Anda di halaman 1dari 4

Peran Perekonomian China Terhadap Perekonomian

Indonesia
PENDAHULUAN

Indonesia sudah sejak lama memiliki sejarah hubungan bilateral dengan China terutama pada
sektor perdagangan. Hubungan Indonesia-China selalu rumit sejak hubungan diplomatik
keduanya pertama kali didirikan pada tahun 1950, dan lebih daripada dengan negara lain,
hubungan dengan China pada tingkat yang lebih rendah atau lebih besar terus mempengaruhi
urusan dalam negeri. China merupakan salah satu kekuatan utama ekonomi dunia, dan
bersama dengan dua negara Asia Timur lainnya yaitu Jepang dan Korea Selatan telah
menjadi mitra dagang terpenting Indonesia(Sigit Setiawan, 2012).

Untuk meningkatkan hubungan perdagangan dengan Cina, ASEAN, di mana Indonesia


menjadi salah satu anggota-telah menyepakati kerjasama perdagangan bebas dalam kerangka
ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA). Dalam hakikatnya Indonesia sangat
membutuhkan hubungan-hubungan yang mampu meningkatkan taraf ekonomi melalui
kegiatan ekspor dan kegiatan yang bertujuan pemenuh kebutuhan dalam negeri sebagai upaya
menstabilkan harga. Seperti halnya ACFTA yang mampu mendorong kemajuan Indonesia
dalam meningkatkan Perekonomian.

Namun, dalam implementasiannya Indonesia belum dapat memanfaatkan secara optimal


skema ACFTA sehingga memperoleh manfaat lebih sedikit dibandingkan Cina. Bahkan
menurut data BPS Januari 2020 Indonesia selalu mengalami defisit jika dilihat dari selisih
yang tidak balance pada Neraca perdagangan yaitu, nilai ekspor mencapai USD 13,41 miliar
sedangkan nilai impor mencapai USD 14,28 miliar, Sehingga memunculkan selisih atau
defisit sebesar USD 0,87 miliar. Data tersebut banyak menimbulkan spekulasi tentang
keadaan yang terjadi.

Oleh sebab itu pemerintah harus turut berupaya mendorong kemajuan perekonomian
Indonesia dengan menggaet intansi Domestik maupun Asing, Dengan tujuan mempercepat
laju ekonomi Indonesia. Pemerintah juga harus mampu menerapkan kebijakan yang ada
ataupun membuat kebijakan baru yang sesuai dengan keadaan demi meningkatkan surplus
Neraca perdagangan Indonesia. Berikut merupakan paparan mengenai kondisi Neraca
perdagangan Indonesia.

KRITIK

Untuk itu Indonesia harus berupaya lebih agresif dalam mengoptimalkan kembali
ketimpangan Neraca perdagangan antara lain melalui kesepakatan bilateral, penguasaan
standar nasional Cina, meminimalkan dampak penyesuaian sektoral di lima sektor yang
paling terpengaruh dan memanfaatkan secara optimal kebijakan anti dumping. Dumping
merupakan sebuah kebijakan yang dilakukan suatu negara dengan menjual harga barang ke
luar negeri (ekspor) dengan harga lebih rendah daripada yang dijual di negara sendiri.

Kebijakan anti dumping adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengurangi beban
kerugian akibat praktek dumping. Anti dumping juga menjadi bagian dari Trade Defense
Mechanisme yang disediakan oleh World Trade Organization(WTO) bagi para pihak yang
sedang berperkara untuk menggunakan Forum WTO terhadap sengketa dumping dengan
tujuan menyelesaikan perkara yang ada dan menangnai kerugian yang dialami negara
tujuan akibat adanya perlakuan dumping di negara tujuan.

Menurut data dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) sendiri mengalami kerugian
hingga USD 228,33 juta sejak paruh kedua tahun lalu akibat praktik dumping. Bahkan bisa
berakibat menjadi masalah yang lebih berkelanjutan terlebih pada sektor industri dalam
negeri karena dapat menimbulkan kebangkrutan dan menambah jumlah angka penganguran.

Perlu diketahui, bahwa praktek dumping tersebut sangat marak ketika periode perang dagang
China dan AS. Terlebih setelah dilakukan penyelidikan oleh KADI bahwa negara dengan
persentase praktek dumping terbanyak terhadap Indonesia merupakan negara China dan
praktik dumping yang dilakukan China tergolong berat yakni menggunakan praktik
predatorty pricing.

Meskipun peran China begitu signifikan dalam membantu kegiatan dalam upaya memenuhi
kegiatan impor, namun pemerintah harus tetap waspada terhadap kegiatan impor yang dapat
merugikan Indonesia. Dari fakta yang dapat dipaparkan tersebut dapat diidentifikasikan
bahwa Indonesia masih belum menemui titik terang dalam perkembangan neraca
perdagangannya.

Lalu apakah yang menjadi faktor Indonesia masih sangat tergantung pasar impor yang cukup
tinggi terhadap China. Dari data BPS angka impor dari China periode Januari 2020 mencapai
US$ 3,9 sedangkan kuantitas sektor impor terbanyak yang dilakukan Indonesia terhadap
China merupakan produk barang mesin, bahan baku industri manufaktur, dan peralatan
mekanis.

Dari data tersebut disimpulakan bahwa ketergantungan Indonesia sendiri sangat sulit untuk
ditekan karena faktor keterbatasan teknologi. Faktor tersebut masih belum mampu diatasi
pemerintah dikarenakan kekurangan teknologi yang belum memadai untuk memproduksi
secara mandiri oleh industri Indonesia.

Hal itu sekaligus menjadi faktor utama yang membuat terhambatnya pertumbuhan laju
perekonomian Indonesia. Jadi meskipun impor dari China ditekan atau boikot maka akan
muncul permasalahan baru mulai dari harga barang ikut melambung disusul dengan
kelangkaan bahan baku bagi Industri yang menyebabkan Industri gulung tikar dan akan
menambah jumlah angka penganguran.

Lalu bagaimanakah perkembangan pada sisi nilai ekspor Indonesia?. Salah satu indikator
penting untuk menilai dampak suatu FTA adalah pendapatan nasional. Pendapatan nasional
merupakan salah satu dari tiga indikator untuk menghitung dampak dari suatu FTA terhadap
suatu negara dari aktivitasnya dalam perdagangan internasional (Llyoid dan Mclaren, 2004:
451). Kegiatan ekspor merupakan pendapatan negara paling banyak berkontribusi dalam
pemasukan devisa negara.

Dari data BPS menyebutkan bahwa sebagian besar hasil ekspor Indonesia bertumpu terhadap
negara China dan sebagian besar merupakan bahan mentah. Dengan nilai Ekspor nonmigas
Januari 2020 mencapai US$12,61 miliar dan nilai ekspor migas Januari 2020 mencapai
US$1,20. Sedangakan untuk ekspor ke negara China di sektor nonmigas Januari 2020 yaitu
US$2,10 miliar dan nilai ekspor migas US$ 211,9 juta.

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa Indonesia masih belum mampu mengoptimalkan
ekspor nya, karena komoditi ekspor Indonesia sebagian besar merupakan bahan mentah yang
memiliki nilai tambah jika mampu diolah dengan tepat. Namun keterbatan teknologi lagi-lagi
menjadi penghambat utama faktor perlambatan ekspor.Hal ini perlu menjadi evaluasi dalam
memaksimalkan kegiatan ekspor terutama dalam pengolahan hasil bumi secara mandiri
sehingga menambah nilai jual.

“Menurut Darmin ‘Satu hal yang perlu kita lakukan adalah mendorong ekspor nonmigas.”’
Peningkatan ekspor akan lebih berdampak besar daripada pengendalian impor, terutama
untuk produk migas yang memberi andil atas defisit neraca. Komoditas ekspor nonmigas
Indonesia sudah dilirik oleh dunia karena Indonesia, Selain harga nya murah soal kualitas
juga mumpuni untuk bersaing dengan pasar.

Tujuan pengolah tersebut selain menambah nilai jual juga mengantisipasi jika terdapat faktor
yang diluar terkendali, seperti halnya wabah virus corona yang melululantahkan pertumbuhan
ekonomi dunia. Karena Indonesia masih banyak mengandalkan barang komoditi yang
harganya rentan terhadap gejolak ekonomi dunia (Kementrian Keuangan, 2018).

Faktor tersebut menjadi kendala ekspor jika negara yang menjadi tujuan ekspor mengalami
masalah pada sektor ekonominya. Lalu kebijakan atau langkah apakah yang mampu
mengoptimalkan kegiatan ekpor Indonesia.

Mungkin ada benarnya jika Indonesia tetap dengan kuantitas impor seperti sekarang, karena
terdapat pertimbangan jika menekan impor maka akan berdampak pada kelangkaan barang
dan berjenjang terhadap harga barang yang semakin melambung. Lalu apakah dengan
menambah kuantitas barang ekspor akan berdampak baik dalam meredam defisit ?.

Jika suatu negara mempunyai persedian banyak atas produksi dalam negeri, maka ekspor
suatu negara akan meningkat. Namun, masalah yang dihadapi suatu negara akan bertambah
jika tidak mampu mengalokasikan persediaan tersebut sesuai dengan semestinya yang
mampu berakibat harga barang anjlok dan kegagalan suatu perusahaan.

Tindakan yang lebih tepat yaitu dengan menggunakan dana impor secukupnya, dalam artian
tidak menimbun barang impor. Sedangkan persediaan barang yang kurang tersebut akan
dialokasikan dari produk industri lokal yang dinilai sudah memenuhi kriteria, agar perlahan
produk lokal mampu berkembang dan menekan jumlah impor.

Hal ini dinilai lebih efektif karena jika mengurangi tanpa bertahap maka akan memunculkan
masalah. Sedangkan untuk meningkatkan ekspor Indonesia, sebenarnya Indonesia sudah
mencapai batas maksimalnya dengan beberapa faktor yang sudah disebutkan di awal.
Pemerintah harus mendorong investasi asing untuk menanamkan modalnya terutama pada
sektor industri.

Untuk menjalankan program tersebut pemerintah Indonesia sudah memulai wacananya sejak
lama, Namun belum juga terealisasikan dengan baik. Pada akhir bulan Februari 2020
pemerintah Indonesia berencana merealisasikan kebijakan Omnibus Law yang diharapkan
mampu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui investasi asing.

Meskipun mendapat pertentangan dari berbagai kalangan, karena dikawatirkan merusak


ekosistem dengan pemanfaatan SDA yang berlebihan. Sebenarnya hal tersebut mampu diatasi
dengan berbagai kebijakan atau atauran tentang investasi. “Menurut Prof Maria Sriwulani
‘Menekankan harmonisasi UU sektoral juga penting karena berkaitan dengan investasi.”’

Jadi menurut saya kebijakan Omnibus Law sangat mendukung perkembangan industri dalam
negeri demi menekan defisit negara akibat Neraca perdagangan. Namun pemerintah
Indonesia juga harus gencar dalam melakukan hubungan bilateral terutama di sektor
perdagangan, untuk memeratakan hasil produksi nya. Langkah tersebut guna menghinidari
ketergantungan ekspor terhadap suatu negara.

KRITIK

SARAN

Grafik

Di sendirilkan kritik+saran

Anda mungkin juga menyukai