Anda di halaman 1dari 8

PROBLEMATIKA PENGUASAAN DAN PEMANFAATAN OBJEK

REFORMA AGRARIA KAWASAN HUTAN

PENGANTAR ILMU AGRARIA

OLEH :
KELOMPOK 3 KELAS D

NO NAMA NIT
1 ANAN HAJI IMANTAKA 202935
2 AZRIEL HANIF HIMAWAN 202935
3 FADEL MUHAMMAD 202935
4 HAFID FAUZAN NURFIRDAUS 202935
5 M.FARHAN YAHYA ABDULLAH 202935
6 MOHAMMAD ASRORU FU’AD 202935
7 SATYA HARIS PURNOMO 202935

KEMENTERIAN AGRARIADAN TATA RUANG/


BADAN PERTANAHAN NASIONAL
SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
YOGYAKARTA
2021
PROBLEMATIKA PENGUASAAN DAN PEMANFAATAN OBJEK

REFORMA AGRARIA KAWASAN HUTAN

1
Kelompok III
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN)

A. LATAR BELAKANG

Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki wilayah berhutan seluas 94,1 juta ha
atau 50,1 % dari total daratan di Indonesia, dari jumlah tersebut 86,9 juta ha masuk dalam
kawasan hutan (KLHK, Hasil pemantauan Hutan tahun 2019). Kawasan hutan sendiri
adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Namun fakta di lapangan menunjukkan
bahwa di dalam kawasan hutan terdapat kampung, dusun bahkan desa yang mendiami
wilayah tertentu. Keberadaan kampung tersebut bisa karena memang sudah ada sebelum
di tetapkan sebagai kawasan, atau bisa karena program pemerintah di masa lalu.

Hal tersebut berimplikasi pada penguasaan tanah di daerah kawasan hutan menjadi
beragam. Berbagai bentuk penguasaan tanah di kawasan hutan yang teridentifikasi antara
lain : a) Penguasaan tanah oleh masyarakat hukum adat ; b) Penguasaan tanah oleh desa;
c) Penguasaan tanah oleh perorangan; d) Penguasaan tanah oleh badan hukum; e)
Penguasaan oleh badan sosial; e) dan Penguasaan oleh Pemerintah. Dari data tersebut
kawasan hutan yang penguasaan tanahnya diolah oleh desa sangat berpotensi adanya
konflik [ CITATION Saf18 \l 1033 ].

Konflik penguasaan tanah di kawasan hutan menjadi permasalahan yang sering terjadi
di negara berkembang salah satunya di Indonesia. Hal tersebut Menurut Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) No. II
Tahun 2016 konflik tanah yang menimbulkan perselisihan pertanahan adalah keterlibatan
antara orang perseorangan, golongan, organisasi, serta badan hukum yang akan
menimbulkan dampak luas. Akibatnya dari situasi tersebut ,tumpang tindih penguasaan,
klaim,dan konflik tenurial menjadi permasalahan penting yang sering terjadi di kawasan
hutan [CITATION Sal19 \l 1033 ].

Ditambah kondisi masyarakat didaerah kawasan hutan jauh dari perhatian pemerintah,
dilihat dari kondisi perekonomian dapat dikatakan masih tertinggal dan dibawah garis
kemiskinan. Dari hasil sensus penelitian Brwon (2004) membuktikan bahwa tingkat

2
kemiskinan masyarakat yang tinggal dikawasan hutan lebih tinggi dibanding dengan
masyarakat yang tinggal di luar kawasan hutan.

Strategis pemerintah dalam menyikapi konflik sekaligus penataan penguasaan tanah


adalah agenda Reforma Agraria (RA). Yang bertujuan : a) Mengurangi ketimpangan
penguasaan dan pemilikan tanah; b) Mengurangi kemiskinan; c) Menciptakan lapangan
kerja; d) Memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi; e) Menyelesaikan
konflik agraria; f) Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup; g) serta,
Meningkatkan ketahanan pangan.

Reforma agraria yang disusun oleh pemerintah, secara garis besar ada tiga objek
dalam skema Reforma agraria di era Jokowi-JK : Legalisasi Aset ,Redistribusi Aset dan
Legalitas aset. Tiga hal tersebut saat ini menjadi fokus pemerintah dalam bentuk kegiatan
yang dijalankan di seluruh Indonesia. Dari sini penulis akan mengidentifikasi 1) Pola
penguasaan tanah dan permasalahan di daerah kawasan hutan. 2) Menggambarkan
program dan capaian kegiatan diatas serta menguraikan tiga agenda besar Reforma
agraria tersebut.

B. PEMBAHASAN

Kawasan Taman Nasional Kutai total data terbaru memiliki luas 198.629 ha. Secara
administratif 80% TNK berada di wilayah Kabupaten Kutai Timur, 17,48% berada di
wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, dan 2,5% berada di Kota Bontang. Kawasan ini
membentang di sepanjang garis katulistiwa mulai dari pantai Selat Makasar sebagai batas
bagian Timur, menuju arah daratan Barat sejauh 65 km. Di sebelah Selatan kawasan TNK
dibatasi oleh hutan lindung Bontang, HTI PT. Surya Hutani Jaya, dan perusahaan tambang
batu bara PT. Indominco Mandiri. Di sebelah Barat dibatasi oleh HPH PT. Kiani Lestari.
Secara geografis berada pada 00 7’540 - 00 33’530 LU dan 116’58’480 - 117035’290 BT.
(Profil TNK, BTNK, 2000)

Status calon Taman Nasional dideklarasikan pada Konggres Taman Nasional


sedunia di Bali pada tahun 1982. Penunjukan Calon Taman Nasional ini dikukuhkan
melalui SK Menteri Pertanian No: 736/Mentan/X/1982. Semula kawasan ini merupakan
kawasan Suaka Marga Satwa, dan dikukuhkan menjadi TNK melalui SK Menhut No:

3
325/Kpts – II/1995. Luas Suaka Marga Satwa ini semula meliputi areal 200.000 ha.
Kawasan ini kemudian dilepas seluas 106.000 ha, dengan rincian 60.000 ha untuk HPH PT
Kayu Mas, dan sisanya 46.000 ha diberikan kepada Industri Pupuk Kaltim dan Industri Gas
PT. Badak LNG. Selesai dieksploitasi, lahan seluas 60.000 ha dikembalikan.

A. Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria pada Kawasan Hutan

Persoalan mengenai kawasan hutan tentunya tidak terlepas dari permasalahan yang
berkaitan dengan tata kelola penguasaan dan pemanfaatan tanah. Secara umum,
penguasaan tanah pada kawasan hutan selalu terkait dengan aspek kepemilikan,
pengunaan dan pemanfaatan tanah. Berikut hasil identifikasi penguasaan tanah pada
kawasan hutan. :

I. Penguasaan tanah oleh masyarakat hukum Adat.

Hak Ulayat masyarakat hukum adat adalah serangkaian wewenang dan


kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang
terletak dalam lingkungan wilayahnya, guna kepentingan persekutuan hukum itu
sendiri dan anggota-anggotanya, atau untuk kepentingan orang-orang di luar
masyarakat hukum adat (orang asing/pendatang), dengan izin persekutuan hukum itu
dengan membayar pengakuan (Ibid, hal 185-186).

Peraturan menteri memberikan penjabaran mengenai hak ulayat dari yang


sudah diatur di dalam UUPA, penjabaran ini tercantum dalam pasal 2 yang
menyebutkan bahwa:

1. Pelaksanan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh
masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat
setempat.

2. Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila:

i. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukm
adatnya sebagai warga bersama suatau persekutuan hukum tertentu, yang
mengakui dan menerpkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam
kehidupannya sehari-hari.

4
ii. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga
persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya
sehari-hari, dan

iii. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguaasaan dan


penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga
persekutuan hukum tersebut.

Dalam implementasinya tidak memungkinkan adanya hak hak atas tanah ataupun hak
ulayat di dalam kawasan hutan. Oleh karena itu perlu adanya pelepasan dari
kementerian kehutanan melalui kegiatan TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) yang
dapat diredistribusikan kepada masyarakat disekitar hutan.

II. Penguasaan Tanah oleh Desa

Faktor yang mendorong adanya suatu desa di kawasan hutan adalah adanya
beberapa orang yang menempati kawasan tersebut secara turun temurun . Hal tersebut
menjadi alat bukti masyarakat setempat untuk mengklaim kepemilikan tanah tersebut.
Sebagai masyarakat perdesaan yang berada di kawasan hutan , masyarakat bergantung
pada kekayaan sumber daya alam sebagai sumber kehidupan sehari hari. Dari sinilah
awal masyarakat menetap dan membentuk pendukuhan/dusun baru.

Masyarakat desa di sekitar kawasan hutan yang mayoritas bekerja sebagai


petani, dijadikanlah wilayah andeman sebagai lahan garapan serta pemukiman.
Meskipun, masyarakat setempat telah mengetahui bahwa mereka bukan pemilik yang
sah terhadap tanah yang digarap dengan bukti tidak ada surat kepemilikan status hak
atas tanah, maka tanah tersebut kembali ke Negara menjadi tanah Negara. Dari sinilah
muncul adanya pengajuan konflik antara masyarakat setempat dengan pemerintah.

III. Penguasaan oleh perorangan

IV. Penguasaan oleh badan hukum

B. Konflik tenurial dan sengketa yang ada dikawasan hutan.

A. Konflik Tenurial Kawasan Hutan.

5
Mengenai konflik tenurial yang berada di kawasan hutan , kata “Tenurial” memiliki
arti memelihara, memegang, memiliki. (Menurut Wiradi 1984). istilah ini biasanya dipakai
dalam uraian-uraian yang membahas masalah yang mendasar dari aspek penguasaan suatu
sumber daya yaitu mengenai status hukumnya. Dengan kata lain, membicarakan persoalan
tenurial sumber daya hutan, tidak lain membicarakan soal status hukum dari suatu
penguasaan atas tanah dan segala tanam-tumbuh yang ada di atasnya (Sediono M.P.
Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, 1984:286).

Konfilik Tenurial di kawasan hutan sangat beragam permasalahan. Penanganannya


selain menempuh jalur hukum secara positif, tetapi juga menggunakan pendekatan kearifan
lokal. Dimana negoisasi dan mediasi selalu dilakukan sebelum sampai pada tahap ajudikasi.
Tenurial sesungguhnya merupakan hak pemanfaatan, baik lahan maupun hasil hutan. Selain
ada (Perum Perhutani) yang memang legal memiliki hak untuk memanfaatkan kawasan
hutan, tapi ada juga kelompok-kelompok masyarakat yang secara ilegal memanfaatkan
hutan. Karena ada pihak lain yang cenderung mengajak masyarakat, dengan menjadi
pekerja, sehingga konflik tenurial seakan-akan antara Perum Perhutani dan masyarakat.

B. Sengketa Tanah Kawasan Hutan.

Sengketa pertanahan yang terjadi di Indonesia memiliki 2 macam corak yaitu corak
yang bersifat horizontal dan corak yang bersifat vertikal. Corak sengketa yang bersifat
horizontal terjadi antar warga masyarakat, sedangkan corak yang bersifat vertikal terjadi
antara rakyat melawan kekuatan modal/dengan Negara.

Beberapa kasus sengketa atau klaim terhadap kawasan hutan yang sering ditemui
yaitu:

i. Sengketa tanah timbul (Aanslibbing)

Tanah timbul merupakan kejadian alam yang sering terjadi di daerah


perbatasan dengan laut, danau,atau sungai yaitu suatu endapan tanah/ lumpur dengan
kurun waktu tertentu hingga menimbulkan suatu pulau baru. Fenomena ini menjadi
fenomena hukum tatkala kemudian tanah hasil endapan lumpur tersebut menjadi
ajang perebutan atau bertumbuknya berbagai klaim. Secara kebetulan, tanah timbul
ada yang berimpit dengan kawasan hutan, biasanya hutan bakau/mangrove
(Bambang Eko Supriyadi 2013,138-164).

6
Dengan adanya peraturan UU No 5 Tahun 1960 tentang “Peraturan Dasar
Pokok Pokok Agraria”,maka pasal-pasal dalam Buku II KUHP Perdata yang
mengatur mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
termasuk mengatur masalah aansibbling dan aanspoeling ikut dinyatakan dicabut dan
tidak berlaku. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UUPA, maka tanah timbul menjadi
tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Apalagi hingga kini Peraturan Pemerintah
yang mengatur terjadinya hak milik menurut hukum adat belum pernah diterbitkan.

ii. Okupasi Kawasan Hutan

Okupasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah Pendudukan


atau Penempatan. Pendudukan kawasan hutan dalam penjelasan Pasal 50 ayat (3)
huruf a Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan diartikan sebagai
menguasai kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara
lain untuk membangun pemukiman, gedung, dan bangunan lainnya. Fakta di
lapangan masyarakat tersebut tinggal di kawasan hutan sudah bertahun tahun
keadaan ini memunculkan suatu pemahaman bahwa masyarakat berhak atas tanah
kawasan hutan yang didudukinya. Oleh karena itu anggapan masyarakat tersebut
wajar apabila masyarakat mengajukan permohonan hak atas tanah yaitu berupa
sertifikat.(Susilowati 2015,147).

iii. Klaim Atas Dasar Surat Girik/IPEDA/SPPT PBB.

Girik adalah pengenaan pajak pemilik tanah yang diterbitkan dalam bentuk
surat. Namun masih banyak anggapan masyarakat bahwa Girik sebagai tanda bukti
pemilik tanah yang bersangkutan .Pengenaan dan penerimaan biaya pajak juga
dianggap oleh masyarakat sebagai pengakuan hak tanah yang bersangkutan
[CITATION Sup13 \l 1033 ].

Ketika terjadi klaim atau sengketa tanah kawasan hutan yang didasarkan bukti
surat Girik, maka langkah yang dilakukan adalah cross chek alat bukti dan
penelusuran keterangan yang berkaitan dengan riwayat tanah. Dengan cara melihat
daftar pembukuan tanah oleh perangkat desa atau di Kantor Pelayanan Pajak Bumi
dan Bangunan.

7
C. Program atau Capaian Kegiatan Reforma Agraria

C. KESIMPULAN

D. DAFTAR PUSTAKA

Safitri. (2018). Strategi Percepatan Penataan Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan
Untuk Reforma Agraria di Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat. In T. P. STPN,
A. R. Dewi, & W. Utami (Eds.), Pengelolaan Lahan Untuk Kepentingan Publik Dalam
Kerangka Program Startegis Agraria Dan Tata Ruang (p. 173). Yogyakarta: STPN
Press.
Salim, M. N., & Utami, W. (2019). Konflik Penguasaan Tanah Kawasan Hutan. In M. N.
Salim, & W. Utami, Reforma Agraria Menyelesaikan Mandat Konstitusi (p. 136).
Yogyakarta: STPN Press.
Supriyadi, B. E. (2013). Contoh Contoh Kasus Sengketa/Klaim. In M. B. Supriyadi.S.H.,
Hukum Agraria Kehutanan (p. 153). Jakarta: Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai