Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN PELAKSANAAN MAGANG

DI DINAS KESEHATAN KOTA MALANG


TANGGAL 27 FEBRUARI – 8 APRIL 2017

TREN, POLA, DAN UPAYA PENANGGULANGAN DIABETES


MELLITUS TIPE 2 DI WILAYAH KERJA DINAS KESEHATAN
KOTA MALANG
PERIODE TAHUN 2015- 2016

Oleh :
Ayu Nindhi Kistianita (130612607859)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
2017
ii

LAPORAN PELAKSANAAN MAGANG


DI DINAS KESEHATAN KOTA MALANG
TANGGAL 27 FEBRUARI – 8 APRIL 2017

TREN, POLA, DAN UPAYA PENANGGULANGAN DIABETES


MELLITUS TIPE 2 DI WILAYAH KERJA DINAS KESEHATAN
KOTA MALANG
PERIODE TAHUN 2015- 2016

Disusun Oleh :
Ayu Nindhi Kistianita (130612607859)

Telah disahkan dan diterima dengan baik oleh:


Malang, 04 Mei 2017
Pembimbinga Lapangan Dinas Kesehatan Dosem Pembimbing Magang
Kota Malang

Tomi Sukarno, S.KM. M. Ling drg. Rara Warih Gayatri, M.PH


NIP. 197006211995021001 NIP. 198202192008012006

Mengetahui,
Ketua Jurusan
Ilmu Kesehatan Masyarakat
Universitas Negeri Malang

drg. Rara Warih Gayatri, M. PH


NIP. 198202192008012006
iii

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena hanya dengan berkah dan
rahmatnya
kami dapat menyelesaikan Laporan Pelaksanaan Magang ini yang berkenaan
dengan Pola, Tren, dan Cara Penanggulangan DM Tipe 2 di Wilayah Kerja Dinas
Kesehatan Kota Malang periode tahun 2015-2016 sebagai salah satu kegiatan
untuk memenuhi matakuliah magang. Laporan ini berisi tentang kegiatan magang
dan permasalah serta solusi dari permaslahan mengenai DM Tipe 2 di Kota
Malang.
Dengan membaca laporan ini diharapkan dapat menambah informasi
pembaca mengenai Pola, Tren, dan Cara Penanggulangan DM Tipe 2 di Wilayah
Kerja Dinas Kesehatan Kota Malang periode tahun 2015-2016. Tidak lupa kami
ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu pembuatan laporan ini.
Kami ucapkan terimakasih kepada:
1. drg Rara Warih Gayatri, M.PH Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan
Masyarakat
2. Dr. dr. Asih Tri Rachmi Nuswantari, MM. Kepala Dinas Kesehatan
Kota Malang
3. Tomi Sukarno, S.KM. M. Ling. Pembimbing Lapangan Puskesmas
Wonoasih
Teman-teman yang telah memberi saran dalam pembuatan laporan ini.
Akhir kata, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari akan
ketidaksempurnaan laporan ini. Semoga laporan yang penulis buat ini dapat
memberikan manfaat dan memberikan tambahan pengetahuan.

Malang, 04 Mei 2017

Penulis
iii
iv

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................i
DAFTAR ISI ........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................1
1.2 Tujuan..............................................................................................................4
1.3 Manfaat............................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Diabetes Mellitus (DM) 7
2.2 POSBINDU PTM 12
BAB III METODE KEGIATAN MAGANG 16
3.1 Metode Kegiatan Magang16
3.2 Lokasi dan Waktu Kegiatan 16
3.3 Kerangka Operasional 17
3.4 Teknik Pengumpulan Data 17
3.5 Jadwal Kegiatan Magang 18
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 45
4.1 Gambaran Umum Dinas Kesehatan Kota Malang 19
4.2 Tren dan Pola 10 Besar Penyakit di Kota Malang Periode Tahun 2013-
2015........................................................................................................................22
4.3 Tren dan Pola PTM di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Malang 23
4.4 Tren dan Pola DM Tipe 2 di Wilayah Kerja Kerja Dinas Kesehatn Kota
Malang 24
4.5 Pelaksanaan Skrining Faktor Risiko Diabetes Mellitus (FR-DM)di Wilayah
Kerja Dinas Kesehatan Kota Malang 31
BAB V PEMBAHASN PROGRAM 33
5.1 Upaya Penanggulangan Penyakit Tidak Menular 33
BAB VI PENUTUP 43
iv

6.1 Kesimpulan 43
6.2 Saran 43
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................44
LAMPIRAN.........................................................................................................47
1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Selama beberapa dekade tarakhir telah terjadi transisi epidemiologi yakni
terjadi perubahan yang kompleks pada pola kesehatan maupun pola penyakit
penyebab utama kematian pada seseorang dimana prevalensi penyakit menular
(penyakit infeksi) menurun, sedangkan penyakit tidak menular (penyakit non
infeksi) mengalami peningkatan (Bustan, 2012). Perubahan transisi epidemiologi
terjadi seiring dengan perubahan gaya hidup, sosial ekonomi, serta peningkatan
angka harapan hidup dimana hal ini menandakan meningkatnya risiko
terserangnya penyakit degeneratif seperti hipertensi, diabetes mellitus, penyakit
jantung koroner, stroke dan lain sebagainya (Aprini, 2012).
Penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab utama kematian secara
global. Berdasarkan data dari WHO, PTM menyebabkan 40 juta orang meninggal
setiap tahunnya, hal ini sebanding dengan 70% kematain secara global (World
Health Organization, 2017). Selain itu setiap tahunnya, 17 juta orang meninggal
akibat PTM sebelum memasuki usia 70 tahun dan 87% kematian dini akibat PTM
terjadi di negara berkembang (WHO, 2017). Diperkirakan pada tahun 2030
terdapat 52 juta orang per tahun yang meninggal diakibatkan oleh PTM. Disisi
lain jumlah kematian yang diakibatkan oleh penyakit menular seperti TBC,
HIV/AIDS, Malaria atau penyakit infeksi lain akan mengalami penurunan, yang
semula 18 juta orang saat ini akan menjadi 16,5 juta jiwa pada tahun 2030
(Kemenkes, 2012a). Negara berkembang seperti Indonesia bertanggung jawab
tiga kali dari tahun hidup yang hilang dan disabilitas (Disability Adjusted Life
Years/DALYs) (The Jakarta Post, 2011). Berdasarkan profil PTM dari WHO pada
tahun 2011, di Indonesia pada tahun 2008 terdapat 582.300 laki-laki serta 481.700
perempuan yang meninggal diakibatkan oleh PTM (Kemenkes, 2012a).
Salah satu penyakit degenaratif yang angka peningkatan cukup tinggi
adalah Diabetes Mellitus (DM) secara global, jumlah penderita DM pada tahun
2015 sebanyak 415 juta orang dan diperkirakan pada tahun 2040 akan meningkat
menjadi 642 juta orang (International Diabetes Federation, 2015). Hal ini
2

menyebabkan DM menjadi persoalan kesehatan masyarakat yang penting, dimana


DM termasuk satu dari empat penyakit utama dalam kategori PTM yang harus
segera ditangani (WHO, 2016a).
Sebanyak 43% dari 3,7 juta kematian DM terjadi sebelum berusia 70 tahun
dan persentase kematian tersebut lebih banyak terjadi di negara berkembang
daripada di negara maju (WHO, 2016a). WHO (2016b) juga memperkirakan pada
tahun 2030 DM akan menduduki posisi ketujuh penyebab utama kematian di
dunia. Indonesia merupakan satu dari 10 negara yang memiliki jumlah penderita
DM terbanyak (Mihardja dkk, 2013). Pada tahun 2015, jumlah penderita DM di
Indonesia sebanyak 10 juta orang (IDF, 2015). Berdasarkan data dari WHO,
prevalensi DM di Indonesia pada tahun 2000 yakni 8,4 juta orang dan
diperkirakan pada tahun 2030 akan mencapai 21,3 juta orang (WHO, 2016c)
Berdasarakan data Departemen Kesehatan RI (2012) terdapat 102.399 kasus DM.
Di Kota Malang pada tahun 2015 terdapat 5905 kasus baru DM Tipe 2 dan
angka kematian 17 orang (laki-laki) dan 19 orang (perempuan) sedangkan pada
tahun 2016 jumlah kasus baru 3857 kasus dan 5 orang yang meninggal. Meskipun
terjadi penurunan angka keajadian DM Tipe 2, posisi DM Tipe 2 selama lima
tahun terakhir menduduki posisi kedua untuk kategori 10 besar penyakit tidak
menular di Kota Malang (Dinkes Kota Malang, 2017).
Berdasarkan uraian data diatas, WHO telah menetapkan PTM sebagai
permasalahan kesehatan yang harus segera mendapatkan perhatian dan
penanganan (Rahayujati, 2015). Untuk itu diperlukan usaha pencegahan PTM
yang tepat. PTM dapat dicegah dengan mengendalikan faktor risikonya (Depkes,
2008). Menurut WHO (2011) faktor risiko sebuah penyakit memberikan efek
yang sangat signifikan pada peningkatan angka kejadian dan angka kematian
penyakit kronis. Untuk itu, surveilans faktor risiko DM sangat penting karena
ketika informasi mengenai level dari faktor risiko diketahui sejak dini maka akan
dapat disusun intervensi dan program yang tepat (WHO, 2011). Kementerian
Kesehatan RI telah menetapkan surveilans serta skrining terhadap PTM melalui
program Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular (POSBINDU PTM).
Pada POSINDU PTM terdapat pedoman Kartu Menuju Sehat Faktor Risiko
3

Penyakit Tidak Menular (KMS FR-PTM) yang didalamnya berisi mengenai


pengukuran faktor risiko PTM (indeks masa tubuh, lingkar perut, tekanan darah,
gula darah sewaktu, kolesterol total, trigliserida, benjolan tidak normal pada
payudara, arus pernafasan ekspirasi/APE, inspeksi visual asam/IVA, kadar
alkohol pernafasan, dan tes amfetamin urin) dan faktor risiko perilaku (merokok,
makan sayur/buah, makan asin, makan/minum manis, makan tinggi lemak,
minum beralkohol, kurang aktivitas fisik, dan stres). POSBINDU PTM
merupakan bentuk upaya pengendalian dan pencegahan faktor risiko PTM secara
mandiri dan berkesinambungan sehingga kejadian PTM di masyarakat dapat
ditekan (Kemenkes, 2012b). Pada pelaksanaannya kegiatan POSBINDU PTM
dilaksanakan oleh pelaksana teknis POSBINDU PTM Puskesmas dan
bertanggung jawab pada Seksi Pengendalian Penyakit Tidak Menular di Dinas
Kesehatan Kota/Kab. Kota Malang merupakan kota yang telah melaksanakan
kegiatan POSBINDU PTM dari tahun 2012 hingga sekarang (Dinkes Kota
Malang, 2017). Selain itu, Kota Malang sebagai salah satu kota pelajar di
Indonesia serta lokasinya yang berada dekat dengan ibu kota provinsi menjadikan
Kota Malang mengalami pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Dimana hal
tersebut membawa dampak positif maupun negatif terhadap perilaku masyarakat.
Perubahan yang umumnya terjadi yaitu perubahan gaya hidup yakni tingginya
konsumsi rokok, alkohol, konsumsi makanan cepat saji (junk food), serta
rendahnya konsumsi sayur dan buah, dan aktivitas fisik yang kurang. Hal ini
didukung oleh data dari Dinas Kesehatan Kota Malang (2017) bahwa di Kota
Malang obesitas menduduki peringkat kelima pada tahun 2016 naik satu peringkat
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tingginya prevalensi obesitas
merupakan salah satu faktor risiko dari DM Tipe 2 untuk itu diperlukan skrining
faktor risiko agar kejadian DM di Kota Malang dapat di tekan.
Jumlah POSBINDU PTM di Kota Malang yakni 382 namun yang aktif
ada 342 (Dinkes Kota Malang, 2017). Agar semua POSBINDU PTM dapat aktif
dan berjalan dengan maksimal perlu diiringi dengan kesadaran masyarakat itu
sendiri. Untuk itu diperlukan peran serta masyarakat dalam pengendalian PTM
serta keaktifan kader POSBINDU PTM. Selain itu, skrining faktor risiko DM tipe
4

2 melalui POSBINDU PTM akan lebih tepat sasaran dan sesuai apabila
mengetahui pola dan tren DM tipe 2 di wilayah kerja Dinas kesehatan Kota
Malang terlebih dahulu. Pola dan tren DM tipe 2 di Kota Malang dapat dilihat
dalam dua tahun terakhir yaitu tahun 2015 dan 2016 sehingga diharapkan
nantinya Dinas Kesehatan Kota Malang dapat lebih efektif dalam merumuskan
intervensi yang tepat serta pencegahan dini terhadap penyakit DM tipe 2.

1.2 Tujuan
1 Tujuan Umum
Tujuan umum adalah menggambarkan pola dan tren DM tipe 2 di wilayah
kerja Dinas Kesehatan Kota Malang periode tahun 2015 dan 2016 sehingga
penentuan intervensi program sesuai dengan DM tipe 2.
2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari pola, tren, dan cara penanggulangan DM tipe 2 di
wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Malang periode tahun 2015-2016 yaitu:
a. Menggambarkan sebaran masing-masing kasus DM tipe 2 di wilayah
kerja Dinas Kesehatan Kota Malang pada periode tahun 2015-2016.
b. Menggambarkan situasi kasus DM tipe 2 selama dua tahun terakhir
(periode tahun 2015-2016) di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota
Malang.
c. Menggambarkan tingkat kerawanan DM tipe 2 di wilayah kerja Dinas
Kesehatan Kota Malang pada periode tahun 2015-2016.
d. Memberikan masukan dalam proses perencanaan setiap kegiatan
pembangunan kesehatan yang berhubungan dengan DM tipe 2.

1.3 Manfaat
Manfaat dari pola, tren, dan cara penanggulangan DM tipe 2 di wilayah
kerja Dinas Kesehatan Kota Malang periode tahun 2015-2016 yaitu :
1. Bagi Mahasiswa
a. Meningkatkan kemampuan dalam bersosialisasi dengan dunia kerja
5

b. Menambah pengetahuan serta pengalaman kerja di dunia ilmu


kesehatan masyarakat
c. Memperkuat keterampilan kerja mahasiswa sekaligus mempraktekkan
langsung ilmu yang telah didaptkan di bangku kuliah di dunia kerja.
2. Bagi Dinas Kesehatan Kota Malang
a. Sebagai sarana untuk menjembatani antara instansi dengan lembaga
pendidikan guna bekerjasama lebih lanjut (bersifat akademis maupun
non akademis).
b. Sebagai saran dan masukan tambahan mengenai solusi dari
permasalahan kesehatan yang dihadapi.
3. Bagi Instansi Pendidikan
a. Terjalin hubungan kerja sama antara lembaga pendidikan (Dinas
Kesehatan Kota Malang) dengan pihak instansi pendidikan (Universitas
Negeri Malang) yakni dengan memberikan gambaran nyata dunia kerja
khususnya epidemiologi
b. Melaksanakan fungsi sosial terutama dalam bidang pendidikan dan
pembinaan kearah pengembangan sumber daya manusia yang
berkualitas.
6
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Mellitus (DM)
A. Definisi DM
Diabetes Mellitus (DM) menurut American Diabetes Association (2010)
adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Dalam menegakkan diagnosis DM dipergunakan rujukan berdasarkan WHO
(1999) dan ADA (2003), hal ini seperti dikutip dalam Riset Kesehatan Dasar
tahun 2007 (Depkes, 2008) sebagai berikut:
a. <140 mg/dl : Tidak DM
b. 140 - <200 mg/dl : Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)
c. ≥ 200 mg/dl : Diabetes Mellitus (DM)

B. Epidemiologi DM
Pada tahun 2015 jumlah penderita DM secara global sebanyak 415 juta jiwa
dan diperkirakan terjadi peningkatan menjadi 642 juta jiwa pada tahun 2040 (IDF,
2015). Selain itu, menurut WHO jumlah kematian yang diakibatkan oleh DM
pada tahun 2012 sebesar 1,5 juta jiwa (WHO, 2016b). WHO juga memperkirakan
bahwa negara berkembang pada abad ke-21 akan menanggung beban berat atas
epidemi DM. Hal ini dikarenakan lebih dari 70% atas pasien DM terdapat di
negara berkembang (Marpaung, 2013)
Berdasarkan data IDF (2015), Indonesia menduduki posisi ke-7 penderita
DM yang berusia 20-79 tahun dengan jumlah 10 juta jiwa dan diperkirakan
Indonesia akan menduduki posisi ke-6 dengan jumlah penderita DM yaitu 16,2
juta jiwa pada tahun 2040.
Daerah perkotaan mempunyai prevalensi lebih tinggi dibandingkan dengan
daerah pedesaan (Kemenkes, 2014). Selain itu, berdasarkan data Riset Kesehatan
Dasar tahun 2007 prevalensi DM akan meningkat seiring dengan bertambahnya
usia seseorang dan cenderung menurun kembali setelah berusia 64 tahun
(Depkes, 2008).
7

C. Faktor Risiko DM Tipe 2


Faktor risiko DM Tipe 2 berdasarkan IDF (2007) dibagi menjadi dua
yaitu:
1. Faktor Risiko yang dapat dimodifikasi
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi (diubah) antara lain:
a. Obesitas
Obesitas merupakan suatu kelainan yang kompleks pada pengaturan nafsu
makan serta metabolisme energi dimana hal tersebut dikendalikan oleh beberapa
faktor biologik spesifik dan secara fisiologis terjadinya akumulasi atas jaringan
lemak yang tidak normal/berlebihan pada jaringan adiposa sehingga dapat
mempengaruhi dan menggangu kesehatan (Soegondo, 2007 dalam Irawan, 2010).
Obesitas mempunyai nilai batas yang dapat ditentukan berdasarkan Indeks
Masa Tubuh (IMT). Nilai Indeks Masa Tubuh (IMT) dapat diperoleh dari
pengukuran berat badan (kg) dibagi dengan hasil pengukuran tinggi badan (m)
yang diakuadratkan. Dengan kata lain rumus untuk mencari Indeks Masa Tubuh
(IMT) adalah (Asmadi, 2008) :
BB (kg)
IMT=
TB2 (m 2)
Melalui nilai Indeks Masa Tubuh (IMT) dapat diketahui apakah berat
badan seseorang masuk dalam kategori underweight, normal weight, overweight,
dan obese. Selain dengan menggunakan Indeks Masa Tubuh (IMT), pengukuran
lingkar pinggang seseorang juga dapat digunakan untuk menilai obesitas
(Soegondo, 2007 dalam Irawan, 2010).

Tabel 2.1 Klasifikasi Obesitas berdasarkan Indeks Masa Tubuh (IMT) dan Lingkar
Pinggang Menurut WHO

Klasifikasi Indeks Masa Tubuh Risiko Ko-Morbiditas Lingkar Pinggang


(IMT) <90 cm(laki-laki) ≥90 cm (laki-laki)
<80 cm ≥80 cm
(perempuan) (perempuan)
Underweight < 18,5 Rendah (risiko Sedang
meningkat pada
8

masalah klinis lain)


Normal Weight 18,5-24,9 Sedang Meningkat
Overweight 25-29,9 Moderat Berat
Obese ≥ 30 Berat Sangat Berat
Sumber: (WHO, 2005) & (WHO, 2008)

Seseorang yang mengalami obesitas memiliki risiko lebih tinggi untuk


terkena DM tipe 2 (Tandra, 2008). Semakin banyak pasokan makanan yang
berlebih, maka pankreas akan bekerja sangat ekstra memproduksi insulin untuk
mengimbagi dan menormalkan glukosa yang berlebih akibat pasokan makanan
tersebut. Apabila hal ini terjadi terus menerus maka akan terjadi penurunan fungsi
pankreas untuk memproduksi insulin. Sehingga glukosa dalam darah naik dan
toleransi glukosa akan terganggu dan mengakibatkan terjadi DM tipe 2 (Irawan,
2010).
b. Merokok dan Konsumsi Alkohol
Merokok dapat meningkatkan gula darah dan menyebabkan resistensi
insulin. Hal ini disebabkan ketika merokok penyerapan glukosa oleh sel lambat,
efektivitas insulin dalam darah berkurang (Mahendra dkk, 2008) serta
memperlambat kerja aliran darah dalam kulit (Husaini, 2007). Perokok berat (20
batang/hari) mempunyai risiko dua kali lipat untuk terkena DM Tipe 2
dibandingkan dengan bukan perokok [ CITATION May14 \l 1033 ]. Menurut data
Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 konsumsi rokok merupakan salah satu faktor
risiko terjadinya DM tipe 2 (Depkes, 2008).
Menurut Tandra (2007) alkohol mengandung banyak kalori dan
karbohidrat. Pegaturan glukosa dalam darah akan sulit jika mengkonsumsi
alkohol. Selain itu, konsumsi alkohol dapat menyebabkan penyakit pankreas
kronis (pankreatitis), hal ini mengakibatkan pankreas tidak dapat memproduksi
insulin sehingga menyebabkan terjadinya DM tipe 2 (Mayo Clinic, 2014).
c. Pola Makan (konsumsi sayur dan buah)
Perilaku konsumsi sayur dan buah berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
tahun 2013 dapat dihitung dengan menghitung jumlah hari konsumsi dalam
seminggu dan jumlah porsi rata-rata dalam sehari (Depkes, 2013). Dikategorikan
“cukup” apabila mengkonsumsi sayur dan/atau buah minimal 5 porsi/hari selama
9

7 hari dalam seminggu. Dikategorikan “kurang” apabila mengkonsumsi sayur


dan/atau buah kurang dari 5 porsi/hari selama 7 hari (Depkes, 2013).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Amirudin, dkk (2014)
diketahui bahwa kurangnya konsumsi sayur dan buah sangat berhubungan dengan
kejadian DM tipe 2 yakni orang yang kurang mengkonsumsi sayur dan buah
memiliki risiko 2,91 kali lebih tinggi untuk terkena DM tipe 2 dibandingkan
dengan orang yang mengkonsumsi sayur dan buah cukup.
d. Aktivitas fisik
Seseorang yang mempunyai gaya hidup yang kurang aktif (kurang
olahraga/kurang aktivitas fisik) lebih cenderung untuk terkena DM tipe 2
dibandingkan dengan mereka yang melakukan aktivitas fisik secara teratur
(Raminah, 2003). Hal ini dikarenakan, saat melakukan aktivitas fisik otot akan
lebih banyak menggunakan glukosa daripada saat tidak melakukan aktivitas fisik
sehingga glukosa dalam darah dapat menurun dan insulin dapat bekerja dengan
baik (Soegondo, 2008 dalam Irawan, 2010).
WHO (2011) merekomendasikan aktivitas fisik yang sesuai untuk usia 18-
64 tahun yakni dengan melakukan aktivitas fisik intensitas sedang selama 150
menit/minggu atau 75 menit/minggu untuk aktivitas fisik yang berat untuk
mengurangi faktor risiko terkena DM tipe 2.
Pada tahun 2014, Amirudin melakukan penelitan mengenai kejadian DM
tipe 2 di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan, berdasarkan penelitian tersebut
diketahui bahwa aktivitas fisik berhubungan dengan kejadian DM tipe 2. Dengan
rasio prevalensinya sebesar 1,47. Selain itu berdasarkan data Riset Kesehatan
Dasar tahun 2007 terdapat 48,2% masyarakat di Indonesia yang kurang
melakukan aktivitas fisik (< 150 menit/minggu) sehingga meningkatkan
terjadinya DM Tipe 2 (Depkes, 2008).
e. Tekanan darah
Tekanan darah yang tinggi juga dapat menyebabkan terjadinya DM tipe 2.
Tekanan darah tinggi atau biasa disebut dengan hipertensi terjadi apabila tekanan
darah lebih dari 140 mmHg (sistolik) dan 90 mmHg (diastolik) (Garnita, 2012).
Kondisi seseorang yang menderita hipertensi menyebabkan penebalan pembuluh
10

darah arteri akibatnya diameter pembuluh darah menjadi sempit sehingga proses
pengangkutan glukosa dalam pembuluh darah terganggu (Garnita, 2012).
Pada kelompok yang menderita hipertensi prevalensi Toleransi Glukosa
Terganggu (TGT) dan DM cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok yang tidak menderita hipertensi (Depkes, 2008). Selain itu pada tahun
2014, Mihardja melakukan penelitian mengenai prevalensi dan profil klinis DM
pada usia produktif di daerah perkotaan di Indonesia, penelitian tersebut
mengungkapkan bahwa salah satu faktor risiko terjadinya DM pada usia produktif
adalah hipertensi (41,4%) (Mihardja dkk, 2014).
f. Kadar Gula Darah
Ketika kadar glukosa dalam darah melebihi normal namun belum bisa
memenuhi kriteria DM karena tidak memiliki gejala khas DM maka dianggap
dalam keadaan prediabetes dimana keadaan tersebut berisiko tinggi untuk terkena
DM. Kadar gula darah puasa (GDP) adalah sebuah parameter yang
menggambarkan konsentrasi glukosa didalam darah pada responden yang
berpuasa selama 8-12 jam (Ayauqy, 2015). Kriteria glukosa darah puasa normal
yaitu < 126 mg/dl (< 7.0 mmol/l) dan apabila kriteria glukosa darah yakni ≥ 126
mg/dl (≥ 7.0 mmol/l) maka seseorang tersebut menderita DM. Glukosa dalam
darah puasa (GDP) terganggu (100-125 mg/dl) dan toleransi glukosa tergangu
(TGT) (140-199 mg/dl) merupakan suatu gejala pada prediabetes (Depkes,
2013:254). Akan tetapi, menurut Kementerian Kesehatan RI (2014) riwayat
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) dan Gula Darah Puasa terganggu (GDP
terganggu) merupakan salah satu faktor risiko DM yang dapat dimodifikasi.
g. Kolesterol Total
Kolesterol total merupakan pengukuran dari LDL, kolesterol HDL, dan
komponen lipid lainnya serta dianjurkan total kolesterol untuk selalu berada di
bawah 200 mg/dl. Perubahan profil lipoprotein yakni ditandai dengan peningkatan
kadar kolesterol total (≥ 200 mg/dl), kolesterol LDL (≥ 160 mg/dl), trigliserida (≥
150 mg/dl), rasio kolesterol total atau rasio HDL (≥ 5 mg/dl), dan penurunan
kadar kolesterol HDL dalam darah (≤ 40 mg/dl) dapat mengakibatkan terjadinya
dislipedemia (Susianto & Ramayulis, 2013). Menurut Kementerian Kesehatan RI
11

(2014) dislipidemia merupakan salah satu faktor risiko DM. Hal ini juga didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Mihardja dkk (2013) bahwa prevalensi DM
tinggi pada orang yang terkena dislipidemia yakni lebih dari 50%.
2. Faktor Risiko yang tidak dapat dimodifikasi
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (diubah) antara lain:
a. Usia
Semakin bertambahnya usia seseorang semakin bertambah juga risiko
untuk terkena DM tipe 2, terutama setelah berusia 40 tahun keatas (Raminah,
2003). Hal ini dikarenakan, jumlah sel-sel beta pankreas yang memproduksi
insulin mengalami penurunan seiring dengan pertambahan usia seseorang
(Raminah, 2003). Hal ini juga didukung oleh Riset Kesehatan Dasar tahun 2007
bahwa kecenderungan prevalensi DM meningkat dengan bertambahnya usia, dan
akan cenderung menurun kembali setelah usia 64 tahun keatas (Depkes, 2008).
Akan tetapi, akhir-akhir ini banyak sekali remaja yang mengalami obesitas
sehingga angka kejadian DM tipe 2 pada remaja dan dewasa juga meningkat
(Tandra, 2008).
b. Jenis Kelamin
Baik laki-laki maupun perempuan mempunyai risiko yang sama besar
terkena DM tipe 2 sampai dengan usia dewasa awal (Garnita, 2012). Namun,
perempuan akan lebih berisiko terkena DM tipe 2 pada usia 30 tahun keatas. Hal
ini dikarenakan usia harapan hidup perempuan lebih tinggi dibanding dengan laki-
laki (perempuan:72,7 tahun dan laki-laki:68,4 tahun) dan wanita lebih rentan
untuk terkena faktor-faktor risiko DM tipe 2 yakni tekanan darah dan Indeks Masa
Tubuh (IMT) yang lebih tinggi pada perempuan (Garnita, 2012). Selain itu
perempuan yang selama masa kehamilan menderita DM gestasional juga memiliki
risiko lebih tinggi untuk terkena DM Tipe 2 pada usia lanjut (Raminah, 2003).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, presentase laki-laki
obesitas yang terkena DM yaitu 11,3% sedangkan perempuan obesitas yang
terkena DM yaitu 42,1% (Kemenkes, 2014).
12

2.2 Posbindu PTM


A. Definisi Posbindu PTM
POSBINDU atau Pos Pelayanan Terpadu adalah peran serta masyarakat
dalam melakukan kegiatan skrining serta pemantauan faktor risiko PTM Utama
yang mana dilakukan secara terpadu, rutin, dan periodik. Faktor risiko dari PTM
tersebut yakni merokok, konsumsi alkohol, minuman beralkohol, pola makan
yang tidak sehat, kurangnya aktifitas fisik, obesitas, stres, hipertensi,
hiperglikemi, hiperkolesterol selain itu POSBINDU PTM juga menindak lanjuti
secara dini faktor risiko yang dideteksi/ditemukan melalui konseling kesehatan
sehingga dapat dilakuan penanganan yang tepat dan cepat (dirujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan dasar) (Kemenkes, 2012b). Kelompok PTM Utama yang
ditangani oleh POSBINDU PTM yaitu diabetes mellitus (DM), penyakit jantung
dan pembuluh darah (PJPD), kanker, penyakit paru obstruktif kronis, dan
gangguan akibat kecelakaan dan tindak kekerasan.
Pada POSINDU PTM terdapat pedoman Kartu Menuju Sehat Faktor Risiko
Penyakit Tidak Menular (KMS FR-PTM) yang didalamnya berisi mengenai
pengukuran faktor risiko PTM (indeks masa tubuh, lingkar perut, tekanan darah,
gula darah sewaktu, kolesterol total, trigliserida, benjolan tidak normal pada
payudara, arus pernafasan ekspirasi/APE, inspeksi visual asam/IVA, kadar
alkohol pernafasan, dan tes amfetamin urin) dan faktor risiko perilaku (merokok,
makan sayur/buah, makan asin, makan/minum manis, makan tinggi lemak,
minum beralkohol, kurang aktivitas fisik, dan stres) (Kemenkes, 2012b).
B. Tujuan Posbindu PTM
Tujuan dari Posbindu PTM adalah meningkatakan peran serta masyarakat
dalam pencegahan dan deteksi dini faktor risiko PTM (Kemenkes, 2012b) serta
meningkatakan derajat kesehatan sehingga nantinya di masa tua dapat bahagia dan
berguna dalam kehidupan keluarga dan masyarakat (Adriani, 2012).
C. Sadaran Posbindu PTM
13

Sasaran dari POSBINDU PTM yaitu kelompok masyarakat yang sehat,


berisiko, serta penyandang PTM yang berusia 15 tahun keatas (Kemenkes,
2012b).

D. Pelaku Kegiatan Posbindu PTM


Pada pelaksanaannya POSBINDU PTM dilakukan oleh kader kesehatan
dimana kader kesehatan tersebut telah ada atua beberapa orang yang berasala dari
masing-maisng kelompok/organisasi/lembaga/tempat kerja yang bersedia
menyelenggarakan POSBINDU PTM serta kader kesehatan tersebut telah dilatih
secara khusus, dibina atau difaislitasi untuk melakukan skrining maupun
surveilans farktor risiko PTM di masing-masing kelompok atau organisasi
(Kemenkes, 2012b).
Berikut ini merupakan kriteria dari kader POSBINDU PTM yaitu
berpendidikan minimal SLTA, ingin dan mampu melakukan kegiatan yang
berkaitan dengan POSBINDU PTM (Kemenkes, 2012).
E. Bentuk Kegitan POSBINDU PTM
Terdapat 10 kegiatan dalam PODBINDU PTM yaitu (Kemenkes, 2012b):
1. Penggalian informasi faktor risiko dengan wawancara sederahan mengenai
riwayat PTM pada keluarga dan diri peserta, merokok, kativitas fisik,
kurangnya makan buah dna syaur, potensi ternyadinya cedera dan kekerasan
dalam rumah tangga, dan informasi yang berkaitan dengan terjadinya PTM.
Kegiatan ini dilakukan saat peserta pertama kali berkunjung dan berkala
setiap sebulan sekali.
2. Pengukuran berat badan, tinggi badan, Indeks Masa Tubuh (IMT), lingkar
perut, analisis lemak tubuh, dan tekanan darah. Kegiatan ini sebaiknya
dilakukan sebulan sekali.
3. Pemeriksaan fungsi paru sederhana yang diselenggarakan 1 tahun sekali
bagi yang sehat, untuk yang berisiko 3 bulan sekali, dna bagi penderita
gangguan paru-paru dianjurkan 1 bulan sekali. Pemeriksaan Arus Puncak
Respirasi menggunakan peakflowmeteri. Pemeriksaan fungsi paru sederhana
sebaiknya dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih.
14

4. Pemerikasaan gula darah bagi peserta sehat sebaiknya dilakukan paling


sedikti 3 tahun sekali sedangkan bagi peserta yang memiliki faktor risiko
PTM/orang yang menderita DM paling sedikit 1 tahun sekali.
5. Kegiatan pemerikasaan kolesterol total dan trigliserida, bagi peserta yang
sehat disarankan 5 tahun sekali sedangkan bagi peserta yang memiliki faktor
risiko PTM sebaiknya dilakukan 6 bulan sekali dan untuk penderita
dislipidemia/gangguan lemak sebaiknya dilakukan minimal 3 bulan sekali.
6. Pemerikasaan IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat) bagi peserta yang sehat
dilakukan sebaiknya minimal 5 tahun sekali, setelah hasil IVA positigf
tindakan selanjutnya yaitu pengobatan krioterapi, diulang setelah 6 bulan.
Apabila hasil IVA negatig melakukan pemerikasaan ulang 5 tahun lagi.
7. Pemeriksaan kadar alkohol pernafasan dan tes amfetamin urin bagi
kelompok pengemudi umum yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.
8. Konseling dan penyuluhan yang harus dilakukan oleh kader POSBINDU
PTM setiap seminggu sekali.
9. Aktivitas fisik dan atau olahraga bersama yang seharunya dilakukan setiap
minggu bukan hanya saat penyelenggaraan POSBINDU PTM.
10. Rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan dasar di wilayah setempat
melalui pemanfaatan sumber daya yang tersedia termasuk upaya respon
cepat sederhana dalam penanganan pra-rujukan.
F. Pengelompokan POSBINDU PTM
Pengelompokan pada POSBINDU PTM disesuaikan pada skrining,
pemantauan, dan tindak lanjut dari POSBINDU PTM. Berikut ini merupakan
pengelompokan POSBINDU PTM berdasarkan Kementerian Kesehatan RI
(2012b):
Tabel 2.2 Pengelompokan POSBINDU PTM
Jenis POSBINDU PTM Pelayanan
POSBINDU PTM Dasar  Pelayanan skrining faktor risiko sederhana
(wawancara terarah melalui penggunaan
instrumen yang digunakan untuk
mengidentifikasi riwayat PTM dalam
keluarga maupun diri peserta)
 Perilaku berisiko
 Potensi terjadinya cedera dan kekerasan
dalam rumah tangga
15

 Pengukuran berat badan, tinggi badan, IMT,


lingkar perut, tekanan darah, lemak tubuh.
 Pemeriksaan uji fungsi paru sederhana serta
penyuluhan mengenai pemeriksaan
payudara sendiri.
POSBINDU PTM Utama  Pemeriksaan POSBINDU PTM Dasar
ditambah
 Pemeriksaan Gula Darah, kolesterol total,
trigliserida, klinis payudara, IVA, kadar
alkohol pernafasan
 Tes amfetamin urin bagi kelompok
pengemudi umum
16

BAB III
METODE KEGIATAN MAGANG
3.1 Metode Kegiatan Magang
Terdapat dua metode kegiatan magang yaitu metode langsung dan metode
tidak langsung. Berikut ini merupakan bentuk kegiatan metode kegiatan magang
di Dinas Kesehatan Kota Malang:
A. Metode Langsung
Metode langsung yang dilaksanakan pada kegiatan magang di Dinasa
Kesehatan Kota Malang yaitu turut bekerja secara aktif dalam pelaksanaan
program maupun kegiatan harian di Bidang P2P (Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit) selama 5 minggu sedangkan 1 minggu berada di Puskesmas
Kendalkerep salah satunya berupa kegiatan POSBINDU di Dinas Kesehatan Kota
Malang dan POSBINDU di wilayah kerja Puskesmas Kendalkerep. Selain itu
kegiatan aktif lain sebagai pendukung yaitu dengan melalakukan wawancara
dengan pegawai di seksi Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Tidak Menular
dan Kesehatan Jiwa di Bidang P2P serta petugas Pengendalian dan Pencegahan
Penyakit Tidak Menular di Puskesmas Kendalkerep.

B. Metode Tidak Langsung


Metode tidak langsung yang dilaksanakan pada kegiatan magang di Dinas
Kesehatan Kota Malang yaitu berupa pengumpulan data sekunder yang diperoleh
dari laporan bulanan maupun laporan tahunan di Bidang P2P (Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit) terutama seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Tidak Menular dan Kesehatan.
3.2 Lokasi dan Waktu Kegiatan
Kegiatan Magang dilakasanakan di Dinas Kesehatan Kota Malang yang
berlokasi di Jalan Simpang Laksda Adi Sucipto No.45 Pandanwangi, Blimbing
Kota Malang serta di Puskesmas Kendalkerep yang berlokasi di Jalan Raya Sulfat
No.100, Purwantoro, Blimbing, Kota Malang. Pelaksanaan Magang dimulai pada
tanggal 27 Februari – 07 April 2017 mulai pukul 08.00 WIB -16.00 WIB (untuk
17

di Dinas Kesehatan Kota Malang) sedangkan pukul 07.00 WIB – 14.00 WIB
(untuk di Puskesmas Kedalkerep).
3.3 Kerangka Operasional
Kerangka operasional merupakan kerangka mengenai urutan kerja atau
langkah-langkah dalam melaksanakan magang sampai dengan penyusunan
laporan sebagaimana dapat dilihat pada bagan dibawah ini:

Pengajuan Proposal Magang pada BAKESBANGPOL Kota Malang

Disposisi Surat ke Dinas Kesehatan Kota Malang

MOU Dinas Kesehatan dengan Pihak Jurusan IKM serta Persetujuan Magang

Menelaah data dan wawancara mengenai faktor risiko DM di Kota Malang

Pembuatan Laporang Magang

Pengumpulan Laporan Magang

Bimbingan dengan Dosen Pembimbing dan Pembimbing Lapangan mengenai topik yang
diangkat
Bagan 1. Kerangka Operasional

3.4 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data pada kegiatan magang yakni sebagai berikut:
a. Pengumpulan data di Bidang P2P (Pencegahan dan Pengendalian Penyakit)
Dinas Kesehatan Kota Malang.
b. Wawancara kepada pihak terkait (wawancara kepada petugas penanggung
jawab program POSBINDU PTM)
c. Studi Literatur, sebagai bahan pustaka yang berkaitan dengan topik
permasalahan yang diangkat.
18

3.5 Jadwal Kegiatan


A. Jadwal Kegiatan Mingguan
Tabel 1. Jadwal Kegiatan Mingguan
No Kegiatan Minggu
1 2 3 4 5 6
1 Orientasi peserta magang
di instansi magang
2 Kegiatan magang
- Analisis situasi umum
- Analisis situasi khusus
- Identifikasi masalah
dan prioritas masalah
- Alternatif pemecahan
masalah
3 Supervisi Dosen
Pembimbing
4 Pengumpulan data
sekunder mengenai
POSBINDU PTM
5 Pembuatan Laporan
Magang Kelompok dan
Individu
6 Pelaporan hasil laporan
Magang Kelompok

B. Jadwal Kegiatan Harian


Terlampir
19

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Dinas Kesehatan Kota Malang


A. Situasi Geografis
Secara Geografis wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Malang terletak pada
koordinat antara 112,06˚-112,07˚ Bujur Timur dan antara 7,06˚-8,02˚ Lintang
Selatan dengan luas wilayah 110,06 Km². Batas Administratif wilayah kerja Dinas
Kesehatan Kota Malang sebagai berikut (Dinkes Kota Malang, 2015):
a. Utara : Kec. Singosari dan Kec.Karangploso
b. Selatan : Kec. Tajinan dan Kec. Pakisaji
c. Timur : Kec. Pakis dan Kec. Tumpang
d. Barat : Kec. Wagir dan Kec. Dau

Gambar 4.1 Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Malang


Wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Malang terbagi kedalam lima
kecamatan, yaitu Kecamatan Kedungkandang, Sukun, Klojen, Blimbing dan
20

Kecamatan Lowokwaru dengan total luas wilayah 110,06 Km 2 dengan rincian


sebagai berikut (Pemerintah Kota Malang, 2017):
Tabel 4.1 Rincian Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Malang
Kecamatan Luas Area (Km2) Komposisi
Jumlah RW Jumlah RT
Blimbing 17,77 127 923
Kedungkandang 39,89 114 870
Klojen 8.83 89 675
Lowokwaru 22,60 120 774
Sukun 20,97 94 869
Jumlah 110,06 544 4113

B. Keadaan Demografi/Penduduk
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk Kota Malang Tahun 2010, jumlah
penduduk Kota Malang mencapai 820.243 jiwa dengan tingkat kepadatan
penduduk mencapai 7.453 jiwa/ Km2. Tingkat kepadatan tertinggi masih berada di
wilayah kecamatan Klojen yang mencapai 11.994 jiwa/ Km2. Walaupun jumlah
penduduk tidak sebesar wilayah lain, tetapi luas wilayah yang lebih kecil
dibandingkan dengan yang lain menjadikan Kecamatan Klojen memiliki
kepadatan tertinggi. Sedangkan kecamatan dengan tingkat kepadatan terendah
adalah wilayah Kecamatan Kedungkandang yang mencapai 4.374 jiwa/ Km2
(Dinkes Kota Malang, 2015).
Sedangkan jumlah penduduk Kota Malang tahun 2015 berdasarkan angka
proyeksi mencapai 851.298 jiwa. Tingkat kepadatan pada tahun 2015 berdasarkan
hasil proyeksi adalah 7.734,85 jiwa/ Km2, artinya setiap 1 Km2 di wilayah Kota
Malang dihuni oleh 7.734 sampai 7.735 jiwa. Kepadatan penduduk tertinggi
masih berada di Kecamatan Klojen yang mencapai 12.488,36 jiwa/ Km 2,
sedangkan kepadatan terendah berada di wilayah Kecamatan Kedungkandang
yang mencapai 4.518,51 jiwa/ Km2. Jumlah dan tingkat kepadatan penduduk di
Kota Malang berdasarkan kecamatan menurut data proyeksi penduduk dapat
dilihat dalam tabel di bawah ini:
21

Tabel 4.2 Jumlah dan tingkat kepadatan penduduk di Kota Malang


No Kecamatan Luas Sensus Sensus Laju Kepadatan
Wilayah Penduduk Penduduk Pertumbuhan Penduduk/
(Km2) 2000 2013 Penduduk/Thn Km2 2013
1 Kedung- 39,89 150.262 174.477 2,72 4.374
kandang
2 Sukun 20,97 162.094 181.513 0,67 8.656
3 Klojen 8,83 117.500 105.907 -1,96 11.994
4 Blimbing 17,77 158.556 172.333 0,76 9.698
5 Lowokwaru 22,6 168.570 186.013 1,98 8.231
Jumlah 110,06 756.982 820.243 0,86 7.453

Rata-rata jiwa yang berada dalam satu rumah tangga adalah 3,72. Artinya
dalam satu keluarga terdiri dari 3 – 4 jiwa. Rata-rata jiwa dalam satu rumah
tangga tertinggi terletak di wilayah Kecamatan Kedungkandang, yakni 4,00.
Sedangkan rata-rata jiwa dalam satu rumah tangga terendah terletak di wilayah
Kecamatan Lowokwaru, yaitu sebesar 3,14.
Rasio jenis kelamin penduduk Kota Malang berdasarkan Proyeksi Penduduk
Kota Malang Tahun 2015 menunjukkan dominasi perempuan di semua
kecamatan. Secara umum, rasio jenis kelamin penduduk Kota Malang adalah
97,25. Artinya penduduk laki-laki jika dibandingkan dengan penduduk perempuan
di Kota Malang adalah dari 100 penduduk perempuan terdapat 97-98 penduduk
laki-laki.
Peningkatan jumlah penduduk Kota Malang hingga tahun 2015 tentunya
akan menambah permasalahan sosial ekonomi di masyarakat. Kondisi ini bisa
berpengaruh terhadap derajat kesehatan masyarakat Kota Malang. Kepadatan
penduduk dapat berpengaruh terhadap kasus penyakit tertentu dan akan turut
berpengaruh terhadap kesehatan lingkungan Kota Malang, seperti polusi udara
karena banyaknya kendaraan bermotor, polusi tanah karena meningkatnya jumlah
sampah yang dihasilkan oleh penduduk Kota Malang, polusi air karena terjadinya
pencemaran air dimana-mana, dll.
Sedangkan komposisi penduduk Kota Malang dirinci menurut kelompok
umur dan jenis kelamin, menunjukkan golongan umur tertinggi adalah golongan
umur 20 - 24 tahun yaitu sebesar 105.123 jiwa. Dari jumlah tersebut, kaum wanita
sebanyak 51.674 jiwa dan laki-laki sebanyak 53.449 jiwa. Sedangkan golongan
22

umur terbesar berikutnya adalah golongan umur 15 – 19 tahun dan golongan umur
25 – 29 tahun. Hal ini sebagaimana dapat dilihat pada gambar mengenai distribusi
penduduk berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin dibawah ini.

Distribusi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur Dan Jenis Kelamin Di


Kota Malang Tahun 2015
60,000

50,000

40,000

30,000

20,000

10,000

-
0 - 4 5 - 9 10 - 15 - 20 - 25 - 30 - 35 - 40 - 45 - 50 - 55 - 60 - 65 - 70 - 75+
14 19 24 29 34 39 44 49 54 59 64 69 74

Laki-Laki Perempuan

Gambar 4.1 Distribusi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur Dan Jenis Kelamin Di Kota
Malang Tahun 2015

Keadaan ini menggambarkan bahwa sebagian besar penduduk Kota Malang


adalah kelompok usia produktif (usia 15 – 44 tahun).

4.2 Tren dan Pola 10 Besar Penyakit di Kota Malang Periode Tahun 2013-
2015
Berdasarkan data laporan tahunan PTM di Dinas Kesehatan Kota Malang
pada tahun 2015 selama kurun waktu dua tahun DM tipe 2 naik dua peringkat
yang semula menempati peringkat ke-5 (tahun 2013) menjadi peringkat ke-3
(tahun 2015). Berikut ini merupakan daftar 10 besar penyakit di Kota Malang
tahun 2013-2015:
Tabel 4.3 Daftar 10 besar penyakit di Kota Malang tahun 2013-2015
NO TAHUN
2013 2014 2015
1 ISPA ISPA ISPA
2 Hipertensi primer Hipertensi primer Hipertensi primer
23

3 Influenza, virus tidak Influenza, virus tidak DM tipe 2


diidentifikasi diidentifikasi
4 Gastritis DM tipe 2 Gastritis
5 DM tipe 2 Gastritis Influenza, virus tidak
diidentifikasi
6 Dermatitis kontak alergi Dermatitis kontak alergi Myalgia/ nyeri otot
7 Batuk Batuk Dermatitis kontak alergi
8 Diare Penyakit pulpa dan Batuk
jaringan periapikal
9 Penyakit pulpa dan Demam yang tidak Penyakit pulpa dan jaringan
jaringan periapikal diketahui sebabnya periapikal
10 Demam Headache Headache

4.3 Tren dan Pola PTM di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Malang
Data mengenai kejadian DM tipe 2 masuk dalam data surveilans PTM yang
diolah oleh Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2) seksi Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Jiwa. Pada surveilans PTM data yang
tercantum adalah data mengenai jenis kelamin, umur, mortalitas, dan kasus baru
maupun kasus lama. Data mengenai jenis pekerjaan, lama menderita, dll belum
tercantum. Berikut ini merupakan gambaran kumulatif PTM selama periode tahun
2015-2016:

Gambaran 10 besar PTM di Kota Malang tahun 2015


14000
12000
12386
10000
8000
6000
4000 5905
2000 2851
0 1820 1504 1257 1154 591 381 313
Hipertensi DM Tipe 2 Asma Bronchiale PJK Osteoporosis
Obesitas Stroke Gagal Jantung Cidera Akibat KLL PPOK

Gambar 4.2 Gambaran 10 besar PTM di Kota Malang Tahun 2015


24

Gambaran 10 besar PTM di Kota Malang tahun 2016


12000
10000
8000 9914
6000
4000
2000 3854
0 1918
752 613 483 392 362 205 204
Hipertensi DM Tipe 2 Asma Bronchiale Gagal Jantung
Obesitas PJK Stroke Cidera Akibat KLL
Osteoporosis Cidera Akibat Lain

Gambar 4.3 Gambaran 10 besar PTM di Kota Malang Tahun 2016


Berdasarkan gambaran mengenai 10 besar PTM di Kota Malang periode
tahun 2015-2016 diketahui bahwa penyakit Hipertensi, DM tipe 2, dan Asma
Bronchiale selama dua tahun menempati posisi yang tetap meskipun angka
kejadiannya menurun. DM tipe 2 mengalami penurunan sebesar 34,73%. Penyakit
Jantung Koroner (PJK) yang semula menempati posisi keempat (tahun 2015)
turun dua peringkat yakni menempati posisi keenam (tahun 2016) diikuti oleh
penyakit osteoporosis yang semula menempati posisi kelima (tahun 2015) turun
menempati psosisi kesembilan (tahun 2016), sedangkan untuk obesitas, gagal
jantung, cidera akibat kecelakaan lalu lintas (cidera akibat KLL) mengalami
kenaikan posisi. Pada tahun 2016, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) tidak
lagi masuk dalam 10 besar PTM posisinya digantikan oleh cidera akibat lain.

4.4 Tren dan Pola DM Tipe 2 di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota
Malang
A. Tren dan Pola DM tipe 2 di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Malang
Menurut Angka Prevalensi dan Insidensi
Berikut ini merupakan gambaran kumulatif kasus DM tipe 2 pada periode
tahun 2015 dan 2016 setiap puskesmas di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota
Malang:
25

Gambaran Jumlah Kasus dan Jumlah Kasus Baru DM


tipe 2 pada periode 2015 dan 2016 di Kota Malang
Tahun 2015 Tahun 2016

28043

21900

5922 5246

Jumlah Kasus Jumlah Kasus Baru

Gambar 4.3 Gambaran Jumlah Kasus dan Jumlah Kasus Baru DM tipe 2 pada periode 2015 dan
2016 di Kota Malang

Prevalensi kasus DM tipe 2 di Kota Malang menurut laporan tahunan


surveilans PTM pada tahun 2015 adalah 3294,15 per 100.000 penduduk yang
berarti pada setiap 100.000 penduduk terdapat sekitar 3294 orang yang menderita
DM tipe 2. Sedangkan prevalensi kasus DM tipe 2 di Kota Malang pada tahun
2016 adalah 2572,54 per 10.000 penduduk yang berarti pada setiap 10.000
penduduk terdapat sekitar 2572 orang dalam satu tahun angka prevalensi DM tipe
2 turun menjadi 1,3 kali.
Berdasarkan laporan tahunan surveilans PTM pada tahun 2015 angka
insidensi adalah 695,64 per 100.000 penduduk sehingga terdapat 696 kasus baru
DM tipe 2 pada tahun 2015. Sedangkan terdapat 616 kasus baru DM tipe 2 pada
tahun 2016. Data mengenai prevalensi dan insidensi kasus DM tipe 2 di Kota
Malang berdasarkan penjumlahan setiap puskesmas jumlahnya berbeda dengan
data laporan surveilans PTM total pada tahun 2015 dan 2016 namun pada kedua
data tersebut terjadi penurunan kasus DM tipe 2 pada tahun 2016.
26

Gambaran Kasus DM tipe 2 pada periode 2015 dan 2016 setiap


puskesmas di Kota Malang
3500 3269 3311
2989
3000 2741
2390
2500 2242 2224 2269 2159
1924
1813 1856 1941
2000 1759
1574 1455
1500 1178 1202 1301
1140 1162 1177 1101
904
862 875 990
1000 686 736
713
500
0
o ng ke
t
nti yo jo gi re
p a g ig un yo ri gu
j un re la Ja ul re an de an ib ng no ls a an
Ar a e yl o ke s a nd Gr i a l
B lC om u an
w
da
l Ci ka in
a D nd oj
o
pa pt M nd en ng w Ke
Ci a K u rjo M
m P d A
Ra Ke
Tahun 2015 Tahun 2016
Gambar 4.4 Gambaran Kasus DM tipe 2 pada periode 2015 dan 2016 setiap puskesmas di Kota
Malang

Gambaran Kasus Baru DM tipe 2 pada periode 2015 dan 2016


setiap puskesmas di Kota Malang
3000

2500

2000

1500
Axis Title

1000

500

0
no g
ke
t
nti yo jo gi p a g ig n o ri u
ju ren l a Ja ul re an e re a de dan rib ngu inoy l sa ng
Ar
Ba l Ce m l yo w l k i s n G a D da ola
pt
o u an da C ka in n oj
pa Ci M nd en ung j ow Ke M
m Pa K d A r
R a Ke

Gambar 4.5 Gambaran Kasus Baru DM tipe 2 pada periode 2015 dan 2016 setiap puskesmas di
Kota Malang
Pada dua gambar diatas diketahui bahwa DM tipe 2 di Kota Malang selama
dua tahun berturut-turut puskesmas Janti memiliki jumlah kasus DM tipe 2
tertinggi yakni 3269 kasus (Tahun 2015) dan 2989 kasus (tahun 2016) terjadi
penurunan 8,65%. Pada tahun 2015 jumlah kasus DM tipe 2 terendah di
27

puskesmas Gribig (686 kasus) namun pada tahun 2016 yang terendah adalah
puskesmas Kendalsari (736 kasus). Sedangkan untuk puskesmas yang memiliki
angka penurunan kasus baru DM tipe 2 yang sangat signifikan adalah puskesmas
Kedungkandang yakni sebesar 77,67% dan untuk puskesmas yang memiliki angka
peningkatan kasus baru DM tipe 2 yang sangat signifikan adalah puskesmas
Gribig sebesar 49,73%.

B. Tren dan Pola DM tipe 2 di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Malang
Menurut Jenis Kelamin
Proporsi kumulatif kasus DM tipe 2 pada periode tahun 2015 dan 2016 di
Kota Malang berdasarkan jenis kelamin adalah sebagai berikut:

Tahun 2016
2015 Gambar 4.6 Gambaran Proporsi Kasus DM tipe 2
berdasrakn Jenis Kelamnin pada periode 2015
dan 2016 di Kota Malang

34%
37%
Berdasarkan gambar diatas dapat
diketahui bahwa proporsi kasus DM tipe
63%
66%
2 pada tahun 2015 yang berjenis kelamin
laki-laki adalah 37% (10248) dan yang
berjenis kelamin perempuan adalah 63%
Laki-laki
Laki-laki Perempuan
Perempuan
(17795) sedangkan pada tahun 2016
proporsi kasus DM tipe 2 yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 34% (7526) dan
yang berjenis kelamin perempuan adalah sebesar 66% (14374).
28

P RO P O RS I K A S U S DM TI P E 2 BERDA S A RK A N J EN I S K ELA M I N DI
P U S K ES M A S K O TA M A LA N G TA HU N 2 0 1 5
Laki-laki Perempuan

2218
2158

1652

1454
1363
1312

1287

1259
1194

1183
1111

1093
1027
930

873

855

792
701

682
673
626

619
572

434

422
385
347

291
278

252
no n
g et ti o jo gi ep ea g ig n yo ar
i
gu
u e k n ly re an r d an b gu o s n
rj ar la Ja u ke sa d ri an in al la
A B e m yo w
al i n G D d jo
l
C to u
l an d C ka in en o
pa ip M d
en ng w K M
C an K u r jo
am P ed A
R K

Gambar 4.7 Proporsi Kasus DM tipe 2 berdasarkan Jenis Kelamin di Puskemas Kota Malang
tahun 2015.

PROPORSI KASUS DM TIPE 2 BERDASARKAN JENIS


KELAMIN DI PUSKESMAS KOTA MALANG TAHUN
2016
Laki-laki Perempuan
1851

1388
1306

1307

1277
1138

1100

881

882
826
815

796
730

731

706
623

617

505
490

453

431

428

395
385
363

355

314

308
260
239

no n
g et ti o jo gi p ea g ig n yo ri gu
e k n ly re an re d an b gu o sa n
ju ar la Ja u e a d ri in al la
A
r
B e m yo w lk is n G an
C to l an a C ka in D d jo
l u d en o
pa ip M d
en ng w K M
C an K u rj
o
am P ed A
R K

Gambar 4.8 Proporsi Kasus DM tipe 2 berdasarkan Jenis Kelamin di Puskemas Kota Malang
tahun 2016.
Berdasarkan gambar diatas diketahui bahwa pada tahun 2015 jumlah
penderita DM tipe 2 yang berjenis kelamin laki-laki tertinggi adalah puskesmas
Kedungkandang yakni 1287 orang (12,55% dari total jumlah laki-laki yang
terkena DM tipe 2 pada tahun tersebut) sedangkan terendah adalah puskesmas
Arjowinangun yakni 252 orang (2,45% dari total jumlah laki-laki yang terkena
DM tipe 2 pada tahun tersebut). Untuk penderita DM tipe 2 yang berjenis kelamin
29

laki-laki tertinggi pada tahun 2016 adalah puskesmas Janti yakni sebesar 1138
orang (15,12%) sedangkan yang terendah adalah puskesmas Arjuno yakni sebesar
239 orang (3,17%).
Proporsi perempuan yang terkena DM tipe 2 tertinggi tahun 2015 adalah
puskesmas Kendalkerep yakni sebesar 2218 (12,46% dari total jumlah perempuan
yang terkena DM tipe 2 pada tahun tersebut) sedangkan yang terendah adalah
puskesmas Kendalsari yakni 422 orang (2,37%). Untuk penderita DM tipe 2 yang
berjenis kelamin perempuan tertinggi pada tahun 2016 adalah puskesmas Janti
yakni sebesar 1851 orang (12,87%) sedangkan yang terendah adalah puskesmas
Arjuno yakni sebesar 428 orang (2,97%).

C. Tren dan Pola DM tipe 2 di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Malang
Menurut Umur
Proporsi kumulatif kasus DM tipe 2 pada periode tahun 2015 dan 2016 di
Kota Malang berdasarkan umur adalah sebagai berikut:

70+ 3530
4446
60-69 6610
8587
55-59 4585
6362
45-54 5444
6380
20-44 1647
2253
15-19 80
10
10-14 4
5
5-9 0
0
1-4 0
0
<1 0
0
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000

Tahun 2015 Tahun 2016

Gambar 4.9 Gambaran Proporsi Kumulatif Kasus DM tipe 2 pada periode tahun 2015 dan 2016 di
Kota Malang berdasarkan Umur.

Berdasarkan gambaran proporsi kumulatif kasus DM tipe 2 pada periode


tahun 2015 dan 2016 di Kota Malang berdasarkan umur diketahui bahwa selama
30

dua tahun berturut-turut golongan umur 60-69 tahun yang memiliki proporsi
jumlah kasus DM tipe tertinggi. Akan tetapi pada tahun 2016 pada golongan umur
15-19 tahun terjadi peningkatan kasus DM tipe sebesar 70 orang.

D. Tren dan Pola DM tipe 2 di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Malang
Menurut Mortalitas
Berikut ini merupakan gambaran kumulatif mortalitas kasus DM tipe 2 pada
periode tahun 2015 dan 2016 di Kota Malang:

Gambaran Kumulatif Mortalitas Kasus DM tipe 2 pada periode


tahun 2015 dan 2016 di Kota Malang
40
36
35

30

25
22
Axis Title

20

15

10

0
Mortalitas

Gambar 4.10 Gambaran Kumulatif Mortalitas Kasus DM tipe 2 pada periode tahun 2015 dan 2016
di Kota Malang.

Berdasarkan gambaran kumulatif mortalitas kasus DM tipe 2 pada periode


tahun 2015 dan 2016 di Kota Malang terjadi penurunan angka mortalitas sebesar
14 orang (38,88%). Sedangkan untuk gambaran kumulatif mortalitas kasus DM
tipe 2 menurut puskesmas di Kota Malang dapat diketahui melalui gambar
dibawah ini:
31

Gambaran Kumulatif Mortalitas Kasus DM tipe 2 menurut


Puskesmas di Kota Malang
30
28
25
20
15
10 9
7
5 4
2 2 3
2
0 0 0 1
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
o g e t ti yo j o g i p a g i g n yo ri u
n n n e e n u g
ju re la
k Ja ul re an ke
r d da ib ng no ls a n
Ar Ba Ce om lyo nw al C i sa an Gr na Di da jo
la
l t u a d k i n o
pa Ci
p M nd n ng jo
w Ke M
m Pa Ke du Ar
R a Ke

Tahun 2015 Tahun 2016

Gambar 4.11 Gambaran Kumulatif Mortalitas Kasus DM tipe 2 pada periode tahun 2015 dan 2016
di Kota Malang.

Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui bahwa gambaran kumulatif


mortalitas Kasus DM tipe 2 pada periode tahun 2015 yang tertinggi adalah
puskesmas Arjuno yakni 28 orang penderita DM tipe 2 yang meninggal.
Puskesmas Mojolangu pada tahun 2015 tidak terdapat penderita DM tipe 2 yang
meninggal menjadi puskesmas yang angka mortalitas penderita DM tipe yang
tertinggi sebesar 9 orang yang meninggal pada tahun 2016.

4.5 Pelaksanaan Skrining Faktor Risiko Diabetes Mellitus (FR-DM) di


Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Malang
Pada pelaksanaan skrining faktor risiko diabetes mellitus (FR-DM) terbagi
menjadi dua yaitu skrining dalam ruangan dan skrining di luar ruangan. Skrining
di dalam ruangan dilaksanakan di Puskesmas, sedangkan skrining di luar ruangan
dilaksanakan di seluruh POSBINDU PTM yang tersebar di wilayah kerja dinas
kesehatan Kota Malang. Berdasarkan hasil wawancara, pelaksanaan deteksi dini
di POSBINDU PTM lebih efektif apabila mengundang masyarakat datang
(skrining di luar ruangan) dibandingkan pelaksanaan skrining di puskesmas (di
32

dalam ruangan), dan POSBINDU PTM juga memiliki jadwal tertentu dalam
pelaksanaan skrining setiap bulannya.
A. Distribusi Posbindu PTM di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota
Malang
Dinas Kesehatan Kota Malang memiliki 382 POSBINDU PTM akan tetapi
yang aktif dalam pelaksanaannya hanya 89,5% (342 POSBINDU PTM). Berikut
ini merupakan gambaran distribusi POSBINDU PTM di Kota Malang:

MOJOLANGU 20
34
KENDALSARI 38
38

DINOYO 26
26
MULYOREJO 33
33

CIPTOMULYO 43
43
JANTI 10
18

ARJOWINANGUN 11
11

GRIBIG 43
43
KEDUNGKANDANG 10
10
KENDAL KEREP 7
8
PANDANWANGI 37
44

CISADEA 20
20
RAMPAL CELAKET 22
22

BARENG 10
10
ARJUNO 12
22
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Posbindu Yang Ada Posbindu Yang Aktif

Gambar 4.12 Gambaran distribusi POSBINDU PTM di Kota Malang.

Berdasarkan gambaran distribusi POSBINDU PTM di Kota Malang hanya


10 (66,67%) puskesmas yang sesuai antara jumlah posbindu yang ada dengan
33

jumlah posbindu yang aktif, puskesmas tersebut antara lain Puskesmas Bareng,
Puskesmas Rampal Celaket, Puskesmas Cisadea, Puskesmas Kedungkandang,
Puskesmas Gribig, Puskesmas Arjowinangun, Puskesmas Ciptomulyo, Puskesmas
Mulyorejo, Puskesmas Dinoyo, dan Puskesmas Kendalsari) sedangkan 5
puskesmas lainnya (Puskesmas Mojolangu, Puskesmas Janti, Puskesmas
Kendalkerep, Puskesmas Pandanwangi, dan Puskesmas Arjuno) dalam
pelaksanakan POSBINDU PTM belum mencapai target 100%. Dari 5 puskesmas
yang belum opimal dalam pelaksanaan POSBINDU PTM tersebut Puskesmas
Mojolangu yang berada di posisi tertinggi dengan 14 POSBINDU PTM yang
tidak aktif.
33

BAB V
PEMBAHASAN PROGRAM
5.1 Upaya Penanggulangan Penyakit Tidak Menular
Upaya penanggulangan penyakit tidak menular menurut Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor 5 Tahun 2017 tentang Rencana Aksi Nasional
Penanggulangan Penyakit Tidak Menular Tahun 2015-2019 yakni di tingkat
komunitas telah diinisiasi pembentukan Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu)
penyakit tidak menular dimana dilakukan deteksi dini faktor risiko, penyuluhan
dan kegiatan bersama komunitas untuk menuju Perilaku Hidup Bersih dan Sehat.
Pada tingkat pelayanan kesehatan juga telah dilakukan penguatan dari
puskesmas selaku kontak pertama masyarakat ke sistem kesehatan. Disadari
bahwa pada saat ini sistem rujukan belum tertata dengan baik dan akan terus
disempurnakan sejalan dengan penyempurnaan program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) yang merupakan bentuk implementasi dari Universal Health
Coverage (UHC) dan diterapkan sejak 1 Januari 2014. Akan tetapi hal tersebut,
belum cukup karena keterlibatan multi-sektor masih terbatas. Dikenali bahwa
penyakit tidak menular sangat terkait kepada Social Determinants for Health,
khususnya dalam faktor risiko terkait perilaku dan lingkungan
Tujuan Penanggulangan Penyakit Tidak Menular Penanggulangan
penyakit tidak menular merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program
pembangunan kesehatan yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup
manusia, sehingga setiap individu menjadi produktif, berdaya saing dan
bermanfaat bagi pembangunan nasional. Dengan demikian, tujuan
penanggulangan penyakit tidak menular yaitu untuk menurunkan angka
kesakitan (morbiditas), angka kematian (mortalitas) dan disabilitas serta
mengurangi beban ekonomi akibat penyakit tidak menular dalam rangka
pencapaian tujuan pembangunan kesehatan dan pembangunan nasional.
Prinsip-Prinsip Dasar Penanggulangan Penyakit Tidak Menular Rencana
Aksi Nasional Penanggulangan Penyakit Tidak Menular antara lain:
34

a) Berfokus Pada Kesetaraan (Equity)


Kebijakan dan program penanggulangan penyakit tidak menular harus
ditujukan untuk mengurangi kesenjangan dalam penyediaan layanan penyakit
tidak menular terkait determinan sosial seperti pendidikan, gender, status sosial
ekonomi, dan etnis.
b) Keterlibatan Lintas Sektor dan Para Pemangku Kepentingan
Untuk mengendalikan penyakit tidak menular dan faktor risikonya
diperlukan kerja sama di dalam sektor kesehatan dan juga dengan sektor lain,
seperti pertanian, pendidikan, agama, dalam negeri, lingkungan hidup,
keuangan, kominfo, olah raga, perdagangan, perindustrian dan perhubungan. Hal
ini perlu diperkuat dengan keterlibatan para pemangku kepentingan termasuk
pemerintah, organisasi masyarakat sipil, akademia, swasta, dunia usaha dan
organisasi internasional. Peran lintas sektor sangat penting dan mempunyai
peran kunci dalam menentukan keberhasilan upaya penanggulangan penyakit
tidak menular, terutama terkait faktor risiko bersama. Untuk itu pemerintah
sudah mencanangkan penguatan paradigma sehat dengan medorong promotif
preventif melalui pendekatan multisektor “Gerakan Masyarakat Hidup Sehat
(GERMAS)”.
c) Pendekatan Pada Setiap Tahap Kehidupan
Pendekatan pada setiap tahapan kehidupan (life-course approach)
merupakan kunci dalam penanggulangan penyakit tidak menular, yang dimulai
dari kesehatan ibu, sebelum kehamilan, antenatal, dan post natal, dan gizi ibu
yang berlanjut dengan pemberian makanan pada bayi secara benar, termasuk
pemberian air susu ibu dan kesehatan bagi anak remaja diikuti dengan promosi
kesehatan agar tercapai kelompok usia kerja yang sehat, usia lanjut yang sehat
dan dilengkapi dengan pelayanan dan rehabilitasi bagi penderita penyakit tidak
menular. Pendekatan pada setiap tahap kehidupan harus bersinergi dan
terintegrasi dengan lintas program melalui pendekatan keluarga.
d) Keseimbangan Antara Pendekatan Pada Tingkat Populasi dan Individu
Strategi penanggulangan penyakit tidak menular yang komprehensif
membutuhkan keseimbangan antara pendekatan/ intervensi yang ditujukan untuk
35

mengurangi tingkat faktor risiko populasi secara keseluruhan dengan pendekatan


yang ditujukan secara khusus bagi individu-individu berisiko tinggi.
e) Pemberdayaan Masyarakat
Penduduk dan masyarakat harus diberdayakan untuk meningkatkan
kesehatannya dan menjadi mitra pemerintah yang aktif dalam penanggulangan
penyakit.
f) Penguatan Sistem Kesehatan
Revitalisasi dan reorientasi pelayanan kesehatan terutama pada fasilitas
pelayanan kesehatan primer terhadap upaya-upaya promosi kesehatan,
pencegahan penyakit, deteksi dini dan pelayanan penyakit tidak menular yang
terintegrasi.
g) Cakupan Kesehatan Semesta (Universal Health Coverage)
Seluruh penduduk, terutama keluarga miskin dan rentan harus memiliki
akses pelayanan kesehatan yang terstandar secara nasional yang meliputi
pelayanan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan paliatif serta akses
terhadap obat-obatan yang esensial, aman, terjangkau, efektif dan berkualitas
tanpa hambatan pembiayaan.
h) Strategi Berbasis Bukti (Evidence Based Strategies)
Pengembangan kebijakan dan program harus berdasarkan bukti ilmiah,
best practices, cost-effectiveness, keterjangkauan, dan prinsip-prinsip kesehatan
masyarakat serta kebutuhan di masyarakat.
i) Pengelolaan Conflicts ofInterest
Kebijakan kesehatan publik untuk penanggulangan penyakit tidak menular
harus terbebas dari adanya vested interest pihak-pihak tertentu. Oleh karena itu,
conflict of interest harus dikenali dan dikelola sebaik-baiknya
5.2 Upaya Pencegahan dan Penanggulangan DM tipe 2 di Kota Malang
Berdasarkan uraian mengenai gambaran kejadian DM tipe 2 di Kota
Malang serta gambaran mengenai pelaksanaan POSBINDU PTM di Kota
Malang maka dapat disimpulkan beberapa permasahan antara lain:
1. Penderita DM tipe 2 mayoritas diderita oleh perempuan yakni > 60%.
36

2. Selama dua tahun berturut-turut jumlah kematian DM tipe 2 di


Puskesmas Arjuno cukup tinggi dan terjadi peningkatan jumlah kematian
DM tipe 2 di Puskesmas Kendalsari.
3. Kasus DM tipe 2 pada periode tahun 2015 dan 2016 di Kota Malang
berdasarkan umur diketahui bahwa selama dua tahun berturut-turut
golongan umur 60-69 tahun yang memiliki proporsi jumlah kasus DM
tipe tertinggi.
4. Terdapat beberapa puskesmas yang angka peningkatan Kasus DM tipe 2
cukup signifikan (tahun 2015-2016) yakni puskesmas Bareng,
Puskesmas Rampal Celaket, Puskesmas Mulyorejo, Puskesmas
Pandanwangi, Puskesmas Kendalkerep, Puskesmas Kedungkandan,
Puskesmas Mojolangu. Hal ini didukung oleh data mengenai jumlah
POSBINDU yang tidak melakukan POSBINDU PTM secara optimal
(100%) yaitu Puskesmas Mojolangu, Puskesmas Pandanwangi, dan
Puskesmas Kendalkerep. Sedangkan Puskesmas Kedungkandang
merupakan puskesmas yang menduduki peringkat pertama pada jumlah
kasus baru DM tipe 2 dan jumlah kasus DM akan tetapi dalam
pelaksanaan POSBINDU PTM Puskesmas Kedungkandang telah
melaksanakan secara optimal (100%). Selain itu, terjadinya peningkatan
kasus DM tipe 2 di beberapa puskesmas tersebut dikarenakan beberapa
puskesmas tersebut termasuk dalam beberapa puskesmas yang berada di
Kota Malang dengan jumlah POSBINDU PTM yang masih rendah yakni
Puskesmas Bareng, Puskesmas Kendalkerep, dan Puskesmas
Kedungkandang).
Berdasarkan uraian permasalahan diatas, berikut ini merupakan beberapa
solusi agar Kasus DM tipe 2 dapat dicegah dan ditangani secara lebih optimal
yaitu:
A. Pencegahan Primer (Primary Prevention) melalui Program CERDIK
dalam POSBINDU PTM
Timbulnya faktor risiko PTM sebagian besar bisa dicegah. Pencegahan
meliputi intervensi yang diarahkan pada seluruh penduduk untuk menghindari
37

timbulnya faktor risiko penyakit dan melakukan deteksi dan diagnosa dini serta
melalui tata laksana kasus di fasilitas kesehatan yang cost effective dan
komprehensif.

Gambar 5.1 Faktor Risiko PTM


Gambar diatas di menjelaskan berbagai jenis faktor risiko dan
pengaruhnya terhadap kejadian PTM Utama. Terdapat 4 jenis faktor risiko yaitu:
a) Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi
b) Faktor risiko perilaku
c) Faktor risiko lingkungan
d) Faktor risiko fisiologis/biologis
Gambar tersebut juga menunjukkan adanya determinan sosial kesehatan
dan globalisasi yang berpengaruh terhadap perubahan perilaku dan lingkungan..
Dengan demikian, pencegahan PTM merupakan serangkaian upaya untuk
mengurangi prevalensi PTM. Untuk itu terdapat program untuk pencegahan dan
pengendalian PTM khususnya DM tipe 2 yakni melalui Program CERDIK
dalam POSBINDU PTM.
Program CERDIK dalam POSBINDU PTM berupa:
1. Cek kesehatan secara teratur untuk megendalikan  berat badan agar tetap
ideal dan tidak berisiko mudah sakit, periksa tensi darah, gula darah, dan
kolesterol secara teratur.
2. Enyahkan asap rokok dan jangan merokok.
38

3. Rajin melakukan aktivitas fisik minimal 30 menit sehari, seperti berolah


raga, berjalan kaki, membersihkan rumah. Upayakan dilakukan dengan baik,
benar, teratur dan terukur.
4. Diet yang seimbang dengan mengkonsumsi makanan sehat dan gizi
seimbang, konsumsi buah sayur minimal 5 porsi per hari, sedapat mungkin
menekan konsumsi gula hingga maksimal 4 sendok makan atau 50 gram per
hari, hindari makanan/minuman yang manis atau yang berkarbonasi
5. Istirahat yang cukup.
6. Kelola stress dengan baik dan benar.
Kegiatan pengendalian faktor risiko PTM, berupa penerapan perilaku
CERDIK, diantaranya bertujuan untuk terwujudnya peran serta masyarakat
dalam upaya pencegahan dan pengendalian faktor risiko PTM secara dini dan
mandiri serta terselenggaranya deteksi dini, monitoring dan tindak lanjut faktor
risiko PTM pada masyarakat. Deteksi dini berfungsi untuk mengurangi
prevalensi PTM yang tinggi di Indonesia khususnya di Kota Malang. Dengan
melakukan pengukuran tekanan darah, kadar gula darah, pemeriksaan kolesterol,
lingkar perut, Body Mass Indeks (BMI) menimbang berat badan, serta
pemeriksaan tulang dimana semuanya mengarah ke penyakit tidak menular.
Pada pelaksanaannya Program CERDIK ini dilakukan dengan adanya
penyuluhan oleh kader di POSBINDU PTM kepada peserta POSBINDU PTM.
Untuk di Kota Malang Pogram CERDIK ini selain disosialisasikan kepada
peserta POSBINDU juga bisa disosialisasikan di acara PKK maupun pengajian
rutin. Hal ini dikarenakan agar lebih luas jangkauan serta tepat sasaran serta
mengacu pada permasalan DM tipe 2 yakni jumlah penderita DM tipe 2 <60%
berjenis kelamin perempuan.
B. Penguatan Pelayanan Kesehatan
Penanggulangan penyakit tidak menular yang efektif membutuhkan suatu
sistem pelayanan kesehatan yang kuat yang menjamin terjadinya hubungan
intensif antar jejaring pelayanan kesehatan di semua tingkatan dari tingkat
primer, sekunder dan tersier, termasuk pelayanan-pelayanan promotifpreventif
dan pengobatan serta pelayanan paliatif dan rehabilitasi. Efektifnya pelayanan
39

kesehatan primer merupakan hal yang esensial dalam pengendalian faktor risiko,
baik faktor risiko perilaku (merokok, konsumsi alkohol, tidak olah raga, dan diet
tidak sehat) maupun faktor risiko biologis (seperti: tekanan darah tinggi, kadar
gula darah tinggi, obesitas dan dyslipidemia). WHO mengembangkan model
Innovative Care for Chronic Conditions (WHO-ICCC). Prinsip dari model ini
adalah bahwa pelayanan kesehatan untuk penyakit kronis seperti penyakit tidak
menular tidak hanya tergantung pada diagnosa dan intervensi klinis saja
walaupun hal itu penting, tetapi membutuhkan suatu dukungan lingkungan yang
memahami kompleksitas penyelenggaraan pelayanan kesehatan serta kerjasama
antara petugas kesehatan dan masyarakat terutama dengan pasien dan
keluarganya. Sebagai contoh, terapi yang diberikan untuk suatu penyakit kronis
tidak akan mempunyai dampak berarti bila persediaan obat tidak stabil, bila
pasien tidak meminum obat secara teratur, bila petugas laboratorium tidak ada
saat dibutuhkan, bila pasien meminum obatnya tetapi tetap berperilaku merokok,
minum alkohol berlebihan, diet tidak sehat dan kurang olah raga.

Hasil yang lebih baik untuk penyakit kronis

Gambar 5.2 Kerangka WHO Pelayanan Inovatif Penyakit Kondisi Kronis (WHO -
Innovative Care for Chronic Conditions)
40

Dalam upaya memperoleh keluaran yang lebih baik bagi


penanggulangan penyakit kronis maka dibutuhkan kerangka
kerja yang melibatkan seluruh unsur masyarakat dan pelaku
kesehatan serta pengambil kebijakan kesehatan.
a. Masyarakat secara umum termasuk pasien dan keluarganya
harus memperoleh informasi yang adekuat mengenai faktor
risiko dan kondisi sakitnya serta termotivasi untuk
menjalankan PHBS dan hal-hal yang terkait dengan
perbaikan social determinants di sekitarnya
b. Kelompok masyarakat/komunitas di sekitar perlu
dipersiapkan untuk membantu pasien dan keluarganya agar
menyadari faktor risiko yang dihadapi baik secara individual
maupun kelompok masyarakat, menggerakkan sumber daya
untuk menyediakan berbagai layanan penunjang misalnya
tersedianya sayur dan buah, lapangan olah raga, kawasan
bebas rokok dll.
c. Pemberi layanan kesehatan juga perlu disiapkan agar
mampu menyiapkan layanan berkualitas, terkoordinir
dengan baik, mempunyai peralatan dan obat-obatan yang
cukup.
d. Lingkungan kebijakan yang positif perlu dibangun dengan
kepemimpinan yang baik dan mampu membangun
kemitraan, menciptakan peraturan yang kondusif,
mengintegrasikan berbagai kebijakan/kegiatan yang
berwawasan kesehatan, dan menggerakkan sumberdaya.
Jelas tampak bahwa kepemimpinan yang transfornatif pada
berbagai tingkat administrasi baik dari pengambil kebijakan
sampai ke tingkat pelaksana sangat diperlukan. Di samping itu
diperlukan pula kesamaan pemahaman dalam upaya mencegah
dan menanggulangi penyakit tidak menular, karena sifat
41

penyakitnya yang multifaktorial dan pengobatan/penanganan


yang lama.
WHO-ICCC menganjurkan beberapa prinsip dasar
pelayanan, sebagai berikut:
a. Pengambilan keputusan berbasis bukti (Evidence Based
Decision Making)
b. Berfokus pada populasi (Population Focus)
c. Berfokus pada upaya pencegahan (Prevention Focus)
d. Berfokus pada mutu layanan (Quality Focus)
e. Layanan terintegrasi (Integration)
f. Fleksibilitas dan adaptabilitas (Flexibility and Adaptability)
Prinsip-prinsip dasar tersebut kemudian menjadi bagian
dari suatu pendekatan pelayanan penyakit kronis yang
terintegrasi atau model Integrated Chronic Disease Management (ICDM),
yang bertujuan untuk:
a. Menciptakan suasana kondusif untuk penanganan penyakit kronis, melalui:
1. Penguatan kebijakan yang lebih terintegrasi
2. Penguatan kemitraaan dan kolaborasi dengan pihak eksternal
3. Dukungan legislasi
b. Meningkatkan sumber-sumber masyarakat untuk penanganan penyakit
kronis, melalui:
1. Timbulnya kesadaran dan berkurangnya stigma di masyarakat
2. Mobilisasi sumber-sumber daya masyarakat
c. Reorientasi bagi penyedia pelayanan kesehatan untuk meningkatkan status
kesehatan pasien penyakit kronis, melalui:
1. Peningkatanan kapasitas tenaga kesehatan
2. Peningkatan efisiensi fasilitas pelayanan kesehatan primer
3. Mendorong individu untuk melakukan pencegahan penyakit tidak
menular secara mandiri
4. Penguatan jaringan rujukan ke rumah sakit dan masyarakat
5. Pemanfaatan sistem informasi kesehatan
42

6. Penggunaan teknologi inovatif


Pada strategi ini, elemen penting dalam penguatan fasilitas pelayanan
kesehatan primer adalah adanya penugasan khusus berbasis tim untuk:
1. Pelayanan penyakit tidak menular
2. Pengendalian faktor risiko
3. Pembinaan kegiatan berbasis masyarakat secara efektif.
Tim yang dibantu oleh kader akan melakukan kunjungan
rumah dan mensosialisasikan pentingnya perilaku sehat dalam
mendukung terwujudnya keluarga sehat. Penduduk yang
mempunyai risiko tinggi akan dirujuk ke fasilitas layanan
kesehatan. Kader kesehatan juga akan melakukan penyuluhan
kepada keluarga pasien yang telah didiagnosa memiliki penyakit
kronis tentang pentingnya perubahan perilaku yang lebih sehat
serta patuh pada pengobatan. Secara ideal, pasien dengan
penyakit tidak menular kronis harus mempunyai kemampuan
merawat dirinya secara mandiri (self-care). Agar pelayanan dapat
efektif, dibutuhkan tenaga kesehatan dengan kemampuan
komunikasi yang efektif, mampu melakukan pemeriksaan klinis
secara benar, melakukan diagnosa secara akurat dan menangani
kasus dengan intervensi klinis yang berbasis bukti serta
melakukan monitoring untuk perbaikan layanan kepada pasien.
C. Surveilans
Tujuan utama surveilans penyakit adalah melakukan
pengamatan terhadap kecenderungan suatu penyakit untuk
mengindentifikasi dan meminimalkan akibat atau dampak negatif
suatu kejadian luar biasa (KLB) atau epidemik dan menilai
tingkat efektifitas dari suatu program atau pelayanan kesehatan.
Surveilans mencakup faktor-faktor risiko dan intervensi
pengendalian penyakit. Sistem surveilans yang komprehensif
perlu diperkuat untuk PTM. Sistem ini harus mencakup:
43

1. Monitoring keterpaparan faktor risiko penyebab timbulnya


kejadian penyakit tidak menular seperti perilaku hidup tidak
sehat dan faktor risiko lainnya
2. Monitoring dampaknya terhadap penyakit dan penyebab
kematian
3. Respons dari sistem kesehatan meliputi kapasitas pelayanan
kesehatan, akses dan kualitas program intervensi.
43

BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan gambaran pola dan tren penyakit DM tipe 2 di Kota Malang
diketahui bahwa terjadi penurunan prevalensi, insidensi, dan mortalitas akan
tetapi jumlah POSBINDU PTM di Kota Malang hanya 89,5% (342 POSBINDU
PTM) yang aktif dalam pelaksanaannya. Agar tidak terjadi peningkatan angka
prevalensi, insidensi, dan mortalitas DM tipe 2 maka diperlukan solusi yang
tepat yakni dengan Pencegahan Primer (Primary Prevention) melalui Program
CERDIK dalam POSBINDU PTM, Penguatan Pelayanan Kesehatan dan
Surveilans.

6.2 Saran
DM Tipe 2 adalah tanggung jawab seluruh masyarakat bukan tanggung
jawab jajaran kesehatan saja. Oleh karena itu, perlu diciptakan lingkungan yang
mendukung agar masyarakat hidup sehat.
44

DAFTAR PUSTAKA
Adriani, Loli. 2012. Pemetaan Faktor Risiko Penyakit Jantung dan Pembuluh
Darah (FR-PJPD) di Wilaya Kerja Puskmas Bogor Utara Kota Bogor Thun
2012. Jakarta: Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Aprini, Riski. 2012. Transisi Epidemiologi. (Online),
(https://id.scribd.com/doc/85106494/TRANSISI-EPIDEMIOLOGI),
diakses pada tanggal 11 April 2017.
Amirudin, R., Stang, & Ansar, J. 2014. Diabetic Mellitus Type 2 in Wajo South
Sulawesi Indonesia. Internatioanl Journal of Current Research and
Academic Review, 2 (12) : 1- 8.
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi
Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta : Salemba Medika.
Astrini, Retno. 2012. Modul Pelatihan Quantum GIS Tingkat Dasar. Mataram:
Bappeda Provinsi NTB
Ayauqy, A. 2015. Perbedaan Kadar Glukosa Darah Puasa Pasien Diabetes
Meltus Brdasarkan Pengetahuan Gizi, Sikap, dan Tindakan di Poli
Penyakit dalam Rumah Sakit Islam Jakarta. Jurnal Gizi Indonesia, 3 (2) :
60-67.
Bustan, Nadjib M. 2012. Pengantar Epidemiologi, edisi revisi. Jakarta: Rineka
Cipta.
Depkes. 2008. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS 2007). Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Indonesia.
Depkes. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI Tahun 2013.
Dinas Kesehatan Kota Malang. 2015. Profil Kesehatan Kota Malang Tahun
2015. Malang: Dinas Kesehatan Kota Malang.
Dinas Kesehatan Kota Malang. 2016.
Garnita, G. 2012. Faktor Risiko Diabetes Mellitus di Indonesia (Analisis Data
Sakerti 2007). Depok: Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Husaini, A. 2007. Tobat Merokok. Depok: Pustaka IIman.
International Diabetes Federation. 2007. International Diabetes Federation: A
Consensus on Type 2 Diabetes Prevention. Diabetic Medicine, 24 : 451-
463.
International Diabetes Federation. 2015. IDF Diabetes Atlas Seventh Edition
2015. Brussels: International Diabetes Federation.
Irawan, D. 2010. PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN DIABETES
MELITUS TIPE 2 DI DAERAH URBAN INDONESIA (ANALISIS DATA
SEKUNDER RISKESDAS 2007). Jakarta: Ilmu Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia.
45

Kementerian Kesehatan RI. 2012a. Buletin Jendela Data dan Informasi


Kesehatan : Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Direktorat PPTM, P2PL
Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2012b. PETUNJUK TEKNIS POS PEMBINAAN
TERPADU PENYAKIT TIDAK MENULAR (POSBINDU PTM). Jakarta:
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Infodatin Diabetes. Jakarta Selatan: Pusat
Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Mahendra, B., Tobing, A., Krisnatuti, D., & Alting, B. 2008. Care Yourself :
Diabetes Mellitus. Jakarta: Penebar Plus.
Marpaung, C. 2013. Hubungan Memiliki Riwayat Keluarga Mednerita Diabetes
Mellitus Tipe 2 dengan Kesadaran tentang Diabetes Mellitus Tipe 2 pada
Masyarakat di Kelurahan Tembung Tahun 2013. Medan: Fakultas
Kedokteran Universita Sumatra Utara.
Mayo Clinic. 2014. Diabetes: Does alcohol and tobacco use increase my risk?.
(Online), (http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/type-2-
diabetes/expert-answers/diabetes/faq-20058540), diakses pada tanggal 03
Oktober 2016.
Mihardja, L., Soetrisno, U., & Soegondo, S. 2013. Prevalence and clinical
profile of diabetes. Journal of Diabetes of Investigation, 5: 507–512.
Pemerintah Kota Malang. 2015. Sekilas Tentang Malang. (Online),
(http://malangkota.go.id/wp-content/uploads/2015/04/SDM.pdf), diakses
pada tanggal 25 April 2017.
Pemerintah Kota Malang. 2017. Jumlah RT dan RW Se Kota Malang Semester
I/2015. (Online), (http://pemerintahan.malangkota.go.id/kantor-kelurahan-
dan-kecamatan/daftar-nama-ketua-rukun-tetangga-dan-rukun-warga-se-
kota-malang/), diakses pada tanggal 25 April 2017.
Rahayujati, Theodola B. 2015. Pengendalian Faktor Risiko Penyakit Tidak
Menular Prioritas. Online, (http://dinkes.kulonprogokab.go.id/files/naskah
%20web_ptm.pdf), diakses pada tanggal 16 April 2017.
Raminah, S. 2003. Diabetes. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Komputer.
Susianto, & Ramayulis, R. 2013. Fakta Ajaib Khasiat Tempe. Jakarta: Penebar
Plus.
Tandra, H. 2007. Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui Mengenai Diabetes.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tandra, H. 2008. Panduan Lengkap Mengenal dan Mengatasi Diabetes dengan
Cepat dan Mudah. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
The Jakarta Post. 2011. Indonesia Loses Billions to Diabetes, Chronic Disease.
(Online), (http//
cameroninstitue.com/index.php?
46

option=com_contents&view=article&id=54: indonesia-loses-billion-to-
diabetes-cronicdiseases&catid=3:opinion&itemid=3), diakses padat
tanggal 11 April 2017.
World Health Organization. 2005. The Pan American Version of the WHO
STEPwise Approach to Chronic DiseaseRisk Factor Surveillance. Geneva:
World Health Organization.
World Health Organization. 2008. Waist Circumference and Waist Hip-Ratio.
Geneva: World Health Organization.
World Health Organization. 2011. WHO STEPwise Approach to Chronic
Disease Risk Factor Surveillance (STEPS). Promotion OF fRUITS AND
Vegetable for Health African Regional Workshop for Anglophone
Countries . Tanzania: World Health Organization.
World Health Organization. 2016a. Global Report on Diabetes. Geneva: World
Health Organization.
World Health Organization. 2016b. Fact Sheet Diabetes Mellitus. (Online),
(http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs138/en/), diakses pada
tanggal 17 April 2017.
WHO. 2017. Noncommunicable disease. (Online),
(http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs355/en/), diakses pada
tanggal 11 April 2017.
47

Anda mungkin juga menyukai