Anda di halaman 1dari 62

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH (KMB)

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN


PADA TN. S DENGAN DIAGNOSA DIABETIC FOOT (POST DEBRIDEMENT)
DI RUANG IRNA
RS PRIMA HUSADA MALANG

Oleh:
HENDI WIJAYANTO
(NIM: 1801100520)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KENDEDES MALANG


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
Jalan R. Panji Suroso No. 6 Malang Kode Pos 65126
Telp (0341) 488762 Faks (0341) 488483
Tahun 2020

LAPORAN PENDAHULUAN
DIABETIC FOOT (KAKI DIABETIK)

A. Definisi

Diabetes mellitus merupakan penyakit endokrin akibat defek dalam sekresi


dan kerja insulin atau keduanya sehingga terjadi defisiensi insulin relatif atau absolut
dimana tubuh mengeluarkan terlalu sedikit insulin atau insulin yang dikeluarkan
resisten sehingga mengakibatkan kelainan metabolisme kronis berupa hiperglikemia
kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang
menimbulkan komplikasi kronik pada sistem tubuh.

Kaki diabetik adalah infeksi, ulserasi, dan atau destruksi jaringan ikat dalam
yang berhubungan dengan neuropati dan penyakit vaskuler perifer pada tungkai
bawah, selain itu ada juga yang mendefinisikan sebagai kelainan tungkai kaki bawah
akibat diabetes melitus yang tidak terkendali dengan baik yang disebabkan oleh
gangguan pembuluh darah, gangguan persyarafan dan infeksi.

Kaki diabetik merupakan gambaran secara umum dari kelainan tungkai


bawah secara menyeluruh pada penderita diabetes melitus yang diawali dengan
adanya lesi hingga terbentuknya ulkus berupa luka terbuka pada permukaan kulit
yang dapat disertai adanya kematian jaringan setempat yang sering disebut dengan
ulkus diabetik karena adanya komplikasi makroangiopati sehingga terjadi vaskuler
insusifiensi dan neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita yang sering
tidak dirasakan dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri aerob
maupun anaerob yang pada tahap selanjutnya dapat dikategorikan dalam gangren
yang pada penderita diabetes melitus disebut dengan gangren diabetik.

B. Klasifikasi

Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetik yaitu klasifikasi oleh Edmonds
dari King’s College Hospital London, klasifikasi Liverpool, klasifikasi Wagner,
klasifikasi Texas, serta yang lebih banyak digunakan adalah yang dianjurkan oleh
International Working Group On Diabetik Foot karena dapat menentukan kelainan
apa yang lebih dominan yakni vaskular, infeksi dan neuropati, sehingga arah
pengelolaan dalam pengobatan dapat tertuju dengan baik, namun pada penelitian ini
klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi berdasarkan Wagner.
1. Klasifikasi menurut Edmons
a. Stage 1: Normal Foot

b. Stage 2: High Risk Foot

c. Stage 3: Ulcerated Foot

d. Stage 4: Infected Foot

e. Stage 5: Necrotic Foot

f. Stage 6: Unsavable Foot

2. Klasifikasi menurut Wagner


a. Derajat 0
Derajat 0 ditandai antara lain kulit tanpa ulserasi dengan satu atau lebih faktor
risiko berupa neuropati sensorik yang merupakan komponen primer penyebab
ulkus; peripheral vascular disease; kondisi kulit yaitu kulit kering dan terdapat
callous (yaitu daerah yang kulitnya menjadi hipertropik dan anastesi); terjadi
deformitas berupa claw toes yaitu suatu kelainan bentuk jari kaki yang melibatkan
metatarsal phalangeal joint, proximal interphalangeal joint dan distal
interphalangeal joint. Deformitas lainnya adalah depresi caput metatarsal, depresi
caput longitudinalis dan
penonjolan tulang karena arthropati charcot.

b. Derajat I
Derajat I terdapat tanda-tanda seperti pada grade 0 dan menunjukkan terjadinya
neuropati sensori perifer dan paling tidak satu faktor risiko seperti deformitas
tulang dan mobilitas sendi yang terbatas dengan ditandai adanya lesi kulit terbuka,
yang hanya terdapat pada kulit, dasar kulit dapat bersih atau purulen (ulkus dengan
infeksi yang superfisial terbatas pada kulit).

c. Derajat II
Pasien dikategorikan masuk grade II apabila terdapat tanda-tanda pada grade I dan
ditambah dengan adanya lesi kulit yang membentuk ulkus. Dasar ulkus meluas ke
tendon, tulang atau sendi. Dasar ulkus dapat bersih atau purulen, ulkus yang lebih
dalam sampai menembus tendon dan tulang tetapi tidak terdapat infeksi yang
minimal.

d. Derajat III
Apabila ditemui tanda-tanda pada grade II ditambah dengan adanya abses yang
dalam dengan atau tanpa terbentuknya drainase dan terdapat osteomyelitis. Hal ini
pada umumnya disebabkan oleh bakteri yang agresif yang mengakibatkan jaringan
menjadi nekrosis dan luka tembus sampai ke dasar tulang, oleh karena itu
diperlukan hospitalisasi/ perawatan di rumah sakit karena ulkus yang lebih dalam
sampai ke tendon dan tulang serta terdapat abses dengan atau tanpa osteomielitis.

e. Derajat IV
Derajat IV ditandai dengan adanya gangren pada satu jari atau lebih, gangren dapat
pula terjadi pada sebagian ujung kaki. Perubahan gangren pada ekstremitas bawah
biasanya terjadi dengan salah satu dari dua cara, yaitu gangren menyebabkan
insufisiensi arteri. Hal ini menyebabkan perfusi dan oksigenasi tidak adekuat. Pada
awalnya mungkin terdapat suatu area focal dari nekrosis yang apabila tidak
dikoreksi akan menimbulkan peningkatan kerusakan jaringan yang kedua yaitu
adanya infeksi atau peradangan yang terus-menerus Dalam hal ini terjadi oklusi
pada arteri digitalis sebagai dampak dari adanya edema jaringan lokal.

f. Derajat V
Derajat V ditandai dengan adanya lesi/ulkus dengan gangren-gangren diseluruh
kaki atau sebagian tungkai bawah.

3. Klasifikasi modifikasi Brodsky

Kedalaman Luka Definisi

1 Kaki berisiko tanpa ulserasi

2 Ulserasi superfisial, tanpa ulserasi

3 Ulserasi yang dalam sampai mengenai tendon

4 Ulserasi yang luas/abses

Luas Daerah Iskemik Definisi

A Tanpa iskemik

B Iskemik tanpa gangrene

C Partial gangrene

D Complete foot gangrene

Berdasarkan pembagian menurut Wagner di atas, maka tindakan pengobatan atau


pembedahan dapat ditentukan sebagai berikut :

a. Derajat 0 : perawatan lokal secara khusus tidak ada


b. Derajat I-IV : pengelolaan medik dan tindakan bedah minor
c. Derajat V : tindakan bedah minor, bila gagal dilanjutkan dengan tindakan bedah
mayor (amputasi diatas lutut atau amputasi bawah lutut).
Beberapa tindakan bedah khusus diperlukan dalam pengelolaan kaki diabetik
ini, sesuai indikasi dan derajat lesi yang dijumpai seperti :

a. Insisi : abses atau selulitis yang luas


b. Eksisi : pada kaki diabetik derajat I dan II
c. Debridement/nekrotomi : pada kaki diabetik derajat II, III, IV dan V
d. Mutilasi : pada kaki diabetik derajat IV dan V
e. Amputasi : pada kaki diabetik derajat V

C. Epidemiologi

Menurut laporan dari beberapa tempat di Indonesia, angka kejadian dan


komplikasi diabetes melitus cukup tersebar sehingga bisa dikatakan sebagai salah
satu masalah nasional yang harus mendapat perhatian, selain itu sampai saat ini
masalah kaki diabetik kurang mendapat perhatian sehingga masih muncul konsep
dasar yang kurang tepat bagi pengelolaan penyakit ini. Dampaknya banyak penderita
yang penyakitnya berkembang menjadi penderita osteomielitis dan amputasi pada
kakinya. Pada negara maju kaki diabetik memang masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat, tetapi dengan kemajuan cara pengelolaan dan adanya k linik
kaki diabetik yang aktif maka nasib penyandang kaki diabetik menjadi lebih baik
sehingga angka kematian dan amputasi menurun 45%-85%.

Kaki diabetik merupakan penyebab tersering dilakukannya amputasi yang


didasari oleh kejadian non traumatik. Risiko amputasi 15-40 kali lebih sering pada
penderita diabetes melitus dibandingkan dengan non diabetes melitus. Kaki diabetik
juga menyebabkan lama rawat penderita diabetes melitus menjadi lebih lama.

Prevalensi penderita diabetes melitus dengan kaki diabetik di Amerika


Serikat sebesar 15-20%, risiko amputasi 15-46 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
penderita non diabetes melitus. Prevalensi penderita diabetes melitus dengan kaki
diabetik di negara berkembang didapatkan jauh lebih besar dibandingkan dengan
negara maju, yaitu antara 20-40%. Prevalensi penderita diabetes melitus dengan kaki
diabetik di Indonesia sekitar 15%, angka mortalitas 32% dan kaki diabetik
merupakan sebab perawatan rumah sakit yang terbanyak sebesar 80% untuk
diabetes melitus. Prevalensi angka kematian akibat ulkus dan gangren berkisar 17-
23%, sedangkan angka amputasi berkisar 15-30%. Angka kematian 1 (satu) tahun
pasca amputasi sebesar 14,8%. Jumlah itu meningkat pada tahun ketiga menjadi
37%, ratarata umur pasien hanya 23,8 bulan pasca amputasi.
D. Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya kaki diabetik dipengaruhi oleh berbagai faktor


sebagai berikut:

1. Usia
Penelitian di Amerika Serikat yang melaporkan bahwa persentase kaki diabetik paling
tinggi pada usia ≥45 tahun, seperti diketahui usia lanjut biasanya memiliki keterbatasan
gerak, penglihatan yang buruk dan masalah penyakit yang lain. Tubuh mengalami
banyak perubahan terutama pada organ pankreas yang memproduksi insulin dalam
darah pada usia ≥45 tahun, kejadian kaki diabetik sangat tinggi pada usia ini karena
fungsi tubuh secara fisiologis menurun.
Hal ini berhubungan dengan komplikasi kronik diabetes melitus yang menyebabkan
meningkatnya morbiditas dan mortalitas pada usia sangat tua, hal ini juga berkaitan
dengan lama menderita diabetes. Mereka yang mendapatkan diabetes pada usia tua
memiliki kekuatan bertahan hidup lebih tinggi daripada mereka yang menderita
diabetes selama bertahun-tahun. Usia merupakan faktor penting yang berhubungan
dengan berkembangnya peripheral vascular disease, neuropati dan
amputasi ekstremitas bawah.
Menurut American Diabetes Association (ADA) diperlukan pemeriksaan Ankle
Brachial Index (ABI) pada penderita dengan diabetes melitus yang berusia atau
individu berusia
<50 tahun yang memiliki faktor risiko aterosklerosis serta pasien yang
mengidap
diabetes selama 10 tahun.

2. Jenis Kelamin
Penelitian menyebutkan bahwa prevalensi diabetes melitus secara keseluruhan lebih
banyak terjadi pada wanita dibanding pria. Dalam penelitian tersebut juga disebutkan
bahwa prevalensi diabetes melitus sama diantara pria dan wanita, namun sedikit lebih
tinggi pada pria yang berusia kurang dari 60 tahun dan wanita pada usia yang lebih tua.
Penelitian selanjutnya juga menyebutkan bahwa 84% pasien dengan kaki diabetik
adalah pria dan 15,4% adalah wanita. Penyebab perbedaan prevalensi kaki diabetik
diantara pria dan wanita dalam penelitian lainnya mengenai kaki diabetik dengan ulkus
neuropati dan neuroiskemik antara lain dapat disebabkan oleh beberapa alasan yaitu:
faktor hormonal (adanya hormon estrogen pada wanita yang dapat mencegah
komplikasi vaskuler yang berkurang seiring bertambahnya usia), perbedaan kebiasaan
hidup seperti kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol pada laki- laki.

3. Lama Menderita Diabetes Mellitus


Kaki diabetik terutama terjadi pada penderita diabetes melitus yang telah menderita 10
tahun atau lebih dengan kadar glukosa darah tidak terkendali yang menyebabkan
munculnya komplikasi yang berhubungan dengan vaskuler sehingga mengalami
makroangiopati-mikroangiopati yang akan terjadi vaskulopati dan neuropati yang
mengakibatkan menurunnya sirkulasi darah dan adanya robekan/luka pada kaki
penderita diabetik yang sering tidak dirasakan.
Pasien dengan kaki diabetik yang lama penyakit ≥10 tahun ditentukan oleh kadar
glukosa darah yang tinggi. Kadar glukosa darah yang tinggi akan menimbulkan
komplikasi yang berhubungan dengan saraf dan aliran darah ke kaki. Komplikasi pada
saraf dan aliran darah ke kaki inilah yang menyebabkan terjadinya neuropati dan
penyakit arteri perifer.

4. Kontrol Glikemik
Kontrol glikemik atau pengendalian glukosa darah pada penderita diabetes melitus
dilihat dari dua hal yaitu glukosa darah sesaat danglukosa darah jangka panjang.
Pemantauan glukosa darah sesaat dilihatdari glukosa darah puasa dan 2 jam PP,
sedangkan pengontrolan glukosa darah jangka panjang dapat dilakukan dengan
pemeriksaan HbA1c. Pada penelitian ini hanya melihat kontrol glikemik berdasarkan
pemantauan kadar glukosa darah sesaat yaitu dengan menilai kadar gula darah yang
tidak terkontrol dengan pengukuran GDP >100 mg/dl atau GD2JPP >144 mg/dl. Kadar
GDP >100 mg/dl atau GD2JPP >144 mg/dl akan mengakibatkan komplikasi kronik
jangka panjang, baik makrovaskuler maupun mikrovaskuler yang salah satunya kaki
diabetik yang berlanjut menjadi ulkus diabetika. Kadar GDP >100 mg/dl atau
GD2JPP
>144 mg/dl disebut sebagai kondisi hiperglikemia, yang jika berlangsung terus
menerus menyebabkan berkurangnya kemampuan pembuluh darah untuk berkontraksi
dan relaksasi, sehingga terjadi penurunan sirkulasi darah terutama pada kaki dengan
gejala, sakit pada tungkai ketika berdiri, berjalan atau beraktivitas fisik; kaki teraba
dingin; kaki terasa nyeri pada waktu istirahat dan malam hari; telapak kaki terasa sakit
setelah berjalan; luka sukar sembuh; tekanan nadi menjadi kecil atau tidak teraba;
perubahan
warna kulit, kaki tampak pucat atau kebiru- biruan ketika dielevasikan.

5. Dislipidemia
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan
atau penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah
kenaikan kadar kolesterol total dan trigliserida serta penurunan kadar kolesterol HDL.
Pada penderita diabetes melitus juga sering dijumpai adanya peningkatan kadar
kolesterol plasma dan trigliserida, sedangkan konsentrasi HDL (highdensity-
lipoprotein) sebagai pembersih plak biasanya rendah (≤ 45mg/dl). Kadar kolesterol
total ≥ 200mg/dl, trigliserida ≥ 150mg/dl dan HDL ≤ 45mg/dl akan mengakibatkan
buruknya sirkulasi sebagian besar jaringan dan menyebabkan hipoksia serta cedera
jaringan yang merangsang reaksi peradangan dan terjadinya aterosklerosis.

6. Obesitas
Obesitas adalah penumpukan lemak di badan secara abnormal atau berlebihan yang
dapat mengganggu kesehatan seseorang, dikatakan obesitas apabila Indeks Massa
Tubuh (IMT) ≥ 23 untuk wanita dan IMT ≥ 25 untuk laki- laki. Hal ini akan membuat
resistensi insulin yang menyebabkan aterosklerosis, sehingga terjadi gangguan
sirkulasi darah pada kaki yang dapat menyebabkan terjadinya kaki diabetik. Hasil
penelitian menyebutkan dimana seseorang yang mempunyai berat badan 20 kg
melebihi berat badan idealnya maka berisiko akan terkena kaki diabetik dengan nilai
RR sebesar 1,2 (95%CI=1,1–1,4).(26) Pada obesitas dengan IMT ≥23kg/m2 (wanita)
dan IMT ≥25kg/m2 (pria) atau BBR lebih dari 120% akan lebih sering terjadi
resistensi insulin. Apabila kadar insulin melebihi 10μU/ml, keadaan ini menunjukkan
hiperinsulinemia yang dapat menyebabkan aterosklerosis yang berdampak pada
vaskulopati, sehingga terjadi gangguan sirkulasi darah sedang/besar pada tungkai
yang menyebabkan tungkai akan mudah terjadi kaki diabetik.

7. Kebiasaan Merokok
Hasil penelitian yang dikutip oleh WHO, pada pasien diabetes melitus yang merokok
mempunyai risiko 3 kali untuk menjadi kaki diabetik dibanding pasien diabetes
melitus yang tidak merokok. Kesimpulannya, merokok merupakan faktor kuat
menyebabkan penyakit arteri perifer yang mana sudah dibuktikan berhubungan dengan
kaki diabetik. Nikotin yang dihasilkan dari rokok akan menempel pada dinding
pembuluh darah sehingga menyebabkan insufisiensi dari aliran pembuluh darah ke
arah kaki yaitu arteri dorsalis pedis, poplitea dan tibialis menjadi menurun.
8. Deformitas pada Kaki
Faktor mekanikal mempunyai peran penting dalam perkembangan kaki diabetik.
Faktor mekanikal disini adalah pengeluaran non-enzimatik yang membuat pengerasan
pada sekitar sendi yang menyebabkan meningkatnya tekanan pada plantar ketika
melangkah. Kapalan diketahui cenderung meningkatkan tekanan pada plantar kaki
yang cenderung menyebabkan ulserasi. Deformitas adalah kelainan bentuk pada kaki
yang ditandai dengan adanya hammer toe, claw toe,hallus valgus (small bunion, large
bunion), pes planus, pes clavus, dan perubahan destruktif yang terjadi pada kaki
Charcot. Deformitas kaki seperti kaki charcot dan kaki claw juga merupakan faktor
risiko terhadap kaki diabetik.

9. Riwayat Ulserasi pada Kaki


Riwayat ulserasi yang ditandai dengan luka terbuka pada permukaan kulit, nekrosis
jaringan karena gangguan peredaran darah ke organ perifer ditandai dengan
menurunnya pulsasi arteri dorsalis pedis dan neuropati ditandai dengan menurunnya
sensasi rasa pada penderita diabetes melitus tipe 2.
Diabetes dapat memberikan dampak buruk pada beberapa sistem organ termasuk sendi
dan tendon. Hal biasanya tejadi pada tendon achiles dimana Advanced Glycosylate
Edend Prodructs (AGEs) berhubungan dengan molekul kolagen pada tendon
sehingga menyebabkan hilangnya elastisitas dan bahkan pemendekan tendon. Akibat
ketidakmampuan gerakan dorsofleksi telapak kaki, dengan kata lain arkus dan kaput
metatarsal mendapatkan tekanan tinggi dan lama karena adanya gangguan berjalan
(gait). Hilangnya sensasi pada kaki akan menyebabkan tekanan yang berulang, injuri
dan fraktur, kelainan struktur kaki, misalnya hammer toes, callus, kelainan metatarsal,
atau kaki charcot; tekanan yang terus menerus dan pada akhirnya terjadi kerusakan
jaringan lunak. Tidak terasanya panas dan dingin, tekanan sepatu yang salah,
kerusakan akibat benda tumpul atau tajam dapat menyebabkan pengelepuhan dan
ulserasi. Faktor ini ditambah aliran darah yang buruk meningkatkan risiko kehilangan
anggota gerak pada penderita
diabetes.

10. Riwayat Trauma pada Kaki


Nilai ambang proteksi dari kaki ditentukan oleh normal tidaknya fungsi syaraf sensoris
kaki. Pada keadaan normal, sensasi nyeri yang diterima oleh kaki cepat mendapat
respon dengan cara merubah posisi kaki untuk mencegah terjadinya kerusakan yang
lebih besar. Pada penderita diabetes melitus, adanya neuropati diabetika sensorik akan
menyebabkan penderita diabetes melitus kurang atau tidak merasakan adanya trauma,
baik trauma mekanik, kemikal maupun termis. Keadaan ini memudahkan terjadinya
lesi atau ulserasi yang kemudian karena infeksi terjadilah selulitis ataupun gangren.
Pada saat seseorang berjalan maka kaki mendapatkan beban yang besar. Pada
penderita diabetes melitus yang mengalami neuropati permukaan plantar kaki mudah
mengalami luka atau luka menjadi sulit sembuh akibat tekanan beban tubuh maupun
iritasi kronis sepatu yang digunakan. Salah satu hal yang sangat penting namun sampai
kini tidak mendapatkan perhatian dalam perawatan kaki diabetik adalah mengurangi
atau menghilangkan beban pada kaki (off loading).

11. Riwayat Amputasi pada Kaki


Amputasi pada kaki merupakan pemotongan pada bagian atau sebagian tungkai bawah
penderita misalnya jari dan seterusnya atau sebagian pedis atau sebagian tungkai
bawah. Sebagian besar amputasi pada kaki diabetik bermula dari ulkus pada kulit. Bila
dilakukan deteksi dini dan pengobatan yang adekuat akan dapat mengurangi kejadian
tindakan amputasi. Ironisnya evaluasi dini dan penanganan yang adekuat di rumah
sakit tidak optimal.

E. Patofisiologi

Kaki diabetik terjadi diawali dengan adanya hiperglikemia yang


menyebabkan gangguan saraf dan gangguan aliran darah. Perubahan ini
menyebabkan perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki, kerentanan terhadap
infeksi meluas sampai ke jaringan sekitarnya. Faktor aliran darah yang kurang
membuat luka sulit untuk sembuh dan jika terjadi ulkus, infeksi akan mudah sekali
terjadi dan meluas ke jaringan yang lebih dalam bahkan sampai ke tulang.

1. Neuropati Diabetik
Neuropati diabetik adalah komplikasi kronis yang paling sering ditemukan pada pasien
diabetes melitus. Neuropati diabetik adalah gangguan metabolisme syaraf sebagai
akibat dari hiperglikemia kronis. Angka kejadian neuropati ini meningkat bersamaan
dengan lamanya menderita penyakit diabetes melitus dan bertambahnya usia penderita.
Tipe neuropati terbagi atas 3 (tiga) yaitu:
a. Neuropati sensorik
Kondisi pada neuropati sensorik yang terjadi adalah kerusakan saraf sensoris
pertama kali mengenai serabut akson yang paling panjang, yang menyebabkan
distribusi stocking dan gloves. Kerusakan pada serabut saraf tipe A akan
menyebabkan kelainan propiseptif, sensasi pada sentuhan ringan, tekanan, vibrasi
dan persarafan motorik pada otot. Secara klinis akan timbul gejala seperti kejang
dan kelemahan otot kaki. Serabut saraf tipe C berperan dalam analisis sensari
nyeri dan suhu. Kerusakan pada saraf ini akan menyebabkan kehilangan sensasi
protektif. Ambang nyeri akan meningkat dan menyebabkan trauma berulang pada
kaki. Neuropati perifer dapat dideteksi dengan hilangnya sensasi terhadap 10 g
nylon monofilament pada 2-3 tempat pada kaki. Selain dengan 10 g nylon
monofilament, dapat juga menggunakan biothesiometer dan Tunning Fork untuk
mengukur getaran.
b. Neuropati motorik
Neuropati motorik terjadi karena demyelinisasi serabut saraf dan kerusakan motor
end plate. Serabut saraf motorik bagian distal yang paling sering terkena dan
menimbulkan atropi dan otot-otot intrinsik kaki. Atropi dari otot intraosseus
menyebabkan kolaps dari arcus kaki. Metatarsal-phalangeal joint kehilangan
stabilitas saat melangkah. Hal ini menyebabkan gangguan distribusi tekanan kaki
saat melangkah dan dapat menyebabkan kallus pada bagian-bagian kaki dengan
tekanan terbesar. Jaringan di bawah kalus akan mengalami iskemia dan nekrosis
yang selanjutnya akan menyebabkan ulkus. Neuropati motorik menyebabkan
kelainan anatomi kaki berupa claw toe, hammer toe, dan lesi pada nervus
peroneus lateral yang menyebabkan foot drop. Neuropati motorik ini dapat diukur
dengan menggunakan pressure mat atau platform untuk mengukur tekanan pada
plantar kaki.
c. Neuropati otonom
Neuropati otonom menyebabkan keringat berkurang sehingga kaki menjadi
kering. Kaki yang kering sangat berisiko untuk pecah dan terbentuk fisura pada
kalus. Neuropati otonom juga menyebabkan gangguan pada saraf-saraf yang
mengontrol distribusi arteri-vena sehingga menimbulkan arteriolar-venular
shunting. Hal ini menyebabkan distribusi darah ke kaki menurun sehingga terjadi
iskemi pada kaki, keadaan ini mudah dikenali dengan terlihatnya distensi vena-
vena pada kaki.
2. Kelainan Vaskuler
Penyakit Arteri Perifer (PAP) adalah salah satu komplikasi makrovaskular dari
diabetes melitus. Penyakit arteri perifer ini disebabkan karena dinding arteri banyak
menumpuk plaque yang terdiri dari deposit platelet, sel-sel otot polos, lemak,
kolesterol dan kalsium. PAP pada penderita diabetes berbeda dari yang bukan diabetes
melitus. PAP pada pasien diabetes melitus terjadi lebih dini dan cepat mengalami
perburukan. Pembuluh darah yang sering terkena adalah arteri tibialis dan arteri
peroneus serta percabangannya. Risiko untuk terjadinya kelainan vaskuler pada
penderita diabetes adalah usia, lama menderita diabetes, genetik, merokok, hipertensi,
dislipidemia, hiperglikemia, obesitas. Pasien diabetes melitus yang mengalami
penyempitan pembuluh darah biasanya ada gejala, tetapi kadang juga tanpa gejala,
sebagian lain dengan gejala iskemik, yaitu :
a. Intermitten Caudication
Nyeri dan kram pada betis yang timbul saat berjalan dan hilang saat berhenti
berjalan, tanpa harus duduk. Gejala ini muncul jika Ankle-Brachial Index < 0,75.
b. Kaki terasa dingin
c. Nyeri
Terjadi karena iskemi dari serabut saraf, diperberat dengan panas, aktivitas, dan
elevasi tungkai dan berkurang dengan berdiri ata u kaki menggantung.
d. Nyeri iskemia nokturnal
Terjadi malam hari karena perfusi ke tungkai bawah berkurang sehingga terjadi
neuritis iskemik.
e. Pulsasi arteri tidak teraba
f. Pengisian vena yang terlambat setelah elevasi tungkai dan Capillary Refilling
Time
(CRT) yang memanjang
g. Rambut di kaki dan ibu jari yang mulai menghilang
h. Kuku menebal, rapuh, sering dengan infeksi jamur

Untuk memastikan adanya iskemia pada kaki diabetik perlu dilakukan


beberapa pemeriksaan lanjutan, terutama jika diperlukan rekonstruksi vaskuler.
Pemeriksaan penunjang lanjutan yang non invasif antara lain:

a. Palpasi denyut nadi perifer


Apabila denyut kaki bisa di palpasi, maka PAP tidak ada. Jika denyut dorsalis pedis
dan tibial posterial tidak teraba maka dibutuhkan pemeriksaan yang lebih lanjut.
b. Doppler flowmeter
Dapat mengukur derajat stenosis secara kualitatif dan semi kuantitatif melalui
analisis gelombang doppler. Frekuensi sistolik doppler distal dari arteri yang
mengalami oklusi menjadi rendah dan gelombangnya menjadi monofasik.
c. Ankle Brachial Index (ABI)
Tekanan diukur di beberapa tempat di ekstremitas menggunakan manset
pneumatik dan flow sensor, biasanya doppler ultrasound sensor. Tekanan sistolik
akan meningkat dari sentral ke perifer dan sebaliknya tekanan diastolik akan
turun. Karena itu, tekanan sistolik pada pergelangan kaki lebih tinggi dibanding
Brachium. Jika terjadi penyumbatan, tekanan sistolik akan turun walaupun
penyumbatan masih minimal. Rasio antara tekanan sistolik di pergelangan kaki
dengan tekanan sistolik di arteri brachialis (Ankle Brachial Index) merupakan
indikator sensitif untuk
menentukan adanya penyumbatan atau tidak.
d. Transcutaneous Oxymetri (TcPO2)
Berhubungan dengan saturasi O2 kapiler dan aliran darah ke jaringan. TcPO2 pada
arteri yang mengalami oklusi sangat rendah. Pengukuran ini sering digunakan
untuk mengukur kesembuhan ulkus maupun luka amputasi.
e. Magnetic Resonance Angiography (MRA)
Merupakan teknik yang baru, menggunakan magnetic resonance, lebih sensitif
dibanding angiografi standar. Arteriografi dengan kontras adalah pemeriksaan
yang invasif, merupakan standar baku emas sebelum rekonstruksi arteri. Namun,
pasien- pasien diabetes memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinya gagal ginjal
akut akibat
kontras meskipun kadar kreatinin normal.
3. Infeksi
Infeksi dapat dibagi menjadi tiga yaitu superfisial dan lokal, selulitis dan osteomyelitis.
Infeksi akut pada penderita yang belum mendapatkan antibiotik biasanya
monomikrobial sedangkan pasien dengan ulkus kronis, gangrene dan osteomyelitis
bersifat polimikrobial. Kuman yang paling sering dijumpai pada infeksi ringan adalah
Staphylococcus aereus dan streptococcal serta isolation of Methycillin-resstant
Staphyalococcus aereus (MRSA). Jika penderita sudah mendapat antibiotik
sebelumnya atau pada ulkus kronis, biasanya dijumpai juga bakteri batang gram
negatif (Enterobactericeae, enterococcus, dan pseudomonas aeruginosa).

F. Manifestasi Klinis

Kaki diabetik adalah kelainan pada tungkai bawah yang merupakan


komplikasi kronik diabetes mellitus. Suatu penyakit pada penderita diabetes bagian
kaki, dengan gejala dan tanda sebagai berikut:

- Sering kesemutan/gringgingan (asmiptomatus).


- Jarak tampak menjadi lebih pendek (klaudilasio intermil).
- Nyeri saat istirahat.
- Kerusakan jaringan (necrosis, ulkus).

Gambaran klinis dibedakan: neuropatik dan iskemik.

1. Gambaran
neuropatik
- gangguan sensorik
- perubahan trofik kulit
- ulkus plantar
- atropati degeneratif (sendi Charcot)
- pulsasi sering teraba
- sepsis (bakteri/jamur)
2. Gambaran iskemik
- nyeri saat istirahat
- ulkus yang nyeri disekitar daerah yang tertekan
- riwayat klaudikasio intermiten
- pulsasi tidak teraba
- sepsis ( bakteri/jamur)

Iskemia Neuropati

Gejala Klaudikasio Biasanya tidak nyeri

Nyeri saat istirahat Kadang nyeri neuropati


Inspeksi Tergantung rubor Lenngkung tinggi

Perubahan Tropik Kuku-kuku jari kaki

Tak ada
Palpasi perubahan tropic
Dingin

Tak teraba nadi Hangat

Gejala tidak spesifik seperti kesemutan , rasa berat

, hilang bila istirahat

Bila keluhan sakit pada jarak jalan >200 m

Bila keluhan sakit pada jarak jalan <200 m

Rest pain : sakit meskipun waktu istirahat (malam hari)

Ulkus / gangrene
G. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dengan penentuan tipe angiopati


dan neuropati berupa kelainan mikroangiopati atau makroangiopati, sifat obstruksi, dan
status vaskuler.

Gangren diabetik akibat mikroangiopati disebut juga sebagai gangren panas karena
walaupun terjadi nekrosis, daerah akral akan tampak tetap merah dan terasa hangat oleh
peradangan dan biasanya teraba pulsasi arteri dibagian distal.

Proses makroangiopati menyebabkan sumbatan pembuluh darah. Bila sumbatan


terjadi secara akut, emboli akan memberikan gejala klinis berupa 5P, yaitu Pain, Paleness,
Paresthesia, Pulselessness dan Paralisis dan bila terjadi sumbatan secara kronis, akan
timbul gambaran klinik menurut pola dari Fontaine, yaitu Pada stadium I; asimptomatis
atau

gejala tidak khas (semutan atau geringgingan), stadium II; terjadi klaudikasio intermiten,
stadium III; timbul nyeri saat istirahat dan stadium IV; berupa manifestasi kerusakan
jaringan karena anoksia (ulkus).

1. Pemeriksaan Fisik

Melakukan penilaian ulkus kaki merupakan hal yang sangat penting karena
berkaitan dengan keputusan dalam terapi. Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mendapatkan
deskripsi karakter ulkus, menentukan ada tidaknya infeksi, menentukan hal yang
melatarbelakangi terjadinya ulkus (neuropati, obstruksi vaskuler perifer, trauma atau
deformitas), klasifikasi ulkus dan melakukan pemeriksaan neuromuskular untuk
menentukan ada/ tidaknya deformitas, adanya pulsasi arteri tungkai dan pedis.

Deskripsi ulkus DM paling tidak harus meliputi; ukuran, kedalaman, bau, bentuk
dan lokasi. Penilaian ini digunakan untuk menilai kemajuan terapi. Pada ulkus yang
dilatarbelakangi neuropati ulkus biasanya bersifat kering, fisura, kulit hangat, kalus, warna
kulit normal dan lokasi biasanya di plantar tepatnya sekitar kaput metatarsal I-III, lesi
sering berupa punch out. Sedangkan lesi akibat iskemia bersifat sianotik, gangren, kulit
dingin dan lokasi tersering adalah di jari. Bentuk ulkus perlu digambarkan seperti; tepi,
dasar, ada/tidak pus, eksudat, edema atau kalus. Kedalaman ulkus perlu dinilai dengan
bantuan probe steril. Probe dapat membantu untuk menentukan adanya sinus, mengetahui
ulkus melibatkan tendon, tulang atau sendi. Berdasarkan penelitian Reiber, lokasi ulkus
tersering adalah di permukaan jari dorsal dan plantar (52%), daerah plantar (metatarsal dan
tumit: 37%) dan daerah dorsum pedis (11%).

Sedangkan untuk menentukan faktor neuropati sebagai penyebab terjadinya ulkus


dapat digunakan pemeriksaan refleks sendi kaki, pemeriksaan sensoris, pemeriksaan
dengan garpu tala, atau dengan uji monofilamen. Uji monofilamen merupakan
pemeriksaan yang sangat sederhana dan cukup sensitif untuk mendiagnosis pasien yang
memiliki risiko terkena ulkus karena telah mengalami gangguan neuropati sensoris perifer.
Hasil tesdikatakan tidak normal apabila pasien tidak dapat merasakan sentuhan nilon
monofilamen. Bagian yang dilakukan pemeriksaan monofilamen adalahdi sisi plantar (area
metatarsal, tumit dan dan di antara metatarsal dan tumit) dan sisi dorsal.

Gangguan saraf otonom menimbulkan tanda klinis keringnya kulit pada sela-sela
jari dan cruris. Selain itu terdapat fisura dan kulit pecah-pecah, sehingga mudah terluka
dan kemudian mengalami infeksi.

Pemeriksaan pulsasi merupakan hal terpenting dalam pemeriksaan vaskuler pada


penderita penyakit oklusi arteri pada ekstremitas bagian bawah. Pulsasi arteri femoralis,
arteri poplitea, dorsalis pedis, tibialis posterior harus dinilai dan kekuatannya di
kategorikan sebagai aneurisma, normal, lemah atau hilang. Pada umumnya jika pulsasi
arteri tibialis posterior dan dorsalis pedis teraba normal, perfusi pada level ini
menggambarkan patensi aksial normal. Penderita dengan claudicatio intermitten
mempunyai gangguan arteri femoralis superfisialis, dan karena itu meskipun teraba pulsasi
pada lipat paha namun tidak didapatkan pulsasi pada arteri dorsalis pedis dan tibialis
posterior. Penderita diabetik lebih sering didapatkan menderita gangguan infra popliteal
dan karena itu meskipun teraba pulsasi pada arteri femoral dan poplitea tapi tidak
didapatkan pulsasi distalnya.

Ankle brachial index (ABI) merupakan pemeriksaan non-invasif untuk mengetahui


adanya obstruksi di vaskuler perifer bawah. Pemeriksaan ABI sangat murah, mudah
dilakukan dan mempunyai sensitivitas yang cukup baik sebagai marker adanya insufisiensi
arterial. Pemeriksaan ABI dilakukan seperti kita mengukur tekanan darah menggunakan
manset tekanan darah, kemudian adanya tekanan yang berasal dari arteri akan dideteksi
oleh probe Doppler (pengganti stetoskop). Dalam keadaan normal tekanan sistolik di
tungkai bawah (ankle) sama atau sedikit lebih tinggi dibandingkan tekanan darah sistolik
lengan atas (brachial). Pada keadaan di mana terjadi stenosis arteri di tungkai bawah maka
akan terjadi penurunan tekanan. ABI dihitung berdasarkan rasio tekanan sistolik ankle
dibagi tekanan sistolik brachial. Dalam kondisi normal, harga normal dari ABI adalah
>0,9, ABI 0,71–0,90 terjadi iskemia ringan, ABI 0,41–0,70 telah terjadi obstruksi vaskuler
sedang, ABI 0,00–0,40 telah terjadi obstruksi vaskuler berat.

Pasien diabetes melitus dan hemodialisis yang mempunyai lesi pada arteri kaki
bagian bawah, (karena kalsifikasi pembuluh darah), maka ABI menunjukkan lebih dari 1,2
sehingga angka ABI tersebut tidak menjadi petunjuk diagnosis. Pasien dengan ABI kurang
dari 0,5 dianjurkan operasi (misalnya amputasi) karena prognosis buruk. Jika ABI >0,6
dapat diharapkan adanya manfaat dari terapi obat dan latihan.

2. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk menegakkan diagnosis secara


pasti adalah dengan melakukan pemeriksaan lengkap yakni pemeriksaan CBC (Complete
BloodCount), pemeriksaan gula darah, fungsi ginjal, fungsi hepar, elektrolit.

Untuk menentukan patensi vaskuler dapat digunakan beberapa pemeriksaan non


invasif seperti; (ankle brachial index/ ABI) yang sudah dijelaskan pada pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan lainnya ialah transcutaneous oxygen tension (TcP02), USG color Doppler
atau menggunakan pemeriksaan invasif seperti; digital subtraction angiography (DSA),
magnetic resonance angiography (MRA) atau computed tomography angoigraphy (CTA).

Apabila diagnosis adanya penyakit obstruksi vaskuler perifer masih diragukan, atau
apabila direncanakan akan dilakukan tindakan revaskularisasi maka pemeriksaan digital
subtraction angiography, CTA atau MRA perlu dikerjakan. Gold standard untuk diagnosis
dan evaluasi obstruksi vaskuler perifer adalah DSA. Pemeriksaan DSA perlu dilakukan bila
intervensi endovascular menjadi pilihan terapi.

Pemeriksaan foto polos radiologis pada pedis juga penting untuk mengetahui ada
tidaknya komplikasi osteomielitis. Pada foto tampak gambaran destruksi tulang dan
osteolitik
H. Penatalaksanaan

Manajemen kaki diabetik dilakukan secara komprehensif melalui upaya; mengatasi


penyakit (commorbidity), menghilangkan/mengurangi tekanan beban (offloading),
menjaga luka agar selalu lembab (moist), penanganan infeksi, debridemen, revaskularisasi
dan tindakan bedah elektif, profilaktik, kuratif atau emergensi. Penyakit diabetes melitus
melibatkan sistem multi organ yang akan mempengaruhi penyembuhan luka. Hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia, gangguan kardiovaskular (stroke, penyakit jantung koroner),
gangguan fungsi ginjal, dan lainnya harus dikendalikan.

1. Debridemen
Tindakan debridemen merupakan salah satu terapi penting pada kasus kaki diabetika.
Debridemen dapat didefinisikan sebagai upaya pembersihkan benda asing dan jaringan
nekrotik pada luka. Luka tidak akan sembuh apabila masih didapatkan jaringan
nekrotik, debris, kalus, fistula/rongga yang memungkinkan kuman berkembang.
Setelah dilakukan debridemen luka harus diirigasi dengan larutan garam fisiologis atau
pembersih lain dan dilakukan dressing (kompres). Ada beberapa pilihan dalam
tindakan debridemen, yaitu debridemen mekanik, enzimatik, autolitik, biologik, dan
debridement bedah. Debridemen mekanik dilakukan menggunakan irigasi luka cairan
fisiolofis, ultrasonic laser, dan sebagainya, dalam rangka untuk membersihkan jaringan
nekrotik. Debridemen secara enzimatik dilakukan dengan pemberian enzim eksogen
secara topikal pada permukaan lesi. Enzim tersebut akan menghancurkan residu-residu
protein. Contohnya, kolagenasi akan melisikan kolagen dan elastin. Beberapa jenis
debridement yang sering dipakai adalah papin, DNAse dan fibrinolisin. Debridemen
autolitik terjadi secara alami apabila seseorang terkena luka. Proses ini melibatkan
makrofag dan enzim proteolitik endogen yang secara alami akan melisiskan jaringan
nekrotik. Secara sintetis preparat hidrogel dan hydrocolloid dapat menciptakan
kondisi lingkungan yang optimal bagi fagosit tubuh dan bertindak sebagai agent yang
melisiskan jaringan nekrotik serta memacu proses granulasi. Belatung (Lucilla
serricata) yang disterilkan sering digunakan untuk debridemen biologi. Belatung
menghasilkan enzim yang dapat menghancurkan jaringan nekrotik. Debridemen bedah
merupakan jenis debridemen yang paling cepat dan efisien. Tujuan debridemen bedah
adalah untuk:
a. Mengevakuasi bakteri kontaminasi,
b. Mengangkat jaringan nekrotik sehingga dapat mempercepat penyembuhan,
c. Menghilangkan jaringan kalus,
d. Mengurangi risiko infeksi lokal

2. Mengurangi Beban Tekan (Off Loading)


Pada saat seseorang berjalan maka kaki mendapatkan beban yang besar. Pada
penderita diabetes melitus yang mengalami neuropati permukaan plantar kaki mudah
mengalami luka atau luka menjadi sulit sembuh akibat tekanan beban tubuh maupun
iritasi kronis sepatu yang digunakan. Salah satu hal yang sangat penting namun sampai
kini tidak mendapatkan perhatian dalam perawatan kaki diabetik adalah mengurangi
atau menghilangkan beban pada kaki (off loading). Upaya off loading berdasarkan
penelitian terbukti dapat mempercepat kesembuhan ulkus. Metode off loading yang
sering digunakan adalah: mengurangi kecepatan saat berjalan kaki, istirahat (bed rest),
kursi roda, alas kaki, removable cast walker, total contact cast, walker, sepatu boot
ambulatory. Total contact cast merupakan metode off loading yang paling efektif
dibandingkan metode yang lain. Berdasarkan penelitian bahwa dapat mengurangi
tekanan pada luka secara signifikan dan memberikian kesembuhan antara 73%-100%.
TCC dirancang mengikuti bentuk kaki dan tungkai, dan dirancang agar tekanan plantar
kaki terdistribusi secara merata. Telapak kaki bagian tengah diganjal dengan karet
sehingga memberikan permukaan rata dengan telapak kaki sisi depan dan belakang
(tumit).

3. Perawatan Luka
Perawatan luka moderen menekankan metode moist wound healing atau menjaga agar
luka dalam keadaan lembab. Luka akan menjadi cepat sembuh apabila eksudat dapat
dikontrol, menjaga agar luka dalam keadaan lembab, luka tidak lengket dengan bahan
kompres, terhindar dari infeksi dan permeabel terhadap gas. Tindakan dressing
merupakan salah satu komponen penting dalam mempercepat penyembuhan lesi.
Prinsip dressing adalah bagaimana menciptakan suasana dalam keadaan lembab
sehingga dapat meminimalisasi trauma dan risiko operasi. Ada beberapa faktor yang
harus dipertimbangkan dalam memilih dressing yang akan digunakan, yaitu tipe ulkus,
ada atau tidaknya eksudat, ada tidaknya infeksi, kondisi kulit sekitar dan biaya. Ada
beberapa jenis dressing yang sering dipakai dalam perawatan luka, seperti:
hydrocolloid, hydrogel, calcium alginate, foam, kompres anti mikroba, dan sebagainya.
a. Kompres harus mampu memberikan lingkungan luka yang lembab
b. Gunakan penilaian klinis dalam memilih kompres untuk luka luka tertentu yang
akan
diobati
c. Kompres yang digunakan mampu untuk menjaga tepi luka tetap kering selama
sambil tetap mempertahankan luka bersifat lembab
d. Kompres yang dipilih dapat mengendalikan eksudat dan tidak menyebabkan
maserasi pada luka
e. Kompres yang dipilih bersifat mudah digunakan dan yang bersifat tidak sering
diganti
f. Dalam menggunakan dressing, kompres dapat menjangkau rongga luka sehingga
dapat meminimalisasi invasi bakteri
g. Semua kompres yang digunakan harus dipantau secara tepat

4. Pengendalian Infeksi
Pemberian antibitoka didasarkan pada hasil kultur kuman. Namun sebelum hasil kultur
dan sensitifitas kuman tersedia antibiotika harus segera diberikan secara empiris pada
kaki diabetik yang terinfeksi. Pada kaki diabetika ringan/sedang antibiotika yang
diberikan di fokuskan pada patogen gram positif. Pada ulkus terinfeksi yang berat
(limb or life threatening infection) kuman lebih bersifat polimikrobial (mencakup
bakteri gram positif berbentuk coccus, gram negatif berbentuk batang, dan bakteri
anaerob) antibiotika harus bersifat broadspectrum, diberikan secara injeksi. Pada
infeksi berat yang bersifat limb threatening infection dapat diberikan beberapa
alternatif antibiotika seperti: ampicillin/sulbactam, ticarcillin/clavulanate,
piperacillin/tazobactam, Cefotaxime atau ceftazidime+clindamycin, fluoroquinolone +
clindamycin. Sementara pada infeksi berat yang bersifat life threatening infection
dapat diberikan beberapa alternatif antibiotika seperti berikut: ampicillin/sulbactam +
aztreonam, piperacillin/tazobactam + vancomycin, vancomycin + metronbidazole +
ceftazidime, imipenem/cilastatin atau fluoroquinolone + vancomycin + metronidazole.
Pada infeksi berat pemberian antibitoika diberikan selama 2 minggu atau lebih. Bila
ulkus disertai osteomielitis penyembuhannya menjadi lebih lama dan sering kambuh.
Maka pengobatan osteomielitis di samping pemberian antibiotika juga harus dilakukan
reseksi bedah. Antibiotika diberikan secara empiris, melalui parenteral selama 6
minggu dan kemudain dievaluasi kembali melalui foto radiologi. Apabila jaringan
nekrotik tulang telah direseksi sampai bersih pemberian
antibiotika dapat dipersingkat, biasanya memerlukan waktu 2 minggu.

5. Revaskularisasi
Ulkus atau gangren kaki tidak akan sembuh atau bahkan kemudian hari akan
menyerang tempat lain apabila penyempitan pembuluh darah kaki tidak dilakukan
revaskularisasi. Tindakan debridemen, mengurangi beban, perawatan luka, tidak akan
memberikan hasil optimal apabila sumbatan di pembuluh darah tidak dihilangkan.
Tindakan endovaskular (Angioplasti Transluminal Perkutaneus (ATP) dan
atherectomy) atau tindakan bedah vaskular dipilih berdasarkan jumlah dan panjang
arteri femoralis yang tersumbat. Bila oklusi terjadi di arteri femoralis satu sisi dengan
panjang atherosklerosis <15 cm tanpa melibatkan arteri politea, maka tindakan yang
dipilih adalah ATP. Namun lesi oklusi bersifat multipel dan mengenai arteri
poplitea/arteri tibialis maka tindakan yang direkomendasikan adalah bedah vaskular
(by pass). Berdasarkan penelitian revaskularisasi agresif pada tungkai yang
mengalami iskemia dapat menghindakan amputasi dalam periode 3 tahun sebesar
98%.

6. Tindakan Bedah
Jenis tindakan bedah pada kaki diabetika tergantung dari berat ringannya ulkus
diabetes melitus. Tindakan bedah dapat berupa insisi dan drainage, debridemen,
amputasi, bedah revaskularisasi, bedah plastik atau bedah profilaktik. Intervensi bedah
pada kaki diabetika dapat digolongkan menjadi empat kelas I (elektif), kelas II
(profilaktif), kelas III (kuratif) dan kelas IV (emergency). Tindakan elektif ditujukan
untuk
menghilangkan nyeri akibat deformitas, seperti pada kelainan spur tulang, hammer
toes atau bunions. Tindakan bedah profilaktif diindikasikan untuk mencegah terjadinya
ulkus
atau ulkus berulang pada pasien yang mengalami neuropati. Prosedur rekonsktuksi
yang dilakukan adalah melakukan koreksi deformitas sendi, tulang atau tendon.
Tindakan bedah kuratif diindikasikan bila ulkus tidak sembuh dengan perawatan
konservatif. Contoh tindakan bedah kuratif adalah bila tindakan endovaskular
(angioplasti dengan menggunakan balon atau atherektomi) tidak berhasil maka perlu
dilakukan bedah vaskular. Osteomielitis kronis merupakan indikasi bedah kuratif. Pada
keadaan ini jaringan tulang mati dan jaringan granulasi yang terinfeksi harus diangkat,
sinus dan rongga mati harus dihilangkan. Prosedur bedah ditujukan untuk
menghilangkan penekanan kronis yang mengganggu proses penyembuhan. Tindakan
tersebut dapat berupa exostectomy, artroplasti digital, sesamodectomy atau reseksi
caput metatarsal. Tindakan bedah emergensi paling sering dilakukan, yang
diindikasikan untuk menghambat atau menghentikan proses infeksi. Tindakan bedah
emergensi dapat berupa amputasi atau debridemen jaringan nekrotik. Dari sudut
pandang seorang ahli bedah, tindakan pembedahan ulkus terinfeksi dapat dibagi
menjadi infeksi yang tidak mengancam tungkai (grade 1 dan 2) dan infeksi
yang mengancam tungkai (grade 3 dan 4).
Pada ulkus terinfeksi superfisial tindakan debridement dilakukan dengan tujuan untuk:
drainage pus, mengangkat jaringan nekrotik, membersihkan jaringan yang
menghambat pertumbuhan jaringan, menilai luasnya lesi dan untuk mengambil sampel
kultur kuman. Tindakan amputasi dilakukan bila dijumpai adanya gas gangren,
jaringan terinfeksi,
untuk menghentikan perluasan infeksi, mengangkat bagian kaki yang mengalami
ulkus berulang.

I. Komplikasi

Komplikasi berat dari infeksi kaki pada pasien diabetes melitus adalah fasciitis nekrotika
dan gas gangren. Pada keadaan demikian diperlukan tindakan bedah emergensi berupa
amputasi. Amputasi bertujuan untuk menghilangkan kondisi patologis yang mengganggu
fungsi, penyebab kecacatan atau menghilangkan penyebab yang dapat mengancam jiwa

sehingga rehabilitasi kemudian dapat dilakukan. Indikasi amputasi pada kaki diabetika:

a. Gangren terjadi akibat iskemia atau nekrosis yang meluas


b. Infeksi yang tidak bisa dikendalikan
c. Ulkus resisten
d. Osteomielitis
e. Amputasi jari kaki yang tidak berhasil,
f. Bedah revaskularisasi yang tidak berhasil
g. Trauma pada kaki
h. Luka terbuka yang terinfeksi pada ulkus diabetika akibat neuropati

J. Pencegahan

Fokus utama penanganan kaki diabetik adalah pencegahan terhadap


terjadinya luka.Strategi pencegahan meliputi edukasi kepada pasien, perawatan kulit,
kuku dan kaki dan penggunaan alas kaki yang dapat melindungi.

Pada penderita dengan risiko rendah diperbolehkan menggunakan sepatu,


hanya saja sepatu yang digunakan tidak sempit atau sesak. Sepatu atau sandal
dengan bantalan yang lembut dapat mengurangi risiko terjadinya kerusakan jaringan
akibat tekanan langsung yang dapat memberi beban pada telapak kaki.

Pada penderita diabetes mellitus dengan gangguan penglihatan sebaiknya


memilih kaos kaki yang putih karena diharapkan kaos kaki putih dapat
memperlihatkan adanya luka dengan mudah.

Perawatan kuku yang dianjurkan pada penderita diabetes mellitus adalah


kuku-kuku harus dipotong secara transversal untuk mengurangi risiko terjadinya
kuku yang tumbuh kedalam dan menusuk jaringan sekitar.

Edukasi tentang pentingnya perawatan kulit, kuku dan kaki serta penggunaan
alas kaki yang dapat melindungi dapat dilakukan saat penderita datang untuk
kontrol.

Jenis alas kaki yang direkomendasikan

Pencegahan kaki diabetik, yaitu :

a. Setiap infeksi meskipun kecil merupakan masalah penting sehingga menuntut


perhatian penuh.
b. Kaki harus dibersihkan secara teliti dan dikeringkan dengan handuk kering setiap
kali
mandi.
c. Kaki harus diinspeksi setiap hari termasuk telapaknya, dapat dengan menggunakan
cermin.
d. Kaki harus dilindungi dari kedinginan.
e. Kaki harus dilindungi dari kepanasan,batu atau pasir panas dan api.
f. Sepatu harus cukup lebar dan pas.
g. Dianjurkan memakai kaus kaki setiap saat.
h. Kaus kaki harus cocok dan dikenakan secara teliti tanpa lipatan.
i. Alas kaki tanpa pegangan, pita atau tali antara jari.
j. Kuku dipotong secara lurus.
k. Berhenti merokok
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

Pengkajian merupakan langkah utama dan dasar utama dari proses kepera#atan
yang mempunyai dua kegiatan pokok, yaitu:
1. Pengumpulan data
a. Identitas penderita
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
alamat, status perkawinan, suku bangsa, nomor register, tanggal
masuk rumah sakit dan diagnosa medis
b. Keluhan utama
Adanya rasa kesemutan pada kaki atau tungkai bawah, rasa raba yang
menurun, adanyaluka yang tidak sembuh – sembuh dan berbau,
adanya nyeri pada luka
c. Riwayat kesehatan sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya luka, penyebab terjadinya luka serta
upaya yang telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya
d. Riwayat kesehatan dahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit – penyakit lain yang ada
kaitannya dengandefisiensi insulin misalnya penyakit pankreas.
Adanya riwayat penyakit jantung, obesitas, maupun arterosklerosis,
tindakan medis yang pernah di dapat maupun obat-obatan yang biasa
digunakan oleh penderita.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota keluarga
yang juga menderita DM atau penyakit keturunan yang dapat
menyebabkan terjadinya defisiensi insulin misal hipertensi, jantung.
f. Riwayat psikososial
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang dialami
penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga
terhadap penyakit penderita.

26
2. Pemeriksaan fisik
Status kesehatan umum, meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara,
tinggi badan, berat badan dan tanda – tanda vital.
a. Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada leher,
telinga kadang-kadang berdenging, adakah gangguan pendengaran,
lidah sering terasa tebal, ludahmenjadi lebih kental, gigi mudah
goyah, gusi mudah bengkak dan berdarah, apakah penglihatan kabur
4 ganda, diplopia, lensa mata keruh.
b. Sistem integumen
Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman bekas luka,
kelembaban danshu kulit di daerah sekitar ulkus dan gangren,
kemerahan pada kulit sekitar luka, tekstur rambut dan kuku.
c. Sistem pernafasan
Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada. Pada penderita DM
mudah terjadi infeksi.
d. Sistem kardiovaskuler
Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau berkurang,
takikardi/bradikardi, hipertensi/hipotensi, aritmia, kardiomegalis.
e. Sistem gastrointestinal
Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare, konstipasi, dehidrase,
perubahan berat badan, peningkatan lingkar abdomen, obesitas.
f. Sistem urinary
Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas atau sakit saat
berkemih.
g. Sistem muskuloskeletal
Penyebaran lemak, penyebaran masa otot, perubahn tinggi badan, cepat
lelah, lemah dannyeri, adanya gangren di ekstrimitas
h. Sistem neurologis
Terjadi penurunan sensoris, parasthesia, anastesia, letargi, mengantuk,
reflek lambat, kacau mental, disorientasi

27
B. Diagnosa Keperawatan

Adapun diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien gangren kaki diabetik
adalah sebagai berikut:
1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan melemahnya/
menurunnya aliran darah ke daerah gangren akibat adanya obstruksi
pembuluh darah
2. Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren pada
ekstrimitas.
3. Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) berhubungan dengan iskemik jaringan
4. Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri pada luka
5. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan intake makanan yang kurang
6. Gangguan gambaran diri berhubungan dengan perubahan bentuk salah
satu anggota tubuh
7. Ganguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada luka di kaki

C. Intervensi Keperawatan

1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan melemahnya/


menurunnya aliran darah ke daerah gangren akibat adanya obstruksi
pembuluh darah
Tujuan: mempertahankan sirkulasi perifer tetap normal
Kriteria hasil:
 Denyut nadi perifer teraba kuat dan reguler
 Warna kulit sekitar luka tidak pucat/sianosis
 Kulit sekitar luka teraba hangat
 Oedema tidak terjadi dan luka tidak bertambah parah
 Sensorik dan motorik membaik
Rencana tindakan:
a. Ajarkan pasien untuk melakukan mobilisasi
Rasional: Dengan mobilisasi meningkatkan sirkulasi darah

28
b. Ajarkan tentang faktor-faktor yang dapat meningkatkan aliran
darah
Tinggikan kaki sedikit lebih rendah dari jantung (posisi elevasi pada
waktu istirahat), hindari penyilangkan kaki, hindari balutan ketat,
hindari penggunaan bantal, di belakang lutut dan sebagainya.
Rasional: Meningkatkan melannarkan aliran darah balik sehingga tidak
terjadi oedema
c. Ajarkan tentang modifikasi faktor-faktor resiko berupa:
Hindari diet tinggi kolestrol, teknik relaksasi, menghentikan kebiasaan
merokok, dan penggunaan obat vasokontriksi
Rasional: Kolestrol tinggi dapat mempercepat terjadinya
arterosklerosis, merokok dapat menyebabkan terjadinya
vasokontriksi pembuluh darah, relaksasi untuk mengurangi efek
dari stres
d. Kerja sama dengan tim kesehatan lain dalam pemberian
vasodilator, pemeriksaan gula darah secara rutin dan terapi oksigen
Rasional: Pemberian vasodilator akan meningkatkan dilatasi pembuluh
darah sehingga perfusi jaringan dapat diperbaiki, sedangkan
pemeriksaan gula darah secara rutin dapat mengetahui
perkembangan dan keadaan pasien, HBO untuk memperbaiki
oksigenasi daerah ulkus/gangren
2. Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren pada
ekstrimitas
Tujuan: Tercapainya proses penyembuhan luka
Kriteria hasil:
 Berkurangnya oedema sekitar luka
 Pus danjaringan berkurang
 Adanya jaringan granulasi
 Bau busuk luka berkurang
Rencana tindakan:
a. Kaji luas dan keadaan luka serta proses penyembuhan
Rasional: Pengkajian yang tepat terhadap luka dan proses

29
penyembuhan akan membantu dalam menentukan tindakan
selanjutnya
b. Rawat luka dengan baik dan benar: membersihkan luka secara
aseptik menggunakan laruran yang tidak iritatif, angkat sisa balutan
yang menempel pada luka dan nekrotomi jaringan yang mati
Rasional: Merawat luka dengan teknik aseptik, dapat menjaga
kontaminasi luka dan larutan yang iritatif akan merusak jaringan
granulasi yang timbul, sisa balutan jaringan nekrosis dapat
menghambat proses granulasi
c. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian insulin, pemeriksaan
kultur pus, pemeriksaan gula darah, pemberian antibiotik
Rasional: Insulin akan menurunkan kadar gula darah, pemeriksaan
kultur pus untuk mengetahui jenis kuman dan antibiotik yang tepat
untuk pengobatan, pemeriksaan kadar gula darah untuk mengetahui
perkembangan penyakit.
3. Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) berhubungan dengan iskemik jaringan
Tujuan: Rasa nyeri hilang/berkurang
Kriteria hasil:
 Penderita secara verbal mengatakan nyeri berkurang/hilang
 Pergerakan penderita bertambah luas
 Tidak ada keringat dingin, tanda vital dalam batas normal (S: 36-
37,5°C, N: 60-80x/menit, T: 100-130 mmHg, RR: 18-20x/menit)
Rencana tindakan:
a. Kaji tingkat, frekuensi, dan reaksi nyeri yang dialami pasien
Rasional: Untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami pasien.
b. Jelaskan pada pasien tentang sebab-sebab timbulnya nyeri
Rasional: Pemahaman pasien tentang penyebab nyeri yang terjadi akan
mengurangiketegangan pasien dan memudahkan pasien untuk
diajak bekerjasama dalam melakukantindakan.
c. Ciptakan lingkungan yang tenang
Rasional: Rangasangan yang berlebihan dari lingkungan akan
memperberat rasa nyeri.

30
d. Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi
Rasional: Teknik distraksi dan relaksasi dapat mengurangi rasa nyeri
yang dirasakan pasien.
e. Atur posisi pasien senyaman mungkin sesuai keinginan pasien
Rasional: Posisi yang nyaman akan membantu memberikan
kesempatan pada otot untuk relaksasi seoptimal mungkin.
f. Lakukan massage dan kompres luka dengan BWC saat rawat luka
Rasional: Massage dapat meningkatkan vaskulerisasi dan pengeluaran
pus sedangkan BWC sebagai desinfektan yang dapat memberikan
rasa nyaman.
g. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik
Rasional: Obat –obat analgesik dapat membantu mengurangi nyeri
pasien
4. Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri pada luka
Tujuan: Pasien dapat mencapai tingkat kemampuan aktivitas yang optimal
Kriteria hasil:
 Pergerakan pasien bertambah luas
 Pasien dapat melaksanakn aktivitas sesuai dengan kemampuan
(duduk, berdiri, berjalan)
 Rasa nyeri berkurang
 Pasien dapat memenuhi kebutuhan secara bertahap sesuai dengan
kemampuan
Rencana tindakan:
a. Kaji dan identifikasi tingkat kekuatan otot pada kaki pasien
Rasional: Untuk mengetahui derajat kekuatan otot-otot kaki pasien
b. Beri penjelasan tentang pentingnya melakukan aktivitas untuk
menjaga kadar gula dalam keadaan normal
Rasional: Pasien mengerti pentingnya aktivitas sehingga dapat
kooperatif dalam tindakan keperawatan
c. Anjurkan pasien untuk menggerakkakn/ mengangkat ekstremitas
bawah sesuai kemampuan
Rasional: Untuk melatih otot-otot kai sehingga berfungsi dengan baik

31
d. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhannya
Rasional: Agar kebutuhan pasien tetap dapat terpenuhi
e. Kerja sama dengan tim kesehatan lain: dokter (pemberian
analgesik) dan tenaga fisioterapi
Rasional: Analgetik dapat membantu mengurangi rasa nyeri, fisioterapi
untyk melatih pasien melakukan aktivitas secara bertahap dan
benar
5. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan intake makanan yang kurang
Tujuan: Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi
Kriteria hasil:
 Berat badan dan tinggi badan ideal
 Pasien mematuhi dietnya
 Kadar gula darah dalam batas normal
 Tidak ada tanda-tanda hiperglikemia/hipoglikemia
Rencana tindakan:
a. Kaji status nutrisi dan kebiasaan makan
Rasional: Untuk mengetahui tentang keadaann dan kebutuhan nutrisi
pasien sehingga dapat diberikan tindakan dan pengaturan diet yang
adekuat
b. Anjurkan pasien untuk mematuhi diet yang telah di programkan
Rasional: Kepatuhan terhadap diet dapat mencegah komplikasi
terjadinya hipoglikemi/hiperglikemi
c. Timbang berat badan setiap seminggu sekali
Rasional: Mengetahui perkembangan berat badan pasien (berat badan
merupakan salah satu indikasi mementukan diet)
d. Identifikasi perubahan pola makan
Rasional: Mengetahui apakah pasien telah melaksanakan program diet
yang ditetapkan
e. Kerja sama dengan tim kesehatan lain untuk pemberian insulin dan
diet diabetik
Rasional: Pemberian insulin akan meningkatkan pemasukan glukosa ke

32
dalam jaringan sehingga gula darah menurun, pemberian diet yang
sesuai dapat mempercepat penurunan gula darah dan mencegah
komplikasi
6. Gangguan gambaran diri berhubungan dengan perubahan bentuk salah
satu anggota tubuh
Tujuan: Pasien dapat menerima perubahan bentuk salah satu anggota
tubuhnya secara positif
Kriteria hasil: Pasien mau berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan.
Tanpa rasa malu dan rendah diri. Pasien yakin akan kemampuan yang
dimiliki
Rencana tindakan:
a. Kaji perasaan/persepsi pasien tentang perubahan gambaran diri
berhubungan dengan keadaan anggota tubuhnya yang kurang
berfungsi secara normal
Rasional: Mengetahui adanya rasa negatif pasien terhadap dirinya
b. Lakukan pendekatan dan bina hubungan saling percaya dengan
pasien
Rasional: Memudahkan dalam menggali permasalahan pasien
c. Tunjukkan rasa empati, perhatian dan penerimaan pada pasien
Rasional: Pasien akan merasa dirinya di harga
d. Bantu pasien untuk mengadakan hubungan dengan orang lain
Rasional: Dapat meningkatkan kemampuan dalam mengadakan
hubungan dengan orang lain dan menghilangkan perasaan terisolasi
e. Beri kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan perasaan
kehilangan
Rasional: Untuk mendapatkan dukungan dalam proses berkabung yang
normal
f. Beri dorongan pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan diri dan
hargai pemecahan masalah yang konstruktif dari pasien
Rasional: Untuk meningkatkan perilaku yang adiktif dari pasien
7. Ganguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada luka di kaki
Tujuan: Gangguan pola tidur pasien akan teratasi

33
Kriteria hasil:
 Pasien mudah tidur dalam waktu 30-40 menit
 Pasien tenang dan wajah segar
 Pasien mengungkapkan dapat beristirahat dengan cukup
Rencana tindakan:
a. Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang
Rasional: Lingkungan yang nyaman dapat membantu meningkatkan
tidur/istirahat.
b. Kaji tentang kebiasaan tidur pasien di rumah
Rasional: Mengetahui perubahan dari hal-hal yang merupakan
kebiasaan pasien ketikatidur akan mempengaruhi pola tidur pasien.
c. Kaji adanya faktor penyebab gangguan pola tidur yang lain seperti
cemas, efek obat-obatan dan suasana ramai
Rasional: Mengetahui faktor penyebab gangguan pola tidur yang lain
dialami dan dirasakan pasien.
d. Anjurkan pasien untuk menggunakan pengantar tidur dan teknik
relaksasi
Rasional: Pengantar tidur akan memudahkan pasien dalam jatuh dalam
tidur, teknik relaksasi akan mengurangi ketegangan dan rasa nyeri.
D. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan
evaluasi ini adalah membandingkan hasil yang telah dicapai setelah
implementasi keperawatan dengan tujuan yang diharapkan dalam
perencanaan.
Perawat mempunyai tiga alternatif dalam menentukan sejauh mana tujuan
tercapai:
1. Berhasil: Perilaku pasien sesuai pernyatan tujuan dalam waktu atau
tanggal yang ditetapkan di tujuan
2. Tercapai sebagian: Pasien menunujukan prilaku tetapi tidak sebaik yang
ditentukandalam pernyataan tujuan
3. Belum tercapai: Pasien tidak mampu sama sekali menunjukkan prilaku
yangdiharapakan sesuai dengan pernyataan tujuan

34
DAFTAR PUSTAKA

ADA, 2011, Standards of Medical Care for Patients With Diabetes Mellitus,
Diabetes Care 25.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI,
2013. Riset Kesehatan Dasar 2013, Jakarta : Laporan Nasional.
Black & Hawks, 2009. Medical Surgical Nursing, 7thed, St.Louis, Elsevier
Saunders.
Bustan, M.N, 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, Cetakan Kedua,
Edisi Revisi, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Kristianto, Heri. 2014. Pemeriksaan Fisik dan Diagnostik Sistem Endokrin.
Materi Kuliah.
Malang
PERKENI. 2011. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus
Tipe2 di
Indonesia 2011
Smeltzer& Bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Edisi 8,
Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Soegondo, S, dkk., 2011. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta

35
FORMAT PENGKAJIAN DATA DASAR
Nama Mahasiswa : Hendi Wijayanto Tempat Praktik : IRNA 3A
NIM 1801100520 Tanggal Praktik: 28-09-2020

A. Identitas Klien
Nama : Tn. S
No. RM : 206575
Usia : 50 tahun
Tanggal MRS : 27 September 2020
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tgl. Pengkajian : 28 September 2020
Alamat : Mondoroko Perum Banjararum Singosari
Sumber Informasi : Keluarga dan Pasien
No Telp : 082531695115
Status Pernikahan : Menikah
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Diagnosa Medis : Diabetic Foot (Post Op Debridement)
Nama Penanggung Jawab : Nining
Status : Istri
Alamat : Mondoroko Perum Banjararum Singosari
No. Telp : 082531695115
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT

36
B. Status Kesehatan Saat Ini
1) Keluhan Utama
a. Saat MRS: Pasien datang dengan keluhan ada luka di kaki kanan
di jari pertama dan kedua. Luka sudah 2 minggu yang lalu dirawat
dirumah sendiri karna takut ke RS. Pasien memeriksakan ke IGD
Rs Prima Husada tgl 27-09-2020 jam 22.00 dan dokter
menyarankan untuk segera dilakukan tindakan operasi, karna luka
di kakinya sudah menghitam. Pasien direncanakan operasi dengan
tindakan debridement necrotomy pada tgl 28-09-2020 jam 06.00.
Mual (-), Muntah (-), Demam (+), Bapil (-)
b. Saat pengkajian: Pasien mengatakan nyeri pada bekas luka
operasi dan badan terasa lemas masih belum bisa melakukan
gerakan.
2) Riwayat Penyakit Sekarang: Post OP Debridemen Hari 1
C. Riwayat Kesehatan Terdahulu
1) Penyakit yang pernah dialami:
a. Kecelakaan: Tidak pernah
b. Operasi: Post OP Debridemen + amputasi kaki kanan digiti 3
dextra tahun 2019
c. Penyakit: RPD HT (+), DM (+) terkontrol untuk DM nya
2) Alergi: tidak ada
3) Kebiasaan
Jenis Frekuensi Jumlah Lamanya
Merokok Berhenti - Baru 2 tahun
Minum Kopi Setiap pagi hari 1 gelas sedang Sudah dari remaja

Alkoholisme Tidak pernah - -


Lainnya Tidak pernah - -

4) Obat-obatan yang digunakan


Jenis Lamanya Dosis

37
Amlodipin Tidak teratur 10 mg pagi
Glucui 3 tahun 2x30 mg sebelum makan

D. Riwayat Keluarga
Genogram:

Keterangan

E. = Laki-laki

= Perempuan

= Pasien

= Tinggal Satu Rumah

F. Pola Aktivitas-Latihan
Jenis Di Rumah Di RS
Makan/ Minum Mandiri Dibantu
Mandi Mandiri Hanya di seka
Berpakaian/ Berdandan Mandiri Dibantu
Toiletting Mandiri Belum BAB selama di RS dan untuk
BAK menggunakan DC (dower
cateter)
Mobilitas di tempat tidur Mandiri Mandiri
Berpindah Mandiri Mandiri
Berjalan Mandiri Masih belum bisa berjalan dengan
sendiri karena masih post OP hari 1
Naik tangga Mandiri Belum bisa
Masalah : Aktivitas dan latihannya membutuhkan bantuan sebagian dari

38
keluarga dan perawat

G. Pola Nutrisi-Metabolik
Jenis Di Rumah Di RS
Jenis diet/ makanan Makanan apapun yang NasitimDM (bubur kasar)
dimasak dengan tidak
yang manis-manis
Frekuensi/ pola 3 kali dalam sehari, terkadang 3x1
2 kali
Porsi yang dihabiskan Selalu habis Habis ½ porsi untuk Ntim (bubur kasar)
Komposisi menu Ada sayur dan lauk Lenkap namun tidak dengan teh
Pantangan Manis dan asin Rendah garam rendah lemak dan rendah
gula
Nafsu makan Cukup Cukup
Fluktuasi BB 6 bulan Terjadi penurunan dari awal Terjadi penurunan dari awal berat badan
terakhir berat badan 75 Kg 75 Kg sekarang menjadi 70 Kg
sekarang menjadi 70 Kg
Sukar menelan (padat/ Normal Normal
cair)
Pemakaian gigi palsu Tidak ada Tidak ada
(area)
Riwayat masalah Luka sembuh lama tidak Luka sembuh lama tidak seperti orang
penyembuhan luka seperti orang normal normal lainnya
lainnya
Masalah: Pola makan dan minum selama di rumah baik dan selama di RS tidak
ada perubahan pola makan, namun ada sedikit perubahan kandungan dan
menu makanan di RS karena sudah dihitung kalorinya sesuai dengan
kondisi pasien.
H. Pola Eliminasi
Jenis Di Rumah Di RS
BAB
Frekuensi/ pola 1 kali dalam sehari Belum BAB sama sekali
selama rawat inap
Konsistensi Padat -
Warna dan bau Kuning, biasa -
Kesulitan Tidak sulit, biasa Terasa keras saat mau
BAB
Upaya mengatasi - Minum air putih dan
makan yang berserat
BAK
Frekuensi/ pola 3 kali – 5 kali dalam Menggunakan DC (dower
sehari cateter)

39
Konsistensi Cair Cair
Warna dan bau Kuning jernih Kuning jernih
Kesulitan Tidak sulit Tidak terasa
Upaya mengatasi - -
Masalah: Pasien belum BAB sudah 2 hari dari mulai hari pertama MRS.

I. Pola Tidur-Istirahat
Jenis Di Rumah Di RS
Tidur siang
Lamanya Jarang tidur siang Bisa sampai 1 jam 3 jam
di siang hari
Jam 12.00 s/d 15.00 Tidak ada Mulai tidur jam 10.00 s/d
jam 14.00
Kenyamanan setelah Nyaman Nyaman, tetapi masih
tidur sering terbangun
Tidur malam
Lamanya 7 jam 9 jam
Jam 21.00 s/d 05.00 Sekitar jam 22.00 Sekitar dari jam 20.00
s/d jam 05.00 s/d jam 05.30
Kenyamanan setelah Nyaman Nyaman, tetapi masih
tidur sering terbangun
Kebiasaan sebelum Menonton TV Tidak ada
tidur
Kesulitan Tidak ada Tidak ada
Upaya yang dilakukan - -
Masalah: tidak ada masalah

J. Pola Kebersihan Diri


Jenis Di Rumah Di RS
Mandi: Frekuensi 2 kali di pagi dan sore Belum mandi sama
hari sekali, hanya di seka 1
kali dalam 1 hari
Penggunaan sabun Iya Tidak
Keramas: Frekuensi Setiap hari Belum pernah
Penggunaan sampo Iya Tidak
Gosok gigi: Frekuensi 2 kali saat mandi Tidak
Penggunaan odol Iya Tidak
Kesulitan Tidak ada Karena masih post OP
jadi masih belum bisa
bergerak sendiri
Upaya yang dilakukan - Tidak ada
Masalah: Pasien kebersihan diri cukup baik, untuk kerapihan cukup baik.

40
K. Pola Toleransi-Koping Stres
a. Pengambilan Keputusan: Dibantu orang lain yaitu keluarga
b. Masalah utama terkait dengan perawatan di RS atau penyakit: Untuk
masalah pembiayaan, pasien menggunakan asuransi kesehatan BPJS
sesuai kelas yang semuanya ditanggung oleh BPJS. Untuk masalah
penyakit, ini merupakan penyakit yang menurut pasien menyusahkan
orang lain, karena dalam beraktifitas saja pasien masih membutuhkan
bantuan dari orang lain.
c. Yang biasa dilakukan apabila stress/ mengalami masalah: Berdiam diri
d. Perubahan yang dirasa setelah sakit: Pasien masih harus beradaptasi
pasca operasi ini.
Masalah: Pasien merasa harga dirinya terganggu karena untuk saat ini
membutuhkan bantuan untuk melakukan ADL.

L. Pola Peran-Hubungan
a. Peran dalam keluarga: Pasien berperan sebagai kepala rumah tangga
b. Sistem pendukung: Ada istri
c. Kesulitan dalam keluarga: Tidak ada kesulitan dalam keluarga
d. Masalah tentang peran: Hubungan dengan keluarga selama perawatan
di RS: Baik
e. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi: Tidak ada
Masalah: Tidak ada masalah dalam pola peran-hubungan

M. Pola Komunikasi
a. Bicara: Normal, Bahasa utama: Jawa
b. Tempat tinggal: Bersama keluarga (Suami dan Anak)
c. Kehidupan keluarga:
 Adat istiadat yang dianut: Tidak ada

41
 Pantangan adaptasi dan agama yang dianut: Agam Islam dan tidak
ada pantangan
 Penghasilan keluarga: Kisaran Rp. 2.500.000 – Rp. 3.500.000

N. Pola Seksualitas
Tidak ada masalah dalam hubungan seksual, masih aktif namun juga jarang
berhubungan.

O. Pola Nilai dan kepercayaan


a. Apakah Tuhan, agama, kepercayaan penting untuk anda? Iya
b. Kegiatan agama/ kepercayaan yang dilakukan di rumah? Shalat sesuai
waktu dan mengaji terkadang
c. Kegiatan agama/ kepercayaan yang tidak dapat dilakukan di RS? Shalat
d. Harapan klien terhadap perawat untuk melaksanakan ibadahnya? Bisa
memfasilitasi untuk shalat

P. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
a. Kesadaran: Compos Metis
b. TTV: TD: 140/70 mmHg, RR: 20x/menit, Suhu: 36,4°C, Nadi:
102x/menit
c. Tinggi badan: 170 cm, Berat Badan: 80 Kg
2. Kepala dan Leher
a. Kepala
Bentuk: Normo Chepal
Distribusi rambut: DBN
Keluhan pusing/sakit kepala/migrain/lainnya: Tidak ada
Massa: Tidak teraba
Warna kulit kepala; DBN
b. Mata: DBN
c. Hidung: DBN
d. Mulut dan Tenggorokan

42
Warna bibir: DBN
Ulkus: Tidak ada
Massa: Tidak ada
Perdarahan gusi Tidak ada
Kesulitan menelan: Tidak
Sakit tenggorokan: Tidak
Pemeriksaan gigi terakhir: Hari ini
Mukosa: Lembab
Lesi: Tidak ada
Warna lidah: DBN
Karies: Tidak ada
Gigi geligi: Tidak ada
Gangguna bicara: Tidak ada
e. Telinga: DBN
f. Leher: DBN
3. Dada
Inspeksi dan palpasi dada: DBN
a. Jantung
 Inspeksi: Simetris
 Palpasi: Pengembangan dada simetris, tidak ada ictus cordis,
fremitus raba simetris, tidak ada benjolan
 Perkusi: Sonor
Batas kanan : ICS 4 parastrernal dextra
Batas kiri : ICS 5-6 anterior axsilaryline sinistra
 Auskultasi: Suara jantung S1 S2 tunggal, reguler, murmur
gallop negatif
b. Paru
 Inspeksi: Simetris
 Palpasi: Pengembangan dada simetris, tidak ada ictus cordis,
fremitus raba simetris, tidak ada benjolan
 Perkusi: Sonor
 Auskultasi:

43
Rh - - Wz - -
- - - -
- - - -
4. Payudara dan Ketiak: DBN
5. Abdomen
 Inspeksi: Bentuk flat
 Auskultasi: Bising usus normal
 Palpasi: Supel, Lien tidak teraba
 Perkusi: Timpani
6. Genetalia: DBN
7. Ekstremitas
Kekuatan otot : 5 5
5 5
Luka: Pedis dextra digiti 1 dan 2
8. Kulit dan Kuku: DBN

Q. Hasil Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
Tanggal Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
27Septembe A. Hematologi
r 2020 1. Hemoglobin 12,9 g/dL L: 13,3-17,7 P: 11,7-
2. Hitung leukosit 12000cell/cm 15,7
3. Hitung jenis m
4. Eosinofil 4/1/45/42/8 4.000-11.000
5. Basofil 4%
6. Neutrofil 1% 2-4
7. Limfosit 45% 0-1
8. Monosit 42% 50-70
9. Hitung 8 25-40
trombosit 191.000 2-8
10. Hematokrit cell/cmm 150.000-450.000
11. Hitung eritrosit 39,1%
12. MCV 4,32% L: 40-54 P: 35-47
13. MCH L: 4,5-6,5 P: 3,0-6,0
14. MCHC 90 fL
15. PPT 29,9 pg 80-97
16. KPTT 33 g/Dl 27-34
B. Kimia Klinik 16,9 Detik 32-36
1. Ureum 32,2 Detik

44
2. (BUN)
3. Kreatinin
4. GDA 33,6 mg/dL 10-50
C. Lain-Lain 15,7 mg/dL 5-23
1. Rapid test 2,05 mg/dL L: 0,6-1,1 P: 0,5-0,9
covid 250 mg/dL

Non Reaktif
28 GDA 160 mg/dL
September
2020

17. Radiologi
Tanggal 27 September 2020 dilakukan Thorax AP dengan hasil bacaan
Normal

D. Pengobatan
IVFD: NaCL 0,9% 8 tpm makro
Injeksi: Ceftriaxon 2x1 gr, Ketorolax 3x30 mg
PO: Glucuidon 2x30 mg

E. Persepsi Klien Terhadap Penyakitnya


Pasien merasa sakitnya sekarang akibat dari gaya hidup yang tidak sehat di
masa lalu. Pasien juga merasa seperti kurang percaya diri terhadap
penyakitnya dan tidak bisa bebas seperti dulu sebelum sakit.

Malang, 28 September 2020

Hendi Wijayanto
NIM: 1801100520

45
FORMAT ANALISA DATA
No Data Fokus Etiologi Masalah Keperawatan
1.DS : Pasien mengatakan nyeri Pengalaman sensorik Nyeri akut
pada bekas luka operasi atau emosional yang dx. 1. Nyeri akut
DO : berkaitan dengan 2. Resiko infeksi
 RR : 20x/mnt kerusakan jaringan aktual 3. Ketidakstabilan
 T: 140/90 mmHg atau fungsional, dengan kadar gula darah
 N: 102x/menit onset mendadak atau 4. Perifer jaringan
 Wajah meringis lambat dan berintensitas
 Pasien mengatakan ringan hingga berat yang
tidurnya terganggu saat berlangsung kurang dari
di RS 3 bulan
 P: Prosedur operasi
 Q: Perih terasa agak Agen pencendera fisik
panas (prosedur operasi)
 R: Kaki yang di
operasi, di jari Kondisi pembedahan
 S: 4 menggunakan
wong baker Nyeri akut
 T: terasa nyeri terus
menerus, kurang lebih
30 menitan
2. DS : - Berisiko mengalami Risiko infeksi
DO : peningkatan terserang
 Terdapat luka di bagian organisme patogenik
kaki setelah di operasi
Kerusakan integritas
kulit

Risiko infeksi
3. DS : Pasien mnegatakan Ketidak cukupan energi Intoleransi aktivitas
badan masih lemas belum untuk melakukan
bisa melakukan gerakan aktivitas sehari-sehari
DO :
 RR : 20x/mnt Immobilitas
 T: 140/90 mmHg
 N: 102x/menit (kondisi Gangguan metabolik
istirahat/ diam)
Pasien hanya bisa Intoleransi aktivitas
berbaring di tempat tidur

46
4. DS : - Perubahan fungsi tubuh Gangguan citra tubuh
DO : pasien terlihat
murung Kondisi pasca operasi
Pasien tidak fokus
Amputasi pedis digiti 1,2

Gangguan Citr tubuh

DIAGNOSA KEPERAWATAN

Ruang : Irna 3A
Nama pasien : Tn. S
Diagnosa : Diabetic Foot (Post Op Debridement)

No Tanggal Diagnosa Keperawatan Tanggal Tanda


Muncul teratasi Tangan
1. 28-9-2020 Nyeri akut b.d prosedur operasi d.d 29-9-2020
tampak wajah meringis
2. 28-9-2020 Risiko infeksi b.d kerusakan 29-9-2020
integritas kulit
3. 28-9-2020 Intoleransi aktifitas b.d immobilitas 29-9-2020
d.d badan lemas (pasca operasi)
4. 28-9-2020 Gangguan Citra Tubuh b.d 29-9-2020
perubahan fungsi tubuh (pasca
operasi amputasi)

47
RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil (SLKI) Intervensi (SIKI)
Nyeri akut b.d prosedur Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama A. Manajemen nyeri
operasi d.d tampak wajah 3x24 jam, pengalaman sensorik atau emosional Observasi
meringis yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
atau fungsional, dengan onset mendadak atau frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
lambat dan berintensitas ringan hingga berat dan 2. Identifikasi skala nyeri
konstan ekspektasi menurun. 3. Identifikais respon nyeri non verbal
KH : 4. Identifikais faktor yang memperberat dan
1. Keluhan nyeri : memperingan nyeri
Meningkat 1 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
Cukup Meningkat 2 tentang nyeri
Sedang 3 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon
Cukup Menurun 4 nyeri
Menurun 5 7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
2. Meringis : 8. Monitor keberhasilan terapi komplementer
Meningkat 1 yang sudah diberikan
Cukup Meningkat 2 9. Monitor efek samping penggunaan analgetik
Sedang 3 Terapeutik
Cukup Menurun 4 1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
Menurun 5 mengurangi rasa nyeri (misal, TENS, hipnosis,
3. Kesulitan tidur akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi
Meningkat 1 pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing,
Cukup Meningkat 2 kompres hangat/dingin, terapi bermain)
Sedang 3 2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
Cukup Menurun 4 nyeri (misal, suhu ruangan, pencahayaan,
Menurun 5 kebisingan)
4. Frekuensi nadi 3. Fasilitasi istirahat dan tidur

48
Memburuk 1 4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
Cukup Memburuk 2 pemilihan strategi meredakan nyeri
Sedang 3 Edukasi
Cukup Membaik 4 5. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
Membaik 5 6. Jelaskan strategi meredakan nyeri
5. Tekanan darah 7. Anjurkan memonitor nyeri secraa mandiri
Memburuk 1 8. Anjurkan menggunakan analgetic yang tepat
Cukup Memburuk 2 9. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
Sedang 3 mengurangi nyeri
Cukup Membaik 4 Kolaborasi
Membaik 5 1. Kolaborasi pemberian alnalgetic, jika perlu
B. Pemberian analgetik
Observasi
1. Identifikasi karakteristik nyeri (misal,
pencetus, pereda, kualitas, lokasi, intensitas,
frekuensi, durasi)
2. Identifikasi riwayat alergi obat
3. Identifikasi kesesuaian jenis analgetik (misal,
narkotik, non-narkotik, atau NSAIO) dengan
tingkat keparahan nyeri
4. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah
pemberian analgetik
5. Monitor efektifitas analgetik
Terapeutik
1. Diskusikan jenis analgetik yang disukai untuk
mencapai analgesia optimal, jika perlu
2. Pertimbangkan penggunaan infus kontinu, atau
bolus opiod untuk mempertahankan kadar

49
dalam serum
3. Tetapkan target efektifitas analgetik untuk
mengoptimalkan respon pasien
4. Dokumentasikan respons terhadap efek
analgetik dan efek yang tidak diinginkan
Edukasi
1. Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian dosis dan jenis
analgesik, jiak perlu
Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1 x 24 Perawatan Luka
Ketidaktahuan proses
jam, pasien mengerti proses perawatan Observasi
perawatan luka
penyakitnya, dengan kriteria hasil: 1. Monitor karakteristik luka
- Pasien mampu menjelaskan proses 2. Monitor tanda-tandainfeksi
perawatannya
Terapeutik
- Pasien menerapkan perilaku sesuai
3. Lepaskan balutan dan plester secara
anjuran perlahan
4. Bersihkan dengan cairan NaCl
- Persepsi terhadap perilaku yang salah
5. Bersihkan jaringan nekrotik
menurun(4-5)
6. Berikan salep gentamycin dan sufratul
7. Pasang kassa steril tutup dengan plester
hypavik
8. Pertahankan Teknik steril saat rawat luka
9. Lakukan perawatan luka 3 haris ekali
Edukasi

50
10. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
11. Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi
kalori dan protein
12. Ajarkan prosedur perawatan luka secara
mandiri

Kolaborasi
13. Kolaborasi pemberian antibiotik

Intoleransi aktifitas b.d


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 Manajemen energi
immobilitas d.d badan jam, respon fisiologis terhadap aktifitas yang Observasi
lemas (pasca operasi) membutuhkan tenaga dengan ekspektasi 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
meningkat. mengakibatkan kelelahan
KH : 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
1. Frekuensi nadi : 3. Monitor pola dan jam tidur
Menurun 1 4. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama
Cukup Menurun 2 melakukan aktifitas
Sedang 3 Terapeutik
Cukup Meningkat 4 1. Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
Meningkat 5 (misal, cahaya, suara, kunjungan)
2. Keluhan lemah : 2. Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif
Meningkat 1 3. Berikan aktifitas distraksi yang menenangkan
Cukup Meningkat 2 4. Fasilitasi duduk disisi tempat tidur, jika tidak
Sedang 3 dapat berpindah atau berjalan
Cukup Menurun 4 Edukasi
Menurun 5 1. Anjurkan tirah baring
3. Tekanan darah : 2. Annjurkan melakukan aktifitas secara bertahap
Memburuk 1 3. Anjurkan mneghubungi perawat jika tanda dan

51
Cukup Memburuk 2 gejala kelelahan tidak berkurang
Sedang 3 4. Ajarkan strategi koping untuk mengurangi
Cukup Membaik 4 kelelahan
Membaik 5 Kolaborasi
4. Frekuensi nafas : 1. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
Memburuk 1 meningkatkan asupan makanan.
Cukup Memburuk 2
Sedang 3
Cukup Membaik 4
Membaik 5
Gangguan Citra tubuh b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. PROMOSI CITRA TUBUH ( I.09305)
perubahan fungsi tubuh 1x24 jam, harapan pasien meningkat dapat
menerima perubahan fungsi tubuh. 1. Observasi
KH : o Identifikasi harapan citra tubuh
berdasarkan tahap perkembangan
o Identifikasi budaya, agama, jenis
kelami, dan umur terkait citra tubuh
o Identifikasi perubahan citra tubuh
yang mengakibatkan isolasi sosial
o Monitor frekuensi pernyataan kritik
tehadap diri sendiri
o Monitor apakah pasien bisa melihat
bagian tubuh yang berubah
2. Terapiutik
o Diskusikan perubahn tubuh dan
fungsinya
o Diskusikan perbedaan penampilan
fisik terhadap harga diri

52
o Diskusikan akibat perubahan pubertas,
kehamilan dan penuwaan
o Diskusikan kondisi stres yang
mempengaruhi citra tubuh (mis.luka,
penyakit, pembedahan)
o Diskusikan cara mengembangkan
harapan citra tubuh secara realistis
o Diskusikan persepsi pasien dan
keluarga tentang perubahan citra
tubuh
3. Edukasi
o Jelaskan kepad keluarga tentang
perawatan perubahan citra tubuh
o Anjurka mengungkapkan gambaran
diri terhadap citra tubuh
o Anjurkan menggunakan alat
bantu( mis. Pakaian , wig, kosmetik)
o Anjurkan mengikuti kelompok
pendukung( mis. Kelompok sebaya).
o Latih fungsi tubuh yang dimiliki
o Latih peningkatan penampilan diri
(mis. berdandan)
o Latih pengungkapan kemampuan diri
kepad orang lain maupun kelompok

53
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN

Diagnosa Implementasi Evaluasi TTD


Keperawatan
Nyeri akut b.d  28-9-2020  28-9-2020

54
prosedur 1. Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, S: Pasien mengatakan nyeri pada bekas luka
operasi d.d kualitas, intensitas nyeri (PQRST) operasi
tampak wajah 2. Mengidentifikasi skala nyeri  O: KU: Cukup, RR : 20x/mnt, T: 140/90
meringis 3. Mengidentifikasi respon nyeri non verbal mmHg, N: 102x/menit, Wajah meringis,
4. Mengidentifikais faktor yang memperberat dan merasa tidur tidak nyaman sering terbangun
memperingan nyeri (menanyakan kapan saat nyeri P: Prosedur operasi
muncul terasa berat dan riangan  saat kaki digerakkan Q: Perih terasa agak panas
terasa semakin nyeri dan jika tidak digerakkan tidak R: Kaki yang di operasi, di jari
nyeri) S: 4 menggunakan wong baker
5. Mengidentifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup T: terasa nyeri terus menerus, kurang lebih
(menurut pasien, nyeri yang dialami mengganggu sekali) 30 menitan
6. Memonitor keberhasilan terapi komplementer yang KH Sebelum Sesudah
sudah diberikan (terapi komplementer yang diberikan Keluhan nyeri 2 4
adalah relaksasi nafas dalam) Meringis 2 4
10. Memberikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi Kesulitan tidur 2 4
rasa nyeri (terapi yang diberikan adalah relaksasi nafas Frekuensi nadi 2 4
dalam) Tekanan darah 2 4
11. Mengontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
(menyarankan untuk yang menunggu pasien hanya 1 A: Masalah teratasi sebagian
orang saja) P: Intervensi lanjut
12. Memfasilitasi istirahat dan tidur 1 s/d 15
13. Menjelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
14. Menganjurkan memonitor nyeri secraa mandiri (jika
nyeri datang bisa melakukan teknik relaksasi nafas dalam
yang sudah diajarkan)
15. Berkolaborasi pemberian alnalgetic (pasien mnedapatkan
terapi analgetic injeksi Ketorolac 3x30mg)
16. Memonitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah

55
pemberian analgetik
17. Memonitor efektifitas analgetik
 29-9-2020
1. Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas nyeri (PQRST)
2. Mengidentifikasi skala nyeri
3. Mengidentifikais respon nyeri non verbal
4. Memonitor keberhasilan terapi komplementer yang
sudah diberikan (cukup berhasil)
5. Mengulangi memberikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (terapi yang diberikan adalah
relaksasi nafas dalam)
6. Menganjurkan memonitor nyeri secara mandiri (jika  29-9-2020
nyeri datang bisa melakukan teknik relaksasi nafas dalam S: Pasien mengatakan nyeri pada luka post
yang sudah diajarkan  pasien sudah bisa melakukan) operasi sudah berkurang
7. Berkolaborasi pemberian alnalgetic (pasien mnedapatkan O: KU cukup, RR: 18x/menit, SpO2: 99% T:
terapi analgetic injeksi Ketorolac 3x30mg) 150/80 mmHg, N: 90x/menit, S: 36,2°C,
8. Memonitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah wajah meringis <<, tidur sudah cukup
pemberian analgetik nyaman
9. Memonitor efektifitas analgetik (efektif, pasien setelah P: Prosedur operasi
diberikan injeksi antinyeri, merasa nyeri berkurang) Q: Perih terasa agak panas
R: Kaki yang di operasi, di jari
S: 2 menggunakan wong baker
T: terasa nyeri hilang timbul, kurang lebih 10-15
menitan
KH Sebelum Sesudah
Keluhan nyeri 3 4
Meringis 3 5

56
Kesulitan tidur 4 5
Frekuensi nadi 3 4
Tekanan darah 2 4

A: Masalah teratasi sebagian


P: Intervesi lanjutkan
1 s/d 8
Intoleransi  28-9-2020  28-9-2020
aktifitas b.d 1. Mengidentifikasi gangguan fungsi tubuh yang S: Pasien mnegatakan badan masih lemas belum
immobilitas mengakibatkan kelelahan (pasca operasi) bisa melakukan gerakan karena masih belum
d.d badan 2. Memonitor kelelahan fisik dan emosional boleh bergerak setelah operasi
lemas (pasca 3. Memonitor pola dan jam tidur O: KU cukup, RR: 20x/menit, SpO2: 99%,
operasi) 4. Memonitor lokasi dan ketidaknyamanan selama T: 140/80 mmHg, N: 102x/menit, S: 36,2°C.
melakukan aktifitas Pasien pasca operasi dengan SAB jam 06.00
5. Menyediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus baru boleh menggerakkan anggota badan jam
(meniadakan jam besuk, saat istirahat lampu tidur diatas 18.00
kepala dimatikan) KH Sebelum Sesudah
6. Melakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif Frekuensi nadi 4 2
(saat bebas 12 jam pasca operasi sudah boleh menggerak- Keluhan lelah 4 2
gerakkan anggota tubuh, miring kanan dan kiri serta Tekanan darah 2 4
perlahan duduk di tempat tidur dan sisi tempat tidur) Frekuensi nafas 4 4
7. Memfasilitasi duduk disisi tempat tidur, jika tidak dapat
berpindah atau berjalan A: Masalah teratasi sebagian
8. Menganjurkan tirah baring (selama 12 jam pasca operasi) P: Intervensi lanjut
9. Menganjurkan melakukan aktifitas secara bertahap 1 s/d 10
10. Menganjurkan menghubungi perawat jika tanda dan
gejala kelelahan tidak berkurang
 29-9-2020

57
1. Memonitor kelelahan fisik dan emosional
2. Memonitor pola dan jam tidur

 29-9-2020
S: Pasien mengatakan sudah bisa bergerak
sedikit-sedikit
O: KU cukup, RR: 18x/menit, SpO2: 99% T:
150/80 mmHg, N: 90x/menit, S: 36,2°C.
Rentang gerak bebas

KH Sebelum Sesudah
Frekuensi nadi 2 1
Keluhan lelah 4 5
Tekanan darah 3 3
Frekuensi nafas 4 5

A: Masalah teratasi
P: Hentikan intervensi
Risiko infeksi  28-9-2020 1. 28-9-2020
b.d kerusakan S: -

58
integritas kulit O: KU cukup, RR: 20x/menit, SpO2: 99%,
1. Memonitorkarakteristikluka
T: 140/80 mmHg, N: 102x/menit, S: 36,2°C.
2. Memonitortanda-tandainfeksi Tampak balutan luka bersih
3. Melepaskanbalutan dan plestersecaraperlahan
A: Masalah teratasi sebagian
4. Membersihkandengancairan NaCl
P: Intervensi lanjut
5. Membersihkanjaringannekrotik
1 s/d 11
6. Memberikansalep gentamycin dan sufratul
7. Memasangkassasteriltutupdenganplesterhypavik
8. Mempertahankan Teknik sterilsaatrawatluka
9. Melakukanperawatanluka 3 harisekali
10. Menjelaskantanda dan gejalainfeksi
11. Menganjurkanmengkonsumsimakanantinggikalori
dan protein
12. Mengajarkanprosedurperawatanlukasecaramandiri
2. 29-9-2020
13. Melakukankolaborasipemberianantibiotik
S: -
 29-9-2020 O: KU cukup, RR: 18x/menit, SpO2: 99% T:
1. Memonitorkarakteristikluka 150/80 mmHg, N: 90x/menit, S: 36,2°C.
Tampak balutan luka bersih
2. Memonitortanda-tandainfeksi
3. Melepaskanbalutan dan plestersecaraperlahan A: Masalah teratasi sebagian
4. Membersihkandengancairan NaCl P: Intervensi lanjut
5. Membersihkanjaringannekrotik 1 s/d 11
6. Memberikansalep gentamycin dan sufratul
7. Memasangkassasteriltutupdenganplesterhypavik
8. Mempertahankan Teknik sterilsaatrawatluka
9. Melakukanperawatanluka 3 harisekali
10. Menjelaskantanda dan gejalainfeksi

59
11. Menganjurkanmengkonsumsimakanantinggikalori
dan protein
12. Mengajarkanprosedurperawatanlukasecaramandir
i
13. Melakukankolaborasipemberianantibiotik

Gangguan 28-9-2020 28-9-2020


Citra tubuh b.d S: -
perubahan 1. Mengidentifikasi harapan citra tubuh berdasarkan O: Pasien terlihat murung, pasien tidak focus
fungsi tubuh tahap perkembangan kalu diajak bicara
2. Mengidentifikasi budaya, agama, jenis kelami, dan KU cukup, RR: 20x/menit, SpO2: 99%, T:
umur terkait citra tubuh 140/80 mmHg, N: 102x/menit, S: 36,2°C. GCS:
3. Mengidentifikasi perubahan citra tubuh yang 456,
mengakibatkan isolasi sosial KH Sebelum Sesudah
4. Memonitor frekuensi pernyataan kritik tehadap diri
sendiri
5. Memonitor apakah pasien bisa melihat bagian tubuh
yang berubah
6. Mendiskusikan perubahn tubuh dan fungsinya
7. Mendiskusikan perbedaan penampilan fisik terhadap
harga diri A: Masalah belum teratasi
8. Mendiskusikan kondisi stres yang mempengaruhi citra P: Intervensi lanjut
tubuh (mis.luka, penyakit, pembedahan) 1 s/d 10
9. Mendiskusikan cara mengembangkan harapan citra
tubuh secara realistis
10. Mendiskusikan persepsi pasien dan keluarga tentang 29-9-2020
perubahan citra tubuh S: -
O: Pasien sudah mulai terenyum, pasien sudah

60
bisa diajak komunikasi
KU cukup, RR: 18x/menit, SpO2: 99% T:
150/80 mmHg, N: 90x/menit, S: 36,2°C. GCS:
456,
A: Masalah teratasi
P: Hentikan intervensi

F.

61
Perencanaan Pulang (Discharge Planning)

1. Tujuan pulang : Ke rumah


2. Transportasi pulang : Mobil
3. Dukungan keluarga : Ada
4. Anstipasi bantuan biaya setelah pulang : tidak ada
5. Pengobatan : Levofloxacin 2dd1/2, Metronidazol 3dd1/2 , Vip Albumin 3dd1, Asam
Mefenamat 3dd500mg, Antasida Sirup 3dd1C
6. Rawat jalan : Ke poli bedah umum, Waktu : 3 hari setelah KRS (2 Oktober 2020) Jam
07.00 WIB, Frekuensi : 3 kali sehari sampai dengan kondisi luka bagus
7. Intervensi tambahan di era pandemic covid 19 :
a. Selalu menjaga kontak dengan pasien, dan termasuk panggilan telepon dan
foto luka dua mingguan apabila dilakukan perawatan luka dirumah.
b. Kaji melalui telepon adanya tanda dan gejala: nyeri, kemerahan, panas,
bengkak, drainase (gambaran konsistensi dan warna), demam, menggigil, dan
peningkatan nyeri.
c. Mendidik pasien dan keluarganya tentang bagaimana melakukan perawatan
luka yang baik dan benar.
d. Sederhanakan cara berpakaian dan pertimbangkan dukungan dari video
penjelasan.
8. Hal-hal yang perlu diperhatikan di rumah :
a. Diet yang dikonsumsi harus sesuai dengan diet diabetes (rendah gula) dan juga
rendah garam tinggi protein
b. Keamanan pasien, risiko jatuh (modifikasi lingkungan tempat tinggal pasien)
c. Perawatan luka rutin
d. Luka tidak boleh kena Air
e. Pengontrolan gula darah rutin

62

Anda mungkin juga menyukai