PENDAHULUAN
1
kematian terjadi sebelum penderita infark miokard mencapai rumah sakit.
Infark miokard akut dengan ST-elevasi merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Namun, setelah adanya
pelayanan CCU (Coronary Care Unit), angka kematian turun menjadi 20%
dan setelah penggunaan terapi trombolitik dapat menurunkan angka
kematian menjadi 10% .4
Penyakit kardiovaskuler di Amerika Serikat pada tahun 2005,
mengakibatkan 864.500 kematian atau 35,3% dari seluruh kematian pada
tahun itu, dan 151.000 kematian akibat infark miokard. Sebanyak 715.000
orang di Amerika Serikat diperkirakan menderita infark miokard pada
tahun 2012.7 Sebanyak 478.000 pasien di Indonesia terdiagnosis penyakit
jantung koroner menurut Departemen Kesehatan pada tahun 2013.
Prevalensi infark miokard akut dengan ST-elevasi saat ini meningkat dari
25% ke 40%.8
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Miokard infrak adalah kejadian oklusi mendadak di arteri koroner
epikardial dengan gambaran EKG elevasi segmen ST. Kerusakan miokard
yang terjadi tergantung pada letak dan lamanya sumbatan alirandarah, ada
atau tidaknya kolateral, serta luas wilayah miokard yang
diperdarahi pembuluh darah yang tersumbat STEMI (ST Elevasi Myocard
Infarction) merupakan bagian dari sindrom koroner akut yang ditandai
dengan adanya elevasi segmen ST. STEMI terjadi karena oklusi
total pembuluh darah koroner yang tiba-tiba.3
Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot
jantung yangdisebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen.9Klinis sangat mencemaskan karena sering berupa
serangan mendadak umumya pada pria 35-55 tahun, tanpa gejala
pendahuluan.10
2.2 ETIOLOGI
Berdasarkan etiologi yang mendasarinya, infark miokard dibagi menjadi
lima tipe menurut persatuan dari ESC/ACCF/AHA/WHF, yaitu11
Tipe 1 (Infark miokard spontan)
Hal ini berhubungan dengan rupturnya plak aterosklerotik, ulserasi,
fisura, erosi, atau diseksi dengan trombus intraluminal pada satu atau
lebih arteri koroner, yang menyebabkan penurunan aliran darah
miokard atau emboli trombosit distal sehingga menyebabkan nekrosis
miosit. Pasien dapat saja didasari dengan penyakit obstruksi arteri
koroner.
Tipe 2 (Infark miokard sekunder akibat ketidakseimbangan iskemik)
Infark miokard ini dapat disebabkan akibat peningkatan kebutuhan
oksigen atau berkurangnya suplai oksigen. (misalnya disfungsi endotel
3
koroner, spasme arteri koroner, emboli pada arteri koroner,
takiaritmia, bradiaritmia, anemia, gagal napas, hipertensi, atau
hipotensi.
Tipe 3 (Infark miokard yang menyebabkan kematian dengan nilai
biomarker jantung tidak tersedia)
Kematian jantung terjadi mendadak dan tidak terduga sebelum sampel
darah untuk biomarker dapat diambil atau sebelum kemunculannya
dalam sirkulasi.
Tipe 4a (Infark Miokard terkait dengan Percutaneous Coronary
Intervention(PCI))
Infark miokard yang terjadi dengan peningkatan nilai biomarker
jantung lebih dari 5 kali dari nilai normal atau peningkatan lebih dari
20%. Selain itu juga diikuti dengan salah satu dari gejala berikut (1)
gejala yang menunjukkan iskemia miokard, (2) perubahan EKG
iskemik yang baru atau Bandle Branch Block (BBB) yang baru, (3)
hilangnya patensi angiografi dari arteri koroner utama atau atau
bagian dari percabangannya, atau aliran lambat yang persisten, atau
tidak ada aliran, atau embolisasi, (4) hilangnya kemampuan
miokardium yang baru atau kelainan dinding regional yang baru
dengan pencitraan jantung.
Tipe 4b (Infark Miokard terkait dengan trombosis stent)
Hal ini terdeteksi dengan angiografi koroner atau otopsi dalam
pengaturan iskemia miokard dengan kombinasi peningkatan atau
penurunan nilai biomarker jantung, yang sedikitnya lebih tinggi satu
nilai dari persentil ke-99.
Tipe 5 (Infark Miokard terkait dengan Coronary Artery Bypass
Grafting (CABG))
Hal ini dilihat dari peningkatan nilai biomarker jantung yang
meningkat (lebih dari 10 kali dari persentil ke-99) dengan nilai
troponin dasar T yang normal. Selain itu, (1) gelombang Q patologis
atau BBB yang baru, (2) Graft baru atau oklusi pada arteri koroner
4
yang asli, yang didokumentasikan secara angiografi, (3) bukti dari
baru hilangnya kemampuan miokardium atau abnormalitas gerakan
dinding regional yang harus terlihat dari pencitraan jantung.11
5
bebankerja jantung bertambah. Sebagai akibatnya terjadi
hipertrofiventrikel untuk meningkatkan kekuatan kontraksi,
hipertrofikompensasi menyebabkan terjadinya dilatasi dan
payahjantung.Bila poses aterosklerosis terjadi, maka
penyediaanoksigen untuk miokard berkurang. Tingginya
kebutuhanoksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai
denganrendahnya kadar oksigen yang tersedia. Hal ini
meningkatkankemungkinan terjadinya angina atau infark miokard
akut.
2) Kolesterol Tinggi
Tingkat kolesterol digolongkan dua macam unsur yaitu LDL(Low-
density lipoprotein) dan HDL (High-density lipoprotein).LDL
adalah kolesterol jahat yang menempel di dindingpembuluh darah
yangakan membentukfibrous cap. Ateromaadalah penyebab utama
penyakit jantung khususnya karena terbentuknya aliran darah
dalam pembuluh darah.
3) Obesitas
Obesitas meningkatkan risiko terkenapenyakit jantungkoroner.
Sekitar 25-49% penyakit jantung koroner dinegaraberkembang
berhubungan dengan peningkatan indeks masatubuh
(IMT)Overweightdengan IMT >25-30 kg/m2Danobesitas dengan
IMT > 30 kg/m2. Obesitas sentral adalahobesitas dengan kelebihan
lemak berada di abdomen. Biasanyakeadaan ini juga berhubungan
dengan kelainan metabolikseperti peninggian kadar trigliserida,
penurunan HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi
sistemik, resistensiinsulin dan diabetes mellitus tipe II.
4) Diabetes Mellitus
Penderita diabetes cenderung memiliki prevalensi,prematuritas,
dan keparahan aterosklerosis koroner yang lebihtinggi. Diabetes
melitus menginduksi hiperkolesterolemia dansecara bermakna
meningkatkan kemungkinan timbulnyaaterosklerosis. Diabetes
6
melitus juga berkaitan denganproliferasi sel otot polos dalam
pembuluh darah arteri koroner;sintesis kolesterol, trigliserida, dan
fosfolipid; peningkatankadar LDL-C; dan kadar HDL-C yang
rendah. Aterosklerosisdapat menyebabkan emboli yang kemudian
menyumbat danterjadi iskemik pada jantung, sehingga perfusike
otot jantungmenurun. Pada penderita DM juga mengalami
penurunanpenggunaan insulin dan peningkatan glukogenesis,
sehinggaterjadi hiperosmolar sehingga aliran darah lambat, maka
perfusiotot jantung menurun sehingga terjadi kegagalan jantung
dalamkontraksi.
5) Merokok
Merokok meningkatkan risiko terkena penyakit jantungkoroner
sebesar 50%. Seorang perokok pasif mempunyai risikoterkena
infark miokard. Kandungan nikotin dalam rokok dapatmenggangu
sistem saraf simpatis dengan akibat meningkatnyakebutuhan
oksigen miokard. Nikotin juga merangsangpelepasan adrenalin,
meningkatnya frekuensi denyut jantung,tekanan darah, serta
menyebabkan gangguan irama jantung.Karbon monoksida
menyebabkan desaturasi hemoglobin,menurunkan langsung
persediaan oksigen untuk jaringandiseluruh tubuh termasuk
miokard. Hal ini juga menyebabkanmempercepat pembentukan
aterosklerosis. Nikotin, CO danbahan-bahan lain dalam rokok juga
terbukti merusak endotelpembuluh darah dan mempermudah
timbulnya penggumpalandarah.
6) Psikososial
Faktor psikososial seperti peningkatan stress kerja,
rendahnyadukungan sosial, personalitas yang tidak simpatis,
anxietas dandepresi secara konsisten meningkatkan risiko terkena
aterosklerosis.
7
2.3 PATOFISIOLOGI13,14
Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya
aterosklerosis kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah. Penyakit
aterosklerosis ditandai dengan formasi bertahap fatty plaque di dalam
dinding arteri. Lama-kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam lumen,
sehinggadiameter lumen menyempit. Penyempitan lumen mengganggu
aliran darah kedistal dari tempat penyumbatan terjadi.
Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus
tipe II, hipertensi, reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan
disfungsi dan aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas
menimbulkan injury bagi sel endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-sel
tidak dapat lagi memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti nitric
oxide, yang berkerja sebagai vasodilator, anti-trombotik dan anti-
proliferasi.Sebaliknya,disfungsi endotel justru meningkatkan produksi
vasokonstriktor, endotelin-1,dan angiotensin II yang berperan dalam
migrasi dan pertumbuhan sel.
Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel
teraktivasi.Kemudianleukosit bermigrasi ke sub endotel dan berubah
menjadi makrofag.Di sini makrofag berperan sebagai pembersih dan
bekerja mengeliminasikolesterol LDL. Sel makrofagyang terpajan dengan
kolesterol LDLteroksidasi disebut sel busa (foam cell).
Faktor pertumbuhan dan trombosit menyebabkan migrasi otot polos dari
tunika media kedalam tunika intima dan proliferasi matriks. Proses ini
mengubah bercak lemak menjadi ateroma matur. Lapisan fibrosa menutupi
ateroma matur, membatasi lesi dari lumen pembuluh darah. Perlekatan
trombosit ke tepian ateroma yangkasarmenyebabkan terbentuknya
trombosis. Ulserasi atau ruptur mendadak lapisanfibrosa atau perdarahan
yang terjadi dalam ateroma menyebabkan oklusi arteri.
8
Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh
formasi plak.Kejadian tersebut secara temporer dapat memperburuk
keadaanobstruksi,menurunkan aliran darah koroner, dan menyebabkan
manifestasiklinis infark miokard. Lokasi obstruksi berpengaruh terhadap
kuantitasiskemia miokard dankeparahan manifestasi klinis penyakit. Oleh
sebab itu,obstruksi kritis pada arterikoroner kiri atau arteri koroner
desendens kiri berbahaya.
Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke
jaringanmiokardmenurun dan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi
mekanis, biokimia danelektrikal miokard. Perfusi yang buruk ke
subendokard jantungmenyebabkan iskemiayang lebih berbahaya.
Perkembangan cepat iskemiayang disebabkan oklusi total atausubtotal
arteri koroner berhubungan dengankegagalan otot jantung berkontraksi
dan berelaksasi.
Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas
metabolisme,fungsi danstruktur sel. Miokard normal memetabolisme asam
lemak danglukosa menjadikarbon dioksida dan air. Akibat kadar oksigen
yang berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa diubah
menjadi asamlaktat dan pH intrasel menurun.Keadaaan ini mengganggu
stabilitas membransel. Gangguan fungsi membran selmenyebabkan
kebocoran kanal K+ danambilan Na+ oleh monosit. Keparahan dandurasi
dari ketidakseimbanganantara suplai dan kebutuhan oksigen
menentukanapakah kerusakan miokardyang terjadi reversibel (<20 menit)
atau ireversibel (>20menit). Iskemia yangireversibel berakhir pada infark
miokard .
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di
arterikoroner,maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST
(STEMI).Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak
menimbulkan STEMIkarena dalam rentangwaktu tersebut dapat terbentuk
pembuluh darahkolateral. Dengan kata lain STEMIhanya terjadi jika arteri
koroner tersumbat cepat. Non STEMImerupakan tipe infark miokard tanpa
9
elevasi segmen STyang disebabkan olehobstruksi koroner akibat erosi dan
ruptur plak. Erosi danruptur plak ateromamenimbulkan
ketidakseimbangan suplai dan kebutuhanoksigen. Pada Non
STEMI,trombus yang terbentuk biasanya tidak menyebabkan oklusi
menyeluruh lumen arteri koroner. Infark miokard dapat bersifat transmural
dan subendokardial(nontransmural).
Infark miokard transmural disebabkan oleh oklusi arterikoroner
yang terjadi cepatyaitu dalam beberapa jam hingga minimal 6-8
jam.Semua otot jantung yang terlibatmengalami nekrosis dalam waktu
yang bersamaan. Infark miokard subendokardialterjadi hanya di sebagian
miokarddan terdiri dari bagian nekrosis yang telah terjadi pada waktu
berbeda-beda.
10
Pasien dengan diabetes melitus tidak akan mengalami nyeri yang
hebatkarena neuropati yang menyertai diabetes dapat mengganggu
neuroreseptor (mengumpulka pengalaman nyeri).
2. Laboratorium
Pemeriksaan Enzim jantung :
CPK-MB/CPK
Isoenzim yang ditemukan pada otot jantung meningkat antara 4-6
jam,memuncak dalam 12-24 jam, kembali normal dalam 36-48
jam.
LDH/HBDH
Meningkat dalam 12-24 jam dan memakan waktu lama untuk
kembalinormal
AST/SGOT
Meningkat ( kurang nyata/khusus ) terjadi dalam 6-12 jam,
memuncak dalam24 jam, kembali normal dalam 3 atau 4 hari.
3. EKG ( Elektrokardiogram)
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain
yang mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG
12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat.
Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya
direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang
mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan
V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang
mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman
EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang
gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan
angina timbul kembali.
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan
angina cukup bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left
Bundle Branch Block) baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST
11
yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi
segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan
pada 2 sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen
ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan pada
sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai
ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis
kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada
pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun
adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai ambang
elevasi segmen ST di leadV1-3, tanpa memandang usia, adalah
≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST
di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30
tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di
sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang
resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh
segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika
STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA
dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB
(komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah
kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang
diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi
sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.
12
Tabel 1.Lokasi Perubahan gambaran EKG
Sadapan dengan Deviasi Segmen ST Lokasi Iskemia atau Infark
V1-V4 Anterior
V5-V6, I, aVL Lateral
II, III, aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel kanan
13
CPKMB, LDH, AST
Elektrolit.
Ketidakseimbangan dapat mempengaruhi konduksi dan
kontraktilitas,missalhipokalemi, hiperkalemi
Sel darah putih
Leukosit ( 10.000 – 20.000 ) biasanya tampak pada hari ke-2
setelah IMA berhubungan dengan proses inflamasi
GDA
Dapat menunjukkan hypoksia atau proses penyakit paru akut atau
kronis.
Kolesterol atau Trigliserida serum
Meningkat, menunjukkan arteriosclerosis sebagai penyebab AMI.
Foto dada
Mungkin normal atau menunjukkan pembesaran jantung diduga
GJK atauaneurisma ventrikuler.
Ekokardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup
ataudinding ventrikuler dan konfigurasi atau fungsi katup.
Angiografi koroner
Menggambarkan penyempitan atau sumbatan arteri koroner.
Biasanyadilakukan sehubungan dengan pengukuran tekanan
serambi dan mengkajifungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi). Prosedur
tidak selalu dilakukan pada fase AMI kecuali mendekati bedah
jantung angioplasty atau emergensi.
Digital subtraksion angiografi (PSA)
Nuklear Magnetic Resonance (NMR)
Memungkinkan visualisasi aliran darah, serambi jantung atau
katupventrikel, lesivaskuler, pembentukan plak, area nekrosis atau
infark dan bekuan darah.
14
Menentukan respon kardiovaskuler terhadap aktifitas atau
seringdilakukan sehubungan dengan pencitraan talium pada fase
penyembuhan.
2.6 DIAGNOSIS5
Diagnosis IMA ditegakkan bila didapatkan dua atau lebihdari 3
kriteria, yaitu
a. Adanya nyeri dada
Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan
pemberiannitrat biasa.
b. Perubahan elektrokardiografi (EKG)17
Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal
miokard infark akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total
arteri koroner menunjukkanelevasi segmen ST. Kemudian
gambaran EKG berupa elevasi segmen STakan berkembang
menjadi gelombang Q. Sebagian kecil berkembang
menjadigelombang non-Q. Ketika trombus tidak menyebabkan
oklusi total, makatidak terjadi elevasi segmen ST. Pasien
dengan gambaran EKG tanpa elevasisegmen ST digolongkan
ke dalam unstable angina atau Non STEMI.
15
Gambar 1. Evolusi Perubahan Gambaran EKG STEMI ke Infark
Miokard5, 15,16
Gambaran khas berupa depresi segmen ST lebih dari 0,5 mm (0,05 mV)
pada dua atau lebih sadapan yang bersesuaian atau inversi gelombang T
yang dalam dan simetris. Morfologi depresi segmen ST biasanya datar
16
atau downsloping. Gambaran depresi seg-men ST pada angina tidak stabil
atau NSTEMI bersifat sesaat (transient) dan dinamis.
1. Gelombang T hiperakut
Pada periode awal terjadinya STEMI, bisa didapatkan adanya gelombang
T prominen. Gelombang T prominen itu disebut gelombang T hiperakut,
yaitu gelombang T yang tingginya lebih dari 6 mm pada sadapan
ekstremitas dan lebih dari 10 mm pada sadapan prekordial. Gelombang T
hiperakut ini merupakan tanda sugestif untuk STEMI dan terjadi dalam 30
menit setelah onset gejala. Namun, gelombang T prominen ini tidak selalu
spesifik untuk iskemia.
2. Gambaran awal elevasi segmen ST
Jika oklusi terjadi dalam waktu lama dan de-rajatnya signifikan
(menyumbat 90% lumen arteri koroner), gelombang T prominen akan
diikuti dengan deviasi segmen ST. Elevasi segmen ST menggambarkan
17
adanya daerah miokardium yang berisiko mengalami kerusakan ireversibel
menuju kematian sel (dapat diukur berdasarkan peningkatan kadar
troponin) dan lokasinya melibatkan lapisan epikardial. Diagnosis STEMI
ditegakkan jika didapatkan elevasi segmen ST minimal 0,1 mV (1 mm)
pada sadapan ekstremitas dan lebih dari 0,2 mV (2 mm) pada sadapan pre-
kordial di dua atau lebih sadapan yang ber-sesuaian. Elevasi segmen ST
merupakan gambaran khas infark miokardium akut transmural, tetapi bisa
ditemukan pula pada kelainan lain. Pada kebanyakan kasus, untuk
membedakan STEMI dari kelainan lain biasa-nya tidak sulit, cukup
dengan memperhatikan gambaran klinisnya.
3. Elevasi Segmen ST yang khas (berbentuk konveks)
Gelombang R mulai menghilang. Pada saat bersamaan, mulai terbentuk
gelombang Q patologis. Gelombang Q patologis berhubungan dengan
infark transmural yang disertai dengan adanya fibrosis pada seluruh
dinding. Pada 75% pasien, elevasi segmen ST yang khas ini terbentuk
dalam beberapa jam sampai beberapa hari.
4. Inversi gelombang T
Bila berlangsung lama dan tidak dilakukan reperfusi arteri koroner, elevasi
segmen ST mulai menghilang kembali ke garis isoelek-trik. Bersamaan
dengan itu, mulai timbul gambaran inversi gelombang T. Gelombang T
dapat kembali normal dalam beberapa hari, minggu, atau bulan
5. Morfologi segmen ST kembali normal
Segmen ST biasanya stabil dalam 12 jam, kemudian mengalami
resolusisempurna setelah 72 jam. Elevasi segmen ST biasanya menghilang
sempurna dalam 2 minggu pada 95% kasus infark miokardium inferior dan
40% kasus infark miokardium anterior. Elevasi segmen ST yang menetap
setelah 2 minggu berhubungan dengan morbiditas yang lebih tinggi. Jika
elevasi segmen ST menetap selama beberapa bulan, perlu dipikirkan
kemungkinan adanya aneurisma ventrikel.
Untuk menentukan lokasi iskemia atau infark miokard serta memprediksi
pembuluh koroner mana yang terlibat, diperlukan dua atau lebih sadapan.
18
Infark tidak hanya terbatas pada satu daerah jantung saja. Sebagai
contoh, jika terdapat perubahan pada sadapan V dan V (anterior) serta
pada sadapan I, aVL, V , dan V (lateral), diag-nosisnya menjadi infark
miokard antero-lateral.
Tabel 2. Evolusi Gambaran EKG Iskemia Miokardium
c. Laboratorium.11,15,16
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T
merupakan marka nekrosis miosit jantung dan menjadi marka
untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka
nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih
tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat
19
dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut
(penyebab koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat
meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti
takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel
kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat
meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar,
gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi
pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya
troponin T dan troponin I memberikan informasi yang
seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada
keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I
mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T.
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau
troponin I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam
setelah awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam
setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan
dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam
setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat
dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal
(menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh
yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat,
CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark
(infark berulang) maupun infark periprosedura. Pemeriksaan
marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral.
Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung
(point of care testing) pada umumnya berupa tes kualitatif atau
semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit) tetapI kurang
sensitif.Point of care testing sebagai alat diagnostik rutin SKA
hanya dianjurkan jika waktu pemeriksaan di laboratorium
sentral memerlukan waktu >1 jam. Jika marka jantung secara
20
point of care testing menunjukkan hasil negatif maka
pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral.
.
2.7 PENATALAKSANAAN5,18
Tujuan tata laksana IMA adalah diagnosis cepat, mrnghilangkan
nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin
dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat
penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA.
Dibagi menjadi 2 jenis yaitu :
1. Tatalaksana Awal
2. Tatalaksana Umum :
Medikamentosa
Revaskularisasi
a. TATALAKSANA AWAL 19
Tatalaksana pra-rumah sakit. Prognosis STEMI sebagian besar
tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu komplikasi
elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure).
Sebagian besar kematian di luar RS pada STEMI
disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian
besar terjadi dala 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari
21
separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama
tatalaksana pra-RS pada pasien yang dicurigai STEMI.
Penegnalan gejala oeh pasien dan segera mencari
pertoongan medis
Segera memanggil tim medis emegensi yang dapat
melakukan tindakan resusitasi
Transportasi pasien ke RS yang memiliki fasilitas
ICCU/ICU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih
Melakukan terapi reperfusi
Tatalaksana di IGD. Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien
yang dicurigai STEMI mencakup
mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat
pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera,
triase pasien risiko rendah ke ruangan yng tepat di RS dan
menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI
22
dihindarkan pada pasien dengan tensi sitolik < 90mmHg atau
pasien yang menggunakan fosfodiesterase-5 inhibitor slidenafil
dalam 24 jam sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi
nitrat.
Mengurangi/menghilangkan nyeri dada nyeri dada
sangat penting, karena nyeri dikaitkan dengan aktivasi simpatis
yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban
jantung.
Morfin. Morfin sangat efektif mengurangi nyeri
dada dan merupakan analgesik pilihan dalam
tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin
diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulangi
dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20
mg.
Apirin. Aspirin merupakan tatalaksana dasar paien
yang dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum
SKA. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai
dengan absorbsi aspirin buccal dengan dosis 160-
325 mg di UGD. Selanjutnya aspirin diberikan oral
dengan dosis 75-162 mg.
Terapi reperfusi. Reperfusi dini akan
memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan
mengurangi kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadipump failure atau takiaritmia
ventrikular yang maligna. Sasaran terapi reperfusi
adalah door-to-needle time untuk memulai terapi
fibronilitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-
to-balloon time untuk PCI dapat dicapai dalam 90
menit.
23
Seleksi strategi reperfusi3,5
Beberapa hal harus dipertimbangkan dalam seleksi jenis
terapi reperfusi, antara lain:
1. Waktu onset gejala
Waktu onset untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor
penting luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat
fibrinolisis dalam menghancurkan trombus sangat tergantung
waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam pertama
(terutama dalam jam pertama) terkadang menghentikan infark
miokard dan secara dramatis menurunkan angka kematian.
Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang
mengalami infark menjadi paten, kurang lebih tergantung pada
lama gejala pasien yang menjalani PCI. Beberapa laporan
menunjukan tidak ada pengaruh keterlambatan waktu terhadap
laju mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2-3 jam setelah
gejala.
2. Risiko STEMI
Beberapa model telah dikemangkan yang membantu dokter
dalam menilai risiko mortalitas pada pasien STEMI. Jika,
estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat tinggi, seperti
pada pasien dengan syok kardiogenik, bukti klinis menunjukan
strategi PCI lebih baik.
3. Risiko Perdarahan
Pemilihan terapi reperfusi juga melibatkan risiko
perdarahan pada pasien. Jika tersedia PCI dan fibrinolisis,
semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolisis,
semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika tidak
tersedia, manfaat terapi reperfusi farmakologis harus
mempertimbangkan manfaat dan risiko.
24
4. Waktu yang dibutuhkan untuk transportasi ke laboratorium PCI
Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu
utama apakah PCI dapat dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat
mengerjakan PCI, penelitian menunjukan PCI lebih superior
dari reperfusi farmakologis. Jika composite end point
kematian, infark miokard rekuren nonfatal atau stroke
dianalisis, superioritas PCI terutama dalam hal penurunan laju
infark miokard nonfatal berulang.
25
Gambar 5. Stenosis dan yang sudah dilakukan stent.
26
Gambar 6. Langkah-langkah reperfusi
Fibrinolisis
Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi
arteri koroner. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara
lain: tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase,
tenekteplase (TNK) dan reteplase (rpA). Semua obat ini bekerja
dengan cara memicu koversi plasminogen menjadi plasmin, yang
selanjutnya melisikan trombus fibrin. Terdapat 2 kelompok, yaitu:
27
golongan spesifik fibrin seperti tPA dan nonspesifik fibrin seperti
streptokinase.
Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3
( menunjukan perfusi pembuluh yang mengalami infark dengan
aliran normal, karena perfusi penuh pada arteri koroner yang
terkena infark menunjukan hasil yang lebih baik dalam membatasi
luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan
menurunkan laju mortalitas jangka pendek dan panjang.
tPA dan aktivator plasminogen spesifik fibrin lain seperti
rPA dan TNK lebih efektif daripada streptokinase dalam
mengembalikan perfusi penuh, aliran koroner TIMI grade 3 dan
memperbaiki survival sedikit lebih baik.
5. Obat fibrinolitik
Streptokinase (SK). Merupakan fibrinolitik nonspesifik fibrin.
Pasien yang pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan
pajanan selanjutnya karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi
sering ditemukan. Manfaat mecakup harganya yang murah dan
insiden perdarahan intrakranial yang rendah.
Tissue plasminogen activator (tPA,alteplase). GUSTO-1 trial
menunjukan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien
yang mendapat tPA disbanding SK. Namun, harganya lebih mahal
dari SK dan risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi.
Reteplase (retavase). INJECT trial menunjukan efikasi dan
keamanan sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO trial III,
dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih
panjang.
Tenekteplase (TNKase). Keuntungan mencakup memperbaiki
spesifitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap PAI-1. Laporan awal
dari TIMI 10 B menunjukkan TNKase memiliki laju TIMI 3 flow
dan komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan dengan tPA.
28
Tabel 3. Indikasi Kontra terapi fibrinolitik
TERAPI FARMAKOLOGIS5,15,18
1. Antitrombotik
Tujuan primer pengobatan adalah untuk memantapkan dan
mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Tujuan
sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi trombosis.
Aspirin merupakan antipletelet standar pada STEMI. Obat anti trombin
standar yang digunakan dalam praktik klinis adalah unfractionated
heprin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi regimen
aspirin dan obat trpmbolitik spesifik fibrin membantu trombolisis dan
menetapkan dan mempertahankan patensi arteri yang terkait infark.
Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/g (maksium 4000 U)
dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam ( maksimum 1000 U/jam).
APTT selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.
29
Antikoagulan alternatif pada pasien STEMI adalah low-molecular-
weight heparin (LMWH).
2. Beta-Blocker
Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi
menjadi: yang terjadi segera bila obat diberikan secara akut dan yang
diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan
sekunder setelah infark. Pemberian penyekat beta akut IV
memperbaiki keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard,
mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko
kejadian aritmia ventrikel yang serius.
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian
besar pasien termasuk yang mendapat terapi inhibitor ACE, kecuali
pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau
fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi
ortostatik atau riwayat asma).
3. Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan
manfaat terhadap moratlitas bertambah dengan penambahan aspirin
dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukan
manfaat inhibitor ACE yang jelas. Manfaat maksimal tampak pada
pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark inferior,
riwayat infark sebelumnya dan/atau fungsi ventrikel kiri menurun
global), namun bukti menunjukkan manfaat jangka pendek terjadi jika
inhibitor ACE dberikan pada semua pasien dengan hemodinamik stabil
pada STEMI (pasien dengan tekanan darah sistolik>100 mmHg).
Mekanismenya melibatkan penurunan remodeling ventrikel pasca
infark dengan penurunan risiko gagal jantung. Kejadian infark
berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE
menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pasien
STEMI. Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada
30
pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan
pemeriksaan pencitraan menunjukan penurunan fungsi ventrikel kiri
secara global atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau
pasien hipertensif. Penelitian klinis dalam tatalaksana pasien gagal
jantung termasuk data dari penelitian pada pasien STEMI menujukan
bahwa ARB mungkin bermanfaat pada pasien dengan fungsi ventrikel
kiri menurun.
31
Selain itu, nilai marka jantung tersebut dipengaruhi beberapa keadaan
seperti hipertrofi ventrikel kiri, takikardia, iskemia, disfungsi ginjal,
usia lanjut, obesitas dan pengobatan yang sedang dijalani. Sejauh ini
belum ada nilai rujukan definitif pada pasien-pasien dengan tanda dan
gejala gagal jantung setelah infark akut, dan nilai yang didapatkan
perlu diinterpretasikan berdasarkan keadaan klinis pasien.
Disfungsi ventrikel kiri merupakan satu-satunya prediktor
terkuat untuk mortalitas setelah terjadinya STEMI. Mekanisme
terjadinya disfungsi ventrikel kiri dalam fase akut mencakup hilangnya
dan remodeling miokardium akibat infark, disfungsi iskemik
(stunning), aritmia atrial dan ventrikular serta disfungsi katup (baik
yang sudah ada atau baru). Komorbiditas seperti infeksi, penyakit paru,
gangguan ginjal, diabetes atau anemia seringkali menambah gejala
yang terlihat secara klinis.
b. Hipotensi
Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di
bawah 90 mmHg. Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung,
namun dapat juga disebabkan oleh hipovolemia, gangguan irama atau
komplikasi mekanis. Bila berlanjut, hipotensi dapat menyebabkan
gangguan ginjal, acute tubular necrosisdan berkurangnya urine output.
c. Kongesti paru
Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronki basah paru di
segmen basal, berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru
pada Roentgen dada dan perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau
terapi vasodilator.
d. Keadaan output rendah
Keadaan output rendah menggabungkan tanda perfusi perifer
yang buruk dengan hipotensi, gangguan ginjal dan berkurangnya
produksi urin. Ekokardiografi dapat menunjukkan fungsi ventrikel kiri
yang buruk, komplikasi mekanis atau infark ventrikel kanan.
32
e. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi dalam 6-10% kasus STEMI dan
merupakan penyebab kematian utama, dengan laju mortalitas di rumah
sakit mendekati 50%. Meskipun syok seringkali terjadi di fase awal
setelah awitan infark miokard akut, ia biasanya tidak didiagnosis saat
pasien pertama tiba di rumah sakit. Penelitian registry SHOCK
(SHould we emergently revascularize Occluded coronaries for
Cardiogenic shoCK) menunjukkan bahwa 50% syok kardiogenik
terjadi dalam 6 jam dan 75% syok terjadi dalam 24 jam. Tanda dan
gejala klinis syok kardiogenik yang dapat ditemukan beragam dan
menentukan berat tidaknya syok serta berkaitan dengan luaran jangka
pendek. Pasien biasanya datang dengan hipotensi, bukti outputkardiak
yang rendah (takikardia saat istirahat, perubahan status mental,
oliguria, ekstremitas dingin) dan kongesti paru. Kriteria hemodinamik
syok kardiogenik adalah indeks jantung <2,2, L/menit/m 2dan
peningkatan wedge pressure>18 mmHg. Selain itu, diuresis biasanya
<20 mL/jam. Pasien juga dianggap menderita syok apabila agen
inotropik intravena dan/atau IABP dibutuhkan untuk mempertahankan
tekanan darah sistolik >90 mmHg. Syok kardiogenik biasanya
dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri luas, namun juga dapat
terjadi pada infark ventrikel kanan. Baik mortalitas jangka pendek
maupun jangka panjang tampaknya berkaitan dengan disfungsi sistolik
ventrikel kiri awal dan beratnya regurgitasi mitral.
Adanya disfungsi ventrikel kanan pada ekokardiografi awal
juga merupakan prediktor penting prognosis yang buruk, terutama
dalam kasus disfungsi gabungan ventrikel kiri dan kanan. Indeks
volume sekuncup awal dan follow-upserta follow-up stroke work
indexmerupakan prediktor hemodinamik paling kuat untuk mortalitas
30 hari pada pasien dengan syok kardiogenik dan lebih berguna
daripada variabel hemodinamik lainnya. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa penilaian dan tatalaksana syok kardiogenik tidak
33
mementingkan pengukuran invasif tekanan pengisian ventrikel kiri dan
curah jantung melalui kateter pulmonar namun fraksi ejeksi ventrikel
kiri dan komplikasi mekanis yang terkait perlu dinilai segera dengan
ekokardiografi Doppler 2 dimensi.
2.8.2. Komplikasi kardiak
Usia lanjut, gejala Killip II-IV, penyakit 3 pembuluh, infark
dinding anterior, iskemia berkepanjangan atau berkurangnya aliran TIMI
merupakan faktor risiko terjadi komplikasi kardiak. Beberapa komplikasi
mekanis dapat terjadi secara akut dalam beberapa hari setelah STEMI,
meskipun insidensinya belakangan berkurang dengan meningkatnya
pemberian terapi reperfusi yang segera dan efektif. Semua komplikasi ini
mengancam nyawa dan memerlukan deteksi dan penanganan secepat
mungkin. Pemeriksaan klinis berulang (minimal dua kali sehari) dapat
menangkap murmur jantung baru, yang menunjukkan regurgitasi mitral
atau defek septum ventrikel, yang kemudian perlu dikonfirmasi dengan
ekokardiografi segera. CABG secara umum perlu dilakukan apabila pantas
saat operasi pada pasien yang memerlukan operasi darurat untuk
komplikasi mekanis yang berat.
34
2. Ruptur jantung
Ruptur dinding bebas ventrikel kiri dapat terjadi pada fase
subakut setelah infark transmural, dan muncul sebagai nyeri tiba-tiba
dan kolaps kardiovaskular dengan disosiasi elektromekanis.
Hemoperikardium dan tamponade jantung kemudian akan terjadi
secara cepat dan bersifat fatal. Diagnosis dikonfirmasi dengan
ekokardiografi. Apabila tersumbat oleh formasi trombus, ruptur
dinding subakut yang terdeteksi dengan cepat dapat dilakukan
perikardiosentesis dan operasi segera.
3. Infark ventrikel kanan
Infark ventrikel kanan dapat terjadi sendiri atau, lebih jarang
lagi, terkait dengan STEMI dinding inferior. Biasanya gejalanya
muncul sebagai triad hipotensi, lapangan paru yang bersih serta
peningkatan tekanan vena jugularis. Elevasi segmen ST ≥1 mV di V1
dan V4R merupakan ciri infark ventrikel kanan dan perlu secara rutin
dicari pada pasien dengan STEMI inferior yang disertai dengan
hipotensi. Ekokardiografi Doppler biasanya menunjukkan dilatasi
ventrikel kanan, tekanan arteri pulmonal yang rendah, dilatasi vena
hepatika dan jejas dinding inferior dalam berbagai derajat. Meskipun
terjadi distensi vena jugularis, terapi tetap diberikan dengan tujuan
mempertahankan tekanan pengisian ventrikel kanan dan mencegah
atau mengobati hipotensi. Pemberian diuretik dan vasodilator perlu
dihindari karena dapat memperburuk hipotensi. Irama sinus dan
sinkronisitas atrioventrikular perlu dipertahankan dan AF atau blok
AV yang terjadi perlu segera ditangani.
35
PROGNOSIS 3,5,15
Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis pasca
IMA. Prognosis IMA dengan melihat derajat disfungsi ventrikel kiri secara
klinis dinilai menggunakan kalsifikasi killip:
Tabel 5. Skor risiko TIMI merupakan slaah satu dari beberapa stratifikasi risiko
pasien infarkdengan ST elevasi
Faktor Risiko (bobot) Skor risiko/mortalitas 30 hari (%)
Usia 65-74 (2) 0 (0,8)
Usia > 75 (3) 1(1,6)
DM/HT/angina (1) 2 (2,2)
SBP<100 (3) 3 (4,4)
HR >100 (2) 4 (7,3)
Klasifikasi Killip II-IV (2) 5 (12,4)
Berat <67 kg (1) 6 (16,1)
ST Elevasi anterior atau LBBB (1) 7 (23,4)
Waktu ke reperfusi > 4 jam (1) 8 (26,8)
Skor Maksimum 14 poin) >8 (35,9)
BAB III
STATUS PASIEN
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. KS
36
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Petani
Suku : Batak
Agama : Islam
Alamat : Jl. Protokol Suka Maju Pahae
Tanggal Masuk : 08– 01 – 2019 ( 00.10 WIB)
ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri dada sebelah kiri
Telaah :
Os datang ke IGD Rumah Sakit Murni Teguh rujukan dari RSUD
Tarutung dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri yang sudah dialami sejak
2 hari yang lalu dan memberat 1 hari ini. Nyeri dirasakan seperti tertimpa
beban berat dan menjalar ke bahu dan lengan. Nyeri dada timbul tidak
dipengaruhi dengan aktivitas dan menetap ± 30 menit, tidak berkurang
meskipun beristirahat. Saat nyeri dada muncul os juga mengeluhkan
keringat dingin tanpa mual dan muntah. Os juga mengeluhkan sesak napas
yang tidak berkurang dengan istirahat. Os sudah dirawat di RSUD
Tarutung selama 1 minggu dan tidak ada perbaikan. Os mengatakan
menggunakan 2-3 bantal pada saat tidur untuk mengurangi
sesaknya..Keluhan jantung berdebar debar (-), tungkai bengkak (-), batuk
(-), demam (-). Os mempunyai riwayat merokok selama >15 tahun 1-2
bungkus/hari.
Riwayat Penyakit Terdahulu : - CHF
- Hipertensi
Riwayat Pemakaian Obat :- Aspilet
- ISDN
Riwayat Penyakit Keluarga :-
PEMERIKSAAN FISIK
STATUS PRESENT
37
Keadaan Umum
Sensorium : Compos Mentis
Tekanan Darah : 150/110mmHg
Nadi :107x/i, regular, t/v: kuat
Pernafasan :28x/i
Temperatur : 36,4ºC
Skala Nyeri :7
Keadaan Gizi :
TB: 170 cm
BB: 85 Kg
STATUS LOKALISATA
MATA
Anemia ( - ), Ikterus ( - ), RC +/+, Pupil Isokor, kiri=kanan
THT : dalam batas normal
LEHER
Strauma tidak membesar, TVJ :. 0 cmH2O
THORAX
Inspeksi : simetris
Palpasi : TDP
Perkusi : TDP
Auskultasi
Paru : Suara Pernafasan : Vesikuler
Suara Tambahan : ronki basah basal(+/+), Wheezing (-/-)
Jantung : S1 (n),S2 (n), reguler, murmur ( - ), Gallop ( - ),
M1> M2, P2> P1, A2 > A1, A2>P2, T1>T2, desah sistolik ( - ), desah
diastolik( - )
HR: 107x/menit, reguler
38
ABDOMEN
Inspeksi
Bentuk : simetris
Vena Kolateral : tidak dijumpai
Caput Medusae : tidak dijumpai
Palpasi
HATI
Pembesaran :
Permukaan :
Pinggir : TDP
Nyeri Tekan :
Asites :
Hepatomegali :
LIMFA
Pembesaran : TDP
EKSTREMITAS
Pitting edema : tidak dijumpai
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
11/11/2018
Darah Rutin
Hb : 14,5 g% 12,5 – 16 g%
39
Leukosit : 9,90 x 106/m3 4 – 10,5 x 106/mm3
Trombosit :198 x 103/mm3 150 – 450 x 103/mm3
Eritrosit : 4,82 % 4,70 – 6 %
Hematokrit : 47,3 42-52 %
KGD
KGD ad random : 140 mg/dL < 130 mg/dL
Elektrolit
Natrium : 151 mmol/L 135 – 147 mmol/L
Kalium : 5,10 mmol/L 3,5 -5,5 mmol/L
Klorida : 112 mmol/L 94 – 111 mmol/L
Kalsium :8,8 mg/dL 9 – 11 mg/dL
Fungsi Ginjal
Urea : 153 mg/dL 13 – 43 mg/dL
Kreatinin : 3,10 mg/dL 0,9 – 1,3 mg/dL
Troponin T : TDP
EKG
04/01/2019
40
08/01/2019
Interpretasi :
Ritme : Sinus Rhythm
Rate : HR 85x/menit
Axis : Normo Axis
Gelombang P : 2 kotak kecil (0,08 s)
Interval PR : 5 kotak kecil (0,2 s)
41
Kompleks QRS : Normal (0,08-0,10 detik)
Interval ST : ST- Elevasi : II. III, aVF
Kesan : akut STEMI inferior
Foto Thoraks
Cor membesar
Sinus dan diafragma normal
Pulmo :
- Hilus normal
- Corakan bronkovaskular meningkat
- Tampak infiltrat dan fibrotik dilapang atas paru kanan
- Tampak infiltrat dilapang tengah sampai bawah paru kiri dan lapang tengah
paru kanan
Kesan :
Kardiomegali
Bronkopneumonia bilateral
Angiografi Coronary
Tidak dilakukan karena keadaan umum pasien tidak mendukung dan high
risk of CIN 26% ( CKD G4)
Echocardiogram
Tidak dilakukan karena keadaan umum pasien tidak mendukung (sesak
napas)
DIAGNOSA BANDING :
STEMI Inferior Killip II
CHF
DIAGNOSA KERJA :
STEMI Inferior Killip II
42
PENATALAKSANAAN :
Awal masuk rumah sakit MTMH :
1. Fase Akut di UGD
a. Bed rest total
b. Oksigen 2-4 liter/menit
c. Pemasangan IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i
d. Obat-obatan :
Inj. Furosemide 40 mg/12 jam
ISDN 3x5 mg
Ticagrelor 2x90 mg
Aspilet 1x80 mg
Bisoprolol 1x1,25 mg
Simvastatin 1x 40 mg
Spironolaktone 1x25 mg
e. Monitoring jantung
f. Pemeriksaan Laboratorium ( Darah lengkap, Faal Ginjal, Elektrolit dan
Enzim Jantung)
2. Fase perawatan biasa (Ruangan rawat inap)
a. Bed rest total
b. Pemasangan IVFD NS 10 gtt/i
c. Obat-obatan :
Inj. Furosemide 40 mg/12 jam
ISDN 3x5 mg
Ticagrelor 2x90 mg
Aspilet 1x80 mg
Bisoprolol 1x1,25 mg
Simvastatin 1x 40 mg
Spironolaktone 1x25 mg
Laxadin Syrup 2xC1
d. Pro PCI ke Cath Lab jika keadaan umum mendukung
43
e. Konsultasi internis mengenai peningkatan fungsi ginjal (urea : 153
mg/dL dan kreatinin : 3,10 mg/dL)
f. Echocardiography jika keadaan umum mendukung
44
BAB 1V
PEMBAHASAN
45
Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis pasca
IMA. Prognosis IMA dengan melihat derajat disfungsi ventrikel kiri secara
klinis dinilai menggunakan kalsifikasi killip:
Kelas Definisi Proporsi Pasien Mortalitas
I Tidak ada tanda gagal 40-50% 6
jantung kongestif
II + S3 dan/atau ronki 30-40% 17
basah di basal paru
III Edema paru akut 10-15% 30-40
IV Syok Kardiogenik 5-10% 60-80
46
1. Primary PCI
2. Fibronilitik/ Trombolitik
3. Antokoagulant
4. Nitroglicerin
5. Anti statin
6. Morphin
7. Oksigen
47
Aspilet 1x80 mg
Bisoprolol 1x1,25 mg
Simvastatin 1x 40 mg
Spironolaktone 1x25 mg
Laxadin Syrup 2xC1
d. Pro PCI ke Cath Lab jika keadaan umum mendukung
e. Konsultasi internis mengenai peningkatan fungsi ginjal (urea : 153
mg/dL dan kreatinin : 3,10 mg/dL)
f. Echocardiography jika keadaan umum mendukung
EDUKASI:
1. Bed rest total
2. Tidak boleh terlalu banyak minum
BAB V
48
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
49
1. Kinnaird Tim, Medic Goran, et al., 2013. Relative Efficacy of Bivalirudin
Versus
Heparin Monotherapy In Patients with ST-Segment Elevation Myocardial
Infarction Treated with Primary Percutaneous Coronary Intervention: A
Network Meta-Analysis. Journal of Blood Medicine. 4 : 129-40
2. Tabriz A. A., Sohrabi M. Z., et al., 2012. Factors Associated with Delay in
Thrombolytic Theraphy in Patients with ST-Elevation Myocardial
Infarction.Journal of Tehran University Heart Center.2(7) : 65-71.
3. Sungkar A, Sindroma Koroner Akut dengan elevasi segmen ST (STEMI
ACS).
4. Alwi I., 2009. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST, dalam: Buku Ajar
Ilmu Pengetahuan Penyakit Dalam Jilid II. Sudoyo A. W, Setryohadi B,
Alwi I,Simadibrata M, Setiati S. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing pp.
1741-54.
5. Perhimpunanan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman
tatalaksana Sindrome Koroner Akut. 2015. Edisi Ketiga.
6. Antman EM, Braundwald E. Harrison’s Principles of Internal Medicine
17th ed.
New South Wales : McGraw Hill; 2010. Chapter 239, ST-
SegmentElevation Myocardial Infarction; p.1532-41.
7. Li Yulong, Rukshin Iris, et al., 2014. The Impact of the 2008-2009
Economic Recession on Acute Myocardial Infarction Occurrences in
Various Socioeconomic Areas of Raritan Bay Region, New Jersey. Journal
of Medical Sciences. 6(5) : 215-18
8. Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Diakses tanggal 23 April 2014
http://www.rikesdas2013.pdf
9. Fenton, D.E., 2009. Myocardial Infarction. Available from: http: //
emedicine. medscape.com/article/759321-overview (Diakses 25
November 2014)
50
10. Santoso M, Setiawan T. 2005. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia
Kedokteran. Available from: http://ojs.lib.unair.ac.id/index.php/ CDK
/article/ view/2860 (Diakses 8 Desember 2014)
11. Zafari, AM. Myocardial Infarction. 2018. [Last Updated: 2018 July 19;
Last Cited: 2018 December 21]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/155919-overview
12. Christoper, D. Penyakit Jantung Koroner
(P,Christine,Trans,1ed)Jakarta;Dian Rakyat.2003;2915.
13. Price, Sylvia. Patofisologi KonsepKlinis Proses-proses Penyakit edisi 6
vol 1.Jakarta : EGC.2005;579-585
14. Kowalak W., 2002. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC
15. Lilly, Leonard, Pathophysiology of HEART DISEASE. Fifth Edition
16. Mirthha, Risalina. 2011. Perubahan Gambaran EKG pada Sindrome
Koroner Akut (SKA). Wonogiri. Jawa Tengah.
17. William dan Wilkins, Lippincott. 2013. Satu-satunya Buku EKG yng
diperlukan. Ed 7. Malcom S Thaler. Jakarta. EGC.
18. Bassand, J. P., 2008, The Place of Fondaparinux in the ESC and
ACC/AHAGuidelines foe Anticoagulan in Patient with non ST-Elevation
AcuteCoronary Syndromes,Eur Heart J Suppl,(Supplement C) : C22-C29.
19. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 17th
Edition Harrison’s Principles of Internal Medicine. New South Wales :
McGrawHill;2010;1203-23.
20. American Heart AssociationGuidelines for Cardiopulmonary Resucitation
and Emergency Cardiovascular Care. 2010 and 2015. Acute Coronary
syndromes.
21. Banjuradja, Ivan. 2017. Kondisi-kondisi Penyebab Elevasi Segmen-ST
selain Infark Miokard Akut.Nusa Tenggara Timur, Indonesia.
51