Anda di halaman 1dari 5

C.

Mahal akad (Al-Ma'qud Alaih)

Mahal Akad (Al-Ma'qud Alaih) adalah objek akad atau benda-benda yang dijadikan akad yang bentuknya
tampak dan membekas. Barang tersebut dapat berbentuk harta benda, seperi . barang dagangan, benda
bukan harta, seperti dalam akad per. nikehan, dan dapat pula berbentuk suatu kemanfaatan, seperti
dalam masalah upah-mengupah, dan lain-lain.2)

Dalam Islam, tidak semua barang dapat dijadikan objek akag misalnya minuman keras. Oleh karena itu,
fuqaha menetapkan empat syarat dalam objek akad berikut ini.

I. Ma'gud 'alaih (barang) harus ada ketika akad

Berdasarkan syarat ini, barang yang tidak ada ketika akad tidak sah dijadikan objek akad, seperti jual-
beli sesuatu . yang masih dalam tanah atau menjual anak kambing yang masih dalam kandungan
induknya. Namun demikian, diantara para ulama terjadi perbedaan pendapat tentang akad atas barang
yang tidak tampak. Ulama Syafi'iyah dan Hanafiyah melarang secara mutlak berbagai urusan atau barang
apa saja yang tidak tampak, kecuali dalam beberapa hal, seperti upah-mengupah, menggarap tanah, dan
lain-lain.

Berkenaan dengan syarat ini, ulama Malikiyah, hanya menetapkan pada akad yang sifatnya saling
menyerahkan (al-mu'awidhat) dalam urusan harta, seperti : Jual-beli. Adapun pada akad yang bersifat
tabarru' (derma) seperti hibah, sedekah, dan lain-lain, mereka tidak mensyaratkannya. Ulama Hanabilah
tidak menggunakan syarat ini, tetapi menganggap cukup atas larangan-larangan syara' terhadap
beberapa akad.

Sebenarnya, dalam beberapa hal, syara' membolehkan jual-beli atas barang yang tidak ada, seperti
menjualbuah-buahan yang masing dipohon setelah tampak buahnya. Di antara ketentuan yang
berhubungan dengan jual beli buahbuahan yang masih di pohon atau biji-bijian yang masih di tanah
adalah:

a. Ulama bersepakat tidak membolehkan penjualan buah-buah atau tanaman apabila belum ada
buahnya sebab Rasulullah SAW. melarang hal ini sampai tampak buahnya.

b. Dibolehkan apabila bermanfaat secara sempurna bagi kedua belah pihak. Ulama Malikiyah dan
Muhammad Ibnu Hasan membolehkannya walaupun kemanfaatan bagi kedua belah pihak tidak
sempurna. Adapun ulama Syafi'iyah, Abu Hanifah, dan Abu Yusuf melarangnya sebab tidak tampak
manfaatnya, padahal kemanfaatan Ini sangat dituntut

C. Jika dalam suatu kebun atau pohon, sebagian tampak baik dan yang lainnya jelek, dibolehkan
bertransaksi untuk barang yang baik saja.

2. Ma'qud 'alaih harus masyru' (sesuai ketentuan syara) Ulama figih sepakat bahwa barang yang
dijadikan akad harus sesuai dengan ketentuan syara'. Oleh karena itu, dipandang tidak sah, akad atas
barang yang diharamkan syara', seperti bangkai, minuman keras, dan lain-lain.
3. Dapat diberikan waktu akad

Disepakati oleh ulama fiqih bahwa barang yang dijadikan akad harus dapat diserahkan ketika akad.
Dengan demikian, ma'qud 'alaih yang tidak diserahkan ketika akad, seperti jual-beli burung yang ada di
udara, harta yang sudah diwakafkan, dan lain-lain, tidak dipandang terjadi akad.

Akan tetapi, dalam akad tabarru " (derma) menurut Imam Malik dibolehkan, seperti hibah atas barang
yang kabur, sebab pemberi telah berbuat kebaikan, sedangkan yang diberi tidak mengharuskannya
untuk menggantinya dengan sesuatu, sehingga tidak terjadi percekcokan.

4. Ma'gud 'alaih harus diketahui oleh kedua pihak yang akad

Ulama fiqih menetapkan bahwa ma'qud 'alaih harus jelas diketahui oleh kedua pihak yang akad.
Larangan As-Sunah sangat jelas dalam jual-beli gharar (barang yang samar yang mengandung penipuan),
dan barang yang tida diketahui oleh pihak yang akad.

Artinya : "Dari abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah SAW melarang jual-beli khushat (membeli sejauh
lemparan kerikil di tanah) dan gharar" (HR. Al-Jamaah kecuali Bukhari)

5. Ma'qud 'alaih harus suci

Ulama selain Hanafiyah menerangkan bahwa ma'qud 'alaih harus suci, tidak najis dan mutanajis (terkena
najis). Dengan kata lain, ma'qud 'alaih yang dapat dijadikan akad adalah segala sesuatu yang suci, yakni
yang dapat dimanfaatkan menurut syara'. Oleh karena itu, anjing, bangkai, darah, dan lain-lain tidak
boleh diperjualbelikan.

Ulama Hanafiyah tidak menetapkan syarat di atas. Oleh karena itu, mereka membolehkan penjualan
bulu binatang, kulit bangkai untuk dimanfaatkan. Ma'qud 'alaih yang mereka larang untuk dijadikan
akad adalah yang jelas dilarang syara', seperti anjing, khamar, bangkai, dan lain-lain.

d. Maudhu (Tujuan) Akad

Maudhu akad adalah maksud utama disyariatkannya akad. Dalam syariat Islam, maudhu akad ini harus
benar dan sesuai dengan ketentuan syara'. Sebenarnya maudhu akad adalah sama meskipun berbeda-
beda barang dan jenisnya. Pada akad jual-beli misalnya, maudhu akad adalah pemindahan kepemilikan
barang dari penjual kepada pembeli, sedangkan dalam sewa-menyewa adalah pemindahan dalam
mengambil manfaat disertai pengganti, dan lain-lain.

Maudhu akad pada hakikatnya satu arti dengan maksud asli akad dan hukum akad. Hanya saja, maksud
asli akad dipandang sebelum terwujudnya akad: hukum dipandang dari segi setelah terjadinya akad atau
akibat terjadinya akad: sedangkan maudhu akad berada di antara keduanya.
Pembahasan ini sangat erat kaitannya dengan hubungan antara zhahir akad dan batinnya. Di antara para
ulama, ada yang memandang bahwa akad yang sahih harus bersesuaian antara zahir dan batin akad.
Akan tetapi, sebagian ulama lainnya tidak mempermasalahkan masalah batin atau tujuan akad.

Menurut golongan kedua, jika akad sudah memenuhi persyaratannya, yaitu dianggap sah, tanpa
mempermasalahkan apakah mengandung unsur kemaksiatan adalah. Dengan demikian akad yang
mengandung unsur kemaksiatan atau niatnya sah secara Zahir tetapi makruh tahrim karena
mengandung kemaksiatan atau niatnya tidak sesuai dengan ketetapan syara'. Ulama Hanafiyah dan
Syafi'iyah menetapkan beberapa hukum akad yang dinilai secara zahir sah, tetapi makruh tahrim, yaitu:

- Jual-beli yang menjadi perantara munculnya riba

- menjual anggur untuk dijadikan khamr

- Menjual senjata untuk menunjang pemberontakan atau fitnah, dan lain-lain .

Adapun ulama Malikiyah, Hanabilah, dan Syi'ah yang mempermasalahkan masalah batin akad,
berpendapat bahwasanya akad tidak hanya dipandang dari segi zahirnya Saja tetapi Juga batin. Dengan
demikian, tujuan memandang akad dengan sesuatu yang tidak bersesuaian dengan ketentuan syara
dianggap batal.

3. Keinginan Mengadakan Akad Al-Iradah Al-Aqdiyah

Keinginan mengadakan akad terbagi dua, yaitu berikut ini.

a. Keinginan batin (niat atau maksud) Keinginan batin dapat terwujud dengan adanya kerelaan dan
pilihan (ikhtiar). Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kerelaan dan pilihan adalah dua hal yang berbeda
sebab Ikhtiar dapat di lakukan dengan keridaan atau tidak. Adapun menurut ulama selain Hanafiyah,
rida dan pilihan (ikhtiar) adalah sama.

b. Keinginan yang zahir

Keinginan zahir adalah sighat atau lafadz yang mengungkapkan keinginan batin dan Zahir Sesuai, akad
dinyatakan sah. Akan tetapi, jika salah satunya tidak ada seperti Zahirnya orang yang Ingin jual-beli
Akadnya tidak sah sebab keinginan batinnya tidak ada

Tentang keinginan akad ini ada beberapa cabang, yaitu:


1. Gambaran

Dalam akad terkadang hanya tampak zahirnya saja, sedangkan batinnya tersembunyi (tidak tampak).
Akad seperti di atas, dalam beberapa hal dikategorikan tidak sah menurut jumhur ulama, antara lain:

a. akad ketika gila, tidur, belum mumayyiz, dan lain-lain

b. tidak mengerti apa yang diucapkan,

c. akad ketika belajar, atau bersandiwara,

d. akad karena kesalahan:

e. akad karena dipaksa:

2. Kebebasan dalam Akad

Para fuqaha memberikan batasan dalam akad yang menyangkut kebebasan akad dan kebebasan dalam
menetapkan syarat dalam akad.

a. Kebebasan berakad dan keridaan

Para ulama telah sepakat bahwa keridaan merupakan landasan dalam akad, sebagaimana disebutkan
dalam Al-Qur'an surat An-Nisa' (4) ayat 29.

Namun demikian, di antara para ulama sendiri terdapat perbedaan pendapat dalam menetapkan
keridaan ini.

- Zhahiriyah, yang mempersempit tentang keridaan, berpendapat bahwa setiap akad pada dasarnya
dilarang sampai ada dalil yang membolehkannya. Dengan demikian, setiap akad yang tidak didapatkan
dalil yang membolehkannya adalah dilarang. Mereka antara lain beralasan bahwa syariat Islam
mencakup segala aspek kehidupan manusia.

- Menurut ulama Hanabilah dan lain-lain, yang memperluas masalah keridaan, pada dasarnya setiap
akad dibolehkan sampai ada dalil syara' yang melarangnya. Mereka antara lain beralasan bahwa syara'
pada dasarnya hanya menetapkan keridaan dan ikhtiar (pilihan) pada akad.

b. Kebebasan bersyarat

Yakni kebebasan dalam memberikan syarat tentang keabsahan akad. Dalam hal ini, di antara para ulama
terbagi atas beberapa pendapat:

- Golongan Zhahiriyah yang menetapkan bahwa dasar pada syarat adalah larangan, menetapkan bahwa
setiap Syarat yang tidak ditetapkan oleh syara' adalah batil.

- Golongan kedua berpendapat bahwa dasar pada akad dan syarat adalah kebolehan.

Golongan kedua ini terbagi atas dua golongan:


I. Golongan Hanabilah yang berpendapat bahwa syarat akad adalah mutlak, yakni setiap syarat yang
tidak didapatkan keharaman menurut syara' adalah boleh.

2. Golongan selain Hanabilah yang berpendapat bahwa dasar dari syarat akad adalah batasan, yakni
setiap syarat yang tidak menyalahi batasan yang ditetapkan Syara'dipandang sah

C. Kecacatan keinginan atau rida

Kecacatan keinginan atau rida adalah perkara. perkara yang mengotori keinginan atau meng. hilangkan
keridaan secara sempurna, yang diseby kecacatan rida. Kecacatan keinginan terbagi dalan tiga macam:

a. Pemaksaan

b. Kesalahan

c. Penipuan

C.Syarat-Syarat Akad

Berdasarkan unsur akad yang telah dibahas di atas, ada beberapa macam syarat akad, yaitu syarat
terjadinya akad, syarat sah, syarat memberikan, dan syarat keharusan (lujum).

Anda mungkin juga menyukai