Anda di halaman 1dari 17

KONSEP PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER BANGSA

DAN KEARIFAN BUDAYA LOKAL

Artikel Ilmiah
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mengikuti Ujian Sidang Tesis

Oleh:

Rd. FRISKA MAHYUDIN SYAH


NIM. 82321617053

UNIVERSITAS GALUH
PROGRAM PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PENDIDIKAN
Jl. R.E. Martadinata No. 150 Ciamis 46251
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Jagalah pikiranmu, karena ia akan menjadi ucapanmu. jagalah ucapanmu,
karena ia akan menjadi tindakanmu. jagalah tindakanmu, karena ia akan menjadi
kebiasaanmu. jagalah kebiasaanmu, karena ia akan menjadi karaktermu. jagalah
karaktermu, karena bisa jadi ia akan menjadi nasibmu. Pesan ini mengisyaratkan
betapa menjaga Fikiran, Ucapan, Tindakan serta Kebiasaan akan membentuk
sebuah karakter, dimana seseorang akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan
apa yang dia lakukan sehari-hari, menuntunnya ke masa depan dimana peran nya
sebagai manusia seutuhnya menjadi tanggungjawab nya sendiri.
Pada ratusan tahun yang lalu, Khalifah Umar Bin Khattab pernah
memberikan pesan sebagai berikut: “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zaman
nya, karena mereka akan hidup pada zaman yang berbeda dengan zamanmu”.
Pesan ini mengandung arti bahwa setiap zaman akan semakin berbeda
keadaannya. Perbedaan tersebut mulai dari munculnya budaya baru hasil dari
akulturasi budaya lokal dan luar daerah, sehingga mempengaruhi kebiasaan dan
tindakan sehingga membentuk karakter yang bisa jadi Jauh dari karakter sesuai
budaya dan kebiasaan yang tertanam sebelumnya.
Seiring dengan pesan tersebut, Tri Faturahman pada blog
https://www.kompasiana.com/trifaturrahman/demoralisasi-di-kalanganpelajar_
berpendapat bahwa :
“Transformasi kehidupan yang sekarang ini terjadi disadari atau tidak
merupakan revolusi besar-besaran cara berpikir manusia. Manusia dengan
segala bentuk tingkat kecerdasannya akan terus melakukan perubahan-
perubahan yang tentunya disesuaikan dengan perkermbangan zaman. Hal
tersebut bisa berdampak positif dan negatif. Tergantung bagaimana kita
memaknai perubahan tersebut sebagai apa”.

Menyimak kondisi moral pelajar di indonesia dewasa ini, jelas kita


mengalami Demoralisasi moral atau kemerosotan nilai-nilai luhur agama dan
budaya. Sebagai bukti Demoralisasi Pelajar diantaranya, dalam survei yang diulis
oleh Igo Halimaking Mahasiswa PGRI NTT pada
http://www.zonalinenews.com/2015/04/, tanggal 10 April 2016, ditemukan
sebanyak 29,5 – 31,3 persen remaja NTT melakukan hubungan seks pranikah dan
sekitar 60 persen di antaranya tanpa menggunakan alat pengaman. Yang lebih
miris lagi, muncul fenomena bahwa siswa/i SMP dan SMA di NTT justru bisa
membuat film seks atau porno untuk kemudian dilombakan di antara mereka, ada
juga siswa yang merasa bangga jika berpacaran dengan tukang ojek atau sopir
angkot.
Hal tersebut diatas tentunya sangat menyedihkan bagi kita sebagai
pendidik dan membuat kita tersadar betapa demoralisasi pelajar sudah mencapai
garis batas yang menghawatirkan, mengingat pertumbuhan remaja masa kini, atau
biasa kita kenal daengan istilah Kids Zaman Now tidak bisa terlepas dari peran
dan tanggung jawab Dunia Pendidikan yang menjadi ujung tombak pembangunan
Sumber Daya Manusia Indonesia.
Berdasarkan paparan tersebut diatas, penulis merasa perlu menyusun
artikel ilmiah ini dengan judul: “Konsep Pendidikan Berbasis Karakter Bangsa
dan Kearifan Budaya Lokal” sebagai salah satu syarat sidang tesis pada Program
Studi Administrasi Pendiddikan Konsentrasi Admnistrasi Sistem Pendidikan
Program Pascasarjana Universitas Galuh Ciamis.

1.2. Identifikasi masalah


Identifikasi masalah artikel ini adalah sebagai berikut:
1. Konsep pendidikan berbasis karakter bangsa dan kearifan lokal
2. Strategi penerapan pendidikan berbasis karakter bangsa dan kearifan
budaya lokal
3. Dampak penerapan pendidikan berbasis karakter bangsa dan kearifan
budaya lokal
1.3. Rumusan Masalah
Rumusan masalahnya adalah :
1. Bagaimana konsep pendidikan berbasis karakter bangsa dan kearifan
budaya lokal?
2. Bagaimana Strategi penerapan pendidikan berbasis karakter bangsa
dan kearifan budaya lokal di sekolah?
3. Apa dampak penerapan pendidikan berbasis karakter bangsa dan
kearifan budaya lokal di sekolah?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Konsep Pendidikan Karakter dan Kearifan Budaya Lokal


Setiap warga negara pasti sepakat bahwa kondisi ideal pendidikan yang
kita harapkan diantaranya menciptakan peserta didik yang berakhlakul karimah,
berbudi pekerti luhur, cerdas dan bertanggung jawab. Namun, kita mesti akui
realita pendidikan di Indonesia adalah pendidikan yang lebih mengutamakan nilai
kognitif/ akademik semata tanpa disertai penumbuhan karakter, rasionalnya,
pendidikan karakter tidak mungkin terpisah dengan bentuk pendidikan yang
sifatnya kognitif atau akademik, konsep pendidikan tersebut harus diintegrasikan
ke dalam kurikulum dan tertuang dalam tujuan pembelajaran.
Sementara itu, Pendidikan karakter adalah pendekatan langsung pada
pendidikan moral, yakni mengajari murid dengan pengetahuan moral dasar untuk
mencegah mereka melakukan tindakan tak bermoral dan membahayakan orang
lain dan dirinya sendiri. Santrock (2004: 120) mengungkapkan:
“Dimensi Pendidikan Karakter secara psikologis terbagi menjadi dua,
yakni: Dimensi Penalaran Berlandaskan Moral atau Moral Reasoning yang
lebih mengutamakan kecerdasan kognitif/ akademik, dan Dimensi Perilaku
Berlandaskan Moral atau Moral Behavior yang lebih mengutamakan
kecerdasan perilaku/ kebiasaan. Dua dimensi ini harus sejalan dan
ditumbuhkan dengan baik sejak dini karena akan membentuk karakter di
masa depan, dimana kebutuhan-kebutuhan psikologis juga senantiasa
harus terpenuhi karena pada prinsipnya semua manusia memiliki
iamajinasi Karakter yang sama, yakni: Memiliki karakter cinta tuhan dan
segenap ciptaan-nya, kemandirian dan tanggung jawab, kejujuran/amanah,
diplomatis.”

Pada implementasinya di dunia pendidikan dalam hal ini sekolah, peserta


didik harus diajarkan secara sistematis bagaimana mereka mengelola fikiran dan
mental mereka dalam memunculkan karakter positif, yakni dengan mengarahkan
mereka untuk Knowing the Good (mampu mengetahui/ menyadari dan mengenali
sesuatu kebenaran/kebaikan), Feeling the Good (mampu merasakan/feeling
terhadap sesuatu kebenaran/kebaikan) Feeling Loving the Good (mampu
mencintai kebenaran/kebaikan)
Kemudian muncul lagi pertanyaan, dari mana kita mendapatkan contoh
sesuatu kebaikan atau karakter untuk disampaikan kepada peserta didik kita secara
sistematis? Kita bisa mengambil banyak contoh dari cerita-cerita lisan, istilah
istilah dan larangan para leluhur kita, riwayat yang disampaikan oleh para ulama
tentang keteladanan Rasulullah SAW atau Kearifan Budaya Lokal (local wisdom
culture) yang merupakan pengetahuan dan pengalaman berkiatan dengan
kehidupan sehari-sehari, aktifitas dan budaya yang sudah turun-temurun dari
sejumlah generasi ke sejumlah generasi lainnya.
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan, Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan
nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di
Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan,
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga, negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas


manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh
karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam
pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Untuk mendapatkan wawasan mengenai arti pendidikan budaya dan
karakter bangsa perlu dikemukakan pengertian istilah budaya, karakter bangsa,
dan pendidikan. Pengertian yang dikemukakan di sini dikemukakan secara teknis
dan digunakan dalam mengembangkan pedoman ini. Guru-guru Antropologi,
Pendidikan Kewarganegaraan, dan mata pelajaran lain, yang istilah-istilah itu
menjadi pokok bahasan dalam mata pelajaran terkait, tetap memiliki kebebasan
sepenuhnya membahas dan berargumentasi mengenai istilah-istilah tersebut
secara akademik.
Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma,
dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai,
moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan
sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan
keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem
sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni,
dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk sosial menjadi penghasil sistem
berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan; akan tetapi juga dalam interaksi
dengan sesama manusia dan alam kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir,
nilai, moral, norma, dan keyakinan yang telah dihasilkannya. Ketika kehidupan
manusia terus berkembang, maka yang berkembang sesungguhnya adalah sistem
sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni.
Pendidikan merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi peserta
didik, sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang
diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah yang
sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang
terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan
digunakan sebagailandasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.
Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani
bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang
dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh
karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui
pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup
dalam ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter
individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya
yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter
Kearifan Lokal yang terkandung dalam bahasa daerah/ibu, dalam hal ini
paribasa sunda memiliki makna yang sangat esensial pada penggunaannya.
Bahasa yang dituturkan secara lisan dalam bahasa daerah/ibu berunsur siloka
(makna yang tersampaikan/tersirat secara kiasan). Konfigurasi karakter yang
diharapkan melalui mengharmoniskan daya fikir, hati, raga serta karsa dan rasa
yang bertujuan menghasilkan karakter pribadi unggul dalam:
1. Olah Fikir akan menghasilkan kecerdasan,
2. Olah Hati akan menghasilkan kejujuran dan rasa tanggungjawab
3. Olah Raga akan membuat jasmani sehat, bersih dan menarik,
4. Olah Karsa dan Rasa akan menghasilkan pribadi yang peduli dan
kreatif.
Pada tataran regulasi, Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden
Jokowi juga gencar melakukan perubahan-perubahan pada ranah sosial dan
budaya serta pembentukan karakter melalui program Nawacita. Disitu tercantum
pula gagasan Revolusi Mental dimana pemerintah dengan serius melakukan
gerakan revolusi mental melalui berbagai program dan kegiatan. Pada tahun 2017
ini, Presiden mengeluarkan Perpres Nomor 87 tahun 2017 tentang Penguatan
Pendidikan Karakter. Dalam Perpres ini disebutkan, Penguatan Pendidikan
Karakter yang selanjutnya disingkat PPK adalah gerakan pendidikan di bawah
tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik
melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga dengan
pelibatan dan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat
sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM).
Penguatan Pendidikan Karakter, menurut Perpres ini, memiliki tujuan:
a. membangun dan membekali Peserta Didik sebagai generasi emas
Indonesia Tahun 2045 dengan jiwa Pancasila dan pendidikan karakter
yang baik guna menghadapi dinamika perubahan di masa depan;
b. mengembangkan platform pendidikan nasional yang meletakkan
pendidikan karakter sebagai jiwa utama dalam penyelenggaraan
pendidikan bagi Peserta Didik dengan dukungan pelibatan publik yang
dilakukan melalui pendidikan jalur formal, nonformal, dan informal
dengan memperhatikan keberagaman budaya Indonesia; dan
c. merevitalisasi dan memperkuat potensi dan kompetensi pendidik, tenaga
kependidikan, Peserta Didik, masyarakat, dan lingkungan keluarga dalam
mengimplementasikan PPK.

Ujung tombak PPK adalah bagaimana satuan pendidikan/ sekolah dapat


mengimplementasikan Pendidikan karakter melalui berbagai macam model
program yang dilaksanakan oleh semua stakeholder sekolah. Strategi pelaksanaan
Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) di sekolah adalah dengan membentuk
Budaya Sekolah yang baik, yang akan menuntun ke arah perubahan yang kebih
baik, dengan memunculkan faktor-faktor pembiasaan positif yang sedikit demi
sedikit akan memunculkan perilaku yang baik pula. Penguatan Pendidikan
Karakter (PPK) berbasis budaya sekolah akan memotret berbagai macam bentuk
pembiasaan, model tata kelola sekolah, termasuk di dalamnya pengembangan
peraturan dan regulasi yang mendukung PPK. Proses pembudayaan menjadi
sangat penting dalam penguatan pendidikan karakter karena dapat memberikan
atau membangun nilai-nilai luhur kepada generasi muda. Budaya sekolah yang
baik diharapkan dapat mengubah perilaku peserta didik menjadi lebih baik.
PPK berbasis budaya sekolah mengembangkan berbagai macam corak
relasi, kegiatan dan interaksi antarindividu di lingkungan sekolah yang mengatasi
sekat-sekat kelas, yang membentuk ekosistem dan budaya pendidikan karakter di
lingkungan sekolah. Membangun budaya sekolah yang baik dapat dilakukan
melalui kegiatan-kegiatan di sekolah. Contoh kegiatan yang dapat dikembangkan
dalam membangun budaya sekolah adalah 1) pembiasaan dalam kegiatan literasi;
2) kegiatan ekstrakurikuler, yang mengintegrasikan nilainilai utama PPK; dan 3)
menetapkan dan mengevaluasi tata tertib atau peraturan sekolah. Budaya sekolah
yang baik dapat mengembangkan iklim akademik yang kompetitif dan
kolaboratif, yang diperlukan sekolah dalam menetapkan atau memperkuat
branding sekolah.
Dalam mengembangkan dan membangun budaya sekolah, perlu
diperhatikan langkah-langkah konkrit sebagai berikut: 1) penentuan visi dan misi,
2) Sosialisasi visi dan misi kepada semua stakeholder sekolah, 3) pembuatan
peraturan yang jelas antara untuk guru, karyawan dan siswa yang disepakati dan
membangun komitmen bersama warga sekolah, 4) membentuk dewan “etika”
yang bertugas menata lingkungan sekolah baik fisik, sosial dan psikologis serta
mengevaluasi tata tertib sekolah. Dewan etika dapat dibentuk terdiri dari guru,
karyawan, kepala sekolah dan orang tua.
Strategi pembangunan budaya sekolah dalam internalisasi nilai-nilai utama
PPK dapat dilakukan dengan melalui kegiatan rutin atau pembiasaan, kegiatan
spontanitas, kegiatan keteladanan, dan kegiatan yang terprogram. Kegiatan
tersebut bisa berupa kegiatan rutin keaagamaan, contohnya “one day one ayyat”
(tadarrus bersama), shalat dhuha bersama di pelataran sekolah atau mesjid sekolah
15 menit sebelum kegiatan KBM dimulai, menerapkan kegiatan literasi 15 menit
sebelum pelajaran dimulai, serta pengembangan program kegiatan lainnya yang
mengacu pada nilai-nilai PPK.

2.2. Strategi Penerapan Pendidikan Berbasis Karakter Dan Kearifan


Budaya Lokal
Pada prinsipnya, pengembangan budaya dan karakter bangsa tidak
dimasukkan sebagai pokok bahasan tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran,
pengembangan diri, dan budaya sekolah. Oleh karena itu, guru dan sekolah perlu
mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan
karakter bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Silabus
dan Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang sudah ada.
Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan
budaya dan karakter bangsa mengusahakan agar peserta didik mengenal dan
menerima nilai-nilai budaya dan karakter bangsa sebagai milik mereka dan
bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal
pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu
nilai sesuai dengan keyakinan diri. Dengan prinsip ini, peserta didik belajar
melalui proses berpikir, bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan
untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan kegiatan
sosial dan mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk
sosial.
Berikut ini strategi yang digunakan dalam pengembangan pendidikan
budaya dan karakter bangsa.
1. Berkelanjutan; mengandung makna bahwa proses pengembangan
nilai nilai budaya dan karakter bangsa merupakan sebuah proses
panjang, dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari
suatu satuan pendidikan. Sejatinya, proses tersebut dimulai dari kelas
1 SD atau tahun pertama dan berlangsung paling tidak sampai kelas
9 atau kelas akhir SMP. Pendidikan budaya dan karakter bangsa di
SMA adalah kelanjutan dari proses yang telah terjadi selama 9 tahun.
2. Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya
sekolah; mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai
budaya dan karakter bangsadilakukan melalui setiap mata pelajaran,
dan dalam setiap kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler\
3. Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan; mengandung makna
bahwa materi nilai budaya dan karakter bangsa bukanlah bahan ajar
biasa; artinya, nilai-nilai itu tidak dijadikan pokok bahasan yang
dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori,
prosedur, ataupun fakta seperti dalam mata pelajaran agama,bahasa
Indonesia, PKn, IPA, IPS, matematika, pendidikan jasmani dan
kesehatan, seni, dan ketrampilan. Materi pelajaran biasa digunakan
sebagai bahan atau media untuk mengembangkan nilai-nilai budaya
dan karakter bangsa. Oleh karena itu, guru tidak perlu mengubah
pokok bahasan yang sudah ada, tetapi menggunakan materi pokok
bahasan itu untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter
bangsa. Juga, guru tidak harus mengembangkan proses belajar
khusus untuk mengembangkan nilai. Suatu hal yang selalu harus
diingat bahwa satu aktivitas belajar dapat digunakan untuk
mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan
psikomotor. Konsekuensi dari prinsip ini, nilai-nilai budaya dan
karakter bangsa tidak ditanyakan dalam ulangan ataupun ujian.
Walaupun demikian, peserta didik perlu mengetahui pengertian dari
suatu nilai yang sedang mereka tumbuhkan pada diri mereka.
Mereka tidak boleh berada dalam posisi tidak tahu dan tidak paham
makna nilai itu.
4. Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan
menyenangkan; prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan
nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan oleh peserta didik bukan
oleh guru. Guru menerapkan prinsip ”tut wuri handayani” dalam
setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga
menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana
belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif.
Diawali dengan perkenalan terhadap pengertian nilai yang
dikembangkan maka guru menuntun peserta didik agar aktif. Hal ini
dilakukan tanpa guru mengatakankepada peserta didik bahwa
mereka harus aktif, tapi guru merencanakan kegiatan belajar yang
menyebabkan peserta didik aktif merumuskan pertanyaan, mencari
sumber informasi, dan mengumpulkan informasi dari sumber,
mengolah informasi yang sudah dimiliki, merekonstruksi data, fakta,
atau nilai, menyajikan hasil rekonstruksi atau proses pengembangan
nilai, menumbuhkan nilai-nilai budaya dan karakter pada diri mereka
melalui berbagai kegiatan belajar yang terjadi di kelas, sekolah, dan
tugas-tugas di luar sekolah.

Tabel 2.1. Contoh Distribusi Nilai-Nilai Utama ke Dalam Mata Pelajaran

Mata Pelajaran Nilai Utama

1. Pendidikan Agama Religius, jujur, santun, disiplin, bertanggung


jawab, cinta ilmu, ingin tahu, percaya diri,
menghargai keberagaman, patuh pada aturan
social, bergaya hidup sehat, sadar akan hak dan
kewajiban, kerja keras, peduli

2. PKn Nasionalis, patuh pada aturan sosial,


demokratis, jujur, menghargai keragaman, sadar
akan hak dan kewajiban diri dan orang lain

3. Bahasa Indonesia Berfikir logis, kritis, kreatif dan inovatif,


percaya diri, bertanggung jawab, ingin tahu,
santun, nasionalis
4. IPS Nasionalis, menghargai keberagaman, Berpikir
logis, kritis, kreatif, dan inovatif, peduli social
dan lingkungan, berjiwa wirausaha, jujur, kerja
keras

5. IPA ingin tahu, berpikir logis, kritis, kreatif, dan


inovatif, jujur, bergaya hidup sehat, percaya diri,
menghargai keberagaman, disiplin, mandiri,
bertanggung jawab, peduli lingkungan, cinta
ilmu

6. Bahasa Inggris Menghargai keberagaman, santun, percaya diri,


mandiri, bekerjasama, patuh pada aturan sosial

7. Seni Budaya Menghargai keberagaman, nasionalis, dan


menghargai karya orang lain, ingin tahu, jujur,
disiplin, demokratis

8. Penjasorkes Bergaya hidup sehat, kerja keras, disiplin, jujur,


percaya diri, mandiri, menghargai karya dan
prestasi orang lain

9. TIK/Keterampilan Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif,


mandiri, bertanggung jawab, dan menghargai
karya orang lain

10. Muatan Lokal Menghargai keberagaman, menghargai karya


orang lain, nasionalis, peduli

Berdasarkan paparan diatas, kepala sekolah sebagai manajer perlu


menyusun rencana dan langkah-langkah strategis dalam upaya mencapai tujuan
yang berkesinambungan, terukur dan memiliki nilai-nilai konkrit dalam
menerapkan konsep pendidikan karakter bangsa dan kearifan budaya lokal di
sekolah, dalam mengintegrasikan nilai-nilai utama ke dalam mata pelajaran.

2.3. Dampak Penerapan Konsep Pendidikan Berbasis Karakter dan


Kearifan Budaya Lokal
Dampak pendidikan karakter bangsa dan kearifan lokal terhadap
keberhasilan akademik, beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab
pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini
diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan
oleh Character Education Partnership. Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa
hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis,
menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik
pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang
secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya
penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat
keberhasilan akademik.
Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success
(Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang
pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah.
Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di
sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada
kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja
sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan
kemampuan berkomunikasi. Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman
tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi
oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ).
Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan
mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. 
Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah,
dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para
remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang
dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks
bebas, dan sebagainya. Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan
karakter sejak pendidikan dasar di antaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang,
Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa
implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak
positif pada pencapaian akademis.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Seperti telah diuraikan pada awal pendahuluan bahwa Konsep Pendidikan
Karakter Bangsa dan Kearifan Budaya Lokal selain mengembangkan dan
memperkuat potensi pribadi juga menyaring pengaruh dari luar yang akhirnya
dapat membentuk karakter peserta didik yang dapat mencerminkan budaya bangsa
Indonesia. Upaya pembentukan karakter sesuai dengan budaya bangsa ini tentu
tidak semata-mata hanya dilakukan di sekolah melalui serangkaian kegiatan
belajar mengajar baik melalui mata pelajaran maupun serangkaian kegiatan
pengembangan diri yang dilakukan di kelas dan luar sekolah. Pembiasaan-
pembiasan (habituasi) dalam kehidupan, seperti: religius, jujur, disiplin, toleran,
kerja keras, cinta damai, tanggung-jawab, dsb. perlu dimulai dari lingkup terkecil
seperti keluarga sampai dengan cakupan yang lebih luas di masyarakat. Nilai-nilai
tersebut tentunya perlu ditumbuhkembangkan yang pada akhirnya dapat
membentuk pribadi karakter peserta didik yang selanjutnya merupakan
pencerminan hidup suatu bangsa yang besar.
Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan
berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini
adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan,
karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam
tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

3.2. Saran
Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak
atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena
usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan
potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas
kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan
30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau
akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai
dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan
karakter anak.
Semua fihak baik tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan di sekolah
mendukung upaya sekolah dalam implementasi Konsep Pendidikan Berbasis
Karakter Bangsa dan Kearifan Budaya Lokal sesuai dengan visi misi sekolah
dalam melaksanakan KBM aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan
sesuai kurikulum, mengupayakan melibatkan seluruh stakeholder sekolah baik itu
para wakil kepala sekolah, guru, jajaran komite sekolah dan yang lainnya agar
turut serta mendukung program kegiatan sekolah yang terintegrasi melalui
implementasi sistem informasi manajemen, menyiapkan sumber daya manusia
yang memiliki semangat dalam memperbaiki anak bangsa, menyiapkan RAPBS,
menginventarisasi kegiatan dan program sekolah, mengecek dan memonitoring
setiap kegiatan baik pelaksanaan KBM maupun kegiatan ekstra kurikuler yang
menerapkan nilai-nilai Pendidikan Karakter Bangsa dan Kearifan Budaya Lokal.

Anda mungkin juga menyukai