Anda di halaman 1dari 11

RESUME MATERI 3

PERLINDUNGAN ANAK USIA DINI

DOSEN PENGAMPU : Prof. Dr. Rakimahwati, M.Pd

OLEH:

THASA ALMELIA PUTRI 18022212

PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG


2020
A. Analisa Undang-undang Perlindungan Anak di luar negeri (internasional.

Undang-undang Perlindungan Anak di luar negeri (internasional) dalam


(Supriyanto, Agustinus : 2011) adalah :

Hak-Hak asasi anak Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949

a. Menurut Pasal 14 KJ IV Tahun 1949, anak berhak mendapat perlindungan dari


akibat-akibat perang.
b. Selanjutnya Pasal 17 mengatur bahwa pihak yang bertikai diminta untuk membuat
persetujuan-persetujuan yang memungkinkan pemindahan orang-orang tertentu
termasuk anak-anak dari daerah diserang atau terkepung.
c. Melalui Pasal 23 Konvensi Jenewa para peserta Konvensi diwajibkan untuk
mengizinkan lalu lintas yang bebas bagi semua kiriman berapa bahan makanan
esensial, pakaian, dan obat-obat penguat badan yang diperuntukkan bagi anak-anak di
bawah lima belas tahun, wanita hamil, dan wanita yang baru melahirkan.
d. Berikutnya berdasarkan Pasal 24 para pihak dalam pertikaian harus mengambil
tindakan-tindakan menjamin bahwa anak-anak di bawah lima belas tahun, yatim piatu
atau yang terpisah dari keluarganya sebagai akibat perang, tidak dibiarkan pada
pelaksanaan ibadah, dan pendidikan mereka selalu akan mendapat bantuan. Pihak-
pihak dalam pertikaian harus membantu usaha penerimaan anak-anak demikian di
negeri netral selama berlangsungnya pertikaian.
e. Pasal 50, untuk perlindungan anak di daerah pendudukan, kekuasaan pendudukan
dengan bantuan penguasa-penguasa nasional dan lokal harus membantu kelancaran
bekerja semua lembaga yang bertujuan melakukan perawatan dan pendidikan anak-
anak. Kekuasaan pendudukan tidak boleh menghalang-halangi diadakannya tindakan-
tindakan istimewa mengenai makanan, pengobatan, dan perlindungan terhadap
akibat-akibat perang yang mungkin telah diadakan sebelum pendudukan dan yang
telah diadakan untuk manfaat anak- anak di bawah lima belas tahun, wanita hamil,
dan ibu-ibu dari anak-anak di bawah tujuh tahun.
f. Dalam Pasal 51 antara lain disebutkan bahwa kekuasaan pendudukan tidak boleh
memaksa orang-orang yang dilindungi untuk bekerja, kecuali mereka itu sudah
berumur delapan belas tahun. Dengan kata lain, penguasa pendudukan tidak
memperkerjakan anak- anak di bawah usia delapan belas tahun.
Hak Asasi Anak berdasarkan Konvensi International Labour Organization
(ILO)

Salah satu pihak yang telah menaruh kepedulian terhadap perlindungan pekerja anak
adalah International Labour Organization (ILO). ILO juga telah menghasilkan konvensi
yang mengatur perlindungan pekerja anak. Berkaitan dengan perihal diperbolehkannya
memperkerjakan anak atau tidak berikut ini dibahas Konvensi ILO yang relevan.
Pertama, Konvensi ILO Nomor 138 Tahun 1973 tentang usia minimum untuk
diperbolehkan bekerja.
Kedua, Konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999 tentang pelarangan dan pindakan
segera penghapusan pekerjaan terburuk untuk Anak.
Berdasarkan Konvensi ILO Nomor 138 Tahun 1973 tentang usia minimum untuk
diperbolehkan bekerja, negara-negara didorong untuk menetapkan kebijakan nasional untuk
menghapus praktek memperkerjakan anak dan meningkatkan usia minimum untuk
diperbolehkan bekerja. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Konvensi tersebut, ketika
Indonesia meratifikasi Konvensi tersebut, Indonesia melampirkan deklarasi yang
menyatakan bahwa usia minimum untuk diperbolehkan bekerja adalah 15 tahun.
Berdasarkan Pasal 2 Konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999 tentang pelarangan dan
tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, yang dimaksud
dengan anak ialah semua orang yang berusia di bawah 18 tahun.
Selanjutnya dalam Pasal 3 diklasifikasikan bentuk- bentuk pekerjaan terburuk untuk
anak, segala bentuk perbudakan atau praktek praktek sejenis perbudakan, seperti kerja ijon
(debt bondage) dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan
anak-anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata,
pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk perdagangan obat-obatan sebagaimana
diatur dalam perjanjian internasional yang relevan dan pekerjaan yang sifatnya atau
lingkungan tempat pekerjaan itu dapat membahayakan kesehatan atau moral anak-anak.
Selanjutnya dalam Pasal 6 disebutkan bahwa setiap anggota ILO wajib merancang dan
melaksanakan program aksi untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak
sebagai prioritas (Pasal 6 ayat (1)). Program-program aksi tersebut wajib dirancang dan
dilaksanakan melalui konsul- tasi dengan lembaga pemerintah dan organisasi pengusaha dan
pekerja terkait, dengan memperhatikan pandangan kelompok-kelompok terkait sebagaimana
perlunya (Pasal 6 ayat (2)).
Hak-Hak asasi anak dalam Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang
Hak-Hak anak/ KHA)

Selain ILO, organ PBB yang mensponsori terciptanya konvensi yang terkait dengan
hak-hak asasi anak adalah MU. Melalui forum MU, masyarakat internasional berhasil
membentuk KHA. Berdasar- kan Konvensi ini yang dimaksud dengan anak adalah setiap
manusia di bawah umur delapan belas tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku
pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal. KHA membebani kewajiban-kewajiban tertentu
bagi negara.

Pada Pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa negara peserta Konvensi mengakui bahwa
tiap-tiap anak mempunyai hak yang melekat atas kehidupan. Dalam Konvensi tersebut
dirumuskan bahwa hak anak itu ”melekat” atas kehidupan. Kata “melekat” mengandung arti
bahwa hak tersebut bukan pemberian negara, tetapi hak itu menjadi bagian dari kehidupan
anak.
Pasal 27 ayat (1) menyebutkan bahwa negara peserta mengakui hak setiap anak atas
suatu standar kehidupan yang memadai bagi perkembangan fisik, mental, dan sosial anak.
Pasal 28 ayat (1) dinyatakan bahwa negara peserta mengakui hak anak atas
pendidikan. Supaya hak ini dapat dicapai secara progresif dan dilaksanakan berdasarkan
kesempatan yang sama, negara-negara harus:
a. Membuat pendidikan dasar diwajibkan dan terbuka bagi semua anak.
b. Mendorong perkembangan bentuk- bentuk pendidikan menengah yang berbeda-
beda, termasuk pendidikan umum dan pendidikan kejuruan, membuat pendidikan-
pendidikan tersebut tersedia dan dapat dimasuki oleh setiap anak, dan mengambil
langkah- langkah yang tepat seperti memperkenalkan cuma-cuma dan menawarkan
bantuan keuangan jika dibutuhkan.
c. Membuat pendidikan yang lebih tinggi dapat dimasuki oleh semua anak berdasarkan
kemampuan dengan setiap sarana yang tepat.

d. Membuat informasi pendidikan, kejuruan, dan bimbingan tersedia.


e. Mengambil langkah untuk mendorong kehadiran secara teratur di sekolah dan
penurunan angka putus sekolah.

Dalam konvensi juga disebutkan bahwa negara peserta wajib meningkatkan dan
mendorong kerjasama internasional dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan
pendidikan. Tujuan kerjasama ini terutama diarahkan pada penghapusan kebodohan dan
buta aksara di seluruh penjuru dunia. Kerjasama itu juga diarahkan untuk memberi fasilitas
akses ke ilmu pengetahun, pengetahun teknik dan metode mengajar modern. Dalam hal ini,
perhatian khusus harus diberikan kepada kebutuhan negara- negara yang sedang
berkembang (Pasal 28).

Menurut Pasa1 29 Konvensi, negara peserta bersepakat bahwa pendidikan anak


harus diarahkan ke, antara lain:

a. Pengembangan kepribadian anak, bakat-bakat dan kemampuan mental dan fisik


pada potensi terpenuh mereka
b. Pengembangan penghormatan terhadap nilai-nilai nasional dari negara di mana
anak itu sedang bertempat tinggal, negara anak itu berasal, dan terhadap
peradaban-peradaban yang berbeda dengan miliknya sendiri.
c. Pengembangan untuk menghargai lingkungan.

B. Isu kritis tentang Perlindungan Anak

Isu perlindungan anak menurut Khairun nisah : 2017

Isu perlindungan anak adalah suatu yang kompleks dan menimbulkan berbagai
macam permasalahan lebih lanjut, yang tidak selalu dapat diatasi secara perorangan, tetapi
harus secara bersama-sama, dan yang penyelesaiannya menjadi tanggung jawab bersama
antar kita. Pada Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak bahwa yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusia, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Banyak permasalahan anak-anak Indonesia saat ini, tentang masalah anak di


Indonesia baik dilihat dari jenis dan tingkat keseriusan masalah yang dialami/dihadapi anak-
anak Indonesia. Keberadaan buruh anak misalnya masih menjadi masalah besar di Indonesia
saat ini. Berdasarkan perkiraan BPS, pada tahun 2010, ditemukan 2,1 juta anak bekerja pada
situasi buruk (worst form). Kurang lebih 50% mereka bekerja 35 jam seminggu. Jumlah ini
belum mencakup anak-anak dibawah umur 10 tahun. Umumnya mereka bekerja pada jenis
pekerjaan yang terlarang dan berbahaya (penuh risiko/rentan) bagi anak, antara lain industri
perikanan (jermal), pertambangan, konstruksi, transportasi, industri kimia, dan sebagainya.
Demikian juga anak jalanan (anjal), keberadaannya bukanlah merupakan fenomena baru di
Indonesia. Dari fakta yang dapat dilihat secara kasat mata maupun dari berbagai sumber
dapat disimpulkan bahwa fenomena anak jalanan masih akan terus membutuhkan perhatian
dari negara. Diperkiraan jumlah anak jalanan yang tersebar di 12 kota besar di Indonesia
adalah 239.861 dan secara nasional diperkirakan lebih kurang 650.000 jiwa.

Menurut data dan informasi yang dikumpulkan KOMNAS Perlindungan Anak bahwa
sepanjang tahun 2010 mereka menerima 1.258 pengaduan anak yang berhadapan dengan
hukum (ABH). Angka ini meningkat dibanding pengaduan pada tahun 2011. Hampir 52
persen dari angka tersebut adalah kasus pencurian diikuti dengan kasus kekerasan, perkosaan,
narkoba, perjudian, serta penganiayaan dan 89,8 persen kasus anak yang berhadapan dengan
hukum berakhir pada pemidanaan. Presentase pemidanaan ini dibuktikan dengan data Anak
yang berhadapan dengan Hukum di 16 Lapas di Indonesia (Kementerian Hukum dan HAM)
ditemukan 5.308 anak mendekam di penjara. Hanya kurang lebih 10 persen anak yang
berhadapan dengan hukum dikenakan hukuman tindakan yakni dikembalikan kepada
Kementerian Sosial atau orang tua. Ini menunjukkan bahwa negara khususnya penegak
hukum gagal melaksanakan amanat UU Pengadilan Anak, UU Perlindungan Anak maupun
Konvensi PBB tentang Hak Anak. Demikian juga masalah anak yang diperdagangkan (child
trafficking) untuk tujuan seksual komersial jumlahnya juga cukup besar. Harus diakui, sulit
untuk memperoleh gambaran yang sebenarnya tentang jumlah anak yang diperdagangkan
untuk tujuan seksual komersial. Beberapa studi memperlihatkan bahwa jumlah anak yang
dilacurkan cukup banyak.

Isu mengenai perlindungan anak tidak hanya menjadi perhatian dan urusan lingkup
regional atau dalam negeri saja, melainkan menjadi isu yang diperhatikan oleh dunia
internasional. Perlindungan anak merupakan konsep yang tidak sederhana, di seluruh belahan
dunia terdapat pula permasalahan yang berkaitan dengan perlindungan anak. Salah satu
permasalahan yang berkaitan dengan perlindungan anak adalah mengenai penyelesaian dari
anak-anak yang terkena dampak konflik dan situasi kekerasan lainnya (Hanifah, Hana,.dkk :
2019).
C. Kota Layak Anak (KLA), Sekolah Layak Anak, Masjid Ramah Anak, Rumah Sakit
Ramah Anak

Kota Layak Anak

Kota Layak Anak (KLA) adalah kota yang menjamin setiap hak anak sebagai warga
negara (Rencana Aksi Kabupaten Ramah Anak (SiKaRA) Tahun 2007). Kabupaten/Kota
Layak Anak (KLA) adalah model pengintegrasian hak-hak anak dalam pembangunan
kabupaten/ kota yang dikembangkan dalam nuansa ramah pada beberapa kepentingan.
Kepentingan yang dimaksud antara lain adanya kebebasan anak untuk mengemukakan
pendapatnya baik secara pribadi maupun keterwakilan, kesempatan untuk berperan serta
dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, pelayanan dasar pendidikan dan
kesehatan, dan penyediaan sarana dan prasarana yang berkualitas. Konsep Kabupaten/Kota
Layak Anak dideskripsikan KLA dimaksudkan untuk mengintegrasikan komitmen dan
sumber daya yang ada di kabupaten/ kota untuk pembangunan anak secara holistik, integratif
dan berkelanjutan (sustainable) serta untuk lebih memperkuat peran dan kapasitas pemerintah
daerah dalam pembangunan tumbuh kembang dan perlindungan anak. Dapat disimpulkan
bahwa kota layak anak merupakan sebuah program yang harus dijalankan oleh pemerintah
daerah dalam mengakomodir kepentingan dan hak-hak yang melekat dalam diri anak
sehingga dapat lebih memaksimalkan memperkuat daya tumbuh kembang anak-anak.
(Gemari, 2010).

Prinsip dan strategi pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak yang ditulis oleh
Tim Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI adalah :

a. Non diskriminasi.
b. Kepentingan yang terbaik untuk anak.
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan.
d. Penghargaan terhadap pendapat anak.
e. Tata Pemerintahan Yang baik.

Strategi yang dilakukan untuk mewujudkan Indonesia Layak Anak yaitu


Pengarusutamaan pemenuhan hak anak (PUHA), penguatan kelembagaan, perluasan
jangkauan, membangun jaringan, pelembagaan dan pembudayaan KLA, Promosi,
Komunikasi, Informasi dan Edukasi (PKIE) serta Sertifikasi dan apresiasi.
Sekolah Layak Anak

Berdasarkan Permen PP & PA No 8 Tahun 2014 mengenai Kebijakan Sekolah Ramah


Anak, pada pasal 1 dijelaskan bahwa Sekolah Ramah Anak (SRA) adalah satuan pendidikan
formal, nonformal, dan informal yang aman, bersih dan sehat, peduli dan berbudaya
lingkungan hidup, mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak-hak anak dan perlindungan
anak dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya serta mendukung partisipasi
anak terutama dalam perencanaan, kebijakan, pembelajaran, pengawasan, dan mekanisme
pengaduan terkait pemenuhan hak dan perlindungan anak di bidang pendidikan. Sekolah
ramah anak adalah sekolah yang secara terbuka melibatkan anak dan remaja untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial, serta mendorong tumbuh kembang dan kesejahteraan
anak, dapat didefinisikan bahwa sekolah ramah anak merupakan sekolah yang secara terbuka
mendukung partisipasi anak sehingga dapat mendorong tumbuh kembang dan kesejahteraan
anak itu sendiri (Kristanto, 2011).

Tujuan dari Sekolah Ramah Anak adalah:

a. Menjamin setiap anak terhindar dari kekerasan melalui Sekolah Ramah Anak.
b. Satuan pendidikan mempersiapkan anak untuk tumbuh dan berkembang menjadi
pribadi yang bertanggung jawab.

Adapun indikator Sekolah Ramah Anak (SRA) dikembangkan untuk mengukur


capaian SRA, yang meliputi 6 komponen penting, yakni :

a. Kebijakan SRA
b. Pelaksanaan Kurikulum
c. Pendidik dan tenaga kependidikan terlatih hak-hak anak
d. Sarana dan Prasarana SRA
e. Partisipasi Anak
f. Partisipasi orang tua, lembaga masyarakat, dunia usaha, pemangku kepentingan
lainnya dan alumni. Sebagai langkah awal, aspek yang tak kalah penting dalam
pelaksanaan sekolah ramah anak yang diperlukan diantaranya : program sekolah yang
mendukung, kondisi lingkungan yang mendukung serta sarana dan prasarana yang
memadai.
Masjid Ramah Anak

Isu masjid ramah anak menjadi krusial ketika fenomena isu kekerasan terhadap anak
mengemuka. Kekerasan terhadap anak tidak saja terjadi rumah tangga, di sekolah, tetapi
sudah terjadi di berbagai tempat, di kota dan di desa, bahkan di masjid. Ketika upaya
perlindungan anak dan pembelaan serta pemenuhan hak anak sudah merambah ke Kota-kota
dan desa-desa melalui program Kota Layak Anak/ Kabupaten Layak Anak (KL), telah gencar
dilakukan program Sekolah Ramah Anak (SRA), ternyata masjid belum tersentuh, seolah
dianggap telah bebas dari tindak kekerasan, baik dari bentakan, intimidasi, marginalisasi
hingga kekerasan fisik. Padahal, di mana-mana tidak sedikit anak-anak yang menjauhi mesjid
karena diusir dan dianggap mengganggu kenyamanan bahkan tidak diharapkan kehadirannya
ke mesjid. Hak anak diatur oleh Islam, termasuk untuk mendapatkan pendidikan yang layak
dari orang tuanya dan dari umat Islam secara umum dalam kehidupan bermasyarakat dengan
masjid sebagai sentranya. Membiasakan diri ke mesjid sejak usia dini merupakan salah satu
bentuk pendidikan yang efektif dalam membentuk generasi muda yang hatinya dekat dengan
masjid dan pemakmur masjid sesuai ajaran Islam, memperkenalkan mesjid dan membiasakan
diri ke masjid adalah upaya anak-anak untuk memperokeh hak-haknya. Di masjid. selain
mendapatkan hak tumbuh kembang secara mental dan spiritual, anak juga mendapatkan
haknya memperolah kesempatan bersosial dan berbudaya di komunitas muslim tempat ia
tumbuh dan berkembang (Pakpahan, Rustam : 2018).

Pemilihan penelitian tentang isu masjid ramah anak ini didasarkan pada beberapa
rasional berikut : Pertama, Masjid memiliki peran yang sangat sentral bagi umat Islam, dan
BKM merupakan sekumpulan orang-orang sebagai representatif masyarakat yang diberi
otoritas secara kolektif untuk memakmurkan mesjid dan menjamin keberlangsungan fungsi
masjid sebagai pusat peribadatan umat Islam dan pusat informasi social keagamaan. Kedua,
pengaruh negatif lingkungan yang jauh dari masjid membuat anak-anak semakin jauh dari
nilai agama dan pengembangan mental spiritual yang sehat. Ketiga, fenomena kekerasan
terhadap anak yang terjadi di masjid tidak saja dilakoni oleh jamaah yang merasa terganggu
dengan kehadiran anak-anak di masjid yang dianggap mengganggu kekhusyukan sholat,
tetapi lebih parah lagi, juga melibatkan oknum Badan Kemakmuran Masjid (BKM) yang belum
memiliki perspektif anak, sehingga masih menggunakan paradigma fiqh yang belum
menyentuh tarbiyatun nufus pada anak untuk jangka panjang. Bahkan karena minimnya
pemahaman BKM terhadap bentuk-bentuk pelanggaran hak hak, mengakibatkan terjadinya
pembiaran tindak kekerasan terhadap anak yang terjadi di lingkungan masjid.
Rumah Sakit Ramah Anak

Rumah Sakit Ramah Anak merupakan Rumah Sakit yang menjalankan fungsinya
berdasarkan pemenuhan, perlindungan dan penghargaan atas hak anak serta prinsip
perlindungan anak. Rumah sakit (RS) layak anak masih jarang. Kalaupun ada, fasilitasnya
jauh dari harapan. Padahal optimalisasi pelayanan dan fasilitas kesehatan anak merupakan
bukti komitmen fokus ke generasi penerus. Ini harus jdi PR pemerintah. Penataannya tidak
berbeda dengan ruang dewasa. Dinding tanpa hiasan, plafon, tempat tidur dan seprai
berwarna putih, sehingga monoton membuat suasana kurang menarik bagi pasien anak.
Dokter dan perawat juga berpakaian putih. Kondisi ruangan yang jauh dari karakter anak
membuat pasien kurang nyaman dan sulit beradaptasi. Beberapa anak sering menangis minta
diajak ke luar. Seharusnya desain fisik RS diperhatikan guna mendukung proses
penyembuhan pasien.

Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) Pasal 24, anak berhak memperoleh standar
kesehatan tertinggi. Ruang rawat inap anak dibuat layaknya tempat tempat bermain. Menurut
Komiske (2005), kesan pertama anak saat melihat fasilitas kesehatan adalah segalanya.
Artinya, yang dilihat mulai pintu depan hingga ruangan dapat mempengaruhi keseluruhan
perasaan. Misalnya, andai anak terkesan nyaman dan menyenangkan atas desain ruangan
sangat baik. Demikian sebaliknya, jika menakutkan berakibat penyembuhannya menjadi
lama. Apalagi kalau ada konsep fantasi bisa memberanikan dan membangkitkan imajinasi
anak melawan rasa sakit selama di RS. Penerapan desain tersebut, misalnya, dinding dihiasi
gambar kartun, hewan, atau bunga-bunga indah. Cat dinding pun dipilihkan warna beragam
untuk menstimulasi anak agar percaya diri, aktif, dan tidak takut saat diperiksa. Warna bisa
terdiri kombinasi warna hijau, biru, dan oranye. Ketiga warna ini termasuk healing
(penyembuhan) yang dapat menenangkan pasien serta berdampak baik bagi psikologis bocak.
Tempat tidur atau seprai bermotif tokoh kartun, game, gambar boneka, bunga, hewan, dan
sebagainya. Ini membuat anak yang dirawat di ruangan tersebut merasa nyaman dan senang.
Kenyamanan di ruang rawat inap akan membuatnya menikmati hari-hari dengan ceria.
Kebahagiaan anak selama sakit berpengaruh positif terhadap kesembuhannya. Lalu, di kamar
mandi diciptakan kesan yang semangat dan gembira. Sisi-sisi tertentu kamar mandi, seperti
wastafel dan kloset dipasangi keramik dengan motif ceria bertema kebun binatang dan
peternakan yang merupakan favorit bocah. Tentu ini akan membuatnya tidak malas
beraktivitas seperti cuci tangan atau muka, mandi, buang air kecil, ataupun besar.
DAFTAR PUSTAKA

Gemari. 2010. Kesejahteraan dan Kesehatan Keluarga: Permasalahan Anak Masih Tinggi.
Jakarta: Cahaya Priangan Utama.

Hana Hanifah, dkk. 2019. Anak Sebagai Kelompok Rentan Yang Terdampak Konflik
Bersenjata Dan Situasi Kekerasan Lainnya. Jurnal Pekerjaan Sosial. 2 (1).

Khairun Nisah. 2017. Responitas dalam Kalangan Civitas Akademika UIN Ar-Raniry
Terhadap Isu Perlindungan Anak. International Journal of Child and Gender Studies.
3 (1).

Komiske, Bruce King., 2005, Designing The World’s Best : Children Hospital, The Image
Publishing Group Pty Ltd.

Kristanto, D. (2011). Identifikasi Model Sekolah Ramah Anak (SRA) Jenjang Pendidikan
Anak Usia Dini Se- Kecamatan Semarang Selatan. Jurnal Penelitian PAUDIA, 1(1),
38–58.

Rustam, Pakpahan. 2018. Konsep Masjid Ramah Anak Dalam Pandangan Badan
Kemakmuran Masjid (BKM). Jurnal Penelitian Medan Agama. 9 (2).

Supriyanto, Agustinus. 2011. Perspektif Indonesia Mengenai Hak-Hak Asasi Anak: Refleksi
Atas Undang-Undang Dan Konvensi Internasional Terkait. Mimbar Hukum Edisi
Khusus. Halaman 1-237.

Anda mungkin juga menyukai