Anda di halaman 1dari 8

Nama : Sukmawati

Nim : 201701016

Mata Kuliah : Keperawatan Gawat Darurat

Dosen : Ns. Asnuddin, S.Kep,.M.Kes

Tugas .

Apakah Euthanasia dibolehkan atau tidak ? Bagaimana Pandangan dari Medis, dan Spiritual
(Agama Islam) apakah dibolehkan atau tidak, Serta Bagaiman Realita yang terjadi ?

Jawaban :

1. Perspektif Medis

Euthanasia adalah tindakan mengakhiri kehidupan seseorang yang disengaja. Tujuan dari
euthanasia adalah untuk mengurangi atau meringankan rasa sakit seseorang yang menderita
penyakit kronis dan sudah tidak dapat disembuhkan lagi.

seorang dokter telah mengambil Sumpah Hippokrates sebelum menjalankan tanggung jawab
mereka, maka euthanasia seharusnya tidak dilakukan dalam keadaan apapun.

Tetapi realita yang ada jika dokter mengalami kesulitan dalam menghadapi pasien yang di akhir
hayatnya sehingga euthanasia mungkin menjadi satu-satunya pilihan yang mungkin dilakukan.

Jika kita perhatikan, euthanasia sendiri memiliki beberapa jenis mulai dari euthanasia aktif
maupun pasif serta euthanasia yang disadari maupun tidak disadari.

Jika kita melihat euthanasia yang aktif, seorang dokter secara langsung memberikan
pengobatan yang akan mengakhiri kehidupan dari pasien yang sedang ditanganinya.

Hal ini jelas tidak diperbolehkan dan tidak bisa dianggap sebagai bagian dari hak kehidupan
seorang pasien. Pertimbangan ini penting karena seorang dokter harus berjuang sebisa
mungkin untuk menyelamatkan kehidupan sang pasien walaupun dalam keadaan yang
mustahil.
Permasalahan akan muncul dalam euthanasia pasif karena yang dilakukan dalam keadaan ini
adalah seorang dokter berhenti memberikan pengobatan kepada seorang pasien yang dianggap
tidak memiliki kemampuan untuk sembuh dan kondisi badannya sudah mendekati akhir dari
kehidupannya.

Dalam hal ini, proses euthanasia yang pasif masih bisa dipertimbangkan karena setidaknya
seorang dokter akan melakukan konsultasi dengan pasien tersebut (jika masih bisa memberikan
izin untuk melakukan tindakan euthanasia) atau dengan anggota keluarga terdekat jika pasien
tidak bisa mengambil keputusan secara sadar.

Beberapa pertimbangan yang mendukung tindakan euthanasia dilakukan, seperti keadaan


keuangan keluarga yang kurang memungkinkan untuk membiayai pasien yang sangat kecil
kemungkinannya untuk selamat.

Selain itu, pada beberapa kasus, ada juga pertimbangan lain seperti pada pasien yang berada
dalam kondisi koma atau mengalami dementia, maka secara tidak langsung seorang dokter
mungkin harus mengambil tindakan euthanasia tanpa persetujuan dari pasien dengan
mempertimbangkan kepentingan terbaik dari pasien tersebut.[3]

Namun hal ini sangat dilarang menjadi faktor penentu dalam melakukan tindakan euthanasia
karena hal ini bisa ditafsirkan juga sebagai bentuk pemaksaan kehendak dokter tersebut, bukan
kepentingan terbaik dari pasien yang ditanganinya.

Kode Etik Kedokteran Indonesia

Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa: “seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang
dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya sebagai seorang profesi dokter harus sesuai
dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan agama.

9 KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan
untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam menjalankan profesinya
seorang dokter tidak boleh melakukan:

1.Menggugurkan kandungan (Abortus Provocatus),

2.Mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin
akan sembuh lagi (euthanasia).
5 Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang dipakai sangatlah
bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut adalah masalah legalitas dari
perbuatan euthanasia. Walaupun pada dasarnya di Indonesia tindakan euthanasia termasuk
dalam perbuatan tindak pidana yang diatur dalam pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP). Di negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia
mendapatkan tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh negara
Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan. Ada tiga petunjuk
yang dapat digunakan untuk menentukan syarat prasarana luar biasa untuk melakukan
euthanasia. Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak dapat
disembuhkan lagi. Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu mahal. Ketiga,
dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan medis tersebut. Dalam kasus-
kasus seperti inilah orang sudah tidak diwajibkan lagi untuk mengusahakan obat atau
melakukan tindakan medis. Bahkan, euthanasia dengan menyuntik mati disamakan dengan
tindakan pidana pembunuhan. Alternatif terakhir yang mungkin bisa diambil adalah
penggunaan sarana via extraordinaria. Jika memang dokter sudah angkat tangan dan
memastikan secara medis penyakit tidak dapat disembuhkan serta masih butuh biaya yang
sangat besar jika masih harus dirawat, apalagi perawatan harus diusahakan secara ekstra, maka
yang dapat dilakukan adalah memberhentikan proses pengobatan dan tindakan medis di rumah
sakit.

Konstruksi Yuridis Euthanasia

Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban tersendiri bagi
komunitas hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah persoalan euthanasia akan
bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan
regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat di
dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah kebingungan kultural karena
munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya. Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis
formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu
euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia)
sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas
menyatakan, “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri
yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun.

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas
dinyatakan, “ Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Sementara dalam ketentuan Pasal 340
KUHP dinyatakan, “ Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas
nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.

Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk
menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam
terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi
nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”. Selain itu patut juga diperhatikan
adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2). Dalam ketentuan
Pasal 304 KUHP dinyatakan, “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan
seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah”.

[4]Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan
kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”. Dua
ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum
positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak
pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering
terjadi di Indonesia.

2. Dalam Ajaran Islam

Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak
seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada
manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22:
66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks
dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada
sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain
disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya
adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang
membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu
tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena
kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun
negatif. Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan
bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun
pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga.

Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam
praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama,
dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan
penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti
melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain
merupakan tindak pidana di negara mana pun. (Utomo, 2003:178).

A. Euthanasia Aktif

Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan
sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan
pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan.
Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).

Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif.
Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang
merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar. Dokter yang melakukan euthanasia aktif,
misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi
qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman
Allah :

“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-
Baqarah : 178)

Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan),
qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat
(tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.

Firman Allah SWT : “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-
Baqarah : 178)

B. Euthanasia Pasif

Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan
pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan
yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien.
Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara
menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien.

Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat
(at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam
masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu
hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan
berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).

Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini
berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk
berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan
yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah).

3. Euthanasia dalam Perspektif Spiritual

Euthanasia bertentangan dengan firman dan kehendak Tuhan YME “Orang-orang beragama
tidak membantah bahwa kita tidak dapat membunuh diri kita sendiri, atau membuat orang lain
melakukannya. Mereka tahu bahwa kita dapat melakukannya karena Tuhan telah memberi kita
kehendak bebas. Argumen mereka adalah bahwa akan salah jika kita melakukannya.”

“Mereka percaya bahwa setiap manusia adalah ciptaan Tuhan, dan ini memaksakan batas-
batas tertentu pada kita. Hidup kita bukan hanya kehidupan untuk kita perlakukan sesuai
kehendak kita.”

“Membunuh diri sendiri, atau membuat orang lain melakukannya untuk kita, adalah
menyangkal Tuhan YME, dan menolak hak-hak Tuhan atas hidup kita dan hakNya untuk
memilih durasi hidup kita dan cara berakhirnya hidup kita.”
Ref: BBC mengenai Euthanasia

Kesimpulan

Pada pasien penderita sakit terminal, sangat membutuhkan pendampingan dan kasih sayang
dari keluarga bukan lagi membutuhkan kebutuhan fisik, tetapi lebih pada kebutuhan psikis dan
emosional, sehingga kita dapat menyelesaikan persoalan-persoalan pribadi dan pasien sudah
siap menerima kematian dan meninggal dunia dalam keadaan bahagia dan sehat.

Dari segi medis bahwa dalam proses euthanasia pasif masih perlu dipertimbangkan jika pasien
tidak sadar dalam mengambil keputusan. Berbeda hal nya dengan euthanasia aktif yang secara
langsung tidk diperbolehkan karena dianggap secara langsung membantu pasien mengakhiri
hidupnya dengan memberhentikan pengobatan

Dalam hukum (pidana) positif di Indonesia belum memberikan ruang bagi euthanasia baik
euthanasia aktif maupun euthanasia pasif. secara etika, tugas seorang dokter adalah untuk
menyembuhkan, bukan membunuh. Untuk mempertahankan hidup, bukan untuk
mengakhirinya. Kemudian dalam perspektif agama,. Euthanasia aktif haram hukumnya
dilakukan sebagaimana dalil-dalil yang telah dijelaskan diatas. Tetapi pada euthanasia pasif
tergantung dari pengetahuan tentang hukum berobat, pengobatan yang dilakukan oleh pasien.
Dari segi hukum seorang dokter yang melakukan euthanasia berarti melakukan tindakan
melanggar hukum sebagaimana yang dijelaskan pada Ketentuan UU KUHP.

Dalam persepektif Spiritual, Euthanasia bertentangan dengan firman Allah SWT.

Daftar Pustaka

https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/jadeeamartyaputriwiranata9111
/5d5aa6350d8230388f5795a3/isu-kedokteran-euthanasia

https://id.scribd.com/doc/29263361/Euthanasia-Dalam-Medis-Dan-Hukum-Indonesia

https://anaksholeh.net/euthanasia-menurut-hukum-islam

https://www.spiritualresearchfoundation.org/indonesian/penelitian-spiritual/permasalahan-
sosial/penelitian-spiritual-permasalahan-sosial-euthanasia/

Anda mungkin juga menyukai