Anda di halaman 1dari 40

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KESTABILAN

KADAR GLUKOSA DARAH PADA PASIEN DIABETES MELITUS.

PROPOSAL PENELITIAN

ANDRI RESTU WARDANI


101 603 1009

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS FALETEHAN
SERANG - BANTEN
2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit atau gangguan metabolik


kronik yang terjadi karena tubuh tidak dapat menghasilkan insulin yang
cukup atau tidak dapat menggunakan insulin secara efektif (IDF, 2019).
Prevalansi penyakit DM terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Prevalansi angka kejadian DM pada tahun 2014 sebanyak 422 juta jiwa atau
8,5% dari semua populasi penduduk dunia (WHO, 2016).

Prevalansi angka kejadian DM diperkirakan akan meningkat pada tahun


2045, terbesar disepuluh negara yaitu China 147 juta, India 137 juta, Pakistan
37 juta, USA 36 juta, Brazil 26 juta, Meksiko 22 juta, Mesir 17 juta,
Indonesia 16 juta, Bangladesh 15 juta dan Turki 16 juta (IDF, 2019).
Prevalansi angka kejadian DM di Indonesia diperkirakan pada tahun 2030
berada pada peringkat ketujuh dengan jumlah penderita 16 juta. Prevalansi di
Indonesia sebesar 1,5% berdasarkan diagnosa dokter pada penduduk semua
umur (Riskesdas, 2018). Prevalansi kejadian DM khususnya di Banten pada
tahun 2013 - 2018 yang terdiagnosa menurut dokter pada penduduk umur
lebih dari 15 tahun berada di angka 2,3% , dan data pada penduduk dari
semua umur berada di angka 1,7% (Riskesdas, 2018).

Mengendalikan kadar glukosa darah yang tinggi merupakan salah satu cara
terbaik untuk menghindari komplikasi diabetes melitus. Komplikasi yang
bisa muncul adalah mikrovaskuler dan makrovaskuler. Komplikasi
mikrovaskuler berupa neuropati, nefropati dan retinopati. Komplikasi
makrovaskuler berupa Coronary Artery Disease, penyakit serebrovaskuler,
hipertensi, infeksi dan penyakit Pheriperal Artery Disease (PAD). Pheriperal
Artery Disease (PAD) merupakan salah satu komplikasi DM yang
menyebabkan perubahan pada dinding pembuluh darah. Penyakit Pheriperal
Artery Disease (PAD) terjadi akibat aterosklerotik. Proses aterosklerotik pada
penyakit Pheriperal Artery Disease (PAD) menyebabkan penurunan aliran

1 Universitas Faletehan
2

darah ke ekstremitas bawah sehingga terjadi kaki diabetik (Jumari et al.,


2019).

Kaki diabetik merupakan permasalahan yang belum dapat terkelola dengan


baik. Prevalansi terjadinya kaki diabetik di Indonesia sebesar 15% dan sering
kali berakhir dengan amputasi dan kematian, di Indonesia angka kematian
dan angka amputasi masih tinggi masing-masing sebesar 16% dan 25%
(Waspadji, 2014). Terjadinya kaki diabetik dimulai dari glukosa yang tinggi
akan merusak pembuluh darah perifer kaki (Wahyuni, 2016). Akibat yang
paling sering terjadi adalah timbulnya ulkus ganggren pada kaki akibat
trauma karena proses neuropati perifer. Jika kondisi ini terjadi maka pasien
DM akan mengalami perawatan luka dalam jangka waktu yang lama dan
dengan biaya yang relatif menambah beban keuangan keluarga serta
menurunkan produktifitas aktivitas pasien. Jika sudah sampai tahap terjadi
infeksi ke tulang maka pasien beresiko dilakukan amputasi kaki. Jika hal ini
terjadi maka akan sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien (Brunner,
2011). Kasus amputasi kaki pasien DM akibat penyakit Pheriperal Artery
Disease (PAD) sekitar 50% dapat dihindari dengan tindakan
preventif/pencegahan (Simanjuntak & Simamora, 2017).

Tindakan preventif/pencegahan agar tidak terjadinya komplikasi kronik pada


pasien DM terdiri atas terapi farmakologis dan non farmakologis. Pencegahan
dapat dilakukan dengan mengontrol kadar glukosa darah. Pengendalian kadar
glukosa darah dapat berupa pemberian obat antihiperglikemia oral (OHO)
maupun obat antihiperglikemia suntik, terapi ini diberikan tergantung pada
tingkat keparahan penyakit yang diderita pasien. Terapi farmakologis
diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup
sehat) (PERKENI, 2015). Salah satu terapi non farmakologis yang bisa
dilakukan yaitu terapi komplementer yang dapat digunakan untuk
memperbaiki kadar glukosa darah pada pasien DM adalah terapi akupresur.
[ CITATION Edw19 \l 1033 ].

Diantara beberapa penderita DM banyak yang tidak menyadari bahwa dirinya


mengidap penyakit yang lebih sering disebut penyakit gula atau kencing

Universitas Faletehan
3

manis. Hal ini disebabkan oleh bebrapa faktor, diantaranya usia, jenis
kelamin, pengetahuan, pendidikan, aktivitas fisik atau olahraga, kedekatan
dan keterpaparan sumber informasi. Salah satu hal terpenting bagi penderita
diabetes melitus adalah pengendalian kadar glukosa darah. Perawat sebagai
edukator sangat berperan untuk memberikan informasi yang tepat pada
pasien diabetes melitus tentang penyakit, pencegahan, komplikasi,
pengobatan dan pengelolaan DM termasuk didalamnya untuk menstabilan
kadar glukosa darah.

Penelitian yang dilakukan oleh Berkat (2018) yang berjudul faktor-faktor


yang berhubungan dengan kadar gula darah pada penderita diabetes melitus
tipe 2 di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Semarang didapatkan hasil
kelompok umur dengan proporsi terbesar adalah pada kelompok umur yang ≥
45 tahun yaitu 92%, namun tidak ada pengaruh signifikan antara tingkat
asupan makanan, aktivitas fisik, tingkat stress, tingkat dukungan keluarga dan
status merokok terhadap kadar gula darah (Berkat et al., 2018). Begitupula
penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2018) yang berjudul faktor-faktor
yang berhubungan dengan kadar gula darah pada penderita diabetes melitus
tipe 2 studi di wilayah kerja puskesmas Kedungmundu kota Semarang
didapatkan hasil ada hubungan antara kepatuhan minum obat dengan p value
0,042 dan dukungan keluarga dengan p value 0,012 terhadap kadar gula
darah (Rahayu et al., 2018).

Data dari Dinas Kesehatan Kota Serang Tahun 2018 menunjukan bahwa
angka kejadian penyakit DM mencapai sebanyak 5.121 kasus di Kota Serang.
Sejumlah 4.063 pasien lama dan 1.058 pasien baru.

Berdasarkan data dan fenomena diatas peneliti tertarik untuk mengetahui


“Faktor-faktor yang berhubungan dengan kestabilan kadar glukosa darah
pada pasien diabetes melitus”.

Universitas Faletehan
4

B. Rumusan Masalah

Prevalensi penyakit diabetes melitus terus meningkat setiap tahunnya, baik


yang telah terdiagnosa maupun yang belum terdiagnosa. Diabetes melitus
merupakan penyakit kronis yang memerlukan perawatan dan edukasi jangka
panjang guna mengurangi risiko komplikasi. Salah satu cara untuk
menghindari komplikasi diabetes melitus yaitu menstabilkan kadar glukosa
darah. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik
untuk meneliti “Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan kadar glukosa
darah pada pasien diabetes melitus di Wilayah Serang?”.

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kestabilan kadar


glukosa darah pada pasien diabetes melitus di Wilayah Serang.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya gambaran kadar glukosa darah pasien diabetes melitus di


Wilayah Serang.
b. Diketahuinya distribusi frekuensi karakteristik (usia, jenis kelamin,
pendidikan, pengetahuan) pasien diabetes melitus di Wilayah Serang.
c. Diketahuinya gambaran aktivitas fisik pasien diabetes melitus di
Wilayah Serang.
d. Diketahuinya gambaran kepatuhan minum obat pasien diabetes melitus
di Wilayah Serang.
e. Diketahuinya hubungan karakteristik (usia, jenis kelamin, pendidikan,
pengetahuan) dengan kestabilan kadar glukosa darah pasien diabetes
melitus di Wilayah Serang.
f. Diketahuinya hubungan antara aktivitas fisik dengan kestabilan kadar
gula darah pasien diabetes melitus di Wilayah Serang.

Universitas Faletehan
5

g. Diketahuinya hubungan antara kepatuhan minum obat dengan


kestabilan kadar gula darah pasien diabetes melitus di Wilayah Serang.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi Pendidikan Universitas Faletehan

Sebagai masukan dan menambah pengetahuan serta memberikan informasi


kepada petugas kesehatan tentang pentingnya penyembuhan penyakit
diabetes melitus dengan melihat kadar glukosa darah.

2. Bagi Instansi Pelayanan Kesehatan

Sebagai masukan dan menambah pengetahuan serta memberikan informasi


kepada petugas kesehatan tentang pentingnya penyembuhan penyakit
diabetes melitus dengan mengontrol kadar glukosa darah.

3. Bagi Peneliti

Menambah pengalaman bagi penulis dalam melakukan penelitian dan


menerapkan ilmu keperawatan khususnya untuk mengetahui faktor apa
saja yang berhubungan dengan kestabilan kadar glukosa darah.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Wilayah Serang yang dilaksanakan pada bulan


April – Mei 2020. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui faktor-
faktor yang berhubungan dengan kestabilan kadar glukosa darah pada pasien
diabetes melitus. Penelitian ini menggunakan desain kuantitatif dengan
pendekatan cross sectional.

Universitas Faletehan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus

1. Definisi Diabetes Melitus

a. American Diabetes Association (ADA) tahun 2016 mendefinisikan


diabetes melitus adalah penyakit kronis dan kompleks yang
membutuhkan perawatan medis berkelanjutan dengan strategi
mengendalikan berbagai risiko multifactor demi tercapainya target
control kadar glukosa darah. Edukasi mengenai perawatan diri dan
manajemen penyakit sangat penting untuk mencegah terjadinya
komplikasi akut dan mengurangi risiko terjadinya komplikasi jangka
panjang [ CITATION ADA16 \l 1033 ].
b. Diabetes melitus merupakan kondisi kronis yang ditandai
denganpeningkatan konsentrasi glukosa darah (hiperglikemia) akibat
kerusakan sekresi insulin, kinerja insulin, atau keduanya. Disertai
munculnya gejala utama yang khas, yaitu urin yang berasa manis
dalam jumlah yang besar [ CITATION Bil14 \l 1033 ].
c. Diabetes melitus adalah penyakit gangguan metabolisme karbohidrat,
lemak dan protein yang dihubungkan dengan kekurangan secara
absolute atau relatif dari kerja atau sekresi insulin yang bersifat kronis
dengan ciri khas hiperglikemi/peningkatan kadar glukosa darah diatas
normal (Minharjo, 2005 dalam Awad dkk, 2013).

2. Klasifikasi Diabetes Melitus

a. Diabetes tipe 1

Diabetes tipe 1 biasanya terjadi pada remaja atau anak, dan terjadi
karena kerusakan sel β (beta) [ CITATION WHO14 \l 1033 ].
Canadian Diabetes Association (CDA) 2013 juga menambahkan
bahwa rusaknya sel β pankreas diduga karena proses autoimun, namun
hal ini juga tidak diketahui secara pasti. Diabetes tipe 1 rentan terhadap
7

ketoasidosis, memiliki insidensi lebih sedikit dibandingkan diabetes


tipe 2, akan meningkat setiap tahun baik di negara maju maupun di
negara berkembang [ CITATION IDF19 \l 1033 ].

b. Diabetes tipe 2

Diabetes tipe 2 biasanya terjadi pada usia dewasa. Seringkali diabetes


tipe 2 didiagnosis beberapa tahun setelah onset, yaitu setelah
komplikasi muncul sehingga tinggi insidensinya sekitar 90% dari
penderita DM di seluruh dunia dan sebagian besar merupakan akibat
dari memburuknya faktor risiko seperti kelebihan berat badan dan
kurangnya aktivitas fisik [ CITATION WHO14 \l 1033 ].

c. Diabetes Gestational

Gestational diabetes mellitus (GDM) adalah diabetes yang didiagnosis


selama kehamilan [ CITATION ADA16 \l 1033 ]. dengan ditandai
dengan hiperglikemia (kadar glukosa darah di atas normal) (CDA,
2013 dan WHO, 2014). Wanita dengan diabetes gestational memiliki
peningkatan risiko komplikasi selama kehamilan dan saat melahirkan,
serta memiliki risiko diabetes tipe 2 yang lebih tinggi di masa depan
[ CITATION IDF19 \l 1033 ].

d. Diabetes tipe lainnya

Diabetes melitus tipe khusus merupakan diabetes yang terjadi karena


adanya kerusakan pada pankreas yang memproduksi insulin dan
mutasi gen serta mengganggu sel beta pankreas, sehingga
mengakibatkan kegagalan dalam menghasilkan insulin secara teratur
sesuai dengan kebutuhan tubuh. Sindrom hormonal yang dapat
mengganggu sekresi dan menghambat kerja insulin yaitu sindrom
chusing, akromegali dan sindrom genetik [ CITATION ADA16 \l 1033
].

Universitas Faletehan
8

3. Patofisiologi Diabetes Melitus

a. Patofisiologi DM tipe 1

Pada DM tipe 1, sistem imunitas menyerang dan menghancurkan sel


yang memproduksi insulin beta pankreas [ CITATION ADA16 \l 1033
]. Kondisi tersebut merupakan penyakit autoimun yang ditandai
dengan ditemukannya anti insulin atau antibodi sel anti-islet dalam
darah [ CITATION WHO141 \l 1033 ]. National Institute of Diabetes
and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK) tahun 2014 menyatakan
bahwa autoimun menyebabkan infiltrasi limfositik dan kehancuran
islet pankreas. Kehancuran memakan waktu tetapi timbulnya penyakit
ini cepat dan dapat terjadi selama beberapa hari sampai minggu.
Akhirnya, insulin yang dibutuhkan tubuh tidak dapat terpenuhi karena
adanya kekurangan sel beta pankreas yang berfungsi memproduksi
insulin. Oleh karena itu, diabetes tipe 1 membutuhkan terapi insulin,
dan tidak akan merespon insulin yang menggunakan obat oral.

b. Patofisiologi DM tipe 2

Kondisi ini disebabkan oleh kekurangan insulin namun tidak mutlak.


Ini berarti bahwa tubuh tidak mampu memproduksi insulin yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan yang ditandai dengan kurangnya sel beta
atau defisiensi insulin resistensi insulin perifer [ CITATION ADA16 \l
1033 ]. Resistensi insulin perifer berarti terjadi kerusakan pada
reseptor-reseptor insulin sehingga menyebabkan insulin menjadi
kurang efektif mengantar pesan-pesan biokimia menuju sel-sel (CDA,
2013). Dalam kebanyakan kasus diabetes tipe 2 ini, ketika obat oral
gagal untuk merangsang pelepasan insulin yang memadai, maka
pemberian obat melalui suntikan dapat menjadi alternatif

c. Patofisiologi DM Gestational

Gestational diabetes terjadi ketika ada hormon antagonis insulin yang


berlebihan saat kehamilan. Hal ini menyebabkan keadaan resistensi

Universitas Faletehan
9

insulin dan glukosa tinggi pada ibu yang terkait dengan kemungkinan
adanya reseptor insulin yang rusak (NIDDK, 2014 dan ADA, 2014).

4. Faktor Risiko Diabetes Melitus

a. Faktor risiko yang dapat dirubah, sebagai berikut :


1) Gaya Hidup

Gaya hidup merupakan perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam


aktivitas sehari-hari. Makanan cepat saji, olahraga tidak teratur dan
minuman bersoda adalah salah satu gaya hidup yang dapat memicu
terjadinya DM tipe 2 [ CITATION ADA16 \l 1033 ].

2) Diet yang tidak sehat

Perilaku diet yang tidak sehat yaitu kurang olahraga, menekan


nafsu makan, sering mengkonsumsi makan siap saji
(Abdurrahman, 2014).

3) Obesitas

Obesitas merupakan salah satu faktor risiko utama untuk terjadinya


penyakit DM. Menurut Kariadi (2009) dalam Fathmi (2012),
obesitas dapat membuat sel tidak sensitif terhadap insulin (resisten
insulin). Semakin banyak jaringan lemak pada tubuh, maka tubuh
semakin resisten terhadap kerja insulin, terutama bila lemak tubuh
terkumpul didaerah sentral atau perut (central obesity).

Perhitungan berat badan ideal sesuai dengan Indeks Massa Tubuh


(IMT) menurut WHO (2014), yaitu:

Tabel 1. Klasifikasi indeks masa tubuh (IMT)

Indeks masa tubuh (IMT) Klasifikasi Berat Badan


<18,5 Kurang
18,5-22,9 Normal
23-24,9 Berlebihan
≥25 Obesitas

Universitas Faletehan
10

4) Tekanan darah tinggi

Menurut Kurniawan dalam Jafar (2010) tekanan darah tinggi


merupakan peningkatan kecepatan denyut jantung, peningkatan
resistensi (tahanan) dari pembuluh darah dari tepi dan peningkatan
volume aliran darah.

b. Faktor risiko yang tidak dapat dirubah, sebagai berikut :


1) Usia

Seiring dengan bertambahnya usia, organ tubuh mengalami


penurunan fungsi atau bahkan kegagalan dalam menjalankan
fungsinya, termasuk sel pankreas. Pada organ yang memiliki umur
lebih dari 45 tahun, fungsi sel beta pankreas mengalami penurunan
yang besarnya tergantung pada beban kerja sel pankreas. Beban
kerja pankreas ini dipengaruhi oleh tingkat resistensi insulin serta
durasi terjadinya resistensi insulin. Semakin bertambahnya usia
maka semakin tinggi risiko terkena diabetes tipe 2. DM tipe 2
terjadi pada orang dewasa setengah baya, paling sering setelah usia
45 tahun (American Heart Association, 2012). Meningkatnya
risiko DM seiring dengan bertambahnya usia dikaitkan dengan
terjadinya penurunan fungsi fisiologis tubuh.

2) Jenis Kelamin

Pada beberapa penelitian, jenis kelamin penderita DM


berhubungan dengna pengendalian kadar glukosa darah. Wanita
diketahui memiliki pengendalian kadar glukosa darah yang lebih
buruk dibanding pria. Wanita memiliki sikap yang lebih baik
terhadap pengelolaan DM, namun memiliki dykungan keluarga
yang kurang serta aktivitas fisik yang lebih rendah dibandingkan
dengan laki-laki. Meningkatnya durasi dm Berhubungan dengan
semakin buruknya kendali kadar glukosa darah. Hal ini berkaitan

Universitas Faletehan
11

dengan progresivitas penurunan sekresi insulin akibat kerusakan


sel beta pankreas.

3) Genetik

Seorang anak dapat diwarisi gen penyebab DM orang tua.


Biasanya, seseorang yang menderita DM mempunyai anggota
keluarga yang juga terkena penyakit tersebut (Ehsa, 2010). Fakta
menunjukkan bahwa mereka yang memiliki ibu penderita DM
tingkat risiko terkena DM sebesar 3,4 kali lipat lebih tinggi dan 3,5
kali lipat lebih tinggi jika memiliki ayah penderita DM. Apabila
kedua orangtua menderita DM, maka akan memiliki risiko terkena
DM sebesar 6,1 kali lipat lebih tinggi (Sahlasaida, 2015).

4) Ras atau Etnis

Risiko DM tipe 2 lebih besar terjadi pada hispanik, kulit hitam,


penduduk asli Amerika, dan Asia [ CITATION ADA16 \l 1033 ].

5) Riwayat DM pada kehamilan

Mendapatkan diabetes selama kehamilan atau melahirkan bayi


lebih dari 4,5 kg dapat meningkatkan risiko DM tipe 2 (Ehsa,
2010).

5. Manifestasi Klinis Diabetes Melitus

Manifestasi klinis yang sering dijumpai pada pasien diabetes melitus


yaitu :

a. Poliuria (Peningkatan pengeluaran urin)

Peningkatan pengeluaran urin akibat hiperglikemia, maka terjadilah


penambahan bentuk air kemih dengan jelas penarikan cairan ke sel-sel
tubuh.

b. Polidipsi (peningkatan rasa haus)

Universitas Faletehan
12

Volume urin yang sangat besar dan keluarnya menyebabkan dehidrasi


extrasel. Dehidrasi intrasl meliputi dehidrasi extrasel karena air intrasel
akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan qradient konsentrasi ke
plasma yang hipertonik (sangat pekat). Dehidrasi intrasel merangasang
pengeluaran ADH (Antidiuretik hormon) dan menimbulkan rasa haus.
Rasa lebih dan kelemahan akibat gangguan aliran darah pada pasien
diabetes lama, katabolisme protein di otot dan ketidakmampuan
sebagai sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi.

c. Polifagia (peningkatan rasa lapar)

Nafsu makan bertambah,karna karbohidrat tidak dapat digunakan


karena jumlah insulin tidak dapat menjamin proses metabolisme
glukosa.

d. Kelainan di kulit

Kelainan kulit berupa gatal-gatal, biasanya terjadi dikelipatan kulit


seperti dibawah payudara, biasanya akibat tumbuhnya jamur.

e. Kelainan ginekologis

Keputihan dengan penyebab tersering yaitu jamur terutama pada


candida. Pada penderita diabetes melitus regenerasi sel persyarafan
mengalami gangguan akibat kekurangan bahan dasar terutama yg
perifer mengalami kerusakan.

f. Kesemutan atau rasa baal

Hal ini terjadi karena ada gangguan di neuropati perifer karena adanya
gangguan pada sirkulasi ektremitas bawah.

g. Luka atau bisul yang tidak sembuh- sembuh.

Proses penyembuhan luka membutuhkan bahan dasar utama dari


protein dan unsur makanan yang lain. Pada penderita diabetes melitus
bahan protein banyak diformulasikan untuk kebutuhan energi sel

Universitas Faletehan
13

sehinga bahan yang digunakan untuk penggantian jaringan yang rusak


mengalami gangguan. Selain itu luka sulit sembuh juga dapat
diakibatkan oleh pertumbuhan mikroorganisme yang cepat pada
penderita diabetes melitus.

h. Pada laki-laki terkadang mengeluh impotensi

Penderita diabetes melitus mengalami penurunan produksi hormon


seksual akibat kerusakan testosteron dan sistem yang berperan.

i. Mata kabur

Disebabkan oleh katarak atau gangguan retraksi akibat perubahan pada


lensa oleh hiperglikemia, mungkin yang disebabkan kelainan pada
korpus vitreun.

6. Pemeriksaan Penunjang

(Sukarmin & Riyadi, 2011) Pemeriksaan glukosa darah pada pasien


diabetes melitus antara lain :

a. Glukosa darah puasa ( GDO) 70-110 mg/dl

Kriteria diagnostik untuk Diabetes Mellitus >140 mg/dl disertai gejala


klasik hiperglikemia, atau IGT 115-140 mg/dl.

b. Glukosa darah 2 jam prandial >140 mg/dl

Digunakan untuk skrining atau evaluasi pengobatan bukan diagnostik.

c. Glukosa darah sewaktu <140 mg/dl

Digunakan untuk skrining bukan diagnostik.

d. Tes Toleransi Glukosa Oral ( TTGO)

Universitas Faletehan
14

GD <115 mg/dl ½ jam <200mg/dl , 2 jam <140 mg/dl, TTGO


dilakukan hanya pada pasien yang telah bebas dan diet. Beraktivitas
fisik 3 hari sebelum tes tidak dianjurkan pada, sebagai berikut :

1) Hiperglikemi yang sedang puasa


2) Orang yang mendapat thiazide, Dilantin, Propanolol, lasik, thyroid,
Estrogen, pil KB, steroid.
3) Pasien yang dirawat atau sakit akut atau pasien inaktif.
4) Tes Toleransi Glukosa Intravena (TTGI)

Dilakukan jika TTGO merupakan kontra indikasi atau terdapat


kelainan gastrointestinal yang mempengaruhi absorpsi glukosa

5) Glyeosatet hemoglobin

Berguna untuk memantau kadar glukosa darah rata-rata selama


lebih dari 3 bulan. C – Peptidae 1-2 mg/dl (puasa) 5-6 mg/dl kali
meningkat setelah pemberian glukosa untuk mengukur pro insulin
(produksi saping yang tidak aktif secara biologis) dari pementukan
insulin dapat membantu mengetahui sekresi insulin.

7. Komplikasi Diabates Melitus

DM yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun


komplikasi vaskuler kronik, naik mikroangiopati maupun makroangiopati.
Komplikasi kronis yang dapat terjadi akibat diabetes yang tidak terkendali
adalah:

a. Kerusakan Saraf (Neuropati)

Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak dan
sumsum tulang belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit, dan organ
lain, serta susunan saraf otonom yang mengatur otot polos di jantung
dan saluran cerna. Hal ini biasanya terjadi setelah glukosa darah terus
tinggi, tidak terkontrol dengan baik, dan berlangsung sampai 10 tahun
atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil diturunkan menjadi normal,

Universitas Faletehan
15

terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila dalam jangka yang
lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal maka
akan melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang
memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut
neuropati diabetik (diabetic neuropathy).

Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf tidak bisa mengirim


atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim
atau terlambat kirim. Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf
dan saraf mana yang terkena (Ndraha, 2014 ). Neuropati sensori murni
ini relatif langka dan berhubungan dengan periode kontrol glikemik
yang buruk atau fluktuasi yang cukup besar dalam mengendalikan
diabetes. Mononeuropati biasanya mempunyai onset yang lebih tiba-
tiba dan hampir melibatkan setiap saraf, tetapi paling sering terjadi
pada bagian median, ulnar, dan saraf radial yang terpengaruh.
Amiotrofi diabetes dapat merupakan manifestasi dari mononeuropati
diabetes dan ditandai dengan nyeri dan kelemahan otot yang parah dan
atrofi, biasanya pada otot paha yang besar.

Neuropati diabetes otonom juga menyebabkan morbiditas yang


signifikan dan bahkan kematian pada pasien diabetes. Disfungsi
neurologis dapat terjadi dikebanyakan sistem organ seperti
gastroparesis, sembelit, diare, disfungsi kandung kemih, disfungsi
ereksi, intoleransi aktivitas, iskemi dan bahkan henti jantung.
Disfungsi otonom kardiovaskular berhubungan dengan peningkatan
risiko iskemi
miokard dan kematian (Fowler, 2008).
b. Kerusakan ginjal (Nefropati)

Ginjal manusia terdiri dari dua juta nefron dan berjuta-juta pembuluh
darah kecil yang disebut kapiler. Kapiler ini berfungsi sebagai saringan
darah. Bahan yang tidak berguna bagi tubuh akan dibuang ke urin atau
kencing. Ginjal bekerja selama 24 jam sehari untuk membersihkan
darah dari racun yang masuk ke dan yang dibentuk oleh tubuh. Bila

Universitas Faletehan
16

ada nefropati atau kerusakan ginjal, racun tidak dapat dikeluarkan,


sedangkan protein yang dipertahankan ginjal bocor ke luar. Gangguan
ginjal pada penderita diabetes juga terkait dengan neuropathy atau
kerusakan saraf. Menurut (Fowler 2008 ), bahwa nefropati diabetik
didefinisikan oleh proteinuria > 500 mg dalam 24 jam pada keadaan
diabetes, tetapi biasanya diawali dengan derajat proteinuria yang lebih
rendah atau “mikroalbuminuria”. Mikroalbuminuria didefinisikan
sebagai ekskresi albumin 30-299 mg/24 jam. Tanpa intervensi, pasien
diabetes dengan mikroalbuminuria biasanya akan mengarah ke
proteinuria dan nefropati diabetik (Ndraha, 2014:11).

c. Kerusakan mata (Retinopati)

Penyakit diabetes bisa merusak mata penderitanya dan menjadi


penyebab utama kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada mata yang
disebabkan oleh diabetes, yaitu: 1) retinopati, retina mendapatkan
makanan dari banyak pembuluh darah kapiler yang sangat kecil.
Glukosa darah yang tinggi bisa merusak pembuluh darah retina; 2)
katarak, lensa yang biasanya jernih bening dan transparan menjadi
keruh sehingga menghambat masuknya sinar dan makin diperparah
dengan adanya glukosa darah yang tinggi; dan 3) glaukoma, terjadi
peningkatan tekanan dalam bola mata sehingga merusak saraf mata
(Ndraha, 2014).

d. Penyakit jantung koroner (PJK)

Diabetes merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan


penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan
pembuluh darah. Akibatnya suplai darah ke otot jantung berkurang dan
tekanan darah meningkat, sehingga kematian mendadak bisa terjadi.

e. Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan keluhan


yang dramatis seperti kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Namun,

Universitas Faletehan
17

harus diingat hipertensi dapat memicu terjadinya serangan jantung,


retinopati, kerusakan ginjal, atau stroke. Risiko serang jantung dan
stroke menjadi dua kali lipat apabila penderita diabetes juga terkena
hipertensi.

f. Penyakit pembuluh daraf perifer

Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang


dinamakan Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih
dini dan prosesnya lebih cepat pada penderita diabetes daripada orang
yang tidak menderita diabetes. Denyut pembuluh darah di kaki terasa
lemah atau tidak terasa sama sekali. Bila diabetes berlangsung selama
10 tahun lebih, sepertiga pria dan wanita dapat mengalami kelainan ini.
Dan apabila ditemukan PVD disamping diikuti gangguan saraf atau
neuropati dan infeksi yang sukar sembuh, pasien biasanya sudah
mengalami penyempitan pada pembuluh darah jantung.

g. Gangguan pada hati

Banyak orang beranggapan bahwa bila penderita diabetes tidak makan


glukosa bisa-bisa mengalami kerusakan hati. Anggapan ini keliru. Hati
bisa terganggu akibat penyakit diabetes itu sendiri. Dibandingkan
orang yang tidak menderita diabetes, penderita diabetes lebih mudah
terserang infeksi virus hepatitis B atau hepatitis C.

h. Penyakit paru

Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi tuberkulosis paru


dibandingkan orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara
sosioekonomi cukup. Diabetes memperberat infeksi paru, demikian
pula sakit paru akan menaikan glukosa darah.

i. Gangguan saluran cerna

Gangguan saluran cerna pada penderita diabetes disebabkan karena


kontrol glukosa darah yang tidak baik, serta gangguan saraf otonom

Universitas Faletehan
18

yang mengenai saluran pencernaan. Gangguan ini dimulai dari rongga


mulut yang mudah terkena infeksi, gangguan rasa pengecapan
sehingga mengurangi nafsu makan, sampai pada akar gigi yang mudah
terserang infeksi, dan gigi menjadi mudah tanggal serta pertumbuhan
menjadi tidak rata. Rasa sebah, mual, bahkan muntah dan diare juga
bisa terjadi. Ini adalah akibat dari gangguan saraf otonom pada
lambung dan usus. Keluhan gangguan saluran makan bisa juga timbul
akibat pemakaian obat-obatan yang diminum.

j. Infeksi

Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi kekebalan tubuh dalam


menghadapi masuknya virus atau kuman sehingga penderita diabetes
mudah terkena infeksi (Ndraha, 2014:11-12).

B. Konsep Kadar Glukosa Darah

1. Definisi Kadar Glukosa Darah

Kadar glukosa darah adalah jumlah kandungan glukosa dalam plasma


darah (Dorland, 2010). Glukosa darah puasa merupakan salah satu cara
untuk mengidentifikasi DM pada seseorang. Pada penyakit ini, glukosa
tidak siap untuk ditransfer ke dalam sel, sehingga terjadi hiperglikemi
sebagai hasil bahwa glukosa tetap berada didalam pembuluh darah
(Sherwood, 2011).

2. Pengukuran Kadar Glukosa Darah

a. Glukosa darah sewaktu

Pemeriksaan glukosa darah yang dilakukan setiap waktu sepanjang


hari tanpa memperhatikan makanan terakhir yang dimakan dan kondisi
tubuh orang tersebut.

b. Glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan.

Universitas Faletehan
19

Pemeriksaan glukosa darah puasa adalah pemeriksaan glukosa yang


dilakukan setelah pasien berpuasa selama 8-10 jam, sedangkan
pemeriksaan glukosa 2 jam setelah makan adalah pemeriksaan yang
dilakukan 2 jam dihitung setelah pasien menyelesaikan makan.

3. Kadar Glukosa Darah

Patokan yang dipakai di Indonesia adalah (Perkeni, 2015) :

a. Kriteria diagnosis untuk gangguan kadar glukosa darah.

Pada ketetapan terakhir yang dikeluarkan oleh WHO dalam petemuan


tahun 2005 disepakati bahwa angkanya tidak berubah dari ketetapan
sebelumnya yang dikeluarkan pada tahun 1999, yaitu:

Tabel 2. Kriteria diagnosis untuk gangguan kadar glukosa darah (Sumber:


Perkeni, 2015)

Metode Kadar Glukosa Darah


Normal DM IGT IFG
Pengukuran
Glukosa darah < 6,1 mmol/L (<110 ≥ 7,0 mmol/L < 7.0 mmol/L < 6,1mmol/L
Puasa (Fasting mg/dL) (≥ 126 mg/dL) (<126mg/dL) (< 10mg/dL)
Glucose)
Glukosa darah 2 Nilai yang sering ≥ 11,1 mmol/L ≤11,1mmol/L <7,8 mmol/L
jam setelah dipakai tidak spesifik (≥200mg/dL) (≤200mg/dL) (<140 g/dL)
makan (2- <7,8 mmol/L (<140 Jika diukur
hglucose) mg/dL)

b. Kadar glukosa darah normal (Normoglycaemia)

Normoglycaemia adalah kondisi dimana kadar glukosa darah yang ada


mempunyi resiko kecil untuk dapat berkembang menjadi diabetes atau
menyebabkan munculnya penyakit jantung dan pembuluh darah.

c. IGT (Impairing Glucose Tolerance)

Universitas Faletehan
20

IGT oleh WHO didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang


mempunyai resiko tinggi untuk terjangkit diabetes walaupun ada kasus
yang menunjukkan kadar glukosa darah dapat kembali ke keadaan
normal. Seseorang yang kadar glukosa darahnya termasuk dalam
kategori IGT juga mempunyai resiko terkena penyakit jantung dan
pembuluh darah yang sering mengiringi penderita diabetes. Kondisi
IGT ini menurut para ahli terjadi karena adanya kerusakan dari
produksi hormon insulin dan terjadinya kekebalan jaringan otot
terhadap insulin yang diproduksi.

d. IFG (Impairing Fasting Glucose)

Batas bawah untuk IFG tidak berubah untuk pengukuran glukosa darah
puasa yaitu 6.1 mmol/L atau 110 mg/dL. IFG sendiri mempunyai
kedudukan hampir sama dengan IGT. Bukan entitas penyakit akan
tetapi sebuah kondisi dimana tubuh tidak dapat memproduksi insulin
secara optimal dan terdapatnya gangguan mekanisme penekanan
pengeluaran glukosa dari hati ke dalam darah.

4. Faktor Yang Mempengaruhi Kadar Glukosa Darah

a. Faktor Internal, sebagai berikut :


1) Penyakit atau Stress

Seseorang yang sedang menderita sakit karena virus atau bakteri


tertentu, merangsang produksi hormon tertentu yang secara tidak
langsung berpengaruh pada kadar glukosa darah.

2) Makanan

Makanan diperlukan sebagai bahan bakar dalam pembentukan


ATP. Selama pencernaan banyak zat gizi yang diabsorpsi untuk
memenuhi kebutuhan energi tubuh sampai makanan berikutnya.
Didalam makanan yang dikonsumsi terkandung karbohidrat, lemak
dan protein (Tandra, 2008). Kadar glukosa darah tercantum pada
sebagian apa yang dimakan dan oleh karenanya sewaktu makan

Universitas Faletehan
21

diperlukan adanya keseimbangan diet. Mempertahankan kadar


glukosa darah agar mendekati nilai normal dapat dilakukan dengan
asupan makanan yang seimbang sesuai dengan kebutuhan.

Makanan yang berbeda dapat memberikan pengaruh yang berbeda


pula terhadap kadar glukosa darah. Faktor penting dalam diet
karbohidrat terhadap kadar glukosa darah terdiri dari :

a) Kandungan serat dalam makanan


b) Proses pencernaan
c) Cara pemasakannya
d) Waktu makan dengan kecepatan lambat atau cepat
e) Pengaruh intoleransi glukosa
f) Pekat atau tidaknya makanan

3) Olahraga atau aktivitas fisik

Melakukan aktivitas fisik atau olahraga secara teratur dapat


menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal.
Prinsipnya, tidak perlu olahraga berat, olahraga ringan atau
aktivitas fisik ringan akan sangat bagus pengaruhnya bagi
kesehatan. Beberapa olahraga yang disarankan, antara lain jalan
atau lari pagi, bersepeda, berenang dan lain sebagainya. Olahraga
akan memperbanyak jumlah dan juga meningkatkan penggunaan
glukosa (Berkat et al., 2018).

Manfaat olahraga atau aktivitas fisik pada terapi DM telah cukup


lama dikenal sebagai salah satu upaya penanggulangan penyakit
DM disamping obat dan diit. Latihan fisik dapat meningkatkan
sensitivitas jaringan terhadap insulin tersebut dapat mengurangi
kebutuhan insulin (Ilyas, 2007).

4) Kepatuhan Minum Obat

Universitas Faletehan
22

Kepatuhan pengobatan adalah keterlibatan secara aktif dan


sukarela dari pasien terhadap pengelolaan penyakit yang
dideritanya dengan mengikutikesepakatan pengobatan yang telah
telah dibuat antara pasien dan petugas kesehatan. Kepatuhan
minum obat merupakan salah satu faktor yang berhubungan
dengan pengendalian kadar glukosa darah penderita DM tipe 2
dimana penderita DM yang tingkat kepatuhan minum obatnya
rendah memiliki pengendalian kadar glukosa darah yang buruk.
Kepatuhan terhadap diet yang dijalankan merupakan salah satu
faktor yang berperan dalam pengelolaan DM. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pengendalian kadar glukosa darah penderita
DM tipe 2 berkaitan dengan kepatuhan terhadap diet yang
dianjurkan.

Perencanaan makan masih merupakan pengobatan utama, tetapi


bila hal ini bersama latihan jasmani ternyata gagal, maka
diperlukan penambahan obat oral. Obat hipoglikemik oral
diberikan agar diabetes melitus dapat terkontrol dengan baik. Cara
kerja obat hipoglikemik oral pada umumnya merangsang sel beta
pankreas untuk mengeluarkan insulin atau mengurangi absorpsi
glukosa dalam usus, sehingga dapat menurunkan kadar glukosa
dalam darah.

b. Faktor Eksternal, sebagai berikut :


1) Pendidikan

Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada


masyarakat agar mau melakukan tindakan-tindakan untuk
memelihara atau mengatasi masalah-masalah dan meningkatkan
kesehatan. Pendidikan mempunyai kaitan yang tinggi terhadap
perilaku pasien untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan.
Pendidikan bagi pasien diabetes melitus berhubungan dengan
perilaku pasien dalam melakukan pengendalian terhadap kadar
glukosa darah agar tetap stabil. Hasil atau perubahan perilaku

Universitas Faletehan
23

dengan cara ini membutuhkan waktu yang lama, namun hasil yang
dicapai bersifat tahan lama karena didasari oleh kesadaran diri
sendiri (Notoatmodjo, 2012).

Jenis pendidikan formal terdiri ataspendidikan dasar, pendidikan


menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar berbentuk
Sekolh Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI), atau Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsawiyah (MTs), sekolah
lain yang bentuknya sederajat. Pendidikan menengah berbentuk
Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah Kejuruan
(MAK), atau bentuk lainnya yang sederajat. Pendidikan tinggi
merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang
mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister,
spesialis dan doctor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi
(Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003).

2) Pengetahuan

Pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting dalam


pembentukan perilaku seseorang. Perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan bertahan lebih lama dibandingkan dengan
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penderita DM tipe 2
yang memperoleh edukasi sehingga pengetahuannya meningkat
memiliki kemampuan adaptasi dan melakukan perubahan perilaku
yang lebih baik. Semakin baik pengetahuan penderita mengenai
kondisi yang dialaminya, semakin baik pengendalian kadar glukosa
darah yang dapat dicapai. Anggota keluarga dapat memberikan
dampak positif maupun negatif terhadap kesehatan penderita DM
melalui mekanisme kontribusi terhadap aktivitas pengelolaan DM
serta kontribusi dalam mencegah atau menimbulkan stress.

Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” dan terjadi setelah orang


melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu.

Universitas Faletehan
24

Pengetahuan adalah hasil tahu manusia yang sekedar menjawab


pertanyaan “apa” (Notoatmodjo, 2012).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting


untuk terbentuknya tindakan seseorang sebelum orang mengadopsi
perilaku baru dalam diri orang tersebut sehingga terjadi suatu
proses berurutan. Jadi pengetahuan merupakan tingkatan terendah
dalam doamin kognitif. Pengetahuan merupakan hasil dari tingkah
laku, hal ini terjadi ketika seseorang telah melakukan penginderaan
pada suatu obyek tertentu (Notoatmodjo, 2012).

3) Kedekatan sumber informasi

Sumber informasi adalah sesuatu yang menjadi perantara dalam


menyampaikan informasi. Mempengaruhi kemampuan, semakin
banyaknya sumber informasi yang diperoleh maka semakin banyak
pula pengetahuan yang dimiliki (Notoatmodjo, 2012).

Salah satu yang mempengaruhi tindakan seseorang dalam


meningkatkan kualitas kesehatan seseorang adalah terjangkaunya
informasi yaitu tersedianya informasi-informasi terkait dengan
tindakan yang akan diambil oleh seseorang pada pasien diabetes
melitus, dengan adanya kemudahan untuk memperoleh informasi
mengenai pengendalian kadar glukosa darah dapat memfasilitasi
terjadinya tindakan untuk melakukan pengendalian kadar glukosa
darah mereka.

Universitas Faletehan
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan gambaran dan arahan asumsi mengenai variabel-


variabel yang akan diteliti, atau memiliki hasil sebuah sintesis dari proses
befikir deduktif maupun induktif, kemudian dengan kemampuan kreatif dan
inovatif diakhiri konsep dan ide baru (Hidayat, 2017).

Variabel independen (variabel bebas) merupakan variabel yang menjadi sebab


perubahan atau timbulnya variabel dependen (terikat). Kerangka konsep dalam
penelitian ini terdiri dari variabel independen yaitu usia, jenis kelamin,
pendidikan, aktivitas fisik, pengetahuan, kepatuhan minum obat dan variabel
dependen yaitu kadar glukosa darah yang digambarkan sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

a. Usia Kestabilan Kadar


b. Jenis Kelamin Glukosa Darah
c. Pendidikan
d. Pengetahuan
e. Aktivitas Fisik
f. Kepatuhan Minum
Obat

25 Universitas Faletehan
26

B. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional


berdasarkan karakteristik yang diamati, memungkinkan peneliti untuk
melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau
fenomena (Hidayat, 2017).

Tabel 3.
Definisi Operasional

Definisi
Variabel Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional
Variabel Independen
Usia Lama waktu Kuesioner Kuesioner 0 ≥ 40 tahun Ordinal
hidup responden demografi berupa 1 < 40 tahun
terhitung sejak menggunakan pertanyaan
lahir sampai saat google form terkait usia
penelitian responden

Jenis Kelamin Keadaan biologis Kuesioner Kuesioner 0 = Perempuan Nominal


yang demografi berupa 1 = Laki-laki
membedakan menggunakan pertanyaan
individu google form terkait jenis
kelamin
responden

Pendidikan Pendidikan formal Kuesioner Kuesioner 0 = Tidak Ordinal


terakhir yang menggunakan berupa Sekolah
pernah diikuti google form pertanyaan 1 = SD
responden terkait 2 = SMP
pendidikan 3 = SMA
responden 4 = PT

Pengetahuan Hal-hal yang Kuesioner Kuesioner 0 = Kurang baik Ordinal


diketahui atau menggunakan berupa (bila nilai yang
dipahami google form pertanyaan didapat ≤ 55%)
responden dalam terkait 1= Cukup (bila
mengendalikan pengetahuan nilai yang
kadar glukosa responden didapat 56-75%)
darah 2 = Baik (bila
nilai yang
didapat 76-
100%)

Aktivitas Fisik Lama dan jenis Kuesioner Kuesioner 0 = Tidak Ordinal


aktivitas atau menggunakan berupa mudah (jika
kegiatan fisik google form pertanyaan skor yang
yang dilakukan terkait diperoleh < nilai
oleh responden aktivias fisik median)
responden 1 = Mudah (jika
skor yang
diperoleh ≥
nilai median)

Universitas Faletehan
27

Kepatuhan Obat yang Kuesioner Kuesioner 0 = Tidak sesuai Ordinal


Minum Obat dikonsumsi oleh menggunakan berupa instruksi (jika
responden dalam google form pertanyaan skor yang
upaya terkait diperoleh < nilai
menstabilkan kepatuhan median)
kadar glukosa minum obat 1 = Sesuai
darah sesuai responden instruksi (jika
instruksi dokter skor yang
diperoleh ≥
nilai median)

Variabel dependen
Kestabilan Kadar glukosa Kuesioner 0 = Tidak stabil, Ordinal
Kadar Glukosa darah berada pada menggunakan jika terdapat
Darah rentang normal google form 100% gejala
mayor dan 50%
gejala minor
(SDKI)
1 = Stabil, jika
tidak ditemukan
100% gejala
mayor dan
minor (SDKI)

C. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara dari pertanyaan penelitian dimana


rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan
(Notoatmodjo, 2012). Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Ha 1 : Ada hubungan antara usia dengan kestabilan kadar glukosa darah


pasien diabetes melitus.
Ho 1 : Tidak ada hubungan antara usia dengan kestabilan kadar glukosa
darah pasien diabetes melitus
Ha 2 : Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kestabilan kadar glukosa
darah pasien diabetes melitus.
Ho 2 : Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kestabilan kadar
glukosa darah pasien diabetes melitus.
Ha 3 : Ada hubungan antara pendidikan dengan kestabilan kadar glukosa
darah pasien diabetes melitus.

Universitas Faletehan
28

Ho 3 : Tidak ada hubungan antara pendidikan dengan kestabilan kadar


glukosa darah pasien diabetes melitus.
Ha 4 : Ada hubungan antara pengetahuan dengan kestabilan kadar glukosa
darah pasien diabetes melitus.
Ho 4 : Tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan kestabilan kadar
glukosa darah pasien diabetes melitus.
Ha 5 : Ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kestabilan kadar glukosa
darah pasien diabetes melitus.
Ho 5 : Tidak ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kestabilan kadar
glukosa darah pasien diabetes melitus.
Ha 6 : Ada hubungan antara kepatuhan minum obat dengan kestabilan kadar
glukosa darah pasien diabetes melitus.
Ho 6 : Tidak ada hubungan antara kepatuhan minum obat dengan kestabilan
kadar glukosa darah pasien diabetes melitus.

Universitas Faletehan
BAB IV
METODELOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan desain


deskriptif analitik. Menggunakan pendekatan cross sectional yaitu rancangan
penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat
bersamaan, atau melakukan pemerirksaan status paparan dan status penyakit
pada titik yang sama (Hidayat, 2017). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kestabilan kadar glukosa
darah pada pasien diabetes melitus.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Serang tahun 2020.

2. Waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April – Mei 2020, dimulai dari
penyusunan proposal, sidang proposal, pengumpulan data, pengolahan
data, penyusunan skripsi dan sidang skripsi.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi, obyek/subyek yang mempunyai


kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2016). Populasi
30

dalam penelitian ini adalah seluruh pasien diabetes melitus di Wilayah


Serang tahun 2020.
Tambah jumlah populasi di Serang.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut (Sugiyono, 2016). Menurut Hidayat (2017) sampel
merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari
karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Besar sampel yang dubuthkan
dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus perhitungan
besar sampel (Nursalam, 2016).

2
N .z p.q
n=
d ( N −1 )+ z2 . p . q
2

48 ( 1,96 )2 .0,5 .0,5


2
( 0,05 ) ( 48−1 )+ ( 1,96 ) . 0,5 .0,5
= 42,7
= 43 Responden
 Populasi infinit (populasi tidak diketahui)
Z2 . p . q
n=

Keterangan :
 N : Perkiraan besar populasi
 n : Perkiraan besar sampel
 z : nilai standar normal untuk ɑ = 0,05 (1,96)
 p : perkiraan proporsi, jika tidak diketahui dianggap 50%
 q : 1 – p (100% - p)
 d : tingkat kesalahan yang dipilih (d = 0,05)
atau

N
n=
1+ N (d 2)
Keterangan :

Universitas Faletehan
31

 n : Besar sampel
 N : Besar populasi
 d : Tingkat signifikansi (p)
penentuan dengan rumus tersebut tidak mutlak, khususnya jika tujuan
penelitian tidak untuk general`isasi.

Teknik pengambilan sampel ini menggunakan pendekatan Purposive


sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang dilakukan dengan cara
memilih sampel yang memenuhi kriteria penelitian sampai kurun waktu
tertentu sehingga jumlah sampel terpenuhi.
Sehingga dalam penelitian ini terdapat kriteria sampel terdiri dari :

a. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh
setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel
(Notoatmodjo, 2010).
Kriteria inklusi dalam penelitian ini terdiri dari :

1) Pasien diabetes melitus di Wilayah Serang dan sekitarnya.


2) Didiagnosa diabetes melitus minimal 1 tahun.
3) Berusia ≥ 20 tahun.
4) Bersedia menjadi responden menggunakan kuesioner digital.

b. Kriteria Eklusi

Kriteria eklusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat


diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010). Kriteria eklusi dalam
penelitian ini meliputi responden yang memiliki keterbatasn fisik,
mental, kognitif (buta, tuli, cacat mental) yang dapat mengganggu
pengukuran saat dilakukannya penelitian.

Universitas Faletehan
32

D. Pengumpulan Data

1. Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan bagian terpenting dalam suatu penelitian,


beberapa teknik pengumpulan data diantaranya dengan menggunakan
angket/kuesioner. Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan dan pernyataan
tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden
dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang dia ketahui
(Arikunto, 2013).

a. Data Primer

Data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan


menggunakan alat pengukuran atau pengambilan data, langsung pada
subjek sebagai sumber informasi yang dicari dan data berupa lembar
kuesioner yang berupa data usia, jenis kelamin, pendidikan,
pengetahuan, aktivitas fisik, kepatuhan minum obat. Cara
pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuesioner melalui
google form.

b. Data Sekunder

Data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh
peneliti dari subjek penelitiannya. Data ini diperoleh dari rekapitulasi
data kesehatan mengenai jumlah pasien DM di Dinkes Kabupaten
Serang dan Dinkes Kota Serang Tahun 2019.

2. Teknik Pengambilan Data

Pada penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor kestabilan kadar


glukosa darah pada pasien diabetes melitus di Wilayah Serang, maka
teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
dengan menyebarkan kuesioner kepada responden. Cara pengumpulan
data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Universitas Faletehan
33

a. Tahap persiapan (Administratif), sebagai berikut :

1) Penelitian ini dilakukan setelah mendapatkan izin dari dosen


pembimbing dan ketua program studi ilmu keperawatan
Universitas Faletehan.
2) Sebelum dilakukan penelitian, peneliti mengajukan surat izin
penelitian kepada dinas terkait.
3) Peneliti mengajukan permohonan penggunaan kuesioner.
4) Peneliti mengajukan izin untuk ujian proposal.
5) Peneliti mengurus izin etik penelitian.

b. Tahap pelaksanaan, sebagai berikut :

1) Peneliti mengurus izin penelitian di Wilayah Serang.


2) Setelah mendapatkan izin melakukan penelitian di Wilayah Serang
peneliti menyebarkan kuesioner yang terdiri dari kuesioner
demografi dan kadar glukosa darah.
3) Setiap kuesioner yang telah diisi oleh responden akan segera
dilakukan pengecekan kelengkapan data dan penginputan data.
4) Pengolahan data dan menganalisis data hasil penelitian dilakukan
setelah seluruh kuesioner responden terkumpul dan terinput
kedalam pengolahan data.

c. Tahap Akhir, sebagai berikut :

1) Menyusun laporan penelitian.


2) Sidang atau pertanggung jawaban hasil penelitian.
3) Penggandaan hasil penelitian.

3. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dalam


bentuk pertanyaan dan pernyataan tentang hubungan karakteristik, yaitu :
Usia, Jenis kelamin, asupan makanan, olahraga, obat, pendidikan,

Universitas Faletehan
34

pengetahuan, dan sumber informasi. penelitian menggunakan dua


instrumen dalam penelitian ini, yaitu :
a. Instrumen untuk data karakteristik

Kuesioner ini terkait dengan identitas responden, data demografi yang


terdiri dari 6 item, yaitu nama, usia, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan dan lama menderita DM.

b. Intrumen untuk kadar glukosa darah

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kestabilan


kadar glukosa darah maka peneliti menggunakan kuesioner yang
pernah digunakan dalam penelitian sebelumnya.

4. Uji Validitas dan Reliabilitas

a. Uji Validitas

Validitas berasal dari kata validity merupakan suatu indeks yang


menunjukan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang akan diukur
(Notoatmodjo, 2012). Untuk menguji validitas penguji menggunaklan
rumus pearson product moment, kemudian setelah di uji dengan
menggunakan uji t untuk melihat indeks korelasi (Hidayat, 2017).

Uji validitas menggunakan software SPSS 16 (Statistical Product and


Service Solution) dengan cara memasukan item pertanyaan dan
pernyataan dari skor total yang didapatkan (Safitri, 2013),
menggunakan rumus yaitu :

n ( ΣXY )−( Σ X ) .( ΣY )
rhitung = 2 2
√ { N . Σ X ² - ( Σ X ) }. {N . ΣY −( Σ Y ) 2 }

Keterangan :
 rhitung : Koefisien korelasi

 ∑Xi : Jumlah skor item

 ∑Yi : Jumlah skor total item

Universitas Faletehan
35

 n : jumlah responden

Rumus Uji t
t hitung=r √(n−2)
√(1−r 2)
Keterangan :
 t : nilai t hitung

 r : koefisien korelasi hasil r hitung

 n : jumlah responden

untuk tabel t ɑ = 0.05 derajat kebebasan (dk = n-2).

Keputusan uji :
Bila r hitung lebih besar dari r tabel, artinya variabel valid.
Bila r hitung lebih kecil atau sama dengan r tabel, artinya variabel
tidak valid (Hustono, 2016).

b. Uji Reliabilitas

Setelah melakukan uji validitas maka diperlukan uji reliabilitas data


untuk menentukan apakah alat ukur dapat digunakan atau tidak
(Hidayat, 2017). Setelah semua pertanyaan dan pernyataan dinyatakan
valid maka selanjutnya adalah menguji reliabilitas kuesioner tersebut
dengan menggunakan metode cronbach alpha. Hastono (2016)
menyatakan bahwa untuk menentukan reliabilitas atau tidak suatu
instrumen dengan keputusan uji :
Bila cronbach alpha ≥ 0.6 artinya variabel reliabel. Dan bila cronbach
alpha < 0.6 artinya variabel tidak reliabel .

Universitas Faletehan
36

E. Pengolahan dan Analisa Data

1. Pengolahan data

Menurut Hidayat (2017) dalam proses pengolahan data ada beberapa


langkah-langkah yang harus dilalui, diantaranya sebagai berikut :

a. Editing data (pengecekan data)

Dilakukan untuk memeriksa data yang telah dikumpulkan melalui


kuesioner dari hasil pemeriksaan hal ini diperlukan dilapangan
untuk meneliti kembali apakah isian dalam lembar pertanyaan
sudah cukup untuk diproses dan dilaksanakan dilapangan, sehingga
bila dapat kekurangan segera dilengkapi.

b. Coding ( pemberian kode)

Masing-masing variabel penelitian diberi kode berupa angka yang


selanjutnya dimasukan dalam lembaran tabel kerja untuk
memudahkan entri di komputer atau setiap jawaban.

c. Tabulasi data

Tabulasi merupakan kegiatan meringkas jawaban dari kuesioner


menjadi suatu tabel induk yang memuat semua jawaban responden.
Jawaban responden akan dikumpulkan dalam bentuk kode-kode
yang disepakati untuk memudahkan pengolahan data selanjutnya.

d. Melakukan teknik analisi

Untuk melakukan teknik analisis khususnya untuk data penelitian


akan menggunakan ilmu statistik terapan yang telah disesuaikan
dengan tujuan yang akan dianalisi. Jiika penelitiannya deskriptif
makamenggunakan deskriptif dan jika penelitiannya analisis
analitik maka menggunakan statistik inferensi (unutk generalisasi).
Statistik deskriptif merupakan seuatu statistik yang membahas

Universitas Faletehan
37

metode meringkas menyajikan dan mendeskripsikan data dengan


tujuan untuk mudah dimengerti dan lebih bermakna.

2. Analisa Data

Analisa data yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisa univariat
dan analisa bivariat. Sebelum melakukan analisa univariat dan analisa
bivariat perlu dilakukannya uji kenormalitasan data untuk mengetahui
distribusi data normal atau tidak. Jika distribusi dara normal maka
menggunakan mean untuk nilai tengah, jika distribusi data tidak
normal makan peneliti menggunakan median sebagai nilai tengah.

a. Analisa Univariat (Deskriptif)

Analisa univariat bertujuan untuk menjelasikan atau


mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Pada
umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi
frekuensi dan persentase sari setiap variabel (Notoatmodjo, 2012).
Setiap responden diberiikan kebebasan untuk memilih jawaban
dengan menceklis pada lembar yang disediakan. Setiap responden
akan memperoleh nilai sesuai pedoman penilaian tersebut
kemudian nilai tersebut dipresentasikan.

b. Analisa Bivariat

Analisa bivariat bertujuan untuk mengetahui antara dia variabel


(Hastono, 2016). Sebelum dilakukannya analisa bivariat,
dilakukannya uji kenormalitasan data untuk mengetahui distribusi
data normal atau tidak. Distribusi data dikatakan normal jika hasil
uji memiliki p value ≥ (ɑ) 0.05. Untuk mengetahui hubungan
variabel bebas dan variabel terikat peneliti menggunakan uji chi
square dan analisis regresi linier sederhana.
Analisi regresi linier sederhana adalah model matematis yang
digunakan untuk mengetahui bentuk hubungan antar dua atau lebih
variabel. Tujuan analisis regresi adalah untuk membuat perkiraan

Universitas Faletehan
38

nilai suatu variabel (variabel dependen) melalui variabel yang lain


(variabel independen), yang menghubungkan dua variabel
(Hastono, 2016).

(O−E)2
X 2 =Σ
E
X2 : Nilai Chi kuadrat
O : Frekuensi observasi
E : Frekuensi harapan

Keputusan uji :
Bila nilap p ≤ 0.05 maka Ho ditolak artinya ada hubungan
bermakna.
Bila nilai p > 0.05 artinya tidak ada hubungan bermakna

Universitas Faletehan
39

Universitas Faletehan

Anda mungkin juga menyukai