NIM : 20202107003
PASCASARJANA UNSRAT
TAHUN 2020
1
I. PENDAHULUAN
Jenis komoditas yang dapat dikembangkan pada ekosistem lahan kering juga lebih
beragam, baik tanaman pangan maupun tanaman perkebunan dan hortikultura. Lahan
kering merupakan suatu bentuk ekosistem yang tidak pernah tergenang atau digenangi air
hampir sepanjang tahun dengan Luas total lahan kering 148 juta ha atau sekitar 78 persen
dari luas daratan Indonesia (Hidayat dan Mulyani, 2004; Puslitbangtanak, 2001).
Optimalisasi lahan kering sebagai penghasil produk pertanian, dihadapkan pada beberapa
kendala, baik biofisik maupun sosial dan ekonomi. Kendala biofisik yang menonjol adalah
sifat kimia, fisika, dan biologi tanah, produktivitas dan keberlanjutan (sustainabilitas)
usahataninya.
Secara sosial ekonomi, keterbatasan pengetahuan dan modal serta pemilikan lahan
yang sempit juga seringkali menjadi penghambat adopsi teknologi usahatani lahan kering,
baik terkait produktivitas, keuntungan usahatani dan pelestarian sumber daya yang relatif
lebih sulit diwujudkan. Pentingnya usaha pelestarian atau konservasi serta rehabilitasi lahan
kering sangat penting, karena lahan kering lebih rentan terhadap berbagai deraan dan
kekurangtepatan pengelolaan. Luas lahan kering yang mengalami degradasi semakin
meningkat dari waktu ke waktu dan kondisi tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi
juga terjadi di berbagai negara terutama di negara berkembang. Pada peringatan Hari
Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia tanggal 17 Juni 2009
2
dinyatakan bahwa dalam 40 tahun terakhir hampir sepertiga dari lahan kering pertanian
(cropland) di dunia telah menjadi tidak produktif.
3
II. PEMBAHASAN
Peranan lahan kering yang sangat besar, bukan hanya pada skala nasional, namun
juga pada skala global. Pada Tahun Internasional Biodiversitas, masyarakat dunia
diingatkan bahwa lahan kering merupakan areal dengan keragaman hayati sangat besar.
Tiga puluh persen tanaman yang dikonsumsi di berbagai sudut dunia berasal dari lahan
kering. Lahan kering juga merupakan kolam (pool) C-organik yang terbesar (UN, 2010).
Lahan kering di Indonesia tersedia cukup luas, dan memiliki potensi untuk
menghasilkan padi gogo lebih dari 5 ton/ha (Adimihardja et al., 2009). Selain itu, bahan
pangan untuk memenuhi kebutuhan nasional selain beras, seperti jagung, sorgum, kedelai,
kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar, dan lain sebagainya, sekitar 70 persen diantaranya
dihasilkan dari lahan kering. Jika menggunakan teknologi yang sesuai dan strategi
pengembangan yang tepat, lahan kering dapat memberikan kontribusi yang jauh lebih
besar. Selain tanaman pangan, berbagai jenis tanaman yakni tanaman hortikultura,
perkebunan, dan tanaman industri justru dominan dikembangkan pada agroekosistem lahan
kering.
Dari total luas lahan kering sekitar 148 juta ha, yang sesuai untuk budidaya
pertanian adalah sekitar 68.8 juta ha atau sekitar 47,2 persen total lahan kering atau 37,8
persen dari total luas daratan (BBSDLP 2008; Las, 2009). Lahan kering yang sesuai untuk
pengembangan komoditas pertanian dominan berada di dataran rendah yaitu seluas 62,9
juta ha, yang sekitar dua pertiga berada di daerah beriklim basah. Sebaran lahan kering
menurut komoditas dan wilayah tertuang pada Tabel 2. Di wilayah dataran rendah, lahan
datar-bergelombang (lereng)
Selain faktor biofisik seperti lereng (kemiringan lahan), ketebalan solum, dan
tingkat kesuburan tanah, status lahan dan berbagai aspek sosial-budaya juga sering menjadi
pembatas pengembangan pertanian di lahan kering. Banyak lahan kering yang tidak
dibolehkan untuk budidaya pertanian meskipun secara biofisik sesuai untuk pertanian,
4
karena berada pada kawasan hutan, terutama hutan lindung dan konservasi. Selain itu, di
beberapa lokasi, dengan alasan khusus, lahan kering tidak dapat digunakan untuk pertanian,
seperti kawasan konservasi keanekaragaman hayati, areal suaka margasatwa, kawasan
cagar budaya, hak ulayat/adat, dan lain-lain. Pemanfaatan lahan kering untuk mendukung
pembangunan pertanian dihadapkan pada beberapa kendala, baik biofisik maupun sosial
ekonomi. Kendala biofisik yang menonjol adalah topografi (kemiringan lahan), kesuburan
tanah, dan ketersediaan air. Dalam batasan tertentu kendala biofisik dapat diminimalisir
dengan menerapkan suatu inovasi teknologi yang tepat, tetapi jika terlalu berat, penerapan
suatu inovasi teknologi menjadi tidak efektif dan ekonomis (terlalu mahal)
5
pada air hujan dan tidak pernah tergenang sepanjang tahun. Istilah yang biasa dipergunakan
untuk pertanian lahan kering adalah pertanian tanah darat, tegalan, ladang, tadah hujan dan
huma. Sementara menurut Minardi (2009), lahan kering umumnya selalu dikaitkan dengan
pengertian bentuk-bentuk usahatani bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di bagian
hulu suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai lahan atas (upland) atau lahan yang
terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber
air. Definisi lahan kering menurut Direktorat Perluasan areal (2009) adalah “hamparan
lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air pada sebagian kecil waktu dalam
setahun, yang terdiri dari lahan kering datarang rendah dan lahan kerign dataran tinggi”.
(1) lahan kering beriklim kering, yang banyak dijumpai di Kawasan Timur Indonesia, dan
(2) lahan kering beriklim basah, yang banyak terdapat di kawasan barat Indonesia.
Cukup banyak tipologi wilayah pengembangan lahan kering yang terdapat di dua kategori
tersebut. Namun wilayah pengembangan lahan kering yang dominan di Indonesia
diklasifikasikan berdasarkan potensi dan dominasi vegetasinya
Potensi pemanfaatan lahan kering cukup luas. Untuk komoditas pangan, dapat
dikembangkan padi gogo, jagung, sorghum, kedele, dan palawija lainnya. Ketersediaan
lahan ini cukup luas, terutama di luar Pulau Jawa. Berdasarkan data dari Pusat Penelitian
Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangkan) ada 7 propinsi yang memiliki potensi
pengembangan tanaman lahan kering seperti padi gogo dan palawija yaitu provinsi Riau
(291 077 ha), Sumatera Selatan (1 437 075ha), Lampung (802 341 ha), jawa Barat (184 160
ha), Banten (36 631 ha), NTT (550075 ha) dan Kalbar (2.211 632 ha) (Direktorat Perluasan
Areal, 2009).
6
lahan pertanian yang sudah ada saat ini, dan b) perluasan lahan pertanian tanaman pangan
dengan memanfaatkan lahan kering terlantar. Di wilayah dataran rendah, lahan yang sesuai
untuk pertanian tanaman pangan berupa lahan datar-bergelombang (lereng < 15%), yang
luasnya sekitar 23,30 juta ha. Di wilayah dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk tanaman
pangan mencakup 2,10 juta ha. Namun, lahan tersebut sebagian besar telah digunakan
untuk berbagai kepentingan, baik pertanian maupun nonpertanian.
Lahan kering yang dapat digolongkan sebagai cadangan untuk tanaman pangan
semusim tersedia sekitar 7,08 juta ha, yang saat ini berupa lahan alang-alang atau semak-
belukar. Upaya pengelolaan lahan kering untuk meningkatkan produksi bahan pangan
menghadapi permasalahan teknis dan sosial-ekonomis, antara lain lahan berlereng terjal,
kesuburan tanah rendah, kemasaman tinggi, kekurangan air irigasi, dan status kepemilikan
lahan tidak jelas. Berbagai masalah tersebut perlu diatasi dengan menerapkan teknologi,
kelembagaan, dan kebijakan pemerintah yang tepat. Berbagai teknologi pengelolaan lahan
kering telah tersedia, mencakup pengelolaan kesuburan tanah, pengendalian erosi
(konservasi tanah), rehabilitasi lahan, dan pengelolaan sumber daya air secara efisien. Yang
menjadi masalah adalah lemahnya diseminasi teknologi inovatif kepada para petani dan
lambatnya adopsi teknologi tersebut.
7
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dapat dikatakan sebagai bagian dari pengelolaan
agroekosistem lahan kering di daerahnya. Komoditas yang diusahatan tentunya disesuaikan
dengan kondisi setempat dan manfaat ekonomi termasuk pemasaran. Dalam pembangunan
pertanian berkelanjutan pengelolaan agroekosistem lahan kering dapat dipandang sebagai
upaya memperbaiki dan memperbaharui sumberdaya alam yang bisa dipulihkan (renewable
resourses) di daerahnya.
8
fungsi hutan di atasnya yaitu sebagai pengendali banjir pada musim hujan dan menjadi
tendon air pada musim kemarau.
9
pemanfaatannya. Pola pikir yang demikian memperkecil sumberdaya alam yang sebenarnya
merupakan basis pengembangan usaha peternakan .
Tindakan konservasi tanah dan air, bertujuan untuk melindungi tanah terhadap
kerusakan yang ditimbulkan oleh butir-butir air hujan yang jatuh, memperlambat aliran
permukaan (run off), memperbesar kapasitas infiltrasi dan memperbaiki aerasi serta
memberikan penyediaan air bagi tanaman (Utomo, W.H, 1983 dalam Minardi, 2006). Pada
lahan kering, tindakan konservasi lebih ditujukan pada upaya mengurangi erosi dan
kehilangan unsur hara (Syekhfani, 1991). Menurut Arsyad (2000), ada beberapa cara yang
dapat dilakukan sebagai tindakan konservasi, antara lain : (a) Cara mekanik
pengolahan tanah, pengolahan tanah menurut kontur, pembuatan guludan, terras dan
tanggul), (b) Cara vegetatif (penanaman tanaman yang dapat menutupi tanah secara terus
menerus, pola pergiliran tanaman, penanaman strip/alley cropping, sistem penanaman
10
agroforestry dan pemanfaatan sisa-sisa tanaman sebagai mulsa dan bahan organik), dan (c)
Pemanfaatan Agrokimia.
11
dalam Minardi, 2006) menyatakan bahwa penggunaan Polyacrilamide (PAM) pada tanah
Alfisol dapat menurunkan aliran permukaan (run off) sebesar 2-3 kali dibandingkan dengan
tanpa penggunaan PAM/kontrol. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian yang
dilakukan Ginting (1975 dalam Minardi, 2006) di Jonggol yang menunjukkan bahwa
penggunaan Polyacrilamide (PAM) dapat menurunkan besarnya erosi tanah sekitar 11,85%
dibanding kontrol.
III. PENUTUP
Sekitar 88 % dari total luas lahan pertanian di Indonesia merupakan lahan kering,
oleh karena itu ekosistem ini mempunyai peranan sangat penting dalam pembangunan
pertanian. Optimalisasi lahan kering untuk mendukung pembangunan pertanian dihadapkan
pada beberapa kendala, baik biofisik maupun sosial ekonomi. Kendala biofisik yang umum
ditemui diantaranya adalah topografi (kemiringan lahan), kesuburan tanah, dan
ketersediaan air. Dalam batasan tertentu, kendala biofisik dapat diminimalisir dengan
menerapkan suatu inovasi teknologi yang tepat.
Pemanfaatan lahan kering untuk meningkatkan produksi bahan pangan memerlukan
perencanaan dan strategi yang tepat, yaitu: a) identifikasi lahan kering yang sesuai untuk
pertanian, b) seleksi teknologi pengelolaan lahan kering yang tepat guna, c) diseminasi
teknologi pengelolaan lahan kering secara intensif, dan d) peningkatan penelitian pertanian
lahan kering, terutama budi daya padi gogo, palawija, dan tanaman semusim lainnya dalam
sistem usaha tani terpadu.
Teknologi pengelolaan lahan kering yang umum dilakukan meliputi : (1) Tindakan
konservasi tanah dan air, (2) Pengelolaan kesuburan tanah (pengapuran/pemberian kapur,
pemupukan dan penambahan bahan organik, dan (3) Pemilihan jenis tanaman pangan
(tanaman berumur pendek tahan kekeringan merupakan pilihan yang tepat untuk dilakukan
pada wilayah yang beriklim kering).
12
DAFTAR PUSTAKA
Ai Dariah, dan Irsal Las. ____. Ekosistem Lahan Kering Sebagai Pendukung
Pembangunan Pertanian. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian
Henny Mayrowani Sumaryanto, Delima Hasri Azahari , Nyak Ilham , Supena Friyatno ,
Ashari. 2010. Optimalisasi Sumberdaya Pertanian Pada Agroekosistem Lahan
Kering . Pusat Analisis Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian . Badan penelitian
dan pengembangan pertanian Kementerian pertanian
Rina Nuryati, Lies Sulistyowati, Iwan Setiawan, Trisna Insan Noor. 2019. Agroekosistem
Lahan Kering Untuk Pengembangan Usahatani Polikultur Perkebunan
Terintegrasi (UTPPT). Jurnal AGRISTAN Volume 1, Nomor 2.
https://distankp.tegalkab.go.id/index.php/artikel/134-pengoptimumam-pemanfaatan-lahan-
kering-dalam-mendukung-peningkatan-produksi-tanaman-pangan-di-kabupaten-
tegal
13