dicap sebagai seorang pelanggar yang tidak bermoral.
Sehingga, keseluruhan tradisi pemikiran Barat sama dengan suatu perayaan nihilisme serta makna dalam hal
ini, merupakan satu reduksi dan pada akhirnya satu negasi terhadap hidup itu sendiri. Pada paham
subjektivitas dalam pemikiran modernisme dan pemikiran post-modernisme, keduanya memiliki perbedaan
pada pemaknaan. Pemaknaan subjek pada pemikiran modernisme oleh Descartes menjelaskan bahwa subjek
sebagai suatu yang utuh serta meyakini manusia sebagai pusat realitas, dimana subjek dapat berdiri sendiri
sehingga menjadi sebuah ketetapan esensi manusia. Pada pemikiran post-modernisme, subjek dilihat sebagai
sesuatu yang selalu berhubungan dengan dunia luar, berkaitan dengan yang lain. Sistem Descartes, secara
spesifik dikemukakan oleh Nietzsche sebagai sesuatu yang bagus kedengarannya. Asumsi filsuf Rasionalis
bahwa subjek yang berpikir ada disebabkan oleh kesadarannya tentang kemampuan berpikirnya bersandar
pada pondasi yang goyah. Sesungguhnya, adanya pemikiran tidak dapat dibuktikan dengan sangat pasti.
Seandainya bisa, akan sulit mempertunujukkan bahwa pemikiran bermula dari ‘Aku’ dan bahwa ‘Aku’,
sebaliknya, disahkan oleh kemampuannya untuk berpikir. Hal tersebut dikarenakan tidak ada bukti final bagi
keberadaan ‘Aku’ sebagai sebuah substansi atau esensi yang stabil. Sikap tersebut hanya menguraikan
pendekatan kaum Postmodern yang bersifat antisipatif terhadap subjektivitas.
Filsuf post-modernisme berikutnya ialah Michael Foucault dan Jacques Lacan. Michael Foucault
(1926-1984) menaruh perhatian utama pada proses-proses dimana subjek dikonstruksikan dalam konteks
historis dan ideologis yang spesifik. Pertama-tama, pendekatan Michael Foucault bersifat arkeologis, karena
mencoba menggali perubahan-perubahan historis yang signifikan dengan mengabaikan historiografi
mainstream. Pokok dalam tahap penteorian Michael Foucault ini adalah konsep tentang episteme (berasal dari
bahasa Yunani epistomai = ‘mengetahui’, ‘mempercayai’). Pendekatan Michael Foucault bersifat arkeologis
dalam pengertian lebih jauh: seperti disiplin arkeologi, pendekatan ini menitikberatkan pada dimensi material
sejarah untuk menunjukkan bahwa subjek bukanlah entitas abstrak melainkan mahluk yang maujud
(embodied being). Sejak pertengahan 1970an, Michael Foucault beralih dari pendekatan arkeologis pada apa
yang ia sebut genealogi pengetahuan/kuasa, untuk menunjukkan bahwa pengetahuan dan kekuasaan
merupakan bentuk-bentuk kontol dan cara-cara mengorganisir subjektivitas yang saling tergantung dan saling
menopang. Selanjutnya Jacques Lacan (1901-1981) berpendapat bahwa subjektivitas adalah produk bahasa
dan bahwa tak ada apapun diluar bahasa. Ketidaksadaran mengkondensasi dirinya lalu melakukan
pemindahan, hal ini dikaitkan dengan metafora dan kiasan. Ada tiga tahapan mengenai model linguistik bawah
sadar yaitu tahap imajiner, tahap rill dan tahap simbolis. Dalam tahap imaji, segala sesuatu yang dimasukan ke
dalam diri kita dari luar adalah hasil dari semua penanda dan imaji. Misalnya, bayi tidak mengenal konsep
keterpisahan dengan ibunya (Liyan). Bayi adalah individu yang tidak memiliki pemahaman atas ‘dirinya’,
dengan kata lain bayi tidak memiliki subjektivitas tentang konsep diri sebagai individu. Pendekatan-
pendekatan tentang subjektivitas yang telah disampaikan. Menurut saya, subjektivitas memperkuat eksistensi
kita sebagai mahluk yang tersosialisasi sekaligus melambangkan ketidakstabilan kita dan subjektivitas memiliki
perbedaan makna yang jelas dari ‘diri’ serta ‘individu’.

Tubuh

Pada akhir abad ke-20, tubuh telah menjadi fokus perhatian dalam jajaran disiplin ilmu dan media. Sejumlah
kritik mempertalikan minat ini pada subjek dengan melihat bahwa pemikiran Barat secara tradisional telah
cenderung meminggirkannya sebagai trend belaka. Saya akan berusaha menjelaskan perkembangan ilmu saat
ini yang berkelindan dengan tubuh. Tubuh telah dinilai kembali secara mendasar baik oleh ilmu pengetahuan
(science) maupun filsafat. Plato, memeluk pandangan transdental, melihat psikis (psyche) sebagai kekuatan
yang menghidupkan setiap benda hidup dan sebagai prinsip abadi dari hidup. Aristotle, berpijak pada
imanensi, memandang psyche sebagai sumber persepsi, gerakan, reproduksi dan swanutrisi (self-nutrition),
dan juga pemikiran. Terkait dengan konsep psyche adalah konsep tentang soul, yang dianggap Plato sebagai
bagian immaterial manusia, yang hanya disatukan untuk sementara waktu pada tubuh, sedangkan Aristotle,
sebaliknya, melihat sebagai tak terpisahkan dari tubuh dan sebagai suatu sifat yang tidak hanya pada manusia
melainkan juga ada pada tumbuhan dan binatang lainnya. Dua pendekatan ini mencatat kecenderungan
pikiran bertentangan maupun berhubungan dengan tubuh.
Menilai hubungan antara pikiran dan tubuh merupakan salah satu tugas filsafat yang menantang.
Arthur Schopenhauer menggarisbawahi masalah ini dengan mendeskripsikan masalah pikiran-tubuh sebagai
simpul dunia (world knot): sebuah teka-teki yang melampaui pemahaman manusia. Mengembangkan suatu
trend yang dapat ditelusuri hingga Plato, yang premis fundamentalnya adalah bahwa bentuk-bentuk material
adalah cacat dan bahwa kebenaran terletak pada dunia Ide yang tidak mewujud(disembodied). Pemikiran
Barat secara konsisten telah didominasi oleh mentalitas dualistik. Mentalitas ini berkisar pada pemisahan
antara yang bersifat mental dengan yang bersifat fisik. Empirisme, di satu sisi, menegaskan bahwa fungsi fisik
dan fungsi mental terpisah tetapi keduanya adalah milik tubuh. Rasionalisme, di sisi lain, tidak mempercayai
dimensi badaniah dengan menggabungkan ide bahwa tubuh dan pikiran bersifat terpisah dan dalil bahwa
pikiran lebih tinggi derajatnya dibanding tubuh.
Filsafat telah membantah superioritas tradisional dengan menekankan bahwa keragawian
(corporeality) bersifat sentral bagi pengalaman dan pengetahuan tentang dunia. Ini dapat dicontohkan dengan
mengacu pada sebuah wacana, dari psikologi hingga kedokteran, dari seni sampai fashion. Yang terpenting,
tubuh telah didefinisikan kembali oleh penegasan bahwa bentuk fisik tidak hanya merupakan sebuah realitas
natural, tetapi juga sebagai konsep kultural: sebuah cara penyandian (encoding) nilai-nilai masyarakat melalui
bentuknya, ukuran dan atribut hiasannya. Citra tubuh meliputi struktur-struktur signifikansi melalui mana
sebuah budaya mengkonstruksi beberapa makna dan posisi subjeknya. Tubuh memiliki substansi dan emosi
tetapi ia secara relatif mempunyai sedikit kontrol atas kesesuaian dan keberlebihan substansi dan emosi
tersebut. Misalnya, tubuh mungkin ‘diisi dengan kemarahan’ dan ‘menumpahi dengan air mata’ pada satu dan
saat yang sama. Selain ketidakstabilannya, tubuh memainkan peran penting dalam interpretasi-interpretasi
kita terhadap dunia, asumsi atas identitas sosial kita, dan perolehan pengetahuan kita, sebagaimana Francisco
J. Varela catat, ‘unit-unit pengetahuan yang tepat terutama adalah konkret, maujud, tergabung, hidup’.
Filsuf Eksistensialis Maurice Merleau-Ponty dalam bukunya Phenomenology of Perception,
mengajukan pendapat secara konsisten bahwa kesatuan tubuh manusia yang mempersepsi mendapatkan
kepenuhannya dengan menyentuh dan mempersepsi dunia. Maksudnya tubuh dan dunia adalah dua hal yang
tidak dapat terpisahkan. Peran tubuh menjadi utuh dengan menyentuh dunia. Sebaliknya, dunia dapat
dipersepsi dengan menyentuh tubuh. Misalnya ketika saya melihat pensil di depan saya, maka tubuh akan
mempersepsinya sebagai pensil. Jika tubuh saya bisa mempersepsinya, maka pensil itu keberadaanya pastilah
benar, pensil bukanlah suatu ilusi. Namun, jelas pensil bukanlah suatu entitas mandiri yang lepas begitu saja
dari pikiran manusia. Keberadaan pensil sangatlah bergantung pada keberadaan manusia yang
memersepsinya. Proses persepsi bisa terjadi, karena manusia memilik tubuh. Tema persepsi ini erat kaitannya
dengan tubuh. Kaitannya mudah dimengerti, sebab persepsi selalu melibatkan tubuh. Persepsi berlangsung
didalam dan melalui tubuh. Merleau-Ponty berpendapat bahwa persepsi atas objek yang berada di luar atau
terpisah dari tubuh kita pada dasarnya dikenai (affected) oleh persepsi atas tubuh kita sendiri. Setiap persepsi
dari objek-objek eksternal bersinergi dengan persepsi tubuh. “Setiap persepsi eksternal langsung bersinonim
dengan persepsi tertentu atas tubuhku, sebagaimana juga setiap persepsi atas tubuhku dibuat eksplisit dalam
bahasa persepsi eksternal” dan menekankan bahwa dunia menurunkan makna-maknanya tidak dari sifat-sifat
intrinsik dan lengkap melainkan dari bagaimana makna-makna tersebut dipahami serta ditindaklanjuti melalui
kesadaran yang maujud. Roger Poole membenarkan pendapat ini: ‘Kesadaran tidaklah “murni”, melainkan ada
dalam sebuah membran daging dan darah’; ini menunjukkan bahwa ‘tubuh sebenarnya menghidupkan dunia,
dan dengan demikian memproyeksikan nilai-nilai “tubuh” diatas dunia’.
Sebuah wilayah dengan tulisan-tulisan mutakhir tentang hubungan antara tubuh dan ilmu
pengetahuan telah mencurahkan perhatian yang sungguh-sungguh adalah wilayah tentang sikap-sikap kultural
berkelindan dengan makanan. Dalam konteks ini, wacana-wacana tentang kesehatan dan kebugaran,
simbolisme Ifashion Idan status berhubungan dengan perdebatan kedokteran dengan fokus gangguan makan,
deteksi dan perlakuannya. Survey historis dari Stephen Mennel menunjukkan tentang perubahan sikap
terhadap tubuh tidak dapat dipisahkan dari perubahan-perubahan penting dalam pendekatan budaya
terhadap makanan. Pada abad masa pertengahan, misalnya, adalah umum bagi semua kelas sosial untuk
bergiliran antara kesederhanaan dan pesta pora, puasa dan rakus: pergiliran ini disebabkan oleh kondisi hidup
yang sulit, kerapnya tingkat kelaparan dan kematian yang tinngi, dengan disamakan dengan kegamangan
emosi-emosi sebagai ciri khas Abad Pertengahan. Pada masa Renaissans, kemampuan untuk membaca secara
harafiah memenuhi diri sendiri mulai dibaca sebagai penanda kekuasaan dan kesejahteraan, kecanggihan dan
etiket dipandang sebagai etiket yang dipandang sebagai konsep yang pada praktiknya tidak relevan. Pada abad
ke-18, aturan bahwa kerakusan adalah hal yang memalukan (karena kebiasaan makan Raja Louis XVI oleh
karenanya dianggap memalukan). Pada abad ke-18 juga diiringi dengan perubahan fashion: pada saat itu juga
kesoponan dihubungkan dengan penghindaran terhadap perbuatan yang berlebih-lebihan, dan pemborosan
bahan pakaian dengan sikap suka bersolek (foppery) serta masuknya stigma cantik itu kurus/ramping.
Sejak akhir abad ke-19 hingga saat ini, diet telah menjadi perhatian sebagian besar kelas menengah
dan telah memusatkan perhatian pada tubuh itu sendiri dan pada penampakan-penampakan luarnya. diet
dilakukan oleh orang menengah ke atas untuk mendapatkan tubuh yang ideal yaitu tubuh yang langsing.
Segala hal dilakukan oleh seseorang yang ingin memiliki tubuh ideal. Ketidakpuasan yang terdapat pada setiap
diri manusia, diet berevolusi menjadi diet yang ekstrim atau yang biasa dikenal dengan bulmia. Keadaan
dimana seseorang makan banyak kemudian dimuntahkan kembali agar makanan yang diserap sedikit. Kelainan
ini mengakibatkan seseorang menjadi anorexia. Anorexia merupakan penolakan makanan sampai tidak
dapatnya mengkonsumsi makanan dikarenakan rasa takut yang cukup ekstrim atas peningkatan berat badan.
Bulimi dan anorexia ini memberikan citra baru untuk tubuh dikarenakan kurus berjalan sebanding dengan
cantik, dimana cantik secara tidak langsung menaikkan status sosial seseorang Wacana diet dan gagasan
mengenai kerampingan telah dijalankan sebagai strategi-strategi penormalan dan karenanya cara-cara yang
Michael Foucault (1926-1984) istilahkan dengan docile body adalah sebuah mekanisme yang secara ideologis
berguna dan secara ekonomis efisien. Menurut Bordo, tubuh seorang individu adalah sebuah mikrokosmos
yang mereproduksi kegelisahan makrokosmos, yaitu tubuh sosial.
Pendekatan-pendekatan teori dan hubungan ilmu dengan tubuh menjelaskan bahwa “tubuh” tidak
mempunyai bentuk atau makna definitif dan “tubuh” bertindak untuk mengingatkan kita bahwa hidup adalah
struktur yang kompleks serta tidak bisa diperkecil lagi menjadi sebuah keseluruhan organis. “Tubuh” menjadi
salah satu faktor penting dalam memahami sebuah Identitas Sosial karena berkelindan dan memiliki fungsi
sebagai instrumen pembantu dengan “Ideologi” dan “Subjektivitas” dalam menggali informasi tentang
Identitas Sosial yang merupakan pokok bahasan Kajian Budaya (Cultural Studies).

Daftar Acuan
Althusser, Louis, Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara; Catatan Investigasi. Terjemahan. Indonesia:
Indoprogress, 2015.

Cavallaro, Dani, Critical and Culture Thematic Variations, The Athlone Press,London, 2001.

Durham, G. dan Kellner, Media and Cultural Studies, John Willey & Sons, 2009.

Melintas, Jurnal yang berjudul MENGENAL FENOMENOLOGI PERSEPSI MERLEAU-PONTY TENTANG


PENGALAMAN RASA portalgaruda.org dikases pada 22 oktober 2016 Pk. 15:14.

O’donnell, Kevin, terj., Jan Riberu, Postmodernisme, 10th ed, Kanisius, Yokyakarta, 2009.

Anda mungkin juga menyukai