Anda di halaman 1dari 49

CASE REPORT STUDY

BANGSAL NEUROLOGI
“LOW BACK PAIN”

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)


DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH M. NATSIR SOLOK

Preseptor :

dr. Yulson Rasyid, Sp.S

Disusun Oleh :

Dayang Gesti Pertiwi, S.Farm (3105051)


Hayatul Fisilmi Khaffah, S.Farm (3105055)
Rika Sri Anggraini, S.Farm (3105061)

APOTEKER ANGKATAN XXVII

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

PADANG

2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Study Praktek
Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Rumah Sakit Umum Daerah M. Natsir Solok.
Dalam proses penyelesaian laporan kasus ini penulis banyak mendapatkan
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh sebab itu pada kesempatan ini
penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Bapak Yulson Rasyid, Sp.S selaku preseptor yang telah meluangkan waktu
untuk memberikan bimbingan, petunjuk, arahan sehingga laporan Case Report
Study ini dapat diselesaikan.
2. Ibu apt. Wihelmidayani, S.Farm selaku kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Umum Daerah M. Natsir Solok, serta seluruh apoteker yang bertugas yang
telah yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, ilmu, pengalaman dan
bantuan kepada penulis untuk melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker
(PKPA) di Rumah Sakit Umum Daerah M. Natsir Solok.
3. Bapak apt. Afriko, S. Farm selaku clinical instructor yang telah meluangkan
waktu untk memberikan bimbingan, petunjuk, arahan sehingga laporan Case
Report Study ini dapat diselesaikan.
4. Staf tenaga kefarmasian di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah M.
Natsir Solok yang telah memberikan bantuan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan Case Report Study ini.
5. Staf perawat yang bertugas di bangsal Neuro Rumah Sakit Umum Daerah M.
Natsir Solok yang telah memberikan bantuan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan Case Report Study ini.
Terimakasih atas semua bimbingan, bantuan dan dukungan, yang telah
diberikan kepada penulis, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua untuk
perkembangan ilmu pengetahuan pada masa mendatang khususnya tentang
pelayanan klinis Instalasi Farmasi Rumah Sakit mengenai “Low Back Pain”.
Penulis menyadari laporan kasus ini memiliki banyak kekurangan dan jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak.

Solok, Februari 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................1
BAB I................................................................................................................................2
1.1 Latar Belakang.................................................................................................2
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................3
1.3 Tujuan...............................................................................................................3
BAB II...............................................................................................................................4
2.1 LBP (Low Back Pain )......................................................................................4
2.1.1 Definisi.............................................................................................................4
2.1.2 Etiologi.............................................................................................................4
2.1.3 Gejala...............................................................................................................6
2.1.4 Patofisiologi......................................................................................................7
2.1.5 Durasi Nyeri.....................................................................................................8
2.1.5 Manifestasi Klinis............................................................................................9
2.1.6 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang.......................................................10
2.1.7 Tatalaksana LBP...........................................................................................12
2.3 Tinjauan Obat................................................................................................16
BAB III...........................................................................................................................23
3.1 Identitas Pasien...............................................................................................23
3.2 Riwayat Penyakit............................................................................................23
3.3 Data Penunjang....................................................................................................24
3.3.1 Data Organ Vital...........................................................................................24
3.3.2 Data Laboratorium.......................................................................................25
3.4 Follow Up..............................................................................................................27
3.5 Lembar Identifikasi Obat dan Perhitungan Dosis.............................................31
BAB IV............................................................................................................................32
BAB V.............................................................................................................................36
5.1 KESIMPULAN.....................................................................................................36
5.2 SARAN..................................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................37
LAMPIRAN...................................................................................................................39

1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Low back pain (LBP) dialami hampir oleh setiap orang selama hidupnya.
Di Negara barat misalnya, kejadian LBP telah mencapai proporsi epidemik.
Prevalensi kejadian low back pain di dunia setiap tahunnya sangat bervariasi
dengan angka mencapai 15-45%. Menurut WHO (2013) menunjukkan bahwa
33% penduduk di negara berkembang nyeri persisten. Data epidemiologi
mengenai LBP di Indonesia belum ada, namun insiden berdasarkan kunjungan
pasien beberapa rumah sakit di Indonesia berkisar antara 3-17% ( Depkes, 2011).
Low Back Pain (LBP) adalah nyeri pada punggung bawah yang berasal
dari tulang belakang baik berupa otot, saraf atau organ yang lainnya yang
diakibatkan oleh penyakit maupun aktivitas tubuh yang tidak baik (Rakel, 2005).
Dari 1.144.000 kasus LBP yang menyerang punggung sebesar 493.000 kasus,
anggota tubuh bagian bawah 224.000 kasus dan anggota tubuh bagian atas
426.000 kasus (HSC,2007).
Nyeri punggung bawah dapat dipengaruhi beberapa faktor antara lain
umur, jenis kelamin, indeks masa tubuh, jenis pekerjaan yang biasanya berkaitan
dengan sikap tubuh tertentu (duduk, berdiri, mengangkat, mendorong,
membegkokkan badan) dan masa kerja. Kebiasaan sehari-hari juga dapat
merupakan faktor terjadinya LBP antara lain kebiasaan merokok, konsumsi
alkohol, olahraga, dan aktivitas rumah tangga sehari-hari. Faktor repetitif, vibrasi,
paritas dan stres psikososial turut berperan terjadinya LBP, (Wheeler AH, 2002).
Low Back Pain yang timbul karena duduk lama merupakan kejadian yang
sering terjadi saat ini. 60% pekerja usia dewasa mengalami LBP hal tersebut
karena banyaknya pekerjaan yang dilakukan dengan sikap duduk lama saat ini.
Duduk lama yang salah dapat menyebabkan otot punggung kaku sehingga dapat
merusak jaringan disekitarya. Bila kondisi tersebut berjalan dalam waktu yang
lama akan menyebabkan penekanan pada bantalan saraf di tulang belakang
sehingga dapat menyebabkan Hernia Nukleus Pulposus (HNP) (Zanni, 2007).
Kebanyakan kasus LBP terjadi dengan adanya pemicu seperti kerja
berlebihan, penggunaan kekuatan otot berlebihan, ketegangan otot, cedera otot,

2
ligamen, maupun diskus yang menyokong tulang belakang. Namun, keadaan ini
dapat juga disebabkan oleh keadaan nonmekanik seperti peradangan pada
ankilosing spondilitis dan infeksi, neoplasma, dan osteoporosis.
Penyebab tersering LBP adalah pembebanan atau distorsi mekanik seperti
mengangkat barang. Terutama pada orang dengan otot dinding perut atau
pinggang dan punggung yang kurang kuat. Nyeri terjadi pada gerakan ke depan,
ke lumbosakral dengan atau tanpa nyeri alih ke region gluteal. Posisi duduk yang
terlalu lama, kegiatan mengangkat benda yang cukup berat yang dilakukan
mahasiswa saat proses pembelajaran memungkinkan menjadi penyebab timbulnya
LBP.

I.2 Rumusan Masalah


1. Apakah terdapat Drug Related Problem’s (DRP’s) dari obat-obatan yang
diberikan kepada pasien ?
2. Bagaimana solusi jika terdapat Drug Related Problem’s (DRP’s) dari obat-
obatan yang diberikan kepada pasien ?

I.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apakah terdapat Drug Related Problem’s (DRP’s) dari
obat-obatan yang diberikan kepada pasien.
2. Untuk mencari solusi jika terdapat Drug Related Problem’s (DRP’s) dari
obat-obatan yang diberikan kepada pasien.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 LBP (Low Back Pain )


2.1.1 Definisi
Menurut The International Association for the Study of Pain, nyeri
didefinisikan sebagai suatu rasa yang tidak menyenangkan dan merupakan
pengalaman emosional yang berhubungan dengan kerusakan jaringan dan
terkadang nyeri digunakan untuk menyatakan adanya kerusakan jaringan (Parjoto,
2006).
Low back pain merupakan suatu nyeri pada daerah punggang bawah yang
dihasilkan dari rangsangan fisik atau sikap tubuh yang buruk (poor posture),
merupakan suatu proses kumulatif yang menyebabkan punggung bagian bawah di
bawah tekanan mekanik yang berat yang menyebabkan penurunan disabilitas dan
keterbatasan gerak sendi lumbosacral dan merupakan salah satu kondisi
muskuloskeletal yang terdapat pada populasi dewasa. (Balague, et.al, 2012).

2.1.2 Etiologi
Menurut Borrenstein (2004), faktor-faktor penyebab nyeri punggung
bawah sebagian besar berasal dari faktor mekanik, dapat diklasifikasikan menjadi
2 kategori, yaitu :
a. Faktor mekanik static.
Faktor mekanik statik adalah deviasi sikap atau postur tubuh yang
menyebabkan peningkatan sudut lumbosakral (sudut antara segmen Vertebra L5
dan Vertebra S1) yang normalnya 30-34, atau peningkatan lengkung lordotik
lumbal dalam waktu yang cukup lama, serta menyebabkan pergeseran titik pusat
berat badan (center of gravity/CoG), yang normalnya berada di garis tengah
sekitar 2,5 cm di depan segmen Vertebra S2. Peningkatan sudut lumbosakral dan
pergeseran CoG tersebut akan menyebabkan peregangan pada ligamen dan
berkontraksinya otot-otot yang berusaha untuk mempertahankan postur tubuh
yang normal, akibatnya dapat terjadi sprain atau strain pada ligamen atau otot-otot
sekitar punggung bawah yang menimbulkan nyeri.

4
b. Faktor mekanik dinamik
Faktor mekanik dinamik atau kinetik yaitu terjadinya stress atau beban
mekanik abnormal pada struktur jaringan (ligamen atau otot) di daerah punggung
bawah saat melakukan gerakan. Stress atau beban mekanik tersebut melebihi
kapasitas fisiologis atau toleransi otot maupun ligamen di daerah punggung
bawah. Gerakan yang potensial menimbulkan nyeri punggung bawah
muskuloskeletal adalah gerakan kombinasi terutama fleksi dan rotasi, dan bersifat
repetitif, apalagi disertai dengan beban, misalnya ketika sedang mengangkat
beban yang berat.
Sedangkan menurut Bull (2007), faktor-faktor resiko pada nyeri punggung bawah
dapat dibagi menjadi 2 kelompok utama, yaitu faktor eksternal atau pekerjaan dan
faktor internal :
a. Faktor eksternal atau identik dengan aktivitas dan pekerjaan
1) Pekerjaan fisik yang berat, yang terutama memberikan tekanan yang cukup
besar pada punggung bawah.
2) Pekerjaan yang berhubungan dengan posisi statik yang berkepanjangan,
misalnya berdiri atau duduk yang cukup lama, apalagi disertai dengan
vibrasi atau getaran pada tubuh, misalnya mengendarai mobil, truk, atau
mengoperasikan alat-alat perindustrian.
3) Pekerjaan yang dilakukan dengan gerakan membungkuk atau memutar
tubuh secara berulang-ulang.
b. Faktor internal
1) Faktor internal berkaitan dengan individu itu sendiri, antara lain usia atau
degeneratif, dari berbagai studi epidemiologik, kejadian nyeri punggung
bawah meningkat pada usia 35 tahun dan mencapai puncaknya pada usia
sekitar 55 tahun.
2) Antropometrik, berhubungan dengan berat badan, individu dengan obesitas
mempunyai resiko yang lebih besar mengalami nyeri punggung bawah
karena obesitas menyebabkan hiperlordosis lumbal sehingga terjadi
pergeseran titik pusat berat badan ke depan.

5
Menurut (Uritis, I, 2019) secara garis besar sumber nyeri dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu nyeri pada aksial lumbosacral, radikular, dan nyeri alih
(referred pain) seperti yang dijelaskan sebagai berikut :
1. Nyeri pada aksial lumbosacral adalah nyeri yang yang dirasakan pada vertebrae
lumbar (L1-L5) dan vertebrae sacral (S1 – daerah sacrococcygeal junction).
2. Nyeri radikular adalah nyeri yang menjalar ke ekstremitas mengikuti
dermatome akibat iritasi pada saraf atau ganglion dorsalis.
3. Nyeri alih adalah nyeri yang menjalar ke bagian tubuh yang jauh dari sumber
nyeri dan tidak mengikuti dermatome.

2.1.3 Gejala
McKenzie mengemukakan tiga gejala utama yang termasuk dalam
kelompok LBP Mekanik :
1. Sindroma Postural
Biasanya dijumpai pada usia dibawah 30 tahun terutama mereka yang
pekerjaannya memerlukan posisi duduk dan kurang berolah raga, nyerinya
bersifat intermiten dan timbul akibat deformasi jaringan lunak, ketika jaringan
lunak sekitar segmen lumbalis dalam posisi teregang dalam waktu yang lama.
2. Sindroma disfungsi
Biasanya dijumpai pada usia diatas 30 tahun, kecuali jika disebabkan oleh
trauma sering dijumpai adanya postur yang buruk dalam jangka waktu lama (lebih
dari 10 tahun) dan berupa hasil akibat spondylosis , trauma, atau derangement.
Sindroma disfungsi adalah gejala kedua di mana terjadinya adaptive shorthening
dan hilangnya mobilitas yang menyebabkan nyeri sebelum dapat mencapai
gerakan akhir secara penuh. Kondisi ini timbul karena gerakan yang dihasilkan
tidak cukup dilakukan pada saat pemendekan jaringan lunak berlangsung.
Disfungsi ini dinamai berdasarkan gerakan yang hilang atau dibatasi misalnya
disfungsi fleksi akan membatasi kemampuan seorang individu untuk
membungkuk ke depan di daerah tulang belakang.
3. Sindroma derangement
Biasanya dijumpai pada usia antara 20-55 tahun, pasien mempunyai sikap
duduk yang salah. Sindroma derangement adalah situasi di mana posisi istirahat
yang normal dari dua permukaan artikular vertebra yang berdekatan terganggu

6
sebagai akibat dari perubahan posisi cairan nukleus. Perubahan posisi nukleus
juga dapat mengganggu materi anular. Perubahan dalam sendi akan
mempengaruhi kemampuan permukaan sendi untuk bergerak dalam jalur normal.
Kondisi ini menjadi menyakitkan ketika terjadi intrudes nukleus pada jaringan
lunak yang sensitif terhadap nyeri. Gejala cenderung tersentralisasi dan akhirnya
berkurang sebagai hasil dari relokasi diskus dan deformitas jaringan sekitarnya
berkurang.

2.1.4 Patofisiologi
Struktur spesifik dalam system saraf terlibat dalam mengubah stimulus
menjadi sensasi nyeri. Sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri
disebut sebagai system nosiseptif. Sensitifitas dari komponen system nosiseptif
dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor dan berbeda diantara individu. Tidak
semua orang yang terpajan terhadap stimulus yang sama mengalami intensitas
nyeri yang sama. Sensasi sangat nyeri bagi seseorang mungkin hampir tidak terasa
bagi orang lain.
Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang
berespons hanya pada stimulus yang kuat, yang secara potensial merusak, dimana
stimuli tersebut sifatnya bisa kimia, mekanik, termal. Reseptor nyeri merupakan
jaras multi arah yang kompleks. Serabut saraf ini bercabang sangat dekat dengan
asalnya pada kulit dan mengirimkan cabangnya ke pembuluh darah lokal, sel-sel
mast, folikel rambut dan kelenjar keringat. Stimuli serabut ini mengakibatkan
pelepasan histamin dari sel-sel mast dan mengakibatkan vasodilatasi. Serabut
kutaneus terletak lebih kearah sentral dari cabang yang lebih jauh dan
berhubungan dengan rantai simpatis paravertebra system saraf dan dengan organ
internal yang lebih besar.
Sejumlah substansi  yang dapat meningkatkan transmisi atau persepsi
nyeri meliputi histamin, bradikinin, asetilkolin dan substansi prostaglandin
dimana zat tersebut yang dapat meningkatkan efek yang menimbulkan nyeri dari
bradikinin. Substansi lain dalam tubuh yang berfungsi sebagai inhibitor terhadap
transmisi nyeri adalah endorfin dan enkefalin yang ditemukan dalam konsentrasi
yang kuat dalam system saraf pusat.

7
Kornu dorsalis dari medulla spinalis merupakan tempat memproses
sensori, dimana agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada system
assenden harus diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri
yang terletak dalam kulit dan organ internal. Proses nyeri terjadi karena adanya
interaksi antara stimulus nyeri dan sensasi  nyeri.
Patofisiologi Pada sensasi nyeri punggung bawah dalam hal ini kolumna
vertebralis dapat dianggap sebagai sebuah batang yang elastik yang tersusun atas
banyak unit vertebrae dan unit diskus intervertebrae yang diikat satu sama lain
oleh kompleks sendi faset, berbagai ligamen dan otot paravertebralis. Konstruksi
punggung yang unik tersebut memungkinkan fleksibilitas sementara disisi lain
tetap dapat memberikan perlindungan yang maksimal terhadap sum-sum tulang
belakang. Lengkungan tulang belakang akan menyerap goncangan vertical pada
saat berlari atau melompat. Batang tubuh membantu menstabilkan tulang
belakang. Otot-otot abdominal dan toraks sangat penting ada aktifitas mengangkat
beban. Bila tidak pernah dipakai akan melemahkan struktur pendukung ini.
Obesitas, masalah postur, masalah struktur dan peregangan berlebihan pendukung
tulang belakang dapat berakibat nyeri punggung.
Diskus intervertebralis akan mengalami perubahan sifat ketika usia
bertambah tua. Pada orang muda, diskus terutama tersusun atas fibrokartilago
dengan matriks gelatinus. Pada lansia akan menjadi fibrokartilago yang padat dan
tak teratur. Degenerasi diskus intervertebra merupakan penyebab nyeri punggung
biasa. Diskus lumbal bawah, L4-L5 dan L5-S6, menderita stress paling berat dan
perubahan degenerasi terberat. Penonjolan diskus atau kerusakan sendi dapat
mengakibatkan penekanan pada akar saraf ketika keluar dari kanalis spinalis, yang
mengakibatkan nyeri yang menyebar sepanjang saraf tersebut.

2.1.5 Durasi Nyeri

Durasi nyeri pada LBP dibagi berdasarkan waktu (Heuche, 2013).:


1. Akut (<6 minggu)
2. Sub Akut (6-12 minggu)
3. Kronis (>12 minggu).

8
2.1.5 Manifestasi Klinis
Secara praktis manifestasi klinis diambil dari pembagian berdasarkan
sistem anatomi :
1. LBP Viscerogenik
Tipe ini sering nyerinya tidak bertambah berat dengan adanya aktivitas
maupun istirahat. Umumnya disertai gejala spesifik dari organ viseralnya. Lebih
sering disebabkan oleh faktor ginekologik, kadang-kadang didapatkan spasme
otot paravertebralis dan perubahan sudut ferguson pada pemeriksaan radiologik,
nyeri ini disebut juga nyeri pinggang akibat referred pain.
2. LBP Vaskulogenik
Tahap dini nyerinya hanya sakit pinggang saja yang dirasakan, nyeri
bersifat nyeri punggung dalam, nyeri sering menjalar kebokong, belakang paha,
dan kedua tungkai, nyeri sering menjalar kebokong, belakang paha, dan kedua
tungkai.  Nyeri tidak timbul karena adanya stress spesifik pada kolumna
vertebralis (membungkuk, batuk dan lain-lain).  Diagnosa ditegakkan apabila
ditemukan benjolan yang berpulpasi.
3. LBP Neurogenik 
Nyeri sangat hebat, bersifat menetap, sedikit berkurang pada saat bediri
tenang, terutama dirasakan pada saat malam hari. Nyeri dapat dibangkitkan
dengan aktivitas, dan rasa nyeri berkurang saat penderita berbaring, sering didapat
kompresi akar saraf, ditemukan juga spasme otot paravertebralis.
4. LBP Spondilogenik
Yang sering ditemukan adalah :
1) HNP : Nyeri disertai iskialgia, dirasakan sebagai nyeri pinggang, menjalar
kebokong, paha belakang tumit sampai telapan kaki.
2) Miofasial : Nyeri akibat trauma pada otot fasia atau ligamen, keluhan berupa
nyeri daerah pinggang, kurang dapat dilokasikan dengan tepat, timbul
mendadak waktu melakukan gerakan yang melampau batas kemampuan
ototnya.
3) Keganasan : Tumor ganas pada daerah vertebrae dapat bersifat primer atau
sekunder. Pada foto rontgen terlihat adanya destruksi, pemeriksaan
laboratorium terlihat adanya peningkatan alkalifostase.

9
4) Osteoporotik  : Terjadi pada lansia terutama wanita, nyeri bersifat pegal atau
nyeri radikuler karena adanya fraktur kompresi sebagai komplikasi osterporosis
tulang belakang.
5. LBP Psikogenik
Keluhan nyeri hebat tidak seimbang dengan kelainan organik yang
ditemukan, penderita memilih suatu mekanisme pembelaan terhadap ancaman
rasa amannya dengan menghindarkan diri bila tidak melakukan hal tertentu.
Keadaan ini akan menyebabkan otot-otot dalam keadaan tegang sehingga
meningkatkan spasme otot dan timbul rasa nyeri.

2.1.6 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang. Sekitar 85% pasien LBP didiagnosis LBP non-
spesifik pada pemeriksaan pertama (Chou, R, 2013).
Beberapa hal yang perlu digali pada anamesis pasien LBP kronis adalah
durasi nyeri yang dirasakan >12 minggu, lokasi nyeri dan penjalarannya, dan
keparahan nyeri yang dapat dievaluasi menggunakan skala (visual analog scale
atau numerical rating scale score). Sensasi nyeri, seperti rasa terbakar, gatal, baal,
atau sensasi aliran listrik harus dinilai. Selanjutnya, faktor yang memperingan dan
memperparah nyeri, riwayat pengobatan, riwayat penyakit dahulu, riwayat
keluarga, hingga fungsional pasien selama merasakan nyeri dalam melakukan
kerja dan aktivitas harian lain juga dinilai (Chou, R, 2013).
Setelah data anamnesis terkumpul, pemeriksaan fisik pasien dilakukan dari
pemeriksaan umum, yaitu tanda vital, cara berjalan (penggunaan alat bantu,
perpindahan, dan gait), keadaan umum, dan keadaanpsikologi (tingkah laku,
mood dan afek, proses pikir, serta tanda-tanda distres) (Chou, R, 2013).
Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk menilai kekuatan motorik pada
punggung dan ekstremitas inferior, keadaan sensoris, refleks tendon dalam, dan
refleks upper motor neuron (UMN) (Chou, R, 2013).

10
Pemeriksaan khusus pada LBP yang dapat dilakukan, seperti (Bagwell, J,
et.al, 2016) :
1. Patrick’s test
Dilakukan untuk mengevaluasi patologi pada panggul dan sakroiliaka yang
keduanya berhubungan dengan LBP. Nyeri pada daerah paha dirasakan patologi
yang terjadi di panggul dan nyeri pada punggung mengarah pada keadaan
patologis di sendi sakroiliaka.
2. Straight leg raise test
Akan menyebabkan tegang pada cabang saraf lumbar. Tes dikatakan positif bila
nyeri yang dirasakan adalah nyeri radikuler dari punggung atau panggul hingga
tumit.
3. Gaenslen’s test
Dilakukan dengan prinsip fleksi maksimal pada satu sisi sendi panggul dan
sisi sebelahnya pada keadaan ekstensi maksimal. Tes ini positif bila pasien
merasakan nyeri pada sendi sakroiliaka.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada LBP kronis adalah
pencitraan. Namun, pencitraan hanya dilakukan bila terjadi trauma pada usia di
atas 50 tahun, defisit neurologi yang parah atau progresif, dicurigai adanya
kelainan neurologis serius, imunosupresi, riwayat kanker, osteoporosis atau
penggunaan kortikosteroid, serta penurunan berat badan atau demam tanpa
etiologi jelas. Pilihan pemeriksaan pencitraan dapat dimulai dari plain X-ray
hingga modalitas lebih canggih, yaitu magnetic resonance imaging (MRI) dan CT
Scan. Pasien LBP kronis yang dicurigai karena keganasan atau infeksi dapat
dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa laju endap darah dan/atau C-Reactive
Protein. Pemeriksaan dengan electromyography (EMG) dan nerve conduction
velocity (NCV) membantu dalam menentukan radikulopati akun atau kronis dan
lokasi lesi patologis (Tan, A, et,al, 2016).

11
2.1.7 Tatalaksana LBP

Adapun tata laksana yang dapat dilakukan untuk mengatasi Low Back
Pain ini adalah sebagai berikut :
A. Terapi Farmakologi
Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa pada LBP yang masih dirasakan lebih dari
tiga bulan atau LBP kronis bertujuan untuk mengurangi nyeri,
menghilangkan kekakuan dan ketegangan pada otot serta meningkatkan
kualitas hidup pasien. Prognosis LBP kronis akan baik apabila rasa nyeri
dapat diatasi dan penjalaran nyeri djuga diatasi. Relaps dapat terjadi
apabila pasien melakukan aktivitas yang memberatkan kerja otot
punggung dan juga tulang belakang.
Terapi tersebut dapat menggunakan obat tunggal atau kombinasi
dengan dosis semiminimal mungkin, dapat diberikan analgetik non-
steroid, muscle relaxant, anti depresan atau kadang-kadang obat blokade
neuratik.
 Obat anti inflamasi non steroid (OAINS)
Merupakan golongan obat yang paling sering digunakan pada
tatalaksana LBP. Obat ini direkomendasikan untuk pasien LBP kronik
dalam jangka pendek. OAINS dapat mengurangi nyeri dan disabilitas pada
pasien LBP kronik dibandingkan dengan pemberian placebo. Obat anti
inflamasi non steroid bekerja dengan kemampuannya menghambat
produksi prostaglandin.
Prostaglandin menjadi media untuk berjalannya fungsi fisiologis
seperti barrier mukosa lambung, regulasi aliran darah ke ginjal, dan
regulasi endotel. Selain itu, prostaglandin berperan penting dalam proses
inflamasi dan nosiseptif. OAINS dapat diberikan secara oral atau
intravena.
Enzim yang pertama kali terlibat dalam sintesis prostaglandin
adalah cyclooxygenase (COX) 1 dan 2. Keduanya bekerja dalam produksi

12
prostaglandin saat terjadi inflamasi dan nyeri, serta dapat berperan sebagai
autoregulator dan homeostasis dalam tubuh.
COX-1 merupakan enzim yang dominal dalam proses sintesis
dengan melindungi epitel lambung dan hemostasis. COX-2 merupakan
enzim yang berperan dalam sintesis prostaglandin yang diinduksi oleh
sitokin dan stres. OAINS nantinya akan menginhibisi enzim COX dan
mencegah terjadinya sintesis prostaglandin, menurunkan inflamasi, nyeri,
dan demam.
Obat anti inflamasi non steroid tersedia dalam 2 bentuk, yaitu
OAINS non-selektif yang dapat menghambat enzim COX-1 dan COX-2
(ibuprofen, diklofenak, naproksen) dan OAINS selektif inhibitor COX-2
yang hanya dapat menghambat enzim COX-2 (nimesulid, celecoxib).
Inhibitor COX-2 mulai dikembangkan karena adanya laporan mengenai
efek samping OAINS non-selektif terhadap saluran pencernaan.
Penghambatan COX-1 juga dapat mengurangi proteksi lambung, sehingga
menyebabkan peningkatan risiko komplikasi saluran pencernaan (ulkus
gaster, perforasi, perdarahan saluran cerna). Inhibitor COX-2 selektif
dapat menurunkan risiko ini, akan tetapi golongan ini memiliki efek
samping pada kardiovaskular.
Untuk mencegah efek samping pada saluran pencernaan, dapat
diberikan obat gastroprotektif dengan dosis efektif terendah dan dalam
waktu yang singkat. Penggunaan OAINS selama 3 bulan diketahui dapat
menurunkan keluhan nyeri serta disabilitas jangka waktu segera dan
jangka waktu pendek. Sehingga saat ini, OAINS masih dijadikan sebagai
pilihan pertama analgesik pasien LBP kronik.
Selain OAINS, obat golongan gabapentinoid juga dijadikan pilihan
tatalaksana LBP kronis. Gabapentinoid merupakan golongan obat
antikonvulsan yang biasa digunakan pada kondisi epilepsi, neuralgia post
herpes, dan nyeri neuropati. Bahkan, pregabalin seringkali digunakan
dalam tatalaksana gangguan cemas menyeluruh. Gabapentinoid sebagai
contoh adalah gabapentin dan pregabalin yang bekerja melalui modulasi

13
neurotransmiter pada reseptor presinaps neuron aferen. Kedua obat ini
bekerja pada subunit α-2 delta-2 pada kanal kalsium yang bergantung
dengan tegangan dan memiliki farmakodinamika yang mirip dengan nyeri
dan gejala lainnya. Golongan ini diketahui efektif pada keadaan nyeri
neuropati. Penggunaan gabapentinoid pada LBP kronik membutuhkan
titrasi dosis terapi secara perlahan dan agar dapat mempertahankan
manfaat secara lebih lama.
Efek samping yang ditimbulkan pada golongan ini adalah sedasi,
pusing, edema perifer, kelelahan, mual, dan penambahan berat badan.
 Musle Relaxant
Muscle relaxants terdiri atas berbagai macam obat berbeda yang
bekerja pada reseptor yang berbeda pula. Golongan ini dikategorikan
menjadi 2, yakni agen antispastik dan agen antispasmodik.
Agen antispastik bekerja melalui korda spinalis atau otot rangka
secara langsung untuk meningkatkan hipertonisitas otot dan spasme
involunter, sedangkan agen antispasmodik bekerja dengan mengurangi
spasme otot melalui perubahan konduksi sistem saraf pusat. Contoh obat
golongan ini antara lain eperisone, tizanidine (agonis α-2), orphenadrine
(antagonis kolinergik muskarinik, antihistamin), carisoprodol (GABA-
ergic), baclofen (agonis GABA-B), dan benzodizepin.
Dalam sebuah studi serial kasus, pemberian eperisone 50 dan 100
mg sebanyak dua kali sehari selama 10 hari memiliki hasil yang signifikan
terhadap pengurangan nyeri spontan dan terprovokasi berdasarkan hasil
nilai Visual Analogue Scale, outcome fisiologis dengan pengurangan
handto-floor distance, pengurangan kontraktur otot dan gangguan
fungsional spina, perbaikan pada refleks tendon, dan perbaikan pada nyeri
ekstremitas bawah jika dibandingkan dengan pemberian eperisone selama
3 hari.
Eperisone dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dibandingkan
dengan thiocolchiside dan diazepam, selain itu eperisone tidak
membutuhkan modifikasi dosis sehingga aman dalam

14
penggunaannya.Pada LBP kronik, golongan obat ini dapat mengurangi
gejala pada pasien tertentu. Pada nyeri neuropati, belum ada cukup bukti
manfaat muscle relaxants pada radikulopati. Efek samping obat golongan
ini adalah sakit kepala, mual, pusing, somnolen, risiko ketergantungan
bahkan hingga penyalahgunaan obat sehingga saat ini penggunaannya
sangat dibatasi.
 Opioid
Obat ini cukup efektif untuk mengurangi nyeri, tetapi seringkali menimbulkan
efek samping mual dan mengantuk disamping pemakaian jangka panjang bisa
menimbulkan toleransi dan ketergantungan obat. Disarankanrontgen dan uji
maunthox. Bila dicurigai kelainan endokrin atau tulang, dapat dilakukan
pemeriksaan usia tulang dan bone survey. Bila dicurgai kelainan neurologis, dapat
dilakukan pemeriksaan computed tomography (CT) scan kepala.

B. Terapi Non Farmakologi


1. Tirah Baring
Tempat tidur dengan alat yang keras dan rata untuk mengendorkan
otot yang spasme, sehingga terjadi relaksasi otot maksimal. Dibawah lutut
diganjal batal untuk mengurangi hiperlordosis lumbal, lama tirah baring
tidak lebih dari 1 minggu (Chou, et,al, 2007).
2. Korset lumbal
Korset lumbal mungkin bermanfaat untuk mencegah kambuhnya
LPB dan mengurangi nyeri pada NPB kronik(Chou et al.,2007).
3. Fisioterapi
Dalam bentuk terapi panas, stimulasi listrik perifer, traksi pinggul,
terapi latihan dan ortesa (kovset) (Chou et al.,2007).
4. Akupuntur
Kemungkinan bekerja dengan cara pembentukan zat neurohumoral
sebagai neurotras mitter dan bekerja sebagai activator serat intibitor
desenden yang kemudian menutup gerbang nyeri (Chou et al, 2007).

15
2.3 Tinjauan Obat
- Ringer Laktat

Ringer Laktat
Kelas Terapi Cairan dan elektrolit.
Komposisi Satu liter cairan ringer laktat memiliki komposisi elektrolit Na+
(130 mEq/L), Cl- (105 mEq/L), Ca+ (3 mEq/L), dan laktat (28
mEq/L). Osmolaritasnya sebesar 273 mOsm/L.
Indikasi Terapi cairan elektrolit.
Dosis Disesuaikan dengan umur, berat badan dan kebutuhan defisit cairan
pasien.
Interaksi obat Preparat Kalium dan Kalsium akan meningkatkan efek digitalis.
Kontraindikasi Hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, laktat asidosis.
Efek Samping Sensasi panas, infeksi pada tempat penyuntikan, trombosis
vena atau flebitis yang meluas dari tempat penyuntikan,
ekstravasasi, urtikaria dan pruritus.

- Meloxicam

Meloxicam
Kelas Terapi Antiinflamasi dan antirematik nonsteroid (AINS)
Komposisi Meloxicam
Indikasi Nyeri dan radang pada penyakit reumatik ; osteoarthritis yang
memburuk (jangka pendek) ; ankylosing spondilitis
Dosis Osteoartritis : 1x7,5 mg sehari bersama makan. Dapat ditingkatkan

16
sampai 15 mg/hari
Rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis : 1x15 mg sehari
bersama makan, dapat dikurangi hingga 7,5 mg sehari ; lansia : 7,5
mg sehari
Kontraindikasi Pasien riwayat hipersensitivitas terhadap meloxicam atau OAINS
lain, tukak peptic aktif, gangguan hati berat, gangguan ginjal berat,
anak dan remaja < 15 tahun, hamil, laktasi, perdarahan
gastrointestinal, perdarahan serebrovaskular atau perdarahan
lainnya.

Efek Samping Dispepsia, mual, muntah, nyeri perut, konstipasi, kembung,


diare, anemia, pruitis, ruam kulit, sakit kepala, edema,
peningkatan transaminase atau bilirubin serum.

Perhatian Riwayat perdarahan gastrointestinal, penyakit ginjal, terapi


bersama dengan antikoagulan, pasien lanjut usia, kondisi
lemah.
Mekanisme Kerja Meloxicam bekerja dengan cara menghambat biosynthesize
prostaglandin yang merupakan mediator peradangan melalui
penghambatan cyclooxygenase-2 (COX-2), sehingga
terjadinya proses peradangan dapat dihambat.
Sediaan Tablet 7,5 mg : Cameloc, Flasicox, Futamel, Loxinic,
Mexoc, Meflam, Meloxicam OGB Dexa, Mevilox, dll.
Tablet 15 mg : Arimet, Cameloc, Denilox, Flamoxi,
Futamel, Meflam, Melaxon, Moxam, Nulox, Paxicam,
Velcox, dll.
Suppotoria 15 mg : Meloxicam OGB Dexa, Mexpharm,
Moxam, Ostelox.
Gambar

- Methyl Prednisolone
Metil Prednisolone
Kelas Terapi Kortikosteroid

17
Komposisi Metil Prednisolone
Indikasi Sebagai antiinflamasi atau imunosupresi pada beberapa penyakit
hematologi, alergi, inflamasi, neoplasma maupun autoimun
Dosis Dosis umum dewasa : 4-48 mg/hari dalam dosis terbagi (dosis
disesuaikan dengan jenis penyakit dan respon pasien.
Dosis umum anak : antiinflamasi : peroral, IV, dan IM : 0,5-1,7
mg/kgBB/hari diberikan dalam dosis terbagi.
Cedera spinal akut : dalam bentuk sodium suksinat diberikan
30mg/kgBB/dosis selama 15 menit diikuti 45 menit kemudian
dengan dosis rumatan lewat infus kontinyu 5,4 mg/kgBB/jam
selama 23 jam.

Interaksi obat Ondansentron : Kombinasi obat ondansetron dengan kandungan


bisacodyl yang terdapat di Dulcolax berpotensi menyebabkan efek
samping yang berbahaya, seperti menurunnya kadar magnesium dan
kalium di dalam darah.
Magnesium Hidroksida : Obat-obatan magnesium hidroksida untuk
penurun asam lambung sebaiknya tidak dikonsumsi bersamaan
dengan Dulcolax. Hal ini dikarenakan magnesium hidroksida
berpotensi mengurangi efek bisacodyl.
Furosemide : Furosemide adalah obat diuretik untuk mengurangi
kadar cairan atau garam berlebih di dalam tubuh. Jika digabungkan
dengan Dulcolax, ada kemungkinan terjadi dehidrasi,
ketidakseimbangan kadar elektrolit, kejang, serta masalah ginjal.
Kontraindikasi Kontraindikasi absolut : tidak ada
Kontraindikasi relative : diabetes mellitus. Tukak peptic
/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau gangguan system
kardiovaskular lainnya.
Efek Samping Penghentian obat secara tiba-tiba penghentian pemberian obat
secara tiba-tiba atau pemberian obat secara terus-menerus terutama
dengan dosis besar.
Komplikasi yang timbul akibat penggunaan lama adalah : Gangguan
cairan dan elektrolit, hiperglikemia, glikosuria, mudah mendapat
infeski, pasien tukak peptic mungkin dapat mengalami perdarahan
atau peforasi, miopati, psikosis
Mekanisme Kerja Dengan menekan sistem imun, sehingga tubuh tidak melepas
senyawa kimia yang memicu terjadinya peradangan. Selain lupus
dan multiple sclerosis, beberapa penyakit lain yang dapat
menyebabkan reaksi peradangan adalah rheumatoid arthritis,
psoriasis, kolitis ulseratif, dan Crohn's disease

18
Gambar

- Eperisone
Eperisone

Kelas Terapi Muscle Relaxan

Komposisi Eperisone Hcl

Indikasi Indikasi eperisone adalah untuk spasme otot, paralisis spastik, dan
gejala miotonik pada berbagai penyakit. Eperisone diberikan dengan
dosis 50mg sebanyak tiga kali sehari setelah makan, dapat
ditingkatkan atau diturunkan sesuai gejala dan usia.

Dosis 50 mg/hari.
Dosis: 1 tablet diminum 3 kali sehari atau disesuaikan dengan
keparahan gejala, usia pasien, dan juga reaksi pasien terhadap obat
yang diberikan.

Interaksi obat Hindari penggunaan bersamaan dengan obat Tolperisone HCl dan
Methocarbamol.

Kontraindikasi Hindari penggunaan Eperione pada wanita menyusui.

Efek Samping Lemah, Pusing, Insomnia (sulit tidur), Mati rasa atau gemetar pada
ekstremitas, Disfungsi hati dan ginjal, Ruam kulit, Gatal-gata,
Gangguan saluran pencernaan, Gangguan kemih.
Mekanisme Kerja Eperisone bekerja pada sistem saraf pusat untuk melemaskan otot
skeletal dengan menginhibisi rigiditas otot dan supresi refleks
spinal. Eperisone menurunkan aktivitas eferen alfa dan gama, serta
menginhibisi aktivitas medulla spinalis. Eperison diketahui dapat
menekan kontraksi spontan pada spindel otot, serta respon dinamis
terhadap pemanjangan otot. Obat ini menekan aktivitas serabut saraf
aferen dari spindel otot 20 menit setelah konsumsi.

19
Gambar

- Simvastatin
Simvastatin

Kelas Terapi Hipolipidemik

Komposisi Simvastatin 20 mg

Indikasi Terapi tambahan pada diet untuk menurunkan kolesterol pada


hiperkolesterolemia primer atau dyslipidemia campuran.
Mengurangi insiden kejadian coroner klinis dan memperlambat
progesi aterosklerosis coroner pada pasien dengan penyakit jantung
coroner dan kadar koleterol 5,5 mmol/l atau lebih.

Dosis Awal : 5-10 mg/hari dosis tunggal pada malam hari. Dosis dapat
disesuaikan dengan interval 4 minggu. Maksimal 40 mg/hari
sebagai dosis tunggal (malam hari).

Interaksi obat Insiden miopati meningkat bila statin diberikan pada dosis tinggi
atau diberikan bersama fibrat atau asam nikotinat pada dosis
hipolipidemiknya, atau imunosuprsan cyclosporine.

Kontraindikasi Pasien dengan penyakit hati yang aktif. Kehamilan (karena itu
diperlukan kontrasepsi yang memadai selama pengobatan dan
selama 1 bulan setelahnya).

Efek Samping Miositis yang bersifat sementara. Sakit kepala, perubahan fungsi
ginjal dan efek saluran cerna (nyeri lambung, mual dan muntah),
perubahan uji fungsi hati, paresthesia dan efek pada saluran cerna
meliputi nyeri abdomen, flatulens, konstipasi, diare. Ruam kulit dan
reaksi hipersenstivitas (jarang).
Mekanisme Kerja mekanisme kerja menghambat 3-hidroksi-3-metil-glutaril-koenzim
A (HMG-CoA) reduktase yang mempunyai fungsi sebagai katalis
dalam pembentukan kolesterol. HMG-CoA reduktase bertanggung
jawab terhadap perubahan HMG-CoA menjadi asam mevalonat.

20
Gambar

- Dulcolax Suppositoria

Dulcolax Supp

Kelas Terapi Stimulant Laxatives

Komposisi Bisacodyl

Indikasi Konstipasi, pembersihan kolon sebelum prosedur radiologi dan


bedah

Dosis Dewasa dan anak < 4 tahun


Konstipasi : 5-10 mg per oral (malam) atau suppositoria 10 mg
(pagi)
Pembersihan kolon : 10-20 mg per oral (malam) dilanjutkan dengan
10 mg suppositoria (pagi).

Anak 4-10 tahun


Konstipasi : 5 mg per oral (malam) atau suppositoria 5 mg (pagi)
Pembersihan kolon : 5 mg per oral (malam) dilanjutkan dengan 5
mg suppositorria (pagi).

Interaksi obat Meningkatkan resiko terjadinya efek samping pada saluran


pencernaan jika digunakan dengan obat pencahar lain.
Meningkatkan resiko timbulnya gangguan elektrolit, jika digunakan
bersama diuretic atau kortikosteroid. Menurunkan efektivitas dari
bisacodyl dan resiko terjadinya sakit maag dan dyspepsia jika
digunakan bersama antasida.

Kontraindikasi Ileus, obstruksi intestinal, inflammatory bowel disease akut,


aapenditis, dehidrasi berat, fissure anal, hemaroid (untuk pemberian
suppositoria).

21
Efek Samping Gangguan saluran cerna (keram & nyeri abdomen, diare) reaksi
alergi, hypokalemia, iritasi local pada penggunaana suppositoria.

Mekanisme Kerja Merangsang mukosa, saraf intramural atau otot polos usus sehingga
meningkatkan peristalsis dan sekresi lender usus. Contoh sediaan
stimulant yang sering digunakan : Phenolphthalein, bisacodyl.
Gambar

22
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Data Umum

No. MR : 19.68.XX

Nama Pasien : Ny. E.H

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 51 Tahun

Ruangan : Rawat Neurologi

Diagnosa : LBP ( Low Back Pain )

Mulai Perawatan : 4 Februari 2021

Dokter Yang Merawat : dr. Y.R, Sp.S

3.2 Riwayat Penyakit


3.2.1. Keluhan Utama
- Nyeri punggung bagian bawah sejak 5 hari yang lalu
- Nyeri yang dirasakan menjalar ke kaki kanan

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien merasakan sakit punggung bagian bawah sejak 1 ( satu ) bulan


belakangan.

Riwayat Penyakit Terdahulu


Tidak ada riwayat dengan keluhan yang sama sebelumnya.

3.3 Data Penunjang


3.3.1 Data Organ Vital
Data Normal Tanggal

23
Klinik 04/02 05/02 06/02 07/02 08/02 09/02 10/02 11/02 12/02
TD 105/8 120/7 130/80 130/80
120/80 88/47 88/45 95/70
(mmHg) 0 0

Suhu
36 – 37.2 36,7 36.7 36 37,9 37 37 37 37 37
(°C)
Skala
7-8 3 3 2 3 2 2 2 2
nyeri

24
3.3.2 Data Laboratorium
Tanggal
Pemeriksaan Nilai Normal
04-02-2021 05-02-2021
Hemoglobin (g/dL) 13.0 – 18.0 13,2
Eritrosit (106/μL) 4.5 – 5.5 4,67
Hematokrit (%) 40.0 – 50.0 39,0
Nilai – nilai MC
MCV (fL) 82.0 – 92.0 L 83,5
MCH (pg) 27.0 – 31.0 830
MCHC (g/dL) 32.0 – 37.0 33,8
RDW-CV (%) 11.5 – 14.5 13,7
Leukosit (103/μL) 4.0-11.0 8,4
Trombosit (103/μL) 150–400 289
Hitung jenis ( Dff)
Basofil 0-1 0
Eusnofil 1-3 % L0
Neutrofil 50-70 H 80
Limfosit 20-40 L 14
ALC 1500-4000 L 1176
NLR >3,13 5,71
Kimia Klinik
Glukosa Darah mg/dL 60-100 mg/dL 96
Ureum 20-50 mg/dL 31
Kimia Klinik
Triglierida 40-160 mg/dL 124
Kolesterol Total 150-220 mg/dL H 240
Asam Urat 2,4-5,7 mg/dL 2,89

25
Keterangan
: High ( Tinggi )
: Low ( Rendah )
: - ( Tidak dilakukan Pemeriksaan)

26
3.4 Follow Up

Tanggal S O A P
4-2-2021  Pasien mengalami nyeri  Suhu tubuh : 36,7 oC Pasien akan dipindahkan ke
( IGD ) punggung  TD : 116/90 mmHg - Meloxicam 2 x 7,5 mg ( p.o ) ruang rawatan ( Neurologi )
 Nyeri menjalar ke kaki  Skala Nyeri 7/8 - Eperison 3 x 50 mg ( p.o)
kanan  Diagnosa - IVDF RL 12 j/kolf

- LBP - Pronalges Supp II


4-2-2021  Pasien mengalami nyeri  Suhu tubuh : 36,7 oC - IVDF RL 12 j/kolf Terapi lanjut
( 23.00 ) punggung  TD : 105/80 mmHg - Meloxicam 2 x 7,5 mg ( p.o ) Pronalges Supp II Aff
 Nyeri menjalar ke kaki  Skala Nyeri 3 - Eperison 3 x 50 mg ( p.o)
kanan  Diagnosa
- LBP

5-2-2021  Pasien masih  Suhu tubuh : 36,7 oC - IVDF RL 12 j/kolf Terapi lanjut
mengalami nyeri  TD : 105/80 mmHg - Meloxicam 2 x 7,5 mg ( p.o ) + Metil Prednisolon 3 x 4 mg
punggung.  Diagnosa - Eperison 3 x 50 mg ( p.o) + Simvastatin 1 x 20 mg

- LBP - Metil Prednisolon 3 x 4 mg


( p.o )
- Simvastatin 20 mg

27
6-2-2021  Nyeri pada pinggang  Suhu 36 oC - IVDF RL 12 j/kolf Terapi Lanjut
masih terasa  Skala Nyeri 3 - Meloxicam 2 x 7,5 mg ( p.o ) Simvastatin Aff

 TD : 120/70 mmHg - Eperison 3 x 50 mg ( p.o)

 Nadi 64 /menit - Metil Prednisolon 3 x 4 mg


( p.o )
 Diagnosa
LBP
7-2-2021  Pasien masih  Suhu 36 oC - IVDF RL 12 j/kolf Terapi lanjut
merasakan nyeri pada  Skala Nyeri 2 - Meloxicam 2 x 7,5 mg ( p.o ) + Simvastatin 1 x 20 mg
bagian pinggang.  TD : 120/70 mmHg - Eperison 3 x 50 mg ( p.o)
 Nyeri yang dirasakan  Nadi 64 /menit - Metil Prednisolon 3 x 4 mg
menjalar ke kaki kanan  ( p.o )
Diagnosa
- Simvastatin 1 x 20 mg ( p.o )
- LBP
8-2-2021  Pasien masih  Suhu 37 oC - IVDF RL 12 j/kolf Terapi Lanjut
merasakan nyeri  Skala Nyeri 3 - Meloxicam 2 x 7,5 mg ( p.o ) + Fisioterapi
punggung bagian  TD : 95/70 mmHg - Eperison 3 x 50 mg ( p.o) Infuse RL Aff
bawah.  Nadi 64 /menit - Metil Prednisolon 3 x 4 mg Simvastatin Aff
 Nyeri pada paha ke  Diagnosa ( p.o )
ujung kaki - LBP
9-2-2021  Pasien mengatakan  Suhu 37 oC - Meloxicam 2 x 7,5 mg ( p.o ) Terapi Lanjut

28
pinggang terasa sakit  Skala Nyeri 2 - Eperison 3 x 50 mg ( p.o) + Simvastatin 1 x 20 mg
berkurang  Diagnosa - Metil Prednisolon 3 x 4 mg

 LBP ( p.o )
- Simvastatin 1 x 20 mg (p.o)
10-2-2021  Pasien mengatakan  Skala Nyeri 2 - Meloxicam 2 x 7,5 mg ( p.o ) Terapi Lanjut
nyeri pinggang  Diagnosa - Eperison 3 x 50 mg ( p.o) + Fisioterapi
berkurang. LBP - Metil Prednisolon 3 x 4 mg + Dulcolax Supp II
 BAB tidak lancar ( p.o )
- Simvastatin 1 x 20 mg (p.o)
11-2-2021  Badan terasa lemas  TD 130/80 mmHg - Meloxicam 2 x 7,5 mg ( p.o ) Terapi Lanjut
 Pinggang sedikit  Skala Nyeri 2 - Eperison 3 x 50 mg ( p.o) + Diet rendah serat, rendah
nyeri  Diagnosa - Metil Prednisolon 3 x 4 mg kolesterol
 Diare - LBP ( p.o ) Dulcolax Supp II Aff

 Kolesterol naik - Simvastatin 1 x 20 mg (p.o)

 Alergi ikan laut

29
12-2-2021  Pasien mengatakan  TD 130/80 mmHg - Meloxicam 2 x 7,5 mg ( p.o ) Terapi Lanjut
nyeri pinggang  Skala Nyeri 2 - Eperison 3 x 50 mg ( p.o) + Korset lumbal
berkurang  Diagnosa - Metil Prednisolon 3 x 4 mg

- LBP ( p.o )

30
3.5 Lembar Identifikasi Obat dan Perhitungan Dosis

Nama: An. E.H No.RM: Diagnosa: Low Back Pain


19.68.XX
Umur: 51 th BB: Kg Dokter: dr.Y.R, Sp.S

Dosis yang
No Nama Obat Dosis Literatur Komentar
diberikan
Dosis maksimal : 15
1. Meloxicam mg dalam 1 hari 2 x 7,5 mg Dosis sesuai
(Martindale, 2009 )
3 x 50 mg
2. Eperisone (Martindale, 3 x 50 mg Dosis sesuai
2009 : 1897)
4 – 48 mg dalam 1
Methyl
3. hari (Martindale, 2009 3 x 4 mg Dosis sesuai
Prednisone
:1359)
10 – 20 mg dalam 1
kali pakai pada malam
4. Simvastatin 1 x 20 mg Dosis sesuai
hari (Martindale, 2009
: 1394)

31
BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang pasien wanita dewasa berumur 50 tahun berinisial E.H datang ke


IGD pada tanggal 04-02-2021 dengan keluhan pasien mengalami nyeri punggung
dan nyeri menjalar ke kaki kanan dengan skala nyeri 7/8. Dari keluarga pasien
diketahui bahwa pasien telah mengalami nyeri hilang timbul selama 1 bulan dan
intensitas nyeri meningkat sejak 5 hari yang lalu.
Dari hasil pemeriksaan hematologi lengkap, diketahui nilai Neutrofil
tinggi yaitu 5,71, nilai NLR 5,71 dan kolesterol 240 mg/dl. Dari data vital pasien
diketahui tekanan darah 116/90 mmHg, suhu 36,7 °C. Berdasarkan hasil
pemeriksaan fisik pasien di diagnosa Low Back Pain.

Pada kondisi Low Back Pain,Aspek esensial dalam tata laksananya adalah
Menghilangkan gejala nyeri dan Edukasi tentang pencegahan LBP serta tetap
beraktivitas sesuai toleransi nyeri.Pada kasus ini, terapi Farmakologi yang
diberikan bertujuan untuk mengurangi gejala nyeri dan memaksimalkan
kenyamanan pasien.

Pemberian obat First line monotherapy adalah obat golongan NSAID


(Nonsteroidal Antiinflamatory Disease). Pada kasus ini pasien diberikan
Meloxicam 3 x 7,5 mg. OAINS sebagai modalitas awal terapi pada LBP kronik
bekerja dengan menghambat produksi prostaglandin (mediator nyeri) melalui
inhibisi COX 1 dan 2 sekaligus (non selektif) atau COX 2 langsung (selektif).

Enzim yang pertama kali terlibat dalam sintesis prostaglandin adalah


cyclooxygenase (COX) 1 dan 2. Keduanya bekerja dalam produksi prostaglandin
saat terjadi inflamasi dan nyeri, serta dapat berperan sebagai autoregulator dan
homeostasis dalam tubuh. COX-1 merupakan enzim yang dominal dalam proses
sintesis dengan melindungi epitel lambung dan hemostasis. COX-2 merupakan
enzim yang berperan dalam sintesis prostaglandin yang diinduksi oleh sitokin dan
stres. OAINS akan menginhibisi enzim COX dan mencegah terjadinya sintesis
prostaglandin, menurunkan inflamasi, nyeri, dan demam (Rizki, 2020).

32
Selain itu pasien diberikan antiinflamasi kortikosteroid yaitu Methyl
Prednisone 3 x 4 mg. Mekanisme kerja kortikosteroid sebagai anti inflamasi
adalah dengan menghambat sintesis asam arakidonat oleh pospolipid agar tidak
membentuk prostaglandin dan leukotrien untuk mengeluarkan mediator inflamasi
serta menurukan permeabilitas vaskular pada daerah yang mengalami inflamasi
(Triasari, 2017).

Adapun mekanisme kerja Antiinflamasi Non Steroid dan Kortikosteroid


dapat digambarkan melalui diagram berikut :

Gambar 1. Mekanisme kerja obat NSAID dan Kortikosteroid.

Second line terapi Low Back Pain, yaitu Kombinasi dengan muscle
relaxant untuk mengurangi nyeri, relaksasi otot skeletal dan mengurangi spasme
otot. Dalam hal ini pasien diberikan Eperisone dimana obat ini merupakan obat
golongan skeletal muscle relaxant, yaitu obat yang bekerja sebagai relaksan otot
rangka (mengurangi spasme otot). Dosis yang diberikan yaitu 3 x 50
mg.Eperisone dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dibandingkan dengan
thiocolchiside dan diazepam, selain itu eperisone tidak membutuhkan modifikasi
dosis sehingga aman dalam penggunaannya. (Rizki, 2020).

Eperisone hydrochloride merupakan centrally acting muscle relaxant yang


beraksi lewat penghambatan monosinaptik atau multisinaptik reflek di spinal cord

33
yang berhubungan dengan aksi penghambatan pada alfa dan gama efferent
neuron, mempunyai efek vasodilatasi, menaikkan blood flow dan menghambat
jalur reflek nyeri. Mekanisme dari eperisone hydrochloride sendiri pada pasien
nyeri punggung adalah menghambat jalur reflek nyeri dan menyebabkan
vasodilatasi, menaikkan aliran darah yang menyebabkan penghambatan dari jalur
reflek nyeri. Efek analgesik dari eperisone sendiri ini disebabkan oleh antagonism
dari substansi P. Substansi P merupakan suatu neurotransmitter yang
menstimulasi rasa nyeri (Widyantanti dan Pizon, 2017).

Dari hasil labor pasien diketahui nilai kolesterol pasien 240 mg/dl (tinggi),
sehingga pasien juga mendapatkan terapi Simvastatin 1 x 20 mg sebagai
antikolesterol. Simvastatin merupakan obat antikolesterol golongan Statin.

Statin adalah obat penurun lipid paling efektif untuk menurunkan


kolesterol LDL dan terbukti aman tanpa efek samping yang berarti. Selain
berfungsi untuk menurunkan kolesterol LDL, statin juga mempunyai efek
meningkatkan kolesterol HDL dan menurunkan TG. Cara kerja statin adalah
dengan menghambat kerja HMG-CoA reduktase melalui jalur asam mevalonat
sehingga kolesterol tidak terbentuk (PERKI, 2013). Adapun mekanisme kerja
golongan statin dapat digambar melalui gambar dibawah ini:

Gambar 2. Mekanisme kerja Statin.

34
Selain itu pasien juga mendapat terapi Dulcolax Suppositoria sebagai terapi
laksatif karena pasien susah mengalami BAB.Obat pencahar/laksatif ini dapat
mengubahkolon, yang normalnya merupakan organ tempat terjadinya penyerapan
cairan menjadi organ yang mensekresikan air dan elektrolit (Dipiro, et al, 2005). 

Dulcolax Suppositoria merupakan laksatif derivat Derivat difenilmetan


yang berisis bisakodil. Senyawa-senyawa ini merangsang sekresi cairan dan saraf
pada mukosa kolon yang mengakibatkan kontraksi kolon sehingga terjadi
pergerakan usus (peristaltik) dalam waktu 6-12 jam setelah diminum, atau 15-60
menit setelah diberikan melalui rektal.

Selain terapi farmakologi, pasien mendapatkan terapi supportive yaitu


fisioterapi dan korset lumbal. Fisioterapi dilakukan alam bentuk terapi panas,
stimulasi listrik perifer, traksi pinggul, terapi latihan dan ortesa. Korest Lumbal,
bermanfaat untuk mencegah kambuhnya LPB dan mengurangi nyeri pada NPB
kronik.

Pada kasus ini terdapat Drug Related Problem yaitu terdapat interaksi obat
Meloxicam dan Methyl Prednisolone yang dapat meningkatkan efek toksisitas GI
(Saluran cerna) seperti peradangan, perdarahan, ulserasi, dan pada kasus yang
jarang dapat menyebabkan perforasi. Penggunaan kedua obat ini harus diminum
setelah makan untuk mengurangi risikonya dan membutuhkan pemantauan yang
lebih sering untuk menggunakan kedua obat tersebut dengan aman, selain itu
dapat pula digunakan NSAID yang bersifat selektif terhadap penghambatan COX
2 yaitu Celecoxib.

35
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN
Dari pengobatan yang diberikan kepada pasien ditemukan DRP yaitu
interaksi obat :

 Meloxicam + Methyl Prednisolone beresiko meningkatkan efek


toksisitas pada saluran pencernaan.

5.2 SARAN
Penggunaan kedua obat ini harus diminum setelah makan untuk
mengurangi risikonya dan membutuhkan pemantauan yang lebih sering untuk
menggunakan kedua obat tersebut dengan aman, selain itu dapat pula digunakan
NSAID yang bersifat selektif terhadap penghambatan COX 2 yaitu Celecoxib.

36
DAFTAR PUSTAKA
Bagwell JJ, Bauer L, Gradoz M, Grindstaff TL. The reliability of FABER test hip
range of motion measurements. Int JSports Phys Ther. 2016; 11:1101-5.
Balague F, Mannion AF, Pellise F, Cedraschi C. Non-specific low back pain.
Lancet 2012; 379(9814):482-91.
Bull, E., dan G. Archard. 2007. Simple Guide: Nyeri Punggung. Dialihbahasakan
oleh Juwalita Surapsari. Editor: Rina Astikawati dan Amalia Safitri. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Borenstein DG, M.D, Wiesel SW, M.D. 2004. Low Back Pain, Medical Diagnosis
and Comprehensive Management. WB Saunders Company.
Chou R. Low back pain. Ann intern Med. 2014; 160(11):1-6
Depkes RI, 2011. Laporan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Depkes RI : 2011: 54.
HSC. Health and Safety Statistic 2007. [cited 2008 juni 2007].
http://www.hse.gov.uk/statistics
Heuch I, Foss IS. Acute low back usually resolves quickly but persistent low back
pain often persists. J Physiother. 2013; 59(2):127.
Parjoto.2006 ; Terapi Listrik untuk Modulasi Nyeri. Ikatan Fisioterapi Indonesia:
Semarang.
Rachel, S, 2005, Nyeri Punggung Bawah pada Pekerja Perawatan Lapangan Golf
di Perusahaan X dan Faktor-faktor yang Berhubungan, Tesis, FK, UI,
Jakarta
Tan A, Zhou J, Kuo YF, Goodwin JS. Variation among primary care physician in
the use of imaging for older patients with acute low back pain. J Gen Intern
Med. 2016; 31(2):156-63.
Urits I, Burshtein A, Sharma M, Testa L, Gold PA, Orhurhu W, et al. Low back
pain, a comprehensive review: pathophysiology, diagnosis, and treatment.
Curr Pain Headache Rep. 2019; 23(23):1-10.
Weinstein, J.N, Tosteson, T.D, Lurie, J.D.2008. Surgical versus nonsurgical
therapy for lumbar spinal stenosis. NEJ, 358:794-810.
Wheeler AH. 2002. Pathophysiology of chronik back pain. Available from URL:
http://www.emedicine.com/ neuro/topic516.htm. Accessed March 8.WHO,
2003,

37
Zanni, Guido dan Jeannette, Wick. 2007, Low Back Pain : Eliminating Myths and
Elucidating Realities. Journal. Am Pharm Assoc 43(3):352-357, American
Pharmaceutikal Association.

38
LAMPIRAN
Lampiran 1
DOKUMEN FARMASI PASIEN
Lembar 1- Lembar Pengobatan

Nama Dosis Rute Tanggal Pemberian Obat


IGD 4-2-21 5-2-21 6-2-21 7-2-21 8-2-21 9-2-21 10-2-21 11-2-21 12-2-21
Obat
IVDF 12j/kolf IV Aff
Meloxicam 2 x 7,5 mg P.O
7,5
Eperison 3 x 50 mg P.O
Metil 3 x 4 mg P.O
Prednisolon
Pronalges Suppos Aff
Supp
Dulcolax 5 mg Suppos
Supp II
Simvastatin 20 mg P.O
Lampiran 2.

KERTAS KERJA FARMASI

39
MASALAH YANG TERKAIT DENGAN OBAT

Lembar 2 – Lembar Analisa Masalah (DRP)


Nama : E.H No. RM : Diagnosa : Low Dokter : dr.Y.R, Sp.S
19.68.XX Back Pain
Umur : 50 tahun BB : kg Ruangan : Neuro Apoteker :
apt.A.S.Farm

DRUG RELATED PROBLEM


No Drug Therapy Problem Check Rekomendasi
. List (Sertai Dengan Sumber Literature)
1. Terapi Obat Yang Tidak Diperlukan
Terdapat terapi tanpa indikasi medis - Obat yang diberikan telah sesuai dengan indikasi medis.
Tidak ada kondisi pasien yang tidak mendapatkan terapi.
• Meloxicam sebagai NSAID, sebagai modalitas awal terapi pada
LBP kronik bekerja dengan menghambat produksi
prostaglandin (mediator nyeri) melalui inhibisi COX 1 dan 2
sekaligus (non selektif) atau COX 2 langsung (selektif).
• Methyl Prednisolone, sebagai kortikosteroid mekanisme anti
inflamasi golongan ini adalah dengan menghambat sintesis

40
asam arakidonat oleh pospolipid agar tidak membentuk
prostaglandin dan leukotrien untuk mengeluarkan mediator
inflamasi serta menurukan permeabilitas vaskular pada daerah
yang mengalami inflamasi
• Eperisone, sebagai muscle relaxant
• Simvastatin sebagai antikolesterol
• Pronalges (Ketoprofen) Suppositoria (NSAID) diindikasikan
untuk mengurangi nyeri.
• Dulcolax Suppositoria sebagai terapi laksatif.
Pasien mendapatkan terapi tambahan yang tidak di - Pasien tidak mendapatkan terapi tambahan yang tidak diperlukan.
perlukan
Pasien masih memungkinkan menjalani terapi non - Pasien dengan LBP memerlukan terapi nonfarmakologi sebagai terapi
farmakologi
pendukung dalam terapi farmakologi. Pasien LBP dapat menjalani
Fisioterapi dan pemasangan korset lumbal sebagai terapi supportive
dalam penyembuhan LBP.
Terdapat duplikasi terapi √ Terdapat duplikasi terapi NSAID yaitu Pronalges Suppositoria
(Ketoprofen) dan Meloxicam.
Pasien mendapatkan penanganan terhadap efek samping - Pasien tidak mendapatkan penanganan terhadap efek samping yang
yang dapat seharusnya di cegah
dapat seharusnya di cegah
2. Kesalahan Obat
Bentuk sedian tidak tepat - Bentuk sediaan obat yang diberikan telah sesuai dengan

41
mempertimbangkan kondisi pasien.
Terdapat kontraindikasi - Tidak terdapat kontraindikasi
Kondisi pasien tidak dapat disembuhkan oleh obat - Pasien pulang dalam keadaan membaik
Obat tidak diindikasi untuk kondisi pasien - Obat yang diberikan diindikasikan untuk kondisi pasien.
• Meloxicam sebagai NSAID, sebagai modalitas awal terapi pada
LBP kronik bekerja dengan menghambat produksi
prostaglandin (mediator nyeri) melalui inhibisi COX 1 dan 2
sekaligus (non selektif) atau COX 2 langsung (selektif).
• Methyl Prednisolone, sebagai kortikosteroid mekanisme anti
inflamasi golongan ini adalah dengan menghambat sintesis
asam arakidonat oleh pospolipid agar tidak membentuk
prostaglandin dan leukotrien untuk mengeluarkan mediator
inflamasi serta menurukan permeabilitas vaskular pada daerah
yang mengalami inflamasi
• Eperisone, sebagai muscle relaxant
• Simvastatin sebagai antikolesterol
• Pronalges (Ketoprofen) Suppositoria (NSAID) diindikasikan
untuk mengurangi nyeri.
• Dulcolax Suppositoria sebagai terapi laksatif.
Terdapat obat lain yang efektif - Pengobatan yang diberikan kepada pasien telah efektif sesuai dengan

42
kondisi pasien.
3. Dosis Tidak Tepat
Dosis terlalu rendah - Dosis yang diberikan telah sesuai.

• Meloxicam 2 x 7,5 mg

• Methly Prednisolone 3 x 4 mg

• Eperisone 3 x 50 mg

• Simvastatin 1 x 20 mg

Dosis terlalu tinggi - Dosis yang diberikan telah sesuai.


• Meloxicam 2 x 7,5 mg

• Methly Prednisolone 3 x 4 mg

• Eperisone 3 x 50 mg

Simvastatin 1 x 20 mg
Frekuensi penggunaan tidak tepat - Frekuensi penggunaan pengobatan yang diberikan telah sesuai dengan
literatur
Durasi penggunaan tidak tepat - Durasi dari penggunaan obat-obatan yang diberikan telah sesuai dengan
literatur
Penyimpanan tidak tepat - Penyimpanan obat-obatan telah tepat sesuai dengan literatur yaitu pada

43
suhu kamar, tempat kering dan terlindung dari cahaya
4. Reaksi Yang Tidak Diinginkan
Obat tidak aman untuk pasien √ Penggunaan antiinflamasi steroid dan nonsteroid secara bersamaan
beresiko memunculkan efek samping toksisitas GI.
Rekomendasi :
Penggunaan kedua obat ini harus diminum setelah makan untuk
mengurangi risiko toksis dan membutuhkan pemantauan yang lebih
sering untuk menggunakan kedua obat tersebut dengan aman, selain itu
dapat pula digunakan NSAID yang bersifat selektif terhadap
penghambatan COX 2 yaitu Celecoxib.
Terjadi reaksi alergi - Pasien tidak menunjukkan reaksi alergi dari obat-obatan yang
diberikan.
Terjadi interaksi obat √ - Meloxicam + Methyl Prednisolone

Kedua obat ini beresiko memuncculkan efek samping


toksisitas GI (Saluran Cerna).

Rekomendasi :

Penggunaan kedua obat ini harus diminum setelah makan


untuk mengurangi risiko toksis dan membutuhkan
pemantauan yang lebih sering untuk menggunakan kedua

44
obat tersebut dengan aman, selain itu dapat pula digunakan
NSAID yang bersifat selektif terhadap penghambatan COX
2 yaitu Celecoxib.

Dosis obat dinaikan atau diturunkan terlalu cepat - Dosis obat yang diberikan tidak terlalu cepat dinaikkan ataupun
diturunkan.
Muncul efek yang tidak diinginkan - Selama perawatan di ruang rawat inap anak, tidak menunjukkan efek
yang tidak diinginkan terjadi pada pasien.
Administrasi obat yang tidak tepat - Administrasi obat yang diberikan kepada pasien telah tepat.
5. Ketidaksesuaian Kepatuhan Pasien
Obat tidak tersedia - Obat yang diresepkan oleh dokter tersedia di Apotek RSUD M. Natsir
Solok.
Pasien tidak mampu menyediakan obat - Pasien mampu menyediakan obat
Pasien tidak bisa menelan obat atau menggunakan obat - Pasien mampu menelan obat.
Pasien tidak mengerti instruksi penggunanan obat - Keluarga pasien paham mengenai instruksi dari penggunaan obat
Pasien tidak patuh atau memilih untuk tidak menggunakan - Pasien patuh menggunakan obat.
obat
6. Pasien Membutuhkan Terapi Tambahan
Terdapat kondisi yang tidak diterapi - Tidak ada kondisi pasien yang tidak mendapatkan terapi.
• Meloxicam sebagai NSAID, sebagai modalitas awal terapi pada
LBP kronik bekerja dengan menghambat produksi
prostaglandin (mediator nyeri) melalui inhibisi COX 1 dan 2
sekaligus (non selektif) atau COX 2 langsung (selektif).

45
• Methyl Prednisolone, sebagai kortikosteroid mekanisme anti
inflamasi golongan ini adalah dengan menghambat sintesis
asam arakidonat oleh pospolipid agar tidak membentuk
prostaglandin dan leukotrien untuk mengeluarkan mediator
inflamasi serta menurukan permeabilitas vaskular pada daerah
yang mengalami inflamasi
• Eperisone, sebagai muscle relaxant
• Simvastatin sebagai antikolesterol
• Pronalges (Ketoprofen) Suppositoria (NSAID) diindikasikan
untuk mengurangi nyeri.
• Dulcolax Suppositoria sebagai terapi laksatif.
Pasien membutuhkan obat lain yang sinergis - Pasien sudah mendapatkan obat yang sinergis untuk terapi penyakit
Pasien membutuhkan terapi profilaksis - Pasien tidak membutuhkan terapi profilaksis.

46

Anda mungkin juga menyukai