Anda di halaman 1dari 20

PROBLEM SOLVING BERBASIS PESANTREN

Ali Wafa
Institut Agama Islam Nurul Jadid Paiton Probolinggo,
E-mail: aliwafa.fiza@gmail.com

Abstrak
Riset ini membahas teknik problem solving di Lembaga Pendidikan Islam
(Madrasah Tsanawiyah), yaitu bagaimana problema diselesaikan dan memiliki
dampak positif terhadap secara kelembagaan dalam mencapai tujuannya. Teknik
pemecahan masalah menggunakan teori SWOT dan Supervisi.1 Penelitian dilakukan di
MTs Walisongo 1 Maron Probolinggo dan MTs Nurul Jadid Paiton Probolinggo dengan
menggunakan wawancara. Organisasi identik dengan masalah. Masalah menjadi
bagian integral organisasi. Meskipun paling dihindari, organisasi tidak bisa lepas dari
masalah. Masalah harus dihadapi dan diselesaikan, sehingga mencapai tujuan yang
ditetapkan. Upaya menyelesaikan masalah organisatoris disebut problem solving.
Dalam kerangka ini, teknik problem solving menjadi penting. Adanya permasalahan
menunjukkan organisasi masih hidup. Masalah memiliki dampak positif dan negatif,
tergantung sejauh mana kemampuan organisasi mengelolanya. Organisasi yang
dapat mengelolanya dengan baik, menjadi maju. Sebaliknya, organisasi yang gagal
menghadapi masalah, jurang kehancuran menjadi kuburannya.

Kata Kunci: Problem Solving, Pesantren.

Pendahuluan
Secara genealogis, eksistensi madrasah berakar kuat pada masyarakat.
Madrasah dibangun, tumbuh dan berkembang dari, oleh dan untuk masyarakat itu
sendiri. Artinya keberadaan madrasah tidak bisa lepas dari sejarah perkembangan
serta sosial budaya pada suatu masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
madrasah telah menerapkan konsep pendidikan berbasis masyarakat (community
based education)2. Berdasarkan teori Muhaimin tersebut madrasah masyarakat
membidani eksistensi madrasah.

1
Teori supervisi mengacu kepada konsep Titiek dimana menjadi salah satu model dalam
menyelesaikan permasalahan lembaga dalam proses pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen
dilakukan supervisi klinik untuk membantu guru atau menejemen sekolah mencapai
tujuannya. Lihat Titiek Rohanah Hidayati, Supervisi Pendidikan; Sebuah Upaya Pembinaan
Kompetensi Guru (Jember: Stain Press, 2013), 99-100.
2
Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam (Jakarta : PT. Rajawali
Grafindo Persada, 2011), 113.
Ali Wafa

Madrasah Tsanawiyah merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang


berafiliasi ke Kementerian Agama. Kehadiran madrasah merupakan solusi atas
dikotomi pendidikan pesantren dan pendidikan umum. Madrasah menjadi jalan
tengah, dimana generasi muslim diharapkan dapat menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan basis keimanan dan ketaqwaan yang mantap. Madrasah
Tsanawiyah menghadapi masalah yang beragam. Mulai dari kelembagaan,
ketenagaan, dana, hingga sosial budaya. Secara manajemen, masalah di madrasah
tsanawiyah adalah masalah manajemen, baik kurikulum, kesiswaan, sarana prasarana,
humas, konflik hingga masalah khusus.
Perkembangan madrasah berlangsung secara dialektis, bukan taken for
granted. Masyarakat, pemikiran dan gerakan muncul, berkembang atau berhenti
bukan didasarkan pada satu dimensi waktu, tetapi biasanya mengandung proses awal
atau akhir yang menyebar dalam jarak waktu yang relatif panjang.3 Perkembangan
madrasah bisa diruntut dari kegelisahan masyarakat muslim untuk menserasikan
antara IMTAK dan IPTEK kepada generasi muslim masa depan.
Kehadiran PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP)
patut disyukuri, karena dapat berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan
nasional yang berkualitas melalui Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah.
Standar Nasional Pendidikan dalam hal ini berfungsi sebagai dasar dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan
pendidikan nasional yang bermutu.4 Jadi standar nasional pendidikan berfungsi
sebagai acuan penyelenggara pendidikan untuk mewujudkan pendidikan nasional
yang bermutu.
Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan
berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan
global. Untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai dengan standar
nasional pendidikan dilakukan evaluasi, akreditasi dan sertifikasi. Kualitas pendidikan

3
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta : LP3ES, 1982), 9.
4
Standar Nasional Pendidikan (SNP) (Bandung : Fokus Media, 2008), 6.
2 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Problem Solving Berbasis Pesantren

dapat dilihat dari isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan,
sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan.5
Pembaharuan pendidikan madarasah tidak lepas dari manajemen.
Manajemen dipandang sebagai solusi modernisasi pendidikan madrasah. Alasan
tentang mengenai premis ini bisa berderet-deret. Dalam hemat penulis terdapat dua
hal utama terkait peran dan fungsi manajemen dalam pembaharuan pendidikan
madarasah yaitu, menyangkut pengelolaan internal dan keberadaan madarasah yang
belum diperhitungkan dunia luar (masyarakat). Dua hal ini menjadi titik pijak terhadap
upaya memajukan madrasah.
Masalah adalah kesenjangan antara yang diinginkan dengan yang terjadi.
Masalah merupakan gap antara yang ideal dengan realitas, antara das sein dengan
das sollen. Masyarakat umum memiliki salah persepsi terhadap masalah. Mereka
memandangnya secara disfungsi, bahkan destruktif. Padahal, ia juga fungsional
apabila dikelola dengan baik. Tanpa masalah, akan muncul pemikiran tentang tidak
perlunya perubahan dan perhatian dilakukan karena mengira semua program
berjalan dengan baik.6
Pemecahan masalah merupakan proses mental dan intelektual dalam
memahami dan memecahkan persoalan berdasarkan data dan informasi yang akurat
untuk kemudian dilakukan solusi-solusi yang tepat dan cermat.7 Data dapat diperoleh
melalui investigasi atau cara lainnya yang dianjurkan secara ilmiah maupun
organisatoris. Data dan informasi yang masuk harus divalidasi agar tidak simpang siur
dan menyesatkan. Kedua proses tersebut menjadi penting dan mendasar agar
penyelesaian masalah tidak menimbulkan masalah baru.
Pemecahan masalah merupakan proses rasional, bukan emosional.
Pertimbangan-pertimbangan dalam pemecahan masalah organisasi melibatkan logika
organisasi yang tertuang dalam anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga
(ART) dan berorientasi pencapaian visi-misi kelembagaan. Unsur-unsur yang terlibat

5
H.A.R Tilaar, Standarisasi Pendidikan Nasional: Suatu Tinjauan Kritis (Jakarta : Rineka Cipta,
2006), 169-170.
6
Gibson, Ivancevic, Donnelly, Organization (Richard D Irwin Inc, 1995), 436.
7
Oemar Hamalik, Media Pendidikan (Bandung: Alumni, 1994), 151, bandingkan dengan
Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Memengaruhi (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 139.
Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015 | 3
Ali Wafa

di dalamnya dilibatkan sehingga dapat memperkuat kelembagaan. Upaya tersebut


dilakukan melalui koordinasi dan konsolidasi secara terus menerus.
Masalah harus dimanaje dengan baik agar memiliki dampak posistif terhadap
organisasi. Keberadaan manajemen dalam penyelesaian masalah menjadi penting.
Kebenaran yang tidak dikelola dengan baik akan kalah dengan kezaliman yang
dimanaje secara terorganisir. Dengan demikian, manajemen menjadi misteri dalam
penyelesaian masalah, mulai dari proses planning, organizing, actuating hingga
controlling. Efektifitas, efisiensi dan produktifitas menjadi tujuan penyeleasian
masalah organisasional.
Gibson berpendapat bahwa masalah organisasi dapat dihilangkan atau
dihindarkan dengan cara merekrut orang yang tepat, menetapkan uraian kerja secara
hati-hati, menyusun organisasi dengan cara membuat mata rantai komando yang
jelas, dan menciptakan aturan dan prosedur yang jelas untuk menghadapi berbagai
macam hal yang terjadi.8 Prinsip The right man on the right job, the right man on the
right place adalah tepat sebagai langkah antisipatif. Masalah sering muncul akibat the
right man on the wrong place atau the wrong man on the right place juga akan
mendatangkan persoalan yang tidak kecil di kemuadian hari.
Problem solving dapat dilakukan melalui beberapa langkah, seperti identifikasi
masalah, menemukan sumber dan akar masalah dan kesimpulan. Pemecahan masalah
dimulai dengan memahaminya, merencanakan pemecahan masalah, melaksanakan
pemecahan masalah dan evaluasi. Dengan demikian, pemecahan masalah merupakan
bagian dari proses manajemen. Pemecahan masalah dilakukan dengan manajemen
dan berorientasi pada perencanaan hingga hasil yang diinginkan.
Teknik pemecahan masalah dalam penelitian ini menggunakan teori SWOT
dan supervisi. Berikut deskripsi konsep kunci keduanya:

Teori Manajemen
Everything is by manajemen (segala sesuatu menjadi baik melalui manajemen),
demikian pula pemecahan masalah dalam mengelola tantangan lembaga pendidikan
Islam. Pemecahan masalah di Madrasah Tsanawiyah mengharuskan adanya

8
Gibson, Organization, 436.
4 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Problem Solving Berbasis Pesantren

manajemen, baik kelembagaan, kultur, tradisi dan nilai-nilai yang berada di dalamnya.
Manajemen merupakan jalan keluar pemecahan masalah organisasional madrasah.
Dalam hemat penulis terdapat dua hal utama terkait peran dan fungsi manajemen
yaitu, menyangkut pengelolaan internal dan keberadaan MTs sebagai the second
choice. Dua hal ini menjadi titik pijak terhadap upaya memajukan lembaga pendidikan
Islam.9
Manajemen pemecahan masalah merupakan proses mengelola perubahan
dalam lembaga pendidikan Islam dimana terdapat pola hubungan antara keduanya
dengan fungsi-fungsi tertentu untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien.10
Manajemen diperlukan peran dan fungsi pesantren berlangsung produktif,11 mengacu
pada tata laksana yang jelas sehingga tidak terjadi kesimpang-siuran, apalagi
tumpang tindih tugas atau saling lempar tanggung jawab menyangkut hal-hal yang
urgen.
Manajemen pemecahan masalah mengacu pada manajemen budaya
Madarasah Tsanawiyah. Prinsip-prinsip manajemen berbasis pada kekhasan budaya
lembaga pendidikan islam. Perencanaan, pembagian tugas, pengelolaan, dan
pengendalian partisipatif menjadi hal utama. Manajemen budaya lebih berorientasi
pada decision making, yaitu proses pengambilan keputusan melalui proses yang
melibatkan stake holders (masyarakat, praktisi pendidikan, wali santri dan
pemerintah). Manajemen budaya menjembatani partisipasi lingkungan sosial dapat
tersalurkan dengan baik. Manajemen budaya pesantren harus berangkat dari good
will (keinginan baik) pihak pesantren.

Teori SWOT
Teori SWOT12 meliputi Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan),
Opportunities (peluang) dan Threats (ancaman) yang terdapat pada Lembaga

9
Wayne K. Hoy-Cecil G. Miskel, Educational Administration; Theory reserach and Practice Third
Edition, (New York: Rondom House, 1987), 336, 337.
10
Wukir, Manajemen Sumber Daya Manusia (Yogyakarta, Multi Persindo, 2013) 38-39.
11
Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011) 71.
12
Freddy Rangkuti, Analisis Swot Tehnik Membedah Kasus Bisnis,(Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1999), 137.
Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015 | 5
Ali Wafa

Pendidikan Islam (MTs). Dengan analisis SWOT ini dapat diketahui peta masalahnya.
Identifikasi unsur strengths dengan mendaftar semua kekuatan yang dimiliki,
weakness meliputi unsur kelemahan lembaga, opportunities meliputi semua peluang,
dan identifikasi threats (ancaman) yang dihadapi. Langkah selanjutnya adalah
menyatukan unsur SO (strengths-opportunities), yaitu memanfaatkan semua
kekuatan yang ada untuk memanfaatkan peluang. Strategi WO (weaknesses-
opportunities) dipakai untuk mengatasi kelemahan dengan memanfaatkan semua
peluang yang dimiliki. Strategi ST (strengths-threats) dipakai untuk menghindari
semua tantangan yang dihadapi berdasar kekuatan yang ada dan strategi WT
(weaknesses-threats) untuk menekan kelemahan dan menghadapi kelembagaan baik
internal maupun eksternal.

Teori Supervisi
Titiek menempatkan supervisi sebagai upaya setting for learning, dengan
menjadikan guru dan warga sekolah sebagai mitra pengawas yang sama-sama
memiliki tujuan mengambangkan dan memajukan lembaga pendidikan. Supervisi
diarahkan kepada urusan teknis edukatif dan administratif. Supervisi dimaksudkan
sebagai upaya meningkatkan wawasan dan kemampuan profesional dalam
bidangnya. Supervisi diarahkan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas
pembelajaran.13 Supervisi klinik yang diterapkan untuk mencapai tujuan di atas. Teknik
supervisi bisa dilakukan secara individual maupun kelompok.14 Supervisi individual
meliputi supervisi perkembangan, direncanakan bersama, sebaya, memanfaatkan
siswa dengan alat-alat elektronik dan pertemuan informal. Supervisi kelompok
dilaksanakan melalui supervisi rapat guru, sebaya, diskusi, demonstrasi, pertemuan
ilmiah dan kunjungan ke sekolah.

Hasil Penelitian
MTs Walisongo 1 Maron merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua se-
eks Kawedanan Gending yang berdiri pada tahun 1960 dengan bentuk Muallimin 6

13
Titiek, Supervisi, 9.
14
Made Pidarta, Supervisi Pendidikan Kontekstual (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 141-188.
6 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Problem Solving Berbasis Pesantren

tahun atas inisiatif para tokoh NU Kecamatan Maron, Banyuanyar dan Gending.15
Ribuan alumni tersebar di berbagai daerah dan profesi ikut mewarnai kehidupan
beragama berbangsa dan bernegara. Lembaga di bawah naungan NU ini, menjadi
salah satu lembaga berprestasi di Kabupaten Probolinggo, baik akademik maupun
vocational skill.
MTs Nurul Jadid merupakan salah satu lembaga pendidikan yang berada di
bawah naungan Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Dengan demikian
keberadaan MTs. Nurul Jadid tidak bisa dilepaskan dari sejarah, tradisi dan
normatifitas Pondok Pesantren Nurul Jadid. Argumentasi yang dapat dikemukakan di
sini adalah nama Nurul Jadid yang melekat di belakang kata MTs dan lokasinya di
areal pesantren.
Karena terletak di kawasan pesantren16, kedua MTs tersebut merupakan
lembaga pengkaderan para pemikir agama, lembaga pemasok sumber daya manusia
dan lembaga yang mendorong kemandirian dan pemberdayaan masyarakat maupun
sebagai lembaga yang mendorong serta ikut aktif dalam perubahan sosial
kemasyarakatan. Karena sejak berdiri MTs. Nurul Jadid memang bukan sekedar untuk
pemenuhan kebutuhan keilmuan melainkan juga penjagaan budaya, penyebaran
etika dan moralitas keagamaan. Pembelajaran di kedua MTs. tersebut dilaksanakan
secara integratif di sekolah dan di asrama.

1. Potret MTs Nurul Jadid dan Walisongo 1 Maron


Pembelajaran yang dilaksanakan sesuai dengan kurikulum yang telah
ditetapkan lembaga. Pembelajaran berlangsung sejak pukul 07.30 hingga 13.00.
Pembelajaran dilaksanakan dengan metode berpusat pada siswa dan fasilitas yang
telah tersedia. Pembelajaran disampaikan oleh guru sesuai dengan jadwal yang
telah ditetapkan. Jadwal pelajaran mengacu pada kalender pendidikan yang

15
Data MTs Walisongo 1 Maron.
16
Pesantren merupakan lembaga yang memiliki fungsi dan mengambil peran sebagai lembaga
pendidikan yang melakukan pendalaman dan pengkajian ilmu-ilmu agama dan nilai-nilai Islam
(Islamic Values); lembaga pendidikan yang melakukan kontrol sosial dan lembaga pendidikan
yang melakukan rekayasa sosial (social engineering), baca M. Sulthon dan Moh. Khusnurido,
Manajemen Pondok Pesantren dalam Perspektif Global (Yogyakarta: Laksbang Pressindo,
2006), 8.
Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015 | 7
Ali Wafa

menyesuaikan antara tradisi pesantren dan ketentuan dari Departemen Agama.


Hari efektif yang tersedia dalam satu semester adalah 126 hari.17
Pembelajaran lebih menekankan pada pendekatan-pendekatan psikologis
untuk penguatan cita-cita. Pembelajaran multisensori yang mengaktifkan semua
indera diterapkan untuk memudahkan siswa belajar.18 Lebih lanjut Hasanah
menjelaskan bahwa pembelajaran juga ditunjang dengan adanya sarana prasarana
yang cukup, baik referensi di perpustakaan, audio visual, internet19 dan juga
melalui lingkungan. Fasilitas tersebut diberikan agar siswa mendapat kemudahan
dan termotivasi untuk mengakses informasi khususnya yang berhubungan dengan
materi pelajaran.
Asrama merupakan tempat bagi santri selama mondok di PP Nurul Jadid.
Lokasinya terletak sekitar 50 – 100 m dari MTs Nurul Jadid. Selama berada di
asrama peserta didik melakukan pendalaman dan pengembangan materi yang
diajarkan di madrasah. Asrama menjadi ruang bagi peserta didik untuk melakukan
pembelajaran secara mandiri dan sosial. Di asrama ini pula peserta didik dapat
melakukan serangkaian kegiatan seperti pengajian kitab kuning, ta’addy (tarbiyyah
ad-diniyyah), bahtsul masa’il, bahthul kutub,20 istighatsah bersama, jam belajar,
serta student day. Student day merupakan kegiatan yang berorientasi pada bakat
dan minat yang dilaksanakan setiap Senin malam dan Kamis malam serta Jum’at
siang secara terorganisir.

17
Data di Bank Data MTs Nurul Jadid 19 Nopember 2015.
18
Hasanah Sunaryo (guru mata pelajaran Fiqh) wawancara, Paiton, 30 Nopember 2015. Istilah
multisensori yang dipakai Hasanah mengacu kepada Colin Rose dan Malcolm yang
menyatakan bahwa pengalaman multi-sensori akan memperluas dan memperdalam potensi
siswa dalam mengingat melalui pengalaman visual, auditori dan kinestetik. Baca Colin Rose
dan Malcolm, Accelerated Learning for 21th Century. Terj. Dedy Ahimsa (Bandung:
Nuansa,2002),194-195.
19
Sarana internet juga tersedia di kedua MTs tersebut dan siswa tingkat menengah juga dapat
mengaksesnya pada hari Selasa dan Jumat. Program ini dimaksudkan untuk memperluas
cakrawala berpikir peserta didik di pesantren. Untuk menjaga siswa dari pegaruh negatif yang
dimbulkan oleh tekhnologi infeormasi diterapkan sistem restriksi bagi situs-situs negatif
(pornografi).
20
Dilaksanakan setiap Jum’at malam. Pada kegiatan ini siswa dapat bertugas sebagai,
pembaca, pemberi penjelasan, pembahas untuk kemudia dikontekskan dengan masalah-
masalah yang berkembang. Kegiatan ini didampingi oleh seorang ustadz sebagai fasilitator.
8 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Problem Solving Berbasis Pesantren

2. Masalah yang dominan


Masalah yang ditemui dikedua lembaga ini mencakup konflik, masalah
pendanaan dan kesiswaan. ”awal saya menjabat kepala madarasah, merupakan
ujian yang cukup berat, yaitu terjadinya konflik yayasan dan lembaga. Namun, hal
ini memacu saya untuk menyelesaikannya.21
Masalah tersebut merembet kepada kegiatan belajar mengajar, terutama
keaktifan dan kedisiplinan guru. ”Kegiatan pesantren dan sekolah merupakan dua
hal yang harus dicapai secara bersama-sama. Tuntutan tersebut menjadi beban
sekaligus tantangan dalam mengelola lembaga. Tapi kepala madrasah dapat
mengelolanya dengan baik.22 Pesantren menyelenggarakan sejumlah program
dengan titik tekan pada penguasaan kitab kuning. Sementara itu, madrasah
sebagai kepanjangan tangan kementerian agama diwajibkan menuntaskan
kurikulum. Dengan demikian, madrasah di pesantren memiliki dua atasan
sekaligus, pesantren dan kementerian agama, dimana keduanya sama-sama
memiliki prioritas.
Persoalan pendanaan adalah persoalan klasik di semua lembaga swasta.
Lembaga swasta menyelenggarakan pendidikan secara mandiri, demikian pula
dalam hal pendanaan. Di kedua MTs tersebut, pendanaan diperoleh dari dana BOS
(biaya operasional sekolah), BSM (beasiswa siswa miskin), dan infaq dari siswa.
Dana tersebut digunakan untuk operasional lembaga, baik rutin maupun
pengembangan. Sementara BSM diberikan langsung kepada siswa dalam bentuk
bantuan langsung.
3. Supervisi klinis
Bapak Holil Hasyim, S.Pd. Guru Bahasa Inggris MTs Nurul Jadid
mengatakan:
“kepala sekolah juga melakukan supervisi klinis dalam upaya meningkatkan
kompetensi guru. Supervisi klinis ini adalah bentuk supervisi yang difokuskan pada
peningkatan mengajar dengan melalui siklus yang sisitematik, dalam perencanan,
pengamatan serta analisis yang intensif dan cermat tentang penampilan mengajar
yang nyata serta bertujuan mengadakan perubahan dengan cara yang rasional dan

21
Wawancara dengan Kholilullah, Kepala MTsWalisongo 1 Maron, 02 Desember 2015.
22
Wawancara dengan Khorul Anam, Kepala TU. MTs Nurul Jadid
Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015 | 9
Ali Wafa

merupakan bimbingan dalam pendidikan yang bertujuan membantu


mengembangkan kompetensi professionalisme guru dalam pengenalan mengajar
melalui observasi dan analisis data secara obyektif, teliti sebagai dasar untuk usaha
mengubah perilaku mengajar guru”.23

Bapak Toha, S.Pd., menambahkan:


“Dalam melakukan supervisi klinis kepala MTs Walisongo 1 sering mengadakan
kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran secara langsung,
terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang digunakan dan
keterlibatan siswa dalam pembelajaran, hal ini dilakukan untuk mengetahui
kelemahan sekaligus keunggulan guru dalam proses pembelajaran, serta tingkat
pengetahuan dan kompetensi yang dimilki oleh guru yang bersangkutan yang
mana nantinya akan dicarikan sebuah solusi, pembinaan, dan tindak lanjut tertentu
sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang ada dan terus
mempertahankan keunggulan yang dimilikinya”.24

Dari kedua penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa supervisi


klinis yang dilakukan oleh kepala MTs Nurul Jadid dan MTs Walisongo 1 adalah
untuk mengetahui kelemahan yang ada dan berusaha untuk memperbaikinya
dengan mencarikan solusi yang tepat dan sesuai dengan kekurangan yang ada. Hal
ini juga sependapat dengan apa yang disampaikan oleh kepala MTs Walisongo 1
yakni Bapak Kholilullah, M.Pd.:
“untuk dapat meningkatkan kompetensi guru, kami juga harus mengetahui
kekurangan dan kelebihan dari masing-masing guru agar kami dapat mencari dan
memikirkan program apa yang sekiranya sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh
para guru dalam meningkatkan kompetensi mereka, maka dari itu saya sering
melakukan kunjungan kelas untuk mengetahui sejauh mana proses pembelajaran
yang dilakukan oleh guru dan apa kekurangan dan kelebihan yang dimilki oleh
guru yang bersangkutan”.25

Kekurangan dan kelebihan guru memang harus diperhatikan agar dapat


memilih dan memilah program apa yang sesuai dengan kebutuhan guru dalam
meningkatkan kompetensi yang dimiliki dan mempertahankan kelebihan yang
telah dimiliki, dan salah satu cara untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan itu
adalah dengan memperhatikan saat guru mengajar di kelas.

23
Wawancara dengan Holil Hasyim pada tanggal 30 Nopember 2015.
24
Wawancara dengan guru PKN Toha S.Pd pada tanggal 29 Nopember 2015.
25
Wawancara dengan kepala MTs walisongo 1, pada tanggal 29 Nopember 2015.
10 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Problem Solving Berbasis Pesantren

Bapak Thohiruddin, M.Pd.I Kepala Madrasah Tsanawiyah Nurul Jadid


Paiton mengatakan :
“Guru-guru juga saya ikutkan dalam forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran
(MGMP) guna untuk meningkatkan prestasi dan wawasan guru tentang mata
pelajaran yang bersangkutan”.26

Ibu Hasanah, S.Ag, juga mengatakan:


“kami diberi kesempatan untuk mengikuti forum MGMP oleh kepala MTs Nurul
Jadid sesuai mata pelajaran yang masing-masing kami ampu, dan saya sendiri
sudah merasakan manfaatnya dengan mengikuti forum MGMP ini pengetahuan
dan wawasan saya bertambah”.27

Ibu Sri Hidayati, S. Pd. Mengatakan:


“peran kepala sekolah adalah sebagai pengatur kinerja guru, mengawasi kinerja
guru, memimpin dan melengkapi fasilitas pembelajaran, adapun dalam hal
meningkatkan kualitas guru adalah seperti mengikutkan guru dalam forum MGMP,
seperti yang telah dilaksanakan bulan kemarin di sumberasih”28

Progaram MGMP memang merupakan salah satu program yang berguna


untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan guru mengenai mata pelajaran
yang berkaitan dengan guru itu sendiri. Guru akan mendapatkan pemahaman lebih
dalam mengenai mata pelajaran terkait dengan mengikuti program MGMP.

4. Pemecahan Masalah Berbasis Pesantren


Pemecahan masalah di dua MTs tersebut menarik diteliti setidaknya
karena sejumlah alasan berikut. Pertama merebaknya fenomena santrinisasi,29
yakni muncul dan berkembangnya madrasah memiliki dampak yang berjangkauan
luas terhadap masa depan masyarakat Muslim Indonesia. Fakta merupakan respon
positif para insan pendidikan muslim Indonesia dalam berpartisipasi
mencerdaskan kehidupan yang memiliki karakter yang kuat dan life skill yang
memadai untuk membangun bangsa.

26
Wawancara dengan Thohiruddin, M.Pd pada tanggal 30 Nopember 2015.
27
Wawancara dengan Ibu Hasanah, S.Ag.
28
Wawancara dengan Sri Hidayati., pada tanggal 29 nopember 2015 pukul 09:15 wib
29
Kata santrinisasi merupakan bentuk Inggris dari dari istilah Jawa “santri” yang berarti
“mereka yang berasal dari pesantren” atau arti yang lebih umum “mereka yang taat
menjalankan ajaran Islam” sebagaimana dilawankan dengan “abangan” kaum muslim hanya
dalam nama (nominal Muslim).
Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015 | 11
Ali Wafa

Pendidikan berkualitas tidak hanya memberikan kontribusi pada perbaikan


kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, melainkan juga pada proses
santrinisasi masyarakat Muslim. Proses santrinisasi itu dapat digambarkan terjadi
melalui dua cara, yaitu, (a), para siswa umumnya telah mengalami “re-islamisasi”.
Sebagaimana telah diperlihatkan sebelumnya, disamping mempelajari ilmu-ilmu
keislaman secara intensif mereka juga dibekali ilmu-ilmu umum, (b), para siswa
membawa Islam ke rumah, dalam banyak kasus, mereka bahkan mengajarkan
kepada orang tua yang acapkali hanya mengetahui sedikit tentang Islam.
Umumnya orang tua merasa malu akibat ketidaktahuan mereka tentang Islam.
Akibatnya agar tidak mengecewakan sang anak, mereka mulai mempelajari Islam,
baik secara sendiri maupun dengan mengundang guru privat untuk mengajarkan
kepada mereka tentang Islam.30
Dari sini menjadi jelas, bahwa pola baru re-islamisasi atau santrinisasi yang
muncul di kalangan kelas menengah Muslim, tidak hanya di kalangan anak-anak,
tetapi juga di kalangan orang tua dengan beberapa karakter yang khas. Secara
tradisional, santrinisasi dianggap dilakukan terutama oleh para dai melalui
kegiatan-kegiatan dakwah. Dakwah biasanya dilakukan melalui pengajian di
masjid-masjid, atau ditempat-tempat lainnya di mana kaum muslim melakukan
kegiatan keagamaan. Fenomena santrinisasi ini tampaknya berbeda dari kedua
jenis dakwah yang baru disebut tadi. Proses santrinisasi melalui madrasah dapat
dikatakan merupakan semacam dakwah diam-diam atau lebih merupakan dakwah
organik. Tidak ada dakwah formal dari ruang pengajian.31
Kedua MTs tersebut memiliki sederet prestasi yang dicapai dan juga
letaknya di pedalaman (30 km dari pusat kota) tidak bisa lepas dari manajemen
mutu yang telah diterapkan dalam pengelolaan kelembagaan. Pendapat penulis,
sebagaimana di atas, perlu ditelaah lebih mendalam dengan melakukan penelitian
tentang manajemen mutu dalam peningkatan pelayanan menuju madrasah
unggul. Penelitian ini bermaksud menganalisis MTs Walisongo 1 Maron dengan

30
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi menuju Milleneum Baru (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999), 80.
31
Azra, Pendidikan, 82.
12 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Problem Solving Berbasis Pesantren

variable-variabel manajemen mutu. Penelitian dilaksanakan selama enam bulan


sejak Januari hingga Juni 2015. Teori manajemen mutu digunakan sebagai
pendekatan untuk memahami peningkatan MTs Walisongo dalam memenuhi
standar kualitas.
Permasalah yang dihadapi kedua lembaga cukup beragam, yaitu
personalia, kesiswaan dan pendanaan. Masalaha-masalah tersebut diselesaikan
melalui rapat-rapat, baik rapat bulanan maupun mingguan. Selain itu dilakukan
supervisi oleh internal maupun eksternal. Pemecahan masalah melalui rapat-rapat
di kedua lembaga seringkali kurang fokus, karena melibatkan banyak unsur. Hal ini
mengakibatkan adanya pengembangan masalah, yang bisa jadi melebar. Namun
demikian, pelibatan semua unsur dalam pemecahan masalah menunjukkan adanya
keterbukaan pihak manajemen lembaga.
Pemecahan masalah yang dilakukan di kedua lembaga tersebut cenderung
bersifat formal, yaitu hanya menyentuh hal-hal yang sifatnya normatif-prosedural.
Dengan model ini, pemecahan masalah hanya menyentuh kulit luar, belum bisa
menyelesaikan masalah hingga ke akarnya. Perhatian terhadap yang normatif-
prosedural dapat mengakibatkan terulangnya masalah yang sama dalam bentuk
yang berbeda. Pemecahan masalah dengan pendekatan normatif-prosedural
dapat dipahami sebagai keinginan kuat dari pihak pengelola untuk mentaati
peraturan atau prosedur. Pilihan ini bisa berdampak positif, yaitu munculnya
mutual trust dari semua unsure lembaga.
Bila dilihat secara SWOT, teknik pemecahan masalah mengharuskan
adanya akurasi dan validitas data. Dalam pantauan penulis, teknik pemecahan
masalah di kedua lembaga dimaksud didasarkan kepada ingatan masing-masing
pengelola terhadap kasus tertentu. Padahal, ingatan seseorang bisa berkurang
atau bahkan bisa terjadi penambahan yang tidak perlu. Validitas dan akurasi data
menentukan pemecahan yang tepat sesuai dengan jenis masalah yang dihadapi.
Kepala sekolah belum melakukan supervisi secara intensif. Supervisi hanya
dilakukan ketika ada persoalan yang sudah mencapai tingkat yang cukup kronis.
Selain itu supervisi dilakukan oleh pihak eksternal, yaitu pengawas madrasah.
Pengawasan model tersebut cenderung formal dan berbasis tugas, belum berbasis
Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015 | 13
Ali Wafa

masalah dan budaya yang berkembang di madrasah. Namun demikian, kepala


madrasah memiliki semangat yang tinggi dalam mengembangkan memajukan
madrasahnya.
Data dan informasi yang akurat sangat organik dalam pemecahan masalah.
Sebagaimana disebutkan bahwa pemecahan masalah merupakan proses yang
melibatkan mental dan intelektual berdasarkan data dan informasi yang akurat.
Untuk itu, Madrasah Tsanawiyah hendaknya memiliki bank data yang merekam
setiap kejadian dan peristiwa penting disekolah, baik kurikulum, kesiswaan,
humas, sarana pra sarana. Data dan informasi yang valid sangat menentukan
dalam pemecahan masalah yang berkualitas, bukan sekedar tambal sulam. Selain
itu, pemecahan masalah tidak menimbulkan masalah lain yang lebih rumit. Selain
bersifat formal, penyelesaian masalah di kedua madrasah hendaknya
menggunakan pendekatan budaya dari pada model perusahaan. Dalam batas
tertentu, pendekatan kekeluargaan dapat digunakan dan mengurangi problem
solving yang bersifat formal prosedural.
Desicion making di Madrasah Tsanawiyah hendaknya dikonstruk sebagai
pembuatan keputusan dari pada pengambilan keputusan dimana kepala madrasah
(decision maker) terlibat penuh di dalam proses manajerial. Demikian pula dalam
peristilahan controling yang biasanya dimaknai dengan pengawasan adalah kurang
tepat. Dalam konteks lembaga pendidikan, controling lebih berarti pengendalian.
Penggunaan kedua contoh tersebut lebih manusiawi. Karena dalam kearifan lokal
pesantren, aspek spiritual gathering lebih bermakna dari pada robotik-mekanistik.
Spiritual gathering lebih menekankan kepada bagaimana kepala madrasah mampu
menginisiasi, menginspirasi dan kreatif. Dalam kerangka ini terbangun iklim
dimana semua warga madrasah memiliki orientasi pengabdian daripada bekerja.
Suasana kerja berkembang ke arah budaya yang membangkitkan rasa
kebersamaan yang menciptakan antusiasme, bersatu mencapai tujuan.
Madrasah Tsanawiyah merupakan tindak lanjut dari pendidikan muallimin,
yang mengajarkan 30% mata pelajaran agama, selebihnya mata pelajaran-mata
pelajaran umum. Madrasah dapat dipahami sebagai jalan keluar antara model
pendidikan pesantren dan sekolah yang pada akhirnya melahirkan dualisme dalam
14 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Problem Solving Berbasis Pesantren

sistem pendidikan nasional. Dengan memberikan penekanan pada mata pelajaran-


mata pelajaran agama, pesantren seringkali dianggap tidak mampu merespons
kemajuan dan tuntutan zaman. Sementara sekolah dipandang sebagai lembaga
pendidikan yang lebih menitik beratkan pada dimensiilmupengetahuan dan
tekhnologi.
Eksistensi madarasah dalam sistem pendidikan Indonesia tergolong
fenomena terkini, karena lahir pada kurun 80 an, sebagai bentuk kompromi antara
pendidikan pesantren dan sekolah umum. Pesantren disebut mewakili kalangan
religious, sementara sekolah umum masih dipandang sebagai lemabaga yang
menganut paham sekuler. Dengan demikian, madarasah Tsnawiyah merupakan
cerminan modernisasi lembaga pendidikan Islam. Fenomena ini berujung pada
gagasan memajukan pendidikan Islam agar setara dengan lembaga pendidikan
umum yang dianggap telah melesat jauh dengan tetap berpegang teguh pada
aspek keagamaan. Upaya tersebut dapat dipetakan mencakup dua hal pokok.
Yaitu, hal pertama adalah adopsi sistem dan lembaga pendidikan modern secara
total. Adapun eksperimen yang bertitik tolak dari sistem dan kelembagaan
pendidikan Islam (tradisional) di Indonesia menjadi pokok kedua.
Problem generik yang dihadapi lembaga pendidikan islam adalah
ketimpangan antara national competitifness dengan angka partisipasi pasar akibat
rendahnya human development index. Dari sini muncul pemahaman tentang
adanya miss match antara proses di lembaga pendidikan dengan tuntutan
masyarakat. Dengan demikian diperlukan perluasan akses, dan peningkatan mutu.
Selain itu rasio guru munculnya persepsi madrasah sebagai bengkel karakrakter
siswa yang sudah akut. Selain itu terdapat problem regenerasi dalam
mengaktualisasikan nilai-nilai keislaman dalam menghadapi tantangan kehidupan
dunia global. Upaya modernisasi madrasah memerlukan daya dukung tenaga
pendidik yang kompeten agar pembelajaran bermutu.
Selain itu rasio jumlah guru dengan jumlah siswa adalah 1 berbanding 15
orang siswa. Hal ini tentu saja memicu persoalan dalam hal pengaturan jumlah jam
ideal dan jumlah ruang kelas yang dibutuhkan. Banyaknya jumlah guru, tentu saja,
berakibat pada membengkaknya alokasi dana yang harus dibayarkan, sehingga
Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015 | 15
Ali Wafa

menyedot anggaran madrasah yang seharusnya bisa dibayarkan untuk kegiatan


kesiswaan. Banyaknya jumlah guru tidak ddikuti oleh kualitas yang diinginkan.
Dengan demikian, problem madrasah Tsanawiyah adalah masalah peningkatan
mutu tenaga pendidik dan tenaga kependidikan agar relevan dan kompetitif.
Teknik problem solving di MTs Walisongo 1 dan MTs Nurul Jadid dilakukan
secara formal dan informal. Secara formal problem solving dilakukan melalui
rapat-rapat. Rapat dilaksanakan secara kedinasan meliputi struktural sekolah dan
asrama. Pembuatan keputusan dalam pemecahan masalah dilakukan secara
partisipatif dengan mendengarkan laporan dari masing-masing peserta rapat,
dianalisis kemudian dipilih salah satu solusi yang paling tepat sesuai data yang
disampaikan.
Teknik pemecahan masalah dilaksanakan dengan mempertimbangkan
potensi kelembagaan seperti sumberdaya manusia dan sarana prasarana yang
dimiliki. Kedua potensi tersebut dikomparasikan dengan tantangan yang dihadapi,
baik internal maupun eksternal. Tantangan internal menyangkut pelaksanaan
KBM, sumber daya manusia, kebijakan kurikulum yang acapkali berubah,
ketersediaan dana serta sarana pra sarana yang dimiliki. Tantangan eksternal
adalah perkembangan situasi dan kondisi kawasan yang ikut memengaruhi pola
pikir pengelola lembaga.
MTs Nurul Jadid dan MTs Walisongo melaksanakan perencanaan tahunan
madrasah sebagai kerangka dasar manajemen kelembagaan. Kegiatan tersebut
dilaksanakan oleh lembaga penjamin mutu. Jakfar Afnani, ketua Pusat Kendali
Mutu MTs Walisongo 1 Maron menyatakan bahwa lembaganya telah
melaksanakan perencanaan tahunan yang dilaksanakan pada tahun 2012 di Ranu
Segaran Krucil. Dalam kesempatan tersebut semua komponen sekolah terlibat
secara partisipatif.32 konsultasi dan secara informal melalui silaturrahim dan
pendekatan personal.
Dalam perencanaan tersebut dilakukan analisa terhadap faktor internal
dan eksternal yang berpengaruh terhadap kemajuan madrasah. Selain itu, analisa

32
Wawancara Jakfar Afnani, Ketua PKM MTs Walisongo 1 tanggal 01 Desember 2015.
16 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Problem Solving Berbasis Pesantren

juga dilakukan terhadap faktor yang menjadi hambatan dan tantangan. Faktor-
faktor tersebut dibahas secara detail dengan berbasis data pelaporan di tahun
sebelumnya, yaitu data kurikulum, kesiswaan, sarana prasarana dan humas.

Di MTs Nurul Jadid perencanaan tahunan mengacu kepada perencanaan


strategis bersama yang dikoordinir oleh Biro Kependidikan pesantren Nurul Jadid
dan kebijakan kementerian agama. Perencanaan bersama dilaksanakan bersama
satuan kerja pengelola di MTs. Nurul Jadid mengacu visi misi pondok pesantren.
Dari visi-misi pesantren disusun program tahunan dengan mengacu terhadap
integrasi pendidikan antara asrama dan sekolah dimana keduanya harus saling
menopang dan melengkapi. Masalah yang dihadapi kedua MTs tersebut cukup
beragam, yaitu kurikuler, kedisiplinan siswa, integrasi pengelolaan, dan
manajemen sarana. Masalah kedisiplinan siswa dan sarana pra sarana merupakan
masalah yang cukup dominan dan menjadi konsentrasi lembaga pada tahun 2015.
Penyelesaian masalah berdasarkan program yang sudah ada.33 MTs Nurul
Jadid memiliki kerangka penyelesaian yang jelas berorientasi kepada tujuan
kelembagaan, khususnya kemampuan keagamaan dan akhlak al-karimah. Untuk
itu, Madrasah dilaksanakan pembiasaan dan keteladanan dari para guru dan
manajemen lembaga. Problem solving diarahkan kepada situasi pendidikan yang
menggabungkan antara tradisional (pesantren) dan modernitas. Hal ini harus
menjadi perhatian utama mengingat tuntutan masyarakat terhadap lembaga
pendidikan islam agar bisa berkontribusi secara fundamental dalam membangun
manusia cerdas dan religius.
Kepala madrasah di kedua lembaga pendidikan Islam tersebut
melaksanakan supervisi secara periodik dengan melibatkan unsur internal dan
eksternal. Supervisi dilaksanakan secara bertingkat, mulai dari Waka Kurikulum,
Kepala Madraasah hingga Tim dari Biro Kependidikan. Supervisi juga dilaksanakan
oleh pengawas madrasah, yaitu petugas Kemenag Kabupaten Probolinggo
dengan maksud memberikan pembinaan dan pendampingan agar pendidikan
berlangsung sesuai tujuan.

33
Wawancara Khoirul Anam, Kepala TU MTs Nurul Jadid Paiton, tanggal 02 Desember 2015.
Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015 | 17
Ali Wafa

Supervisi menduduki posisi yang ideal dalam membina guru agar


pembelajaran bermutu. Kepala sekolah menyadari bahwa guru merupakan
komponen utama dalam mengembangkan pembelajaran berkualitas di kelas.
Kualitas guru berbanding lurus dengan kualitas pembelajaran, dan kualitas
pembelajaran berarti kualitas pengetahuan, sikap dan ketrampilan siswa. Karena
guru yang baik adalah pembelajar yang baik sehingga guru dituntut untuk terus
belajar dan meningkatkan kompetensinya. Artinya tugas guru bukan hanya
mengajar tapi mendidik. Keberadaan guru terkait erat dengan values, kompetensi
kepribadian dan sosial.
Dengan beragam langkah yang diambil manajemen madraah, eksistensi
kedua Madrasah Tsanawiyah tersebut mendapat pengakuan dari khalayak. Hal ini
terlihat dari terus melinjakkanya jumlah siswa yang berarti merupakan apreasi
masyarakat terhadap madrasah. Pelatihan peningkatan kualifikasi guru terus
dilakukan dengan berporos pada tiga hal, yaitu penguasaan bahasa asing,
teknologi informasi dan hubungan interpersonal. Kedua lembaga juga menggaet
lembaga kursus untuk meningkatkan achievement siswa.
Dulu, siswa MTs hanya belajar ilmu agama, seperti tafsir, hadis, fiqh dan
aqidah akhlak, tapi kini, mulai diterapkan penguasaan keilmuan terpadu yaitu ilmu
agama dan sains seperti social, eksakta hingga kejuruan. Lulusan Madrasah
Tsnanawiyah juga memiliki kesempatan yang sama untuk melanjutkan di sekolah
favorit. Dengan demikian, anggapan bahwa MTs sebagai the second choice mulai
dapat ditepis.
Keberadaan kedua lembaga yang menyelenggarakan model boarding
school menjadi distingsi tersendiri dimana para siswa dapat memiliki konsentrasi
belajar yang lebih baik dari pada sekolah tidak berasrama. Sekolah berasrama
tidak hanya menyelenggarakan peningkatan kemampuan kognitif, tetapi spiritual
dan life skill secara lebih intens. Pendidikan karakter yang didengungkan
pemerintah telah lama diaplikasikan. Character before knowledge adalah prinsip
pendidikan yang terus dikembangkan dan menjadi kekhasan di masing-masing
MTs, baik Nurul Jadid Paiton maupun Wali Songo 1 Maron Probolinggo.

18 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam


Problem Solving Berbasis Pesantren

Bila sekarang sekolah modern ramai-ramai menjual konsep back to nature


dengan konsep sekolah alam, sekolah berbasis pesantren telah lama menyatu
dengan alam. Madrasah bukan tempat yang terisolir dari masyarakat sekitar,
karena madrasah, mushalla, asrama, sawah dan kebun selalu menjadi kesatuan
yang terpisahkan membentuk lingkungan madrasah. Kegiatan belajar-mengajar
tidak terbatas di ruang kelas tapi juga aplikasi dengan berorientasi pada praktik di
lapangan.

Kesimpulan
MTs. Nurul Jadid Paiton dan MTs. Wali Songo 1 merupakan lembaga
pendidikan berprestasi di Probolinggo. Namun demikian, kedua MTs. tersebut
menghadapi berbagai masalah dalam proses manajemen. Masalah dipandang sebagai
wahana meningkatkan performa lembaga. MTs. Nurul Jadid Paiton dan MTs. Wali
Songo 1 Maron telah menerapkan pemecahan masalah dengan manajemen budaya
melalui teknik SWOT dalam mengatasi berbagai persoalan yang ada. Analisa SWOT
dipakai dalam perencanaan strategis lembaga untuk mencapai visi yang diidealkan.
Dua lembaga pendidikan Islam tersebut memiliki prestasi, baik di level Kabupaten
hingga Provinsi. Untuk lebih mengefektifkan perencanaan, MTs. Nurul Jadid dan Wali
Songo 1 Maron melakukan supervisi, baik internal maupun eksternal.

Referensi
Amin, M. Masyhur- Ridwan, M. Nasikh. 1996. KH. Zaini Mun’im (Pengabdian dan Karya
Tulisnya), LKPSM: Yogyakarta.
Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi menuju Milleneum
Baru. Logos Wacana Ilmu: Jakarta.
Fattah, Nanang. 2011. Landasan Manajemen Pendidikan, Remaja Rosdakarya:
Bandung.
Gibson, Ivancevic, Donnelly. 1995. Organization, Richard D. Irwin Inc.
Hamalik, Oemar. 1994. Media Pendidikan, Alumni: Bandung.
Hidayati, Titiek Rohanah. 2013. Supervisi Pendidikan; Sebuah Upaya Pembinaan
Kompetensi Guru, Stain Press: Jember.
Hoy, Wayne K.- Miskel, Cecil G. 1987. Educational Administration; Theory reserach and
Practice Third Edition, Rondom House: New York.
Khusnurido, Moh.-Sulthon, M. 2006. Manajemen Pondok Pesantren dalam Perspektif
Global, Laksbang Pressindo: Yogyakarta.
Muhaimin. Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, PT. Rajawali
Grafindo Persada: Jakarta.
Volume 8, Nomor 2, Agustus 2015 | 19
Ali Wafa

Noer, Deliar. 1982. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. LP3ES, Jakarta.
Pidarta, Made. 2009. Supervisi Pendidikan Kontekstual, Rineka Cipta: Jakarta.
Rangkuti, Freddy. 1999. Analisis Swot Tehnik Membedah Kasus Bisnis, Gramedia
Pustaka Utama: Jakarta.
Rose, Colin dan Malcolm. 2002. Accelerated Learning for 21th Century. Terj. Dedy
Ahimsa. Nuansa: Bandung.
Slameto. 1990. Belajar dan Faktor-faktor yang Memengaruhi, Rineka Cipta: Jakarta.
Standar Nasional Pendidikan (SNP). 2008. Fokus Media: Bandung.
Tim Penyusun. 1998. Mengenal Pondok Pesantren Nurul Jadid, cet. V. Biro Umum:
Probolinggo.
Wafa, Ali. 2007. Profil Pondok Pesantren Nurul Jadid, Koordinatorat: Probolinggo.
Wukir. 2013. Manajemen Sumber Daya Manusia, Multi Persindo: Yogyakarta.

20 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam

Anda mungkin juga menyukai