Anda di halaman 1dari 7

Nama : Yesi Septiana

NIM : 1901036138
Kelas : AK/F
Mat. Kul : Perpajakan 2

Tugas 2!
1. Download UU Bea materai yang terbaru, UU penagihan pajak dengan surat paksa dan UU
pengadilan pajak.

2. Apa yang dimaksud dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan berikan contoh
perhitungannya!

3. Apa yang dimaksud dengan SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN

4. Mengenai PPN dan PPNBM (undang-undangnya, pelaksanaannya, update peraturan PPN {salah
satunya perdagangan elektronik, voucher listrik, pulsa dll}, mekanisme pemungutannya,
objeknya, subjeknya, tarifnya, PKP yang kena pajak dan tidak kena pajak, siapa saja yang boleh
menimbulkan faktur-faktur PPN, PPN kegiatan perusahaan misal perusahaan rokok, minyak dll,
PPN yang tidak dapat dikreditkan dan PPN yang dapat dikreditkan)

Jawab:
1) - UU No. 14 Tahun 2020 tentang Bea Meterai, berikut secara garis besar.
 Pasal 1 menyatakan bahwa (1) Bea Meterai adalah pajak atas dokumen. (2) Dokumen
adalah sesuatu yang ditulis atau tulisan, dalam bentuk tulisan tangan, cetakan atau
elektronik, yang dapat dipakai sebagai alat bukti atau keterangan. (3) Tanda tangan
adalah tanda sebagai lambing nama sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk paraf,
teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan atau cap nama, atau tanda lainnya
sebagai penganti tanda tangan, atau tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang dibidang informasi dan transaksi elektronik. (4) Meterai adalah
label atau carik dalam bentuk tempel, elektronik, atau bentuk lainnya yang memiliki ciri
dan mendukung unsur pengaman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia,
yang digunakan untuk membayar pajak atas Dokumen. (5) Pihak yang terutang adalah
pihak yang dikenai Bea Meterai dan wajib membayar Bea Materai yang terutang. (6)
Pemeteraian Kemudian adalah pemeteraian yang memerlukan pengesahan dari pejabat
yang ditetapkan oleh Menteri. (7) Setiap Orang adalah perseorangan dan/atau badan, baik
yang berbentuk badan hukum maupun tidak berbadan hukum. (8) Menteri adalah menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Keuangan.

 Pasal 2 berisi tentang (1) Pengaturan Bea Meterai dilaksanakan berdasarkan asas
kesederhanaa, efisiensi, keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. (2) Pengaturan Bea
Meterai bertujuan untuk:
- Mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara
mandiri menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera;
- Memberikan kepastian hukum dalam pemungutan Bea Meterai;
- Menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat;
- Menerapkan pengenaan Bea Meterai secara lebih adil; dan
- Menyelaraskan ketentuan Bea Meterai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.

 Pasal 3 secara garis besar menjelaskan tentang Objek Bea Meterai pada ayat (1) dikatakan
bahwa Bea Meterai dikenakan atas dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan
mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata dan dijadikan sebagai alat bukti di
pengadilan. Sedangkan pada ayat (2) menjelaskan mengenai dokumen yang bersifat
perdata seperti surat perjanjian, akta notaris beserta grosse, akta Pejabat Pembuat Akta
Tanah beserta salinan dan kutipannya, surat berharga dengan nama dalam bentuk apapun
dan dokumen lainnya.

 Pasal 4 menyatakan bahwa Bea Meterai dikenakan satu (1) kali untuk setiap dokumen
sebagaimana yang terdapat dalam pasal 3.

 Pasal 5 mengenai tarif Bea Meterai yaitu tarif tetap sebesar Rp 10.000,- (sepuluh ribu
rupiah)

- UU No. 19 Tahun 2000 merupakan perubahan atas UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa, berikut secara garis besar.
 Pasal 1 ayat (9) menyatakan bahwa Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar
Penanggung Pajak (orang pribadi/badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak
termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak ) melunasi
utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan,
melaksanakan penagihan pajak seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa,
mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan,
menjuak barang yang telah disita. Ayat (11) Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus
adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada
Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi
seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak dan Tahun Pajak. Dan pada ayat
(12) menyatakan bahwa Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan
biaya penagihan pajak (biaya pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan, Pengumuman Lelang, Pembatalan Lelang, Jasa Penilai dan biaya lainnya
sehubungan dengan penagihan pajak [13]).

 Pada Pasal 8 menyatakan bahwa (1) Surat Pajak diterbitkan apabila: [a] Penanggung
Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau
Surat Peringatan atau surat lainnya yang sejenis; [b] terhadap Penanggung Pajak telah
dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus; atau [c] Penanggung Pajak tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau
penundaan pembayaran pajak. (2) Surat Teguran, Surat Peringatan, atau surat lainnya
yang sejenis diterbitkan apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai
dengan tanggal jatuh tempo pembayaran.

- UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, berikut secara garis besar.
 Pasal 2 menyatakan bahwa Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan
terhadap Sengketa Pajak.

 Pasal 3 menyatakan bahwa dengan undang-undang ini dibentuk pengadilan pajak yang
berkedudukan di ibukota Negara.
 Pasal 4 (1) Sidang Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya dan apabila
dipandang perlu dapat dilakukan di tempat lain; (2) Tempat sidang sebagaimana yang
dimaksudkan dalam ayat satu ditetapkan oleh Ketua.

 Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah
Agung; (2) Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak
dilakukan oleh Departemen Keuangan; (3) Pembinaan sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat satu dan dua tidak boleh mengurangi kebebasan Hukum dalam memeriksa dan
memutus Sengketa Pajak.

 Pasal 6 menyatakan bahwa Susunan Pengadilan Pajak terdiri dari Pimpinan, Hakim
Anggota, Sekretaris, dan Panitera.

 Pasal 7 menyatakan bahwa Pimpinan Pengadilan Pajak terdiri dari seorang Ketua dan
paling banyak 5 (lima) orang Wakil ketua.

2) Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) adalah norma yang dapat digunakan oleh wajib
pajak dalam melakukan penghitungan penghasilan neto untuk setiap tahun pajak sebagai dasar
penghitungan PPh Pasal 25/29 terutang. Tujuan norma penghitungan ini untuk menyerderhanakan
penghitungan guna mencari penghasilan neto. Setelah mengetahui besaran penghasilan neto,
wajib pajak dapat menghitung besaran PPh terutang untuk kebutuhan pembayaran dan pelaporan
pajaknya. Dasar hukum norma penghitungan neto ini adaalh UU No. 36 Tahun 2008 tentang
perubahan keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan pada pasal 14 dan juga
dijelaskan lebih dalam di Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor Per-17/PJ/2015 tentang
Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Untuk menggunakan norma penghitungan penghasilan
neto adapun syarat untuk wajib pajak sebagai berikut;
- Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
dengan peredaran bruto dalam satu tahunnya kurang dari Rp 4,8M wajib
menyelenggarakan pencatatan dan dapat menggunakan NPPN, kecuali jika yang
bersangkutan memilih menyelenggarakan pembukuan. Jika lebih dari Rp 4,8M, wajib
pajak wajib menyelenggarakan pembukuan.
- Wajib pajak orang pribadi yang wajib menyelenggarakan pencatatan dan menerima
atau memperoleh penghasilan tidak dikenai pajak penghasilan bersifat final,
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan
neto.
Mengutip dari laman pajak.go.id, wajib pajak orang pribadi yang boleh menggunakan NPPN
harus memberitahukan ke Ditjen Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak
yang bersangkutan. Jika tidak, maka wajib pajak dianggap menyelenggarakan pembukuan.
Berikut contoh penghitungannya:
Bapak Andi merupakan seorang agen asuransi yang berdomisili di Surabaya. Selama masa tahun
pajak 2019, ia memiliki penghasilan bruto sebesar Rp 650.000.000,-. Berapa besaran penghasilan
netonya?
Berdasarkan informasi pekerjaan dan domisili dari soal, tarif persentase NPPN Bapak Andi
adalah 50% sesuai lampiran PER-17/PJ/2015. Maka, cara menghitungnya sebagai berikut.
Penghasilan neto = Rp 650.000.000,- X 50%
= Rp 325.000.000,-
Selanjutnya untuk mendapatkan PPh terutang, wajib pajak harus mengalikan penghasilan neto
dengan tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh.
Khusus untuk wajib pajak orang pribadi harus dikurangi dengan PTKP, baru dikalikan dengan
tarif Pasal 17 UU PPh.
PPh terutang = (Penghasilan neto – PTKP) X tarif Pasal 17 untuk wajib pajak orang pribadi
3) SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar) dalam UU No. 16 Tahun 2009 adalah surat yang
menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran
pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, serta jumlah pajak yang masih harus dibayar. Surat ini
diterbitkan dalam jangka waktu 5 tahun setelah pajak terutangnya pajak atau berakhirnya masa
pajak.
SKPKBT (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan) adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. Menurut Pasal 15 ayat (1) dalam
UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana
perubahan ketiga UU No. 28 Tahun 2007, menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat
menerbitkan SKPKBT dalam jangka waktu 5 tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau apabila ditemukan data baru yang
mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan
dalam rangka penerbitan SKPKBT.
SKPLB (Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang
terutang. SKPLB akan diterbitkan apabila ada permohonan tertulis dari wajib pajak dengan
ketentuan: jumlah kredit pajak pada PPh, PPN, PPnBM, lebih besar dari jumlah pajak yang
terutang, atau sudah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang. Penerbitan
surat ini dilakukan setelah dilakukannya pemeriksaan atas permohonan, paling lambat 12 bulan
terhitung sejak saat permohonan diterima atau sesuai dengan keputusan Ditjen Pajak. Jika
terlambat diterbitkan, maka wajib pajak berhak menerima imbalan bunga 2% sebulan terhitung
sejak berakhirnya jangka waktu yang ditentukan.
SKPN (Surat Ketetapan Pajak Nihil) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah
pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada
kredit pajak. SKPN diterbitkan setelah Ditjen Pajak melakukan pemeriksaan surat pemberitahuan.
Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2007, SKPN diterbitkan untuk:
- Pajak Penghasilan jika jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang atau
pajak yang tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
- Pajak Pertambahan Nilai jika jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang
dan tidak ada kredit pajak. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai, nilai jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah
Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai tersebut;
- Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar sama dengan
jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran
pajak.
4) Berikut mengenai PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPnBM (Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah)
- Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan ketiga atas Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah.
- Dalam UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (17) menyatakan bahwa Dasar Pengenaan pajak
adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang
dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
- Dalam UU No.42 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (24) menyatakan bahwa Pajak Masukan adalah
Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karna
perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak. Ayat (25) Pajak
Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan penyerahaan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak,
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau
ekspor Jasa Kena Pajak.
- Pada ayat (27) menyatakan bahwa Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara
pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk
memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara
pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut.
- Sesuai UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 4A ayat (2) Jenis barang yang tidak dikenai Pajak
Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut;
a) Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya;
b) Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c) Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun
tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau
katering; dan
d) Uang, emas batangan, dan surat berharga.
Ayat (3) Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu
dalam kelompok jasa sebagai berikut; (a) jasa pelayanan kesehatan medis; (b) jasa
pelayanan social; (c) jasa pengiriman surat dengan perangko; (d) jasa keuangan; (e) jasa
asuransi; (f) jasa keagamaan; (g) jasa pendidikan; (h) jasa kesenian dan hiburan; (i) jasa
penyiaran yang tidak bersifat iklan; (j) jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa
angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa
angkutan udara luar negeri; (k) jasa tenaga kerja; (l) jasa perhotelan; (m) jasa yang
disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum; (n)
jasa penyediaan tempat parker; (o) jasa telepon umum dengan menggunakan uang
logam; (p) jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan (q) jasa boga atau katering.
- Dalam Pasal 5 ayat (1) disamping pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana yang
dimaksud Pasal 4 ayat (1), dikenai juga Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terhadap; (a)
penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang
menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya; dan (b) impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. Ayat (2) Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang
Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu
impor Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah.
Update mengenai pengenaan PPN terhadapan perdagangan elektronik, voucher listrik, pulsa dan
lain-lain, sebagai berikut;
Mengutip dari laman pajak.go.id, pada 22 Januari 2021 lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani
Indrawati mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/PMK.03/2021 tentang
Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penghasilan atas
Penyerahan/Penghasilan Sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token dan
Voucher.
Dalam UU No. 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM pasal 4A ayat (2) dan (3) yang
menyatakan mengenai barang atau jasa yang tidak dikenakan PPN. Sederhananya semua barang
atau jasa yang diperjualbelikan itu kena PPN kecuali yang ada dalam pasal 4A. Pulsa, Kartu
Perdana, Token, dan Voucher tidak ada dalam pasal itu, artinya semuanya merupakan barang
kena pajak dan kena PPN. Aturan ini sudah lama dan harga yang kita bayar sudah termasuk PPN
didalamnya. Kecuali untuk Listrik, Listrik merupakan barang kena pajak tertentu bersifat
strategis dan dalam batas waktu tertentu tidak dikenakan PPN. Listrik untuk konsumsi rumah
tangga dengan daya diatas 6600watt baru dikenakan PPN, kurang dari itu tidak dikenakan PPN.
Ketika kita membayar tagihan listrik melalui bank atau marketplace, kita dipungut biaya
administrasi (Fee). Biayanya berkisar Rp 2.000,- s/d Rp 2.500,-. Tidak ada PPN atas listrik di
sana, Fee yang diterima bank atau marketplace itulah yang merupakan objek PPN. PPN
dikenakan atas biaya adminstrasi tersebut, bank atau marketplace harus membayar PPN atas jasa
tersebut kepada negara. Begitu juga dengan voucher, pemungutan PPN atas voucher hampir
sama dengan token. PPN dikenakan atas imbalan atau komisi atau fee yang diterima oleh
distributor voucher dari penyelenggara voucher. Di tahun 2020 ada kewajiban pemungutan PPN
atas produk digital oleh pelaku usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), agar
tidak kena pajak berganda PMK ini keluar.
Objek PPN sesuai dengan UU No. 42 Tahun 2009 sebagai berikut:
- Penggunaan BKP (Barang Kena Pajak) tidak berwujud dari luar daerah pabean di
dalam daerah pabean
- Penyerahan BKP dan JKP (Jasa Kena Pajak) di dalam daerah pabean yang dilakukan
oleh pengusaha
- Impor BKP
- Ekspor BKP Berwujud atau Tidak Berwujud dan ekspor JKP oleh Pengusaha Kena
Pajak
Tarif PPN yang dikenakan sebagai berikut;
- Tarif 10%
- Tarif 0% untuk ekspor BKP dan BKP Tidak Berwujud serta ekspor JKP
Penyetoran dan Pelaporan PPN, yaitu pihak yang wajib menyetor dan melaporkan PPN adalah
Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pihak PKP adalah wajib pajak orang pribadi/badan usaha yang
memiliki jumlah penjualan barang/jasa diatas Rp 4,8M sesuai dengan PMK No.
197/PMK.03.2013.
Objek PPnBM berdasarkan UU No. 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga PPN dan PPnBM,
sebagai berikut:
- Objek PPnBM merupakan barang-barang kebutuhan pokok
- Objek PPnBM hanya dikonsumsi oleh orang-orang atau masyarakat tertentu
- Objek PPnBM umumnya hanya dikonsumsi orang-orang yang memiliki penghasilan
tinggi
- Objek PPnBM dikonsumsi demi status atau untuk menunjukkan status sosialnya
Tarif PPnBM berdasarkan UU No. 42 Tahun 2009 pasal 8, tarif PPnBM ditetapkan paling rendah
10% dan paling tinggi sebesar 200%, namun jika pengusaha melakukan aktivitas ekspor BKP
tergolong mewah, maka akan dikenakan tarif pajak 0%. berikut pengelompokkan tarif PPnBM,
yaitu;
- Tarif atas Kendaraan Bermotor
- Tarif atas non Kendaraan Bermotor
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak PKP yang melakukan penyerahan BKP atau JKP,
dimana ketika PKP menjual barang atau jasa kena pajak, PKP harus menerbitkan faktur pajak
sebagai tanda bukti dirinya telah memungut pajak dari orang yang telah membeli barang/jasa
kena pajak tersebut.
PPN terkait faktur pajak yang tidak dapat dikreditkan, sebagai berikut;
- PPN atas perolehan BKP/JKP yang dilakukan sebelum pengusaha yang bersangkutan
ditetapkan sebagai PKP
- PPN atas perolehan BKP/JKP yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan
usaha PKP. Maksudnya, tidak memiliki hubungan dengan kegiatan produksi,
distribusi, pemasaran, dan manajemen PKP
- Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon,
kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan
- PPN atas perolehan BKP/JKP yang didapat dari luar daerah pabean sebelum
pengusaha yang bersangkutan ditetapkan sebagai PKP
- PPN atas perolehan BKP/JKP yang tidak memenuhi ketentuan pada UU No. 42/2009
Tentang PPN dan PPnBM Pasal 13 ayat (5) atau (9) atau tidak mencantumkan nama,
alamat dan NPWP pembeli/penerima BKP/JKP
- Dan masih banyak lagi.

Anda mungkin juga menyukai