BANGSAL NEOROLOGI
Preseptor :
Disusun oleh :
Penulis mengucapkan terima kasih atas doa, dukungan dan bimbingan dari
semua pihak yang sudah membimbing dan mengarahkan penulis hingga laporan
ini bisa tersusun dengan baik, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Bapak dr. Yulson Rasyid, Sp. Sselaku Preseptor yang telah meluangkan
waktu untuk memberikan bimbingan, petunjuk, arahan dan bantuan dengan
tulus sehingga case study report ini dapat diselesaikan dengan baik.
2. Ibu apt, Wihelmidayani, S. Farm selaku kepala instaslasi farmasi Rumah
Sakit Umum Daerah M. Natsir Solok, serta seluruh apoteker yang bertugas
yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, ilmu, pengalaman, dan
bantuan kepada penulis untuk melaksanakan praktek kerja profesi apoteker di
Rumah Sakit Umum Daerah M. Natsir Solok.
3. Bapak apt. Afriko, S.Farm selaku clinical instructor yang telah meluangkan
waktu untuk memberikan bimbingan, petunjuk, arahan sehingga case study
report ini dapat diselesaikan dengan baik.
4. Staf tenaga kefarmasian di Instalasi Farmasi Rumah Sakit M. Natsir Solok
yang telah memberikan bantuan, bimbingan, petunjuk dan arahan sehingga
laporan Case Report Study ini dapat terselaikan.
5. Staf perawat yang bertugas di bangsal neorologi Rumah Sakit Umum Daerah
M. Natsir Solok yang telah memberikan bantuan kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan Case Report Study ini.
Terimakasih atas semua bimbingan, bantuan dan dukungan yang telah
diberikan kepada penulis. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua untuk
perkembangan ilmu pengetahuan pada masa mendatang. Penulis menyadari
laporan kasus ini masih memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Low back pain (LBP) dialami hampir oleh setiap orang selama hidupnya.
Di Negara barat misalnya, kejadian LBP telah mencapai proporsi epidemik.
Prevalensi kejadian low back pain di dunia setiap tahunnya sangat bervariasi
dengan angka mencapai 15-45%. Menurut WHO (2013) menunjukkan bahwa
33% penduduk di negara berkembang nyeri persisten.Data epidemiologi
mengenai LBP di Indonesia belum ada, namun insiden berdasarkan kunjungan
pasien beberapa rumah sakit di Indonesia berkisar antara 3-17% ( Depkes, 2011).
Low Back Pain (LBP) adalah nyeri pada punggung bawah yang berasal
dari tulang belakang baik berupa otot, saraf atau organ yang lainnya yang
diakibatkan oleh penyakit maupun aktivitas tubuh yang tidak baik (Rakel, 2005).
Nyeri punggung bawah dapat dipengaruhi beberapa faktor antara lain
umur, jenis kelamin, indeks masa tubuh, jenis pekerjaan yang biasanya berkaitan
dengan sikap tubuh tertentu (duduk, berdiri, mengangkat, mendorong,
membegkokkan badan) dan masa kerja. Kebiasaan sehari-hari juga dapat
merupakan faktor terjadinya LBP antara lain kebiasaan merokok, konsumsi
alkohol, olahraga, dan aktivitas rumah tangga sehari-hari. (Wheeler AH, 2002).
Low Back Pain yang timbul karena duduk lama merupakan kejadian yang
sering terjadi saat ini. 60% pekerja usia dewasa mengalami LBP hal tersebut
karena banyaknya pekerjaan yang dilakukan dengan sikap duduk lama saat ini.
Duduk lama yang salah dapat menyebabkan otot punggung kaku sehingga dapat
merusak jaringan disekitarya. Bila kondisi tersebut berjalan dalam waktu yang
lama akan menyebabkan penekanan pada bantalan saraf di tulang belakang
sehingga dapat menyebabkan Hernia Nukleus Pulposus (HNP) (Zanni, 2007).
Kebanyakan kasus LBP terjadi dengan adanya pemicu seperti kerja
berlebihan, penggunaan kekuatan otot berlebihan, ketegangan otot, cedera otot,
ligamen, maupun diskus yang menyokong tulang belakang. Namun, keadaan ini
dapat juga disebabkan oleh keadaan nonmekanik seperti peradangan pada
ankilosing spondilitis dan infeksi, neoplasma, dan osteoporosis.
Penderita gagal ginjal kronik (CKD) di dunia semakin lama semakin
meningkat. Pada sebagian pasien GGK sering diikuti kejadian anemia. Dari
seluruh penderita yang mengalami CKD, sekitar 25 % memerlukan transfusi
darah berulang dan hanya 3 % yang memiliki hemoglobin (Hb) normal. Anemia
pada CKD terutama disebabkan karena defisiensi relatif dari eritropoietin (EPO),
namun ada faktor-faktor lain yang dapat mempermudah terjadinya anemia, antara
lain memendeknya umur sel darah merah, inhibisi sumsum tulang, dan paling
sering defisiensi zat besi dan folat.3 Anemia yang terjadi pada pasien CKD dapat
menyebabkan menurunnya kualitas hidup pasien. Selain itu anemia pada pasien
CKD juga meningkatkan terjadinya morbiditas dan mortalitas.(Pharmacotherapy
Handbook edisi 9).
CKD juga dapat didefinisikan sebagai suatu abnormalitas pada struktur
atau fungsi ginjal, yang telah dialami setidaknya 3 bulan atau lebih, dengan
implikasi pada kesehatan. Abnormalitas strukturalnya termasuk albuminuria (> 30
mg/hari), adanya hematuria atau sel darah merah pada sedimen urin, abnormalitas
elektrolit dan lain-lain Karena gangguan tubular, abnormalitas dideteksi dengan
histologi, abnormalitas structural dideteksi dengan imaging, atau history
transplantginjal (Pharmacotherapy Handbook edisi 9).
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah
kurang dari normal. Faktor-faktor penyebab anemia gizi besi adalah status gizi
yang dipengaruhi oleh pola makanan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan dan
status kesehatan. Meskipun anemia disebabkan oleh berbagai faktor, namun lebih
dari 50 % kasus anemia yang terbanyak diseluruh dunia secara langsung
disebabkan oleh kurangnya masukan zat besi. Kekurangan zat besi dapat
menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan, baik sel tubuh maupun
sel otak. Kekurangan kadar Hb dalam darah dapat menimbulkan gejala lesu,
lemah, letih, lelah dan cepat lupa. Akibatnya dapat menurunkan prestasi belajar,
olah raga dan produktifitas kerja. Selain itu anemia gizi besi akan menurunkan
daya tahan tubuh dan mengakibatkan mudah terkena infeksi (Masrizal, 2007).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat Drug Related Problem’s (DRP) yang diberikan kepada
pasien ?
2. Bagaimana solusi jika terdapat Drug Related Problem’s dari obat-obatan
yang diberikan kepada pasien ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apakah terdapat Drug Related Problem’s dari obat-obatan
yang diberikan kepada pasien?
2. Untuk mencari solusi jika terdapat Drug Related Problem’s dari obat-obatan
yang diberikan kepada pasien?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Etiologi
Menurut Borrenstein (2004), faktor-faktor penyebab nyeri punggung
bawah sebagian besar berasal dari faktor mekanik, dapat diklasifikasikan menjadi
2 kategori, yaitu :
a. Faktor mekanik static.
Faktor mekanik statik adalah deviasi sikap atau postur tubuh yang
menyebabkan peningkatan sudut lumbosakral (sudut antara segmen Vertebra L5
dan Vertebra S1) yang normalnya 30-34, atau peningkatan lengkung lordotik
lumbal dalam waktu yang cukup lama, serta menyebabkan pergeseran titik pusat
berat badan (center of gravity/CoG), yang normalnya berada di garis tengah
sekitar 2,5 cm di depan segmen Vertebra S2. Peningkatan sudut lumbosakral dan
pergeseran CoG tersebut akan menyebabkan peregangan pada ligamen dan
berkontraksinya otot-otot yang berusaha untuk mempertahankan postur tubuh
yang normal, akibatnya dapat terjadi sprain atau strain pada ligamen atau otot-otot
sekitar punggung bawah yang menimbulkan nyeri.
b. Faktor mekanik dinamik
Faktor mekanik dinamik atau kinetik yaitu terjadinya stress atau beban
mekanik abnormal pada struktur jaringan (ligamen atau otot) di daerah punggung
bawah saat melakukan gerakan. Stress atau beban mekanik tersebut melebihi
kapasitas fisiologis atau toleransi otot maupun ligamen di daerah punggung
bawah. Gerakan yang potensial menimbulkan nyeri punggung bawah
muskuloskeletal adalah gerakan kombinasi terutama fleksi dan rotasi, dan bersifat
repetitif, apalagi disertai dengan beban, misalnya ketika sedang mengangkat
beban yang berat.
Sedangkan menurut Bull (2007), faktor-faktor resiko pada nyeri punggung
bawah dapat dibagi menjadi 2 kelompok utama, yaitu faktor eksternal atau
pekerjaan dan faktor internal :
a. Faktor eksternal atau identik dengan aktivitas dan pekerjaan
1) Pekerjaan fisik yang berat, yang terutama memberikan tekanan yang cukup
besar pada punggung bawah.
2) Pekerjaan yang berhubungan dengan posisi statik yang berkepanjangan,
misalnya berdiri atau duduk yang cukup lama, apalagi disertai dengan
vibrasi atau getaran pada tubuh, misalnya mengendarai mobil, truk, atau
mengoperasikan alat-alat perindustrian.
3) Pekerjaan yang dilakukan dengan gerakan membungkuk atau memutar
tubuh secara berulang-ulang.
b. Faktor internal
1) Faktor internal berkaitan dengan individu itu sendiri, antara lain usia atau
degeneratif, dari berbagai studi epidemiologik, kejadian nyeri punggung
bawah meningkat pada usia 35 tahun dan mencapai puncaknya pada usia
sekitar 55 tahun.
2) Antropometrik, berhubungan dengan berat badan, individu dengan obesitas
mempunyai resiko yang lebih besar mengalami nyeri punggung bawah
karena obesitas menyebabkan hiperlordosis lumbal sehingga terjadi
pergeseran titik pusat berat badan ke depan.
Menurut (Uritis, I, 2019) secara garis besar sumber nyeri dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu nyeri pada aksial lumbosacral, radikular, dan nyeri alih
(referred pain) seperti yang dijelaskan sebagai berikut :
1. Nyeri pada aksial lumbosacral adalah nyeri yang yang dirasakan pada vertebrae
lumbar (L1-L5) dan vertebrae sacral (S1 – daerah sacrococcygeal junction).
2. Nyeri radikular adalah nyeri yang menjalar ke ekstremitas mengikuti
dermatome akibat iritasi pada saraf atau ganglion dorsalis.
3. Nyeri alih adalah nyeri yang menjalar ke bagian tubuh yang jauh dari sumber
nyeri dan tidak mengikuti dermatome.
2.1.3 Gejala
McKenzie mengemukakan tiga gejala utama yang termasuk dalam
kelompok LBP Mekanik :
1. Sindroma Postural
Biasanya dijumpai pada usia dibawah 30 tahun terutama mereka yang
pekerjaannya memerlukan posisi duduk dan kurang berolah raga, nyerinya
bersifat intermiten dan timbul akibat deformasi jaringan lunak, ketika jaringan
lunak sekitar segmen lumbalis dalam posisi teregang dalam waktu yang lama.
2. Sindroma disfungsi
Biasanya dijumpai pada usia diatas 30 tahun, kecuali jika disebabkan oleh
trauma sering dijumpai adanya postur yang buruk dalam jangka waktu lama (lebih
dari 10 tahun) dan berupa hasil akibat spondylosis , trauma, atau derangement.
Sindroma disfungsi adalah gejala kedua di mana terjadinya adaptive shorthening
dan hilangnya mobilitas yang menyebabkan nyeri sebelum dapat mencapai
gerakan akhir secara penuh. Kondisi ini timbul karena gerakan yang dihasilkan
tidak cukup dilakukan pada saat pemendekan jaringan lunak berlangsung.
Disfungsi ini dinamai berdasarkan gerakan yang hilang atau dibatasi misalnya
disfungsi fleksi akan membatasi kemampuan seorang individu untuk
membungkuk ke depan di daerah tulang belakang.
3. Sindroma derangement
Biasanya dijumpai pada usia antara 20-55 tahun, pasien mempunyai sikap
duduk yang salah. Sindroma derangement adalah situasi di mana posisi istirahat
yang normal dari dua permukaan artikular vertebra yang berdekatan terganggu
sebagai akibat dari perubahan posisi cairan nukleus. Perubahan posisi nukleus
juga dapat mengganggu materi anular. Perubahan dalam sendi akan
mempengaruhi kemampuan permukaan sendi untuk bergerak dalam jalur normal.
Kondisi ini menjadi menyakitkan ketika terjadi intrudes nukleus pada jaringan
lunak yang sensitif terhadap nyeri. Gejala cenderung tersentralisasi dan akhirnya
berkurang sebagai hasil dari relokasi diskus dan deformitas jaringan sekitarnya
berkurang.
2.1.3 Patofisiologi
Struktur spesifik dalam system saraf terlibat dalam mengubah stimulus
menjadi sensasi nyeri. Sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri
disebut sebagai system nosiseptif. Sensitifitas dari komponen system nosiseptif
dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor dan berbeda diantara individu. Tidak
semua orang yang terpajan terhadap stimulus yang sama mengalami intensitas
nyeri yang sama. Sensasi sangat nyeri bagi seseorang mungkin hampir tidak terasa
bagi orang lain.
Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang
berespons hanya pada stimulus yang kuat, yang secara potensial merusak, dimana
stimuli tersebut sifatnya bisa kimia, mekanik, termal. Reseptor nyeri merupakan
jaras multi arah yang kompleks. Serabut saraf ini bercabang sangat dekat dengan
asalnya pada kulit dan mengirimkan cabangnya ke pembuluh darah lokal, sel-sel
mast, folikel rambut dan kelenjar keringat. Stimuli serabut ini mengakibatkan
pelepasan histamin dari sel-sel mast dan mengakibatkan vasodilatasi. Serabut
kutaneus terletak lebih kearah sentral dari cabang yang lebih jauh dan
berhubungan dengan rantai simpatis paravertebra system saraf dan dengan organ
internal yang lebih besar.
Sejumlah substansi yang dapat meningkatkan transmisi atau persepsi
nyeri meliputi histamin, bradikinin, asetilkolin dan substansi prostaglandin
dimana zat tersebut yang dapat meningkatkan efek yang menimbulkan nyeri dari
bradikinin. Substansi lain dalam tubuh yang berfungsi sebagai inhibitor terhadap
transmisi nyeri adalah endorfin dan enkefalin yang ditemukan dalam konsentrasi
yang kuat dalam system saraf pusat.
Kornu dorsalis dari medulla spinalis merupakan tempat memproses
sensori, dimana agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada system
assenden harus diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri
yang terletak dalam kulit dan organ internal. Proses nyeri terjadi karena adanya
interaksi antara stimulus nyeri dan sensasi nyeri.
Patofisiologi Pada sensasi nyeri punggung bawah dalam hal ini kolumna
vertebralis dapat dianggap sebagai sebuah batang yang elastik yang tersusun atas
banyak unit vertebrae dan unit diskus intervertebrae yang diikat satu sama lain
oleh kompleks sendi faset, berbagai ligamen dan otot paravertebralis. Konstruksi
punggung yang unik tersebut memungkinkan fleksibilitas sementara disisi lain
tetap dapat memberikan perlindungan yang maksimal terhadap sum-sum tulang
belakang. Lengkungan tulang belakang akan menyerap goncangan vertical pada
saat berlari atau melompat. Batang tubuh membantu menstabilkan tulang
belakang. Otot-otot abdominal dan toraks sangat penting ada aktifitas mengangkat
beban. Bila tidak pernah dipakai akan melemahkan struktur pendukung ini.
Obesitas, masalah postur, masalah struktur dan peregangan berlebihan pendukung
tulang belakang dapat berakibat nyeri punggung.
Diskus intervertebralis akan mengalami perubahan sifat ketika usia
bertambah tua. Pada orang muda, diskus terutama tersusun atas fibrokartilago
dengan matriks gelatinus. Pada lansia akan menjadi fibrokartilago yang padat dan
tak teratur. Degenerasi diskus intervertebra merupakan penyebab nyeri punggung
biasa. Diskus lumbal bawah, L4-L5 dan L5-S6, menderita stress paling berat dan
perubahan degenerasi terberat. Penonjolan diskus atau kerusakan sendi dapat
mengakibatkan penekanan pada akar saraf ketika keluar dari kanalis spinalis, yang
mengakibatkan nyeri yang menyebar sepanjang saraf tersebut.
2.2.2 Epidemiologi
CKD telah dideskripsikan sebagai epidemic bisu atau “silent epidemic”
dan merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat yang bersifat mendunia. Tiga
survei nasional berbeda telah memperkirakan bahwa prevalensi CKD setidaknya
5% dari populasi orang dewasa bila menggunakan konsentrasi kreatinin serum
lebih besar dari 1,2 hingga 1,5 mg / dL sebagaidefinisinya. Yang paling
representative dari studi CKD ini, Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional
Ketiga Survei (NHANES III) memproyeksikan bahwas etidaknya 10,9 juta orang
memiliki penurunan fungsi ginjal yang dibuktikan dengan kreatinin serum
konsentrasi (≥1,5 mg / dL) (Pharmacotherapy Handbook edisi 6).
2.2.3 Patofisiologi
a. Faktor Susceptibilitas
Faktor yang meningkatkan risiko penyakit ginjal, tapi tidak secara
langsung menyebabkan kerusakan ginjal. Faktor tersebut diantaranya adalah umur
yang sudah lanjut, penurunan massa ginjal dan massa berat lahir kecil, rasa tau
etnisminoritas, sejarah keluarga, rendahnya pendapatan atau pendidikan, inflamasi
sistemik, dan dislipidemia (Pharmacotheraphy Handbook edisi 9).
b. Faktor Inisiasi
1) Diabetes mellitus (DM)
Meski tidak semua individu dengan nefropati diabetic berprogress ke CKD
Tahap 5, risiko terkena seumur hidup adalah besar. Penderita diabetes memiliki
12 kali lipat risiko relative lebih besar terkena CKD Tahap 5 dari pada seseorang
tanpa diabetes mellitus. Kehadiran diabetes mellitus juga meningkatkan risiko
CKD Tahap 5 dari penyebab non diabetes dari ginjal kegagalan juga
(Pharmacotheraphy Handbook edisi 9).
2). Hipertensi
Hipertensi juga meningkatkan risiko CKD. Hipertensi pada umumnya
berkembang bersamaan dengan penyakit ginjal progresif. Sebagai contoh, pada
GFR 90 mL/mnt per 1,73m2, 40% individu memilikinya hipertensi; pada GFR 60
mL/menitper 1,73 m2, 55% memiliki hipertensi; dan pada GFR 30 mL / menit per
1,73m2, lebihdari 75% yang memiliki hipertensi. Risiko bervariasi secara
dramatis berdasarkan tingkat tekanan darah, dari 0,33% pada stadium 1 hipertensi
(tekanan darah sistolik 140 hingga 150 mm Hg dan / atau tekanan darah diastolik
90 hingga 100 mm Hg) menjadi 4,5% untuk sistolik tingkat tekanan darah lebih
besar dari 180 mm Hg atau darah diastolic tingkat tekanan lebih besar dari 110
mm Hg40 selama periode tindaklanjut sekitar 16 tahun (Pharmacotheraphy
Handbook edisi 9).
3.) Glomerulonefritis
Penyakit glomerulus adalah kategoripenting lain dari. Epidemiologi dan
patofisiologi glomerulus penyakitnya bervariasi dan dengan demikian semua
penyakit tidak dapat disatukan menjadi satu kategori penyakit. Beberapa kondisi,
seperti penyakit Goodpasture atau granulomatosis Wegener, berkembang pesat ke
stadium 5 CKD, dan dengan demikian mungkin dikategorikan sebagai penyebab
ARF. Kondisi lain, seperti nefropati IgA nefropati membran, segmental focus
glomerulosklerosis, lupus nephritis, dan lain lain, adalah penyakit yang lebih
lamban, dan dianggap sebagai penyebab CKD (Pharmacotherapy Handbook edisi
6).
c. Faktor Progresif
Merupakan faktor yang memperburuk kerusakan ginjal. Prediktor paling
penting CKD progresif adalah ke gigihan dari inisiasi yang mendasarinya
penyakit (mis., diabetes mellitus, hipertensi, glomerulonefritis, dan penyakit ginjal
polikistik), dan faktor perkembangan seperti proteinuria, tekanan darah tinggi, dan
merokok (Pharmacotherapy Handbook edisi 6).
1). Proteinuria
Penyakit ginjal diabetik (tipe 1 dan 2), beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa tingkat ekskresi albumin> 30 mg / 24 jam sangat diprediksi
perkembangan nefropati yang jelas dan hilangnya fungsi ginjal (Pharmacotherapy
Handbook edisi 6).
2). Hipertensi
Pengobatan dan pengontrolan hipertensi dapat menunda perkembangan
CKD (Pharmacotherapy Handbook edisi 6).
3). Diabetes mellitus
Pada diabetes mellitus, keadaan hiperglikemia adalah faktor risiko inisiasi
dan perkembangan lainnya pada CKD (Pharmacotherapy Handbook edisi 6).
4). Merokok
Merokok meningkatkan angka perkembangan diabetes tipe 1 dan tipe 2
sekitar dua kali lipat. Merokok juga telah dikaitkan dengan insufisiensi ginjal
dalam studi hipertensi esensial berat dan pasien Afrika Amerika dengan
hipertensi. Beberapa calon penelitian telah menunjukkan hubungan antara
merokok dan mikro albuminuria dan pengembangan CKD tahap 5
(Pharmacotherapy Handbook edisi 6).
5). Hiperlipidemia
Penggunaan agen penurun lipid dalam beberapa model hewan telah
ditemukan untuk mengurangi tingkat cedera glomerulus ketika keduanya
mendasarinya ada penyakit ginjal dan hiperlipidemia. Oleh karena itu koreksi
kelainan lipid pada pasien dengan CKD diusulkan untuk memiliki efek yang
menguntungkan pada laju perkembangan penyakit. CKD dengan atau tanpa
sindrom nefrotik sering disertai oleh kelainan metabolisme lipoprotein. Prevalensi
hiperlipidemia tampaknya meningkat ketika fungsi ginjal menurun dan dengan
adanya sindrom nefrotik (Pharmacotherapy Handbook edisi 6).
2.2.5 Diagnosis
a. Gejala
Gejala umumnya tidak ada di CKD Stadium 1 dan 2, dan mungkin
minimal selama Tahapan 3 dan 4. Gejala klasik terkait dengan Tahap 5 CKD
termasuk pruritus, dysgeusia, mual, muntah, dan kelainan pendarahan. Gejala
terkait dengan anemia termasuk intoleransi dingin, sesak nafas, dan kelelahan.
Tingkat keparahan gejala terkait dengan tingkat perkembangan anemia dan
pengurangan derajat haemoglobin(Pharmacotherapy Handbook edisi 6).
b. Tanda
Kardiovaskular: Hipertrofiventrikelkiri, jantung kongestif kegagalan,
hyperhomocysteinemia, dislipidemia, palpitasi, aritmia, perubahan
elektrokardiografi, peningkatan kreatin kinase-myocardial bound (CK-MB) dan
creatine kinase (CK), hipertensi yang memburuk, dan edema. Muskuloskeletal:
Kram dan nyeriotot. Neuropsikiatri: Depresi, kecemasan, gangguankognisi
mental, kelelahan, dan disfungsiseksual. Gastrointestinal: Penyakit refluks
gastroesofagus, konstipasi, Perdarahan GI, mual, dan muntah (Pharmacotherapy
Handbook edisi 6).
c. Tes Laboratorium
GFR normal atau abnormal dengan atau tanpa ginjal yang
didokumentasikan kelainan struktural; kehadiran albumin urin atau protein; dan
penilaian patologis jaringan ginjal. Endokrin: Peningkatan sensitivitas terhadap
insulin, hiperparatiroidisme sekunder, penurunan aktivasi vitamin D, β2-
deposisimikroglobulin, dan asamurat. Hematologi: Anemia, defisiensibesi, dan
perdarahan (Pharmacotherapy Handbook edisi 6).
2.3 Anemia
2.3.1 Defenisi Anemia
Anemia adalah suatu kondisi tubuh dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam
darah lebih rendah dari normal. Hemoglobin adalah salah satu komponen dalam
sel darah merah/eritrosit yang berfungsi untuk mengikat oksigen dan
menghantarkannya ke seluruh sel jaringan tubuh. Anemia adalah keadaan
berkurangnya jumlah eritrosit atau hemoglobin (protein pembawa O2) dari nilai
normal dalam darah sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
O2 dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer sehingga pengiriman O2 ke
jaringan menurun.
Klasifikasi anemia terdiri dari :
1. Anemia Mikrositik
Anemia defisiensi besi
Anemia yang disebabkan oleh kekurangan intake zat besi/absorbsi zat besi
yang menurun yang dibutuhkan untuk diproduksi hemoglobin dalam sel darah
merah.
Anemia penyakitkronik
Anemia yang disebabkan karena penyakit kronik/penyakit infeksi. Anemia
ini dikenal dengan nama sidereponik anemia endothelial siderosis.
2. Anemiamakrositik/megaloblastik
Anemia ini adalah sekelompok anemia yang ditandai oleh adanya
eritroblas yang besar terjadi akibat gangguan maturasi inti sel tersebut, sel tersebut
dinamakan megaloblas (Sarwono,2001).
Anemia ini dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Defisiensi vitaminB12/pernisiosa
Adalah kekurangan vitamin B12 yang bisa disebabkan oleh faktor intrinsik.
b. Defisiensi asamfolat
Adalah anemia kekurangan asam folat terutama terdapat dalam daging, susu
dan daun-daunan yanghijau.
3. Anemia karena pendarahan
a. Pendarhan Akut
Timbul renjatan bila pengeluaran darah cukup banyak, terjadinya penurunan
kadar HB baru terjadi beberapa hari kemudian.
b. Perdarahan kronik
Perdarahan yang timbul sedikit-sedikit sehingga tidak diketahui pasien.
4. AnemiaHemolitik
Terjadi karena penurunan sel darah merah (normal 120 hari) baik
sementera atau terus menerus. Salah satu jenis anemia ini adalah anemia hemolitik
autoimun (Auto Imun Hemolitik Anemia/ALHA) dimana auto antibodi IgG
dibentuk terkait pada membran sel darah merah (SDM).
5. AnemiaAplastik
Terjadikarenaketidakseimbangansumsumtulanguntuk membentuk sel-
seldarah
2.3.3 Etiologi
Anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
1) Gangguan pembentukan eritrosit
Gangguan pembentukan eritrosit terjadi apabila terdapat defisiensi substansi
tertentu seperti mineral (besi, tembaga), vitamin (B12, asam folat), asam
amino, serta gangguan pada sumsum tulang.
2) Perdarahan
Perdarahan baik akut maupun kronis mengakibatkan penurunan total sel
darah merah dalam sirkulasi.
3) Hemolisis
Hemolisis adalah proses penghancuran eritrosit.
Selain itu pemberian ESA juga akan mengurangi kadar besi akibat
stimulasi produksi sel darah merah (Malyzko, 2007). Sebuah studi uji coba
terkontrol acak menunjukkan besi oral tidak lebih baik dibandingkan placebo
dalam mengatasi defisiensi besi pada pasien yang menjalani hemodialisis. Dalam
hal ini gangguan penyerapan besi juga merupakan salah satu faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya anemia pada PGK (Macdougal, 1996)
2. AnemiaMakrositik
Defisiensi VitaminB12/Pernisiosa
Pemberian Vitamin B12 1000 mg/hari IM selama 5-7 hari 1 x/bulan.
Defisiensi asamfolat
Meliputi pengobatan terhadap penyebabnya dan dapat dilakukan pula
dengan pemberian/suplementasi asam folat oral 1mg/hari.
3. Anemia karenaPerdarahan
PerdarahanAkut
a) Mengatasiperdarahan
b) Mengatasi renjatan dengan transfusi darah atau pemberian cairan
perinfus
PerdarahanKronik
a) Mengobati sebabperdarahan
b) Pemberian preparatFe
4. Anemia Hemolitik
Pentalaksanaan anemia hemolitik disesuaikan dengan penyebabnya.
Bila karena reaksi toksik imunologik yang dapat diberikan adalah
kortikosteroid (prednison, prednisolon), kalau perlu dilakukan splenektomi
apabila keduanya tidak berhasil dapat diberikan obat-obat glostatik, seperti
klorobusil dansiklophosfamit.
5. AnemiaAplastik
Tujuan utama terapi adalah pengobatan yang disesuaikan dengan
etiologi darianemianya.
Berbagai teknik pengobatan dapat dilakukan seperti :
a. Transfusi darah, sebaiknya diberikan packed red cell. Bila diperlukan
trombosit, berikan darah segar/plateletconcencrate.
b. Atasi komplikasi (infeksi) dengan antibiotik, dan higiene yang baik
perlu untuk mencegah timbulnyainfeksi.
c. Kortikosteroid dosis rendah mungkin bermanfaat pada perdarahan
akibat trombositopeniaberat.
d. Androgen, seperti pluokrimesteron, testosteron, metandrostenolon dan
nondrolon. Efek samping yang mungkin terjadi virilisasi, retensi air
dan garam, perubahan hati danamenore.
e. Imunosupresif, seperti siklosporin, globulin antitimosit. Champlin dkk
menyarankan penggunaannya pada pasien lebih dari 40 tahun yang
tidak dapat menjalani transplantasi sumsum tulang dan pada pasien
yang telah mendapat transfusiberulang.
6. Transplatansi sumsum tulang.
1. Ringer Laktat
Ringer Laktat
Kelas Terapi Cairan dan elektrolit.
Komposisi Satu liter cairan ringer laktat memiliki komposisi elektrolit Na+
(130 mEq/L), Cl- (105 mEq/L), Ca+ (3 mEq/L), dan laktat (28
mEq/L). Osmolaritasnya sebesar 273 mOsm/L.
Indikasi Terapi cairan elektrolit.
Dosis Disesuaikan dengan umur, berat badan dan kebutuhan defisit cairan
pasien.
Interaksi obat Preparat Kalium dan Kalsium akan meningkatkan efek digitalis.
Kontraindikasi Hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, laktat asidosis.
Efek Samping Sensasi panas, infeksi pada tempat penyuntikan, trombosis
vena atau flebitis yang meluas dari tempat penyuntikan,
ekstravasasi, urtikaria dan pruritus.
Gambar sediaan
2. Meloxicam
Meloxicam
Kelas Terapi Antiinflamasi dan antirematik nonsteroid (AINS)
Komposisi Meloxicam
Indikasi Nyeri dan radang pada penyakit reumatik ; osteoarthritis yang
memburuk (jangka pendek) ; ankylosing spondilitis
Dosis Osteoartritis : 1x7,5 mg sehari bersama makan. Dapat ditingkatkan
sampai 15 mg/hari
Rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis : 1x15 mg sehari
bersama makan, dapat dikurangi hingga 7,5 mg sehari ; lansia : 7,5
mg sehari
Kontraindikasi Pasien riwayat hipersensitivitas terhadap meloxicam atau OAINS
lain, tukak peptic aktif, gangguan hati berat, gangguan ginjal berat,
anak dan remaja < 15 tahun, hamil, laktasi, perdarahan
gastrointestinal, perdarahan serebrovaskular atau perdarahan
lainnya.
Efek Samping Dispepsia, mual, muntah, nyeri perut, konstipasi, kembung, diare,
anemia, pruitis, ruam kulit, sakit kepala, edema, peningkatan
transaminase atau bilirubin serum.
3. Metil Prednisolone
Metil Prednisolone
Kelas Terapi Kortikosteroid
Komposisi Metil Prednisolone
Indikasi Sebagai antiinflamasi atau imunosupresi pada beberapa penyakit
hematologi, alergi, inflamasi, neoplasma maupun autoimun
Dosis Dosis umum dewasa : 4-48 mg/hari dalam dosis terbagi (dosis
disesuaikan dengan jenis penyakit dan respon pasien.
Dosis umum anak : antiinflamasi : peroral, IV, dan IM : 0,5-1,7
mg/kgBB/hari diberikan dalam dosis terbagi.
Cedera spinal akut : dalam bentuk sodium suksinat diberikan
30mg/kgBB/dosis selama 15 menit diikuti 45 menit kemudian
dengan dosis rumatan lewat infus kontinyu 5,4 mg/kgBB/jam
selama 23 jam.
4. KSR
Potassium Chloride
Kelas Terapi Elektrolit
Komposisi Potassium Chloride
Indikasi Kalium klorida dapat digunakan sebagai pengganti ion-ion kalium
elektrolit. Selain itu, KSR tablet ini juga dapat digunakan sebagai
sumber kation, atau ion bermuatan positif. Kation dari cairan di
dalam sel tubuh penting untuk pemeliharaan asam-basa serta
keseimbangan cairan dan elektrolit sel.
Dosis Dosis 600 mg :1-2 tablet sebanyak 2-3 kali/hari.
Mekanisme Kerja Potassium atau Kalium klorida adalah kation atau ion bermuatan
positif utama dari cairan intraseluler (di dalam sel tubuh). Zat ini
penting untuk proses fisiologis, seperti konduksi impuls saraf di
jantung, otak, dan otot rangk, kontraksi otot jantung, rangka dan
polos, pemeliharaan fungsi ginjal normal, metabolisme karbohidrat,
keseimbangan asam basa, serta sekresi lambung.
Berdasarkan proses kerja obat dalam tubuh, kalium klorida
diketahui memiliki status:
Absorpsi: Diserap dengan baik dan mudah dari saluran
pencernaan.
Distribusi: Didistribusikan ke dalam sel.
Ekskresi: Terutama melalui urine, feses, dan keringat (sedikit).
Gambar
5. Allopurinol
Allopurinol
Kelas Terapi Analgesik & Obat Anti Inflamasi Non Steroid
Komposisi Allopurinol
Indikasi Hiperurisemia seperti artritis gout, tofus, nefrolitiasis, kondisi
maligna yang menyebabkan nefropati asam urat akut, gangguan
enzim yang menyebabkan produksi asam urat berlebih, batu ginjal
akibat hiperurikosuria yang tidak teratasi dengan cairan, diet / terapi
lain
Dosis Oral : setelah makan, Dewasa dosis awal 100mg sebagai dosis
tunggal, naikkan secara bertahap dalam 1-3 minggu, sesuaikan
dengn kadar asam urat dalam plasma atau urin.
Dosis penunjang :200-600 mg.
Anak dengan neoplasma / gangguan enzim: 10-20 mg/kgBB/hari.
Interaksi obat Meningkatkan efek samping warfarin, teofilin, ciclosporin,
dan cyclophosphamide.
Meningkatkan efek samping allopurinol bila digunakan
dengan ampisilin atau amoxicillin.
Meningkatkan efek samping allopurinol, bila digunakan
bersama obat diuretic golongan thiazide,
seperti hydroclorothiazide..
Mengurangi efektivitas methotrexate.