Anda di halaman 1dari 26

1

LAPORAN MAKALAH KELOMPOK


MATA KULIAH KEPERAWATAN KRITIS
TERKAIT GAGAL NAFAS

KELOMPOK 4

Angel Novelyeni Cahyaningtias 17031062


Lilik Tri Rahayu 17031065
Nabila Risky 17031061
Indah Kurniawati 17031063
Herli Yulianti 17031064

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


STIKES HANG TUAH PEKANBARU
PEKANBARU
2020
2

Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan
pada kelompok untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah kelompok
dapat menyelesaikan makalah gagal nafas untuk memenuhi tugas keperawatan kritis dengan
tepat waktu.

Kelompok mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak/Ibu selaku dosen


mata kuliah keperawatan kritis. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan
dan wawasan terkait keperawatan kritis. Kelompok juga mengucapkan terima kasih pada semua
pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.

Kelompok menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan kelompok terima demi kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, 17 November 2020

Kelompok 4
Daftar Isi

HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………………… i

KATA PENGANTAR ………………………………………………..……………………… ii

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………… iii

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………….………………… 4

Latar Belakang ………………………………………………………………………… 4

Tujuan Penulisan …………………………………………………………………………5

Manfaat penulisan …………………………………………………………………………..

Rumusan Masalah …………………………………………………………………………5

BAB II PEMBAHASAN ………………………………………..…………………………. ...6

2.1 Pengertian gagal nafas ………………………………………………………………….7

2.2 Klasifikasi dan etiologi ………………………………………………………………….8

2.3 Patofisiologi …………………………………………………………………..8

2.4 Diagnosis ………………………………………………………………….9

2.5 Penatalaksanaan ………………………………………………………………….11

2.6 Penanganan pasien gagal nafas di ICU ………………………………………………….11

BAB III PEMBAHASAN ………………………………………………………………..…….13

3.1 Kasus gagal nafas ………………………………………………………………….13

3.2 Analisa ………………………………………………………………….13

BAB IV PENUTUP ………………………………………………………………….14

4.1 Kesimpulan ………………………………………………………………….15

DAFTAR PUSTAKA ………………………………… ……………………………….16

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Pasien kritis adalah pasien dengan penyakit atau kondisi yang mengancam jiwa pasien
tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini sering kita jumpai di Intensive Care Unit
(ICU). Intensive Care Unit (ICU) adalah tempat atau unit tersendiri di rumah sakit yang
menangani pasien-pasien kritis karena penyakit, trauma atau komplikasi penyakit lain yang
memfokuskan diri dalam bidang life support atau organ support yang kerap membutuhkan
pemantauan intensif, karena pasien kritis memiliki morbiditas dan mortalitas tinggi
(Gwinnutt, 2006 dalam Jevon, 2008). Salah satu bentuk pemantauan intensive invasif adalah
pasien dengan ventilasi mekanik yang akan membantu usaha bernafas melalui endotracheal
tubes atau trakheostomi. Ventilator mekanik merupakan alat yang digunakan untuk
membantu fungsi pernapasan. Penggunaannya diindikasikan untuk pasien dengan
hipoksemia, hiperkapnia berat dan gagal napas.
Kegagalan pernapasan merupakan indikasi yang paling umum untuk dirawat di
Intensif Care Unit (ICU) rumah sakit. Kegagalan pernapasan merupakan kondisi ketidak
mampuan paru menjaga keseimbangan atau homeostasis O2 dan CO2 di dalam tubuh serta
ketidak mampuan paru menyediakan O2 yang cukup atau mengurangi tumpukan CO2 di
dalam tubuh. Menurut Ignatavicius dan Workman (2006), kegagalan pernapasan lanjut
dapat didefinisikan sebagai kegagalan ventilasi dan atau kegagalan oksigenasi karena
berbagai faktor penyebab. Pemberian bantuan pernapasan dengan ventilasi mekanik dapat
membantu ventilasi paru untuk meningkatkan oksigenasi dan mencegah kerusakan paru.
Menurut Smeltzer et al. (2008), bantuan tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
oksigenasi ke jaringan atau mengoreksi asidosis pernapasan.
Gagal nafas merupakan salah satu kondisi kritis yang diartikan sebagai ketidak
mampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan homeostasis oksigen dan
karbondioksida. Fungsi jalan nafas terutama sebagai fungsi ventilasi dan fungsi respirasi.
Kasus gagal nafas akan terjadi kelainan fungsi obstruksi maupun fungsi refriktif, akan tetapi
dalam keilmuan keperawatan kritis yang menjadi penilaian utama adalah defek pertukaran
gas di dalam unit paru, antara lain kelainan difusi dan kelainan ventilasi perfusi. Kedua
kelainan ini umumnya menimbulkan penurunan PaO 2, peninggian PaCO2 dan penurunan pH
yang dapat menimbulkan komplikasi pada organ lainnya (Tabrani, 2008).
Penggunaan ventilasi mekanik menurut survei multinasional terhadap 5000 klien di
Eropa digunakan pada kasus gagal nafas akut (69%), koma (17%), gagal nafas kronis (13%)
dan gangguan neuromuskuler (2%) (Rodriquez, Dojat, & Brochard, 2005). Bantuan
pernapasan harus diberikan secara adekuat sesuai indikasi untuk mencegah kelemahan otot
pernapasan karena diistirahatkan (Smeltzer et al, 2008). Tindakan invasive dari pemasangan
artificial airway ini merupakan salah satu penyebab timbulnya pneumonia yang merupakan
masalah paling sering terjadi. Pada saat intubasi dilakukan, mikroorganisme yang berada di
dalam rongga mulut (bila intubasi melalui mulut), atau rongga hidung (intubasi melalui
hidung), akan ikut masuk ke saluran napas bagian bawah. Disamping itu terpasangnya
saluran pipa artificial merupakan sarana bagi keluar masuknya mikroorganisme dari tempat
lain, menyebabkan peningkatan stimulasi sekresi mukus, menghambat fungsi fisiologis
saluran napas bagian atas seperti menghangatkan, melembabkan, filtrasi dan fungsi suara
akan hilang. Begitu pula mekanisme proteksi antara lain kemampuan mengeluarkan sekret,
gerakan mukosilia, kemampuan batuk efektive akan terganggu atau menurun, karena klien
tidak dapat meningkatkan tekanan didalam dadanya yang sangat diperlukan agar dapat
batuk.

1.2. Tujuan penulisan


Agar mampu memahami dan mengetahui tentang konsep asuhan keperawatan kritis terkait
pasien yang mengalami gagal napas.
1.3. Manfaat penulisan
Makalah ini dibuat agara dapat menjadi bahan ajaran atau bacaan bagi para pembaca
terutama bagi mahasiswa keperawatan dalam memberikan konsep asuhan keperawatan kritis
terkait dengan pasien gagal napas
1.4. Rumusan masalah
1. Apa itu gagal napas ?
2. Apa etiologi dan klasifikasi dari gagal napas?
3. Apa patofisiologi dari penyakit gagal napas?
4. Apa diagnosis dari pasien terkena gagal napas?
5. Apa penatalaksanaan yang diberikan pada pasien gagal napas?

BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Pengertian Gagal Napas
Gagal napas merupakan suatu sindroma pada sistem respirasi yang gagal melakukan
fungsinya yaitu pada salah satu atau kedua mekanisme pertukaran gas, yaitu oksigenasi dan
eliminasi karbondioksida.
Gagal Nafas adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan terjadinya pernafasan
yang pendek secara berat dan tiba-tiba yang biasanya timbul dalam waktu 12-48 jam setelah
adanya faktor pencetus, seperti trauma, sepsis dan aspirasi (masuknya hasil sekresi lambung
atau benda asing ke dalam paru-paru) kerena menurunnya kadar oksigen dalam darah
oksigen untuk masuk kedalam darah dengan secukupnya. Gagal nafas dapat menyebabkan
komplikasi seperti memiliki resiko yang lebih tinggi untuk gagal jantung kongesif, memiliki
resiko tinggi pneumonia dan menderita kegagalan organ.
Gagal napas (respiratory failure) timbul ketika pertukaran oksigen dengan
karbondioksida pada paru-paru tidak dapat mengimbangi laju konsumsi oksigen dan
produksi karbondioksida pada sel tubuh. Akibatnya adalah tekanan oksigen arterial menjadi
kurang dari 50 mmHg (hipoksemia) dan tekanan karbondioksida arterial meningkat menjadi
lebih dari 45 mmHg (hiperkapnia). Gagal napas masih merupakan penyebab angka kesakitan
dan kematian yang tinggi di instalasi perawatan intensif walaupun kemajuan teknik
diagnosis dan terapi intervensi telah berkembang pesat. Hal yang membedakan antara gagal
napas akut dengan gagal napas kronis adalah:
a. Gagal napas akut (acute respiratory failure): kegagalan pernapasan/napas terhenti yang
ditunjukkan pada pasien di mana struktur dan fungsi paru- paru pada awalnya bisa saja
dalam keadaan normal sebelum timbulnya penyakit.
b. Gagal napas kronis (chronic repiratory failure): kegagalan pernapasan yang terlihat pada
pasien dengan penyakit paru-paru kronis seperti bronkhitis kronis, emfisema, dan 'black
lung diseases (Coal miner's diseases)

2.2. Klasifikasi dan Etiologi


Gagal napas diklasifikasikan menjadi hipoksemia dan hiperkapnea. Gagal napas tipe I
dihubungkan dengan defek primer pada oksigenasi sedangkan gagal napas tipe II
dihubungkan dengan defek primer ventilasi. Gagal napas hipoksemia (tipe 1) ditandai
dengan tekanan oksigen arterial (PaO2) kurang dari 60 mmHg dengan kadar tekanan
karbondioksida arterial (PaCO2) normal atau rendah. Tipe ini merupakan tipe yang umum
ditemukan, dan berkaitan dengan hampir semua kelainan paru akut yang berkaitan dengan
hipoventilasi, ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (V/P mismatch), maupun
ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan oksigen jaringan (DO2/VO2
mismatch). Contoh dari gagal napas tipe 1 yaitu edema paru, pneumonia, pneumo-toraks,
emboli paru, ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome), dan lain-lain. Gagal napas
hiperkapnea (tipe 2) ditandai dengan tekanan karbondioksida arterial (PaCO2) lebih tinggi
dari 50 mmHg. Hipoksemia sering terjadi pada pasien dengan gagal napas hiperkapnea pada
udara bebas. Etiologi tersering dari gagal napas tipe 2 meliputi overdosis obat, penyakit
neuromuskular, kelainan dinding dada, serta kelainan saluran napas berat (Asma, Penyakit
Paru Obstruktif Kronik-PPOK).

2.3. Patofisiologi
Kegagalan Ventilasi, Gagal napas pada umumnya disebabkan oleh kegagalan ventilasi
yang ditandai dengan terjadinya retensi CO2, disertai dengan penurunan pH yang abnormal,
penurunan PaO2, dengan nilai perbedaan tekanan O2 alveoli-arteri (A-a) DO2 meningkat
atau normal. Kegagalan ventilasi dapat disebabkan oleh hipoventilasi karena kelainan
ekstrapulmoner dan ketidaksepadanan V/Q yang berat pada kelainan intrapulmoner atau
terjadi kedua-duanya secara bersamaan. Hiperkapnik yang terjadi karena kelainan
ekstrapulmoner disebabkan karena terjadinya penurunan aliran udara antara atmosfir dengan
paru tanpa kelainan pertukaran gas di parenkim paru. Dengan demikian akan didapatkan
peningkatan PaCO2, penurunan PaO2, dan nilai (A-a) DO2, normal. Kegagalan ventilasi pada
penderita penyakit paru terjadi sebagai berikut: sebagian alveoli mengalami penurunan
ventilasi relatif terhadap perfusi, sedangkan sebagian lagi terjadi peningkatan ventilasi relatif
terhadap perfusi. Mula-mula daerah dengan ventilasi rendah dapat dikompensasi dengan
daerah terventilasi tinggi sehingga tidak terjadi peningkatan PaCO 2. Tapi kalau
ketidaksepadanan ventilasi perfusi ini sudah demikian beratnya maka mekanisme
kompensasi tadi gagal sehingga terjadi kegagalan ventilasi yang ditandai oleh peningkatan
PaCO2, penurunan PaO2, dengan peningkatan (A-a) DO2 yang bermakna. Kombinasi dari
kedua keadaan ini dapat terjadi misalnya pada penderita asma atau PPOM yang telah
mengalami kelelahan otot pernapasan, di mana disamping terjadi ketidaksepadanan
ventilasi-perfusi karena kelainan intrapulmoner juga akan terjadi penurunan jumlah aliran
udara antara atmosfir dan paru karena kelelahan otot pernafasan.
Kegagalan Oksigenasi, Pada gagal napas tipe hiposekmik/non hiperkapnia, PaCO 2
adalah normal atau menurun, PaO2 menurun dan disertai dengan peningkatan nilai (A-a)
DO2. Gagal napas tipe ini terjadi pada kelainan pulmoner dan tidak disebabkan oleh kelainan
ekstrapulmoner. Mekanisme terjadinya hipoksemia, terutama akibat ketidaksepadanan
ventilasi-perfusi dan pintasan darah kanan-kiri, sedangkan gangguan difusi dapat merupakan
faktor penyerta bukan sebagai faktor yang dominan. Penderita dengan gagal napas tipe
hipoksik dapat dibagi kedalam 3 grup yaitu (1) gangguan pumolner non spesifik akut,
ARDS, (2) penyakit paru spesifik akut, (3) penyakit paru proggresif kronik.

2.4. DIAGNOSIS
Gagal napas akut merupakan suatu keadaan yang betul-betul mengancam jiwa
penderita, diagnosis harus cepat dapat ditegakkan sehingga tindakan dapat segera dilakukan.
Diagnosis dan terapi umumnya dilakukan secara simultan, melibatkan suatu tim yang sudah
terampil di dalam menghadapi kasus demikian.
Pada umumnya diagnosis dibuat berdasarkan pada:
- Riwayat penyakit
- Pemeriksaan fisik
- Analisis gas darah arteri
- Pemeriksaan lainnya seperti: EKG, spirometri.

a. Riwayat Penyakit
Pada umumnya penderita datang dalam keadaan sangat sesak atau malah henti napas
sehingga anamnesis tidak dapat dilakukan. Tanyakan pada keluarga atau mereka yang
mengetahuinya, tentang penyakit-penyakit atau keadaan yang mendasari terjadinya gagal
napas akut seperti penyakit jantung, penyakit paru, pemakaian obat sedatif dan lainnya,
atau riwayat tindakan medik, bedah dan obstetri sebelumnya (pada ARDS).
b. Pemeriksaan Fisik
Penderita umumnya tampak sangat gelisah dan sesak. Kesadaran bervariasi dari
sedikit berubah sampai koma. Pada tipe hiperkapnik, penderita mengalami sakit kepala,
kebingungan, mengantuk, tertidur sampai koma. Kadang- kadang didapatkan gangguan
penglihatan terutama pada asidosis berat, juga dapat terjadi tremor. Pada tipe hipoksik
tampak sianosis di bibir dan jari-jari. Pada sistem pernapasan, biasanya didapatkan
frekuensi napas menurun, normal atau meningkat, pemapasan mungkin sukar atau
tenang, sehingga pola pemapasan perlu diamati dengan baik, misalnya napas cepat dan
dangkal menandakan depresi permapasan, takipnea menunjukkan adanya hipoksemia.
Pada sistem kardiovaskuler biasanya tekanan sedikit meningkat. Pada kasus berat
didapatkan hipotensi, bradikardi yang bervariasi sampai aritmia. Pada pemeriksaan fisik
toraks dicari penyakit-penyakit yang kemungkinan mendasarinya. Adanya murmur, irama
gallop, disertai dengan ronki menunjukkan adanya gagal jantung: bising mengi yang
keras menunjukkan adanya asma berat, ronki basah disertai dengan demam ditemukan
pada kasus infeksi pulmoner. Kalau ada tanda-tanda gangguan neurologis perlu
dipikirkan kemungkinan terjadi stroke, miastenia gravis, atau sindrom Guillain-Barre.
c. Analisis Gas Darah
Arteri Merupakan pemeriksaan yang dapat menentukan secara pasti diagnosis gagal
napas akut, dilakukan segera setelah penderita diterima. Nilai PaCO2, PaO2, pH dan (A-a)
DO2, ditentukan sebagai dasar penatalaksanaan selanjutnya. Foto Toraks Adanya gagal
jantung, penyakit paru atau pleura seperti infeksi, pneumotoraks dapat dengan mudah
dilihat. Adanya gambaran edema paru apalagi yang homogen menyeluruh mengarah pada
diagnosis ARDS.
d. Pemeriksaan Lainnya
EKG dapat mengkonfirmasikan infark miokard, aritmia jantung atau hipertensi
pulmonal (pada PPOM). Perlu juga diperiksa hemoglobin, leukosit, pemeriksaan faal hati
dan ginjal, dan elektrolit.
2.5. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penderita gagal napas akut bertujuan untuk penyelamatan jiwa penderita
dengan jalan memperbaiki keadaan klinis melalui perbaikan pertukaran gas dan pengobatan
penyakit untuk mengatasi perubahan patofisiologik yang terjadi karena penyakit tersebut."

2.6. Penanganan Pasien Gagal Napas Di ICU


Kegagalan pernapasan merupakan salah satu indikasi pasien dirawat di ruangan
intensive care unit (ICU). Kegagalan pernapasan merupakan salah satu penyebab
meningkatnya mortalitas dan morbiditas.
Manajemen gagal napas memerlukan tindakan yang cepat, tepat dan cermat, sesuai
dengan kondisi klinis pasien sehingga membutuhkan monitoring ketat. Oksigenasi dan
ventilasi yang dilakukan perlu disesuaikan secara berkala dengan kondisi klinis dan
pemeriksaan analisis gas darah, bersamaan dengan penatalaksanaan penyakit yang men-asari
dan komplikasi yang ditimbulkan. Pemberian ventilasi mekanik terlalu lama atau terlalu
cepat memiliki dampak yang buruk bagi pasien dengan gagal napas. Selain itu, reintubasi
pada pasien setelah ekstubasi juga memiliki prognosis yang buruk.
Pasien dengan gagal napas akut memerlukan penanganan intensif di Unit Perawatan
Intensif. Kepastian jalan napas yang adekuat sangat penting pada kondisi seperti ini, yang
merupakan salah satu indikasi dilakukannya intubasi. Setelah jalan napas aman,
penatalaksanaan berikutnya difokuskan pada koreksi hipoksemia, dengan target tekanan
oksigen arterial (PaO2) lebih dari 60 mmHg atau saturasi oksigen arterial (SaO2) lebih dari
90%. Suplementasi oksigen pada hipoksemia berat seringkali memerlukan intubasi dan
ventilasi mekanik. Ventilasi mekanik diharapkan dapat mengurangi upaya pernapasan serta
tingginya konsumsi oksigen yang dibutuhkan untuk mempertahankan upaya napas.
Pemberian ventilasi mekanik pada pasien gagal napas harus disesuaikan dengan kondisi
medis yang mendasari serta temuan klinis pada pasien yang dapat berfluktuasi.
Pemberian bantuan ventilator sangat dibutuhkan, namun bila kondisi pasien
mengalami perbaikan, dapat dilakukan weaning yaitu proses transisi pada pasien yang
diharapkan mampu bernapas spontan setelah pemberian ventilasi mekanik. Perlu diingat
bahwa ketepatan waktu weaning sangat penting dalam penanganan pasien di ICU.
Keterlambatan pencabutan ventilator dapat menyebabkan terjadinya VAP (ventilator
acquired pneumonia) dan efek samping lainnya dari pemasangan ventilator. Pencabutan
ventilator yang terlalu cepat dapat memperpanjang lama perawatan pasien di ICU atau
mengakibatkan kematian.
Peralatan standar di intensif care unit (ICU) meliputi ventilasi mekanik untuk usaha
bernafas melalui endotrakeal tube (ETT) atau trakheostomi. Ventilator merupakan alat bantu
pernafasan yang digunakan untuk pasien yang mengalami gagal nafas atau tidak mampu
bernafas secara mandiri. Ventilator akan membantu memberikan oksigen segar dengan
tekanan tertentu ke dalam paru-paru pasien untuk memenuhi kebutuhan oksigenasi pasien
yang terganggu.
Menurut Burns (2011) pasien yang terpasang ventilasi mekanik dan endotrachealtube
(ETT) menghambat mekanisme batuk alami yang merupakan mekanisme pertahanan alami
tubuh terhadap perlawanan infeksi pernapasan, menghindari aspirasi sekret saluran napas
bagian atas yang normalnya dapat melindungi saluran pernapasan dari invasif patogen.
Adanya ETT akan mencegah mukosiliar dalam pembersihan sekret kemudian sekret
menumpuk di atas manset ETT dan akhirnya dapat menyebabkan microaspiration dan
pneumonia. Endotracheal tube juga menekan refleks epiglotic sehingga memudahkan
masuknya bakteri virulen (karena sekresi yang berlebihan ataupun aspirasi dari lambung).
Pasien yang dirawat di ruang perawatan intensif dan menggunakan ventilator mekanik
mendapatkan sedatif, analgetik yang kuat dan relaksan otot. Kondisi ini mengakibatkan
pasien tidak mampu mengeluarkan sekret secara mandiri. Hal ini perlu mendapatkan
perhatian karena beresiko terjadinya pneumonia. Kejadian pneumonia nasokomial di ICU
(Intensif Care Unit) lebih banyak dijumpai hampir 25% dari semua infeksi dan
menyebabkan mortalitas sebesar 33-50%.
Untuk membantu pasien dalam mengeluarkan sekret perlu di lakukan tindakan
suction. Menurut Smeltzer et al, (2014), indikasi tindakan suction adalah untuk menjaga
jalan napas tetap bersih (airway maintenance) hal ini juga di dukung oleh penelitian yang di
lakukan Irmawan, Muflihatin, Khoiroh (2017). Terdapat pengaruh tindakan suction terhadap
perubahan saturasi oksigen perifer pada pasien yang di rawat diruang ICU, apabila tindakan
suction tidak dilakukan pada pasien dengan gangguan bersihan jalan napas maka pasien
tersebut akan mengalami kekurangan suplai oksigen (hipoksemia), dan apabila suplai
oksigen tidak terpenuhi dalam waktu 5 menit maka dapat menyebabkan kerusakan otak yang
permanen.
Berdasarkan penelitian yang di lakukan Bastian (2016) yaitu tentang pengalaman
pasien ICU yang terpasang ventilator yang mendapatkan tindakan suction pasien
mengatakan mengeluhkan rasa ketidak nyamanan berupa nyeri dan sesak yang diakibatkan
oleh prosedur suction, akan tetapi partisipan tidak memungkiri bahwa meskipun
menimbulkan nyeri dan sesak prosedur suction ini dapat membantu pemulihan kondisi
partisipan.

BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Kasus Gagal Nafas
Seorang laki-laki berusia 70 tahun bernama Tn. H diantar oleh keluarga ke RSUD Arifin
Achmad Pekanbaru dengan keluhan sesak nafas. Sebelum masuk RS klien terjatuh di kamar
mandi dan mengalami demam, nafas sesak nafas kemudian dibawa lewat IGD, di IGD klien
diberikan tindakan pasang ETT, periksa darah lengkap, pasang infuse, kemudian dirawat di ICU.
Dari hasil pemeriksaan didapatkan TD: 147/86 mmHg, HR: 100 x/mnt, MAP: 94, suhu: 36,5 oC,
edema ekstremitas atas dan bawah, capillary refill 2. Dari hasil inspeksi pergerakan dinding dada
tidak simetris, nadi teraba takikardi, PaO2 40 mmHg. GCS7E2V2M3, pasien bernafas dengan
menggunakan otot asesoris pernafasan, pasien tampak sulit berbicara dan pasien tampak gelisah.
Memakai ET no 7,5 dengan ventilator mode CPAP, FiO2: 30 %, nafas mesin:10, nafas klien: 28
x/mnt, SaO2: 96, bunyi ronchi kasar seluruh area paru. Dari hasil laboratorium didapatkan

Darah Urin

 Hb : 8,7 gr% PH : 6

 Ht : 26,3 % Prot : 30 mg/dl

 Eritro : 2,67 jt/mmk Red : negative

 MCH : 32,70 pg Sediment

 MCV : 98,70 Ep cell : 7 – 10 LPK

 Leuko : 11,0 rb/mmk Leuko : 10 – 15 LPB

 Urea : 104 mg/dl Eritrosit : 30 – 40 LPB

 Creatin : 0,99 mg/dl Ca ox : -

 Na : 130 mmol/L Asam urat : -

 K : 5,0 mmol/L Triple phosfat: -

 Cl : 106 mmol/L Amorf : -

 Ca : 2,1 mmol/L Sel hialin : -

 Mg : 0,91 mmol/L Sel granula: -

Bakteri : positif
PH : 7,36

PCO2 : 37,4 mmHg

PO2 : 58,6 mmHg

HCO3 : 24,5

BE : 0,7

BE ecf : - 0,5
AaDO2: 143

SaO2 : 93 %

3.2 Asuhan Keperawatan


3.2.1 Pengkajian

1. Identitas Klien

Nama : Tn. H

Umur : 70 tahun

Agama : Islam

2. Riwayat Keperawatan
1. Keluhan Utama: klien tidak sadar
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Sebelum masuk RS klien terjatuh terpeleset di kamar mandi terus tidak sadar,
setelah beberapa jam klien mengalami demam, nafas sesak kemudian dibawa ke
RSDK lewat IGD. Di IGD diberikan tindakan pasang ET, periksa darah lengkap,
pasang infuse, kemudian dirawat di ICU sampai pengkajian dilakukan
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit jantung sudah 5 tahun, riwayat Parkinson sudah 2 tahun,
riwayat Hemiparese sudah 2 tahun

3. Pengkajian Primer
1. Airway : Jalan nafas secret kental produktif, ada reflek batuk bila
dilakukan isap lendir

2. Breathing : Memakai ET no 7,5 dengan ventilator mode


CPAP, FiO2: 30 %, nafas mesin:10, nafas klien: 28 x/mnt, SaO 2: 96,
bunyi ronchi kasar seluruh area paru.
3. Circulation : TD: 147/86 mmHg, HR: 100 x/mnt, MAP: 94,
suhu: 36,5 oC, edema ekstremitas atas dan bawah, capillary refill 2

4. Pengkajian sekunder

1. Kepala : Mesosefal, tidak ada hematom/luka pada kepala

2. Mata : Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak icterik, pupil isokor 2 mm,
tidak ada hematom kelopak mata

3. Hidung : Terpasang NGT, ada lendir kental saat dilakukan isap lendir

4. Telinga : Tampak bersih, tidak ada discharge

5. Leher : Tidak ada pembengkakan kelenjar tiroid, JVP meningkat

6. Thorak :
a. Paru
Inspeksi : Pengembangan paru simetris kanan dan kiri

Palpasi : Sterm fremitus kanan dan kiri sama

Perkusi : Sonor seluruh lapang pandang paru

Auskultasi : Ronchi terdengar seluruh lapang paru

b. Jantung

Inspeksi : iktus cordis tak tampak

Palpasi : Iktus kordis teraba pada SIC 5, 2 cm LMCS

Perkusi : Suara pekak, konfigurasi dalam batas normal

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni, gallops (-), murmur (-)

7. Abdomen

Inspeksi : Datar

Auskultasi : Bising usus normal, 15 x/menit

Perkusi : Timpani

Palpasi : Tidak ada pembesaran hepar dan lien


8. Ekstremitas : Edema ekstremitas atas dan bawah

9. Data Penunjang:

1. Laboratorium:

Kultur steril tidak ada kuman

Kultur darah: ditemukan kuman Stapilokokus Epidedermis

Kultur urin: ditemukan kuman Stapilokokus Aeureus

Kuman resisten terhadap semua Cephalosforin dan Beta Lactam

MRSA dan MRSE

Darah Urin

 Hb : 8,7 gr% PH : 6

 Ht : 26,3 % Prot : 30 mg/dl

 Eritro : 2,67 jt/mmk Red : negative

 MCH : 32,70 pg Sediment

 MCV : 98,70 Ep cell : 7 – 10 LPK

 Leuko : 11,0 rb/mmk Leuko : 10 – 15 LPB

 Urea : 104 mg/dl Eritrosit : 30 – 40 LPB

 Creatin : 0,99 mg/dl Ca ox : -

 Na : 130 mmol/L Asam urat : -

 K : 5,0 mmol/L Triple phosfat: -

 Cl : 106 mmol/L Amorf : -

 Ca : 2,1 mmol/L Sel hialin : -

 Mg : 0,91 mmol/L Sel granula: -

Bakteri : positif
PH : 7,36

PCO2 : 37,4 mmHg


PO2 : 58,6 mmHg

HCO3 : 24,5

BE : 0,7

BE ecf : - 0,5

AaDO2: 143

SaO2 : 93 %

2. Foto Rontgen

CT Scan

Perdarahan intra serebral region transversal kiri dengan edema

Perdarahan subarachnoid

Subdural higroma region fronto temporal kanan, temporo parietal kiri dan
interhemisfer serebri

Foto Thorak

Bronkiektasis kanan dan kiri, gambaran pneumonia

Terapi

Program Infus: Oral:

 Comafusin I Tequien 400 mg tiap 24 jam

 Kalbumin I Ticlopidin 200 mg / 24 jam

 Fima Hes I ASA 80 gr / 24 jam

 RL I CaCO3 500 mg / 8 jam

Injeksi: Propranolol 10 mg / 8 jam

 Amikin 1 gr/ 24 jam Repirator

 Nootrophyl 3 gram /6 jam CPAP

 Vit C 1 amp / 8 jam FiO2 30 %

 Vit K 1 amp /8 jam


3.2.2 Analisa Data
NO DATA ETIOLOGI MASALAH
1 DS: Sumbatan jalan nafas Bersihan jalan

DO: ↓ nafas tidak


kurangnya ventilasi efektif
Jalan nafas secret kental produktif
sekunder terhadap
Ada reflek batuk bila dilakukan isap lendir retensi lendir

Secret bertahan
disaluran nafas

Suara vesikuler ↓

Bersihan jalan nafas
tidak efektif
2 DS: Akumulasi protein dan Gangguan

DO: cairan dalam interstitial pertukaran gas


/ area alveolar
Ronchi terdengar seluruh lapang paru

Bronkiektasis kanan dan kiri, gambaran Edema paru
pneumonia ↓
BGA tanggal Hipoksemia

pH ↓

Asidosis metabolik
3 DS:- Perdarahan intra Perubahan pola

DO: serebral region nutrisi


transversal kiri dengan
Terpasang NGT
edema
Klien tidak sadar reflek menelan tidak ada ↓
CT Scan Perdarahan
Perdarahan intra serebral region transversal kirisubarachnoid
dengan edema ↓

Perdarahan subarachnoid Terpasang NGT



Subdural higroma regio fronto temporal kanan,
Ketidakmampuan
temporo parietal kiri dan interhemisfer serebri
menelan

3.2.3 Diagnosa Keperawatan


1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sumbatan jalan nafas dan
kurangnya ventilasi sekunder terhadap retensi lendir
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan akumulasi protein dan cairan dalam
interstitial / area alveolar
3. Perubahan pola makan berhubungan dengan ketidakmampuan menelan
3.2.4 Intervensi Keperawatan

Dx TUJUAN & KRITERIA HASIL INTERVENSI


1 Setelah dilakukan tindakan Catat karakteristik bunyi nafas
keperawatan selama jalan nafas Catat refleks batuk dan lendir yang keluar
efektif.
Monitor status hidrasi untuk mencegah
Kriteria hasil: sekresi kental
Bunyi nafas bersih Berikan humidifikasi pada jalan nafas
Secret berkurang atau hilang Pertahankan posisi tubuh / kepala dan
gunakan ventilator sesuai kebutuhan

Observasi perubahan pola nafas dan upaya


bernafas

Berikan cairan garam faaal sesuai indiaksi


untuk membuang skresi yang lengket

Berikan O2 sesuai kebutuhan tubuh

Berikan fisioterapi dada


2 Setelah dilakukan tindakan Kaji status pernafasan
keperawatan selama 1x24 jam Kaji penyebab adanya penurunan PaO atau
2

pertukaran gas adekuat yang menimbulkan ketidaknyaman dalam


Criteria hasil: pernafasan

Perbaikan oksigenasi adekuat: Catat adanya sianosis


akral hangat, peningkatan Observasi kecenderungan hipoksia dan
kesadaran hiperkapnia
BGA dalam batas normal Berikan bantuan nafas dengan ventilator
Bebas distres pernafasan mekanik

Kaji seri foto dada

Awasi BGA / saturasi oksigen (SaO2)


3 Setelah dilakukan tindakan Kaji status gizi klien
keperawatan selama 1x24 jam Kaji bising usus
klien mempertahankan
Hitung kebutuhan gizi tubuh atau
kebutuhan nutrisi
kolaborasi tim gizi
Criteria hasil:
Pertahankan asupan kalori dengan makan
Laborat Hb, protein dalam batasper sonde atau nutrisi perenteral sesuai
normal indikasi
Makanan dapat masuk sesuai
Periksa laborat darah rutin dan protein
dietnya

3.2.5 Implementasi Keperawatan

TGL
DP IMPLEMENTASI & RESPON KLIEN EVALUASI TTD
JAM
12/10/ 1 Mencatat karakteristik bunyi nafas 12/10/2020
2020 R: ronchi (+) paru kanan dan kiri jam 07.00 WIB
21.00 Mencatat karakteristik batuk, dan lendir S: -
24.00 R: reflek batuk (+) bila isap lendir, lendir O:
05.00 keluar Ronchi (+)

07.00 Memberikan cairan garam faal sesuai indiaksi


Lendir keluar lebih
untuk membuang sekresi yang lengket encer

R: lendir dapat keluar lebih encer Posisi elevasi 300

Memberikan humidifikasi pada jalan nafas A:

R: aguades masuk kedalam penampung sesuai


Masalah teratasi
level sebagian

Mempertahankan posisi tubuh/kepala danP:


gunakan ventilator sesuai kebutuhan Lanjutkan intervensi
R: posisi kepala tempat tidur tetap elevasi 300 sebelumnya

Mengobservasi perubahan pola nafas dan upaya


bernafas

R: pola nafas memakai mode CPAP, F: 12,


klien 14 x/mnt, FiO2 30%

Memberikan fisioterapi dada

R: fisioterapi dada sudah dilakukan klien


batuk-batuk

Memonitor status hidrasi untuk mencegah


sekresi kental

R: BC + 107, turgor baik


21.00 2 Mengkaji status pernafasan jam 07.00 WIB

24.00 R: memakai mode CPAP, F: 12, klien 14S: -

05.00 x/mnt, FiO2 30% O:

07.00 Mengkaji penyebab adanya penurunan PaO2 Respirasi dengan


R: adanya gangguan ventilasi dan perfusi paru vent.mode CPAP,

Mencatat adanya sianosis FiO2 30 %

R: tidak ada sianosis Tidak ada sianosis


Mengobservasi kecenderungan hipoksia danA:
hiperkapnia Masalah teratasi
R: SaO2 96%, BGA: dalam batas normal sebagian

Mempertahankan bantuan nafas denganP:


ventilator mekanik Lanjutkan intervensi
R: ventilator terpasang sesuai kebutuhan klien sebelumnya
21.00 3 Mengkaji kebutuhan gizi klien jam 07.00 WIB

24.00 R: 1400 kkal, 60 gr protein S: -

05.00 Mengkaji bising usus klien O:

07.00 R: BU normal, 20 x/mnt, residu negatif Diit masuk

Mempertahankan asupan kalori dengan makan


Tidak ada muntah
per sonde atau nutrisi perenteral sesuaiResidu negative
indikasi
BU 20 x/mnt
R: diet masuk, residu negative, tidak ada
A:Masalah teratasi
muntah
sebagian
Memantau hasil darah rutin dan protein
P:Lanjutkan intervensi
R: Hb 10,3 gr%, Albumin: 2,8 mg/dl sebelumnya
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Analisa Kesenjangan Teori dan Kasus pada Pasien Gagal Nafas
Gagal nafas merupakan suatu sindroma pada system respirasi yang gagal melakukan
fungsinya yaitu pada salah satu atau kedua mekanisme pertukaran gas, yaitu oksigenasi dan
eliminassi karbondioksida. Didalam kasus tersebut pasien mengalami sesak nafas dan demam
Klasifikasi dari gagal nafas yaitu terdiri dari hipoksemia dan hiperkapnea. Gagal nafas tipe I
dihubungkan dengan defek primer pada oksigenasi sedangkan gagal nafas tipe II dihubungkan
dengan defek primer ventilasi. Manisfestasi gagal nafas hiposemia (Tipe I) ditandai dengan
tekanan oksigenasi akterial (PaO2) kurang dari 60 mmHg dengan kadar tekanan karbondioksida
arterial (PaCO2) normal atau rendah, sedangkan gagal nafas hiperkapnea (Tipe II) ditandai
dengan PaCO2 lebih tinggi dari 50 mmHg, etiiologi tersering dari tipe II yakni overdosis obat,
penyakit neuromuscular, kelainan dinding dada, serta kelainan saluran nafas. Didalam kasus
tersebut dari hasil inspeksi Tn. H bernafas menggunakan otot asesoris pernafasan, PaO2 40
mmHg, pergerakan dinding dada tidak simetris yang menunjukan bahwa pasien mengalami gagal
nafas
Dari analisa diatas memberikan gambaran bahwa ada beberapa perbedaan yang ada didalam
teori maupun yang terjadi didalam kasus, seperti manifestasi menurut teori bahwa gagal nafas
hiposemia (Tipe I) ditandai dengan tekanan oksigenasi akterial (PaO2) kurang dari 60 mmHg
dengan kadar tekanan karbondioksida arterial (PaCO2) normal atau rendah, sedangkan gagal
nafas hiperkapnea (Tipe II) ditandai dengan PaCO2 lebih tinggi dari 50 mmHg, etiiologi
tersering dari tipe II yakni overdosis obat, penyakit neuromuscular, kelainan dinding dada, serta
kelainan saluran nafas. Dibandingkan dalam kasus pasien hanya mengalami demam, sesak nafas,
pergerakan dinding tidak simetris, nafas wheezing dan pada kasus juga menunjukan bahwa
pasien menglami gagal nafas tipe 1 yang dimana ditunjukan bahwa PaO2 pasien kurang dari 60
mmHg.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Gagal napas terjadi saat tubuh kehilangan kemampuan menyalurkan oksigen dari paru ke
darah dan/ atau mengangkut karbondioksida dari darah. Bila oksigen tidak lagi mampu
diedarkan, fungsi dan kerja sel yang akan menjadi korbannya. Begitu pula bila karbondioksida
tidak lagi mampu diangkut untuk dibuang dari darah.Kegagalan pernapasan merupakan salah
satu indikasi pasien dirawat di ruangan intensive care unit (ICU). Kegagalan pernapasan
merupakan salah satu penyebab meningkatnya mortalitas dan morbiditas. Manajemen gagal
napas memerlukan tindakan yang cepat, tepat dan cermat, sesuai dengan kondisi klinis pasien
sehingga membutuhkan monitoring ketat. Gagal nafas merupakan suatu sindroma pada system
respirasi yang gagal melakukan fungsinya yaitu pada salah satu atau kedua mekanisme
pertukaran gas, yaitu oksigenasi dan eliminassi karbondioksida.
DAFTAR PUSTAKA

Bakta, Made. Suastika, Ketut. Gawat Darurat Di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta: EGC, 1999.
Karmiza. Muharriza. Huriani, Emil. Posisi Lateral Kiri Ekevasi 30 Derajat Terhadap Nilai Tekan
Parsial Oksigen (PO2) Pada Pasien Dengan Ventilasi Mekanik. Jurnal Ners. Vol. 9 No. 1.
Padang, 2014.
Deliana, et al. Indikasi Perawatan Pasien dengan Masalah Respirasi di Instalasi Perawatan
Intensif. J Respir Indo Vol 33 No 4. Surabaya, 2013.
Hanif. Pujo, Bambang S. Utariani, Arie. Laporan Kasus: Perawatan Gagal Napas Akut Akibat
PneumonitisLupus di Unit Perawatan Intensif Dengan Fasilitas Terbatas. Volume 7 Nomor
1, maret 2020.
Fitri, Riri S. Fauzan, Suhaimi. Budiharto, Ichsan. Pengaruh Open Suction Terhadap Tidal
Volume pada Pasien Yang Menggunakan Ventilator Di Ruang ICU RSUD dr. Soedarso
Pontianak. Tanjung Pura.

Anda mungkin juga menyukai