Oleh M.Nurkhoiron
Sebagai kebijakan publik, politik bersih lingkungan dan paket-paket kebijakan lain yang
bersinggungan dengan eks-komunisme di Indonesia ini jelas tidak merupakan satu regulasi
yang berdiri sendiri. Bersamaan dengan kebijakan lain sebagai penopang kekuasaan Orde
Baru, regulasi-regulasi ini memberi sinyal bagi suatu diskursus tertentu yang tengah di bangun
di Indonesia. Pertama, kita mendapatkan suatu fakta berikutnya bahwa kebijakan pembersihan
unsur-unsur komunisme di Indonesia ditujukan sebagai usaha yang oleh Hilmar Farid disebut
sebagai pembentukan formasi sosial baru di Indonesia. Formasi-formasi sosial ini pada periode
berikutnya sangat mendukung berlangsungnya proses industrialisasi yang bertumpu kepada
mekanisme ekonomi kapitalis. Sebagaimana kita ketahui, PKI merupakan partai yang paling
vokal dalam menentang gagasan-gagasan kapitalisme liberal. Sistem keorganisasian partai
komunis di Indonesia mendorong lahirnya gerakan-gerakan buruh yang cukup vokal
menyuarakan nasib buruh dalam hubungan industrial.
Maka, kedua, politik pembersihan berhubungan erat dengan hancurnya basis-basis
keorganisasian buruh yang kuat. Hubungan produksi tuan-buruh yang semula relatif setara
karena adanya serikat-serikat buruh yang kuat kini berubah menjadi hubungan yang timpang.
Nyaris semua organisasi buruh dikendalikan dan diintervensi oleh negara. Buruh dan petani
yang identik sebagai elemen penting pengorganisasian partai komunis menjadi obyek
pembasmian paling dramatis. Pembunuhan nyawa atas ribuan buruh terjadi di beberapa
tempat. Misalnya di perkebunan Sumatera Utara, diperkirakan enam belas persen buruh
dinyatakan hilang, beberapa diantara mereka terbunuh, dan sebagian yang lain tidak
teridentifikasi keberadaannya (Farid, 11; 2005). Situasi demikian nampaknya telah
direncanakan sebagai prakondisi menciptakan formasi sosial baru sebagai penopang rezim
Orde Baru.
Formasi sosial baru yang ditopang oleh proyek reproduksi wacana anti-komunis di
Indonesia ini perlu dilihat sebagai penggandaan modal-modal kultural sebagai teknik
mendapatkan kuasa-kuasa baru. Dalam konteks ini seperti disampaikan Daniel Dhakidae
bahwa kultur dan kapital bertukar tempat dan berdasarkan itu seseorang bisa mengatakan
bahwa baik kapital maupun kultur adalah dasar paling utama bagi perkembangan sosial.
Dengan begitu, yang disebut kultur dan kapital tidak lain sebagai kembar siam yang
dihubungkan penngunaannya; culture was capital generalized and capital was culture
privatized – seperti kata Gouldner (Dhakidae, 2003; hal, 57).
Hasilnya, sampai sekarang partai politik dengan uang melimpah masih memegang rekor
tinggi sebagai pemenang pemilu. Elite-elite baru, baik di jajaran bupati, gubernur dan bahkan
presiden tidak dapat menampik fakta hadirnya money politics dalam jual beli suara. Mereka-
mereka inilah yang kelak terus akan mengisi jabatan-jabatan publik yang dipilih dari “proses
demokratis” . Di Amerika yang diklaim negara paling demokratis menghadapi dilema serupa:
demokrasi tersandera oleh kepentingan uang dan pemodal.
The democratic deficit in nominally democratic countries such as the US
is now enormous. Political representation is there compromised and corrupted
by money power, to say nothing of an all too easily manipulated and corupted
electoral system. Basic institutional arrangements are seriously biased. Senator
from twenty-six states with less than 20 per cent of the population have more
than half the votes to determine the congressional legislative agenda. The
blatant gerrymandering of congressional districts to advantage whoever is in
power is, furthermore, deemed constitutional by a neoconservative persuasion.
Institution with enoemous power, like the Federal reserve, are outside any
democratic control whatsoever[18].
Wealth doesn't always trickle down. There are limits to growth. The
state will not protect us. A society guided only by the invisible hand of the
market is not only imperfect, but also unjust. The world that is emerging from
the cold war is the antithesis of the shrink-wrapped One World of the
hyperglobalists. It is in fact confused, contradictory, and mercurial. It is a
world in which a litany of doubts is starting to be recited, not at the ballot
box, but in cathedrals, shopping malls, and on the streets. A world in which
loyalties can no longer be determined, and allegiances seem to have
switched[19]
Jadi sangat bisa dimengerti, jika kasus Newmont yang terjadi di teluk Buyat Sulawesi
Utara tidak terdeteksi dengan baik, hak-hak rakyat tetap menggantung tidak menentu. Dampak
lingkungan yang membawa berbagai penyakit di lingkungan setempat tidak pernah diakui dan
bahkan informasinya ditutup demi mengamankan perusahaan yang telah memberikan upeti
kepada beberapa elite tertentu. Alih-alih mendapatkan informasi yang benar mengenai dampak
lingkungan oleh industrialisasi PT Newmont, beberapa media massa terkontrol oleh politik
kelompok pemodal itu sendiri.
Kasus paling jelas juga terjadi di Lapindo. Lapindo yang jelas menelan korban begitu
banyak dari seluruh lapisan masyarakat tidak dibenahi dengan serius. Sistem transportasi milik
publik yang menghubungkan Gresik, Surabaya, Pasuruan, Malang lumpuh total. Beberapa
sekolah terpaksa dipindahkan dengan darurat untuk meneruskan sistem pengajaran – meskipun
ruang-ruang darurat sangat tidak memadai bagi siswa-siswi. Namun, pemilik modal Lapindo,
yang sekarang masih menjabat Menteri Sosial, dibiarkan tanpa proses hukum. Orang-orang
yang memiliki modal dan menguasai hayat hidup orang banyak dibiarkan menikmati hidupnya
tanpa rasa bersalah, sementara kelompok masyarakat yang menderita kerugian nyawa dan
harta akibat ketidakbecusan mengelola modal usaha dari segelintir orang dibiarkan tidak
berdaya, tanpa ada usaha menutupi kerugiannya. Politik media dimainkan oleh pemodal
dengan membangun asumsi-asumsi yang hendak menyatakan bahwa peristiwa meluapnya
lumpur Lapindo akibat bencana alam yang sulit diatasi oleh usaha manusia.
Penderitaan rakyat dan kesusahan yang menjadi bagian hidup sehari-hari masyarakat di
sekitar Lapindo tersapu oleh sihir media di Jawa Timur yang berpolemik dengan isu-isu teknis,
dan politis.
Fakta seperti ini jelas menunjukkan bahwa negara yang kini
semakin powerless terdominasi oleh struktur baru yang jauh lebih berbahaya; perusahaan-
perusahaan yang menahan dan menentukan laju bekerjanya negara jika negara tidak memihak
kepada kepentingan mereka.
Nah, dalam kasus seperti inilah kita bisa mengerti mengapa transparansi dana pemilu
yang sempat menghebohkan kemarin sulit dideteksi dan dipahami dengan baik oleh publik.
Soalnya sangat sederhana, bahwa bagaimanapun semua tokoh-tokoh politik yang kemarin
bertanding menuju pencalonan sebagai presiden tidak mengelak fakta bahwa mereka
menerima uluran tangan dari berbagai pengusaha. Kekisruhan dan polemik yang diserbarkan
media belum menunjukkan tanda akan segera diselesaikannya kasus money politics ini.
**
Proyek Neo-Lib adalah fakta yang saat ini tengah mengitari kehidupan di Indonesia.
Dipaksa atau tidak, kita semua berhadapan dengan realitas ini. Yang menjadi soal selanjutnya
adalah bagaimana kita menyikapinya. Terdapat berbagai kemungkinan untuk melihat dimensi
aktivitas gerakan rakyat dalam menyikapi persoalan ini. Di masyarakat akar rumput aksi-aksi
untuk merespon perubahan-perubahan akibat liberalisasi berlangsung dengan tingkat gerakan
yang berbeda-beda.
Tugas Cendekiawan?
Seperti dijelaskan dimuka, kelemahan memandang cendekiawan sebagai menara gading
gading, oposisi biner terhadap kekuasaan dominatif dan status quo menghilangkan makna-
makna pergerakan di masyarakat yang justru melihat proyek neolib dalam posisi berhadap-
hadapan. Potret kreatifitas kelompok seperti sedulur sikep sebagaimana di atas, dan potret
kredit union seperti di Kalimantan Selatan memperlihatkan wajah baru gerakan akar rumput.
Bagi kalangan gerakan sosial seperti NGO, usaha perekonomian nyaris masih dipandang
sebelah mata. Gerakan ekonomi sebagian besar masih dilihat sebagai kapitalisme yang jahat,
berbeda dengan sifat voluntaristik mereka yang dianggap sebagai usaha nirprofit .
Cendekiawan jika masih mengacu seperti disampaikan oleh Edward.W Said juga
masih menunjukkan seolah-olah kerja “amatiran (amateur) dipandang secara oposisional
dengan kerja profesional. Bagi kerja-kerja neolib, tidak ada kerja amatiran, sementara
cendekiawan yang masih merasa memiliki anugerah untuk melakukan kerja-kerja gagasan
seringkali menghindari bahkan mencerca apa yang sering disebut sebagai sikap kerja
profesional.
Menunjuk kepada dua kasus yang dikemukakan di atas, sikap oposisi biner ini tidak
berlaku. Di Sedulur Sikep, dan Dayak Kaharingan Kalimantan Selatan, gerakan
pengorganisasian massa-rakyat dapat berbarengan dengan kerja-kerja profesional.
Jadi Poin terakhir ini pada dasarnya lebih menekankan pentingnya melihat gelombang
kekuatan akar rumput yang semakin terfragmentasi berhadapan dengan gelombang besar
neoliberalisme. Kata kunci dari poin ini adalah diperlukan sebuah pemahaman yang lebih baik
dan komprehensif mengenai dilema-dilema yang dihadapi oleh kelompok masyarakat di arus
bawah dan potensi-potensinya sebagai gerakan perlawanan. Fakta ini tidak lantas mengurangi
seluruh keanekaragaman potensialitas yang dimiliki masing-masing kelompok akar rumput di
Indonesia. Sementara itu, untuk melihat kinerja gerakan akar rumput harus bisa menambah
informasi mengenai gerakan-gerakan global sebagaimana diutarakan diatas. Saya kira tugas
kecendekiawanan berada di areal ini.
Ini adalah sikap untuk menghubungkan kebutuhan riel yang kini dirasakan oleh
masyarakat akar rumput dengan seluruh konstelasi global yang terjadi saat ini. Dengan berani
melakukan pemetaan bersama secara kritis barangkali akan terjadi usaha-usaha yang lebih
berdampak luas. Dalam perspektif kebudayaan seperti ini, disiplin ilmu politik, sosiologi,
antropologi dan hukum harus dilihat sebagai satu kesatuan dalam payung lintas disiplin.
Pengertian mengenai komunitas-komunitas tradisional harus kita lepaskan dari jebakan
perspektif yang dipenuhi prasangka. Faktanya apa yang sering kita nyatakan sebagai
tradisional tidaklah berarti mengacu kepada sekumpulan orang yang terisolasi, konservatif dari
berbagai segi dan sama sekali menolak perubahan-perubahan baru.
Cara lama dalam melihat kompleksitas masyarakat di wilayah akar rumput segera kita
hilangkan. Misalnya kajian mengenai kekuatan-kekuatan komunal saat ini lebih dilihat
semata-mata sebagai cermin kebodohan, ketidaktahuan suatu komunitas berhadapan dengan
kekuatan eksternal vis a vis kemajuan dan modernitas. Faktanya, kelompok-kelompok ini
memiliki potensi berkembang secara dinamis, berdiri diantara kekuatan-kekuatan komunal
yang terjaga sambil secara lentur melakukan perubahan internal untuk menjawab tantangan-
tantangan baru. Misalnya seperti ditunjukkan oleh gerakan petani Samin, “Pembangkangan”
yang pernah mereka lakukan selama akhir abad ke-19, terhadap pemerintahan kolonial
menjadi referensi yang mereka hidupkan secara turun menurun dan sumber bersama mengatasi
penetrasi-penetrasi eksternal. Cara, sikap hidup dan norma-norma bersama yang mereka
pertahankan sampai hari ini membuktikan keliatan sosok petani di Indonesia, khususnya di
Jawa.
Kajian seperti James T. Scott memang memandang siasat dan resistensi sebagai senjata
orang-orang kalah. Kritik terhadap Scott lebih diutarakan sebagai romantisasi perlawanan,
dengan mamandang seolah-olah orang kalah masih memiliki harapan untuk bertahan dan
mempertahankan posisinya. Akan tetapi Scott yang terlampaui romantis menepikan fakta
bahwa pada dasarnya gerakan modal yang beraliansi dengan negara sekonyong-konyong tidak
dapat menaikkan derajat orang-orang kalah ke dalam kelas yang lebih tinggi. Akan tetapi
gagasan Scott bagaimanapun memberi perspektif baru dalam menginvestigasi secara
antropologis geliat-geliat politik akar rumput.
Keharusan bagi cendekiawan menurut saya adalah melihat secara lebih investigatif dan
etnografis posisi-posisi masyarakat yang terpinggirkan untuk meninggikan derajat mereka
lebih manusiawi. Kedengarannya memang cukup romantis, akan tetapi jika praktik ini
dilakukan dengan serius, dengan sendirinya akan membawa sejumlah implikasi teorititik yang
tidak sedikit. Ilmu sosial bagaimanapun adalah kuasa baru yang tidak lagi dipandang sebagai
pengetahuan netral. Kuasa ilmu sosial memberi legitimasi, dan inspirasi, ia juga bisa menjadi
bagian dari “sikap apriori” dan aposteriori yang dapat melanggengkan status quo maupun
merubah kondisi yang sudah mapan. Jadi masalahnya sekarang mau dibawa kemanakah ilmu
sosial bagi perubahan sosial saat ini?
Tugas Cendekiawan akan selalu dibawa oleh oleh peran-peran seperti ini.
Makalah dipresentasikan dalam Forum Interseksi, 7-9 Juli 2007, Bandung. Penulis adalah
peneliti Yayasan Interseksi