Anda di halaman 1dari 11

Pancasila adalah asas persatuan, kesatuan, damai, kerjasama, hidup bersama dari

bangsa Indonesia yang warga-warganya sebagai manusia yang memiliki bawaan kesamaan
dan perbedaan.
Hendaknya warga Indonesia menempatkan perbedaan-perbedaan dan pertentengan-
pertentangan dalam kedudukan dan arti yang tidak mempengaruhi kesamaan serta kesatuan
bangsa Indonesia. Adanya perbedaan-perbedaan itu, disadari sebagai suatu hal yang memang
menjadi bawaan sebagai manusia pribadi dan makhluk. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang
beridiologi. Pancasila mempunyai sifat dasar kesatuan yang mutlak, berupa sifat kodrat
manusia dalam kenyataan yang sewajarnya, ialah sifat perseorangan (individu) dan makhluk
sosial dalam kesatuan yang bulat dan harmonis (kedua tunggalan, monodualis).
Manusia menjadi pendukung atau subjek daripada sila-sila Pancasila sehingga di
dalam Pancasila terkandung hal-hal yang mutlak dari manusia yaitu susunan diri manusia atas
tubuh dan jiwa sebagai kesatuan, sifat perseorangan dan makhluk sosial sebagai kesatuan
serta kedudukan kodrat pribadi berdiri sendiri dan makhluk Tuhan sebagai satu kesatuan.
Oleh karena itu dengan kata lain Pancasila mempunyai sifat dasar kesatuan berupa dua sifat
kodrat manusia yang merupakan suatu kesatuan keduatunggalan atau monodualis. Sifat
kodrat monodualis kemanusiaan itu mempunyai arti menentukan dalam hal-hal pokok
mengenai kenegaraan. Karena sifatnya mutlak monodualis kemanusiaan, negara Indonesia
adalah negara hukum kebudayaan yaitu negara yang terdiri atas perseorangan yang hidup
bersama baik dalam kelahiran maupun kebatinan yang keduanya memiliki kepentingan dan
kebutuhan perseorangan dan bersama, namun keduanya diselenggarakan tidak saling
mengganggu melainkan dengan kerjasama.
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pancasila adalah sebuah konsep ideologi yang secara yuridis ditetapkan sebagai dasar negara
Indonesia pada 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Pancasila sebagai pemersatu bangsa bertujuan
untuk menciptakan keadilan dan toleransi, disamping untuk mewujudkan cita-cita bangsa.
Khususnya dalam sila ketiga Pancasila “Persatuan Indonesia”.

Akhir-akhir ini eksistensi Pancasila mulai digrogoti oleh berbagai faktor. Dengan begitu kita
sebagai generasi muda harus bisa memproteksi dengan nili-nili falsafah Pancasila, karena
nilai-nilai Pancasila telah menjadi local wisdom bangsa sejak zaman dahulu. Pancasila hingga
kini masih eksis sebagai ideologi yang mampu mempersatukan bangsa Indonesia yang plural,
meskipun banyak tantangan yang telah menguji eksistensi Pancasila.

Pancasila merupakan jati diri dan identitas nasional yang harus dipahami, dihayati dan
diterapkan dalam bermasyarakat demi terciptanya persatuan bangsa. Maka perlunya
menumbuhkan nilai-nilai Pancasila sebagai pemersatu bangsa, disini penulis akan mengulas
peranan Pancasila sebagai pemersatu bangsa.

B. Rumusan Masalah

1. Apa urgensi Pancasila sebagai pemersatu bangsa ?

2. Bagaimana implementasi nilai-nilai Pancasila sebagai pemersatu bangsa ?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Urgensi Pancasila sebagai Pemersatu Bangsa

Pada saat ini Indonesia menghadapi tantangan besar yang dapat menggrogoti niali-nilai
persatuan bangsa, tantantang tersebut berasal dari dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal itu sendiri berasal dari dalam negri, seperti adanya pemetakan
keragaman dan juga adanya ketimpangan anatara pulau Jawa dengan pulau lainnya
menegenai pemerataan ekonomi yang kurang berkeadilan, dimana hal-hal seperti itu dapat
manjadi suatu titik perpecahan. Tantangan dari faktor eksternal atau luar negri, dengan
adanya globalisasi menjadikan paham-paham transnasional begitu mudah masuk ke dalam
negri, sehingga masyarakat yang kurang akan wawasan nusantara dapat dengan mudah
mengikuti arus tersebut. Seperti sekarang ini banyak golongan atau kelompok yang berpaham
transnasional yang membuat suatu konsepan tatanan kenegaraan dan mengangap bahwa
konsepan tersebut jauh lebih baik dari Pancasila.

Adanya bayak permasalahan yang dapat menimbulkan perpecahan, harus dibentengi dengan
memperkuat persatuan bangsa. Persatuan bersal dari kata satu yang berarti utuh, tidak
memecah belah, persatuan mengandung suatu makna disatukannya berbagai macam corak
yang beraneka ragam menjadi satu kesatuan utuh. Berarti bahwa hal-hal yang beranekka
ragam setelah disatukan menjadi sesuatu yang serasi, utuh dan tidak saling bertentangan antra
satu dengan yang lain. (Kansil dkk, 2011: 35) “Perwujudan persatuan Indonesia adalah
perwujudan dari paham kebangsaan Indonesia yang dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa,
serta kemanusiaan yang adil dan beradab”. (MPR RI Periode 2009-2014, 2015: 63).

Dapat diketahui bahwa persatuan adalah penting, karena sebagai cerminan kokohnya suatu
negara yang berdaulat, tanpa persatuan suatu negara tidak dapat berjalan dengan semestinya
dan akhirnya runtuh. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural dan menghendaki
adanya persatuan dalam berbangsa dan bernegara dengan cinta tanah air atau sifat
nasionalisme. Dalam hal ini Pancasila mempunyai peranan penting, karena Pancasila
merupakan suatu ideologi yang memiliki nilai asas nasionalisme yang tumbuh diatas
perbedaan bukan nasionalisme yang berasas primordialisme (berdasar suku, etnis, ras, atau
agama).

Berikut adalah ulasan mengenai nilai-nilai falsafah persatuan Pancasila yang termuat dalam
sejarah nusantara :

a. Nilai-nilai Pancasila masa kerajaan besar nusantara

Dalam sejarah, diperkirakan pada abad 7-12, telah berdiri kerajaan Sriwijaya di Sumatra
Selatan dan kemudian pada abad 13-16 didirakan pula kerajaan Majapahit di Jawa Timur.
Kedua kerajaan besar itu merupakan tonggak sejarah bangsa Indonesia, karena keduanya
telah memenuhi syarat-syarat sebagai suatu bangsa. Dengan berdaulat, bersatu, serta
memiliki wilayah yang meliputu nusantara. Menurut Mr. Muhammad Yamin, berdirinya
negara kebangsaan Indonesia tidak dapat dipisahkan dangan kerajaan-kerajaan lama yang
merupakan warisan nenek moyang bangsa Indonesia. (Hasan, 2016: 45).

Menurut Nur Hasan (2016: 46-47) Kerajaan Sriwijaya telah menunjukan nilai-nilai Pancasila,
yang dihayati serta dilaksanakan pada waktu itu, hanya saja belum dirumuskan secara formal.
Pada hakikatnya nili-nilai budaya bangsa Sriwijaya, yaitu:

1. Nilai sila pertama, terwujud dengan adanya umat agama Budha dan Hindu hidup
berdampingan secara damai.

2. Nilai sila kedua, terjalinnya hubungan antara Seriwijaya (Dinasty Harsa). Pengiriman
para pemuda untuk belajar di India. Telah tumbuh niali-nilai politik luar negri bebas aktif.

3. Nilai sila ketiga, sebagai negara maritim, Sriwijaya telah menerapkan konsep negara
kepulauan sesuai dengan konsep wawasan nusantara.

4. Nilai sila keempat, Sriwijaya telah memiliki kedaulatan yang sangat luas, meliputi
(Indonesia sekarang) Siam, dan Semenanjung Melayu.

5. Nilai sila kelima, Sriwijaya meliputi pusat pelayanan dan perdagangan, sehingga
kehidupan rakyatnya sangat makmur.

Pada masa kerajaan Majapahit nilai-nilai Pancasila banyak sekali tercermin dalam perjalanan
kerajaan tersebut. Seperti Empu Prapanca menulis buku Negarakartagama (1365 M) yang di
dalamnya terdapat Istilah pancasila. Menutut Nur Hasan (2016: 47-49) Nilai-nilai Pancasila
kerajaan Majapahit, yaitu:

1. Nilai sila pertama, terbukti dengan hidup berdampingannya agama Hindu dan Budha
secara damai. Empu Tantular dalam karangannya Sutasoma terdapat sloka persatuan nasional
“Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua”, artinya walaupun berbeda-beda tetapi
tetap satu jua, dan tidak ada agama yang memiliki tujuan yang berbeda. Hal ini menunjukkan
realitas beragama yang saling toliransi saat itu.

2. Nilai sila kedua, hubungan baik Raja Hayam Wuruk dengan kerajaan Tiongkok, Ayoda,
Champa, dan dengan negara-negara tetangga atas dasar Mitreka Satata.

3. Nilai sila ketiga, sumpah Palapa Gajah Mada yang diucapkannya pada sidang Ratu dan
Menteri-menteri (1331 M) berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara yang berbunyi
“Saya baru akan berhenti berpuasa makan palapa, jika seluruh nusantara bertakluk di bawah
kekuasaan negara, jika Gurun, Seram, Tanjung, Haru, Pahang, Dempo, Bali, Sunda,
Palembang Tumasik telah dikalahkan”.

4. Nilai sila keempat, kerukunan dan gotong-royong dalam kehidupan masyarakat telah
menumbuhkan adat bermusyawarah untuk mufakat dalam memutuskan maalah bersama.

5. Nilai sila kelima, berdirinya kerajaan hingga berabad-abad yang tentunya ditopang
dengan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.
Pancasila bukanlah ideologi yang timbul dari buah pikiran satu dua orang saja, tapi suatu
ideologi yang nilai-nilainya digali dari budaya dan pengalaman sejarah masyarakat nusantara
sejak zaman dahulu. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi
tersebut secara rill hidup dan berkembang dalam masayarakat nusantara pada saat itu dan
nilai-nilai yang ada sebagai landasan untuk bersatu.

b. Pencoretan tujuh kata Piagam Jakarta sebagai nilai persatuan

Berawal dari berhasilnya Panitia Sembilan membuat rumusan dasar negara untuk Indonesia
merdeka pada 22 Juni 1945 dan disetujui seluruh anggota. Yang anggotanya terdiri dari
sembilan orang, yaitu Soekarno (ketua) Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, A.A.
Maramis, Achmad Soebardjo (golongan kebangsaan), K.H. Wachid Hasyim, K.H. Kahar
Moezakir, H. Agoes Salim, dan R. Abikoesno Tjokrosoejoso (golongan Islam).

Adapun rumusan dasar negara dalam Piagam Jakarta sebagai berikut:

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.

3. Persatuan Indonesia.

4. Kerakyatan yng dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan


perwakilan.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Pada tanggal 18 Agustus 1945 kesepakatan yang terdapat dalam Piagam Jakarta tersebut
diubah oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Hal penting yang diubah
adalah tujuh kata setelah Ketuhanan, yang semulanya “Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “Ketuhanan Yang
Maha Esa”. (MPR RI Periode 2009-2014, 2015: 36-38).

Mengenai kisah pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta ditulis kembali dalam buku
Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI (2015: 38-40), M. Hatta menuturkan dalam
Memoirnya sebagai berikut :

“Pada sore harinya aku menerima telepon dari tuan Nishijama, pembantu Admiral Maeda
menanyakan dapatkah aku menerima opsir Kaigun (Angkatan Laut) karena ia mau
mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nishijima sendiri yang akan
menjadi juru bahasanya. Aku mempersilahkan mereka datang.

Opsir itu yang aku lupa namanya, datang sebagai utusan kagiun untuk memberitahukan
bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik, yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang,
berkeberatan sangat terhadap bagian pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi,
“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengikat rakyat
yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu dalam suatu dasar yang
menjadi pokok Undang-Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap golongan
minoritas. Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar republik
Indonesia. Aku mengatakan bahwa itu bukan suatu diskriminasi, sebab penetapan itu hanya
mengenai rakyat yang beragama Islam.

Waktu merumuskan pembukaan Undang-Undang Dasar itu, Mr. Maramis yang ikut serta
dalam panitia sembilan, tidak mempunyai keberatan apa-apa dan tanggal 22 Juni 1945 ia ikut
menandatanganinya. Opsir tadi mengatakan bahwa itu adalah pendirian dan perasaan
pemimpin-pemimpin Protestan dan Katolik dalam daerah penduduk Kagiun. Mungkin waktu
itu Mr. Maramis cuma memikirkan bahwa bagian kalimat itu hanya untuk rakyat Islam yang
90% jumlahnya dan tidak mengikat rakyat Indonesia yang beragama lain. Ia tidak merasa
bahwa penetapan itu adalah suatu diskriminasi.

Pembukaan Undang-Undang Dasar adalah pokok dari pokok, sebab itu harus teruntuk bagi
seluruh bangsa Indonesia dengan tiada kecualinya. Kalau sebagian dari pada dasar itu hanya
mengikat sebagian rakyat Indonesia, sekalipun terbesar, itu dirasakan oleh golongan-
golongan minoritas sebagai diskriminasi. Sebab itu kalu diteruskan juga Pembukaan yang
mengandung diskriminasi itu, mereka golongan Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di
luar Republik.

Karena begitu serius ruapanya, esok paginya tanggal 18 agustus 1945, sebelum Sidangan
Panitia Persiapan bermula, kuajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman
Singodimedjo dan Mr. Teuku Mohammad Hasan dari Sumatra mengadakan rapat
pendahuluan untuk membicarakan maslah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa,
kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan
menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Apabila suatu masalah yang seriusdan
bisa membahayakan keutuhan negara dapat diatasi dalam sidang kecil yang lamanya kurang
dari 15 menit, itu adalah suatu tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut di waktu itu benar-
benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa.”

Bisa dilihat dari uraian diatas bahwa kepentingan persatuan bangsa jauh lebih penting dari
pada kepentingan golongan, padahal jika membaca sejarah kontribusi golongan Islam jauh
lebih besar dari pada golongan yang lain. Tetapi dengan rendah hatinya dari golongan Islam
rela untuk merubah hal yang mengikat mereka, demi mecegah terpecah belahnya bangsa pada
awal-awal kemerdekaan. Hal itu karena tujuan Indonesia meredeka untuk bersama bukan
hanya untuk suatu golongan saja.

B. Implementasi Pancasila sebagai Pemersatu Bangsa

Terdapat banyak konsep dalam mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa


dan bernegara, khususnya dalam bingkai persatuan bangsa. Persatuan merupakan hal yang
harus dipertahankan dan ditingkatkan. Tujuannya untuk mewujudkan persatuan antar warga
negara yang memiliki keberagaman budaya sehingga dapat menumbuhkan rasa kebersamaan,
solidaritas, kebanggaan, dan cinta kepada bangsa dan negara Republik Indonesia.
“Sejatinya yang merupakan saripati nilai Pancasila, yaitu keadilan dan toleransi. Kedua hal
ini mutlak diperlukan untuk membangun kehidupan yang berkeadilan dan berkeadaban
sebagai sebuah persatuan” (Misrawi, 2010: 32). Pancasila dan agama tidak sama sekali
bertentangan, dengan mengamalkan Pancasila otomatis mengamalkan agama. Karena nilai-
nilai Pancasila merupakan nili-nilai kebaikan yang juga terdapat dalam ajaran agama.

Memahami sejarah Indonesia merupakan bagian dari cara bagimana untuk


mengimplementasikan Pancasila, karena adanya Pancasila itu bukan jatuh dari langit. Tapi
diciptakan dengan menggunakan suatu alat, yang disebut masa lalu atau sejarah. Alasan-
alasan masa lalu adalah alasan adanya Pancasila dan juga karena masa lalu Indonesia dapat
merdeka.

Dibawah ini adalah rincian penerapan nilai-nilai Pancasila warga negara dalam persatuan
bangsa, adalah sebagai berikut:

1. Menumbuhkan sifat nasionalisme dan cinta tanah air dalam berbangsa dan negara.

2. Menumbuhkan sikap saling menghormati antar suku, agama, ras, dan antar gologan dan
tidak mematakan perbedaan.

3. Membina persatuan dan kesatuan demi terwujudnya kemajuan bangsa dan negara.

4. Memahami sejarah Indonesia, sebagai pembangkit semangat persatuan.

Pemerintah juga berperan penting dalam penerapan pancasila, bahwa pemerintah tidak boleh
setengah-setengah dalam penerapan Pancasila, khususnya terhadap suatu kebijakan publik
yang dikeluarkan haruslah memperhatikan nilai-nilai Pancasila secara utuh, sehingga dapat
terhindar dari suatu kebijakan yang menguntungkan salah satu pihak tetapi merugikan pihak
yang lain. Disitulah biasanya titik sebuah perpecahan suatu bangsa karena pemerintah sudah
tidak memiliki legistimasi dan tidak mampu untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar
negara.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

persatuan adalah penting, sebagai cerminan kokohnya suatu negara yang berdaulat. Indonesia
merupakan bangsa yang plural dan menghendaki adanya persatuan. Hal ini Pancasila
mempunyai peranan penting di dalamnya, karena Pancasila merupakan suatu ideologi yang
memiliki nilai asas nasionalisme yang tumbuh diatas perbedaan bukan nasionalisme yang
berasas primordialisme (berdasar suku, etnis, ras, atau agama).

Implementasi nilai-nilai Pancasila warga negara dalam persatuan bangsa, yaitu:


Menumbuhkan sifat nasionalisme, menumbuhkan sikap saling menghormati perbedaan dan
tidak memetakan perbedaan, membina persatuan dan kesatuan, dan memahami sejarah
Indonesia.

B. Saran

Dengan disusunnya makalah ini, penulis mengharapkan kepada pembaca agar lebih
memahami peran Pancasila sebagai pemersatu bangsa dan dapat menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Penulis menyadari bahwa makalah sederhana ini jauh dari kata
sempurna, semoga ke depannya dalam penulisan maklah menjadi lebih baik dari
sebelumnnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan barokah untuk kita semua.
DAFTAR PUSTAKA

Ghofur, Abdul. (2002). Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia: Studi atas
Pemikiran Gus Dur. Yogjakarta: Walisongo Pers dan Pustaka Pelajar.

Hasan, M. Nur. (2016). Pendidikan Pancasila Di Perguruan Tinggi. Semarang: Unissula


Press.

Kansil, C.S.T. dkk. (2011). Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: PT RIEKA
CIPTA.

Misrawi, Zubair. (2010). Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, dan Oase
Perdamaian. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR RI Periode 2009-2014. (2015). Materi
Sosialisasi Empat Pilar MPR RI. Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI.

Anda mungkin juga menyukai