Anda di halaman 1dari 36

CASE REPORT STUDY

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER


DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH M. NATSIR SOLOK

BANGSAL NEOROLOGI

“ LOW BACK PAIN + CKD (CHRONIC KIDNEY DISEASE) + ANEMIA ”

Preseptor :

dr. Yulson Rasyid, Sp. S

Disusun oleh :

Dayang Gesti Pertiwi, S.Farm (3105051)


Hayatul Fisilmi Khaffah, S.Farm (3105055)
Rika Sri Anggraini, S.Farm (3105061)

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA
PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih juga Maha


Penyayang, kami panjatkan puji dan syukur kami kepada-Nya yang telah
melimpahkan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) bidang Rumah
Sakit di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) M. Natsir Solok dengan baik.

Penulis mengucapkan terima kasih atas doa, dukungan dan bimbingan dari
semua pihak yang sudah membimbing dan mengarahkan penulis hingga laporan
ini bisa tersusun dengan baik, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:

1. Bapak dr. Yulson Rasyid, Sp. Sselaku Preseptor yang telah meluangkan
waktu untuk memberikan bimbingan, petunjuk, arahan dan bantuan dengan
tulus sehingga case study report ini dapat diselesaikan dengan baik.
2. Ibu apt, Wihelmidayani, S. Farm selaku kepala instaslasi farmasi Rumah
Sakit Umum Daerah M. Natsir Solok, serta seluruh apoteker yang bertugas
yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, ilmu, pengalaman, dan
bantuan kepada penulis untuk melaksanakan praktek kerja profesi apoteker di
Rumah Sakit Umum Daerah M. Natsir Solok.
3. Bapak apt. Afriko, S.Farm selaku clinical instructor yang telah meluangkan
waktu untuk memberikan bimbingan, petunjuk, arahan sehingga case study
report ini dapat diselesaikan dengan baik.
4. Staf tenaga kefarmasian di Instalasi Farmasi Rumah Sakit M. Natsir Solok
yang telah memberikan bantuan, bimbingan, petunjuk dan arahan sehingga
laporan Case Report Study ini dapat terselaikan.
5. Staf perawat yang bertugas di bangsal neorologi Rumah Sakit Umum Daerah
M. Natsir Solok yang telah memberikan bantuan kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan Case Report Study ini.
Terimakasih atas semua bimbingan, bantuan dan dukungan yang telah
diberikan kepada penulis. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua untuk
perkembangan ilmu pengetahuan pada masa mendatang. Penulis menyadari
laporan kasus ini masih memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak.

Solok, Februari 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Low back pain (LBP) dialami hampir oleh setiap orang selama hidupnya.
Di Negara barat misalnya, kejadian LBP telah mencapai proporsi epidemik.
Prevalensi kejadian low back pain di dunia setiap tahunnya sangat bervariasi
dengan angka mencapai 15-45%. Menurut WHO (2013) menunjukkan bahwa
33% penduduk di negara berkembang nyeri persisten.Data epidemiologi
mengenai LBP di Indonesia belum ada, namun insiden berdasarkan kunjungan
pasien beberapa rumah sakit di Indonesia berkisar antara 3-17% ( Depkes, 2011).
Low Back Pain (LBP) adalah nyeri pada punggung bawah yang berasal
dari tulang belakang baik berupa otot, saraf atau organ yang lainnya yang
diakibatkan oleh penyakit maupun aktivitas tubuh yang tidak baik (Rakel, 2005).
Nyeri punggung bawah dapat dipengaruhi beberapa faktor antara lain
umur, jenis kelamin, indeks masa tubuh, jenis pekerjaan yang biasanya berkaitan
dengan sikap tubuh tertentu (duduk, berdiri, mengangkat, mendorong,
membegkokkan badan) dan masa kerja. Kebiasaan sehari-hari juga dapat
merupakan faktor terjadinya LBP antara lain kebiasaan merokok, konsumsi
alkohol, olahraga, dan aktivitas rumah tangga sehari-hari. (Wheeler AH, 2002).
Low Back Pain yang timbul karena duduk lama merupakan kejadian yang
sering terjadi saat ini. 60% pekerja usia dewasa mengalami LBP hal tersebut
karena banyaknya pekerjaan yang dilakukan dengan sikap duduk lama saat ini.
Duduk lama yang salah dapat menyebabkan otot punggung kaku sehingga dapat
merusak jaringan disekitarya. Bila kondisi tersebut berjalan dalam waktu yang
lama akan menyebabkan penekanan pada bantalan saraf di tulang belakang
sehingga dapat menyebabkan Hernia Nukleus Pulposus (HNP) (Zanni, 2007).
Kebanyakan kasus LBP terjadi dengan adanya pemicu seperti kerja
berlebihan, penggunaan kekuatan otot berlebihan, ketegangan otot, cedera otot,
ligamen, maupun diskus yang menyokong tulang belakang. Namun, keadaan ini
dapat juga disebabkan oleh keadaan nonmekanik seperti peradangan pada
ankilosing spondilitis dan infeksi, neoplasma, dan osteoporosis.
Penderita gagal ginjal kronik (CKD) di dunia semakin lama semakin
meningkat. Pada sebagian pasien GGK sering diikuti kejadian anemia. Dari
seluruh penderita yang mengalami CKD, sekitar 25 % memerlukan transfusi
darah berulang dan hanya 3 % yang memiliki hemoglobin (Hb) normal. Anemia
pada CKD terutama disebabkan karena defisiensi relatif dari eritropoietin (EPO),
namun ada faktor-faktor lain yang dapat mempermudah terjadinya anemia, antara
lain memendeknya umur sel darah merah, inhibisi sumsum tulang, dan paling
sering defisiensi zat besi dan folat.3 Anemia yang terjadi pada pasien CKD dapat
menyebabkan menurunnya kualitas hidup pasien. Selain itu anemia pada pasien
CKD juga meningkatkan terjadinya morbiditas dan mortalitas.(Pharmacotherapy
Handbook edisi 9).
CKD juga dapat didefinisikan sebagai suatu abnormalitas pada struktur
atau fungsi ginjal, yang telah dialami setidaknya 3 bulan atau lebih, dengan
implikasi pada kesehatan. Abnormalitas strukturalnya termasuk albuminuria (> 30
mg/hari), adanya hematuria atau sel darah merah pada sedimen urin, abnormalitas
elektrolit dan lain-lain Karena gangguan tubular, abnormalitas dideteksi dengan
histologi, abnormalitas structural dideteksi dengan imaging, atau history
transplantginjal (Pharmacotherapy Handbook edisi 9).
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah
kurang dari normal. Faktor-faktor penyebab anemia gizi besi adalah status gizi
yang dipengaruhi oleh pola makanan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan dan
status kesehatan. Meskipun anemia disebabkan oleh berbagai faktor, namun lebih
dari 50 % kasus anemia yang terbanyak diseluruh dunia secara langsung
disebabkan oleh kurangnya masukan zat besi. Kekurangan zat besi dapat
menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan, baik sel tubuh maupun
sel otak. Kekurangan kadar Hb dalam darah dapat menimbulkan gejala lesu,
lemah, letih, lelah dan cepat lupa. Akibatnya dapat menurunkan prestasi belajar,
olah raga dan produktifitas kerja. Selain itu anemia gizi besi akan menurunkan
daya tahan tubuh dan mengakibatkan mudah terkena infeksi (Masrizal, 2007).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat Drug Related Problem’s (DRP) yang diberikan kepada
pasien ?
2. Bagaimana solusi jika terdapat Drug Related Problem’s dari obat-obatan
yang diberikan kepada pasien ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apakah terdapat Drug Related Problem’s dari obat-obatan
yang diberikan kepada pasien?
2. Untuk mencari solusi jika terdapat Drug Related Problem’s dari obat-obatan
yang diberikan kepada pasien?
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 LOW BACK PAIN (LBP)


2.1.1 Definisi
Menurut The International Association for the Study of Pain, nyeri
didefinisikan sebagai suatu rasa yang tidak menyenangkan dan merupakan
pengalaman emosional yang berhubungan dengan kerusakan jaringan dan
terkadang nyeri digunakan untuk menyatakan adanya kerusakan jaringan (Parjoto,
2006).
Low back pain merupakan suatu nyeri pada daerah punggang bawah yang
dihasilkan dari rangsangan fisik atau sikap tubuh yang buruk (poor posture),
merupakan suatu proses kumulatif yang menyebabkan punggung bagian bawah di
bawah tekanan mekanik yang berat yang menyebabkan penurunan disabilitas dan
keterbatasan gerak sendi lumbosacral dan merupakan salah satu kondisi
muskuloskeletal yang terdapat pada populasi dewasa. (Balague, et.al, 2012).

2.1.2 Etiologi
Menurut Borrenstein (2004), faktor-faktor penyebab nyeri punggung
bawah sebagian besar berasal dari faktor mekanik, dapat diklasifikasikan menjadi
2 kategori, yaitu :
a. Faktor mekanik static.
Faktor mekanik statik adalah deviasi sikap atau postur tubuh yang
menyebabkan peningkatan sudut lumbosakral (sudut antara segmen Vertebra L5
dan Vertebra S1) yang normalnya 30-34, atau peningkatan lengkung lordotik
lumbal dalam waktu yang cukup lama, serta menyebabkan pergeseran titik pusat
berat badan (center of gravity/CoG), yang normalnya berada di garis tengah
sekitar 2,5 cm di depan segmen Vertebra S2. Peningkatan sudut lumbosakral dan
pergeseran CoG tersebut akan menyebabkan peregangan pada ligamen dan
berkontraksinya otot-otot yang berusaha untuk mempertahankan postur tubuh
yang normal, akibatnya dapat terjadi sprain atau strain pada ligamen atau otot-otot
sekitar punggung bawah yang menimbulkan nyeri.
b. Faktor mekanik dinamik
Faktor mekanik dinamik atau kinetik yaitu terjadinya stress atau beban
mekanik abnormal pada struktur jaringan (ligamen atau otot) di daerah punggung
bawah saat melakukan gerakan. Stress atau beban mekanik tersebut melebihi
kapasitas fisiologis atau toleransi otot maupun ligamen di daerah punggung
bawah. Gerakan yang potensial menimbulkan nyeri punggung bawah
muskuloskeletal adalah gerakan kombinasi terutama fleksi dan rotasi, dan bersifat
repetitif, apalagi disertai dengan beban, misalnya ketika sedang mengangkat
beban yang berat.
Sedangkan menurut Bull (2007), faktor-faktor resiko pada nyeri punggung
bawah dapat dibagi menjadi 2 kelompok utama, yaitu faktor eksternal atau
pekerjaan dan faktor internal :
a. Faktor eksternal atau identik dengan aktivitas dan pekerjaan
1) Pekerjaan fisik yang berat, yang terutama memberikan tekanan yang cukup
besar pada punggung bawah.
2) Pekerjaan yang berhubungan dengan posisi statik yang berkepanjangan,
misalnya berdiri atau duduk yang cukup lama, apalagi disertai dengan
vibrasi atau getaran pada tubuh, misalnya mengendarai mobil, truk, atau
mengoperasikan alat-alat perindustrian.
3) Pekerjaan yang dilakukan dengan gerakan membungkuk atau memutar
tubuh secara berulang-ulang.
b. Faktor internal
1) Faktor internal berkaitan dengan individu itu sendiri, antara lain usia atau
degeneratif, dari berbagai studi epidemiologik, kejadian nyeri punggung
bawah meningkat pada usia 35 tahun dan mencapai puncaknya pada usia
sekitar 55 tahun.
2) Antropometrik, berhubungan dengan berat badan, individu dengan obesitas
mempunyai resiko yang lebih besar mengalami nyeri punggung bawah
karena obesitas menyebabkan hiperlordosis lumbal sehingga terjadi
pergeseran titik pusat berat badan ke depan.
Menurut (Uritis, I, 2019) secara garis besar sumber nyeri dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu nyeri pada aksial lumbosacral, radikular, dan nyeri alih
(referred pain) seperti yang dijelaskan sebagai berikut :
1. Nyeri pada aksial lumbosacral adalah nyeri yang yang dirasakan pada vertebrae
lumbar (L1-L5) dan vertebrae sacral (S1 – daerah sacrococcygeal junction).
2. Nyeri radikular adalah nyeri yang menjalar ke ekstremitas mengikuti
dermatome akibat iritasi pada saraf atau ganglion dorsalis.
3. Nyeri alih adalah nyeri yang menjalar ke bagian tubuh yang jauh dari sumber
nyeri dan tidak mengikuti dermatome.

2.1.3 Gejala
McKenzie mengemukakan tiga gejala utama yang termasuk dalam
kelompok LBP Mekanik :
1. Sindroma Postural
Biasanya dijumpai pada usia dibawah 30 tahun terutama mereka yang
pekerjaannya memerlukan posisi duduk dan kurang berolah raga, nyerinya
bersifat intermiten dan timbul akibat deformasi jaringan lunak, ketika jaringan
lunak sekitar segmen lumbalis dalam posisi teregang dalam waktu yang lama.
2. Sindroma disfungsi
Biasanya dijumpai pada usia diatas 30 tahun, kecuali jika disebabkan oleh
trauma sering dijumpai adanya postur yang buruk dalam jangka waktu lama (lebih
dari 10 tahun) dan berupa hasil akibat spondylosis , trauma, atau derangement.
Sindroma disfungsi adalah gejala kedua di mana terjadinya adaptive shorthening
dan hilangnya mobilitas yang menyebabkan nyeri sebelum dapat mencapai
gerakan akhir secara penuh. Kondisi ini timbul karena gerakan yang dihasilkan
tidak cukup dilakukan pada saat pemendekan jaringan lunak berlangsung.
Disfungsi ini dinamai berdasarkan gerakan yang hilang atau dibatasi misalnya
disfungsi fleksi akan membatasi kemampuan seorang individu untuk
membungkuk ke depan di daerah tulang belakang.
3. Sindroma derangement
Biasanya dijumpai pada usia antara 20-55 tahun, pasien mempunyai sikap
duduk yang salah. Sindroma derangement adalah situasi di mana posisi istirahat
yang normal dari dua permukaan artikular vertebra yang berdekatan terganggu
sebagai akibat dari perubahan posisi cairan nukleus. Perubahan posisi nukleus
juga dapat mengganggu materi anular. Perubahan dalam sendi akan
mempengaruhi kemampuan permukaan sendi untuk bergerak dalam jalur normal.
Kondisi ini menjadi menyakitkan ketika terjadi intrudes nukleus pada jaringan
lunak yang sensitif terhadap nyeri. Gejala cenderung tersentralisasi dan akhirnya
berkurang sebagai hasil dari relokasi diskus dan deformitas jaringan sekitarnya
berkurang.

2.1.3 Patofisiologi
Struktur spesifik dalam system saraf terlibat dalam mengubah stimulus
menjadi sensasi nyeri. Sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri
disebut sebagai system nosiseptif. Sensitifitas dari komponen system nosiseptif
dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor dan berbeda diantara individu. Tidak
semua orang yang terpajan terhadap stimulus yang sama mengalami intensitas
nyeri yang sama. Sensasi sangat nyeri bagi seseorang mungkin hampir tidak terasa
bagi orang lain.
Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang
berespons hanya pada stimulus yang kuat, yang secara potensial merusak, dimana
stimuli tersebut sifatnya bisa kimia, mekanik, termal. Reseptor nyeri merupakan
jaras multi arah yang kompleks. Serabut saraf ini bercabang sangat dekat dengan
asalnya pada kulit dan mengirimkan cabangnya ke pembuluh darah lokal, sel-sel
mast, folikel rambut dan kelenjar keringat. Stimuli serabut ini mengakibatkan
pelepasan histamin dari sel-sel mast dan mengakibatkan vasodilatasi. Serabut
kutaneus terletak lebih kearah sentral dari cabang yang lebih jauh dan
berhubungan dengan rantai simpatis paravertebra system saraf dan dengan organ
internal yang lebih besar.
Sejumlah substansi  yang dapat meningkatkan transmisi atau persepsi
nyeri meliputi histamin, bradikinin, asetilkolin dan substansi prostaglandin
dimana zat tersebut yang dapat meningkatkan efek yang menimbulkan nyeri dari
bradikinin. Substansi lain dalam tubuh yang berfungsi sebagai inhibitor terhadap
transmisi nyeri adalah endorfin dan enkefalin yang ditemukan dalam konsentrasi
yang kuat dalam system saraf pusat.
Kornu dorsalis dari medulla spinalis merupakan tempat memproses
sensori, dimana agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada system
assenden harus diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri
yang terletak dalam kulit dan organ internal. Proses nyeri terjadi karena adanya
interaksi antara stimulus nyeri dan sensasi  nyeri.
Patofisiologi Pada sensasi nyeri punggung bawah dalam hal ini kolumna
vertebralis dapat dianggap sebagai sebuah batang yang elastik yang tersusun atas
banyak unit vertebrae dan unit diskus intervertebrae yang diikat satu sama lain
oleh kompleks sendi faset, berbagai ligamen dan otot paravertebralis. Konstruksi
punggung yang unik tersebut memungkinkan fleksibilitas sementara disisi lain
tetap dapat memberikan perlindungan yang maksimal terhadap sum-sum tulang
belakang. Lengkungan tulang belakang akan menyerap goncangan vertical pada
saat berlari atau melompat. Batang tubuh membantu menstabilkan tulang
belakang. Otot-otot abdominal dan toraks sangat penting ada aktifitas mengangkat
beban. Bila tidak pernah dipakai akan melemahkan struktur pendukung ini.
Obesitas, masalah postur, masalah struktur dan peregangan berlebihan pendukung
tulang belakang dapat berakibat nyeri punggung.
Diskus intervertebralis akan mengalami perubahan sifat ketika usia
bertambah tua. Pada orang muda, diskus terutama tersusun atas fibrokartilago
dengan matriks gelatinus. Pada lansia akan menjadi fibrokartilago yang padat dan
tak teratur. Degenerasi diskus intervertebra merupakan penyebab nyeri punggung
biasa. Diskus lumbal bawah, L4-L5 dan L5-S6, menderita stress paling berat dan
perubahan degenerasi terberat. Penonjolan diskus atau kerusakan sendi dapat
mengakibatkan penekanan pada akar saraf ketika keluar dari kanalis spinalis, yang
mengakibatkan nyeri yang menyebar sepanjang saraf tersebut.

2.1.4 Durasi Nyeri


Durasi nyeri pada LBP dibagi berdasarkan waktu (Heuche, 2013).:
1. Akut (<6 minggu)
2. Sub Akut (6-12 minggu)
3. Kronis (<12 minggu).
2.1.5 Manifestasi Klinis
Secara praktis manifestasi klinis diambil dari pembagian berdasarkan
sistem anatomi :
1. LBP Viscerogenik
Tipe ini sering nyerinya tidak bertambah berat dengan adanya aktivitas
maupun istirahat. Umumnya disertai gejala spesifik dari organ viseralnya. Lebih
sering disebabkan oleh faktor ginekologik, kadang-kadang didapatkan spasme
otot paravertebralis dan perubahan sudut ferguson pada pemeriksaan radiologik,
nyeri ini disebut juga nyeri pinggang akibat referred pain.
2. LBP Vaskulogenik
Tahap dini nyerinya hanya sakit pinggang saja yang dirasakan, nyeri
bersifat nyeri punggung dalam, nyeri sering menjalar kebokong, belakang paha,
dan kedua tungkai, nyeri sering menjalar kebokong, belakang paha, dan kedua
tungkai.  Nyeri tidak timbul karena adanya stress spesifik pada kolumna
vertebralis (membungkuk, batuk dan lain-lain).  Diagnosa ditegakkan apabila
ditemukan benjolan yang berpulpasi.
3. LBP Neurogenik 
Nyeri sangat hebat, bersifat menetap, sedikit berkurang pada saat bediri
tenang, terutama dirasakan pada saat malam hari. Nyeri dapat dibangkitkan
dengan aktivitas, dan rasa nyeri berkurang saat penderita berbaring, sering didapat
kompresi akar saraf, ditemukan juga spasme otot paravertebralis.
4. LBP Spondilogenik
Yang sering ditemukan adalah :
1) HNP : Nyeri disertai iskialgia, dirasakan sebagai nyeri pinggang, menjalar
kebokong, paha belakang tumit sampai telapan kaki.
2) Miofasial : Nyeri akibat trauma pada otot fasia atau ligamen, keluhan berupa
nyeri daerah pinggang, kurang dapat dilokasikan dengan tepat, timbul
mendadak waktu melakukan gerakan yang melampau batas kemampuan
ototnya.
3) Keganasan : Tumor ganas pada daerah vertebrae dapat bersifat primer atau
sekunder. Pada foto rontgen terlihat adanya destruksi, pemeriksaan
laboratorium terlihat adanya peningkatan alkalifostase.
4) Osteoporotik  : Terjadi pada lansia terutama wanita, nyeri bersifat pegal atau
nyeri radikuler karena adanya fraktur kompresi sebagai komplikasi osterporosis
tulang belakang.
5. LBP Psikogenik
Keluhan nyeri hebat tidak seimbang dengan kelainan organik yang
ditemukan, penderita memilih suatu mekanisme pembelaan terhadap ancaman
rasa amannya dengan menghindarkan diri bila tidak melakukan hal tertentu.
Keadaan ini akan menyebabkan otot-otot dalam keadaan tegang sehingga
meningkatkan spasme otot dan timbul rasa nyeri.

2.1.5 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis LBP ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Sekitar 85% pasien LBP didiagnosis LBP non-
spesifik pada pemeriksaan pertama (Chou, R, 2013).
Beberapa hal yang perlu digali pada anamesis pasien LBP kronis adalah
durasi nyeri yang dirasakan >12 minggu, lokasi nyeri dan penjalarannya, dan
keparahan nyeri yang dapat dievaluasi menggunakan skala (visual analog scale
atau numerical rating scale score). Sensasi nyeri, seperti rasa terbakar, gatal, baal,
atau sensasi aliran listrik harus dinilai. Selanjutnya, faktor yang memperingan dan
memperparah nyeri, riwayat pengobatan, riwayat penyakit dahulu, riwayat
keluarga, hingga fungsional pasien selama merasakan nyeri dalam melakukan
kerja dan aktivitas harian lain juga dinilai (Chou, R, 2013).
Setelah data anamnesis terkumpul, pemeriksaan fisik pasien dilakukan dari
pemeriksaan umum, yaitu tanda vital, cara berjalan (penggunaan alat bantu,
perpindahan, dan gait), keadaan umum, dan keadaanpsikologi (tingkah laku,
mood dan afek, proses pikir, serta tanda-tanda distres) (Chou, R, 2013).
Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk menilai kekuatan motorik pada
punggung dan ekstremitas inferior, keadaan sensoris, refleks tendon dalam, dan
refleks upper motor neuron (UMN) (Chou, R, 2013).
Pemeriksaan khusus pada LBP yang dapat dilakukan, seperti (Bagwell, J,
et.al, 2016) :
1. Patrick’s test
Dilakukan untuk mengevaluasi patologi pada panggul dan sakroiliaka yang
keduanya berhubungan dengan LBP. Nyeri pada daerah paha dirasakan patologi
yang terjadi di panggul dan nyeri pada punggung mengarah pada keadaan
patologis di sendi sakroiliaka.
2. Straight leg raise test
Akan menyebabkan tegang pada cabang saraf lumbar. Tes dikatakan
positif bila nyeri yang dirasakan adalah nyeri radikuler dari punggung atau
panggul hingga tumit.
3. Gaenslen’s test
Dilakukan dengan prinsip fleksi maksimal pada satu sisi sendi panggul dan
sisi sebelahnya pada keadaan ekstensi maksimal. Tes ini positif bila pasien
merasakan nyeri pada sendi sakroiliaka.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada LBP kronis adalah
pencitraan. Namun, pencitraan hanya dilakukan bila terjadi trauma pada usia di
atas 50 tahun, defisit neurologi yang parah atau progresif, dicurigai adanya
kelainan neurologis serius, imunosupresi, riwayat kanker, osteoporosis atau
penggunaan kortikosteroid, serta penurunan berat badan atau demam tanpa
etiologi jelas. Pilihan pemeriksaan pencitraan dapat dimulai dari plain X-ray
hingga modalitas lebih canggih, yaitu magnetic resonance imaging (MRI) dan CT
Scan. Pasien LBP kronis yang dicurigai karena keganasan atau infeksi dapat
dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa laju endap darah dan/atau C-Reactive
Protein. Pemeriksaan dengan electromyography (EMG) dan nerve conduction
velocity (NCV) membantu dalam menentukan radikulopati akun atau kronis dan
lokasi lesi patologis (Tan, A, et,al, 2016).
2.1.6 Tata Laksana LBP
Adapun tata laksana yang dapat dilakukan untuk mengatasi Low Back
Pain ini adalah sebagai berikut :
A. Terapi Farmakologi
Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa pada LBP yang masih dirasakan lebih dari tiga
bulan atau LBP kronis bertujuan untuk mengurangi nyeri, menghilangkan
kekakuan dan ketegangan pada otot serta meningkatkan kualitas hidup pasien.
Prognosis LBP kronis akan baik apabila rasa nyeri dapat diatasi dan penjalaran
nyeri djuga diatasi. Relaps dapat terjadi apabila pasien melakukan aktivitas yang
memberatkan kerja otot punggung dan juga tulang belakang.
Terapi tersebut dapat menggunakan obat tunggal atau kombinasi dengan
dosis semiminimal mungkin, dapat diberikan analgetik non-steroid, muscle
relaxant, anti depresan atau kadang-kadang obat blokade neuratik.
 Obat anti inflamasi non steroid (OAINS)
Merupakan golongan obat yang paling sering digunakan pada tatalaksana
LBP. Obat ini direkomendasikan untuk pasien LBP kronik dalam jangka pendek.
OAINS dapat mengurangi nyeri dan disabilitas pada pasien LBP kronik
dibandingkan dengan pemberian placebo. Obat anti inflamasi non steroid bekerja
dengan kemampuannya menghambat produksi prostaglandin.
Prostaglandin menjadi media untuk berjalannya fungsi fisiologis seperti
barrier mukosa lambung, regulasi aliran darah ke ginjal, dan regulasi endotel.
Selain itu, prostaglandin berperan penting dalam proses inflamasi dan nosiseptif.
OAINS dapat diberikan secara oral atau intravena.
Enzim yang pertama kali terlibat dalam sintesis prostaglandin adalah
cyclooxygenase (COX) 1 dan 2. Keduanya bekerja dalam produksi prostaglandin
saat terjadi inflamasi dan nyeri, serta dapat berperan sebagai autoregulator dan
homeostasis dalam tubuh.
COX-1 merupakan enzim yang dominal dalam proses sintesis dengan
melindungi epitel lambung dan hemostasis. COX-2 merupakan enzim yang
berperan dalam sintesis prostaglandin yang diinduksi oleh sitokin dan stres.
OAINS nantinya akan menginhibisi enzim COX dan mencegah terjadinya sintesis
prostaglandin, menurunkan inflamasi, nyeri, dan demam.
Obat anti inflamasi non steroid tersedia dalam 2 bentuk, yaitu OAINS non-
selektif yang dapat menghambat enzim COX-1 dan COX-2 (ibuprofen,
diklofenak, naproksen) dan OAINS selektif inhibitor COX-2 yang hanya dapat
menghambat enzim COX-2 (nimesulid, celecoxib). Inhibitor COX-2 mulai
dikembangkan karena adanya laporan mengenai efek samping OAINS non-
selektif terhadap saluran pencernaan. Penghambatan COX-1 juga dapat
mengurangi proteksi lambung, sehingga menyebabkan peningkatan risiko
komplikasi saluran pencernaan (ulkus gaster, perforasi, perdarahan saluran cerna).
Inhibitor COX-2 selektif dapat menurunkan risiko ini, akan tetapi golongan ini
memiliki efek samping pada kardiovaskular.
Untuk mencegah efek samping pada saluran pencernaan, dapat diberikan
obat gastroprotektif dengan dosis efektif terendah dan dalam waktu yang singkat.
Penggunaan OAINS selama 3 bulan diketahui dapat menurunkan keluhan nyeri
serta disabilitas jangka waktu segera dan jangka waktu pendek. Sehingga saat ini,
OAINS masih dijadikan sebagai pilihan pertama analgesik pasien LBP kronik.
Selain OAINS, obat golongan gabapentinoid juga dijadikan pilihan
tatalaksana LBP kronis. Gabapentinoid merupakan golongan obat antikonvulsan
yang biasa digunakan pada kondisi epilepsi, neuralgia post herpes, dan nyeri
neuropati. Bahkan, pregabalin seringkali digunakan dalam tatalaksana gangguan
cemas menyeluruh. Gabapentinoid sebagai contoh adalah gabapentin dan
pregabalin yang bekerja melalui modulasi neurotransmiter pada reseptor presinaps
neuron aferen. Kedua obat ini bekerja pada subunit α-2 delta-2 pada kanal kalsium
yang bergantung dengan tegangan dan memiliki farmakodinamika yang mirip
dengan nyeri dan gejala lainnya. Golongan ini diketahui efektif pada keadaan nyeri
neuropati. Penggunaan gabapentinoid pada LBP kronik membutuhkan titrasi dosis
terapi secara perlahan dan agar dapat mempertahankan manfaat secara lebih lama.
Efek samping yang ditimbulkan pada golongan ini adalah sedasi, pusing,
edema perifer, kelelahan, mual, dan penambahan berat badan.
 Adapun golongan muscle relaxants masih menjadi kontroversi dalam
tatalaksana LBP.
Muscle relaxants terdiri atas berbagai macam obat berbeda yang bekerja
pada reseptor yang berbeda pula. Golongan ini dikategorikan menjadi 2, yakni
agen antispastik dan agen antispasmodik.
Agen antispastik bekerja melalui korda spinalis atau otot rangka secara
langsung untuk meningkatkan hipertonisitas otot dan spasme involunter,
sedangkan agen antispasmodik bekerja dengan mengurangi spasme otot melalui
perubahan konduksi sistem saraf pusat. Contoh obat golongan ini antara lain
eperisone, tizanidine (agonis α-2), orphenadrine (antagonis kolinergik muskarinik,
antihistamin), carisoprodol (GABA-ergic), baclofen (agonis GABA-B), dan
benzodizepin.
Dalam sebuah studi serial kasus, pemberian eperisone 50 dan 100 mg
sebanyak dua kali sehari selama 10 hari memiliki hasil yang signifikan terhadap
pengurangan nyeri spontan dan terprovokasi berdasarkan hasil nilai Visual
Analogue Scale, outcome fisiologis dengan pengurangan handto-floor distance,
pengurangan kontraktur otot dan gangguan fungsional spina, perbaikan pada
refleks tendon, dan perbaikan pada nyeri ekstremitas bawah jika dibandingkan
dengan pemberian eperisone selama 3 hari.
Eperisone dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dibandingkan dengan
thiocolchiside dan diazepam, selain itu eperisone tidak membutuhkan modifikasi
dosis sehingga aman dalam penggunaannya.Pada LBP kronik, golongan obat ini
dapat mengurangi gejala pada pasien tertentu. Pada nyeri neuropati, belum ada
cukup bukti manfaat muscle relaxants pada radikulopati. Efek samping obat
golongan ini adalah sakit kepala, mual, pusing, somnolen, risiko ketergantungan
bahkan hingga penyalahgunaan obat sehingga saat ini penggunaannya sangat
dibatasi.
 Opioid
Obat ini cukup efektif untuk mengurangi nyeri, tetapi seringkali
menimbulkan efek samping mual dan mengantuk disamping pemakaian jangka
panjang bisa menimbulkan toleransi dan ketergantungan obat. Disarankan
pemakaiannya hanya pada kasus NPB yang berat. (Weinstein et al., 2008)

B. Terapi Non Farmakologi


1. Tirah Baring
Tempat tidur dengan alat yang keras dan rata untuk mengendorkan otot
yang spasme, sehingga terjadi relaksasi otot maksimal. Dibawah lutut diganjal
batal untuk mengurangi hiperlordosis lumbal, lama tirah baring tidak lebih dari 1
minggu (Chou, et,al, 2007).
2. Korset lumbal
Korset lumbal mungkin bermanfaat untuk mencegah kambuhnya LPB dan
mengurangi nyeri pada NPB kronik(Chou et al.,2007).
3. Fisioterapi
Dalam bentuk terapi panas, stimulasi listrik perifer, traksi pinggul, terapi
latihan dan ortesa (kovset)(Chou et al.,2007).
4. Akupuntur
Kemungkinan bekerja dengan cara pembentukan zat neurohumoral sebagai
neurotras mitter dan bekerja sebagai activator serat intibitor desenden yang
kemudian menutup gerbang nyeri (Chou et al, 2007).

2.2 CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)


2.2.1 Definisi
Pada penyakit gagal ginjal kronik (CKD), ginjal artinya telah mengalami
kerusakan fungsional maupun struktural. Kerusakan bersifat irreversible sehingga
semua fungsi ginjal akan terganggu (Pharmacotherapy Handbook edisi 9).
CKD juga dapat didefinisikan sebagai suatu abnormalitas pada struktur
atau fungsi ginjal, yang telah dialami setidaknya 3 bulan atau lebih, dengan
implikasi pada kesehatan. Abnormalitas strukturalnya termasuk albuminuria (> 30
mg/hari), adanya hematuria atau sel darah merah pada sedimen urin, abnormalitas
elektrolit dan lain-lain Karena gangguan tubular, abnormalitas dideteksi dengan
histologi, abnormalitas structural dideteksi dengan imaging, atau history
transplantginjal (Pharmacotherapy Handbook edisi 9).
Penyakit ginjal kronis (CKD), disebut juga insufisiensi ginjal kronis (CRI)
oleh sebagian orang, didefinisikan sebagai kehilangan fungsi ginjal secara
progresif yang terjadi selama beberapa bulan hingga bertahun-tahun, dan ditandai
dengan penggantian arsitektur ginjal normal secarabertahapdengan fibrosis
interstitial (Pharmacotherapy Handbook edisi 6).

2.2.2 Epidemiologi
CKD telah dideskripsikan sebagai epidemic bisu atau “silent epidemic”
dan merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat yang bersifat mendunia. Tiga
survei nasional berbeda telah memperkirakan bahwa prevalensi CKD setidaknya
5% dari populasi orang dewasa bila menggunakan konsentrasi kreatinin serum
lebih besar dari 1,2 hingga 1,5 mg / dL sebagaidefinisinya. Yang paling
representative dari studi CKD ini, Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional
Ketiga Survei (NHANES III) memproyeksikan bahwas etidaknya 10,9 juta orang
memiliki penurunan fungsi ginjal yang dibuktikan dengan kreatinin serum
konsentrasi (≥1,5 mg / dL) (Pharmacotherapy Handbook edisi 6).

2.2.3 Patofisiologi
a. Faktor Susceptibilitas
Faktor yang meningkatkan risiko penyakit ginjal, tapi tidak secara
langsung menyebabkan kerusakan ginjal. Faktor tersebut diantaranya adalah umur
yang sudah lanjut, penurunan massa ginjal dan massa berat lahir kecil, rasa tau
etnisminoritas, sejarah keluarga, rendahnya pendapatan atau pendidikan, inflamasi
sistemik, dan dislipidemia (Pharmacotheraphy Handbook edisi 9).
b. Faktor Inisiasi
1) Diabetes mellitus (DM)
Meski tidak semua individu dengan nefropati diabetic berprogress ke CKD
Tahap 5, risiko terkena seumur hidup adalah besar. Penderita diabetes memiliki
12 kali lipat risiko relative lebih besar terkena CKD Tahap 5 dari pada seseorang
tanpa diabetes mellitus. Kehadiran diabetes mellitus juga meningkatkan risiko
CKD Tahap 5 dari penyebab non diabetes dari ginjal kegagalan juga
(Pharmacotheraphy Handbook edisi 9).
2). Hipertensi
Hipertensi juga meningkatkan risiko CKD. Hipertensi pada umumnya
berkembang bersamaan dengan penyakit ginjal progresif. Sebagai contoh, pada
GFR 90 mL/mnt per 1,73m2, 40% individu memilikinya hipertensi; pada GFR 60
mL/menitper 1,73 m2, 55% memiliki hipertensi; dan pada GFR 30 mL / menit per
1,73m2, lebihdari 75% yang memiliki hipertensi. Risiko bervariasi secara
dramatis berdasarkan tingkat tekanan darah, dari 0,33% pada stadium 1 hipertensi
(tekanan darah sistolik 140 hingga 150 mm Hg dan / atau tekanan darah diastolik
90 hingga 100 mm Hg) menjadi 4,5% untuk sistolik tingkat tekanan darah lebih
besar dari 180 mm Hg atau darah diastolic tingkat tekanan lebih besar dari 110
mm Hg40 selama periode tindaklanjut sekitar 16 tahun (Pharmacotheraphy
Handbook edisi 9).
3.) Glomerulonefritis
Penyakit glomerulus adalah kategoripenting lain dari. Epidemiologi dan
patofisiologi glomerulus penyakitnya bervariasi dan dengan demikian semua
penyakit tidak dapat disatukan menjadi satu kategori penyakit. Beberapa kondisi,
seperti penyakit Goodpasture atau granulomatosis Wegener, berkembang pesat ke
stadium 5 CKD, dan dengan demikian mungkin dikategorikan sebagai penyebab
ARF. Kondisi lain, seperti nefropati IgA nefropati membran, segmental focus
glomerulosklerosis, lupus nephritis, dan lain lain, adalah penyakit yang lebih
lamban, dan dianggap sebagai penyebab CKD (Pharmacotherapy Handbook edisi
6).
c. Faktor Progresif
Merupakan faktor yang memperburuk kerusakan ginjal. Prediktor paling
penting CKD progresif adalah ke gigihan dari inisiasi yang mendasarinya
penyakit (mis., diabetes mellitus, hipertensi, glomerulonefritis, dan penyakit ginjal
polikistik), dan faktor perkembangan seperti proteinuria, tekanan darah tinggi, dan
merokok (Pharmacotherapy Handbook edisi 6).
1). Proteinuria
Penyakit ginjal diabetik (tipe 1 dan 2), beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa tingkat ekskresi albumin> 30 mg / 24 jam sangat diprediksi
perkembangan nefropati yang jelas dan hilangnya fungsi ginjal (Pharmacotherapy
Handbook edisi 6).
2). Hipertensi
Pengobatan dan pengontrolan hipertensi dapat menunda perkembangan
CKD (Pharmacotherapy Handbook edisi 6).
3). Diabetes mellitus
Pada diabetes mellitus, keadaan hiperglikemia adalah faktor risiko inisiasi
dan perkembangan lainnya pada CKD (Pharmacotherapy Handbook edisi 6).
4). Merokok
Merokok meningkatkan angka perkembangan diabetes tipe 1 dan tipe 2
sekitar dua kali lipat. Merokok juga telah dikaitkan dengan insufisiensi ginjal
dalam studi hipertensi esensial berat dan pasien Afrika Amerika dengan
hipertensi. Beberapa calon penelitian telah menunjukkan hubungan antara
merokok dan mikro albuminuria dan pengembangan CKD tahap 5
(Pharmacotherapy Handbook edisi 6).
5). Hiperlipidemia
Penggunaan agen penurun lipid dalam beberapa model hewan telah
ditemukan untuk mengurangi tingkat cedera glomerulus ketika keduanya
mendasarinya ada penyakit ginjal dan hiperlipidemia. Oleh karena itu koreksi
kelainan lipid pada pasien dengan CKD diusulkan untuk memiliki efek yang
menguntungkan pada laju perkembangan penyakit. CKD dengan atau tanpa
sindrom nefrotik sering disertai oleh kelainan metabolisme lipoprotein. Prevalensi
hiperlipidemia tampaknya meningkat ketika fungsi ginjal menurun dan dengan
adanya sindrom nefrotik (Pharmacotherapy Handbook edisi 6).

2.2.4 Tahap/Stadium/Stage Keparahan Penyakit Ginjal

Tabel 1. Stadium Keparahan Penyakit/Fungsi Ginjal (Pharmacotheraphy


Handbook edisi 9)

Kategor GFR (ml/menit) Keterangan Kategori menurut


i KDIGO
KDIGO
G1 >90 Normal atau tinggi Stage 1 CKD
G2 60 – 89 Mulai menurun Stage 2 CKD
(ringan)
G3a 45 – 59 Menurun (ringan – Stage 3 CKD
sedang)
G3b 30 – 44 Menurun (sedang – Stage 3 CKD
berat)
G4 15 – 29 Menurun dengan Stage 4 CKD
berat/parah
G5 <15 Gagal ginjal Stage 5 CKD
(penyakit ginjal stage
akhir, butuh dialysis)

2.2.5 Diagnosis
a. Gejala
Gejala umumnya tidak ada di CKD Stadium 1 dan 2, dan mungkin
minimal selama Tahapan 3 dan 4. Gejala klasik terkait dengan Tahap 5 CKD
termasuk pruritus, dysgeusia, mual, muntah, dan kelainan pendarahan. Gejala
terkait dengan anemia termasuk intoleransi dingin, sesak nafas, dan kelelahan.
Tingkat keparahan gejala terkait dengan tingkat perkembangan anemia dan
pengurangan derajat haemoglobin(Pharmacotherapy Handbook edisi 6).
b. Tanda
Kardiovaskular: Hipertrofiventrikelkiri, jantung kongestif kegagalan,
hyperhomocysteinemia, dislipidemia, palpitasi, aritmia, perubahan
elektrokardiografi, peningkatan kreatin kinase-myocardial bound (CK-MB) dan
creatine kinase (CK), hipertensi yang memburuk, dan edema. Muskuloskeletal:
Kram dan nyeriotot. Neuropsikiatri: Depresi, kecemasan, gangguankognisi
mental, kelelahan, dan disfungsiseksual. Gastrointestinal: Penyakit refluks
gastroesofagus, konstipasi, Perdarahan GI, mual, dan muntah (Pharmacotherapy
Handbook edisi 6).
c. Tes Laboratorium
GFR normal atau abnormal dengan atau tanpa ginjal yang
didokumentasikan kelainan struktural; kehadiran albumin urin atau protein; dan
penilaian patologis jaringan ginjal. Endokrin: Peningkatan sensitivitas terhadap
insulin, hiperparatiroidisme sekunder, penurunan aktivasi vitamin D, β2-
deposisimikroglobulin, dan asamurat. Hematologi: Anemia, defisiensibesi, dan
perdarahan (Pharmacotherapy Handbook edisi 6).
2.3 Anemia
2.3.1 Defenisi Anemia
Anemia adalah suatu kondisi tubuh dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam
darah lebih rendah dari normal. Hemoglobin adalah salah satu komponen dalam
sel darah merah/eritrosit yang berfungsi untuk mengikat oksigen dan
menghantarkannya ke seluruh sel jaringan tubuh. Anemia adalah keadaan
berkurangnya jumlah eritrosit atau hemoglobin (protein pembawa O2) dari nilai
normal dalam darah sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
O2 dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer sehingga pengiriman O2 ke
jaringan menurun.
Klasifikasi anemia terdiri dari :
1. Anemia Mikrositik
 Anemia defisiensi besi
Anemia yang disebabkan oleh kekurangan intake zat besi/absorbsi zat besi
yang menurun yang dibutuhkan untuk diproduksi hemoglobin dalam sel darah
merah.
 Anemia penyakitkronik
Anemia yang disebabkan karena penyakit kronik/penyakit infeksi. Anemia
ini dikenal dengan nama sidereponik anemia endothelial siderosis.
2. Anemiamakrositik/megaloblastik
Anemia ini adalah sekelompok anemia yang ditandai oleh adanya
eritroblas yang besar terjadi akibat gangguan maturasi inti sel tersebut, sel tersebut
dinamakan megaloblas (Sarwono,2001).
Anemia ini dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Defisiensi vitaminB12/pernisiosa
Adalah kekurangan vitamin B12 yang bisa disebabkan oleh faktor intrinsik.
b. Defisiensi asamfolat
Adalah anemia kekurangan asam folat terutama terdapat dalam daging, susu
dan daun-daunan yanghijau.
3. Anemia karena pendarahan
a. Pendarhan Akut
Timbul renjatan bila pengeluaran darah cukup banyak, terjadinya penurunan
kadar HB baru terjadi beberapa hari kemudian.
b. Perdarahan kronik
Perdarahan yang timbul sedikit-sedikit sehingga tidak diketahui pasien.
4. AnemiaHemolitik
Terjadi karena penurunan sel darah merah (normal 120 hari) baik
sementera atau terus menerus. Salah satu jenis anemia ini adalah anemia hemolitik
autoimun (Auto Imun Hemolitik Anemia/ALHA) dimana auto antibodi IgG
dibentuk terkait pada membran sel darah merah (SDM).
5. AnemiaAplastik
Terjadikarenaketidakseimbangansumsumtulanguntuk membentuk sel-
seldarah

2.3.2 Gejala Anemia


Gejala anemia secara umum adalah cepat lelah, pucat (kulit, bibir, gusi,
mata, kulit kuku, dan telapak tangan), jantung berdenyut kencang saat melakukan
aktivitas ringan, napas pendek, nyeri dada, pusing dan mata berkunang, cepat
marah, dan tangan dan kaki dingin

2.3.3 Etiologi
Anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
1) Gangguan pembentukan eritrosit
Gangguan pembentukan eritrosit terjadi apabila terdapat defisiensi substansi
tertentu seperti mineral (besi, tembaga), vitamin (B12, asam folat), asam
amino, serta gangguan pada sumsum tulang.
2) Perdarahan
Perdarahan baik akut maupun kronis mengakibatkan penurunan total sel
darah merah dalam sirkulasi.
3) Hemolisis
Hemolisis adalah proses penghancuran eritrosit.

2.3.4 Etiologi dan anemia pada PGK


Penyebab anemia pada pasien PGK adalah multifaktorial dan sampai saat
ini ketidak cukupan produksi hormon eritropoetin (EPO) merupakan hal yang
paling sering diketahui sebagai penyebab terjadinya anemia selain hal yang lain
seperti gangguan eritropoiesis oleh toksin uremik, pemendekan waktu hidup
eritrosit itu diperberat juga dengan kondisi defisiensi besi. Perburukan dari fungsi
ginjal yang progresif menyebabkan kontribusi defisiensi EPO terhadap kejadian
anemia akan meningkat (Fehally, 2003; Bargman dan Skorecki, 2013).
Eritropoetin manusia sebagian besar disintesis di sel peritubulus ginjal tipe
1 yang terletak pada kortek atau sisi terluar dari medulla antara membran
basolateral dari tubulus proksimal dengan kapiler peritubular serta sebagian kecil
sekitar 10% sampai dengan 15% diproduksi di hati (Bento dkk., 2003; Zadrasil
dan Horak, 2014). Produksi EPO dalam tubuh bergantung pada tekanan oksigen
jaringan dan dimodulasi oleh suatu mekanisme umpan balik positif maupun
negatif. Pada tekanan oksigen yang rendah, produksi EPO meningkat yang akan
menimbulkan peningkatan produksi eritrosit di sumsum tulang (Notopoero, 2007).
Penyebab utama anemia pada pasien dengan penyakit ginjal kronik adalah
kurangnya produksi eritropoietin (EPO) karena penyakit ginjalnya. Faktor
tambahan termasuk kekurangan zat besi, peradangan akut dan kronik dengan
gangguan penggunaan zat besi (anemia penyakit kronik), hiperparatiroid berat
dengan konsekuensi fibrosis sumsum tulang, pendeknya masa hidup eritrosit
akibat kondisi uremia. Selain itu kondisi komorbiditas seperti hemoglobinopati
dapat memperburuk anemia.(Longo dkk. 2010). Ketika terjadi gangguan pada
glomerulus maka fungsi ginjal pun terganggu, termasuk fungsi endokrinnya.
Selain itu pasien PGK juga mengalami gangguan hemostasis besi yang
sangat diperlukan dalam produksi sel darah merah. Defisiensi besi atau
terbetasnya persediaan besi untuk eritropoesis merupakan mekanisme patogenik
yang penting untuk terjadinya anemia pada penyakit ginjal (Hadrazil dan Horak,
2015). Hepsidin saat ini dipercaya memiliki peran yang sangat penting dalam
regulasi metabolisme besi. Hormon ini ditemukan oleh Krause pada tahun 2000.
Regulasi dari absorpsi besi dan distribusinya ke jaringan di mediasi oleh reseptor
feroportin yang diketahui sebagai satu-satunya eksporter besi. Sintesis hepsidin
diinduksi oleh kadar besi yang berlebih atau inflamasi dan dihambat oleh
peningkatan eritropoesis atau hipoksia. Peningkatan kadar hepsidin diketahui
untuk memblokir absorpsi besi dari makanan di dalam usus dan pelepasannya dari
cadangan besi. Pasien PGK yang menjalani hemodialisis akan mengalami
keseimbangan besi negatif, akibat hilangnya 1-3 gram besi per tahun akibat
tertahannya darah pada mesin dialisis dan pengambilan darah berulang.

Selain itu pemberian ESA juga akan mengurangi kadar besi akibat
stimulasi produksi sel darah merah (Malyzko, 2007). Sebuah studi uji coba
terkontrol acak menunjukkan besi oral tidak lebih baik dibandingkan placebo
dalam mengatasi defisiensi besi pada pasien yang menjalani hemodialisis. Dalam
hal ini gangguan penyerapan besi juga merupakan salah satu faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya anemia pada PGK (Macdougal, 1996)

2.3.5 Patofisiologi Anemia pada Gagal Ginjal Kronik


Pasien GGK biasanya mengalami anemia. Penyebab utamanya adalah
defisiensi produksi eritropoietin (EPO) yang dapat meningkatkan risiko kematian,
uremia penghambat eritropoiesis, pemendekan umur eritrosit, gangguan
homeostasis zat besi. Antagonis EPO yaitu sitokin proinflamasi bekerja dengan
menghambat sel-sel progenitor eritroid dan menghambat metabolisme besi.
Resistensi EPO disebabkan oleh peradangan maupun neocytolysis. Beberapa
mekanisme patofisiologi mendasari kondisi ini, termasuk terbatasnya ketersediaan
besi untuk eritropoiesis, gangguan proliferasi sel prekursor eritroid, penurunan
EPO dan reseptor EPO, dan terganggunya sinyal transduksi EPO.15 Penyebab
lain anemia pada pasien GGK adalah infeksi dan defisiensi besi mutlak.
Kehilangan darah adalah penyebab umum dari anemia pada GGK. Hemolisis,
kekurangan vitamin B12 atau asam folat, hiperparatiroidisme, hemoglobinopati
dan keganasan, terapi angiotensin-converting-enzyme (ACE) inhibitor yang
kompleks dapat menekan eritropoiesis.
Pasien GGK mengalami defisiensi zat besi yang ditunjukkan dengan
ketidakseimbangan pelepasan zat besi dari penyimpanannya sehingga tidak dapat
memenuhi kebutuhan untuk eritropoiesis yang sering disebut juga
reticuloendothelial cell iron blockade. Reticuloendothelial cell iron blockade dan
gangguan keseimbangan absorbsi zat besi dapat disebabkan oleh kelebihan
hepsidin. Hepsidin merupakan hormon utama untuk meningkatkan homeostasis
sistemik zat besi yang diproduksi di liver dan disekresi ke sirkulasi darah.
Hepsidin mengikat dan menyebabkan pembongkaran ferroportin pada enterosit
duodenum, retikuloendotelial makrofag, dan hepatosit untuk menghambat zat besi
yang masuk ke dalam plasma. Peningkatan kadar hepsidin pada pasien GGK
dapat menyebabkan defisiensi zat besi dan anemia

2.3.6Pemeriksaan Laboratorium pada Anemia pada Gagal Ginjal Kronik


Pemeriksaan laboratorium untuk penyakit gagal ginjal kronik meliputi
serum kreatinin, glomerular filtration rate (GFR), blood urea nitrogen (BUN),
protein urin, mikroalbuminuria, kreatinin urin, serum albumin, normalized protein
nitrogen appearance (nPNA), subjective global assessment (SGA), hemoglobin,
hematokrit, transferrin saturation (Tsat) dan serum ferritin, hormon paratiroid,
kalsium, fosfor, kalsium, berat badan, tekanan darah, kolestrol total, high-density
lipoprotein (HDL), low-density lipoprotein (LDL), trigliserida (TG).
Anemia pada GGK termasuk dalam anemia penyakit kronik sehingga
dapat terlihat indeks dan morfologi eritrosit mikrositik hipokromik (MCV jarang
< 75fl). Kadar Hb tergantung pada berat ringannya penyakit biasanya mempunyai
Hb < 9.5 g/dl atau dapat lebih rendah. Kadar besi serum maupun total iron-
binding capacity (TIBC) menurun. TIBC adalah pengukuran transferrin secara
tidak langsung, dimana kadarnya menurun pada anemia penyakit kronik karena
cadangan besi meningkat. Kadar transferin yaitu protein yang digunakan untuk
transpor zat besi meningkat hal ini mengindikasikan bahwa tubuh membutuhkan
zat besi.

2.3.7 Penatalaksanaan Anemia


Penatalaksanaan Medis
1. Anemia Mikrositik Hipokrom
 Anemia DefisiensiBesi
Mengatasi penyebab pendarahankronik, misalnya pada ankilostomiasis
diberikan antelmintik yang sesuai.
Pemberian preparat Fe :
a.Fero sulfat 3 x 3,25 mg secara oral dalam keadaan perut kosong, dapat
dimulai dengan dosis yang rendah dan dinaikkan bertahap pada pasien yang
tidak kuat dapat diberikan bersamamakanan.
b.Fero Glukonat 3 x 200 mg secara oral sehabis makan. Bila terdapat
intoleransi terhadap pemberian preparat Fe oral atau gangguan
pencernaan sehingga tidak dapat diberikan oral, dapat diberikan secara
parenteral dengan dosis 250 mg Fe (3 mg/kg BB). Untuk tiap gram %
penurun kadar Hb dibawah normal.
c.Iron Dextran mengandung Fe 50 mg/l, diberikan secara intra muskular
mula-mula 50 mg, kemudian 100-250 mg tiap 1-2 hari sampai dosis total
sesuai perhitungan dapat pula diberikan intravena, mula-mula 0,5 ml
sebagai dosis percobaan. Bila dalam 3-5 menit menimbulkan reaksi
boleh diberikan 250-500 mg.
 Anemia Penyakit Kronik
Terapi terutama ditunjukkan pada penyakit dasarnya. anemia yang
mengancam nyawa, dapat diberikan transfusi darah merah seperlunya.
Pengobatan dengan suplementasi besi tidak diindikasikan kecuali untuk
mengatasi anemia pada artritis rheumatoid. Pemberian kobalt dan
eritropoetin dikatakan dapat memperbaiki anemia pada penyakit kronik.

2. AnemiaMakrositik
 Defisiensi VitaminB12/Pernisiosa
Pemberian Vitamin B12 1000 mg/hari IM selama 5-7 hari 1 x/bulan.
 Defisiensi asamfolat
Meliputi pengobatan terhadap penyebabnya dan dapat dilakukan pula
dengan pemberian/suplementasi asam folat oral 1mg/hari.
3. Anemia karenaPerdarahan
 PerdarahanAkut
a) Mengatasiperdarahan
b) Mengatasi renjatan dengan transfusi darah atau pemberian cairan
perinfus
 PerdarahanKronik
a) Mengobati sebabperdarahan
b) Pemberian preparatFe
4. Anemia Hemolitik
Pentalaksanaan anemia hemolitik disesuaikan dengan penyebabnya.
Bila karena reaksi toksik imunologik yang dapat diberikan adalah
kortikosteroid (prednison, prednisolon), kalau perlu dilakukan splenektomi
apabila keduanya tidak berhasil dapat diberikan obat-obat glostatik, seperti
klorobusil dansiklophosfamit.
5. AnemiaAplastik
Tujuan utama terapi adalah pengobatan yang disesuaikan dengan
etiologi darianemianya.
Berbagai teknik pengobatan dapat dilakukan seperti :
a. Transfusi darah, sebaiknya diberikan packed red cell. Bila diperlukan
trombosit, berikan darah segar/plateletconcencrate.
b. Atasi komplikasi (infeksi) dengan antibiotik, dan higiene yang baik
perlu untuk mencegah timbulnyainfeksi.
c. Kortikosteroid dosis rendah mungkin bermanfaat pada perdarahan
akibat trombositopeniaberat.
d. Androgen, seperti pluokrimesteron, testosteron, metandrostenolon dan
nondrolon. Efek samping yang mungkin terjadi virilisasi, retensi air
dan garam, perubahan hati danamenore.
e. Imunosupresif, seperti siklosporin, globulin antitimosit. Champlin dkk
menyarankan penggunaannya pada pasien lebih dari 40 tahun yang
tidak dapat menjalani transplantasi sumsum tulang dan pada pasien
yang telah mendapat transfusiberulang.
6. Transplatansi sumsum tulang.

2.4 Tinjauan Obat

1. Ringer Laktat

Ringer Laktat
Kelas Terapi Cairan dan elektrolit.
Komposisi Satu liter cairan ringer laktat memiliki komposisi elektrolit Na+
(130 mEq/L), Cl- (105 mEq/L), Ca+ (3 mEq/L), dan laktat (28
mEq/L). Osmolaritasnya sebesar 273 mOsm/L.
Indikasi Terapi cairan elektrolit.
Dosis Disesuaikan dengan umur, berat badan dan kebutuhan defisit cairan
pasien.
Interaksi obat Preparat Kalium dan Kalsium akan meningkatkan efek digitalis.
Kontraindikasi Hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, laktat asidosis.
Efek Samping Sensasi panas, infeksi pada tempat penyuntikan, trombosis
vena atau flebitis yang meluas dari tempat penyuntikan,
ekstravasasi, urtikaria dan pruritus.

Gambar sediaan

2. Meloxicam

Meloxicam
Kelas Terapi Antiinflamasi dan antirematik nonsteroid (AINS)
Komposisi Meloxicam
Indikasi Nyeri dan radang pada penyakit reumatik ; osteoarthritis yang
memburuk (jangka pendek) ; ankylosing spondilitis
Dosis Osteoartritis : 1x7,5 mg sehari bersama makan. Dapat ditingkatkan
sampai 15 mg/hari
Rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis : 1x15 mg sehari
bersama makan, dapat dikurangi hingga 7,5 mg sehari ; lansia : 7,5
mg sehari
Kontraindikasi Pasien riwayat hipersensitivitas terhadap meloxicam atau OAINS
lain, tukak peptic aktif, gangguan hati berat, gangguan ginjal berat,
anak dan remaja < 15 tahun, hamil, laktasi, perdarahan
gastrointestinal, perdarahan serebrovaskular atau perdarahan
lainnya.

Efek Samping Dispepsia, mual, muntah, nyeri perut, konstipasi, kembung, diare,
anemia, pruitis, ruam kulit, sakit kepala, edema, peningkatan
transaminase atau bilirubin serum.

Perhatian Riwayat perdarahan gastrointestinal, penyakit ginjal, terapi bersama


dengan antikoagulan, pasien lanjut usia, kondisi lemah.

Mekanisme Kerja Meloxicam bekerja dengan cara menghambat biosynthesize


prostaglandin yang merupakan mediator peradangan melalui
penghambatan cyclooxygenase-2 (COX-2), sehingga terjadinya
proses peradangan dapat dihambat.
Sediaan Tablet 7,5 mg : Cameloc, Flasicox, Futamel, Loxinic, Mexoc, Meflam,
Meloxicam OGB Dexa, Mevilox, dll.
Tablet 15 mg : Arimet, Cameloc, Denilox, Flamoxi, Futamel, Meflam,
Melaxon, Moxam, Nulox, Paxicam, Velcox, dll.
Suppotoria 15 mg : Meloxicam OGB Dexa, Mexpharm, Moxam, Ostelox.
Gambar

3. Metil Prednisolone

Metil Prednisolone
Kelas Terapi Kortikosteroid
Komposisi Metil Prednisolone
Indikasi Sebagai antiinflamasi atau imunosupresi pada beberapa penyakit
hematologi, alergi, inflamasi, neoplasma maupun autoimun
Dosis Dosis umum dewasa : 4-48 mg/hari dalam dosis terbagi (dosis
disesuaikan dengan jenis penyakit dan respon pasien.
Dosis umum anak : antiinflamasi : peroral, IV, dan IM : 0,5-1,7
mg/kgBB/hari diberikan dalam dosis terbagi.
Cedera spinal akut : dalam bentuk sodium suksinat diberikan
30mg/kgBB/dosis selama 15 menit diikuti 45 menit kemudian
dengan dosis rumatan lewat infus kontinyu 5,4 mg/kgBB/jam
selama 23 jam.

Interaksi obat Ondansentron :Kombinasi obat ondansetron dengan kandungan


bisacodyl yang terdapat di Dulcolax berpotensi menyebabkan efek
samping yang berbahaya, seperti menurunnya kadar magnesium dan
kalium di dalam darah.
Magnesium Hidroksida :Obat-obatan magnesium hidroksida untuk
penurun asam lambung sebaiknya tidak dikonsumsi bersamaan
dengan Dulcolax. Hal ini dikarenakan magnesium hidroksida
berpotensi mengurangi efek bisacodyl.
Furosemide :Furosemide adalah obat diuretik untuk mengurangi
kadar cairan atau garam berlebih di dalam tubuh. Jika digabungkan
dengan Dulcolax, ada kemungkinan terjadi dehidrasi,
ketidakseimbangan kadar elektrolit, kejang, serta masalah ginjal.
Kontraindikasi Kontraindikasi absolut : tidak ada
Kontraindikasi relative : diabetes mellitus. Tukak peptic
/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau gangguan system
kardiovaskular lainnya.
Efek Samping Penghentian obat secara tiba-tiba penghentian pemberian obat
secara tiba-tiba atau pemberian obat secara terus-menerus terutama
dengan dosis besar.

Komplikasi yang timbul akibat penggunaan lama adalah : Gangguan


cairan dan elektrolit, hiperglikemia, glikosuria, mudah mendapat
infeski, pasien tukak peptic mungkin dapat mengalami perdarahan
atau peforasi, miopati, psikosis
Mekanisme Kerja Dengan menekan sistem imun, sehingga tubuh tidak melepas
senyawa kimia yang memicu terjadinya peradangan. Selain lupus
dan multiple sclerosis, beberapa penyakit lain yang dapat
menyebabkan reaksi peradangan adalah rheumatoid arthritis,
psoriasis, kolitis ulseratif, dan Crohn's disease
Gambar

4. KSR
Potassium Chloride
Kelas Terapi Elektrolit
Komposisi Potassium Chloride
Indikasi Kalium klorida dapat digunakan sebagai pengganti ion-ion kalium
elektrolit. Selain itu, KSR tablet ini juga dapat digunakan sebagai
sumber kation, atau ion bermuatan positif. Kation dari cairan di
dalam sel tubuh penting untuk pemeliharaan asam-basa serta
keseimbangan cairan dan elektrolit sel.
Dosis Dosis 600 mg :1-2 tablet sebanyak 2-3 kali/hari.

Interaksi obat Inhibitor ACE, siklosporin, diuretik hemat kalium seperti


spironolakton, triamteren, atau amilorida.
Penggunaan KSR tablet bersama obat di atas dapat meningkatkan
risiko terjadinya hiperkalemia atau peningkatan kadar kalium dalam
tubuh. Hal tersebut dapat memicu terjadinya kelemahan otot,
gangguan irama jantung, dan kesemutan
Kontraindikasi Pasien gagal ginjal tahap lanjut.Pasien yang memiliki kerusakan
kelenjar adrenal, sehingga tidak mampu memproduksi hormon yang
memadai untuk tubuh (penyakit Addison) dan tidak diobati.Pasien
penderita dehidrasi akut.Jumlah kalium dalam darah sangat tinggi
(hiperkalemia).Pasien yang memiliki penyumbatan pada saluran
pencernaan.

Efek Samping Diare, mual muntah, sakit perut, perut kembung.

Mekanisme Kerja Potassium atau Kalium klorida adalah kation atau ion bermuatan
positif utama dari cairan intraseluler (di dalam sel tubuh). Zat ini
penting untuk proses fisiologis, seperti konduksi impuls saraf di
jantung, otak, dan otot rangk, kontraksi otot jantung, rangka dan
polos, pemeliharaan fungsi ginjal normal, metabolisme karbohidrat,
keseimbangan asam basa, serta sekresi lambung.
Berdasarkan proses kerja obat dalam tubuh, kalium klorida
diketahui memiliki status:
 Absorpsi: Diserap dengan baik dan mudah dari saluran
pencernaan.
 Distribusi: Didistribusikan ke dalam sel.
 Ekskresi: Terutama melalui urine, feses, dan keringat (sedikit).
Gambar

5. Allopurinol
Allopurinol
Kelas Terapi Analgesik & Obat Anti Inflamasi Non Steroid
Komposisi Allopurinol
Indikasi Hiperurisemia seperti artritis gout, tofus, nefrolitiasis, kondisi
maligna yang menyebabkan nefropati asam urat akut, gangguan
enzim yang menyebabkan produksi asam urat berlebih, batu ginjal
akibat hiperurikosuria yang tidak teratasi dengan cairan, diet / terapi
lain
Dosis Oral : setelah makan, Dewasa dosis awal 100mg sebagai dosis
tunggal, naikkan secara bertahap dalam 1-3 minggu, sesuaikan
dengn kadar asam urat dalam plasma atau urin.
Dosis penunjang :200-600 mg.
Anak dengan neoplasma / gangguan enzim: 10-20 mg/kgBB/hari.
Interaksi obat  Meningkatkan efek samping warfarin, teofilin, ciclosporin,
dan cyclophosphamide.
 Meningkatkan efek samping allopurinol bila digunakan
dengan ampisilin atau amoxicillin.
 Meningkatkan efek samping allopurinol, bila digunakan
bersama obat diuretic golongan thiazide,
seperti hydroclorothiazide..
 Mengurangi efektivitas methotrexate.

Kontraindikasi Kontraindikasi allopurinol adalah jika terjadi reaksi


hipersensitivitas terhadap allopurinol atau komponen obat lainnya.
Peringatan utama pada penggunaan allopurinol adalah terkait efek
samping obat, penyakit gout atau gagal ginjal, dan penggunaan obat
lain.

Efek Samping Ruam, gangguam saluram cerna, hepatotoksik, paresthesia,


neuropati, gangguan darah
Mekanisme Kerja Allupurinol bekerja dengan cara menurunkan kadar asam urat dalam
darah dengan menghambat zat xanthine oxidase. Beberapa kondisi
yang bisa meningkatkan kadar asam urat yang bisa diatasi dengan
allupurinol adalah penyakit asam urat atau gout, gangguan ginjal,
termasuk batu ginjal, dan penderita kanker yang
menjalani kemoterapi.
Gambar

Anda mungkin juga menyukai