Anda di halaman 1dari 69

LAPORAN KASUS

RUMAH SAKIT TK II PELAMONIA

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI RADICULAR PAIN PADA


PINGGANG BAWAH HINGGA KAKI AKIBAT HNP
DI RS PELAMONIA

OLEH:
NURUL KAIDA
PO.714.241.18.1.036

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MAKASSAR
PROGRAM STUDI DIPLOMA IV
JURUSAN FISIOTERAPI
TAHUN 2022
i
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkat
rahmat dan karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyusun laporan
kasus ini yang berjudul “Radicular Pain Pada Pinggang Bawah Hingga Kaki Akibat
Hnp”.

Laporan kasus ini merupakan salah satu dari tugas praktek klinik di RSAD
TK. II Pelamonia Makassar. Selain itu juga laporan kasus ini bertujuan memberikan
informasi mengenani penatalaksaan fisioterapi untuk kasus tersebut

Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak / Ibu dosen Fisioterapi Politeknik Kesehatan Makassar


2. Bapak / Ibu pembimbing di RSAD TK. II Pelamonia Makassar selaku
Clinical Edukator
3. Teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan
Laporan Kasus ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih banyak
kekurangan, oleh sebab itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan dan penyempurnaan laporan ini. Dan semoga dengan
selesainya laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman yang
membutuhkan.

Makassar, 18 April 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL....................................................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii
DAFTAR ISI........................................................................................................... iii
BAB I ........................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
BAB II ...................................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 3
A. Tinjauan Tentang Anatomi Biomekanik ................................................... 3
B. Tinjauan Tentang Herniated Nucleus Pulposus ..................................... 21
C. Etiologi ........................................................................................................ 23
D. Patofisiologi ................................................................................................ 23
E. Manifestasi Klinis....................................................................................... 25
F. Tinjauan Tentang Pengukuran Fisioterapi ............................................. 26
G. Tinjauan Tentang Intervensi Fisioterapi ............................................. 30
BAB III ................................................................................................................... 37
PROSES ASSESMENT FISIOTERAPI ............................................................. 37
A. Identitas Umum Pasien.............................................................................. 37
B. Anamnesis Khusus ..................................................................................... 37
C. Inspeksi/Observasi ..................................................................................... 38
D. Regional Screening Test ............................................................................ 38
E. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar ............................................................ 38
F. Tes Isometric Melawan Tahanan ............................................................. 40
G. Pemeriksaan Spesifik ............................................................................. 41
H. Pengukuran ............................................................................................. 44
I. Diagnosa Dan Problematika Fisioterapi .................................................. 49
BAB IV ................................................................................................................... 51

iii
INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI ............................................. 51
A. Rencana Intervensi Fisioterapi ................................................................. 51
B. Strategi Intervensi Fisioterapi .................................................................. 51
C. Prosedur intervensi fisioterapi.................................................................. 52
D. Edukasi Dan Home Program .................................................................... 54
E. Evaluasi Fisioterapi ................................................................................... 55
BAB V .................................................................................................................... 56
PEMBAHASAN .................................................................................................... 56
A. Pembahasan Assement Fisioterapi ........................................................... 56
B. Pembahasan Intervensi Fisioterapi .......................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................

iv
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut The Healthy Back Institute (2010), daerah lumbal
merupakan daerah vertebra yang sangat peka terhadap terjadinya cedera atau
kerusakan karena daerah lumbal paling besar menerima beban saat tubuh
bergerak dan saat menumpu berat badan. Disamping itu, gerakan membawa
atau mengangkat objek yang sangat berat biasanya dapat menyebabkan
terjadinya cedera pada lumbal spine (Bellenir, 2008). Salah satu diantaranya
adalah Herniated Nucleus Pulposus (HNP).
HNP adalah penonjolan matriks nukleus pulposus ke kanalis
vetebralis yang berakibat terjadinya kompresi pada saraf spinalis (Sarno,
2010). HNP merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat
menyebabkan nyeri serta gangguan gerak dan fungsional seseorang. Menurut
sebuah clinical evidence oleh Jo Jordan (2010), prevalensi dari HNP adalah
sebanyak 1% sampai 3% di Finlandia dan Italia dimana kondisi ini
dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. Prevalensi tertinggi terjadi pada usia
30 sampai 50 tahun dengan rasio laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Pada
usia 25 sampai 55 tahun, sekitar 95% HNP terjadi di lower lumbal spine (L4-
L5 dan L5-S1). HNP yang terjadi di atas level tersebut lebih umum dialami
oleh orang yang berusia diatas 55 tahun
HNP lumbar paling sering terjadi pada pria dewasa, dimana insiden
puncak terjadi pada usia 40-an dan 50-an namun rata-rata terkena pada usia
35 tahun. Hampir 2/3 dari seluruh penyakit diskus intervertebralis selalu
melibatkan lumbal spine. HNP lumbar sering terjadi pada segmen L4 – L5
dan L5 – S1 yaitu sekitar 90% - 95% dari kasus diskus intervertebralis
(Heliovaara et al, 2007).
HNP lumbar bisa menyebabkan keterbatasan ROM dalam bidang
sagital. Hal ini disebabkan karena gerakan fleksi dapat menyebabkan diskus
semakin menonjol kearah posterior sehingga akan semakin menekan akar
saraf. Untuk menghindari hal tersebut maka pasien HNP lumbar enggan
melakukan gerakan membungkuk dan gerakan ke belakang, sehingga lama
kelamaan terjadi spasme otot disekitar area lumbal dan keterbatasan ROM.
Selain itu, umumnya ditemukan adanya keterbatasan fleksi hip yang dapat
menganggu aktivitas sehari-hari, karena gerakan tersebut menyebabkan
tension pada saraf ischiadicus dan akar sarafnya sehingga dapat
memperbesar tekanan pada akar sarafnya (Ciaccio et al, 2012)
Pada umumnya penderita HNP lumbar mengalami kesulitan dalam
melakukan aktivitas fungsional yang melibatkan beban dan gerak pada
lumbal seperti aktivitas duduk saat bekerja, berjalan, membungkuk,
memindahkan dan mengangkat objek. Hambatan fungsional tersebut
menyebabkan penderita HNP lumbar tidak mampu melakukan aktivitas
pekerjaan dalam waktu yang lama.
Kondisi ini ditangani dengan menggunakan modalitas fisioterapi yang
tepat untuk mengurangi radicular pain pada pinggang bawah hingga kaki akibat
hnp Diantaranya adalah pemberian Microwave Diathermy, TENS,core
stability,Friction,Neurodynamic Mobilization.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Anatomi Biomekanik


1. Anatomi Lumbal
Lumbal spine terdiri dari 5 vertebra lumbal, segmen Th12-L1 dan segmen
L5-S1. Vertebra lumbal merupakan struktur paling bawah sebelum sacrum.
Vertebra lumbal memiliki corpus vertebra yang lebih besar dan lebih tebal
dibandingkan regio lain. Vertebra lumbal tidak memiliki foramen
transversum dan facies artikularis costalis. Lumbal spine memiliki diskus
intervetebralis diantara corpus vertebra dan facet joint antara processus
articularis superior-inferior

Gambar 2.1
Struktur Lumbal Spine

Sumber : (Palastanga & Soames, 2012)

a. Segmen Gerak

1) Diskus Intervertebralis
Setiap diskus intervertebralis terdiri dari dua komponen dasar :
nucleus pulposus yang dikelilingi oleh annulus fibrosus. Meskipun
nucleus pulposus berada ditengah diskus dan annulus fibrosus yang
berada di perifernya, tetapi tidak ada batas yang jelas antara nucleus
dan annulus didalam diskus. Sebaliknya, bagian perifer dari nucleus
pulposus bergabung dengan bagian dalam dari annulus fibrosus
(Kisner et al,2017).
a) Nucleus pulposus
Nukleus pulposus; merupakan substansia gelatinosa
yang berbentuk jelly transparan, mengandung 90% air, dan
sisanya adalah collagen dan proteoglycans yang merupakan
unsur- unsur khusus yang bersifat mengikat atau menarik air.
Nukleus pulposus mempunyai kandungan cairan yang sangat
tinggi maka dia dapat menahan beban kompresi. Nucleus
pulposus terletak di tengah diskus kecuali pada regio lumbal,
yang letaknya lebih ke batas posterior daripada ke batas
anterior angulus. (Kisner et al, 2017).
b) Annulus Fibrosus
Bagian terluar diskus terbentuk dari lapisan tebal serabut
kolagen dan fibrokartilago. Serabut kolagen pada setiap lapisan
tersusun parallel dan oblique membentuk sudut 600 hingga 650
pada axis vertebra, dengan kemiringan bervariasi pada setiap
lapisan. Karena orientasi tersebut, annulus dapat memberikan
ketahanan tarikan pada diskus saat vertebra mengalami distraksi,
rotasi atau fleksi. Annulus menempel dengan kuat pada kedua
vertebra, dan lapisannya saling menempel dengan kuat satu sama
lain. Serabut lapisan yang paling dalam menyatu dengan matriks
nucleus pulposus. Annulus fibrosus ditopang oleh ligament
longitudinal anterior dan posterior ( Kisner et al, 2017).

4
Gambar 2. 2
Nukleus pulposus dan annulus fibrosus
Sumber : Kisner et al (2017)
2) Facet Joint
Facet joint dibentuk oleh processus articularis superior dari
vertebra bawah dengan processus articularis inferior dari vertebra
atas. Facet joint termasuk dalam non-axial diarthrodial joint. Setiap
facet joint mempunyai cavitas articular dan terbungkus oleh sebuah
kapsul. Gerakan yang terjadi pada facet joint adalah gliding yang
cukup kecil, sehingga memungkinkan terjadi gerak tertentu yang
lebih dominan pada segmen tertentu. Fungsi mekanis facet joint
adalah mengarahkan gerakan. (Levangie and Norkin, 2005).
Pada regio lumbar kecuali lumbosacral joint, facet articularisnya
terletak lebih dekat kedalam bidang sagital. Facet bagian atas
menghadap kearah medial dan sedikit posterior, sedangkan facet
bagian bawah menghadap kearah lateral dan sedikit anterior.
Kemudian, facet bagian atas mempunyai permukaan sedikit konkaf
dan facet bagian bawah adalah konveks. Karena bentuk facet ini,
maka vertebra lumbar sebenarnya terkunci melawan gerakan rotasi
sehingga rotasi lumbar sangat terbatas. (Levangie and Norkin, 2005).

5
Gambar 2. 3

Facet joint (zygapophyseal joint)

Sumber : Levangie dan Norkin (2005)

3) Ligament
Ligament yang terdapat pada regio lumbal antara lain :
a) Ligament Longitudinal Anterior
Ligament longitudinal anterior merupakan jaringan fibrosus
yang terdapat di sepanjang bagian depan columna vertebralis.
Ligamen ini terletak diantara os-occipital dan os sacrum. Fungsi
ligamen tersebut menyatukan ruas ruas vertebra dari arah depan,
tetapi tidak cukup kuat memfiksir annulus fibrosus discus
intervertebralis, (Kurniasi, 2011).
b) Ligament Longitudinal Posterior
Ligamen ini terletak di dalam canalis vertebralis yang
berawal dari corpus cervicalis kedua dan berakhir pada
permukaan anterior canalis sacrum. Fungsi dari ligament
longitudinal posterior membatasi gerakan fleksi dan ekstensi
serta berperan sebagai pelindung (Kurniasi, 2011).
c) Ligament Intertransversal
Ligamen ini melekat pada tuberculum asesori dari processus
transverses dan berkembang baik pada region lumbal. Ligament
ini mengontrol gerakan lateral fleksi ke arah kontralateral,
(Sudaryanto, 2004).
d) Ligament Flavum

6
Ligament Flavum merupakan ligament yang sangat elastis dan
melekat pada arcus vertebra yaitu di setiap lamina vertebra.
Ligamen ini menutup capsular dan ligament anteromedial facet
joint ke arah anterior dan lateral. Gerakan yang dikontrol oleh
ligament Flavum adalah gerakan fleksi lumbal, (Sudaryanto,
2004).
e) Ligament Supraspinasus
Tempat melekat ligament ini berada pada setiap ujung
processus spinosus. Ligamen ini sebagai stabilisator pasif saat
gerakan fleksi lumbal, (Sudaryanto, 2004).

Gambar 2.4
Ligament Vertebra Lumbal
Sumber : (Ishak, 2015)
4) Muscular
a) Otot Rectus Abdominis
Rectus Abdominis berasal dari permukaan luar
kartilago costa V, VI, VII, processus xipoideus, dan
ligament xipoidea. Insersio pada sisi cranial os pubis
diantara tuberculum pubicum dan simphisis pubis, dan
berasal dari persarafan intercostalis. Otot ini berfungsi
untuk menarik torakal ke arah pelvis, dan mengangkat
pelvis ke depan, serta menekan perut, (Kisner et al, 2018).
b) Otot Obliqus Abdominus Eksternus

7
Otot ini berorigo di costa V, sampai XII, dan
berinsersio di crista illiaca. Persarafannya berasal dari
saraf intercostalis bagian caudal, iliohipogastrikus, dan
saraf ilioinguinal. Fungsi dari otot ini yaitu menekan
perut, menarik rangka tubuh condong ke depan, menarik
pelvis ke atas, dan membantu gerakan rotasi toracal
secara berlawanan, (Kisner et al, 2018).
c) Otot Oblikus Abdominus Internus
Origo otot ini yaitu dari crista illiaca, fascia
toracolumbal, dan dua pertiga ligament inguinal. Dan
insersio pada cartilago costalis ke III, IV dan linea alba.
Persarafannya dari saraf intercostalis bagian caudal,
iliohipogastricus, dan saraf ilio inguinal. Fungsi otot
tersebut adalah rotasi ke sisi yang sama, membantu otot
oblikus abdominus eksternus pada sisi yang berlawanan
untuk menekuk atau fleksi dan rotasi vertebra ke
samping, (Kisner et al, 2013).
d) Otot Erector Spine
Erector Spine merupakan group otot yang luas
dan terletak dalam pada facia lumbodorsal, serta muncul
dari suatu aponeurosis pada sacrum, crista illiaca dan
procesus spinosus torakolumbal. Otot terdiri atas:
m.tranverso spinalis, m.longissimus, m.iliocostalis,
m.spinalis, m.paravertebral. Group otot ini merupakan
penggerak utama pada gerakan ekstensi lumbal dan
sebagai stabilisator vertebra lumbal saat tubuh dalam
keadaan tegak, (Kisner et al, 2018).
e) Deep Muscle
Merupakan grup otot intrinstik pada bagian lateral
lumbal yang terdiri dari m. Quadratus Lumborum, m.

8
Multifidus, m. Transversus Abdominis. Grup otot ini
berperan pada gerakan lateral fleksi dan rotasi lumbal,
(Kisner et al, 2018).
M. Quadratus Lumborum memiliki tiga jenis
serabut yaitu serabut yang berjalan dari costa XII ke
crista illiaca, serabut dari costa XII ke processus
transversus vertebra lumbal dan serabut dari processus
transversus vertebra lumbal I-IV ke crista illiaca, (Kisner
et al, 2018).
M. Multifidus, merupakan salah satu otot grup deep
muscle. Otot ini membantu stabilisasi dan gerakan rotasi
pada lumbal. Otot ini origonya berada pada sacrum dan
illium, transversus processus TI-L5. Insersio, di
processus spinosus vertebra, (Kisner et al, 2018).
M. Transversus Abdominis, merupakan salah satu
otot deep muscle yang berorigo di ligament inguinal,
crista iliaca, dan cartilage costa VII-XII. Insersio
aponeurosis abdominal dan linea alba. Salah satu fungsi
dari otot ini adalah memberikan penekanan pada
abdomen, (Lynn S. L, 2016).

Gambar 2.5

Otot – otot pada lumbal spine

Sumber : Kisner et al (2017)

9
b. Sistem saraf lumbal
1) Plexus Lumbosacral
Plexus lumbal dibentuk oleh divisi utama anterior dari akar
saraf L1, L2, L3 dan bagian dari L4. Plexus sacral dibentuk dari L4,
L5, S1, dan bagian dari S2 dan S3. Sama seperti pleksus brachialis,
cabang dan divisi dari plexus lumbosacral mengatur setiap saraf
perifer yang berjalan ke extremitas inferior. Selain itu, rami utama
anterior dari plexus lumbosacral menerima serabut simpatik
postganglionik dari rantai simpatik yang mempersarafi pembuluh
darah, kelenjar keringat, dan otot-otot piloerector di extremitas
inferior. Berbagai cedera yang terisolir pada plexus lumbal atau
sacral sangat jarang, gejala-gejala lebih sering muncul akibat dari
lesi diskus atau deformitas spondilitik yang mempengaruhi satu
atau lebih akar saraf atau dari tension dan kompresi pada saraf
perifer spesifik.

Plexus lumbosacral berakhir dan bercabang menjadi tiga saraf


perifer utama yang bertanggungjawab terhadap innervasi jaringan
pada extremitas inferior. Ketiga saraf tersebut adalah saraf femoral
dan obturator dari plexus lumbal dan saraf sciatic dari plexus
sacral.

10
Gambar 2.6

(A) Pleksus Lumbar dan (B) Pleksus Sacral


Sumber : (Kisner et al 2018)

2) Saraf Sciatic (L4,5, S1-3)


Saraf sciatic muncul dari plexus sacral sebagai saraf terbesar
pada tubuh manusia, terdiri dari saraf tibial dan common
peroneal yang bisa dibedakan pada pembungkusnya. Otot-otot
regio pantat (otot-otot external rotators dan gluteal) dipersarafi
oleh saraf-saraf kecil dari plexus sacralis, yang muncul kearah
proksimal membentuk saraf sciatic. Saraf sciatic keluar dari
pelvis melalui foramen sciatic yang besar dan secara khas
berjalan ke bawah, meskipun kadang-kadang melalui m.
piriformis. Syndrome piriformis dapat terjadi akibat dari
pemendekan otot, menyebabkan kompresi dan iritasi pada saraf
di lokasi tersebut. Saraf ini terlindungi dibawah m. gluteus
maximus sebagaimana berjalan antara tuberositas ischiadicus
dan trochanter major, meskipun cedera dapat terjadi di regio
ini saat dislokasi hip atau reduksi.
Bagian tibialis dari saraf sciatic mempersarafi otot-otot
biartikular hamstring dan m. adductor magnus. Bagian common
peroneal dari saraf sciatic mempersarafi caput brevis biceps
femoris. Kearah proksimal pada fossa poplitea, saraf sciatic
berakhir ketika saraf tibialis dan common peroneal muncul
sebagai struktur yang terpisah

11
Gambar 2.7

Saraf Sciatic dan Saraf Tibialis


Sumber : (Kisner et al, 2018)
2. Biomekanik Lumbal Spine
a. Kinematika Lumbal
1) Gerakan fleksi lumbal dan ekstensi lumbal
Gerakan ini berada pada bidang gerak sagital dengan aksis
gerakannya adalah frontal. Normal sudat dari gerakan fleksi lumbal
adalah sekitar 60°. Gerakan ini tercipta karena dilakukan oleh otot
fleksor, M. rectusabdominis dan dibantu oleh grup otot ekstensor
spinal. Ketika lumbal bergerak fleksi discus interverte bralis tertekan
pada bagian anterior dan menggelembung pada bagian posterior,
(Esya Adetia et al, 2017).
Gerakan ekstensi lumbal berada pada bidang gerak sagital
dengan aksis frontal. Gerakan ini normalnya sekitar 35°. Otot
penggeraknya adalah otot spinalis, otot longisimus dorsi, dan
iliocostalis lumborum, (Esya Adetia et al, 2017).
Facet joint memiliki dua prinsip gerakan yaitu, translation
(slide, slope, atau glide) dan distraction (gapping). Ketika upglide
terjadi pada kedua sisi secara simultan, maka menghasilkan gerak
fleksi lumbal. Sebaliknya, ketika downglide terjadi pada kedua sisi
secara simultan, maka menghasilkan gerak ekstensi lumbal. Gerak

12
fleksi lumbal akan melibatkan flattening lordosis lumbal, khususnya
pada level upper lumbal, dan melibatkan kombinasi rotasi sagital ke
anterior dan translasi superior anterior (yakni upglide) pada facet
joint secara bilateral, (Joseph H, et al, 2015).
2) Gerakan rotasi lumbal
Kapanji 2009 mengatakan, gerakan ini terjadi pada bidang
gerak horizontal pada aksis yang melalui processus spinosus dengan
sudut gerakan normal sekitar 45°. Otot penggerak utama dalam
gerakan ini adalah, M. iliocostalis lumborumi untuk gerakan rotasi
ipsi lateral dan kontra lateral. Jika otott berkontraksi dan terjadi
gerakan rotasi yang berlawanan arah, otot penggeraknya adalah M.
obliques eksternal abdominis, (Esya Adetia et al, 2017).
Pada gerakan rotasi, vertebra bagian atas berotasi pada
vertebra bagian bawah, tetapi gerakan rotasi ini hanya terjadi
disekitar pusat rotasi pada hubungan antara processus spinosus
dengan processus articularis. Diskus intervertebralis tidak berperan
dalam gerakan axial rotasi, sehingga gerakan rotasi sangat dibatasi
oleh orientasi sendi facet vertebra lumbal. Menurut Gregersen dan
D.B. Lucas, axial rotasi pada vertebra lumbal mempunyai total ROM
secara bilateral sekitar 10o dan ROM segmental sekitar 2o dan
segmental unilateral sekitar 1o, (Joseph H, et al, 2015).
Dalam rotasi axial lumbal, permukaan artikular facet joint
saling menekan di satu sisi dan cenderung terbuka di sisi lain.
Misalnya, dengan rotasi axial kanan, proses artikular inferior kiri
berdampak pada proses artikular superior kiri dari vertebra bawah
dan lebar ruang sendi pada facet joint kanan meningkat. Permukaan
facet joint membatasi gerakan axial dan melindungi dari torsi yang
berlebihan pada diskus intervertebralis, (Joseph H, et al, 2015).
3) Gerakan lateral fleksi lumbal

13
Cailliet 2003 mengatakan, gerakann ini terdapat pada bidang
frontal dengan sudut normal sekitar 30°. Otot penggerak M. obliques
internus abdominuis, M. rectus abdominis, (Esya Adetia dkk, 2017).
Ketika upglide terjadi pada satu sisi dengan downglide pada
sisi kontralateral, maka menghasilkan gerakan lateral fleksi. Distraksi
terjadi dengan axial rotasi dari lumbal ketika satu facet terkompresi
dan menjadi fulcrum dan ketika facet sisi rotasi mengalami distraksi,
(Joseph H, et al, 2015).
b. Lumbopelvic Rhytm
Sebagian besar gerakan tulang belakang lumbal disertai dengan
gerakan pelvic, yang disebut lumbopelvic rhythm. Seperti yang
ditunjukkan pada gambar 2.4, lumbal menjadi datar saat fleksi dan
semakin melengkung kebelakang saat fleksi lumbal bertambah, gerakan-
gerakan yang menyertai pada vertebra lumbal terjadi. Gerakan penyertai
fleksi lumbal adalah nutasi sakrum, anterior pelvic tilt dan kontranutasi
sakrum. Pelvic bergerak ke belakang saat beban berpindah ke atas hip
(Joseph Hamill, 2013).

Gambar 2.8
Kurva hubungan trunk dan pelvic
Sumber: (Joseph Hamill, 2013)
Aktivitas lumbal maksimal terjadi saat 50° hingga 60° awal
fleksi, setelah itu terjadi rotasi anterior pelvic yang menjadi faktor utama

14
dalam meningkatkan fleksi trunk. Pada gerakan kembali kearah ekstensi,
terjadi posterior pelvic tilt pada tahap awal ekstensi, dan aktivitas lumbal
selanjutnya menyebabkan anterior pelvic tilt, yang mendominasi tahap
akhir ekstensi trunk. Pelvic juga bergerak ke depan saat beban bergeser
(Joseph Hamill, 2013).
Hubungan gerakan antara pelvic dan trunk selama rotasi trunk
atau lateral fleksi tidak begitu jelas seperti fleksi dan ekstensi karena
adanya pembatasan gerakan oleh ekstremitas bawah. Pelvic bergerak
dengan trunk pada rotasi kanan dengan rotasi kanan trunk kecuali
ekstremitas bawah memaksa rotasi pelvic ke arah yang berlawanan.
Dalam hal ini, pelvic mungkin tetap dalam posisi netral atau rotasi ke
samping dengan tenaga yang lebih besar (Joseph Hamill, 2013).
Demikian pula, pada fleksi lateral trunk, pelvic turun ke sisi
lateral fleksi kecuali jika ada tahanan yang diberikan oleh ekstremitas
bawah, dalam hal ini pelvic rotasi ke sisi yang berlawanan. Gerakan
penyerta pelvic ditentukan oleh gerakan trunk dan posisi unilateral atau
bilateral dari ekstremitas bawah (Joseph Hamill, 2013).
Hubungan gerakan antara pelvic dan trunk menjadi kompleks
ketika gerakan ekstremitas bawah, seperti berlari, dilakukan di mana
individu memiliki urutan yang berbeda dari satu tungkai yang
menyentuh tanah dan satu tungkai menjauhi dari tanah. Lumbal sedikit
fleksi dan pelvic tilt ke posterior selama loading phase dengan cepat
kembali ke ekstensi lumbal dan anterior pelvic tilt diantaranya (Joseph
Hamill, 2013).
Ektensi lumbal dan anterior pelvic tilt terjadi tepat setelah toe-off. Pada
bidang frontal, tulang belakang fleksi ke sisi kanan, dan pelvic tilt ke kiri
selama kontak dan pembebanan kaki kanan. Ini diikuti oleh fleksi lateral
lumbal ke sisi kiri saat pelvic mulai terangkat dan tilt ke kanan sampai
toe-off. Akhirnya, lumbar dan pelvic keduanya rotasi ke kanan dengan

15
kontak tungkai kanan. Lumbal dan pelvic rotasi ke kiri selama support
phase, tetapi tidak pada saat bersamaan (Joseph Hamill, 2013).
c. Beban Diskus Dalam Aktivitas
Posisi tubuh mempengaruhi beban pada tulang belakang. Hasil
studi pengukuran tekanan intradiscal yang dilakukan oleh Nachemson
pada tahun 1975 menunjukkan bahwa tekanan intradiscal akan
berkurang pada posisi bersandar dengan tegak, atau pada posisi berdiri
dengan relax. Nachemson menunjukan peningkatan beban tulang
belakang dari 800 N saat berdiri tegak menjadi 996 N saat duduk tegak.
Hal ini menyatakan bahwa tekanan intradiscal meningkat pada posisi
duduk. Pada posisi berdiri dengan tegak, beban pada diskus L3-L4
hampir dua kali berat tubuh (Nordin and Frankel, 2012).
Saat transisi dari posisi telentang ke posisi berdiri, gaya tekan,
tarik, dan geser bervariasi di setiap diskus dan di setiap tingkat lumbal.
Fleksi trunk meningkatkan beban dan momen gaya kedepan pada tulang
belakang. Gerakan fleksi pada trunk menyebabkan annulus menonjol ke
arah ventral dan nucleus bergerak ke arah posterior serta menekan
posterolateral pada annulus fibrosus. Gerakan fleksi yang disertai
gerakan rotasi dapat meningkatkan tekanan pada diskus (Nordin and
Frankel, 2012).
Beban pada vertebra lebih rendah selama duduk menggunakan
penyangga dibandingkan saat duduk tanpa penyangga. Selama duduk
dengan posisi yang ergonomis akan menghasilkan pengurangan
aktivitas otot yang dapat menghilangkan tekanan pada intradiscal
(Anderson et al 1974, wilke et al 1999). Kemiringan pada sandaran
punggung dan penggunaan penyangga lumbal juga dapat mengurangi
beban. Penggunaan penyangga pada daerah toraks akan mendorong
tulang belakang ke arah dada sehingga lumbar bergerak ke arah khyposis
dan tetap menyentuh sandaran sehingga meningkatkan beban pada
tulang belakang. Beban pada tulang belakang dapat diminimalkan

16
dengan cara mengambil posisi terlentang sebab beban yang dihasilkan
oleh berat tubuh dihilangkan. Dengan tubuh terlentang dan lutut yang
ekstensi, dapat membuat tarikan pada bagian vertebra otot psoas
sehingga menghasilkan beberapa beban pada lumbal. Namun dengan
gerakan pinggul, lutut yang ditekuk dan ditopang, lordosis pada lumbal
menjadi lurus dikarenakan otot psoas yang berelaksasi sehingga beban
dapat berkurang (Nordin and Frankel, 2012).

Gambar 2.9
Pengaruh kemiringan sandaran punggung
Sumber : (Nordin and Frankel, 2012)

Beban terbesar yang diterima oleh tulang belakang umunya


berasal dari beban eksternal. Dengan bertambahnya usia, penurunan
kekuatan tulang lebih menonjol daripada penurunan massa tulang.
Mengangkat dan membawa beban dalam jarak yang cukup besar dapat
memberikan beban yang sangat besar pada tulang belakang sehingga
dapat merusak struktur diskus intervertebral. Ketika seseorang
mengangkat suatu benda dengan posisi membungkuk kedepan, gaya
yang dihasilkan oleh berat benda ditambah dengan berat tubuh bagian

17
atas akan meningkatkan beban pada tulang belakang dan diskus (Nordin
and Frankel, 2012).
Mengangkat dan membawa suatu benda pada jarak horizontal
adalah situasi umum dimana beban yang diterapkan pada verterbra
mungkin sangat tinggi sehingga dapat merusak tulang belakang.
Beberapa faktor yang mempengaruhi beban pada tulang belakang
selama aktivitas ini, yaitu :
1) Posisi objek relatif terhadap pusat gerak tulang belakang.
2) Ukuran, bentuk, berat, dan massa jenis benda.
3) Derajat fleksi atau rotasi tulang belakang.
4) Tingkat pemuatan
Ketika seseorang yang memegang sebuah benda dengan badan
membungkuk kedepan, gaya yang dihasilkan oleh berat bnda ditambah
oleh berat tubuh bagian atas menciptakan momen lentur pada diskus,
meningkatkan beban pada tulang belakang dan dapat bertambah lebih
besar daripada yang dihasilkan ketika orang tersebut berdiri tegak
sembari membawa suatu benda (Nordin and Frankel, 2012).
Dalam sebuah kompresi diskus mengalami tekanan 1,5 kali
beban yang diterapkan secara eksternal persatuan luas. Pada lumbal,
tegangan tarik di bagian posterior anulus fibrosus diperkirakan empat
sampai lima kali tekanan aksial yang diterapkan (Nordin and Frankel,
2012).

18
Gambar 2.10
Distribusi tegangan pada diskus dalam sebuah kompresi
Sumber: (Nordin and Frankel, 2012)

Persentase
Posisi
Berbaring terlentang 20

Berbaring miring 24

Berbaring tengkurap 22

Berbaring tengkurap, punggung extensi 50


dan disanggah siku
Tertawa terbahak bahak, berbaring 30
terlentang
Bersin, berbaring terlentang 76

Memutar badan dengan maksimal 140 – 160

19
Berdiri dengan santai 100

Berdiri dengan melakukan valsava 184


maneuver test
Berdiri sambil mebungkuk kedepan 220

Duduk santai tanpa sandaran punggung 92

Duduk dengan posisi tegap 110

Duduk dengan mebungkuk yang 166


maksimal
Duduk sambil membungkuk dengan 86
siku menopang pada paha
Duduk dalam posisi membungkuk 54

Berdiri dari kursi 220

Berjalan tanpa alas kaki 106 – 130

Berjalan dengan memakai sepatu tennis 106 – 130

Jogging dengan sepatu yang keras 70 – 190

Joging dengan sepatu tennis 70 – 170

Menaiki anak tangga satu persatu 100 – 140

Menaiki anak 2 tangga sekaligus per 60 – 240


langkah
Menuruni anak tangga satu persatu 76 – 120

Menuruni anak 2 anak tangga sekaligus 60 – 180


per langkah
Mengangkat beban 20 kg sambil 460
membungkuk

20
Mengangkat beban 20 kg dengan tas ke 340
sekolah
Mengangkat beban 20 kg dekat dengan 220
tubuh
Mengangkat beban 20 kg dengan jarak 360
60 cm dari dada
Tekanan meningkat pada saat 20 – 48
beristirahat malam hari (selama 7 jam)

Tabel 2.11
Presentase beban pada discus di posisi yang berbeda
Sumber : (Nordin and Frankel, 2012)

B. Tinjauan Tentang Herniated Nucleus Pulposus


A. Definisi Herniated Nucleus Pulposus (HNP)
Herniated Nucleus Pulposus (HNP) atau herniasi diskus
intervertebralis, yang sering pula disebut sebagai Lumbar Disc Syndrome
atau Lumbosacral Radiculopathies adalah penyebab tersering nyeri
punggung bawah yang bersifat akut, kronik, atau berulang. HNP adalah
suatu penyakit dimana bantalan lunak diantara ruas-ruas tulang belakang
(soft gel disc atau nucleus pulposus) mengalami tekanan di salah satu
bagian posterior atau lateral sehingga nucleus pulposus pecah dan
meluruh, akibatnya terjadi penonjolan melalui annulus fibrosus ke dalam
kanalis spinalis dan menyebabkan penekanan akar saraf (Leksana, 2013).
Hernia Nukleus Pulposus (HNP) atau yang sering disebut saraf
kejepit adalah suatu tanda atau gejala yang diakibatkan oleh degenerasi
diskus intervertebralis bagian lumbar, atau gambaran klinis yang terjadi
akibat adanya perubahan proses degenerasi pada diskus intervertebralis
lumbar bagian dalam anulus fibrosus. Kerusakan diskus bagian dalam
akibat adanya perubahan-perubahan proses degenerasi sering dikaitkan

21
dengan proses degenerasi, kesalahan dalam beraktivitas, trauma dan
sebagainya (Budi Susanto, 2015).
Hernia Nukleus Pulposus adalah suatu keadaan dimana terjadi
penonjolan pada diskus intervertebralis ke dalam kanalis vertebralis
(prostusi diskus) pada diskus vertebra yang diakibatkan oleh menonjolnya
nucleus pulposus yang menekan anulus fibrosus yang menyebabkan
kompresi saraf, terutama banyak terjadi di daerah lumbar sehingga sering
menimbulkan adanya gangguan neurologi yang didahului oleh perubahan
degeneratif (Djohan Aras, 2013).
Hernia Nukleus Polposus (HNP) lumbar umumnya menimbulkan
gejala ischialgia. Keluhan ischialgia sering muncul setelah melakukan
aktivitas yang berlebihan, terutama banyak membungkukkan badan atau
banyak berdiri dan berjalan. Jika dibiarkan maka semakin lama
mengakibatkan kelemahan anggota badan bawah atau tungkai bawah
yang disertai dengan mengecilnya otot-otot tungkai bawah tersebut
(Kuntono, 2000)

Gambar 2.12
Herniated Nucleus Pulposus (HNP)
Sumber : James (2010)

22
C. Etiologi
Herniated Nucleus Pulposus (HNP) dapat disebabkan oleh
beberapa hal berikut ini :
a. Degenerasi diskus intervertebralis. Penyebab dari HNP biasanya
sejalan dengan meningkatnya usia dimana terjadi perubahan
degeneratif yang mengakibatkan kurang lentur dan tipisnya nucleus
pulposus (Moore dan Agur, 2013).
b. Trauma minor pada pasien lanjut usia dengan degenerasi
c. Trauma berat atau jatuh dengan posisi duduk
d. Mengangkat atau menarik benda berat
Selain itu, sebagian besar HNP juga disebabkan karena adanya
trauma derajat sedang yang berulang-ulang pada diskus intervertebralis
sehingga menimbulkan sobeknya annulus fibrosus. Kebanyakan pasien
dengan gejala trauma yang tiba-tiba, cedera pada diskus tidak terlihat
gejalanya selama beberapa bulan atau bahkan dalam beberapa tahun
(Helmi, 2012).
Bukti radiografi dari HNP tidak selalu dapat memperkirakan
kondisi nyeri punggung bawah ke depannya yang berhubungan dengan
gejalanya. Sekitar 19% sampai 27% orang terdiagnosis oleh radiografi
memiliki HNP tanpa menunjukkan gejala. Faktor resiko dari HNP
termasuk merokok, olah raga dengan weight bearing (weight lifting,
hammer throw), serta aktivitas berulang seperti mengangkat beban yang
berat. (Jordan, 2006).
D. Patofisiologi
Protrusi atau ruptur nukleus pulposus biasanya didahului dengan
perubahan degeneratif yang terjadi pada proses penuaan. Adanya trauma
sebelumnya atau mekanikal stress minor yang berulang-ulang seperti
mengangkat atau memindahkan barang yang tidak benar dapat
melemahkan serabut annulus fibrosus sehingga mudah mengalami
kerobekan. (Hertling and Kessler, 2006).

23
Herniasi nukleus pada segmen L2 kebawah akan menekan akar saraf
terutama herniasi kearah posterolateral. Pada daerah lumbar, herniasi
nukleus sering terjadi pada segmen L4 – L5 dan L5 – S1. Herniasi pada
segmen L4 – L5 dapat menekan akar saraf L5 sedangkan herniasi pada
segmen L5 – S1 dapat menekan akar saraf S1 dan sedikit L5 namun
semuanya menimbulkan keluhan ischialgia. (Hertling and Kessler, 2006).
Disfungsi diskus akibat proses degenerasi masih kurang jelas tetapi
kemungkinan melibatkan beberapa kerobekan circumferential pada
annulus fibrosus. Jika kerobekannya pada lapisan paling luar maka
penyembuhannya mungkin terjadi karena adanya beberapa suplai darah.
Pada lapisan paling dalam, mungkin kurang terjadi penyembuhan karena
sudah tidak ada lagi suplai darah. Secara perlahan akan terjadi pelebaran
yang progresif pada area circumferential yang robek dimana bergabung
kedalam kerobekan radial. Nukleus mulai mengalami perubahan dengan
hilangnya kandungan proteoglycan. Pada saat nukleus pulposus
mengalami kehilangan bentuknya dan annulus fibrosus mengalami
penurunan elastisitas akibat proses degenerasi, maka desakan nukleus
menyebabkan diskus menonjol kearah belakang melewati batas corpus
vertebra. Herniasi nukleus pulposus melewati serabut annular yang robek
akan menyebabkan protrusi yang jelas dari material diskus melewati batas
endplate corpus vertebra sehingga menghasilkan herniasi diskus (Hertling
and Kessler, 2006).
Kerobekan nukleus pulposus melewati annulus fibrosus umumnya
disebabkan oleh trauma berulang-ulang yang berhubungan dengan
aktivitas pekerjaan dan aktivitas olahraga. Selain itu, kerobekan pada
annulus fibrosus juga umumnya terjadi akibat faktor mekanikal tersebut.
Konsekuensi dari HNP adalah terjadinya radiculopathy atau myelopathy.
Radiculopathy terjadi akibat kompresi pada akar saraf atau akibat proses
inflamasi yang mempengaruhi akar saraf, sedangkan myelopathy telah
melibatkan kompresi pada spinal cord.(Hertling and Kessler, 2006).

24
Menurut gradasinya, herniasi dan nukleus pulposus, Herniated
Nucleus Pulposus (HNP) terbagi atas:
a. Herniasi: istilah umum yang digunakan pada terjadinya perubahan
bentuk annulus fibrosus, yaitu menonjol keluar dari btas pinggir
normalnya.
b. Protrusi: material nucleus pulposus ditahan oleh lapisan terluar
annulus dan struktur ligamen penopang.
c. Prolaps: material nucleus pulposus rupture total ke kanalis vertebralis.
d. Ekstrusi: ekstensi material nucleus pulposus keluar dari batas ligamen
longitudinal posterior atau di atas dan di bawah ruang diskus, seperti
yang tampak pada pencitraan MRI, tetapi masih kontak dengan diskus.
e. Sekuestrasi bebas: material nucleus pulposus yang telah terekstrusi
terpisah dari diskus dan menjauhi area prolaps.

Gambar 2.13
Jenis-jenis Herniated Nucleus Pulposus (HNP).
(A) Protrusion. (B) Prolapse. (C) Extrusion. (D) Sequestation
Sumber :Magee (2008).
E. Manifestasi Klinis
a. Nyeri punggung bawah yang intermitten (dalam beberapa minggu sampai
beberapa tahun). Nyeri menjalar sesuai dengan distribusi saraf sciatic.
b. Sifat nyeri berubah dari posisi berbaring ke duduk, nyeri mulai dari
pinggang dan menjalar ke bagian posterolateral kemudian sampai di
tungkai bawah.

25
c. Nyeri bertambah hebat karena pencetus seperti batuk, bersin, mengedan,
berdiri, duduk dalam jangka waktu yang lama dan berkurang saat
beristirahat atau berbaring.
d. Penderita sering mengeluh kesemutan (parasthesia) atau baal bahkan
kekuatan otot menurun sesuai dengan distribusi persarafan yang terlibat.
e. Nyeri bertambah bila daerah L5 – S1 ditekan.
f. Jika dibiarkan maka lama kelamaan akan mengakibatkan kelemahan
anggota bawah/tungkai.
g. Bila mengenai conus medullaris atau cauda equina dapat terjadi
gangguan defekasi, miksi, dan fungsi seksual. Keadaan ini merupakan
kegawatan neurologis yang memerlukan tindakan pembedahan untuk
mencegah kerusakan fungsi permanen. (Setyanegara 2014).

F. Tinjauan Tentang Pengukuran Fisioterapi


1). Pengukuran Nyeri

Nyeri adalah rasa yang tidak menyenangkan, yang dapat terjadi oleh
karena rangsangan berbahaya (noxius) akibat kerusakan jaringan atau oleh
karena gangguan emosi yang dapat menyebabkan seseorang mengalami
perasaan yang tidak menyenangkan, walaupun tak ada rangsangan
berbahaya. Jenis nyeri terbagi atas 4 bagian yaitu :

1. Nyeri Primer

Nyeri primer adalah nyeri mudah dilokalisir, tajam dan cepat


timbulnya, umpama tusukan dengan jarum. Nyeri ini hubungan dengan
aktivitas A delta.

2. Nyeri Sekunder

Nyeri sekunder adalah Nyeri yang sukar dilokalisir baur seperti


terbakar dan lama timbulnya, umpamanya sakit gigi yang amat sangat
tidak dapat ditahan. Nyeri ini hubungannya dengan serat C.

26
3. Nyeri Akut

Nyeri akut umumnya letaknya perifer dan di ikuti gejala takut

4.Nyeri Kronis

Nyeri Kronis adalah Nyeri menahun dapat sentral dan perifer, nyeri
ini tak memberi tahu adanya kerusakan jaringan, akan tetapi terdapat
lain- lain persoalan, biasanya diikuti depresi (reactive depression).
Antara kerusakan jaringan sebagai sumber stimulasi nyeri sampai
dirasakan sebagai persepsi terdapat suatu rangkaian proses elektro
fisiologi yang secara kolektif disebut.

➢ Alat yang digunakan ialah Visual Analog Scale (VAS)

Vas digunakan untuk mengukur kwantitas dan kwalitas nyeri yang pasien
rasakan, dengan menampilkan suatu kategorisasi nyeri mulai dari ”tidak nyeri,
ringan, sedang atau berat” . Secara operasional VAS umumnya berupa garis
horizontal atau vertical, panjang 10 cm seperti yang di ilustrasikan pada
gambar.Pasien menandai garis dengan menandai sebuah titik yang mewakili
keadaan nyeri yang di rasakan pasien saat ini.

Kriteria Visiual analog scale (VAS)

o Skala 0, tidak nyeri


o Skala 1, nyeri sangat ringan
o Skala 2, nyeri ringan. Ada sensasi seperti dicubit, namun tidak begitu
sakit
o Skala 3, nyeri sudah mulai terasa, namun masih bisa ditoleransi
o Skala 4, nyeri cukup mengganggu (contoh: nyeri sakit gigi)
o Skala 5, nyeri benar-benar mengganggu dan tidak bisa didiamkan dalam
waktu lama

27
o Skala 6, nyeri sudah sampai tahap mengganggu indera, terutama indera
penglihatan
o Skala 7, nyeri sudah membuat Anda tidak bisa melakukan aktivitas
o Skala 8, nyeri mengakibatkan Anda tidak bisa berpikir jernih, bahkan
terjadi perubahan perilaku
o Skala 9, nyeri mengakibatkan Anda menjerit-jerit dan menginginkan cara
apapun untuk menyembuhkan nyeri
o Skala 10, nyeri berada di tahap yang paling parah dan bisa menyebabkan
Anda tak sadarkan diri

2). Pengukuran Kekuatan Otot


Derajat dari MMT di nilai dalam angka dari 0 sampai dengan 5.Derajat yang
diberikan menggabungkan antara faktor subjektif dan objektif.Faktor subjektif
adalah penilaian penguji pada tahanan yang di berikan pada pasien dalam
test.Sedangkan faktor objektif adalah kemampuan pasien untuk memenuhi ROM
atau melawan tahanan dan gravitasi.
Grade Terbilang Keterangan
0 Zero Tidak ada pergerakan otot, baik secara
palpasi atau visual

1 Trace Penguji dapat mendeteksi adanya kontraksi


dari satu atau lebih otot yang
berpasrtisiapasi dalam menimbulkan
sebuah gerakan yang sedang di uji baik
secara palpasi atau terlihat. Namun tidak
ada pergerakan dari sendinya
2 Poor Otot dapat memenuhi full ROM dalam
posisi yang gaya gravitasinya minimal.
Biasanya dalam posisi horizontal

28
3 Fair Otot atau group otot dapat memenuhi ROM
penuh dan dapat melawan tahanan dari
gravit dari gravitasi saja.
4 Good Dapat memenuhi ROM full dan melawan
gravitasi serta dapat melawan tahanan tanpa
berhenti di tengah tengah ROM.
5 Normal Dapat mmemenuhi ROM dan melawan
tahanan maksimal

3). Pengukuran Fungsional/Disabilitas

Kuesioner ODI berupa formulir berisi 10 item pernyataan yang disusun


untuk memberikan gambaran terhadap kemampuan fungsional pasien LBP, yang
terdiri dari : item pertama mengukur intensitas nyeri dan 9 item lainnya mengukur
pengaruh nyeri terhadap aktivitas sehari-hari yaitu perawatan diri, mengangkat,
berjalan, berdiri, duduk, tidur, aktivitas seksual, aktivitas sosial dan tamasya.
Sebelum mengisi kuesioner, terlebih dahulu pasien diberi penjelasan tentang cara
pengisian dan pasien harus member tanda ceklis pada kotak yang disediakan.
Poasien diminta memilih salah satu pernyataan yang menggambarkan
ketidakmampuan aktivitas fungsional. Tiap kotak diberi skor dalam skala 0-5 dan
hasil yang dapat diberikan pada skala0-50. Penilaian menggunakan nilai total skor
ODI/Total skor (50) x 100 %. Tingkat kemampuan aktivitas fungsional
dikategorikan sebagai berikut :

➢ Minimal disability (TKAF = 0% - 20%)

➢ Moderat disability (TKAF = 21 % - 40 %)

➢ Berat disability (TKAF = 41 % - 60%)

➢ Sangat terbatas aktivitas (TKAF = 61% - 80 %)

➢ Tidak mampu beraktivitas (TKA = 81% – 100%)

29
4). Schober Test
Schobert test adalah metode yang digunakan untuk mengukur fleksibilitas
lumbal. Alat yang digunakan adalah meteran. Adapun pelaksanaan teknik schobert
test sebagai berikut :

a. Posisi pasien yang dianjurkan adalah posisi berdiri dengan cervical, thoracal,
lumbal dalam posisi 0º (mid line) tanpa adanya lateral fleksi dan rotasi.
Stabilisasi regio pelvis untuk mencegah adanya anterior tilting.

a. Cara pengukuran
1. Pada saat berdiri, beri tanda pada titik L5 (Vertebra Lumbal ke 5)
2. Dua titik ditandai : 5 cm dibawah dan 10 cm diatas titik ini
3. Pasien diminta untuk menyentuh jari kaki sambil menjaga lutut tetap lurus.
4. Ukur jarak L1 ke L5 dengan menggunakan meteran
5. Jika jarak kedua titik tidak bertambah setidaknya 5 cm, maka ini adalah tanda
keterbatasan pada fleksi lumbal.

Normalnya : jarak yang dicapai adalah > 6 cm.

Abnormalnya : jarak yang dicapai < 6 cm.

G. Tinjauan Tentang Intervensi Fisioterapi


1. Micro Wave Diatermi (MWD)

MWD adalah salah satu modalitas fisioterapi yang dapat


bermanfaat dalam mengurangi nyeri. MWD cocok untuk jaringan
superficial dan struktur artikuler yang dekat dengan permukaan kulit.
Salah satu tujuan utama dari terapi MWD adalah untuk memanaskan
jaringan otot sehingga akan memberi efek relaksasi pada otot dan
meningkatkan aliran darah intramuskuler, hal ini terjadi karena adanya
peningkatan temperatur yang signifikan.

a) Indikasi
• Post akut musculoskeletal injuri

30
• Kerobekan otot dan tendon
• Penyakit degenerasi sendi
• Peningkatan extensibilitas collagen
• Mengurangi kekakuan sendi, bursitis
• Lesi kapsul
• Myofascial trigger point
• Mengurangi nyeri subakut dan nyeri kronik.
b) Kontraindikasi
• Akut traumatik musculoskeletal injuri
• Kondisi-kondisi akut inflamasi
• Area ischemia dan efusi sendi
• Mata, Contact Lens
• Malignancy, Infeksi
• Area pelvic selama menstruasi, testis dan kehamilan
• Pemasangan metal/besi pada tulang, cardiac pacemakers, alat-alat
intrauterine.
2. TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation)
TENS adalah sebuah modalitas yang bertenaga listrik rendah yang
dialirikan ke kulit melewati elektrodra yang di letakkan di atas area yang
mengalami nyeri. Arus listrik yang dapat diberikan TENS dapat
merangsang sel neuron sensory yang berdiameter besar untuk masuk lebih
dahulu ke gate di substansia gelatinosa dan menghambat sel nosiceptor yang
berdiameter kecil untuk memberikan informasi ke otak, sehingga rangsang
nyeri tidak sampai ke otak dan membuat nyeri berkurang.
Modalitas fisioterapi berupa Transcutaneus Electrical Nerve
Stimulation (TENS) dimana menggunakan energi listrik untuk merangsang
sistem saraf melalui permukaan kulit dalam hubungannya dengan modulasi
nyeri. Pemberian TENS pada kasus post ruptur anterior carciatum ligament
ini bertujuan untuk mengurangi nyeri melalui mekanisme segmental. TENS

31
akan menghasilkan efek analgesia dengan jalan mengaktivasi serabut A beta
yang akan menginhibisi neuron nosiseptif di cornu dorsalis medula spinalis.
Teori ini mengacu pada teori gerbang control (Gate Control Theory) bahwa
gerbang terdiri dari sel internunsia yang bersifat inhibisi yang dikenal
sebagai substansia gelatinosa dan yang terletak di cornu posterior dan sel T
yang merelai informasi dari pusat yang lebih tinggi. Impuls dari serabut
aferen berdiameter besar akan menutup gerbang dan membloking transmisi
impuls dari serabut aferen nosiseptor sehingga nyeri berkurang (Parjoto,
2006).
a) Indikasi
• Nyeri akibat trauma
• Muskuloskeletal
• Sindrome kompresi neurovaskuler
• Neuralgia
• Causalgia
b) Kontraindikasi
• Pasien dengan alat pacu jantung
3. Transverse Friction

Tranverse friction merupakan suatu teknik manipulasi yang

bertujuan untuk mencegah perlengketan jaringan, memperbaiki

sirkulasi darah, dan menurunkan rasa nyeri secara langsung.

➢ Efek Transverse Friction Terhadap Pemulihan Jaringan

Penghubung

Jaringan penghubung berkembang secara luas sebagai suatu

konsekuensi dari kegiatan sel-sel yang mengalami inflamasi, vaskular,

sel-sel limpatik endothelial dan fibroblast. Perkembangan jaringan

penghu-bung dibagi dalam 3 fase utama, yaitu infla-masi, proliferasi

32
(granulasi), dan remodelling. Proses ini terjadi secara terpisah tetapi

berkelanjutan (perubahan sel, matriks, dan perubahan vaskular) yang

dimulai dengan pelepasan mediator inflamatory dan berakhir dengan

pembentukan kembali jaringan yang rusak.

a. Friction dapat menstimulasi phagocytosis Transverse Friction yang

diaplikasikan pada awal fase inflamasi dapat memperbesar mobilisasi

cairan jaringan dan dapat meng-akibatkan penambahan phagocytosis.

b. Friction dapat menstimulus serabut dalam regenerasi jaringan

penghubung Selama masa pematangan,jaringan yang rusak dibentuk

dan dikuatkan kembali dengan memindahkan, mengorganisir dan

menempatkan kembali sel-sel dan matriks. Transverse Friction dengan

penekanan yang teratur pada jaringan lunak yang cederabertujuan

untuk pembentukan ulang struktur kolagen pada jaringan penghubung

dan kemudian membentuk kembali kolagen tersebut.

c. Friction dapat mencegah formasi adhesi dan adhesi ruptur yang

diinginkan Transverse Friction bertujuan untuk men-cegah pergerakan

transverse pada struktur kolagen dari jaringan penghubung, cross link

dan formasi adhesi. Pada tahap awal proliferasi ketika cross link masih

lemah, friction akan sangat membantu untuk menghilangkan nyeri

tersebut. Ketika cross link sudah kuat atau adhesi telah dibentuk, teknik

friction yang digunakan lebih lembut pada jaringan yang rusak dan

memobilisasi cross link antara serat kolagen dan adhesi, antara jaringan

penghubung yang sedang diobati dan jaringan di sekitarnya.

33
d. Friction menimbulkan hiperemia traumatis Friction

yang banyak dapat menghasilkan vasodilatasi dan

menambah aliran darah ke jaringan tersebut. Dengan

pergerakan endogen dapat mengakibatkan berku-

rangnya rasa nyeri.

e. Modulasi nyeri tingkat supraspinal Transverse

Friction dapat merangsang saraf Ad (IIIb) atau saraf

tipe C (IV) yang dibawa ke supra spinal (thalamus)

sehingga menghasilkan endorphin dan enkaphalin

yang dapat memberikan efek menurunkan nyeri dan

mengantuk.

4. Core Stability
Core stability secara definisi adalah kemampuan untuk mengontrol posisi

dan gerakan batang badan melalui panggul dan kaki untuk memungkinkan

produksi optimal, transfer dan kontrol kekuatan dan gerakan ke segmen terminal

dalam aktifitas rantai kinetik terintegrasi (Kibler, 2006).

Core stability menggambarkan kemampuan untuk mengontrol posisi dan

pergerakan bagian tengah tubuh. Core stability ditargetkan pada otot – otot perut

yang menghubungkan panggul, tulang belakang dan bahu, yang membantu

dalam pemeliharaan potur yang baik dan memberikan dasar untuk semua

gerakan lengan dan kaki (Akuthota, 2007).

Core stability merupakan kemampuan untuk mengontrol posisi dan gerak

dari trunk sampai pelvic yang digunakan untuk melakukan gerakan secara

34
optimal, perpindahan, kontrol tekanan dan gerakan saat aktifitas. Core

stabilitymerupakan faktor penting dalam postural. Otot utama dari Core Muscle

antara lain adalah otot panggul, Transversus Abdominis, Multifidus, Internal

dan Eksternal Obliques, Rektus Abdominis, Sacrospinalis khususnya

Longissimus Thoracis, dan Diafragma. Minor Core Muscle termasuk Latisimus

Dorsi, Gluteus Maximus, dan Trapezius. (Kibler,2006)

• Indikasi dan Kontraindikasi

a. Indikasi

• Gangguan Stabilitas

b. Kontraindikasi

• Cancer atau tumor padaspine

• Infeksi pada tulang belakang (spinalosteomylitis)

• Spinal fraktur

• Masalah kardiovaskular

5. Mobilisasi saraf
Mobilisasi saraf adalah modalitas pengobatan yang

digunakan dalam kaitannya dengan lesi dari sistem saraf. Teknik

mobilisasi saraf meliputi gerakan berulang dari segmen yang

mengalami gangguan, serta kombinasi gerakan dari segmen sisi

distal dan proksimalnya (Kostopoulos, 2003).

Tujuan utama dari mobilisasi saraf yaitu untuk

mengembalikan keseimbangan dinamis antara gerakan jaringan

35
saraf dan jaringan di sekitarnya, sehingga mengurangi tekanan

intrinsik pada jaringan saraf.

• Manfaat mobilisasi saraf

Manfaat dari teknik mobilisasi saraf meliputi :

a Memfasilitasi gliding saraf

b. Meningkatkan vaskularisasi saraf

c. Meningkatkan aliran axoplasmic atau transport axonal.

• Kontraindikasi

Kontraindikasi dilakukannya mobilisasi saraf menurut Butler

(1991) adalah :

a. Kondisi yang irritable

b. Inflamasi akut atau gangguan yang mengenai sistem saraf,

seperti Guillain Barre

c. Gangguan neurologis (defisit neurologis)

d. Lesi cauda equina

e. Cidera medula spinalis.

• Teknik Mobilisasi Saraf Ischiadicus

Posisikan pasien dengan posisi tidur terlentang, kemudian lakukan

gerakan fleksi hip, adduksi hip, dan dorso ankle selama 3 detik

secara berulang-ulang.

36
BAB III

PROSES ASSESMENT FISIOTERAPI

A. Identitas Umum Pasien


Nama : Tn.R
Umur : 2 9 Tahun
Alamat : Jalan Talasalapan 3
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : wiraswasta

B. Anamnesis Khusus
Keluhan utama : Nyeri Pinggang Bawah
Sifat keluhan : Nyeri Menjalar (Radicular Pain)
Faktor Penyebab : Kesalahan posisi pada saat mengangkat
barang
Faktor yang memperberat :Saat duduk lama dan jalan jauh
Faktor yang memperingan :Saat istirahat ( baring )
RPP : Awalnya pasien melakukan aktivitas
mengangkat barang berat kemudian pasien main bulu
tangkis dan tiba – tiba merasakan nyeri pada pinggang
bawahnya pada bulan februari 2022, 3 hari setelah
kejadian tersebut pasien merasakan adanya
peningkatan rasa sakit pada bagian pinggang bawah
dan merasakan sakit berlebihan terutama pada saat
membungkuk atau rukuk, kemudaan pasien ke dokter
spesialis saraf akhirnya pasien didiagnosa HNP dan
di rujuk ke fisioterapi
Riwayat Penyakit Penyerta : Tidak ada

37
C. Inspeksi/Observasi
1. Statis
• Dari arah anterior terlihat adanya asimetris pada pelvic
• Dari arah lateral pasien tampak flat back
• Dari arah posterior SIJ tampak asimetris
a. Dinamis
• Pasien kesulitan menggerakkan daerah pinggul
• Pada saat berjalan, berat badan lebih bertumpu pada kaki yang sehat

D. Regional Screening Test


Regional screaning test adalah tes provokasi untuk mengungkap letak
kelainan yang dikeluhkan penderita secara regional.
• Lumbo Pelvic Rythem
Teknik : Fisioterapis menginstruksikan pasien untuk
melakukan gerakan flexi-ekstensi secara aktif
Hasil : Nyeri pada lumbal
Interpretasi : Pada saat gerakan fleksi menunjukkan adanya
keterbatasan pada lumbal maka diperlukan gerakan pelvic yang lebih
besar

E. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar


Pemeriksaan yang dimaksud adalah pemeriksaan pada alat gerak
tubuh dengan cara melakukan gerakan fungsional dasar pada region tertentu
untuk melacak kelainan struktur region tersebut.

➢ Tes Gerak Aktif Pada Lumbal


Tujuan : Untuk memberikan informasi berupa koordinasi gerak, pola
gerak, nyeri, dan ROM aktif
a. Teknik Pelaksanaan
Pasien diminta untuk melakukan gerakan fleksi – ekstensi lumbal,
lateral fleksi lumbal, dan rotasi lumbal secara mandiri. Fisioterapis

38
sebelumnya memberikan contoh terlebih dahulu kemudian pasien
mengikuti gerakan yang sudah dicontohkan.
Gerakan Hasil Keterbatasan
Fleksi Nyeri ROM terbatas
Ekstensi Tidak Nyeri ROM normal
Lateral fleksi kiri Tidak Nyeri ROM normal
Lateral fleksi kanan Tidak Nyeri ROM normal
Rotasi kiri Tidak Nyeri ROM normal
Rotasi kanan Tidak Nyeri ROM normal

➢ Pemeriksaan Gerak Pasif Pada Lumbal


Tujuan : Untuk memperoleh informasi berupa ROM pasif, stabilitas sendi,
rasa nyeri, end feel, dan capsular pattern.
a. Teknik Pelaksanaan
Pasien diminta untuk melakukan gerakan fleksi – ekstensi lumbal,
lateral fleksi lumbal, dan rotasi lumbal. Fisioterapis mengarahkan
pasien untuk melakukan gerakan tersebut dan pasien dibantu oleh
fisioterapis untuk melakukan gerakan tersebut.
Gerakan Hasil Ketebatasan Endfeel

Fleksi Nyeri ROM terbatas Nyeri,ROM


terbatas,Empty
end feel
Ekstensi Tidak Nyeri ROM Normal Normal,ROM
normal,Hard
end feel
Lateral fleksi Tidak Nyeri ROM Normal Normal,ROM
kiri normal,Elastic
end feel

39
Lateral fleksi Tidak Nyeri ROM Normal Normal,ROM
kanan normal,Elastic
end feel
Rotasi kiri Tidak Nyeri ROM Normal Normal,ROM
normal,Elastic
end feel
Rotasi kanan Tidak Nyeri ROM Normal Normal,ROM
normal,Elastic
end feel

F. Tes Isometric Melawan Tahanan


Tujuan : Untuk mendapatkan informasi kekuatan otot secara isometric dan
kualitas saraf motorik
a. Teknik Pelaksanaan
Pasien diminta untuk melakukan gerakan fleksi – ekstensi lumbal,
lateral fleksi lumbal, dan rotasi lumbal secara mandiri. Fisioterapis
mengarahkan pasien untuk melakukan gerakan tersebut kemudian
fisioterapis memberikan tahanan pada setiap gerakan yang dilakukan
oleh pasien.
Gerakan Rasa Nyeri Kekuatan otot Kualitas saraf
Fleksi Nyeri Lemah Tidak baik
Ekstensi Tidak Kuat Baik
Lateral fleksi kiri Tidak Kuat Baik
Lateral fleksi kanan Tidak Kuat Baik
Rotasi kiri Tidak Kuat Baik
Rotasi kanan Tidak Kuat Baik

40
G. Pemeriksaan Spesifik
➢ Patrick Test
Tujuan : Untuk mengidentifikasi adanya patologi pada hip
atau SIJ
Teknik : Pasien terlentang dalam posisi comfortable.
Praktikan selanjutnya secara pasif menggerakkan
tungkai pasien yang dites kearah fleksi knee dengan
menempatkan ankle diatas knee pada tungkai pasien
yang satunya. Praktikan kemudian memfiksasi SIAS
pasien pada tungkai yang tidak di tes dengan
menggunakan satu tangan dan tangan satunya pada sisi
medial knee pasien yang dites, lalu menekan tungkai
pasien kearah abduksi.
Hasil : Nyeri terprovokasi selama test
Interpretasi : Indikasi patologi pada lumbal
➢ Anti Patrick
Tujuan : untuk mendeteksi iritasi nervus sciatic.
Teknik : Posisi pasien tidur terlentang dalam posisi
comfortable. Terapis meletakkan kedua tangan di atas
knee pasien, masing-masing pada sisi medial dan
lateral knee untuk menyiapkan stabilisasi. Terapis
selanjutnya secara pasif menggerakkan tungkai pasian
ke arah fleksi hip 90, endorotasi, adduksi, dan knee
fleksi 90.
Hasil :nyeri pada area gluteal/sciatic.
Interpretasi : adanya penekanan saraf
➢ Slump Test
Tujuan : Tes ketegangan saraf digunakan untuk mendeteksi
herniated disc, neurodynamic atau sensitivitas
jaringan saraf

41
Teknik : Posisi pasien duduk tegak dan kedua tangan berada
dibelakang tubuh pasien. 1) Terapis mempertahankan
kepala pasien pada posisi netral, pasien diminta
membungkuk (fleksi lumbal), 2) kemudian beri
tekanan ( kompresi) pada bahu kanan kiri pasien untuk
mempertahankan fleksi lumbal , 3) selanjutnya pasien
diminta mengerakkan fleksi leher dan kepala sejauh
mungkin, 4) kemudian terapis mepertahankan posisi
maksimal fleksi veterbra tersebut dengan memberi
tekanan pada kepala bagian belakang, 5) terapis
menahan kaki pasien pada maksimal dorso fleksi,
pasien diminta ekstensi knee, 6) jika pasien tidak
mampu ekstensi knee (karena nyeri) maka tekanan
pada kepala dipindahkan pada bahu kanan kiri
Hasil : Pasien positif mengalami discus hernia
Interpretasi : Pasien tidak mampu melakukan ekstensi knee pada
saat tes
➢ Joint Play Movement
Tujuan : Untuk mengetahui letak kelainan secara segmentasi
regio lumbal
Teknik : PACVP dan LPAVP. PACVP atau postero-anterior
central vertebra pressure diaplikasikan dalam posisi
tidur tengkurap dengan memberikan kompresi pada
proc. spinosus setiap segmen. Sedangkan LPAVP atau
lateral-posterior vertebral pressure juga dalam posisi
yang sama tetapi kompressi diberikan pada facet joint
tepat disamping proc.sponosus.
Hasil : Dari hasil PACVP pada segmen L5 – S1 terdapat
nyeri.
Interpretasi : Adanya indikasi intervertebral disfungsi

42
➢ Myotome tes
Tujuan : Untuk mengetahui kelemahan pada otot yang
dilewati oleh akar saraf yang bermasalah
Tekhnik : Pemeriksa menempatkan sendi pada posisi netral
atau posisi rileks dan kemudian menerapkan
gerakan isometric melawan tahanan, kontraksi
ditahan kurang lebih selama 5 detik untuk melihat
adanya kelemahan. Jika memungkinkan pemeriksa
akan memeriksa dua sisi sekaligus untuk
mendapatkan perbandingan. Perbandingan
keduanya bersamaan tidak mungkin untuk gerakan
pada hip dan knee karena berat dari tungkai dan
tekanan dari punggung bawah.
Interpretasi : pasien tidak mampu melawan tahanan pada saat
Gerakan ekstensi/dorso fleksi jari jari kaki dan plantar
fleksi
Hasil : adanya ketidakmampuan melawan tahan pada
Gerakan ekstensi jari”kaki /dorso fleksi dan plantar fleksi.
➢ Dermatom tes
Tujuan : Untuk melakkan pemeriksaan are dermatome L5-
S1
Teknik : Cara pemeriksaan dengan cara meraba, menekan dan
memegang jari kaki 1,2,3,4,5.pasien dalam posisi tidur
terlentang dan menutup mata.Posisi fisioterapis,
berdiri disamping pasien yang akan di
palpasi.fisioterapis melakukan palpasi di daerah jari-
jari kaki 1, 2,3,4 dan 5 kemudian menanyakan ke
pasien apakah ada rasa kebas atau mati rasa
(numbness).
Hasil : Pasien merasakan kebas didaerah tersebut

43
Interpretasi : Terdapat penekanan akar saraf L5-S1
➢ Palpasi otot
Tujuan : Untuk mengetahui adanya spasme Otot Erector
Spine dan Quadratus Lumborum
Teknik : Posisi pasien prone lying, Fokus pada spine dan
lokalisir Processus spinossus lumbal dengan ujung thumb.geser thumb
kelateral tepat pada lamina groove dan pada otot erctor spine palpasi
lebih dalam antara costa 12 dan illium untuk menemukan tepi serabut
quadratus lumborum.
Hasil : Nyeri tekan pada otot erector spine dan Quadratus
lumborum
Interpretasi : adanya spasme pada otot erector spine dan
quadratus Lumborum
H. Pengukuran
➢ Visual Analog Scale (VAS)
Tujuan : Untuk mengetahui derajat nyeri pasien

1) Teknik pelaksanaan : Terapis memberikan provokasi nyeri kepada


pasien. pasien akan menunjukkan seberapa nyeri yang ia rasakan.
Pasien diminta untuk menandai disepanjang garis tersebut sesuai
dengan tingkat intensitas nyeri yang dirasakan pasien, kemudia
jaraknya diukur dari batas kiri sampai pada tanda yang diberi oleh
pasien dan itulah tingkat intensitas nyeri pasien. Skor tersebut dicatat
dan digunakan untuk melihat kemajuan pengobatan/terapi
selanjutnya.
2) Kriteria objektif
skala 0 – 1 : tidak terasa nyeri;
skala 1 – 3 : nyeri ringan;
skala 3 – 7 : nyeri sedang ;
skala 7 – 9 : nyeri berat;
skala 9 – 10 : nyeri sangat berat

44
Hasil :
- Nyeri diam : skala 3
- Nyeri gerak : skala 5

- Nyeri tekan : skala 7

➢ Manual Muscle Testing (MMT)


Tujuan : Pengukuran ditujukan untuk menentukan
kemampuan seseorang dalam mengontraksikan otot atau group otot, untuk
membantu menentukan prognosis dan jenis terapi yang akan diberikan kepada
pasien.
Gerakan Nama otot MMT
Fleksi Lumbal M.rectus abdominis 4
M.external oblique 4
Ekstensi Lumbal M.erector spine 5
M.iliocostalis 5

45
M.longissimus 5

Lateral Fleksi Dextra M.quadratus lumborum 5

Lateral Fleksi Sinistra M.quadratus Lumborum 5

➢ Pengukuran ROM
Pengukuran LGS menggunakan metode schober
• Tes ditujukan untuk mengetahui kemampuan pasien untuk melenturkan

punggung bawahnya.

• Prosedur :

➢ Pada saat berdiri, beri tanda pada titik S1 (Vertebra sacrum ke 1)

➢ Dua titik ditandai : 5 cm dibawah dan 10 cm diatas titik ini

➢ Pasien diminta untuk menyentuh jari kaki sambil menjaga lutut tetap

lurus.

➢ Ukur jarak dengan menggunakan meteran

➢ Jika jarak kedua titik tidak bertambah setidaknya 5 cm, maka ini adalah

tanda keterbatasan pada fleksi lumbal.

Gerakan Patokan Posisi awal Posisi akhir LGS

Fleksi VC7 – VS1 47 cm 50 cm 3 cm


Ekstensi VC7 – VS1 47 cm 41 cm 6 cm
Side fleksi Ujung Jari 3 – 56 cm 38 cm 18 cm
kanan lantai

46
Side fleksi Ujung Jari 3 – 56 cm 38 cm 18 cm
kiri lantai

• Hasil : Pasien mengalami abnormal karena jarak yang dicapai < 6

cm

• Interpretasi : Normalnya : jarak yang dicapai adalah > 6 cm.

Abnormalnya : jarak yang dicapai < 6 cm.

➢ Pengukuran Oswestry Disability Index (ODI)


• Tujuan : Pengukuran ditujukan untuk mengukur tingkat disabilitas
pinggang. Kuesioner ini dapat memberikan informasi kepada fisioterapis
bagaimana nyeri pinggang mempengaruhi kehidupan sehari-hari.
• Prosedur : Fisioterapis mengajukan beberapa pertanyaan kepada pasien
untuk dijawab. Seluruh jawaban pasien diberikan poin kemudian dihitung
sesuai rumus yang ada.
• Hasil : Berdasarkan hasil perhitungan setelah pengajuan pertanyaan
kepada pasien,pasien mengalami cacat berat dengan interpretasi nilai 41 %
(Berat disability)
Skor
Pertanyaan
0 1 2 3 4 5
Intensitas Nyeri 3
Perawatan Diri (Mandi) 2
Mengangkat 4
Berjalan 2
Duduk 3

47
Berdiri 3
Tidur 2
Bepergian 1
Pekerjaan/Rumah Tangga 4
Kehidupan Sosial 3

𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑜𝑖𝑛 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙


Skala ODI : x 100
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑜𝑛𝑑𝑖𝑠𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑖𝑠𝑖 𝑥 5
50
: x 100
27 𝑥 5

: 37,03 %
• Interpretasi :
(1) Disabilitas minimal, merupakan ketidakmapuan pada tingkat minimalyaitu
dengan angka 0%-20%. Pasien dapat melakukan sebagian besar aktifitas
hidupnya. Biasanya tidak ada indikasi untuk pengobatan terlepasdari nasihat
untuk mengangkat dan duduk dengan cara yang benar agartidak bertambah
parahnya tingkat disabilitas pasien.
(2) Disabilitas sedang, merupakan ketidakmampuan pada tingkat sedang yaitu
dengan angka 21%-40%. Pasien merasa lebih sakit dan mengalamikesulitan
dalam melakukan aktifitas duduk, mengangkat, dan berdiri.Untuk berpergian
dan kehidupan sosial akan lebih dihindari. Sedangkanuntuk perawatan
pribadi dan tidur tidak terlalu terpengaruh.
(3) Disabilitas parah, merupakan ketidakmampuan pada tingkat yang
parah,yaitu dengan angka 41%-60%. Rasa sakit dan nyeri tetap menjadi
masalahutamanya sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari.
(4) Disabilitas sangat parah, merupakan ketidakmampuan yang sangat –
parahdengan angka 61% 80%, sehingga sangat menggangu seluruh
aspekkehidupan pasien.
(5) Angka tertinggi untuk tingkat keparahan disabilitas adalah
81% 100%,dimana pasien tidak dapat melakukan aktifitas sama sekali dan
hanyatergolek ditempat tidur.

48
Dalam hal ini, tingkat disabilitas yang akan digunakan sebagai acuan
penelitian adalah pasien dengan disabilitas sedang sampai dengan disabilitas
yang parah. Sebagai tambahan, banyak peneliti menyarankan bahwa perubahan
4-10 poin merupakan hal yang penting untuk menentukan signifikansi perubahan
(52).Pada penelitian ini, data yang digunakan adalah jumlah total masing-masing
item untuk pengujian aspek psikometri berupa validitas butir kuesioner dan
reliabilitas kuesioner secara umum.(Wahyudin, 2016).
I. Diagnosa Dan Problematika Fisioterapi
a) Adapun diagnosa fisioterapi yang dapat ditegakkan dari hasil proses
pengukuran dan pemeriksaan tersebut, yaitu “Radikular Pain Pada Pinggang
Bawah hingga kaki et causa HNP Lumbal”
b) Problematik Fisioterapi
Pemeriksaan /
No. Komponen ICF Pengukuran Yang
Membuktikan
Impairment
Pengukuran
Body Structure = Discus
VAS,pemeriksaan
Body Function = Nyeri menjalar pada
spesifik (Slump tes)
pinggang bawah
Body Structure = Otot erector spine dan
quadratus lumborum
Palpasi
Body Function = Spasme otot erector spine
1
dan quadratus lumborum
Tes Gerak Aktif Dan
Body Structure = Otot Fleksor trunk Pasif dan MMT
Body Function = Adanya kelemahan otot
fleksor trunk sehingga menyebabkan
Keterbatasan gerak fleksi lumbal.

2 Activity Limitation Histori Taking

49
Gangguan ADL seperti berjalan, duduk,
dan membungkuk
Kesulitan mengangkat beban yang berat Pengukuran ODI
Participant Restriction
3 Kesulitan melakukan ibadah dan Pengukuran ODI
melakukan pekerjaan perusahaan

50
BAB IV

INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI

A. Rencana Intervensi Fisioterapi


1. Tujuan jangka Panjang

Mampu mengembalikan kemampuan duduk dan berdiri dalam waktu

yang lama serta kembali melakukan shalat secara mandiri tanpa ada rasa

nyeri

2. Tujuan jangka pendek

a. Mengurangi radicular pain

b. Meningkatkan fleksibilitas lumbal

c. Meningkatkan kekuatan otot fleksor lumbal

d. Mengurangi spasme pada otot quadratus lumborum erector spine

B. Strategi Intervensi Fisioterapi


No Problematik Fisioterapi Tujuan Intervensi Jenis
Intervensi
Impairment
Nyeri radicular ke tungkai Menurukan nyeri MWD dan
bawah neurodynamic
mobilization
Spasme otot erector spine dan Mengurangi spasme TENS/ Deep
1
Quadratus Lumborum Friction
Adanya kelemahan otot fleksor Meningkatkan
trunk dan keterbatasan fleksi kekuatan otot fleksor
Core Stability
lumbal trun dan
Mengembalikan

51
derajat gerak bebas
pada fleksi lumbal
Activity Limitation
Gangguan ADL seperti Mengembalikan Core Stability
berjalan, duduk, dan kemampuan untuk
membungkuk berjalan,duduk dan
bungkuk dalam waktu
2 yang lama tanpa
keluhan
Kesulitan mengangkat beban Mengembalikan Core Stability
yang berat kemampuan untuk
mengangkat beban
yang berat
Participant Restriction
Kesulitan melakukan ibadah Mampu untuk Edukasi dan
dan melakukan kegiatan beribadah tanpa
3 home program
perusahaan keluhan dan
melakukan kegiatan
kantor

C. Prosedur intervensi fisioterapi


a. Micro Wave Diathermi (MWD)
Tujuan : Untuk memperlancar sirkulasi darah dan mengurangi nyeri
Frekuensi : Setiap kali melakukan terapi
Intensitas : 60 W (Continuous/CEM)
Time : 10 Menit
b. Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation ( TENS)
Tujuan : untuk mereduksi nyeri
Frekuensi : Setiap kali melakukan terapi
Intensitas : 25.0 Hz (toleransi pasien )

52
Time : 8 Menit
c. Friction
Tujuan : Untuk Mengurangi nyeri pada M. Erector spine & M.
Quadratus Lomborum
Frekuensi : 2 kali seminggu
Time : 60 Detik
d. Terapi Latihan (Core Stability)
• Tujuan : Memperkuat core muscles akan memperbaiki postur tubuh.

• Prosedur :

Latihan 1 :

1) Posisi pasien : berbaring telentang dengan tangan di sisi tubuh.

2) Teknik pelaksanaan :

• Angkat kaki dan tekuk sehingga membentuk sudut siku-siku di

pinggul dan lutut.

• Fokus pada menjaga pinggul dan kaki benar-benar diam dan

punggung rata

Latihan 2 :

1) Posisi pasien : Tidur terlentang dengan handuk di bawah lumbal.

53
2) Prosedur pelaksanaan : Minta pasien untuk mengangkat pinggulnya

sedikit lalu minta pasien untuk menekan handuk.Stabilizer diposisikan

di bawah lordosis lumbar. Selama latihan, tulang belakang tidak

melakukan gerakan apa pun. Transversus abdominis (TrA)

dikontraksikan saat melakukan latihan untuk mempertahankan posisi

yang sesuai. Pasien menarik perutnya ke atas dan ke atas di pusar tanpa

menggerakkan tulang rusuk, panggul atau tulang belakang.

• Frekuensi :2 kali seminggu

e. Neurodynamic Mobilization

• Tujuan : Untuk mengurangi nyeri menjalar

• Frekuensi : 2 kali seminggu

• Prosedur Pelaksanaan:

- Tangan fisioterapis mendorong pelvic pasien kearah anterior, dan secara

bersamaan tangan fisioterapis lainnya menggerakkan shoulder kearah

dorsal sehingga terjadi rotasi lumbar.

- Kemudian, instruksikan pasien untuk menggerakkan tungkainya bagian

atas secara aktif kearah fleksi – ekstensi hip.

- Dosis terapi adalah 10 kali repetisi setiap set latihan, waktu interval

setiap set adalah 1 menit, 3 set, jumlah intervensi sebanyak 2 kali per

minggu. (Srishti dan Megha 2018).

D. Edukasi Dan Home Program


• Edukasi :

Pasien dianjurkan untuk:

54
- Tidak mengangkat beban yang berat agar tidak menimbulkan rasa nyeri.

- Selalu menjaga`postur tubuh yang benar pada saat berdiri atau duduk.

- Menjaga berat badan ideal

- Menghindari kegiatan membungkuk

- Selalu menggunakan korset

• Home Program :

- Memberitahukan pasien untuk melakukan kembali latihan core stability di

rumah

E. Evaluasi Fisioterapi
Problematik Intervensi Fisioterapi Awal Terapi Akhir Terapi

Radikular Pain MWD Dan VAS : 7 VAS : 5


Neurodynamic
Mobilization
Spasme Otot Erector TENS dan Deep Nyeri tekan pada Nyeri tekan
Spine dan Quadratus Friction otot Erector pada otot
Lumborum Spine dan Erector Spine
Quadratus dan Quadratus
Lumborum Lumborum
Berkurang
Adanya kelemahan MMT:4 MMT:4+
Core Stability
otot fleksor trunk LGS: 3 cm LGS: 6 cm
dan keterbatasan
fleksi lumbal

55
BAB V

PEMBAHASAN

A. Pembahasan Assement Fisioterapi


1. History Taking
History taking merupakan cerita tentang riwayat penyakit yang
diutarakan oleh pasien melalui tanya jawab, yang disusun secara kronologis
yang memerlukan pemahaman tentang patofisiologi dari pemeriksa. Untuk
mendapatkan history taking yang baik dibutuhkan sikap pemeriksa yang
sabar dan penuh perhatian, serta waktu yang cukup. Cara pengambilan
history taking dapat mengikuti dua pola umum, yaitu :
1) Pasien dibiarkan dengan bebas mengemukakan semua keluhan serta
kelainan yang dideritanya.
2) Pemeriksa membimbing pasien mengemukakan keluhannya atau
kelainannya dengan jalan mengajukan pertanyaan tertentu.
Dalam buku “Orthopedic Physical Assesment : David J.Mage” kondisi
berbeda mempengaruhi pasien pada usia yang berbeda.seperti masalah
diskus biasanya terjadi antara usia 15 sampai dengan 50 tahun.dan nyeri
punggung kronis lebih dari 3 bulan
2. Observasi/Inspeksi
Untuk melengkapi data suatu pemeriksaan fisioterapi, diperlukan
pemeriksaan observasi. Observasi memerlukan kecermatan dan kecepatan
menganalisa keadaan pasien dalam waktu yang singkat. Dalam buku
“Orthopedic Physical Assesment : David J.Mage bahwasannya untuk
inspeksi, ada 3 tipe tubuh yaitu kurus,berotot dan gemuk. Kemudian apakah
gaya berjalan tampak normal,apakah gaya berjalannya diubah untuk
meredakan gejala ditempat lain.
3. Pemeriksaan fungsi dasar
Pemeriksaan yang dimaksud adalah pemeriksaan pada alat gerak
tubuh dengan cara melakukan gerekan fungsional dasar pada region tertentu

56
untuk melacak kelainan struktur region tersebut. Dalam buku “Orthopedic
Physical Assesment : David J.Mage” menjelaskan terkait pemeriksaan
fungsi gerak dasar terkait gerak aktif,gerak pasif,TIMT pada region hip
yaitu fleksi,ekstensi,lateral fleksi dan rotasi serta informasi-informasi apa
saja yang didapatkan dalam pemeriksaan fungsi gerak dasar tersebut.
A. Gerak aktif

Gerak aktif adalah suatu gerakan pemeriksaan yang dilakukan sendiri


oleh penderita, sesuai petunjuk pemeriksa. Informasi yang diperoleh
dari pemeriksaan ini masih bersifat global sebab masih melibatkan
berbagai struktur seperti neuromuscular, arthrogen, vegetative
mechanism. Pemeriksaan ini dapat memberikan informasi berupa :
1) Koordinasi gerak
2) Pola gerak
3) Nyeri
4) ROM aktif
Ketika dilakukan gerak aktif, pasien dengan kondisi Osteoarthritis
mengalami keterbatasan pada knee ketika bergerak. Dari semua
gerakan yang dilakukan oleh pasien, gerakan yang terbatas yakni fleksi
dan disertai nyeri pada gerakan aktif

B. Gerak pasif
Gerak pasif dalah suatu gerakan pemeriksaan terhadap pasien yang
dilakukan oleh pemeriksa tanpa melibatkan pasien secara pasif. Dengan
demikian pemeriksaan ini banyak ditujukan untuk struktur athrogen dan
myotendinogen secara pasif. Sebelum melakukan pemeriksaan
usahakan agar region yang akan digerakkan dalam keadaan rileks dan
pada saat digerakkan usahakan mencapai ROM seoptimal mungkin
dengan memeperhatikan keluhan penderita, sehingga pada satu sisi
akan terjadi penguluran dan pada sisi yang lain mengalami kompresi.
Informasi yang dapat diperoleh dari pemeriksaan gerak pasif adalah :

57
1) ROM Pasif
2) Stabilitas sendi
3) Rasa nyeri
4) End feel
5) Capsular pattern
Ketika dilakukan pemeriksaan gerak pasif, pasien dengan kondisi
osteoarthritis tetap mengalami keterbatasan dan endfeel dari
gerakannya akan menunjukkan adanya empty endfeel.

B. TIMT
Gerak Isometrik Melawan Tahanan (TIMT) Gerak isometric
melawan tahanan (TIMT) adalah pemeriksaan yang ditujukan pada
musculotendinogen dan neurogen. Caranya penderita melakukan
gerakan dengan melawan tahanan yang diberikan oleh pemeriksa tanpa
terjadi gerakan yang merubah posisi ROM sendi pada regio yang
diperiksa. Informasi yang dapat diperoleh dari pemeriksaan ini adalah :
1) Nyeri pada musculotendinogen
2) Kekuatan otot secara isometric
3) Kualitas saraf motoric

B. Pembahasan Intervensi Fisioterapi


- Micro Wave Diathermy

Timbulnya respon panas pada sisi kontra lateral dari segmen yang sama

setelah pengobatan lebih dari 20 menit. Dengan penerapan MWD, penetrasi dan

perubahan temperature lebih terkonsentrasi pada jaringan otot sebab jaringan

otot lebih banyak mengandung cairan dan darah. Meningkatkan elastisitas

jaringan otot dan menurunkan tonus melalui normalis nocicensorik. Gangguan

konduktivitas dan ambang rangsang jaringan saraf Apabila elastisitas dan

58
ambang rangsang jaringan saraf semakin membaik, maka konduktivitas jaringan

saraf akan membaik pula. Dengan efek-efek dari Microwave Diathermy (MWD)

maka akan terjadi peningkatan sirkulasi, normalisasi jaringan otot dan tendon,

serta pebaikan metabolisme sehingga persepsi nyeri pada jaringan ikat akan

menurun.

Sugijanto (2007) menjelaskan bahwa perubahan temperatur lebih

terkonsentrasi pada jaringan otot, sebab jaringan otot lebih banyak mengandung

cairan dan darah.Karena efek sedatifnya dapat mengurangi nyeri melalui

stimulasi sekunder pada saraf afferent. Namun selain itu efek sekunder dari

serabut saraf afferent dapat mempengaruhi ujung serabut saraf pada spindle otot

dan tendon golgi, yang akan mempengaruhi inhibisi terharap motor neuron

sehingga akan mengurangi spasme (ketegangan) pada otot. Dengan

berkurangnya spasme otot tersebut diharapkan otot tersebut diharapkan otot

dapat berfungsi kembali, efek lain adalah meningkatkan metabolisme sehingga

dapat menurunkan nyeri akibat iskemia jaringan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh irfan (2009), Microwave

Diathermy merupakan pengurangan rasa nyeri yang dapat diperoleh melalui efek

stressor yang menghasilkan panas. Pemberian MWD dapat menimbulkan efek

pada tingkat seluler yang dapat merangsang perbaikan fungsi sel dengan

repolarisasi sel-sel yang rusak dan juga dapat mempercepat proses penyembuhan

sehingga peradangan akan berkurang.

59
- Core Stability Exercise

Terjadinya kontraksi otot dan gerakan yang berulang pada area spine, pelvis

dan hip, itu di pengaruhi oleh gerakan yang dilakukan secara berulang pada core

stability exercise.Core stability exercise melibatkan otot obliques eksternal,

obliques internal, quadratus lumborum, mulfidus, otot-otot pelvic floor, rectus

abdominis, diafragma, erector spine, glutealis dan illopsoas. Saat core stability

exercise berlangsung maka pada fungsi otot core, pelvic, spine, hip dan kontrol

saraf akan terjadi kombinasi yang berfungsi untuk meningkatkan fleksibilitas

trunk. Jika otot core meningkat kekuatannya, maka akan terjadi peningkatan

kekuatan otot pula pada daerah hip, knee, dan ankle. Peningkatan kekuatan otot

tersebut juga akan meningkatkan fleksibilitas. Hal ini dapat terjadi karena

penguluran (stretch) pada otot-otot antagonis, pada saat otot berkontraksi. Secara

otomatis, jika ada peningkatan kekuatan otot maka fleksibilitas akan meningkat.

Core Stability meningkatkan keseimbangan dinamis, yang disebabkan oleh

aktifnya proprioseptif sebagai sistem informasi dari sendi dan otot, untuk

mengkoordinasi refleks ke otak untuk menjaga keseimbangan sehingga akan

terjadi keseimbangan dinamis. Setelah itu akan terjadi aktivasi otot-otot core

global dan memperkuat core muscle, sehingga akan memperbaiki stabilitas pada

tulang belakang dan terjadi peningkatan LGS pada lumbal yang menyebabkan

penigkatan aktifitas fungsional pada lumbal.

Hal ini didukung oleh hasil penelitian Suresh et al tahun 2015,

menyatakan bahwa penggunaan core stability exercise menunjukkan hasil

statistik yang signifikan dalam menurunkan nyeri, meningkatkan fleksibilitas

60
dan Aktivitas fungsional pada penderita low back pain. Hal ini disebabkan

karena pada latihan core stability exercise akan memfasilitasi co-contraksi antara

otot abdomen dan otot ekstensor lumbal untuk menjaga stabilitas trunk, sehingga

timbul gerakan yang lebih efektif, dan terjadi peningkatan fleksibilitas trunk.

Core stability exercise akan mengaktivasi otot stabilitas tulang belakang global

dan segmental, kontraksi yang terkoordinasi serta bersamaan pada otot-otot

stabilisasi trunk, menyebabkan trunkmenjadi stabil, dan LGS meningkat.

Hasil penelitian sebelumnya oleh Muhammad Wassen Akhtar et al

(2017) yang berjudul“Effectiveness of core stabilization exercise and routine

exercise therapy in management of pain in chronic low back pain : A randomized

controlled clinical trial “ menunjukkan bahwa core stability exercise lebih

efektif dibandingkan physical therapy exercise secara rutin terhadap penurunan

nyeri pada pasien low back pain.

- Transfer Friction

Tranverse friction merupakan suatu teknik manipulasi yang bertujuan untuk

mencegah perlengketan jaringan, memperbaiki sirkulasi darah, dan menurunkan

rasa nyeri secara langsung.

- TENS

TENS adalah sebuah modalitas yang bertenaga listrik rendah yang dialirikan
ke kulit melewati elektrodra yang di letakkan di atas area yang mengalami nyeri.
Arus listrik yang dapat diberikan TENS dapat merangsang sel neuron sensory
yang berdiameter besar untuk masuk lebih dahulu ke gate di substansia
gelatinosa dan menghambat sel nosiceptor yang berdiameter kecil untuk

61
memberikan informasi ke otak, sehingga rangsang nyeri tidak sampai ke otak
dan membuat nyeri berkurang.
- Neurodynamic Mobilization
Neurodynamic Mobilization adalah modalitas pengobatan yang

digunakan dalam kaitannya dengan lesi dari sistem saraf. Teknik mobilisasi

saraf meliputi gerakan berulang dari segmen yang mengalami gangguan,

serta kombinasi gerakan dari segmen sisi distal dan proksimalnya

(Kostopoulos, 2003).

62
DAFTAR PUSTAKA

Aras, Djohan. 2013. Tes Spesifik Muskuloskeletal Disorder. Makassar PhysioCare


Publishing.
Ciaccio, E. Di, dkk. 2012. ‘’Herniated Lumbar Disc Treated With Global Postural
Reeducation. A Middle-term Evaluation’’. European Review For Medical
ana Pharmalogical Sciences. 16:1072-1077.
Dutton, Mark. 2002. Manual Therapy of The Spine An Intergated Approach. United
States of America: Mc. Graw-Hill.
Heliovaara,M., Paul, K., Arpo, A.2007.Incidence and risk factors of herniated
lumbar intervertebral disc or sciatica leading to hospitalization. Journal of
Chronic Disease: Vol.40; page 251-258
Bandy, Reese. 2010. Joint Range of Motion and Muscle Length Testing . Second
Edition. Missouri: St Louis.
Herling, D dan Randolph, M.K. 2006. Management of Common Musculoscletal
Disorder: Physical Therapy Principles and Methods. 4th Ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins. PP: 420
Helmi, Zairin Noor (2012). Buku Ajar Gangguan Musculoscletal. Jakarta: Salemba
Medika.
Jordan, J et al. 2006, Herniated Lumbar Disk, American Academy of Family
Physicins. BMJ Publishing Group, UK, diakses pada 8 April 2020,
http://www.aaafp.org/afp/2006/p1240.html
Kisner, Carolyn. & Colby, Lynn Allen. 2012. Therapeutic Exercise Foundations and
Techniques. Sixth Edition. Unted States of America: F. A. Davis Company.
Kisner, Carolyn. & Colby, Lynn Allen. 2012. Therapeutic Exercise Foundations and
Techniques. Sixth Edition. Unted States of America: F. A. Davis Company.
Kuntono H.P. 2000. Manajement Nyeri Musculoscletal. Makalah disajikan dalam
Temu Ilmiah Tahunan Fisioterapi XV, Semarang.
Legaspi and Edmond. 2007. Lumbar Spine Coupled Motions: A Literature Review
With Clinical Implications.
Leksana, Jeffri S. 2013. Hernia Nukleus Pulposus Lumbal Ringan Pada Janda
Lanjut Usia Yang Tinggal Dengan Keponakan Dengan Usia Yang Sama.
Lampung: Medula Vol. 1 No. 2
Levangie, Pamela K., Norkin, Cynthia C. 2005. Joint Structure & Function. United
Sates of America: F. A. Davis
Magee, David J. 2008. Orthopedic Physical Assessment. Fifth Edition. Philadelphia:
Saunders Elsevier.
Netter, Frank H.ATLAS OF HUMAN ANATOMY 25TH Edition. Jakarta : EGC. 2001.
Sarno. John E., M D. 2010. Healing Back Pain. Opos. Jakarta.
Setyanegara dkk. 2014. Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Schenk., Dana J Lawrence. 2005. Muscle Energy Technique. Fourth Edition.
Chhurchill Livingstone: Elsevier.
Silalahi. A., Ajoe. T., Margawati. A. 2016. Perbandingan Efektivitas Satu Paket
Program Terapi SWD dan TENS Terhadap Pengurangan Nyeri pada Pasien
Low Back Pain Mekanik. Jurnal kedokteran. Vol 5 No.4. Hal 258-264

Anda mungkin juga menyukai