Anda di halaman 1dari 23

Modernisasi-Neolib, Politik Arus bawah

dan “Tugas Cendekiawan”


(Sebuah Penelusuran Awal)

Oleh M.Nurkhoiron

“Kemarau intelektual”, sebuah istilah yang dulu pernah dikemukakan Mohammad


Sobary, kali ini mungkin patut dikemukakan kembali. Jika intelektual, atau cendekiawan
merujuk kepada pandangan Bourdieu-an, yang sedikit dikutip oleh Daniel Dhakidae sebagai
sosok yang terlibat keras di dalam apa yang disebut sebagai pertarungan simbolik, symbolic
struggle, baik secara individual maupun secara kolektif, sampai hari ini sayangnya kita belum
mendapatkan kajian dan analisis-analisis yang merupakan cermin dari perdebatan keras dalam
kerangka pertarungan simbolik itu untuk menelisik lebih jauh soal-soal krusial paska Orde
Baru yang menyisakan berbagai pertanyaan.
Soal-soal ini menurut saya penting diajukan karena sampai hari ini peta sosial
kecendekiawanan di Indonesia terlalu asik dengan rutinitasnya masing-masing, tanpa ada
usaha reflektif untuk mengurai kembali dalam struktur dan komunitas seperti apakah kita kini
sedang bergulat dengan kerja-kerja rutin itu? Bahkan ketika rutinitas itu coba dikritik sebagian
“komunitas (cendekiawan)” yang sudah mapan merasa tersinggung dan perlu melakukan
perlawanan kolektif secara emosional[2]. Jadi dalam konteks sekarang yang kurang bukan soal
jumlah orang-orang yang merasa dirinya cendekiawan, atau mengklaim tengah melakukan
kerja-kerja kecendekiawan, akan tetapi pertarungan diskursif yang cerdas yang dapat
membawa insiprasi baru untuk merefleksikan sampai sejauhmanakah usaha “reformasi” –jika
kita masih merasa istilah ini penting – paska Orde Baru telah membawa kehidupan yang lebih
demokratis.
Namun, ditengah ‘kemarau intelektual” akhir-akhir ini, dua karya penting baru-baru ini
digulirkan oleh Daniel Dhakidae dan Yudi Latif. Buku Daniel Dhakidae
berjudul, Cendekiawan dan Kekuasaan dan Negara Baru Orde Baru (Gramedia, 2003)
memberi ilustrasi yang menarik bagaimana pertarungan diskursif cendekiawan terjadi di masa
Orde Baru. Daniel telah menyadarkan banyak pihak betapa dinamika Orde Baru dan proses
keruntuhannya tidak lepas dari usaha-usaha cendekiawan di dalam struktur Orde Baru itu
sendiri yang secara terus menerus membangun perlawanan diskursif.
Buku berikutnya yang didalamnya juga mengurai kelemahan Daniel Dhakidae adalah
buku Yudi Latif hasil disertasinya di ANU (Australian National University), Inteligensia
Muslim dan Kuasa, Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20 (Mizan, 2005). Yudi
Latif dengan penuh semangat menelisik sejarah pergerakan kelompok cendekiawan muslim
sepanjang abad ke-20. Namun berbeda dengan tulisan sejarahwan pada umumnya, Yudi
memberikan persepektif baru dengan membangun gagasan bahwa para cendekiawan muslim
ini lahir pada zamannya sebagai usaha membangun perjuangan diskursif guna menanamkan
pengertian mengenai apa yang dapat disebut sebagai reinterpretasi keislaman dalam konteks
keindonesiaan. Mereka adalah kelompok-kelompok dari berbagai latar belakang pendidikan
modern, dan tradisional yang turut mewarnai sejarah kebangsaan di Indonesia dalam lintasan
sejarah. Yudi Latif menekankan modernitas sebagai proyek bersama di kalangan cendekiawan
muslim yang diresapi dan dtafsirkan dengan beragama pemikiran. Benturan antara Timur,
Barat dan akomodasi keduanya dalam membentuk pemikiran keindonesiaan adalah ciri-ciri
penting pengetahuan yang mendominasi identitias cendekiawan muslim Indonesia.
Namun yang sengaja tidak dibidik oleh Yudi di bukunya ini adalah Cendekiawan Muslim
yang sepanjang gagasan dan pemikirannya sama sekali tidak nampak menunjukkan sifat
identitias kemuslimannya. Sosok seperti Tan Malaka, Hatta, Soekarno, Moh. Yamin dan
sebagian besar sosok nasionalis dan founding fathers di Indonesia dengan sengaja tidak
menjadi obyek pembahasan Yudi. Yudi membatasi kajiannya di ranah konsep muslim sebagai
identitas yang
Dampaknya bisa diduga. Meskipun Yudi berhasil mengembangkan kajian yang relatif
eruditif dalam menjelajahi fenomena cendekiawan muslim bersama pemikirannya sepanjang
abad ke-20, namun Yudi juga turut membesar-besarkan dikotomi muslim-non muslim yang
dalam kategori pemikiran politik di Indonesia sering dipopulerkan sebagai aliran nasionalis-
sekuler dan nasionalisme religius.
Kekurangan dari buku ini paling tidak menurut saya adalah kurangnya penjelasan yang
memadai konteks sosial politik berikut dinamika global yang mewarnai sekaligus memberikan
arah bagi diskursus-diskursus yang dibangun oleh para cendekiawan itu. Meskipun Daniel
cukup memberikan gambaran yang baik kiprah Orde Baru yang olehnya digambarkan sebagai
rezim otoritarianisme, namun ia seperti melupakan bahwa rezim seperti Orde Baru bukanlah
spesifik Indonesia. Rezim Pinochet di Chile, adalah rezim yang tidak kalah menakutkannya
dibandingkan Indonesia dalam memperagakan sikapnya yang represif dan menindas
kebebasan rakyatnya. Baik Chile maupun Indonesia adalah bagian dari rezim politik yang juga
terlibat dalam memapankan gelombang neoliberalisme.
Selain itu, tanpa bermaksud mengurangi arti penting bagi penjelajahan teoritik mengenai
cendekiawan, kedua buku ini terlalu asik memotret cendekiawan sebagai sosok mulia dengan
atributnya. Meskipun Daniel menggarisbawahi dunia kecendekiawanan semasa Orde Baru
yang sebagian tertaklukkan oleh rezim totalitarianisme, namun pada dirinya kecendekiawanan
adalah sosok teramat penting bagi suatu perubahan sosial, politik dan kebudayaan itu sendiri.
Sebagaimana kita ketahui dalam strata masyarakat, yang disebut sebagai kelompok
cendekiawan setidaknya berada diantara the ruling class (kelas penguasa) dengan kelas yang
dikuasai. Padahal faktanya mencari sosok yang benar-benar berada dalam posisi ini selalu
menyulitkan. Apalagi secara sosiologis masyarakat seperti sekarang tidak lagi dibatasi oleh
strata-strata yang begitu ketat karena satu kelompok lebih menguasai informasi tertentu
dibandingkan dengan kelompok lain. information produced by specialists (including scientific
knowledge) can no longer be wholly confined to spesific groups, but becomes routinely
interpreted and acted on by lay individuals in the course of their everyday actions (Giddens,
1994; hal 7).
Maka dalam konteks membicarakan perubahan dan proses-proses transformasi di
masyarakat hampir dipastikan sosok cendekiawanan dengan status, identitas dan kelompok
yang spesifik seperti ini tidak menarik lagi dibicarakan. Perbincangan mengenai demokrasi
misalnya untuk kasus-kasus spesifik seperti di Eropa Timur, Asia dan Afrika, bagi beberapa
analis sosial justru melihat kecenderungan baru negara-negara paska totalitarianisme yang
didorong oleh gerakan-gerakan rakyat. Sebagian dari gerakan ini diwarnai dengan aksi turun
jalan, demonstrasi massal dan aksi-aksi masif lainnya sebagai usaha untuk mendapatkan
tuntutan mereka. Sayangnya sebagian saja dari gerakan ini yang dianggap penting, perilaku
dan aksi-aksi masyarakat di tingkat akar rumput sebagian besar sulit dipahami dan diperoleh
penjelasan memadai jika dihubungkan dengan isu perubahan dan transformasi sosial.
Kebuntuan teoritik seperti ini dapat kita lihat dalam kajian-kajian ilmu politik. Namun
berkat usaha beberapa kelompok mahasiswa dan intelektual di beberapa negara kajian
mengenai politik arus bawah mulai banyak diperhatikan. Di Indonesia salah satu perkenalan
awal yang cukup memadai sebagai referensi menarik dapat dilihat dalam tulisan AS Hikam.
Hikam memberikan ilustrasi menarik bahwa politik arus bawah muncul sebagai usaha dari
kalangan masyarakat sipil dan beberapa intelektual organik dalam memikirkan sistem
alternatif yang keluar dari kelemahan dua ideologi besar selama ini; liberalisme-Pluralisme dan
Komunisme-sosialis. Di Indonesia sendiri, kajian sejarah malah memberikan arah yang lebih
terang bagi pengkajian kritis mengenai politik arus bawah. Sartono Kartodirjo dan Ong
Hokham, adalah tokoh penting yang patut disebutkan disini. Mereka telah mewarnai khasanah
pemikiran klasik di Indonesia dalam merintis kajian politik arus bawah[3]. Namun rintisan oleh
dua tokoh ini lama kelamaan hilang. Bahkan beberapa ilmuwan sosial pada hari ini mungkin
sudah lupa kontribusi yang pernah dimainkan oleh dua sosok sejarahwan di atas, lebih-lebih
oleh ilmuwan politik yang disibukkan mengutak-atik angka-angka dalam pemilu.
Ditelisik lebih jauh, hilangnya kajian ini dalam peredaran dunia akademik di Indonesia
salah-satunya adalah akibat politik stabilitas keamanan yang dicanangkan oleh Orde Baru.
Paradigma pembangunan menghentikan seluruh kemauan negara melihat berbagai
kemungkinan gelombang dan pergerakan rakyat. Dalam posisi negara sibuk melakukan proyek
pembangunan, gerakan-gerakan rakyat lebih dianggap sebagai pengganggu yang
mengkhawatirkan yang kelak dapat mengguncangkan tatanan yang ada. Lebih-lebih di
Indonesia, setelah konflik 1965, pemerintah melakukan sikap antiklimaks dengan melakukan
normalisasi kehidupan melalui berbagai usaha yang meredam konflik-konflik di masyarakat.
**
Dibawah ini saya ingin sedikit membawa konteks yang lebih global bagaimana sebuah
struktur kekuasaan dibangun sejak Orde Baru yang kemudian juga memberikan gambaran
betapa relasi antara masa kini (yang sering disebut sebagai Era Reformasi) ternyata tidak lepas
dari relasi-relasi kuasa global yang dibangun sebelumnya. Gambaran ini ingin saya mulai dari
peristiwa 1965 dan bangkitnya Orde Baru yang membawa gelombang modernisasi berikut
dampak-dampak yang dihasilkannya. Pada bagian akhir saya menawarkan perspektif baru
gerakan sosial yang menghubungkan dinamika politik akar rumput dan kecendekiawanan.

Tragedi 1965: Penciptaan Diskursus Anti Kiri-Komunis


Konflik politik 1965 adalah salah satu peristiwa paling dramatis dalam sejarah politik di
Indonesia. Peristiwa ini tak pelak merubah seluruh konstelasi politik, sosial dan kebudayaan
di Indonesia. Dengan makna lain, peristiwa ini tidak saja menandai suatu fase perubahan rezim
politik, perubahan-perubahan lain meliputi bidang sosial, ekonomi dan kebudayaan di
Indonesia juga terjadi secara dramatis. Perubahan radikal ini diikuti oleh trauma
berkepanjangan. Pengalaman traumatik secara terus menerus disebarkan dalam disain politik
Orde Baru. Reproduksi pengetahuan ini disampaikan melalui berbagai strategi yang
dimuarakan untuk membangun hegemoni.
Setelah Partai Komunis Indonesia(PKI) beserta underbouw-nya dibubarkan tanpa proses
pengadilan, negara Orde Baru melakukan sejumlah kebijakan dan tindakan-tindakan
terintegrasi. Salah satu kebijakan paling awet yang sampai sekarang masih dipelihara oleh
rezim politik paska Orde Baru adalah peraturan undang-undang yang dikeluarkan oleh dewan
perwakilan rakyat yang berisi larangan kelompok kiri-komunis di Indonesia. TAP MPRS/
XXV/1966 ini menyatakan larangan dan hukuman bagi seluruh komponen masyarakat yang
menggunakan atribut dan menyebarkan pengetahuan yang bertendensi menyebarkan ideologi
komunisme di Indonesia[4].
Langkah-langkah konstitusional ini kemudian diikuti oleh tindakan-tindakan ofensif
aparatus keamanan untuk melakukan pembersihan menyeluruh terhadap pengikut-pengikut
PKI beserta underbouw-nya. Sistem pelaksanaannya dilakukan dari tingkat kecamatan dengan
mengandalkan jaringan tentara yang diletakkan di seluruh wilayah di Indonesia. Para eks
simpatisan komunis, atau orang-orang yang dituduh secara semena-mena sebagai kelompok
komunis “diamankan” dengan berbagai metode. Metode paling dramatis yang menyisakan
luka mendalam adalah pembunuhan massal. Ratusan juta orang mati sia-sia, mereka
dimasukkan ke dalam lubang pembantaian, sebagian lainnya dipenjara tanpa proses peradilan
dan dibuang ke pulau buru. Bagi para korban yang masih hidup, yang kemudian dicap sebagai
eks Tapol/Napol, seringkali dihadapkan oleh kenyataan betapa hak dan kewajiban mereka
sebagai warga negara dinihilkan. Selain bahwa mereka akan terus berada dalam pengawasan
pihak keamanan, keluarga dan sanak famili mereka turut menjadi korban karena
diberlakukannya “dosa warisan”.
Dosa-dosa warisan ini adalah cap khusus bagi eks komunis dan keluarganya. Mereka
mendapatkan KTP dengan tanda khusus, keluarga-keluarga mereka juga diperlakukan secara
khusus semisal akses yang serba terbatas terhadap pilihan bidang pekerjaan dan akses-akses
lain dalam mendapatkan pelayanan publik. Tidak jarang orang-orang dari pihak keluarga eks
Tapol/Napol PKI yang sudah mapan dengan bidang pekerjaan tertentu, dan memiliki
kehidupan yang nyaman dan serba berkecukupan secara material, tiba-tiba harus kehilangan
seluruh kenyamanan ini karena cap mereka sebagai keluarga yang tidak “bersih lingkungan”.
Fakta ini mengandaikan bahwa mereka harus menanggung dosa warisan karena salah satu
keluarga mereka yang telah terlibat atau dinyatakan terlibat dalam keorganisasian komunisme
di Indonesia. Tindakan-tindakan politik seperti ini telah menghancurkan beberapa keluarga.
Hilangnya seluruh akses publik ini sebenarnya merupakan akibat langsung dari politik
pembersihan tubuh-tubuh eks komunis. Selain politik pembersihan berlangsung melalui usaha
pembantaian massal (genocida), kelompok-kelompok yang masih hidup juga tetap berada
dalam suatu jaringan kekuasaan otoritarian. Dimanapun rezim seperti ini secara fisik
beroperasi dan merusak atas tubuh. Begitulah kelompok eks-komunis mendapatkan perlakuan
khusus: Pencatatan KTP (Kartu Tanda Penduduk) bagi eks-Tapol/Napol PKI diberi cap khusus
agar mereka mudah dikontrol,

KTP dan KK (Kartu Keluarga) mendapatkan tanda khusus. Sulit


mencari pekerjaan, karena tidak ada yang berani menerima, dengan alasan
eks Tapol. Tempat tinggal juga berpindah-pindah, hampir dua bulan sekali
saya beserta keluarga harus mencari tempat yang agak “aman lingkungan” .
begitulah keadaan saya dan keluarga[5].

Sebagai kebijakan publik, politik bersih lingkungan dan paket-paket kebijakan lain yang
bersinggungan dengan eks-komunisme di Indonesia ini jelas tidak merupakan satu regulasi
yang berdiri sendiri. Bersamaan dengan kebijakan lain sebagai penopang kekuasaan Orde
Baru, regulasi-regulasi ini memberi sinyal bagi suatu diskursus tertentu yang tengah di bangun
di Indonesia. Pertama, kita mendapatkan suatu fakta berikutnya bahwa kebijakan pembersihan
unsur-unsur komunisme di Indonesia ditujukan sebagai usaha yang oleh Hilmar Farid disebut
sebagai pembentukan formasi sosial baru di Indonesia. Formasi-formasi sosial ini pada periode
berikutnya sangat mendukung berlangsungnya proses industrialisasi yang bertumpu kepada
mekanisme ekonomi kapitalis. Sebagaimana kita ketahui, PKI merupakan partai yang paling
vokal dalam menentang gagasan-gagasan kapitalisme liberal. Sistem keorganisasian partai
komunis di Indonesia mendorong lahirnya gerakan-gerakan buruh yang cukup vokal
menyuarakan nasib buruh dalam hubungan industrial.
Maka, kedua, politik pembersihan berhubungan erat dengan hancurnya basis-basis
keorganisasian buruh yang kuat. Hubungan produksi tuan-buruh yang semula relatif setara
karena adanya serikat-serikat buruh yang kuat kini berubah menjadi hubungan yang timpang.
Nyaris semua organisasi buruh dikendalikan dan diintervensi oleh negara. Buruh dan petani
yang identik sebagai elemen penting pengorganisasian partai komunis menjadi obyek
pembasmian paling dramatis. Pembunuhan nyawa atas ribuan buruh terjadi di beberapa
tempat. Misalnya di perkebunan Sumatera Utara, diperkirakan enam belas persen buruh
dinyatakan hilang, beberapa diantara mereka terbunuh, dan sebagian yang lain tidak
teridentifikasi keberadaannya (Farid, 11; 2005). Situasi demikian nampaknya telah
direncanakan sebagai prakondisi menciptakan formasi sosial baru sebagai penopang rezim
Orde Baru.
Formasi sosial baru yang ditopang oleh proyek reproduksi wacana anti-komunis di
Indonesia ini perlu dilihat sebagai penggandaan modal-modal kultural sebagai teknik
mendapatkan kuasa-kuasa baru. Dalam konteks ini seperti disampaikan Daniel Dhakidae
bahwa kultur dan kapital bertukar tempat dan berdasarkan itu seseorang bisa mengatakan
bahwa baik kapital maupun kultur adalah dasar paling utama bagi perkembangan sosial.
Dengan begitu, yang disebut kultur dan kapital tidak lain sebagai kembar siam yang
dihubungkan penngunaannya; culture was capital generalized and capital was culture
privatized – seperti kata Gouldner (Dhakidae, 2003; hal, 57).

Modernisasi, Militerisasi dan Politik Persatuan


Prestasi spektakuler yang dicapai oleh Orde Baru setelah membersihkan kelompok
komunis di Indonesia adalah kemampuannya yang konsisten dalam usahanya
mengembangkan formasi sosial baru. Formasi sosial ini membentuk jalan licin bagi usaha
stabilisasi di Indonesia. Salah-satu jalan licin itu adalah terbentuknya diskursus ilmu
pengetahuan yang didominasi oleh paradigma modernisasi. Di titik inilah pertemuan antara
proyek kapitalisme global yang dibangun melalui diskursus modernisasi menemukan
pijakannya di Indonesia[6]. Kelompok-kelompok akademisi yang pada masa peristiwa 1965
masih berada di luar negeri, dan pada umumnya tidak memiliki ikatan dengan gerakan kiri di
Indonesia mendapatkan tempat berkiprah di Indonesia. Sebagian dari kelompok ini adalah
mahasiswa Indonesia lulusan Amerika yang secara akademik berhaluan pemikiran kanan[7].
Pembalikan wacana ini dibangun sedemikian rupa, diskursus ilmu pengetahuan dikembangkan
dan direproduksi di kalangan dunia akademik, sembari pada saat yang bersamaan penetrasi
negara mengambil bentuk baru dengan terus menebarkan wacana anti kiri di Indonesia.
Penahanan, pembunuhan dan politik eksil terhadap aktivis kiri dilakukan melalui cara
yang sistematis dan bentuk-bentuk pembersihan ini berlangsung secara terus menerus selama
masa Orde Baru. Dengan kata lain, pembersihan ini tidak berlangsung semata-mata untuk
memberikan kesempatan bagi kelompok-kelompok politik yang melakukan balas dendam
dengan simpatisan eks PKI. Namun jauh dari yang diperkirakan para pemuda banser, dan
algojo-algojo muslim di lapangan, rezim politik Orde Baru memiliki jangkauan jangka
panjang di dalam melakukan politik pembersihan ini. Semua gerakan-gerakan ini dilakukan
sebagai akibat dari gerak pendulum politik-ekonomi yang semula digerakkan ke arah kiri, kini
digeser secara dramatis kearah kanan namun dilakukan dengan berbagai penyesuaian dan
kepentingan spesifik. Kekhasan dari bandul paradigma ekonomi pasar Orde Baru adalah
kekuatan ekonomi pasar yang tidak diletakkan dalam iklim politik yang liberal. Pembunuhan
dan penahanan aktivis dan simpatisan kiri di Indonesia itu sendiri bahkan sama sekali
berlawanan dengan gaya politik liberal.
Perspektif dalam teori-teori modernisasi memberikan penjelasan ilmiah bagaimana
politik pembangunan harus dijalankan oleh negara berkembang seperti misalnya Indonesia
untuk melakukan perubahan sosial yang diinginkan. Tiap-tiap disiiplin ilmu sosial
dipersiapkan untuk mengembangkan konsep konsep yang lebih rigit dan aplikatif untuk
membuat asumsi-asumsi teoritik mengenai sejumlah masalah perubahan sosial tersebut.
Misalnya para sarjana ekonomi melihat modernisasi terutama dalam kerangka pemanfaatan
perangkat teknologi oleh manusia untuk mengendalikan sumber-sumber alam. Para sarjana
politik membuat teori mengenai faktor-faktor negatif yang kemudian dibidik sebagai sasaran
pembinaan bangsa. Para sarjana psikologi menekankan kepada pertumbuhan pengetahuan,
pendidikan dan prestasi individu. Pendeknya modernisasi pada berbagai selubung ini
membicarakan transformasi kultural oleh manusia dan mobilisasi yang cepat. Para penganjur
orientasi ilmu sosial ini selalu menganggap bahwa modernisasi merupakan prasarat penting
bagi pembangunan[8].
Dalam teori-teori modernisasi yang secara jelas menisbatkan kepada sikap ideologis
yang bias Eropasentris, setiap usaha untuk mengembangkan proyek pembangunan harus
memandang secara kontekstual sifat dari tahapan perkembangan masyarakat[9]. Fenomena
yang terjadi di negara-negara nonbarat seringkali belum banyak ditemukan kondisi masyarakat
liberal dan karakteristik division of labour masyarakat yang ditandai munculnya kelas
menengah di perkotaan.

Apabila negara-negara berkembang diuji berdasarkan model modernitas


kita, kesulitan-kesulitan maha besar yang terdapat di jalan menuju modernisasi
itu nampak lebih jelas. Tidak mudah bagi dunia timur untuk mencapai dengan
cepat dalam abad sekarang apa yang oleh dunia barat diselesaikan sedikit demi
sedikit selama tiga abad yang terakhir.[10]
Pendekatan model mengasumsikan betapa ilmu sosial itu sendiri tidak ditempatkan
sebagai bagian dari praktik sosial. Ia ditempatkan berada diluar (obyektif), dan dengan
demikian asumsi-asumsi normatif yang mendasarinya adalah keinginan untuk bertindak
seperti suatu agama, dimana ia memberikan suatu paket skematika, atau model-model khusus
mengenai perubahan yang perlu diaplikasikan di dalam konteks tertentu. Dalam konteks
Indonesia, karena konteksnya yang khas perubahan seperti yang dikehendaki (oleh teori
modernisasi itu) mensaratkan satu hal: Perlunya agensi tertentu untuk mengambil prakarsa dan
pendorong utama proses pembangunan tersebut. Agensi ini adalah unit yang kelak bisa
bertindak netral, dan mampu bertindak profesional untuk mengawal proses perubahan itu.
Agen terpenting yang disinyalir tangkas mengawal proses modernisasi ini adalah organisasi
militer. Diskursus modernisasi membahas panjang lebar kelebihan serta keunggulan organisasi
militer di negara-negara berkembang. Organisasi militer dipandang memiliki kualifikasi
modern dan jauh lebih memiliki kualitas intelektual yang memadai dalam mengawal proses
kemajuan tersebut.
Sebagian besar ilmuwan sosial berhaluan teori modernisasi memandang tipe organisasi
militer secara inheren lebih modern ketimbang lembaga-lembaga lain. Citra seperti ini muncul
di masa paska perang dunia ke-2. Mereka mengagungkan rasionalitas yang mereka lihat
implisit dalam hirarki militer, efektiifitas yang mereka klaim bersifat inheren dalam gaya
militer yang menempatkan metode di bawah tujuan dan keakraban dengan teknologi tingkat
tinggi yang harus dikembangkan oleh para perwira. Para satria militer secara alamiah
diidentifikasi sebagai antiradikalisme, karena mereka adalah pelarian yang bergerak keatas
dari ‘kelas menengah kebawah”. Ada penundaan selama beberapa tahun sebelum pengaruh
penuh dari ikhtisar program bantuan militer ini berlaku mengingat tujuan politiknya telah
dirasakan. Janowitz mengemukakan bahwa masyarakat seperti Amerika Serikat, organisasi
militernya mengandung ciri-ciri perusahaan manajerial dan tanggung jawab yang sangat
meningkat di bidang politik dan ekonomi. Bahkan dinegara-negara berkembang, unsur-unsur
dalam organisasi militer dan sikap perwiranya cenderung membuat profesi militer bersifat
kritis dan bahkan negatif terhadap kepemimpinan politik sipil. Janowits menunjukkan latihan
MAP (Military Assistance Program) sebagai suatu alat yang bisa bermakna banyak dalam
memperlengkapi para perwira asing sebagai personil yang terlatih secara teknis, bersemangat
kemasyarakatan, dan yang pandangan rekayasanya membuat mereka berharga dalam tugas-
tugas modernisasi negaranya[11].

Untuk menghindari kesemuanya ini, dan dengan demikian sekaligus


memantapkan kondisi bangsa yang sedang membangun, perlu diciptakan
ketertiban di bidang sosial politik dan di bidang keamanan. Dalam rangka ini
maka integrasi diselenggarakan agar terdapat satu komando, satu prinsip
dan dedikasi yang sama. Tidak saja dalam tubuh ABRI, tetapi dalam struktur
sosial politik juga perlu[12].

Kemampuan spektakuler Soeharto mengawali kepemimpinannya di masa Orde Baru


adalah kesuksesannya mengonsolidasikan kekuatan-kekuatan militer, terutama di lingkungan
angkatan darat. Kesuksesan ini tidak lain bisa dicapai karena kemampuannya menggalang dan
memobilisasi seluruh elemen masyarakat untuk mengakhiri kekuatan-kekuatan kiri di
Indonesia. Dan jika kita coba runut dari belakang, sejarah kaum komunis di era 1960an adalah
sejarah rivalitas dan konfrontasi, dan sikap perlawanan ini terutama ditujukan terhadap
petinggi-petinggi militer. Perselisihan ini sebagian karena doktrin-doktrin PKI yang gencar
melawan feodalisme di berbagai tempat. Gaya kepemimpinan aristokratik Jawa misalnya
sangat tidak disukai oleh kelompok PKI. Sikap kepemimpinan ini dianggap terlalu menjunjung
tinggi senioritas yang secara kebetulan waktu itu banyak dijumpai di kalangan petinggi
militer[13]. Namun persaingan ketat antara komunisme dengan militer tidak selalu dikaitkan
dengan persoalan ini. Basis ideologi yang berbeda dan visi di dalam membawa Indonesia ke
depan secara jelas menempatkan kekuatan komunis dan militer untuk saling berhadapan secara
diametral[14]. Jadi kesuksesan menumbangkan kekuatan-kekuatan komunisme di Indonesia
adalah saat yang paling ditunggu oleh sebagian pejabat tinggi militer di Jakarta. Kemenangan
ini membawa para petinggi militer tidak saja melakukan penguasaan secara fisik atas pos-pos
strategis di lingkungan pemerintahan, tapi juga kesempatan membangun wacana baru
mengenai aspek-aspek kebangsaan dan nasionalisme.
Diskursus kebangsaan yang dipengaruhi citra tentang kecanggihan sistem
keorganisasian militer melahirkan posisi dan peran militer yang istimewa di Indonesia.
Keistimewaan ini dapat dibaca dalam pembentukan model relasi sipil-militer yang kemudian
dikenal sebagai wacana dwifungsi ABRI. Diskursus Dwifungsi ABRI secara berulang-ulang
menarasikan keterlibatan intensif tentara di Indonesia dalam pembentukan negara Republik
Indonesia. Peran-peran ini digambarkan sedemikian rupa, membentuk suatu citra militer
sebagai garda depan dalam menentukan corak kebangsaan di Indonesia. Oleh karena itu,
wacana ini kemudian melahirkan rekomendasi untuk membangun model ideal sipil-militer
yang meletakkan peran profesional militer tidak saja difokuskan kepada peran pertahanan
keamanan, namun juga dapat dikaryakan dalam peran-peran sosial politik lainnya. Dalam kata-
kata Moertopo, peranan ABRI sebagai alat pertahanan keamanan maupun kekuatan sosial itu
telah dilaksanakan sejak semula, jauh sebelum dikenal istilah Dwifungsi.[15]
Jadi militer memegang posisi sentral di masa Orde Baru. Negara negara berkembang
memiliki kecenderungan yang sama. Namun di Indonesia, formasi baru ini menelan biaya
besar dalam mengganyang kelompok kiri-komunis dan seluruh kelompok underbouw-nya.
Fakta ini paling spektakuler sepanjang sejarah, dan prestasinya hanya dapat disaingi oleh rezim
Hitler di Jerman dengan Holocaust-nya. Danpak yang dihasilkannya sangat meluas, kekuatan
kiri komunis nyaris tidak dapat disuarakan, bahkan ketika ia hanya sebentuk suara saja tanpa
rupa[16]. Dalam sejarahnya hanya PKI yang paling vokal menyuarakan bahaya-bahaya
kapitalisme, dan ketidaksetujuannya diteruskan dengan kebijakan-kebijakan landreform yang
dilapangan menimbulkan aksi-aksi sepihak. Bahaya neokomunisme yang terus disuarakan ini
sebagian mereproduksi negativitas PKI yang dituduh sebagai biang kerusuhan, provokator,
dan seterusnya.
Diskursus kiri nyaris menjadi momok di Indonesia. Di kehidupan kampus, selama
puluhan tahun tidak dapat ditemukan isu dan topik penelitian yang berhubungan dengan kelas,
konflik dan gerakan sosial. Kuasa politik dan aksi pembungkaman kaum kiri berujung kepada
skenario hegemoni pengetahuan. Di UGM, UI dan kampus-kampus lain tidak mudah
ditemukan buku-buku berbau kiri, Marxisme dan sejenisnya. Mahasiswa tidak mendapatkan
ruang mendiskusikan secara bebas fenomena sosial dan politik dalam mimbar akademik yang
bebas. Ben Hwat misalnya mendeteksi karya-karya ilmiah di kalangan mahasiswa, dosen dan
peneliti dari jurusan pertanian dan pertanahan yang nyaris tidak satupun yang melakukan
penelusuran dan penelitian serius mengenai kasus landreform di Indonesia. Di fakultas Ilmu
Sosial dan Politik, diskusi dan penelitian diarahkan untuk meperluas barisan komunitas
akademik yang melegitimasi teori-teori modernisasi, perubahan sosial, dan peran-peran
dwifungsi. Fenomena ini berjalan puluhan tahun.
Arus ini berbalik ketika kekuasaan Soeharto berada di ujung tanduk. Ketika barisan
masyarakat sipil melawan Soeharto semakin menyeruak, bacaan-bacaan ini muncul seperti
jamur di musim hujan. Karya-karya Pram, teori-teori kelas hampir menjadi santapan sehari-
hari aktivis mahasiswa. Dalam masa-masa krisis kepemimpinan, beberapa daerah semakin
nyaring menyuarakan gerakan kemerdekaan. Aceh, Riau, Papua dan yang paling spektakuler
adalah Timor Timur. Meskipun seluruh barisan daerah yang membangkang ini tidak sesukses
Timor Timur, namun fakta ini tetap menunjukkan seruan menelisik kembali relasi pusat-
daerah yang sampai saat ini menjadi isu seksi yang dapat digunakan untuk menjaring aksi
perlawanan. NKRI yang pada masa Soeharto dipraktikkan sebagai ideologi represif – dengan
kredonya, “NKRI harga mati, dikritik dan dilawan dengan aksi-aksi regionalisme
(kedaerahan).
Aksi-aksi perlawanan melawan rezim Soeharto menghasilkan jenis kekuasaan baru:
desentralisasi. Sepanjang tahun 2000 sampai sekarang Pilkada menjadi euphoria baru dalam
menjelajahi kehidupan demokrasi di Indonesia. Kita tidak dapat merasakan fakta seperti saat
ini pada masa-masa sebelumnya. Elite-elite politik baru hadir mengisi kursi-kursi di gedung
parlemen, komisi-komisi negara dan departemen-departemen. Mereka sebagian merupakan
aktivis mahasiswa yang semula menjadi tokoh-tokoh dan simpatisan dalam gerakan melawan
Soeharto. Gelanggang politik baru paska Orde Baru ini merubah berbagai hal yang
sebelumnya belum pernah terjadi. Akan tetapi, dapatkah perubahan ini dimaknai sebagai
perjalanan menuju demokratisasi?

Neoliberalisme, dan Dampak-dampaknya


Dalam perdebatan ilmu politik kita perlu membedakan antara liberalisasi dan
demokratisasi. Dalam liberalisasi, kebebasan pers memang jauh lebih longgar dibandingkan
masa sebelumnya, fungsi-fungsi media tidak lagi dikerdilkan seperti dibawah Orde Baru. Jalur
komunikasi politik tidak lagi seperti masa Orde Baru yang selalu bersifat topdown. Kini kita
dapat merasakan berbagai suara dan sumber informasi mengenai peristiwa-peristiwa politik,
sosial dan kebudayaan. Liberalisasi adalah tahapan awal untuk memulai kehidupan yang lebih
demokratis. Akan tetapi, dimensi demokratisasi itu sendiri jauh lebih luas daripada sekedar
liberalisasi. Pergulatan demokratisasi jika masih sampai kepada persoalan liberalisasi hasilnya
seperti yang sudah disepakati sebagai kredo aktivis mahasiswa di masa lalu, “Turunkan
Soeharto”. Selesai. Begitu Soeharto turun, aktivis-aktivis ini berbondong-bondong ke kursi-
kursi politik baru dan menjadi ruling class baru. Agenda demokratisasi harusnya memikirkan
agenda pemerintahan paska Soeharto, model rekrutmen kepemimpinan, sistem kontrol dan
penataan kehidupan dalam berbagai dimensi.
Katup liberalisasi tanpa dibarengi demokratisasi menghasilkan “kebebasan semu”,
karena seperti diuatarakan oleh Herry Priyono dalam pidato kebudayaannya di TMII beberapa
hari yang lalu, kebebasan dalam neoliberalisme lebih memenangkan kelompok dengan uang
berlimpah, bahkan kebebasan itu sendiri semakin disempitkan sebagai sesuatu yang dapat
ditukar dengan materi (uang).

Neoliberalization has meant, in short the financialization of everything.


This deepened the hold of finance,over all other areas of economy as well as
over the state apparatus and, as Randy Martin points out, daily life. It also
introdiced an accelerating volatility into global exchange relations. There was
unquestionably a power shift away from production to he world finance. Gains
in manufacturing capacity no longer necessary meant rising per capita
incomes, but concentration on financial services certainly did.[17]

Hasilnya, sampai sekarang partai politik dengan uang melimpah masih memegang rekor
tinggi sebagai pemenang pemilu. Elite-elite baru, baik di jajaran bupati, gubernur dan bahkan
presiden tidak dapat menampik fakta hadirnya money politics dalam jual beli suara. Mereka-
mereka inilah yang kelak terus akan mengisi jabatan-jabatan publik yang dipilih dari “proses
demokratis” . Di Amerika yang diklaim negara paling demokratis menghadapi dilema serupa:
demokrasi tersandera oleh kepentingan uang dan pemodal.
The democratic deficit in nominally democratic countries such as the US
is now enormous. Political representation is there compromised and corrupted
by money power, to say nothing of an all too easily manipulated and corupted
electoral system. Basic institutional arrangements are seriously biased. Senator
from twenty-six states with less than 20 per cent of the population have more
than half the votes to determine the congressional legislative agenda. The
blatant gerrymandering of congressional districts to advantage whoever is in
power is, furthermore, deemed constitutional by a neoconservative persuasion.
Institution with enoemous power, like the Federal reserve, are outside any
democratic control whatsoever[18].

Faktanya gelombang liberalisme di beberapa tempat tidak memerlukan rezim


demokratis. Kasus di Chile, dan reformasi ekonomi yang digulirkan Deng Xiaoping (1978)
nampaknya tidak berbeda dengan yang diperagakan oleh Soeharto. Negara-negara ini
meskipun menata kehidupan ekonominya secara totaliter namun memberi kelancaran bagi
proyek kapitalisme pasar. Meskipun Republik Chile, dan Cina berhasil membangun kekuatan
militeristik yang kokok selama puluhan tahun, ia tetap dapat mengklaim bahwa secara
ekonomi mengadopsi apa yang sering ia disebut sebagai ekonomi neoliberal.
Meskipun Rizal Malarangeng menyatakan bahwa di dalam struktur Orde Baru terjadi
tarik-menarik antara kelompok proprivatisasi dan sentralisme ekonomi, namun fakta yang
tidak dapat ditolak adalah munculnya UU PMA (Undang-undang Penanaman Modal Asing)
yang justru sudah digulirkan sejak Orde Baru berdiri. Ini artinya bahwa rezim neoliberalisme
merupakan mahzab penting yang paling berpengaruh. Ditinjau dari sejarahnya, neoliberalisme
tidak bersoal banyak dengan kebebasan dalam arti yang sangat luas, akan tetapi lebih
menunjuk kepada praktik pembukaan pasar bebas dan pembangunan infrastruktur yang
memuluskan masuknya modal-modal asing asing ke Indonesia. Pemberian wewenang yang
terlalu luas kepada elite militer adalah salah-satu usaha represif untuk memobilisasi massa agar
menerima agenda-agenda negara. Agenda negara dalam konteks ini adalah pembangunan.
Proyek pembangunan seperti telah dijelmakan oleh Soeharto bukan kasus spesifik yang hanya
terjadi di Indonesia.
Watak pembangunan Soeharto adalah pertumbuhan ekonomi yang digesa melalui
industrialisasi. Faktanya teori tetesan ke bawah tidak sampai terwujud sampai lengsernya
Soeharto, sebaliknya:

Wealth doesn't always trickle down. There are limits to growth. The
state will not protect us. A society guided only by the invisible hand of the
market is not only imperfect, but also unjust. The world that is emerging from
the cold war is the antithesis of the shrink-wrapped One World of the
hyperglobalists. It is in fact confused, contradictory, and mercurial. It is a
world in which a litany of doubts is starting to be recited, not at the ballot
box, but in cathedrals, shopping malls, and on the streets. A world in which
loyalties can no longer be determined, and allegiances seem to have
switched[19]

Jadi sangat bisa dimengerti, jika kasus Newmont yang terjadi di teluk Buyat Sulawesi
Utara tidak terdeteksi dengan baik, hak-hak rakyat tetap menggantung tidak menentu. Dampak
lingkungan yang membawa berbagai penyakit di lingkungan setempat tidak pernah diakui dan
bahkan informasinya ditutup demi mengamankan perusahaan yang telah memberikan upeti
kepada beberapa elite tertentu. Alih-alih mendapatkan informasi yang benar mengenai dampak
lingkungan oleh industrialisasi PT Newmont, beberapa media massa terkontrol oleh politik
kelompok pemodal itu sendiri.
Kasus paling jelas juga terjadi di Lapindo. Lapindo yang jelas menelan korban begitu
banyak dari seluruh lapisan masyarakat tidak dibenahi dengan serius. Sistem transportasi milik
publik yang menghubungkan Gresik, Surabaya, Pasuruan, Malang lumpuh total. Beberapa
sekolah terpaksa dipindahkan dengan darurat untuk meneruskan sistem pengajaran – meskipun
ruang-ruang darurat sangat tidak memadai bagi siswa-siswi. Namun, pemilik modal Lapindo,
yang sekarang masih menjabat Menteri Sosial, dibiarkan tanpa proses hukum. Orang-orang
yang memiliki modal dan menguasai hayat hidup orang banyak dibiarkan menikmati hidupnya
tanpa rasa bersalah, sementara kelompok masyarakat yang menderita kerugian nyawa dan
harta akibat ketidakbecusan mengelola modal usaha dari segelintir orang dibiarkan tidak
berdaya, tanpa ada usaha menutupi kerugiannya. Politik media dimainkan oleh pemodal
dengan membangun asumsi-asumsi yang hendak menyatakan bahwa peristiwa meluapnya
lumpur Lapindo akibat bencana alam yang sulit diatasi oleh usaha manusia.
Penderitaan rakyat dan kesusahan yang menjadi bagian hidup sehari-hari masyarakat di
sekitar Lapindo tersapu oleh sihir media di Jawa Timur yang berpolemik dengan isu-isu teknis,
dan politis.
Fakta seperti ini jelas menunjukkan bahwa negara yang kini
semakin powerless terdominasi oleh struktur baru yang jauh lebih berbahaya; perusahaan-
perusahaan yang menahan dan menentukan laju bekerjanya negara jika negara tidak memihak
kepada kepentingan mereka.
Nah, dalam kasus seperti inilah kita bisa mengerti mengapa transparansi dana pemilu
yang sempat menghebohkan kemarin sulit dideteksi dan dipahami dengan baik oleh publik.
Soalnya sangat sederhana, bahwa bagaimanapun semua tokoh-tokoh politik yang kemarin
bertanding menuju pencalonan sebagai presiden tidak mengelak fakta bahwa mereka
menerima uluran tangan dari berbagai pengusaha. Kekisruhan dan polemik yang diserbarkan
media belum menunjukkan tanda akan segera diselesaikannya kasus money politics ini.

**
Proyek Neo-Lib adalah fakta yang saat ini tengah mengitari kehidupan di Indonesia.
Dipaksa atau tidak, kita semua berhadapan dengan realitas ini. Yang menjadi soal selanjutnya
adalah bagaimana kita menyikapinya. Terdapat berbagai kemungkinan untuk melihat dimensi
aktivitas gerakan rakyat dalam menyikapi persoalan ini. Di masyarakat akar rumput aksi-aksi
untuk merespon perubahan-perubahan akibat liberalisasi berlangsung dengan tingkat gerakan
yang berbeda-beda.

Potret Politik Arus Bawah


Di beberapa tempat yang menjadi basis hidup masyarakat lokal, seperti hutan-hutan
tropis yang dihuni oleh komunitas-komunitas indegenous people yang sangat
menggantungkan hidupnya pada kekuatan alam mengalami pemusnahan karena eksploitas
hasil-hasil alam di sekitar wilayah hunian mereka. Kondisi ini terjadi di Papua (Freeport), NTB
(Newmont), Sulawesi Selatan (Lonsum), dan daerah-daerah di Sumatera. Modernisasi yang
merubah cara, sikap dan norma-norma kehidupan masyarakat akar rumput merubah secara
drastis kehidupan mereka. Tradisi-tradisi lama yang semula menjadi budaya bersama mereka
sedikit demi sedikit hilang.
Yang dapat kita refleksikan dari peristiwa ini adalah relasi-relasi global (gelombang
neoliberalisasi) dan akibat-akibatnya di tingkat lokal. Kesulitan terbesar dari perjuangan
kelompok akar rumput ini dalam memperjuangkan hak hidup dan tanah ulayatnya adalah
perpindahan hak kolektif – yang sebelumnya dijadikan hukum yang mengikat bersama antar
komunitas –menjadi hak individu atas tanah-tanah milik mereka. Klaim akte-isasi tanah
menyulitkan perjuangan mendapatkan tanah air mereka yang sudah dikuasai oleh perusahaan-
perusahaan tertentu. Keputusan MK dalam perkara judical review atas UUD 1945 pasal 33 (?)
misalnya memiliki makna liberalisasi yang sangat mencolok. Keputusan ini memberi sinyal
semakin mudahnya perusahaan-perusahaan memiliki lahan tertentu untuk ekspansi kapital
mereka. Tentu saja kekuatan-kekuatan pemodal besar menjadi ancaman baru. Di tengah-
tengah kemiskinan kolektif yang mendera sebagian besar kelompok masyarakat akar rumput,
proses pemindahan kepemilikan lahan tidak lagi dilangsungkan melalui aksi-aksi kekerasan.
Bahkan, bujukan salah satu perusahaan untuk menjual lahan mereka tidak perlu dipikir
panjang. Mereka tergiur dengan uang puluhan juta untuk menjual lahan mereka yang kelak
akan dijadikan sebagai salah satu sumber mata air milik perusahaan. Di beberapa daerah
kondisi ini juga terjadi. Kesejangan yang terlalu lebar antara kelompok berduit dengan
kemiskinan yang semakin menganga di desa-desa dan rumah-rumah penduduk yang
berdekatan dengan hutan-hutan lindung dan pertanian memudahkan proses pencaplokan ini.
Di daerah-daerah yang kaya dengan sumber-sumber alam dan jauh dari perkotaan, lebih-lebih
jauh dari pemberitaan media memudahkan penetrasi modal menjangkau wilayah-wilayah ini.
Bagaimanapun ekspansi kapital tidak dapat dipahami semata-mata sebagai fenomena
lokal. Kasus Lonsum yang bercokol selama puluhan tahun di Bulukumba Sulawesi Selatan
tidak bisa dilihat dalam posisi sesaat ketika beberapa bulan yang lalu menimbulkan konflik
dengan petani setempat. Privatisasi telah menjadi bagian penting dari proses kapitalisasi lahan
di beberapa tempat. Perusahaan seperti Lonsum saat ini tidak saja menimbulkan bencana besar
bagi rusaknya komunalitas di kalangan petani Kajang, akan tetapi merubah banyak pembagian
kerja yang semula dipahami sebagai pembagian kerja berdasarkan keselarasan dengan tradisi.
Petani di Kajang telah terpecah sebagai kelompok adat, petani buruh, dan petani biasa. Masing-
masing menjalankan sistem hidup yang berbeda-beda. Kelompok petani adat, yang hidup di
lingkaran cagar budaya setempat memiliki nilai-nilai yang masih dijunjung tinggi dari sumber
tradisi. Meskipun demikian, kondisi ini berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Perubahan
yang berlangsung cepat menjadikan mereka semakin gagap mengikuti irama perubahan ini.
Kearifan lokal jelas memiliki caranya sendiri sebagai benteng peneguh identitas mereka
dari ancaman luar. Namun tradisi-tradisi ini bagaimanapun bisa bertahan karena individu-
individu yang berada di dalamnya sebagai satu kesatuan yang terkonsolidasi secara komunal.
Penetrasi modernisasi yang merembes ke tingkat masyarakat paling bawah mendorong adanya
perubahan-perubahan baru di kalangan mereka. Tidak mudah lagi membangun komunikasi
berdasarkan kekerabatan yang sangat komunal. Masing-masing keluarga, bahkan individu
memiliki kebebasan melakukan kontak dengan dunia luar. Salah-satu kelemahan tradisi
komunal seperti yang masih dipelihara di komunitas-komunitas lokal adalah posisinya yang
inferior berhadapan dengan “modernitas”. Sebagian besar komunitas lokal masih menganggap
relasi tradisi vis a vis modernitas, dengan memilih kehidupan yang relatif terisolasi.
Seperti di Bulukumba, kelompok adat menyempitkan posisinya ke dalam status
komunitas dalam (). Kelompok adat di tempat lain juga berusaha untuk membentengi diri dari
serangan gencar dari luar dengan membangun batas geografis yang tegas dengan kelompok
lain. Sayangnya dalam usaha membangun batas-batas ini, stigmatisasi dan kesan-kesan negatif
dan negativitas mereka lebih banyak direpdoduksi daripada pengetahuan mengenai perbedaan-
perbedaan budaya. Pada sisi lain, secara internal kelompok-kelompok minoritas lokal ini lebih
banyak mereproduksi sikap pengetahuan yang bersifat inward looking, mereka sibuk
mempertahankan diri tanpa ada usaha membangun komunikasi intensif dan dialog dengan
kelompok lain. Dilema ini penting untuk kita kita bicarakan bersama.
Seperti misalnya di Bulukumba, kisruh diantara dua elite yang berseteru menunjukkan
dilema konflik yang merupakan kecenderungan baru dan yang sebelumnya belum pernah
diantisipasi. Kekuatan-kekuatan yang terfragmentasi akibat dorongan eksternal juga menyulut
“kerentanan” tradisi-tradisi lokal. Relasi antar elite dan warganya juga semakin dipersulit
akibat urusan-urusan antar keluarga yang semakin kompleks. Surutnya hubungan ini
mempermudah letupan konflik dan sekaligus menyurutkan kelompok-kelompok penganut
tradisi (lokal) secara keseluruhan.
Sementara itu, petani dengan status buruh perkebunan karet PT Lonsum tidak ada
kekuatan penopang perekonomian mereka kecuali menjadi buruh perusahaan. Mereka bekerja
berdasarkan standar gaji setempat, yang susah untuk mendapatkan status mobilitas vertikal
berdasarkan jenjang karir. Buruh-buruh ini bahkan memiliki resikom hidup lebih besar
dibandingkan dengan petani lainnya. Mereka memiliki jam kerja yang ketat dengan gaji ala
kadarnya. Relasi mereka petani lain dapat semakin renggang akibat perbedaan status seperti
ini. Meskipun mungkin nasib mereka tidak setragis curuh kota, mereka bagaimanapun adalah
bagian kecil dari kehidupan di pedesaan yang semakin terasing dengan lingkungan setempat.
Sementara petani-petani lain meinkmati masa senggang yang lebih baik, mereka hanya
memiliki sedikit waktu senggang dan bersenag-senang.
Gambaran sekilas di Bulukumba ini hanya sedikit potret yang bisa menjelaskan proses
fragmentasi yang terus terjadi di kalangan komunitas-komunitas lokal di Indonesia. Meskipun
akhir-akhir ini kita mendapatkan laporan banyaknya proses pendampingan oleh beberapa
LSM, kondisi fragmentasi ini belum berubah ke arah yang lebih baik. Sebagian besar aksi
pendampingan, apalagi yang dicerca dengan isu-isu HAM sedikit sekali yang memahami
proses sejarah pembentukan formasi sosial kelompok-kelompok lokal di Indonesia. Formasi
sosial yang terjadi setelah peristiwa 1965 adalah mobilisasi massal kelompok-kelompok
masyarakat akar rumput untuk dipenetrasi oleh proyek pembangunan. Hilangnya kekuatan
komunis di Indonesia merubah relasi rakyat vis a vis negara yang semula masih diwarnai
proses negosiasi dan perdebatan. Gambaran umum mengenai pencanangan kasus
industrialisasi di Indonesia sebelum 1965 diikuti oleh penguatan organisasi buruh, petani dan
kelompok-kelompok yang mengalami proses marjinalisasi oleh industrialisasi ini. Kelompok-
kelompok pemodal yang dapat menguasai negara dapat dengan mudah ditepiskan oleh
gerakan-gerakan buruh yang diorganisasi di kalangan bawah.
Pergerakan masyarakat di akar rumput berubah total setelah 1965. Apa yang kemudian
disebut sebagai gerakan rakyat,aksi-aksi protes dan perlawanan melalui aksi massa dan
demonstrasi direpresi oleh aparatus keamanan. Gerakan-gerakan ini dengan mudah dicap
sebagai komunis dan dapat dijebloskan ke penjara atau ditembak tanpa proses pengadilan.
Pemuda Ansor, dan simpatisan-simpatisan Islam mempermudah pengerukan gerakan-gerakan
rakyat dengan membesar-besarkan bahaya komunisme dan oleh karena itu harus terus
diwaspadai. Di beberapa tempat penetrasi proyek pembangunan melibatkan ulama dan elite-
elite agama. Peminggiran kelompok-kelompok tertentu oleh isu agama nampaknya lebih
langgeng dibandingkan usia Orde Baru itu sendiri. Sampai hari ini isu ini masih berkembang
dan direproduksi oleh kekuatan massa, elite agama dan kelompok-kelompok tertentu.
Rintangan Agama dan Penetrasinya ke Masyarakat Lokal
Di Bulukumba sendiri tantangan besar petani sekitar kawasan hutan lindung adalah
konsolidasi internal. Sayangnya perubahan zaman menciptakan situasi yang tidak
menguntungkan bagi mereka. Keutuhan identitas bersama yang semula dibangun melalui
relasi-relasi komunal semakin luntur karena fragmentasi akibat pembagian kerja seperti
dijelaskan di atas. Salah satu sumber tergerusnya kekuatan-kekuatan komunal sebagai
kekuatan bersama yang sebelumnya dapat mengatasi rintangan-rintangan eksternal adalah
ketika agama-agama baru mulai masuk secara penetratif. Harus diakui kondisi ini berlangsung
secara mencolok beriringan dengan proyek pembangunan oleh negara. Di konteks Sulawesi
Selatan, kelompok Islam melakukan penetrasi gencar sejak berabad-abad yang lalu[20]
Paska pembasmian kekuatan sipil tahun 1965, negara misalnya melakukan penertiban
keagamaan di Indonesia dengan hanya mengakui lima agama resmi di Indonesia. Legitimasi
terhadap lima agama ini membawa dampak besar dalam kehidupan beragama di Indonesia.
Agama lebih dari sekedar identitas warganegara yang wajib dicantumkan di dalam kartu
identitas penduduk, akan tetapi agama telah menjelma menjadi ide-ide yang mesti diterima
sebagai nilai bersama. Dengan memberlakukan lima agama di Indonesia, pemerintah Soeharto
meneruskan proyek pembentukan negara poskolonial dari para pendahulunya. Ide ini seperti
diutarakan oleh nasionalis sekaligus founding fathers di Indonesia yang membayangkan unsur-
unsur motropolis dan nilai-nilai modernitas senafas dengan agama-agama Timur Tengah.
Para founding fathers di Indonesia pada umumnya tidak menolak pandangan kelompok
kolonial sebelumnya. Mereka beranggapan bahwa fase agama-agama lokal di Indonesia masih
bersifat animistik, belum memasuki alam pemikiran modern seperti yang dipunyai oleh agama
Timur Tengah.
Maka agama-agama lokal yang belum dapat diintegrasikan ke dalam agama resmi
dimobilisasi oleh ulama-ulama desa. Proses ini beriringan dengan usaha pemerintah
melakukan penetrasi proyek-proyek pembangunan nasional. Agama-agama lokal di Indonesia
pada dasarnya adalah agama-agama yang telah hadir lebih dulu dibandingkan keberadaan
agama-agama Timur Tengah (Hindu, Budha, Kristen, katolik, Islam). Sifat mereka yang khas
yang memiliki ciri berbeda dengan agama-agama yang hadir belakangan, menguraikan
dimensi lokalitas dan khasanah-khasanah lain yang bertentangan dengan ciri-ciri agama dari
luar. Sifat-sifat ini seringkali dilukiskan sebagai “the other”, yang didalamnya mengandung
sifat-sifat yang bertolak belakang dengan modernitas. Karakeristik pramodern inilah yang
menjadi justifikasi birokrasi untuk membimbing mereka ke arah kemajuan. Mereka diberikan
pengarahan, bimbingan yang bersifat doktriner agar komunitas-komunitas lokal ini menjadi
bagian dari agama resmi[21], atau setidaktidaknya untuk sementara waktu mereka dapat
dimasukkan sebagai bagian dari aliran kepercayaan di Indonesia. Ini artinya bahwa memahami
aliran kepercayaan di Indonesia dapat dilukiskan sebagai masa transisi menuju agama-agama
resmi. Aliran-aliran kepercayaan ini pada dasarnya memang dipahami negara sebagai
sempalan kecil dari agama (resmi) tertentu, oleh karena itu proses menjadi aliran kepercayaan
pada akhirnya harus ditingkatkan menjadi proses integrasi ke dalam agama resmi tersebut.
Tidak cukup disini, pentingnya agama bagi usaha pembangunan modernisasi di
Indonesia melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai teologi pembangunan. Setiap agama
didorong merumuskan kandungan teologi ini, yang tentu saja ditujukan untuk memberi makna
yang lebih agamis atas proyek-proyek negara. Di kalangan umat Islam sendiri, teologi
pembangunan diciptakan untuk meretas kecurigaan sebagian umat Islam terhadap proyek
pembangunan yang dikonotasikan sebagai usaha sekularisasi. Dari visinya yang paling ideal,
pembangunan adalah sunnatullah. Inilah pernyataan normatif yang selalu direproduksi oleh
ulama yang membela pemerintah. Mereka selalu menandaskan hubungan antara pembangunan
dengan perubahan ke arah yang lebih baik. Bahkan di berbagai media, pemerintah selalu
menekankan pembangunan sebagai proses menuju yang lebih baik dari kondisi sekarang.
Ulama dan tokoh-tokoh agama didorong merumuskan ajaran-ajaran keagamaan yang sesuai
dengan visi pemerintah ini.
Tidak terlalu sulit melakukan hal ini. Namun bagi agama-agama lokal tetap saja menjadi
persoalan besar. Selain mereka tidak memiliki perangkat keagamaan seperti yang tercermin
dalam agama-agama resmi, agama-agama lokal pada dasarnya merasa terancam dengan
seluruh proyek pemerintah ini. Kondisi sebagian besar mereka yang berbasis kepada
kehidupan pertanian dan hutan (alam), mempersulit proses adaptasi dan berintegrasi dengan
proyek pembangunan. Dalam praktiknya, pembangunan justru dianggap sebagai ancaman.
Sementara itu, dalam lanskap modernisasi di Indonesia, kita mendapatkan suatu
pemahaman yang masih meletakkan hubungan antara agama dan kebudayaan secara diametral
dengan menempatkan posisi pertama lebih superior. Bahkan pemahaman ini berkembang lama
sejak masa awal kemerdekaan Indonesia. Misalnya, para founding fathers di Indonesia
terfokus melihat unsur agama secara metropolit, fungsional bagi kebutuhan rakyat Indonesia
dalam membangun wacana nasionalisme dan pembangunan. Kenyataan ini sudah berlangsung
lama, misalnya kita dapat menjumpai semangat ini dalam tulisan mengenai konsep agama atau
keagamaan di Indonesia pada masa sesudahnya. Istilah agama dan kebudayaan muncul ketika
agama dimaknai dalam dua kategori, agama samawi (langit) dan agama ardli (bumi)[22]. Istilah
agama samawi ditujukan kepada agama-agama resmi di Indonesia yang mempunyai ciri
sempurna untuk dianggap sebagai agama yang benar-benar turun dari karena wahyu yang
datang Sang Pencipta (Tuhan). Selain wahyu, agama dicirikan dengan unsur kenabian dan
kitab suci. Sementara itu, agama ardli disebut demikian karena tidak seluruh ciri yang melekat
dalam agama samawi itu tersedia. Misalnya, seperti agama Budha, dan Hindu mempunyai ciri
sebagai agama yang mempunyai Tuhan sang pencipta, namun kedua agama ini masih patut
diperdebatkan apakah memiliki kitab suci yang merupakan catatan paling resmi mengenai
pewahyuan atau nabi. Ciri yang tidak sempurna ini kemudian digambarkan secara sosiologis
dan antropologis bahwa sejarah agama-agama bumi ini dipengaruhi juga oleh unsur-unsur
kebudayaan. Konsep kebudayaan disini dihadapkan secara diametral dengan sesuatu yang nir-
ciptaan manusia, dan oleh karena itu diposisikan berada di atas manusia (abadi).
Definisi mengenai agama dan kebudayaan yang dipisahkan ini, dimana hubungan
keduanya digambarkan secara hirarkis dengan menempatkan posisi pertama lebih superior
dibandingkan yang kedua telah lama menjadi pengetahuan dominan di Indonesia[23]. Akibat
dari cara pandang seperti ini seperti telah digambarkan oleh Abdurrahman Wahid ketika
mendiskusikan persoalan kebudayaan dan dakwah keagamaan. Menurut Wahid, pemahaman
yang meletakkan kebudayaan berada di luar ranah keagamaan seringkali membawa implikasi
bagi munculnya model-model dakwah keagamaan yang selalu membawa misi (suci) untuk
menundukkan kebudayaan. Fakta ini dapat ditelusuri dari munculnya konsep islamisasi yang
kemudian disetubuhkan ke dalam kegiatan-kegiatan kebudayaan; islamisasi reyog, islamisasi
Jaipong, festival kebudayaan Islam dan lain-lain. Maka dengan pemahaman seperti ini relasi
agama dan kebudayaan berlangsung dalam konteks dimana yang pertama selalu berusaha
menundukkan yang kedua.
Beberapa perjumpaan agama resmi dengan komunitas-komunitas pemeluk agama lokal
yang tidak diakui oleh negara sebagian besar juga berlangsung dalam suasana invasi agama-
agama resmi (Saidi, 2004). Invasi ini dibarengi oleh penetrasi negara melalui proyek
modernisasi di tingkat pedesaan. Dan sebagaimana kita pahami, modernisasi di Indonesia
harus diakui telah membangun kekuatan raksasa yang hegemonik dengan menghadirkan
proses transformasi perubahan secara pentratif sampai ke tingkat kesadaran masyarakat di
tingkat pedesaan. Jika kita membuka kembali proyek-proyek perubahan selama masa Orde
Baru, negara disini tidak saja menghadirkan suatu model kekuasaan represif yang
mengakibatkan kerugian nyawa di bawah sepatu lars, akan tetapi proyek-proyek penyadaran
melalui metode penyuluhan dan pendidikan-pendidikan langsung secara gencar dilakukan dari
tingkat atas sampai masyarakat akar rumput. Bahkan selama puluhan tahun politik sehari-hari
di tingkat mikro telah dikuasai dan diintervensi negara. Perbedaan di masyarakat ditumpas
dengan politik persatuan, fungsi-fungsi mediasi untuk mengelola perbedaan diganti oleh
fungsi penetrasi untuk menyosialisasikan ideologi pembangunan di Indonesia – yang salah-
satunya menganjurkan persatuan dan kesatuan.
Pada dasarnya politik penyeragaman seperti ditunjukkan oleh Orde Baru lebih banyak
membawa akibat-akibat negatif. Salah satunya berdampak kepada kehidupan pesantren.
Pesantren kehilangan sikap kemandirian sebagai akibat dari intervensi dan penyeragaman
sistem pendidikan. Pilihan-pilihan yang ditawarkan pemerintah memposisikan pesantren
berada dalam posisi sulit. Kesulitan terbesar adalah ketiadaan alternatif sebagai institusi
pendidikan yang mandiri ketika perubahan-perubahan di masyarakat pada umumnya
mengarah ke penciptaan ketergantungan terhadap negara. Misalnya perubahaan drastis yang
terjadi di wilayah pedesaan paska revolusi hijau tidak saja berkaitan dengan isu-isu di bidang
pertanian. Revolusi hijau tidak saja menciptakan ketergantungan petani atas bibit-bibit
tanaman dan pupuk buatan, akan tetapi kehidupan petani dan seluruh infrastruktur pedesaan
berubah dari waktu ke waktu. Kondisi ini dapat diperkirakan karena kebijakan-kebijakan
pemerintah di bawah payung pembangunan nasional ini tidak saja meliputi bidang pertanian
saja.
Kehidupan politik juga demikian. Pedesaan yang sekitar tahun 1960 menjadi ajang
kontestasi pertarungan antar kelompok politik berubah menjadi ajang mobilisasi besar-besaran
yang dilakukan oleh tentara dan aparat birokrasi. Keramaian berkontestasi dalam politik
berubah wajah menjadi kesibukan negara memobilisasi seluruh aparatur desa dan warga
negaranya terlibat dalam proyek-proyek pembangunan. Pesantren tidak terkecuali adalah salah
satu pusat mobilisasi massa tersebut. Kemandirian pesantren terserap ke usaha-usaha untuk
melegitimasi kepentingan pemerintah. Pendeknya politik akar rumput terkurung sebagai
kekuatan yang hanya melayani kepentingan negara. Ironisnya negara Orde Baru terlalu
berambisi untuk melakukan persatuan di bawah ideologi pembangunan dengan memobilisasi
secara besar-besaran kekuatan-kekuatan akar rumput di Indonesia. Perbedaan-perbedaan di
masyarakat diminimalisasi, dan kemudian seluruh kekuatan kebudayaan yang beraneka ragam
ini dijadikan alat untuk melegitimasi tujuan-tujuan pembangunan.
Kasus Aliran Madi yang digerebek di Sulawesi Tengah setahun yang lalu menunjukkan
penetrasi agama dan relasinya dengan penertiban kehidupan di arus bawah. Kondisi ini nyaris
tidak berubah bahkan ketika Orde Baru sudah dilengserkan. Di beberapa tempat, kelompok-
kelompok dengan aliran keagamaan yang tidak resmi (dan memang sengaja tidak diakui oleh
negara) menghadapi kasus serupa. Di Jawa Timur, Jawa Barat juga terjadi kasus
pembungkaman kelompok-kelompok seperti ini.
Akan tetapi gambaran buram gerakan-gerakan yang terfragmentasi dan yang mengalami
marginalisasi ini tidak seluruhnya menggambarkan proses viktimisasi yang total. Di beberapa
tempat kita melihat sebagian usaha yang boleh dibilang cukup cerdas dalam mengatasi
perubahan-perubahan akibat penetrasi kapital yang merembes di berbagai tempat. Gerakan-
gerakan akar rumput yang terpecah-belah akibat politik modal (ekonomi) mencoba melakukan
kreativitas di tengah perubahan-perubahan dramatis. Praktik ini memberikan sinyal betapa
relasi-relasi kuasa antara pihak-pihak yang menggenggam modal ekonomi cukup besar
melalui proyek-proyek perubahan di masyarakat bertalian dalam relasi yang tidak biner
berhadapan dengan kelompok-kelompok sasarannya. Beberapa kelompok mengatasi penetrasi
dengan siasat dan moda baru untuk mempertahankan eksistensi mereka. Kajian Scott mencoba
melihat siasat-siasat ini dan sejauhmana relasi yang terbentuk antara pihak dominan dengan
pihak yang dikuasainya (Scott,1992)
Di Sedulur Sikep yang dikenal sebagai gerakan petani Samin, perlawanan atas kuasa
negara dan dominasi agama resmi (Islam) berlawanan arah dengan yang saat ini dipikirkan
sebagai sikap apriori para komunitas muslim di sekitar Pati. Jika sebagian komunitas muslim
di Pati masih memandang sebelah mata dengan melihat kelompok Samin sebagai “tidak
beragama, bodoh, tolol, keras-kepala dan stigma negatif lain, maka kelompok ini secara
internal justru merangkul semua golongan ke dalam lanskap gerakan petani. Di luar dugaan
para eksponen Islam yang masih memikirkan kelompok lain dalam sikap monistik, kelompok
sedulur sikep membangun relasi-relasi baru dan jaringan lintas kota untuk memperkuat dan
mempertajam gerakan petani di lingkungan mereka[24].
Keluar dari stigma negatif, kelompok ini justru memiliki kreatifitas baru dalam
memperkaya penafsiran atas ajaran-ajaran saminisme. Mereka mendirikan SPP (serikat Petani
Pati), membuat kelompok-kelompok inti di lingkungan kecamatan, membentuk jaringan-
jaringan dalam pendistribusian pupuk petani yang bebas dari tengkulak, dan bahkan mereka
secara bersama melakukan suatu manuver gerakan yang selama ini jarang dilakukan oleh
gerakan petani di tempat lain. Mereka membentuk kekuatan perekonomian dengan melakukan
kredit di Bank setempat untuk memperkuat usaha pertanian mereka.
Di Kalimantan Selatan, kelompok agama lokal, Dayak Kaharingan juga berusaha keluar
dari kurungan marjinalisasi. Mereka membentuk kredit union yang menjadi basis
perekonomian terpenting mereka. Kredit ini bahkan meretas stigma dan pengkotak-kotakan
berdasarkan etnisitas di lingkungan Kabupaten dengan merubah pola manajemen dan
kepemimpinan kolektif yang lebih inklusif.[25]

Tugas Cendekiawan?
Seperti dijelaskan dimuka, kelemahan memandang cendekiawan sebagai menara gading
gading, oposisi biner terhadap kekuasaan dominatif dan status quo menghilangkan makna-
makna pergerakan di masyarakat yang justru melihat proyek neolib dalam posisi berhadap-
hadapan. Potret kreatifitas kelompok seperti sedulur sikep sebagaimana di atas, dan potret
kredit union seperti di Kalimantan Selatan memperlihatkan wajah baru gerakan akar rumput.
Bagi kalangan gerakan sosial seperti NGO, usaha perekonomian nyaris masih dipandang
sebelah mata. Gerakan ekonomi sebagian besar masih dilihat sebagai kapitalisme yang jahat,
berbeda dengan sifat voluntaristik mereka yang dianggap sebagai usaha nirprofit .
Cendekiawan jika masih mengacu seperti disampaikan oleh Edward.W Said juga
masih menunjukkan seolah-olah kerja “amatiran (amateur) dipandang secara oposisional
dengan kerja profesional. Bagi kerja-kerja neolib, tidak ada kerja amatiran, sementara
cendekiawan yang masih merasa memiliki anugerah untuk melakukan kerja-kerja gagasan
seringkali menghindari bahkan mencerca apa yang sering disebut sebagai sikap kerja
profesional.
Menunjuk kepada dua kasus yang dikemukakan di atas, sikap oposisi biner ini tidak
berlaku. Di Sedulur Sikep, dan Dayak Kaharingan Kalimantan Selatan, gerakan
pengorganisasian massa-rakyat dapat berbarengan dengan kerja-kerja profesional.
Jadi Poin terakhir ini pada dasarnya lebih menekankan pentingnya melihat gelombang
kekuatan akar rumput yang semakin terfragmentasi berhadapan dengan gelombang besar
neoliberalisme. Kata kunci dari poin ini adalah diperlukan sebuah pemahaman yang lebih baik
dan komprehensif mengenai dilema-dilema yang dihadapi oleh kelompok masyarakat di arus
bawah dan potensi-potensinya sebagai gerakan perlawanan. Fakta ini tidak lantas mengurangi
seluruh keanekaragaman potensialitas yang dimiliki masing-masing kelompok akar rumput di
Indonesia. Sementara itu, untuk melihat kinerja gerakan akar rumput harus bisa menambah
informasi mengenai gerakan-gerakan global sebagaimana diutarakan diatas. Saya kira tugas
kecendekiawanan berada di areal ini.
Ini adalah sikap untuk menghubungkan kebutuhan riel yang kini dirasakan oleh
masyarakat akar rumput dengan seluruh konstelasi global yang terjadi saat ini. Dengan berani
melakukan pemetaan bersama secara kritis barangkali akan terjadi usaha-usaha yang lebih
berdampak luas. Dalam perspektif kebudayaan seperti ini, disiplin ilmu politik, sosiologi,
antropologi dan hukum harus dilihat sebagai satu kesatuan dalam payung lintas disiplin.
Pengertian mengenai komunitas-komunitas tradisional harus kita lepaskan dari jebakan
perspektif yang dipenuhi prasangka. Faktanya apa yang sering kita nyatakan sebagai
tradisional tidaklah berarti mengacu kepada sekumpulan orang yang terisolasi, konservatif dari
berbagai segi dan sama sekali menolak perubahan-perubahan baru.
Cara lama dalam melihat kompleksitas masyarakat di wilayah akar rumput segera kita
hilangkan. Misalnya kajian mengenai kekuatan-kekuatan komunal saat ini lebih dilihat
semata-mata sebagai cermin kebodohan, ketidaktahuan suatu komunitas berhadapan dengan
kekuatan eksternal vis a vis kemajuan dan modernitas. Faktanya, kelompok-kelompok ini
memiliki potensi berkembang secara dinamis, berdiri diantara kekuatan-kekuatan komunal
yang terjaga sambil secara lentur melakukan perubahan internal untuk menjawab tantangan-
tantangan baru. Misalnya seperti ditunjukkan oleh gerakan petani Samin, “Pembangkangan”
yang pernah mereka lakukan selama akhir abad ke-19, terhadap pemerintahan kolonial
menjadi referensi yang mereka hidupkan secara turun menurun dan sumber bersama mengatasi
penetrasi-penetrasi eksternal. Cara, sikap hidup dan norma-norma bersama yang mereka
pertahankan sampai hari ini membuktikan keliatan sosok petani di Indonesia, khususnya di
Jawa.
Kajian seperti James T. Scott memang memandang siasat dan resistensi sebagai senjata
orang-orang kalah. Kritik terhadap Scott lebih diutarakan sebagai romantisasi perlawanan,
dengan mamandang seolah-olah orang kalah masih memiliki harapan untuk bertahan dan
mempertahankan posisinya. Akan tetapi Scott yang terlampaui romantis menepikan fakta
bahwa pada dasarnya gerakan modal yang beraliansi dengan negara sekonyong-konyong tidak
dapat menaikkan derajat orang-orang kalah ke dalam kelas yang lebih tinggi. Akan tetapi
gagasan Scott bagaimanapun memberi perspektif baru dalam menginvestigasi secara
antropologis geliat-geliat politik akar rumput.
Keharusan bagi cendekiawan menurut saya adalah melihat secara lebih investigatif dan
etnografis posisi-posisi masyarakat yang terpinggirkan untuk meninggikan derajat mereka
lebih manusiawi. Kedengarannya memang cukup romantis, akan tetapi jika praktik ini
dilakukan dengan serius, dengan sendirinya akan membawa sejumlah implikasi teorititik yang
tidak sedikit. Ilmu sosial bagaimanapun adalah kuasa baru yang tidak lagi dipandang sebagai
pengetahuan netral. Kuasa ilmu sosial memberi legitimasi, dan inspirasi, ia juga bisa menjadi
bagian dari “sikap apriori” dan aposteriori yang dapat melanggengkan status quo maupun
merubah kondisi yang sudah mapan. Jadi masalahnya sekarang mau dibawa kemanakah ilmu
sosial bagi perubahan sosial saat ini?
Tugas Cendekiawan akan selalu dibawa oleh oleh peran-peran seperti ini.

Makalah dipresentasikan dalam Forum Interseksi, 7-9 Juli 2007, Bandung. Penulis adalah
peneliti Yayasan Interseksi

Anda mungkin juga menyukai