Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan perilaku makan dapat terjadi pada anak dengan perkembangan


normal dan anak dengan disabilitas. Gangguan ini diperkirakan sekitar 45% terjadi pada
anak dengan perkembangan normal dan 80% terjadi pada anak yang mengalami
disabilitas intelektual berat.1,2 Penelitian oleh Volkert dan Petula pada tahun 2010 juga
menyebutkan 70% anak dengan autisme mengalami gangguan perilaku makan yaitu
kebiasaan makan selektif.3
Gangguan perilaku makan didefinisikan sebagai kesulitan makan yang
disebabkan oleh kesulitan psikososial (kurangnya stimulasi dari lingkungan, disfungsi
interaksi pemberi makan dan anak), bentuk perilaku negatif ketika makan (selective
food refusal, rumination) atau kesulitan makan yang berbasis emosional (fobia, reaksi
kondisi emosional dan depresi).4
Gangguan perilaku makan dapat menyebabkan jumlah makanan yang

dikonsumsi tidak adekuat sehingga menimbulkan berbagai dampak yaitu berat badan

tidak normal, malnutrisi, letargi, gangguan perkembangan fisik dan mental serta pada

keadaan ekstrim dapat menyebabkan kematian.5

Salah satu gangguan makan pada anak yang sering di jumpai adalah gangguan makan
ruminasi atau rumination disorder. Gangguan makan ini ditunjukkan dengan anak yang
memuntahkan makanannya, lalu menelan dan mengunyahnya lagi atau memuntahkannya
kembali. Umumnya gangguan ini terjadi selama 30 menit pertama setelah makan dan
dilakukan dengan sengaja. Gangguan ruminasi bisa terjadi pada siapa saja. Pada bayi,
biasanya terlihat antara usia 3-12 bulan dan kadang hilang dengan sendirinya, tetapi bila
berlarut-larut dapat mengakibatkan malnutrisi yang mengancam jiwa. Komplikasi tambahan
terkait dengan efek sekunder dari kekurangan gizi termasuk keterlambatan pertumbuhan dan
efek negatif padapengembangan dan potensi pembelajaran.7
Sebuah penelitian yang dilakukan di Sri Langka tahun 2012 , peneliti
mengambil sampel berusia antara 10-16 tahun dengan total 2.163 anak dan didapatkan
1
sebanyak 110 anak mengalami rumination disorder. Prevalensi ruminasi adalah 61
orang pada anak laki-laki dan 49 orang pada anak perempuan.6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Gangguan Makan


Gangguan makan adalah perilaku abnormal terhadap makanan yang mengakibatkan
seseorang mengubah kebiasaan dan perilaku makannya. Gangguan makan dapat juga
digambarkan sebagai penyakit yang ditandai kebiasaan makan yang tidak teratur dan
kecemasan berlebih terhadap berat badan atau bentuk tubuh. 2,4
Perilaku ini bisa menjadi kondisi serius yang menimbulkan dampak negatif. Hal ini
dapat mencakup kurang makan atau berlebihan makan yang berakibat gangguan kesehatan –
baik secara fisik maupun psikis.4
Gangguan psikis yang timbul terkait dengan emosi dan kemampuan seseorang dalam
berbagai aspek kehidupan yang penting. Sedangkan gangguan fisik dapat melibatkan
kesehatan fungsi sistem pencernaan, tulang, serta gigi dan mulut. Seseorang dengan
gangguan makan mungkin berawal dari mengkonsumsi makanan yang lebih sedikit atau
lebih banyak daripada biasa, tetapi pada tahap tertentu, keinginan untuk makan lebih sedikit
atau lebih banyak terus menerus di luar keinginan.7

2.2 Klasifikasi Gangguan Makan


Gangguan makan secara keseluruhan diklasifikasikan menjadi 3 kategori yaitu
gangguan makan yang disebabkan oleh abnormalitas struktur, gangguan makan dikarenakan
disabilitas neurodevelopmental dan gangguan makan yang disebabkan oleh gangguan
perilaku makan. 9

2
2.3 Etiologi Gangguan Makan
Walaupun etiologi gangguan makan merupakan hal yang kompleks, beberapa
penelitian nasional telah menjelaskan bahawa riwayat penderaan fisik dan trauma
psikososial sebagai faktor risiko predisposisi bagi perkembangan gangguan makan. Terdapat
bukti yang kukuh bahwa predisposisi genetik, kelahiran premature, trauma ketika lahir dan
biokimia individual memainkan peranan yang signifikan yang akhirnya berkembang
menjadi suatu gangguan makan.7

2.4 Faktor Risiko Gangguan Makan

Proses makan pada anak terintegrasi dan melibatkan kemampuan multi sistem
sehingga disfungsi satu atau lebih sistem dapat saling mempengaruhi. 10 Faktor-faktor yang
mempengaruhi proses belajar keterampilan makan adalah faktor orangtua, faktor anak dan

3
faktor lainya yaitu keadaan status sosioekonomi, budaya, presentasi jenis makanan dan lain-
lain.11

2.5 Gangguan Makan Ruminasi


4
2.5.1 Defenisi Ruminasi
Ruminasi adalah salah satu sindrom muntah. Ruminasi berasal dari bahasa
latin (ruminare yang berarti memamah biak, rumination yang berarti hal
memamah biak) yang berarti “memamah kunyahan”.
Ruminasi adalah suatu kondisi di mana seseorang terus mengambil makanan
tapi berulangkali pula memuntahkannya. Gangguan ini biasanya dimulai setelah
usia bayi 3 bulan. Gangguan ini terjadi pada bayi dan jarang terjadi pada anak-
anak dan remaja.
Ruminasi adalah kejadian yang secara sadar dan menyenangkan
memuntahkan makanan dari lambung, dikunyah dan ditelan kembali. Orang
dewasa meregurgitasikan makanan dengan cara kontraksi otot abdomen, sedang
pada bayi melogok ke dalam mulunya dengan jari dalam upaya untuk
menimbulkan regurgitasi. Faktor psikologis memainkan peranan penting pada
kejadian tersebut, tetapi perilaku tersebut berhenti dengan mengobati
esofagitisnya. Hal tersebut diduga untuk menimbulkan reflek adalah sebagai
respons terhadap nyeri tenggorkannya. Dikatakan bahwa ruminasi sebagai
manifestasi dari GER, sehingga diagnosis dan pengobatannya perlu
mempertimbangkan faktor psikologis dan esofagitisnya.

Gangguan ruminasi merupakan gangguan yang jarang terjadi. Gangguan ini


pada umumnya terjadi pada anak yang mengalami retardasi mental. Anak
dengan gangguan ruminasi meletakkan ibu jari atau tangannya ke dalam mulut,
mengisap lidahnya secara ritmik dan melengkungkan punggungnya untuk
menginisiasi regurgitasi. Sebagian makanan dibawa kembali ke mulut tanpa
adanya mual, muntah, rasa jijik atau tanpa berhubungan dengan gangguan
gastrointestinal. Makanan akan dikunyah ulang dan ditelan ulang. Regurgitasi
pada gangguan ruminasi harus sering, terjadi beberapa kali per minggu dan
biasanya terjadi tiap hari. Anak dengan gangguan ini terlihat mendapatkan
kepuasan dengan aktivitas tersebut. Onset gangguan ini pada bayi usia 3 – 12
bulan. Penyebab gangguan ruminasi sering tidak diketahui. Adanya problem
psikososial seperti kurangnya stimulasi bayi, kelalaian, situasi tekanan dalam
keluarga, problem hubungan anak dan orangtua diduga berkaitan dengan
gangguan ini. Gejala baru bisa disebut dengam gangguan ruminasi jika gejala
berlangsung sekurang-kurangnya 1 bulan. 9
5
2.5.2 Klasifikasi Ruminasi
Terdapat 2 bentuk ruminasi, yaitu:
a. Psikogenik
Psikogenik biasanya terjadi pada anak normal dengan gangguan hubungan
orang tua anak.
b. Self Stimulating
Self stimulating sering terjadi pada anak dengan keterlambatan mental.

2.5.3 Simtom Ruminasi


Simtom utama dari gangguan ini adalah terus-menerus memuntahkan
makanan. Pemuntahan tidak berarti muak, melainkan anak mengeluarkan
sebagian dari makanan yang dicerna sampai di mulut dan kemudian
menyemburnya keluar atau memamahnya lagi serta menelannya sama seperti
seekor sapi memamah kunyahan nya sendiri. Apa yang dilakukan itu rupanya
memberi kepuasan dan kesenangan tersendiri pada anak. Gangguan ini dapat
berbahaya karena bila makanan itu terus-menerus disemburkan keluar, maka anak
akan menderita kekurangan gizi dan menghadapi risiko kematian.

2.5.4 Gambaran Klinis Ruminasi


1. Mengisap jempol atau memasukkan semua jari ke dalam mulut, atau
melengkungkan punggung untuk merangsang regurgitasi.
2. Saat bayi sendiri, sering ditemukan dengan muntahan
3. Kasus tersebut sering terjadi pada bayi yeng mendapat sedikit stimulasi
emosional dan mereka yang telah belajar untuk menstimulasi dan
menyenangkan dirinya melalui rumination.
4. Walaupun pada awalnya bayi regurgitasi muntah, tetapi mereka bisa belajar
untuk menahannya, mengunyah kembali.

2.5.5 Kriteria Diagnostik Gangguan Ruminasi menurut DSM V


1. Regurgitasi makanan berulang selama paling sedikit satu
bulan.Regurgitasi makanan bisa berupa mengunyah berulang, menelan
6
berulang atau menyemburkan makanan.
2. Regurgitasi berulang tidak berhubungan dengan kondisi gastrointestinal
atau kondisi medis lainnya (contohnya refluks gastrointestinal, stenosis
piloris)
3. Gangguan makan tidak berlangsung selama ada anoreksia nervosa,
bulimia nervosa, gangguan makan binge, atau Avoidant/Restrictive Food
Intake Disorder
4. Jika perilaku makan ini terjadi selama perjalanan gangguan jiwa lain
(misalnya disabilitas intelektual atau gangguan neurodevelopmental
lain), gangguan ini cukup berat sehingga membutuhkan perhatian klinis
tersendiri.

7
2.5.6 Tata Laksana Gangguan Ruminasi
Penanganan gangguan ruminasi adalah penggabungan antara edukasi dan
teknik perilaku. Penanganan meliputi perbaikan lingkungan psikososial anak,
peningkatan perhatian dan kasih sayang ibu atau pengasuh anak serta
psikoterapi bagi ibu atau kedua orangtua. Tindakan operatif dilakukan apabila

terdapat abnormalitas anatomi.8


Terapi medikamentosa bukan merupakan standar penanganan gangguan
ruminasi. Medikasi yang pernah dicoba adalah pemberian anti emetik seperti

metoklopramid atau obat cimetidin.8

2.6 Patomekanisme Memuntahkan Makanan


Muntah merupakan respon somatic refleks yang terkoordinir secara
sempurna oleh karena bermacam-macam rangsangan, melibatkan aktifitas otot
pernafasan, otot abdomen dan diafragma. Proses muntah terdiri dari 3 fase
yaitu:
1. Nausea
Nausea merupakan sensasi psikis akibat rangsangan pada organ visceral, labyrinth
dan emosi, tidak selalu berlanjut dengan retching dan ekspulsi. Keadaan ini ditandai
dengan keinginan untuk muntah yang dirasakan di tenggorokan atau perut, seringkali
disertai gejala hipersalivasi, pucat, berkeringat, takikardia dan anoreksia. Selama
periode nausea, terjadi penurunan tonus kurvatura mayor, korpus dan fundus.
Antrum dan duodenum berkontraksi berulang-ulang. Sedangkan bulbus duodeni
relaksasi sehingga terjadi refluks cairan duodenum ke dalam lambung. Pada fase
nausea ini belum terjadi peristaltic aktif. Muntah yang disebabkan oleh peningkatan
tekanan intrakranial dan obstruksi saluran gastrointestinal tidak didahului oleh fase
nausea.
2. Retching
Retching dapat terjadi tanpa diikuti muntah. Pada fase retching terjadi
kekejangan dan terhentinya pernafasan yang berulang-ulang, sementara glotis
tertutup. Otot pernafasan dan diafragma berkontraksi menyebabkan tekanan
intratorakal menjadi negatif. Pada waktu yang bersamaan terjadi kontraksi
otot abdomen dan lambung, fundus dilatasi sedangkan antrum dan pilorus
8
berkontraksi. Sfingter esofagus bawah membuka, tetapi sfingter esofagus atas
masih menutup menyebabkan chyme masuk ke dalam esophagus. Pada akhir
fase retching, terjadi relaksasi otot dinding perut dan lambung sehingga
chyme yang tadinya sudah masuk ke dalam esofagus kembali ke lambung.
3. Fase ekspulsif (muntah)
Apabila retching mencapai puncaknya dan didukung oleh kontraksi otot
abdomen dan diafragma, akan berlanjut menjadi muntah jika tekanan tersebut
dapat mengatasi mekanisme anti refluks dari Lower esophagus sphingter
(LES). Pada fase ekspulsi ini pilorus dan antrum berkontraksi sedangkan
fundus dan esofagus relaksasi serta mulut terbuka. Pada fase ini juga terjadi
perubahan tekanan intratorakal dan intraabdoininal serta kontraksi dari
diafragma. Pada episode ekpulsi tunggal terjadi tekanan negatif intratorakal
dan tekanan positif intraabdominal, dan dalam waktu bersamaan terjadi
kontraksi yang cepat dari diafragma yang menekan fundus sehingga terjadi
refluks isi lambung ke dalam esofagus. Bila ekspulsi sudah terjadi, tekanan
intratorakal kembali positif dan diafragma kembali ke posisi normal. 12

9
2.6.1 Komplikasi Muntah
1. Mallory-weiss syndrome
Herniasi fundus melalui hiatus pada fase retching dan ekspulsi kadang-kadang
dapat menimbulkan robekan-robekan longitudinal pada mukosa. Keadaan ini
ditandai dengan bahan muntahan yang mengandung darah setelah beberapa
siklus retching dan ekspulsi. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
endoskopi dan kelainan ini biasanya sembuh tanpa komplikasi.
2. Aspirasi isi lambung
Aspirasi bahan muntahan dapat menyebabkan asfiksia. Episode aspirasi ringan
berulang-ulang dapat menyebabkan timbulnya infeksi saluran nafas berulang.
Hal ini terjadi sebagai konsekuensi RGE, walaupun tanpa adanya gejala muntah
yang jelas.
3. Gagal tumbuh kembang
Muntah yang berulang-ulang dan cukup hebat akan menyebabkan gangguan gizi
oleh karena intake menjadi sangat berkurang dan bila hal ini terjadi cukup lama,
maka akan terjadi kegagalan tumbuh kembang
4. Dehidrasi atau gangguan elektrolit dan asam-basa
Muntah-muntah yang hebat dan berulang-ulang akan menyebabkan hilangnya
elektrolit seperti fostas , klorida, natrium yang manifestasi sebagai alkalosis
metabolic, yang dapat menyebabkan terjadinya cardiac arrest.12

10
BAB III

KESIMPULAN

Mual dan muntah merupakan gejala yang umum dari gangguan fungsional
saluran cerna, keduanya berfungsi sebagai perlindungan melawan toksin yang tidak
sengaja tertelan.
Terdapat 3 fase proses terjadinya muntah yaitu:
1. Nausea: merupakan sensasi psikis akibat rangsangan pada organ visceral, labyrinth
dan emosi, tidak selalu berlanjut dengan retching dan ekspulsi.
2. Retching: dapat terjadi tanpa diikuti muntah.Pada fase retching terjadi kekejangan
dan terhentinya pernafasan yang berulang-ulang, sementara glotis tertutup.
3. Fase ekspulsif (muntah): Apabila retching mencapai puncaknya dan didukung oleh
kontraksi otot abdomen dan diafragma, akan berlanjut menjadi muntah jika tekanan
tersebut dapat mengatasi mekanisme anti refluks dari Lower esophagus sphingter
(LES).
Klasifikasi muntah: Lokus anatomi, Umur penderita, Adanya gejala dan tanda asosiasi
yang lain adalah sindroma muntah.
Ada 4 sindroma muntah, yaitu:
1. Muntah siklik (cyclic vomiting): dimana muntah yang hebat terjadi diantara kondisi
yang sehat, penyebabnya tidak diketahui, diagnose dengan cara eklusi, pengobatan
biasanya simptomatik, dan prognosa tidak jelas.
2. Muntah psikogenik: penyebab kelainan organik tak ditemukan, sindroma ini
menekankan pengaruh yang kuat dari kortek, faktor psikologi yang merangsang
mual(nausea) dan muntah.
3. Ruminasi: kejadian yang secara sadar dan menyenangkan memuntahkan makanan
dari lambung, dikunyah dan ditelan kembali.
4. Abdominal migraine: suatu sindrom dengan gejala abdominal perodik.
Komplikasi muntah: mallory-weiss syndrome, aspirasi isi lambung,gagal tumbuh
kembang,Dehidrasi atau gangguan elektrolit dan asam-basa. Adapun Penatalaksanaan
muntah: antiemetik
Gangguan Ruminasi adalah suatu kondisi di mana seseorang terus mengambil makanan
tapi berulangkali pula memuntahkannya. Gangguan ini biasanya dimulai setelah usia
bayi 3 bulan. Gangguan ini terjadi pada bayi dan jarang terjadi pada anak-anak dan

11
remaja.
Adapun tanda gejalanya adalah :
1. Mengisap jempol atau memasukkan semua jari ke dalam mulut, atau
melengkungkan punggung untuk merangsang regurgitasi.
2. Saat bayi sendiri, sering ditemukan dengan muntahan
3. Kasus tersebut sering terjadi pada bayi yeng mendapat sedikit stimulasi emosional
dan mereka yang telah belajar untuk menstimulasi dan menyenangkan dirinya
melalui rumination.
4. Walaupun pada awalnya bayi regurgitasi muntah, tetapi mereka bisa belajar untuk
menahannya, mengunyah kembali.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Matson, J., Cooper, C., Mayville, S., & Gonzales, M. The relationship

between food refusal and social skills in persons with intellectual

disabilities. Journal of Intellectual & Developmental Disability , 31 (1).

2006. Hal.47-52.

2. Linscheid TR, Budd KS, Rasnake LK. Pediatric Feeding Disorders. In:

Roberts MC, editor. Handbook of Pediatric Psychology. NewYork: The

Guilford Press, 2003. Hal.481–98.

3. Volkert, V., & Petula, V. Recent studies on feeding problems in children

with autism. Journal Of Applied Behavior Analysis , 43 (1). 2010.

Hal.155-59.

4. Williams, KE, Riegel, K, & Kerwin, ML. Feeding disorder of infancy or

early childhood: How often is it seen in feeding program. Children's

Health Care. 2009. Hal. 123-36.

5. Shore, B, Piazza, C. Pediatric feeding disorders. Manual for the

Assessment and Treatment of the Behavior Disorder of People with

Mental Retardation. 1997. Hal.65-89.

6. Rajindrajith S, Devanarayana NM, Crispus BJ. Rumination syndrome in

children and adolescents : a school survey assessing prevalence and

symptomatology. 2012.

7. Behrman, R. E., dkk. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. EGC. Jakarta.

2012:1376.

8. Sadock VA, Kaplan HI. Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry, 10th

ed. Philadelphia: Lippincott, Williams and Wilkins. 2007. Hal.101-7.

13
9. Chatoor I, Ganiban J. Assessment and classification of feeding disorders. In:

Del Carmen-Wiggins R, Carter A (eds). Handbook of Infant, Toddler, and

Preschool Mental Health Assessment. NewYork:Oxford University Press;

2004. Hal.560.

10. Wolf LS, Glass RP. Feeding and Swallowing Disorders in Infancy. Texas:

Therapy Skill Builders; 1992.Hal.159-61.

11. Wahyuni, LK, Sungkar, E. Kesulitan Makan pada Anak. PERDOSRI. 2014.

12.Habib AS, Gan TJ. Evidence based management nausea and vomiting: A

review. Canad J Anesth. 2004;5:326-41.

14

Anda mungkin juga menyukai