Anda di halaman 1dari 13

TUGAS MANDIRI

MATA KULIAH SISTEM PERTANIAN TERINTEGRASI

OPTIMASI RANCANGAN AGROEKOSISTEM


TERINTEGRASI PADA LAHAN KERING

DI SUSUN OLEH : OLIVIA KOMANSILAN

NIM : 20202107003

PROGRAM STUDI AGRONOMI

PASCASARJANA UNSRAT

TAHUN 2020

1
I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara agraris dengan penduduk yang bekerja di sektor


pertanian sekitar 44,04 persen, memiliki luas lahan pertanian beririgasi teknis hanya sekitar
6,5 juta ha, dengan tingkat alih fungsi lahan pertanian sekitar 35.000 ha/tahun (Pasaribu,
2009). Oleh karena itu, pembangunan pertanian, tidak mungkin hanya bertumpu pada lahan
sawah. Lahan kering merupakan ekosistem yang sangat potensial sebagai salah satu
tumpuan sumber daya lahan bagi pembangunan pertanian. dengan faktor pembatas yang
relatif lebih ringan dibandingkan dengan lahan rawa seperti gambut dan pasang surut.

Jenis komoditas yang dapat dikembangkan pada ekosistem lahan kering juga lebih
beragam, baik tanaman pangan maupun tanaman perkebunan dan hortikultura. Lahan
kering merupakan suatu bentuk ekosistem yang tidak pernah tergenang atau digenangi air
hampir sepanjang tahun dengan Luas total lahan kering 148 juta ha atau sekitar 78 persen
dari luas daratan Indonesia (Hidayat dan Mulyani, 2004; Puslitbangtanak, 2001).
Optimalisasi lahan kering sebagai penghasil produk pertanian, dihadapkan pada beberapa
kendala, baik biofisik maupun sosial dan ekonomi. Kendala biofisik yang menonjol adalah
sifat kimia, fisika, dan biologi tanah, produktivitas dan keberlanjutan (sustainabilitas)
usahataninya.

Secara sosial ekonomi, keterbatasan pengetahuan dan modal serta pemilikan lahan
yang sempit juga seringkali menjadi penghambat adopsi teknologi usahatani lahan kering,
baik terkait produktivitas, keuntungan usahatani dan pelestarian sumber daya yang relatif
lebih sulit diwujudkan. Pentingnya usaha pelestarian atau konservasi serta rehabilitasi lahan
kering sangat penting, karena lahan kering lebih rentan terhadap berbagai deraan dan
kekurangtepatan pengelolaan. Luas lahan kering yang mengalami degradasi semakin
meningkat dari waktu ke waktu dan kondisi tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi
juga terjadi di berbagai negara terutama di negara berkembang. Pada peringatan Hari
Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia tanggal 17 Juni 2009

2
dinyatakan bahwa dalam 40 tahun terakhir hampir sepertiga dari lahan kering pertanian
(cropland) di dunia telah menjadi tidak produktif.

Utomo dan Wisnusubroto (2007) menyatakan bahwa penyebab degradasi lahan


sangat kompleks, bukan hanya menyangkut teknis, seperti penggunaan dan pengelolaan
lahan, tetapi juga masalah-masalah sosial, ekonomi, dan budaya yang menentukan
pengambilan keputusan oleh petani.

3
II. PEMBAHASAN

II.1. Peran, Potensi dan Kendala Pengembangan Lahan Kering

Peranan lahan kering yang sangat besar, bukan hanya pada skala nasional, namun
juga pada skala global. Pada Tahun Internasional Biodiversitas, masyarakat dunia
diingatkan bahwa lahan kering merupakan areal dengan keragaman hayati sangat besar.
Tiga puluh persen tanaman yang dikonsumsi di berbagai sudut dunia berasal dari lahan
kering. Lahan kering juga merupakan kolam (pool) C-organik yang terbesar (UN, 2010).

Lahan kering di Indonesia tersedia cukup luas, dan memiliki potensi untuk
menghasilkan padi gogo lebih dari 5 ton/ha (Adimihardja et al., 2009). Selain itu, bahan
pangan untuk memenuhi kebutuhan nasional selain beras, seperti jagung, sorgum, kedelai,
kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar, dan lain sebagainya, sekitar 70 persen diantaranya
dihasilkan dari lahan kering. Jika menggunakan teknologi yang sesuai dan strategi
pengembangan yang tepat, lahan kering dapat memberikan kontribusi yang jauh lebih
besar. Selain tanaman pangan, berbagai jenis tanaman yakni tanaman hortikultura,
perkebunan, dan tanaman industri justru dominan dikembangkan pada agroekosistem lahan
kering.

Dari total luas lahan kering sekitar 148 juta ha, yang sesuai untuk budidaya
pertanian adalah sekitar 68.8 juta ha atau sekitar 47,2 persen total lahan kering atau 37,8
persen dari total luas daratan (BBSDLP 2008; Las, 2009). Lahan kering yang sesuai untuk
pengembangan komoditas pertanian dominan berada di dataran rendah yaitu seluas 62,9
juta ha, yang sekitar dua pertiga berada di daerah beriklim basah. Sebaran lahan kering
menurut komoditas dan wilayah tertuang pada Tabel 2. Di wilayah dataran rendah, lahan
datar-bergelombang (lereng)

Selain faktor biofisik seperti lereng (kemiringan lahan), ketebalan solum, dan
tingkat kesuburan tanah, status lahan dan berbagai aspek sosial-budaya juga sering menjadi
pembatas pengembangan pertanian di lahan kering. Banyak lahan kering yang tidak
dibolehkan untuk budidaya pertanian meskipun secara biofisik sesuai untuk pertanian,

4
karena berada pada kawasan hutan, terutama hutan lindung dan konservasi. Selain itu, di
beberapa lokasi, dengan alasan khusus, lahan kering tidak dapat digunakan untuk pertanian,
seperti kawasan konservasi keanekaragaman hayati, areal suaka margasatwa, kawasan
cagar budaya, hak ulayat/adat, dan lain-lain. Pemanfaatan lahan kering untuk mendukung
pembangunan pertanian dihadapkan pada beberapa kendala, baik biofisik maupun sosial
ekonomi. Kendala biofisik yang menonjol adalah topografi (kemiringan lahan), kesuburan
tanah, dan ketersediaan air. Dalam batasan tertentu kendala biofisik dapat diminimalisir
dengan menerapkan suatu inovasi teknologi yang tepat, tetapi jika terlalu berat, penerapan
suatu inovasi teknologi menjadi tidak efektif dan ekonomis (terlalu mahal)

2.2. Agroekosistem Lahan Kering

Meskipun berkaitan erat, pengertian tentang tentang agroekosistem berbeda


dengan ekosistem. Penciri agroekosistem tidak hanya mencakup unsur-unsur alami (iklim,
topografi, altitude, fauna, flora, jenis tanah, dan sebagainya) tetapi juga unsur-unsur buatan.
Bahkan dalam pendekatan pragmatis yang lazim digunakan mengarah pada unsur-unsur
buatan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari pengaruh kemajuan teknologi dan
investasi di bidang infrastruktur.

Dalam konteks perumusan kebijakan dan program pengembangan seringkali


perumus kebijakan berorientasi pada pendekatan pragmatis dan untuk itu definisi dan
konsep yang dikembangkan juga mengacu pada pendekatan pragmatis. Hal ini dapat dilihat
misalnya pada Sumaryanto dkk (2008) yang membedakan agroekosistem menjadi 3: (1)
pesawahan, (2) lahan kering (terdiri dari: (i) lahan kering berbasis tanaman
pangan/hortikultura, dan (ii) lahan kering berbasis tanaman perkebunan), dan (3)
agroekosistem pesisir.

Penggunaan istilah ”lahan kering” di Indonesia belum tersepakati secara


aklamasi. Beberapa pihak menggunakan untuk padanan istilah Inggris: upland, dryland,
atau non irrigated land (Notohadiprawiro, 1989). Kadekoh (2010) mendefinisikan lahan
kering sebagai lahan dimana pemenuhan kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya

5
pada air hujan dan tidak pernah tergenang sepanjang tahun. Istilah yang biasa dipergunakan
untuk pertanian lahan kering adalah pertanian tanah darat, tegalan, ladang, tadah hujan dan
huma. Sementara menurut Minardi (2009), lahan kering umumnya selalu dikaitkan dengan
pengertian bentuk-bentuk usahatani bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di bagian
hulu suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai lahan atas (upland) atau lahan yang
terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber
air. Definisi lahan kering menurut Direktorat Perluasan areal (2009) adalah “hamparan
lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air pada sebagian kecil waktu dalam
setahun, yang terdiri dari lahan kering datarang rendah dan lahan kerign dataran tinggi”.

Menurut Bamualim (2004), secara teoritis lahan kering di Indonesia dibedakan


menjadi 2 kategori, yaitu

(1) lahan kering beriklim kering, yang banyak dijumpai di Kawasan Timur Indonesia, dan

(2) lahan kering beriklim basah, yang banyak terdapat di kawasan barat Indonesia.

Cukup banyak tipologi wilayah pengembangan lahan kering yang terdapat di dua kategori
tersebut. Namun wilayah pengembangan lahan kering yang dominan di Indonesia
diklasifikasikan berdasarkan potensi dan dominasi vegetasinya

2.3. Optimasi Lahan Kering untuk Tanaman Pangan dan Hortikultura

Potensi pemanfaatan lahan kering cukup luas. Untuk komoditas pangan, dapat
dikembangkan padi gogo, jagung, sorghum, kedele, dan palawija lainnya. Ketersediaan
lahan ini cukup luas, terutama di luar Pulau Jawa. Berdasarkan data dari Pusat Penelitian
Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangkan) ada 7 propinsi yang memiliki potensi
pengembangan tanaman lahan kering seperti padi gogo dan palawija yaitu provinsi Riau
(291 077 ha), Sumatera Selatan (1 437 075ha), Lampung (802 341 ha), jawa Barat (184 160
ha), Banten (36 631 ha), NTT (550075 ha) dan Kalbar (2.211 632 ha) (Direktorat Perluasan
Areal, 2009).

Dalam rangka upaya peningkatan produksi bahan pangan nasional adalah


dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan kering melalui: a) peningkatan produktivitas

6
lahan pertanian yang sudah ada saat ini, dan b) perluasan lahan pertanian tanaman pangan
dengan memanfaatkan lahan kering terlantar. Di wilayah dataran rendah, lahan yang sesuai
untuk pertanian tanaman pangan berupa lahan datar-bergelombang (lereng < 15%), yang
luasnya sekitar 23,30 juta ha. Di wilayah dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk tanaman
pangan mencakup 2,10 juta ha. Namun, lahan tersebut sebagian besar telah digunakan
untuk berbagai kepentingan, baik pertanian maupun nonpertanian.

Lahan kering yang dapat digolongkan sebagai cadangan untuk tanaman pangan
semusim tersedia sekitar 7,08 juta ha, yang saat ini berupa lahan alang-alang atau semak-
belukar. Upaya pengelolaan lahan kering untuk meningkatkan produksi bahan pangan
menghadapi permasalahan teknis dan sosial-ekonomis, antara lain lahan berlereng terjal,
kesuburan tanah rendah, kemasaman tinggi, kekurangan air irigasi, dan status kepemilikan
lahan tidak jelas. Berbagai masalah tersebut perlu diatasi dengan menerapkan teknologi,
kelembagaan, dan kebijakan pemerintah yang tepat. Berbagai teknologi pengelolaan lahan
kering telah tersedia, mencakup pengelolaan kesuburan tanah, pengendalian erosi
(konservasi tanah), rehabilitasi lahan, dan pengelolaan sumber daya air secara efisien. Yang
menjadi masalah adalah lemahnya diseminasi teknologi inovatif kepada para petani dan
lambatnya adopsi teknologi tersebut.

Pemanfaatan lahan kering untuk meningkatkan produksi bahan pangan


memerlukan perencanaan dan strategi yang tepat, yaitu: a) identifikasi lahan kering yang
sesuai untuk pertanian, b) seleksi teknologi pengelolaan lahan kering yang tepat guna, c)
diseminasi teknologi pengelolaan lahan kering secara intensif, dan d) peningkatan
penelitian pertanian lahan kering, terutama budi daya padi gogo, palawija, dan tanaman
semusim lainnya dalam sistem usaha tani terpadu.

2.4. Optimasi Lahan Kering Untuk Tanaman Perkebunan

Pengelolaan agrokosistem lahan kering dipandang sebagai bagian dari


pengelolaan ekosistem sumberdaya alam oleh masyarakat petani yang menempati areal
tempat mereka menetap. Masyarakat petani menanami lahan pertanian dengan tujuan untuk

7
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dapat dikatakan sebagai bagian dari pengelolaan
agroekosistem lahan kering di daerahnya. Komoditas yang diusahatan tentunya disesuaikan
dengan kondisi setempat dan manfaat ekonomi termasuk pemasaran. Dalam pembangunan
pertanian berkelanjutan pengelolaan agroekosistem lahan kering dapat dipandang sebagai
upaya memperbaiki dan memperbaharui sumberdaya alam yang bisa dipulihkan (renewable
resourses) di daerahnya.

Dalam pemanfaatan sumberdaya lahan kering untuk pertanian berkelanjutan


memerlukan pendekatan lingkungan dan mengikuti kaidah pelestarian lingkungan.
Mengkaji pola UTPPT (Usahatani Polikultur Perkebunan Terintegrasi ) yang dilakukan
petani, pada umumnya petani mengusahakan komoditas tanaman perkebunan pada lahan
UTPPTnya dengan kombinasi tanaman yang sangat bervariasi, diantaranya adalah
merupakan kombinasi dari

a. tanaman kayukayuan – perkebunan – hortikultura - ternak unggas;


b. kayu-kayuan – perkebunan - hortikultura – ternak ruminansia kecil;
c. perkebunan – hortikultura – ternak ruminansia kecil;
d. perkebunan – hortikultura – ternak unggas – ternak ruminansia kecil ;
e. kayukayuan – pangan – hortikultura – ternak ruminansia kecil, dan lainnya.

Muchjidin Rachmat menjelaskan pola usahatani terpadu yang baik hendaknya


terdiri dari komponen tanaman semusim, tanaman tahunan dan ternak, karena hal ini secara
teknis sesuai untuk usahatani dengan prinsip konservasi yang mempertahankan dan
memperbaiki kesuburan dan lingkungan usahatani serta secara ekonomi sesuai untuk
menghindari resiko yang disebabkan oleh kegagalan produksi dan harga suatu komoditi.
Ris Irianto (2010) menyebutkan bahwa dilihat dari aspek lingkungan, usahatani yang
mengusahakan lebih dari satu komoditas (polikultur) lebih ramah lingkungan dibandingkan
dengan monokultur. Hal ini karena usahatani polikultur menyebabkan diversitas atau
keragaman hayati pada lahan meningkat sehingga kondisi ekologi struktur lahan lebih
mantap. Usahatani polikultur menurut Erwiyono, et. al., (2006) dapat mempertahankan
fungsi hidrologis dan tata air di dataran tinggi mirip dengan hutan dan dapat mendukung

8
fungsi hutan di atasnya yaitu sebagai pengendali banjir pada musim hujan dan menjadi
tendon air pada musim kemarau.

2.5. Optimasi Lahan Kering Untuk Peternakan

Prospek agroekosistem lahan kering untuk pengembangan peternakan cukup


baik (Bamualim, 2004). Peluang pasarnya masih sangat terbuka. Kemampuan pasar
domestik untuk menyerap produksi yang dihasilkan dari usaha peternakan sapi pedaging,
sapi perah, kambing. domba, babi, unggas (ayam, burung puyuh) masih akan terus
meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita.
Bahkan dalam rangka mengurangi ketergantungan impor, perlu ada program dan aksi nyata
yang revolusioner.

Ternak ruminansia dapat dikembangkan dengan sistem landbase dan non-


landbase. Pengembangan dengan sistem landbase mengandalkan pakan ternak dari lahan
penggembalaan dan kebun rumput, sedangkan non-landbase lebih pada menggunakan butir-
butiran, limbah pertanian dan limbah industri pertanian. Disamping itu ada juga
pengembangan pola mix-farming, kombinasi antara usahatani ternak dengan tanaman karet
(rubber ruminat), usaha ternak di bawah pohon kelapa (coco-beef), usaha ternak di bawah
kebun kelapa sawit (palm oil-beef), dan kombinasi usaha tanaman pangan dengan ternak
(Crops Livestock System-CLS).

Usaha ternak ruminasia dengan sistem landbase dilakukan pada padang


penggembalaan yang merupakan lahan kelas III dan kelas IV yang banyak terdapat di
Kawasan Timur Indonesia. Daerah itu umumnya merupakan daerah lahan kering seperti
NTT, NTB, dan Sulawesi. Sejak lama daerah itu merupakan sentra produksi ternak sapi dan
kerbau yang berbasis lahan penggembalaan.

Berkembangnya kebutuhan pangan utama membutuhkan perluasan areal untuk


pengembangan tanaman pangan dan perkebunan. Salah satu akibatnya terjadi kompetisi
penggunaan lahan diantaranya antar subsektor dalam sektor petanian. Beberapa pihak
beranggapan lahan penggembalaan merupakan lahan tidur sehingga perlu diefektifkan

9
pemanfaatannya. Pola pikir yang demikian memperkecil sumberdaya alam yang sebenarnya
merupakan basis pengembangan usaha peternakan .

2.6. Pengoptimuman budidaya di Lahan Kering

Kesuksesan budidaya tanaman di lahan kering tidak terlepas dari ketersediaan


teknologi yang siap diterapkan dilapangan. Pengkajian kesesuaian teknologi spesifik di
lahan kering terus dilakukan untuk mendapatkan teknologi yang adaptif dengan
lingkungannya. Menurut Minardi, 2006, beberapa tindakan untuk menanggulangi faktor
pembatas biofisik lahan, sudah barang tentu diperlukan sentuhan inovasi teknologi guna
meningkatkan produktivitasnya. Teknologi pengelolaan lahan kering yang umum dilakukan
meliputi : (1) Tindakan konservasi tanah dan air, (2) Pengelolaan kesuburan tanah
(pengapuran/pemberian kapur, pemupukan dan penambahan bahan organik, dan (3)
Pemilihan jenis tanaman pangan (tanaman berumur pendek tahan kekeringan merupakan
pilihan yang tepat untuk dilakukan pada wilayah yang beriklim kering).

 a.       Tindakan konservasi tanah dan air,

Tindakan konservasi tanah dan air, bertujuan untuk melindungi tanah terhadap
kerusakan yang ditimbulkan oleh butir-butir air hujan yang jatuh, memperlambat aliran
permukaan (run off), memperbesar kapasitas infiltrasi dan memperbaiki aerasi serta
memberikan penyediaan air bagi tanaman (Utomo, W.H,  1983 dalam Minardi, 2006). Pada
lahan kering, tindakan konservasi lebih ditujukan pada upaya mengurangi erosi dan
kehilangan unsur hara (Syekhfani, 1991). Menurut Arsyad (2000), ada beberapa cara yang
dapat dilakukan sebagai tindakan konservasi, antara lain : (a) Cara mekanik
pengolahan tanah, pengolahan tanah menurut kontur, pembuatan guludan, terras dan
tanggul), (b) Cara vegetatif (penanaman tanaman yang dapat menutupi tanah  secara terus
menerus, pola pergiliran tanaman, penanaman strip/alley cropping, sistem penanaman

10
agroforestry dan pemanfaatan sisa-sisa tanaman sebagai mulsa dan bahan organik), dan (c)
Pemanfaatan Agrokimia.

b.       Pengelolaan kesuburan tanah

Pengelolaan Kesuburan Tanah tidak terbatas pada peningkatan kesuburan kimiawi,


tetapi juga kesuburan fisik dan biologi tanah. Dapat diartikan bahwa tindakan pengelolaan
kesuburan tanah tidak cukup dilakukan hanya dengan memberikan pupuk saja, tetapi juga
perlu disertai dengan pemeliharaan sifat fisik tanah sehingga tersedia lingkungan yang baik
untuk pertumbuhan tanaman, dan kehidupan organisme tanah. Pemupukan adalah salah
satu teknologi pengelolaan kesuburan tanah yang diharapkan dapat meningkatkan
produktivitas tanah pada level yang tinggi, namun penerapan input teknologi pertanian
seperti penggunaan pupuk kimia/anorganik dan pengapuran harus dilakukan secara tepat
sesuai dengan kebutuhannya (seimbang). Penelitian Santoso et al. (1995 dalam Minardi,
2006) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk anorganik yang tidak tepat (takaran tidak
seimbang) serta waktu pemberian dan penempatan pupuk yang salah, dapat mengakibatkan
kehilangan unsur hara sehingga respons tanaman menurun. Hara yang tidak termanfaatkan
tanaman juga dapat berubah menjadi bahan pencemar. Santoso et al. (1995 dalam Minardi,
2006) menganjurkan pentingnya penggunaan pupuk yang berimbang dan perlunya
pemantauan status hara tanah secara berkala.

c.        Pemanfaatan Agrokimia

Menurut Minardi (2006), Pemanfaatan Agrokimia merupakan tindakan konservasi


tanah dengan menggunakan bahan/preparat kimia sintetis atau alami yang lebih ditujukan
pada perbaikan sifat-sifat tanah dan mengurangi besar erosi tanah. Pemanfaatan beberapa
bahan kimia sintetis tersebut sudah mulai dirintis oleh Puslitbangtanak untuk dicoba
memperbaiki sifat fisik tanah pada Entisol, Ultisol, Oxisol dan Alfisol. Stem, et al. (1991

11
dalam Minardi, 2006) menyatakan bahwa penggunaan Polyacrilamide (PAM) pada tanah
Alfisol dapat menurunkan aliran permukaan (run off) sebesar 2-3 kali dibandingkan dengan
tanpa penggunaan PAM/kontrol. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian yang
dilakukan Ginting (1975 dalam Minardi, 2006) di Jonggol yang menunjukkan bahwa
penggunaan Polyacrilamide (PAM) dapat menurunkan besarnya erosi tanah sekitar 11,85%
dibanding kontrol.

III. PENUTUP

Sekitar 88 % dari total luas lahan pertanian di Indonesia merupakan lahan kering,
oleh karena itu ekosistem ini mempunyai peranan sangat penting dalam pembangunan
pertanian. Optimalisasi lahan kering untuk mendukung pembangunan pertanian dihadapkan
pada beberapa kendala, baik biofisik maupun sosial ekonomi. Kendala biofisik yang umum
ditemui diantaranya adalah topografi (kemiringan lahan), kesuburan tanah, dan
ketersediaan air. Dalam batasan tertentu, kendala biofisik dapat diminimalisir dengan
menerapkan suatu inovasi teknologi yang tepat.
Pemanfaatan lahan kering untuk meningkatkan produksi bahan pangan memerlukan
perencanaan dan strategi yang tepat, yaitu: a) identifikasi lahan kering yang sesuai untuk
pertanian, b) seleksi teknologi pengelolaan lahan kering yang tepat guna, c) diseminasi
teknologi pengelolaan lahan kering secara intensif, dan d) peningkatan penelitian pertanian
lahan kering, terutama budi daya padi gogo, palawija, dan tanaman semusim lainnya dalam
sistem usaha tani terpadu.
Teknologi pengelolaan lahan kering yang umum dilakukan meliputi : (1) Tindakan
konservasi tanah dan air, (2) Pengelolaan kesuburan tanah (pengapuran/pemberian kapur,
pemupukan dan penambahan bahan organik, dan (3) Pemilihan jenis tanaman pangan
(tanaman berumur pendek tahan kekeringan merupakan pilihan yang tepat untuk dilakukan
pada wilayah yang beriklim kering).

12
DAFTAR PUSTAKA

Ai Dariah, dan Irsal Las. ____. Ekosistem Lahan Kering Sebagai Pendukung
Pembangunan Pertanian. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian

Henny Mayrowani Sumaryanto, Delima Hasri Azahari , Nyak Ilham , Supena Friyatno ,
Ashari. 2010. Optimalisasi Sumberdaya Pertanian Pada Agroekosistem Lahan
Kering . Pusat Analisis Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian . Badan penelitian
dan pengembangan pertanian Kementerian pertanian

Rina Nuryati, Lies Sulistyowati, Iwan Setiawan, Trisna Insan Noor. 2019. Agroekosistem
Lahan Kering Untuk Pengembangan Usahatani Polikultur Perkebunan
Terintegrasi (UTPPT). Jurnal AGRISTAN Volume 1, Nomor 2.

https://distankp.tegalkab.go.id/index.php/artikel/134-pengoptimumam-pemanfaatan-lahan-
kering-dalam-mendukung-peningkatan-produksi-tanaman-pangan-di-kabupaten-
tegal

13

Anda mungkin juga menyukai